• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Pendidikan Keagamaan Bagi Penghayat Kepercayaan (Studi Kasus Di Komunitas Sedulur Sikep Kab. Kudus) T2 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Pendidikan Keagamaan Bagi Penghayat Kepercayaan (Studi Kasus Di Komunitas Sedulur Sikep Kab. Kudus) T2 BAB IV"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN BAHASAN

Pemenuhan Pendidikan Keagamaan Bagi Penghayat

Kepercayaan (Studi Kasus di Komunitas Sedulur

Sikep Kab. Kudus)

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Profil Penghayat Kepercayaan Sedulur Sikep

Masyarakat Adat Samin

Penghayat kepercayaan adalah istilah yang diberikan negara. Hal ini sebagai efek dari definisi dari agama resmi dan tidak resmi di Indonesia. Agama yang diakui resmi oleh negara sampai sekarang ada enam agama; Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Selain itu semua kepercayaan yang ada dianggap sebagai agama non resmi.

(2)

penjajahan Belanda abad 19 di Indonesia. Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenang-wenangan Belanda yang merampas tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati (Umar: 2009; 47).

Aktor intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektualnya didapat dari ayahnya, yakni pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada Kabupaten Tulungagung Jawa Timur).

Ajaran Samin tersebar pertama kali di daerah Klopoduwur, Blora, Jawa Tengah. Pada tahun 1890 pergerakan Samin berkembang di dua Desa hutan kawasan Randublatung. Gerakan ini lantas dengan cepat menyebar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai ke seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan. Atau di sekitar perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam peta sekarang.

(3)

Samin Surosentiko lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau Samin Sepuh. Ia mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko karena Samin adalah sebuah nama yang bernapas wong cilik. Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya (Rosyid: 2008).

Ajaran Samin yang terkenal di wilayah Blora, Pati, Bojonegoro dan Kudus tidak lepas dari sosok Samin Surosentiko (David Samiyono: 2010). Samin Surosentiko merupakan putra dari Raden Surowijoyo yang juga disebut sebagai Samin Sepuh sebagai perintis gerakan Saminisme yang juga putra dari Pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, kawasan di Kabupaten Tulungagung). Gerakan Samin di Jawa Tengah memang lebih dikenal di dua daerah yaitu Blora dan Pati.

(4)

dengan tiga warga Desa; yakni Sosar (Desa Kutuk), Dukuh Kaliyoso (Desa Radiwongso), dan Proyongaden (Desa Larekrejo) (Rosyid: 2009).

Ajaran Samin Kudus datang di Desa Kutuk melalui Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung Blora Jawa Tengah dengan membawa kitab “Serat

Jamus Kalimosodo” berbahasa kuno dan berbentuk

sekar macapat dan prosa. Ajaran Samin Kudus lahir atas ekspansi yang dilakukan oleh Raden Kohar untuk membangun pusat perlawanan terhadap Belanda di Kudus. Untuk Desa Kutuk, pelopornya adalah Sosar yang berguru pada Surowijoyo, Randublatung, Blora. Sosar memiliki istri bernama Rawi yang menghasilkan tiga putra; yakni Suparto, Sariyan dan Sawinah (Rosyid: 2009; 90).

(5)

Untuk sekarang yang menjadi tokoh Samin di Kudus adalah Budi Santoso (48 tahun). Ia banyak menyuarakan dan memperjuangkan hak-hak warga negaranya. Menurut Budi Santoso, sampai sekarang penganut ajaran Samin atau agama Adam yang masih di Desa Larekrejo sebanyak 16 kepala keluarga, dan di Desa Kaliyoso sebanyak 50 kepala keluarga. Dalam ajaran Samin dikenal dengan enam prinsip dasar etika yaitu:

Prinsip meniko antawise pantangan (larangan) drengki, srei, panasten, dawen, kemeren, lan nyiyo marang sepodo. Masyarakat Samin mempunyai falsafah bejok reyot iku dulure, waton meningso tur gelem di daku Sedulur. Ada lima hal lain lagi yang tidak boleh dilakukan. Yaitu bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dalam sumber kehidupannya), jumput (mengambil barang yang jadi komoditas di pasar), nemu wae ora kena (menemukan barang milik orang lain, tidak boleh diambil/harus dikembalikan kepada si empunya) (Wawancara dengan Maskad, 22/4/12)

(6)

Esensinya dari ajaran Samin atau agama Adam adalah jika pemeluk memegang teguh prinsip ajaran dan menjauhkan prinsip pantangan kesaminan. Agama Adam sebagai perwujudan “ucapan” (tandeke neng pengucap, opo wae thukule soko pengucap), laku (perilaku), dan penganggo (pakaian). Pengucap bermakna jika berujar tidak bohong dan konsisten dengan yang diucapkan. Laku diwujudkan tak melanggar prinsip Samin. Ukuran kebenaran pemeluk agama jika aktivitasnya (tindak-tanduknya) benar. Penganggo adalah segala aktivitas bersandar pada Adam, keberadaannya dianggap orang pertama di dunia agar dunia sejahtera (donyo rejo) dan sebagai penguasa tunggal (Yai) (Wawancara Budi Santoso, 9/1/2015).

(7)

diwujudkan dengan aktivitas yang baik (Rosyid: 2010;54).

Munculnya istilah Adam bermakna ugeman atau pegangan hidup sebagai bukti pemahaman Samin sebagai nama manusia pertama (Adam) ciptaan Tuhan (Yai) di dunia. Tradisi bermuatan ajaran etika hidup menjadi kepercayaan yang dipertahankan dalam pendidikan keluarga dengan tuturan/tradisi lisan dan tauladan oleh figur (botoh dan orangtua) (2010; 55). Agama/aliran kepercayaan Adam tidak bersangkut paut dengan proses pewahyuan karena mutlak berasal dari ide dasar leluhur/orangtua yang diikuti secara turun-temurun secara oral tradition kepada generasi Samin.

4.1.2 Kebijakan Pendidikan Agama Bagi Penghayat

Kepercayaan Sedulur Sikep

(8)

antara sekolah formal dengan masyarakat adat setempat. Juga mendapatkan gambaran perkembangan kehidupan dunia pendidikan agama yang dihadapi oleh siswa-siswa penghayat kepercayaan Sedulur Sikep.

a. Pengakuan Negara Dalam Pendidikan Agama Bagi

Penghayat Kepercayaan Sedulur Sikep

Pendidikan merupakan hak mendasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini sesuai dengan undang-undang yang mempunyai tugas untuk mencerdaskan kehidupan seluruh warganya. Pengertian ini tidak terkecuali bagi mereka yang tidak memiliki agama, para penghayat kepercayaan di Indonesia selama ini memang tidak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya.

(9)

Pendidikan agama mencuat ke permukaan dan menjadi perdebatan ketika UU Sisdiknas hendak ditetapkan oleh pemerintah. Perdebatan dalam rancangan tersebut dalam pasal 13 yang berkaitan dengan Pendidikan Agama, sebagian kelompok memandang bahwa pendidikan agama adalah wilayah privat, sehingga negara tidak mempunyai hak untuk mengatur dan diserahkan ke orangtua masing-masing. Sebagian kelompok lainnya memandang bahwa pendidikan agama adalah wilayah publik, sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi pendidikan agama di sekolah negeri.

Secara umum pendidikan di Indonesia telah diatur dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yang di dalamnya sudah disebutkan tentang pendidikan agama. Beberapa kebijakan pendidikan agama di Indonesia secara umum memang belum sama sekali mengatur tentang pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan, berikut penulis paparkan mengenai kebijakan pendidikan agama di Indonesia. Undang-undang yang sama sekali tindak menyentuh mereka yang menganut kepercayaan di luar agama resmi, antara lain:

(10)

terutama karena sekali lagi, negara hampir-hampir tidak melirik sedikitpun agama-agama tidak resmi. Bahkan yang mengemuka adalah pertengkaran tanpa makna antara Islam dengan Kristen kala memperdebatkan pasal agama. Dalam Pasal 30 UU tersebut masih mengandung semangat membatasi hak beragama dengan persepsi lima agama resmi. Selain itu, dengan jelas terlihat pula bahwa dalam UU ini terkesan ada semangat untuk mensegregasi masyarakat Indonesia berdasarkan agama seperti yang ditegaskan pada pasal 13 ayat 1 (adanya semangat yang bertentangan antara pasal 11 ayat 1 yang disebutkan anti diskriminasi dan pasal 30 yang justru membatasi kebebasan beragama).

Pasal 30:

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pasal 11:

(11)

Disamping ada usaha untuk segregasi masyarakat, UU Sisdiknas tersebut juga memiliki semangat yang kuat dalam melakukan politik pembatasan dalam agama. Semangat untuk mengajarkan agama hanya pada enam “agama resmi” terlihat sangat kental. Dengan begitu, maka pengajaran pendidikan agama di sekolah hanyalah merujuk pada enam agama tersebut.

(12)

Pasal 9 ayat 1 “Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu”.

Ketiga, Peraturan Menteri Agama Nor 16 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di Sekolah. Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha dan Pendidikan Agama Khonghucu. Melihat teks ayat tersebut menjadi jelaslah bahwa penghayat kepercayaan tidak ada dalam domain Kementerian Agama.

Pasal 2 ayat 2:

Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Buddha dan Pendidikan Agama Khonghucu

(13)

ditandatangani oleh Jero Wacik dan Mardiyanto ini tidak menyinggung sama sekali ikhwal soal pendidikan bagi penghayat kepercayaan.

b. Pelaksanaan Pendidikan Agama Bagi Penghayat

Kepercayaan Sedulur Sikep

Pelaksanaan pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan di sekolah formal sampai sekarang tidak pernah terlaksana. Hal ini terjadi karena terkendala pada pengakuan agama resmi negara di Indonesia. Sehingga sudah sangat baik apabila bagi siswa-siswi dari penghayat kepercayaan dan masyarakat adat yang menempuh pendidikan di sekolah formal tidak dipaksa untuk mempelajari enam agama resmi yang diajarkan oleh sekolah. Simpulan diatas dapat diuraikan dalam beberapa bagian penjelasan temuan hasil penelitian yang menunjukkan problem pengertian tersebut.

(14)

mereka menunjukkan dan berani mengakui bahwa mereka adalah penghayat kepercayaan yang tidak memeluk enam agama yang ada di Indonesia, dan tidak mau menerima atau dipaksa mengikuti pelajaran agama (wawancara dengan Tedi, 23/12/2014).

Kategori kedua, mereka yang berani menunjukkan jatidiri keyakinannya adalah Sedulur Sikep penganut ajaran Samin atau agama Adam. Mereka tinggal di Kudus, tepatnya di Desa Larekrejo dan Kaliyoso Kecamatan Undaan. Budi Santoso menyampaikan, sampai saat ini ada 15 anak yang tercatat dan aktif menempuh di pendidikan formal. Delapan anak sekolah di SMP 2 Undaan, satu anak di SMK Kristen, dan enam anak di tingkatan SD (wawancara dengan Budi Santoso, 8/1/2015). Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah.

Tabel 4.1.

Daftar Siswa Keluarga Sedulur Sikep di SMP 2 Undaan Kudus Tahun 2014/2015

No Nama Wali Murid

1 Anik Safitri Budi Santoso 2 Tridayanti Ngateno 3 Widodo Budi Utomo Purwito 4 Puspo Dwi Prastyaningsih Prantoso 5 Putri Retno Sari Karsono

(15)

7 Ani Agustina Karjo 8 Ria Wijayanti Subadi

Sumber: Wawancara dengan Budi Santoso (7/02/2015)

Menempuh pendidikan formal di bangku sekolah bagi Sedulur Sikep adalah fenomena baru, karena pada mulanya mereka menentang sekolah formal. Karena pendidikan formal merupakan bagian dari produk kolonialisme Belanda. Namun seiring perkembangan zaman Sedulur Sikep sudah mempunyai tafsir sendiri atas pemahaman pentingnya pendidikan formal bagi anak-anaknya. Ajaran yang diajarkan sesepuh Sedulur Sikep memang dilarang memasukkan anaknya di sekolah formal, dan sampai sekarang ada yang masih kukuh dengan pendirian tersebut (Wawancara dengan Maskat, 7/01/2015).

(16)

bekerja meninggalkan pertanian, dan berujung pada lepasnya pemantauan keluarga dan lepasnya ikatan kekeluargaan. Kedua, dengan pendidikan formal pergaulan menjadi terbuka luas, sehingga anak-anak Sedulur Sikep akan mudah meninggalkan budaya yang selama ini dijauhi oleh ajaran Samin.

Walau demikian, pantangan pendidikan formal sekarang sudah mengalami penafsiran baru bagi Sedulur Sikep, mereka sudah bersedia mendidik anaknya di sekolah formal dan sekarang sudah mulai untuk menyuarakan haknya sebagai bagian dari warga negara untuk mendapat pendidikan agama (Maskat dan Santoso wawancara 7/01/2015).

Praktik pendidikan budi pekerti di Sedulur Sikep dituntun langsung oleh orangtua dengan memegang prinsip dasar ajaran Samin, sebagai rutinitas Sedulur Sikep di Kudus mengadakan pertemuan seminggu sekali, semacam siraman rohani yang disampaikan oleh pemuda atau tokoh Sedulur Sikep.

(17)

agama mereka pernah dipaksa untuk belajar agama Islam. Gumani (23 tahun) menceritakan bahwa ketika ia sekolah di SMP pernah ada oknum guru yang mengatakan ‘dasar orang Samin tidak memiliki

agama’ (wawancara dengan Gumani, 24/12/2014).

Pada perkembangannya berkat perjuangan dari tokoh Sedulur Sikep di tahun 2009 mereka diberi kebebasan oleh pihak sekolah untuk memilih antara mengikuti atau tidak pelajaran agama. Moh. Norhadi (wakil Kepala Sekolah) membenarkan bahwa Sedulur Sikep sekarang bebas untuk bersekolah di SMP 2 Undaan, dan diberikan kebebasan ketika mata pelajaran pendidikan agama (wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah, 8/1/2015).

Untuk masalah nilai di raport semester atau di Ujian Nasional siswa-siswi Sedulur Sikep diberikan sepenuhnya kepada orangtua untuk mengisinya, namun pengisiannya harus sesuai dengan kolom mata pelajaran agama yang ada di negara kita. Biasanya mereka mengisi di kolom pelajaran agama Kristen.

(18)

perpustakaan. Selama ini guru telah mengetahui bahwa mereka bukan menganut ajaran agama yang diakui negara tapi ajaran Samin atau Agama Adam (wawancara dengan Anik Safitri, 7/1/2015).

Anik Safitri (14 tahun) juga menerangkan bahwa selama ini siswa-siswi di SMP 2 Undaan tidak pernah mempermasalahkan perbedaan tersebut, mereka tetap bermain bersama layaknya usia anak-anak.

Meski dalam praktik pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan belum bisa terpenuhi namun hemat peneliti ini sebagai sebuah kemajuan bagi pihak sekolah karena tidak memaksakan pelajaran agama tertentu bagi siswa-siswi Sedulur Sikep. Terkait dengan ajaran agama Adam pihak sekolah tidak punya hak untuk menyediakan layanan ajaran agama tersebut baik guru maupun kurikulum, karena memang tidak ada payung hukum yang menjadi dasar pelaksanaan tersebut. Namun pihak sekolah dalam hal ini SMP 2 Undaan sangat terbuka atas keinginan Sedulur Sikep untuk mendidik anaknya di sekolah formal.

c. Studi Kasus Sedulur Sikep dalam Pendidikan

Formal

(19)

tahun 2009 hingga kakaknya, Maskad, menyekolahkan anaknya, yang juga berarti keponakan Budi pada tahun 2012. Budi menyekolahkan dua anak putrinya di sekolah SMP 2 Undaan. Sejak awal mendaftarkan anaknya, Budi sudah menyampaikan ke kepala sekolah beserta wakil kepala sekolah dengan apa adanya. Bahwa ia merupakan penganut ajaran Samin atau agamanya yang dianutnya adalah agama Adam. Budi, meskipun beragama Adam, tapi ia sangat ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah umum.

(20)

Singkatnya, setelah ada kelonggaran dari pihak sekolah, masuklah anak-anak Sedulur Sikep hingga mengikuti proses belajar mengajar. Namun setelah berjalan mengikuti proses belajar, kenyataannya anaknya tersebut dipaksa untuk mengikuti praktik wudlu dan sholat. Bukan hanya itu saja, anak-anak Sedulur Sikep lainnya juga diwajibkan mengikuti praktik Baca Tulis al-Qur’an (BTQ). Dengan adanya kewajiban mengikuti praktik dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), kemudian anaknya tidak mau mengikuti aturan dari sang guru tersebut, karena patuh kepada orangtuanya (Budi Santoso). Tujuan Budi ingin menyekolahkan keturunannya kerena ingin memperkuat ajaran leluhur.

(21)

Setelah itu, putri dari Budi yang kelas 3 tidak berangkat sekolah selama kurang lebih 2 minggu. Selanjutnya, Budi diundang ke sekolahan dan diajak bertemu dengan guru agama dan Guru BK (guru yang mengatasi masalah kesiswaan). Dalam pertemuan itu guru agama mempertanyakan kepada Budi kenapa anaknya tidak mau berangkat sekolah? Akhirnya Budi menyampaikan bahwa anaknya tidak berangkat sekolah karena enggan disuruh praktik mengajarkan ajaran agama Islam, padahal dirinya sudah mengadakan perjanjian kalau dirinya menyekolahkan anak sudah menjalin perjanjian dengan kepala sekolah, bahwa ketika dalam proses belajar kalau ada pelajaran agama selain pelajaran yang dianut Budi jangan dipaksa untuk mengikutinya.

(22)

Santoso). Didaerahnya Larekrejo, ada dua agama, Islam dan Sedulur Sikep, nah dalam raport tertera Islam, itu hanya sekadar formalitas saja, karena memang negara tidak mencantumkan agama Sedulur Sikep sebagai agama resmi Negara (Samiyono: 2010; 102).

Budi, seandainya di Desanya ada yang menganut agama Budha, untuk hanya sekadar memperoleh ijin dalam hal administrasi di pemerintahan akan menginduk terhadap agama Budha. Hanya saja kebetulan di desa tersebut tidak ada yang menganut agama Budha. Ketika anaknya disuruh praktik melakukan praktik sholat jangan sampai terjadi lagi. Akhirnya guru agama dan guru BK merasa kebingungan kemudian Budi disarankan agar permasalahan ini dimusyawarahkan dengan kepala sekolah. Waktu anak Samin mengalami penolakan kebetulan kepala sekolah yang sekarang menjabat, berbeda dengan kepala sekolah saat Budi melakukan perjanjian. Pada waktu anaknya masuk kepala sekolah belum ganti. Dan sewaktu ada masalah kepala sekolah sudah berganti yang bernama Djamin.

(23)

Pertama kepala sekolah mempertanyakan ajaran atau keyakinan yang dianut oleh keluarga Budi. Berikut juga meminta penjelasan mengenai ajaran-ajarannya. Setelah berembug antara Djamin sebagai kepala sekolah dan Budi sebagai orangtua siswa berikut dengan penjelasan ajaran agama Sedulur Sikep.

Dengan adanya kesepakatan seperti itu, lalu kepala sekolah merasa kebingungan dengan nanti nilai apa dan juga mata pelajaran apa yang tertera di raport anak muridnya. Ketika dalam kebingungan akhirya Budi menawarkan diri untuk memberikan penilaian terhadap anaknya yang darinya ini diajar oleh agamanya sendiri. Dalam pandangan Budi, kepala sekolah yang baru ini (Djamin) sangat baik, karena dapat memberikan kebijakan yang membuat hati Budi legowo. Pada pertemuan itu Budi menjelaskan terkait ajaran agamanya, dan menurut Djamin agama tersebut memang dianggap baik, dan yang terpenting anak tersebut dididik agar terus bersekolah.

(24)

karena bisa menyekolahkan anaknya dengan bebas menganut keyakinannya. Waktu melakukan pengisian Budi merasa kerepotan, karena tidak tau nilai apa yang harus diberikan. dari ketidaktahuannya, tanpa rasa malu Budi bertanya tentang standar nilai apa yang harus diberikan kepada anaknya. Pihak kepala sekolah akhirnya menerangkan mengenai standar nilai bagi siswa agar bisa lulus. Hal ini diterangkan Djamin sebagai kepala sekolah.

Bagi penulis, kejadian di atas sangat mungkin terjadi di daerah lain dan di komunitas penghayat kepercayaan lain daerah, sehingga menjadi perlu bagi pemerintah untuk membuat payung hukum tentang pemenuhan pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan agar hak dasar sebagai warga negara untuk mendapat pendidikan dijamin konstitusi.

d. Persepsi dan Harapan Siswa dan Orang Tua Siswa

Sedulur Sikep atas Pelaksanaan Pendidikan

Agama di Sekolah.

(25)

anak-anak mereka terima. Sebelumnya anak-anak dipaksa untuk mengikuti salah satu diantara 6 agama resmi negara, tetapi kemudian sekolah telah memberikan kebebasan orang tua sedulur Sikep untuk memilih sendiri keyakinan bagi anak-anak mereka.

Dalam FGD yang dilakukan bersama antara antara siswa dan wali murid dari penghayat Sedulur Sikep, teradapat kesan yang sangat kuat bahwa Sedulur Sikep menganggap sekolah sudah “mending” memberikan kebebasan bagi Sedulur Sikep daripada dipaksa untuk belajar agama tertentu, seperti kasus-kasus yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya.

Pihak sekolah memang tidak bisa berbuat banyak atas permasalahan ini dan tidak bisa memberikan lebih atas pendidikan agama bagi penghayat selain membebaskannya untuk mengikuti atau tidak. Mungkin lantaran pasal 29 tidak jelas, dijamin kemerdekaannya memeluk agama masing dan kepercayaannya itu. Kalau kepercayaan diakui sebagai agama, maka negara dengan akal sehatnya akan berpikir tentang itu (wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah SMP 2 Undaan).

(26)

pendidikan formal adalah sebuah keharusan untuk usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, namun mereka meminta agar pihak sekolah tidak mengganggu kepercayaannya. Karena itu hak mendasar bagi seluruh umat hidup untuk mempunyai kepercayaan tertentu.

(27)

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka pembahasan hasil penelitian difokuskan pada pembahasan tujuan penelitian yang meliputi: sub bahasan analisis kebijakan pendidikan agama bagi penganut agama kepercayaan lokal (agama Adam); analisis atas fenomena pendidikan agama bagi penganut kepercayaan lokal; serta analisis atas persepsi siswa dan orang tua siswa atas pelaksanaan pendidikan agama bagi penganut kepercayaan dan masyarakat adat Samin. Hasil pembahasan tersebut dapat diuraikan dalam penjelasan analisis sebagai berikut.

4.2.1 Review Kebijakan Negara Atas Pendidikan

Agama bagi Penganut Kepercayaan

Sebagaimana telah disampaikan dalam temuan hasil penelitian dalam aspek kebijakan di bagian sebelumnya, maka pada aspek kebijakan dapat diuraikan bahwa:

a. Negara Mengakui Kebebasan Agama Setiap

Warga Negara sebagai Hak Asasi Manusia.

Pengakuan ini termuat dalam sila pertama

Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha

(28)

Sebagai falsafat negara, secara operasional setia Sila dalam Pancasila kemudian di jadikan pedoman Undang-Undang Dasar 1945. Maka pada perubahan Keempat UUD 1945 pada Pasal 28E ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran”.

Pasal 28I ayat 1 berbunyi:

Hak beragama dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Pasal 28G ayat 1 berbunyi:

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.

Pada Pasal 29 ayat 2 disebutkan:

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4 dinyatakan:

(29)

Selain itu patut dicermati kembali dalam dokumen internasional yang berhubungan dengan pendidikan agama. Dalam Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa 1981 tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi yang didasarkan pada Agama atau Keyakinan Pasal 5 ayat 3 disebutkan:

Anak akan dilindungi dari setiap bentuk diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan. Dia akan diasuh dalam semangat pemahaman, toleransi, persahabatan antar sesama, perdamaian dan persaudaraan universal, penghormatan terhadap kebebasan beragama atau keyakinan orang lain, dan dalam kesadaran penuh bahwa energi dan bakatnya harus dicurahkan pada pelayanan sesama manusia.

Tentang pendidikan, deklarasi tersebut mengatakan dalam Pasal 5 ayat 2:

Setiap anak akan menikmati hak untuk mengikuti pendidikan dalam bidang agama atau keyakinan sesuai dengan harapan atau keinginan orangtuanya, atau walinya yang sah –bila memang dia berada di bawah perwalian– dan dia tidak dapat atau tidak boleh dipaksa untuk menerima pengajaran agama atau keyakinan yang tidak sesuai dengan keinginan orangtuanya atau walinya yang sah, dengan dilandasi prinsip demi kepentingan terbaik anak.

(30)

pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka.

Selain dalam deklarasi 1981, tujuan dan prinsip dalam pendidikan yang harus diindahkan oleh negara juga termaktub dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989. Pasal 3 ayat 1

mengatakan, “Dalam semua tindakan yang

menyangkut anak-anak, . . . kepentingan terbaik dari anak-anak harus menjadi pertimbangan utama”.

Dalam Pasal 29, 1 D ditulis, Pendidikan diarahkan untuk:

Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawab dalam suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persaudaraan diantara semua orang, kelompok etnis, bangsa dan agama dan orang-orang pribumi.

(31)

kepercayaan hanya tergantung pada pembatasan seperti yang ditetapkan dalam undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral umum, atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain (Pasal 14. 3).

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik juga mengatur kebebasan orangtua dalam menentukan pendidikan agama bagi anak-anaknya. Dalam Pasal 18 ayat 4 disebutkan:

Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Aturan serupa (kebebasan orangtua menentukan pendidikan agama anaknya) juga diatur dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal 13 ayat 3 mengatakan:

(32)

Berdasarkan penjelasan dan prinsip utama jaminan atas hak beragama warga negara, maka secara prinsip tugas negara menjamin pengakuan kebebasan beragama dalam berbagai sendi layanan negara, termasuk yang paling krusial adalah layanan negara pada pendidikan formal.

Prinsip ini menunjukkan bahwa kebijakan maupun implementasi pendidikan agama di sekolah harus memperhatikan prinsip non diskriminasi dan memiliki tujuan untuk memajukan toleransi bagi siswa didik.

b. Negara gagal Menjamin Kebebasan Beragama

dalam Kebijakan Pendidikan.

(33)

cerita bagi penghayat karena mereka tak dapat bantuan ataupun jaminan tapi justru diarahkan ke pandangan yang sehat berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Terhadap klausul ini, Mahkamah Konstitusi saat sidang judicial review tahun 2010 menyebutkan bahwa maksud dari menyalurkan ke arah pandangan yang sehat adalah tidak bertujuan melarang. Tetapi karena konteks saat itu (tahun 1960-an) banyak aliran yang meminta korban manusia untuk upacara, maka pandangan itu dianggap tidak sehat.

(34)

Imbas tersebut menjadikan penghayat kepercayaan sering mendapatkan perlakuan diskriminasi oleh negara, selain itu juga terkadang pandangan mayoritas masyarakat atas minimnya pengetahuan sehingga mereka melakukan tindakan diskriminatif. Sebagai contoh semisal warga menolak pemakamkan penghayat yang meninggal karena masyarakat menganggap pemakaman tersebut – misalnya- khusus untuk orang muslim saja.

Merujuk pada pendapat Johan Efendi (dalam Sihombing, 2008), penulis menetapkan beberapa permasalahan yang menyebabkan kebijakan dan praktik diskriminasi di Indonesia masih terjadi. Pertama, terkait dengan ide bahwa semua warga

negara harus beragama, akibatnya mereka yang menganut kepercayaan lokal menjadi korban diskriminasi karena mereka tidak dianggap sebagai agama. Dampak yang lebih dihadapi mereka adalah hak-hak sipil sebagai warga negara tidak terpenuhi, parahnya sebagian masyarakat masih menganggap bahwa penghayat kepercayaan derajatnya lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang beragama resmi.

(35)
(36)

yang berbeda agamanya dari penduduk lokal yang lebih dulu bertahun-tahun mengakui agama tertentu sebagai keyakinan.

Pada bidang pendidikan agama di sekolah, faktor-faktor tersebut kemudian mempengaruhi sendi-sendi kebijakana operasional di bidang pendidikan. Mulai dari kebijakan pendidikan nasional nomor 20 tahun 2013 dan turunannya, hinggan pendidikan peningkatan sumber daya manusia dilingkup sekolah formal meliputi guru, kepala sekolah, staff dan sebagaianya dilatih pada pelayana pendidikan agama di enam agama resmi negara. Sehingga pada waktu menghadapi situasi kasus keyakinan seperti dalam penelitian ini (Sedulur Sikep masyarakat adat Samin), pembenaran atas mainstream pengajaran pendidikan menjadi ukuran utama.

(37)

pendidikan menterjemahkan pengakuan atas Hak Beragama Setiap Warga Negara sebagaimana telah diuaraikan dalam penjelasan sebelumnya. Terjadi gap kebijakan yang justru mereduksi ketetapan pengakuan negara atas kebebasan beragama menjadi pada enam agama saja. Faktor yang mempengaruhi adalah pertama, Undang-Undang Sisdiknas No 3 Tahun 2003 justru mereduksi pengakuan negara atas keragaman beragama dan keyakinan.

Kedua, kegagalan kebijakan pendidikan menerapkan pendekatan-pendekatan lokal dalam pelaksanaan pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan dan masyarakat adat Samin. Berdasarkan hasil penelitian diatas, diuraikan bahwa kebijakan pendidikan telah gagal mengembangkan dua pendekatan penting untuk memberikan layanan pendidikan agama bagi kelompok minoritas dan masyarakat adat. Sehingga pada akhirnya terjadi ketegangan secara laten berangkat dari kebutuhan dua pihak (sekolah dan penghayat kepercayaan) yang berbeda memandang konsep dan kebutuhan pendidikan agama bagi siswa-siswa adat.

(38)

(2010), dalam praktiknya, pengelolaan pendidikan agama bisa dibagi dalam dua pendekatan, confessional dan non-confessional. Pendekatan berdasarkan agama yang dianut atau confessional berarti komunitas keagamaan menentukan atau bertanggungjawab atas kurikulum, kualifikasi dan pengakuan terhadap guru pendidikan agama serta buku-bukunya. Jenis pendidikan agama seperti ini pada umumnya ditujukan bagi komunitas agama tertentu. Tetapi ada juga penganut agama lain yang tidak harus menjadi bagian dari komunitas tertentu bisa mengikuti pelajaran tersebut. Boleh seorang anak yang beragama Islam mengikuti pelajaran agama Kristen tanpa ia harus menjadi Kristen. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah memfasilitasi anak dalam membentuk identitas dalam menjawab jika diajukan pertanyaan mengenai makna hidup, kematian, cinta, kebahagiaan dan lainnya.

(39)

membantu siswa membuat pilihannya sendiri. Pendekatan ini bisa difokuskan dalam satu agama atau banyak agama.

Model confessional kerap juga dikenal sebagai model “ghetto” atau pemisahan. Pendidikan model pemisahan ini maksudnya adalah memisahkan anak-anak didik untuk menyerap pendidikan berdasarkan agamanya masing-masing. Tujuan dari pemisahan adalah untuk membangun semangat kelompok. Kecenderungannya adalah pendidikan agama yang eksklusif dan tertutup. Akhirnya

terbentuklah “mentalitas ghetto.” Sementara

pendekatan non-confessional agak dekat dengan model integrasi. Siswa tidak dipisah berdasarkan agama, tetapi ia belajar bersama dalam satu ruang dan tidak hanya mempelajari agama yang mereka anut tetapi juga tradisi atau keyakinan lainnya.

4.2.2 Alternatif Pengelolaan Pendidikan Agama

Bagi Sedulur Sikep

(40)

diuraikan beberapa alternatif pengelolaan pendidikan agama bagi Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus dimana penelitian ini dilaksanakan (FGD eLSA, 2013).

Pertama, pemerintah bisa tetap berpegang dengan pola seperti sekarang dengan pola konfesional terpisah dengan area institusional sekolah. Tapi konfesional terpisah ini harus dirubah substansi pelajarannya. Tidak semata-mata konfesional-tradisional, tetapi konfesional-inklusif. Muatan pendidikan agama harus didorong pada pengembangan sikap toleran dan inklusif. Namun, model ini tetap menyisakan problem bagi kelompok penghayat. Bagaimana mereka bisa masuk dalam sistem ini. Persoalan ini hanya menyisakan satu solusi, ada pendidikan tentang penghayat di sekolah negeri.

(41)

ini maksudnya adalah sekolah tetap menyelenggarakan pendidikan enam agama, sementara pendidikan penghayat dibedakan pengelolaannya dengan memberikan kewenangan pada kelompok penghayat.

Ketiga, memberlakukan model konfesional terpisah untuk semua kelompok agama tanpa terkecuali, dimana pendidikan agama menjadi tanggung jawab kelompok agamanya masing-masing. Dengan begitu, sekolah negeri bersih dari pendidikan agama.

Keempat, menerapkan model untuk negara-negara multireligi sebagai pengganti model ketiga, yakni model Pluralistik-Terintegrasi atau Etika-Terintegrasi. Pendidikan agama bisa digantikan oleh misalnya pendidikan etika, budi pekerti atau pendidikan tentang agama, dan materi sejenis. Mereka masih ada dalam lingkungan sekolah, satu kelas, satu ruangan dan menyerap informasi tentang agama-agama yang ada di Indonesia. Jadi bukan lagi pendidikan agama, tetapi pendidikan tentang agama-agama, yang lokal maupun interlokal.

(42)

Gambar

Tabel 4.1.

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang dipakai adalah cyclic strategy , pada strategi ini ada kalanya suatu tahap perlu di ulang kembali untuk menampung umpan balik ( feed back) sebelum

Februari 2014.. Arie Setiawan Prasida, 3) Michael Bezaleel Wenas. Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50771,

Adanya pengaruh daya tarik iklan rasional secara signifikan terhadap keputusan pembelian dikarenakan pembuat iklan menekankan pada nilai inti yang dimiliki produk

Balanced scorecard is developed into four perspectives: financial perspective, customer perspective, internal business perspective and learning and growth perspective.. The method

1 PARIWISATA 2 GALERI 3 HOTEL 4 BERITA ADMINISTRATOR MASYARAKAT Wisata Kuliner Budaya Ins/Upd/Del View view view view. Photo

pokdarwis bahwa salah satu wisata unggulan di Desa Tulungrejo yaitu wisata petik apel merupakan ide dari pemuda karang taruna yang menginginkan supaya potensi utama di

Diajukan untuk memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Departemen Psikologi Pendidikan Dan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dibawah ini akan dipaparkan beberapa kesimpulan yang patut ditelaah dari penelitian ini