• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ulumul Hadits dan Sejarah Penghimpunanny

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ulumul Hadits dan Sejarah Penghimpunanny"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Ulumul Hadis Raihanah, S.Pd.I. M.Ag.

“ULUMUL HADIS DAN SEJARAH PENGHIMPUNANNYA MELIPUTI: PENGERTIAN, SPESIFIKASI, PEMBAGIAN CABANG, SEJARAH DAN

KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS ULUMUL HADIS “

DISUSUN OLEH KELOMPOK II

Erni Riswati : 1401250857

Hidayatun Nufus Annisa : 1401251507 Khalifatul Luthfhia : 1401250878

Zeni Nurlita Sari : 1401250930

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA BANJARMASIN

(2)

KATA PENGANTAR

م

م س

س بمِ همللاِ ن

م ْمحسررلاِ م

م ِيحمررلا

Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul :

“ULUMUL HADIS DAN SEJARAH PENGHIMPUNANNYA MELIPUTI: PENGERTIAN, SPESIFIKASI, PEMBAGIAN CABANG, SEJARAH DAN

KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS ULUMUL HADIS

Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para Sahabatnya yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya dan telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang yaitu Addinul Islam.

Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Ulumul Hadis yaitu Ibu Raihanah, S.Pd.I. M.Ag. yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini. Dan tidak lupa diucapkan terima kasih kepada semua anggota kelompok 2 yang telah mencurahkan segala kemampuannya demi tersusunnya makalah ini.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak” begitu pun juga makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.

Semoga makalah ini memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis khususnya, dan memberikan banyak manfaat kepada pembaca pada umumnya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw. “Sebaik-baik diantara manusia sekalian, ialah orang yang memberi manfaat kepada orang lain”.

Banjarmasin, 29 September 2014

(3)

DAFTAR ISI

KATAِ PENGANTAR DAFTARِ ISIِ

BABِ Iِ PENDAHULUAN A. Latarِ Belakang B. Indentifikasiِ Masalah BABِ IIِ PEMBAHASAN

A. Pengertianِ Ulumulِ Hadist B. Spesifikasiِ

C. Pembagianِ Cabangِ D. Sejarahِ Ulumulِ Hadist E. Kitab-KitabUlumulِ Hadits BABِ IIIِ PENUTUP

(4)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ulumul Hadis

Ilmu hadis (‘Ulum Al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu).1 Sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.

Secara etimologis, seperti yang diungkapkan oleh as-Suyuthi, ilmu hadis adalah, “Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW. dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-‘adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya”.2

Adapun pengertian hadist secara terminologis menurut Ahli Hadist:

ههلهاووححأووو هلاعوفواووو موللوسووو ههيحلوعو ههللا يللوصو ههلهاووقحاو

“Segala ucapan, segala perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi SAW” (Mahmud Thahan, 1978 : 155)

Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW. Para ulama ahli hadist banyak yang memberikan definisi ilmu hadist, di antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani:

ييوهرحمولحاوو يوهارلولا لهاحوبه ةهفورهعومهلا دعهاووقولحا

Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkan”

Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadist adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.

Yang dimaksud ilmu hadits, menurut ulama mutaqoddimin adalah :

1 Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits. Terj. Mujio. Bandung: Remaja Rosda Karya. 1994. Hlm. 13

(5)

لهاووححاو ةهفورهعحمو ثويححو نحمو موللوسووو ههيحلوعو ههللاىللوصو لهوحسهرلولابه ثهيحدهاحولواح لهاصوتلهاه ةهيلوفهيحكو نحعو ههيحفه ثهحوبحيه ميلحعه

.اععاطوقهنهوو لعاصوتلهاه دهنوسلولا ةهيوفهيحكو ثهيححو نحمهوو ةةلوادوعوووطةبحظووو اهوتهاولورو

Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya”.

Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang menggunakan bentuk ‘ulum al-hadits, seperti Ibnu Salah (w. 642 H/1246 M) dalam kitabnya ‘Ulum Al-Hadits, dan ada juga yang menggunakan bentuk ‘ilm al-hadis, seperti Jalaludin As-Suyuthi dalam mukadimah kitab hadisnya, Tadrib Ar-Rawi. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkkut-paut dengan hadis Nabi SAW. Yang banyak macam dan cabangnya. Hakim An-Naisaburi (321 H/933 M-405 H/1014 M) misalnya, dalam kitabnya Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad Bin Nasir Al-Hazimi, ahli hadits klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.3

Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.

1. Hadits Riwayah

Menurut bahasa riwayah dari akar rawa, yarwi, riwayatan. Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan.

Yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah, ialah :

رةيحرهقحتووحاو لةعحفهوحأو لةوحقو نحمه موللوسووو ههيحلوعو ههللاىللوصو يلهبهنلولاىلوإه فويحضهأه امو لهقحنو ىلوعو مهوحقهيو ىذهللوا مهلحعهلحاو

.ارعرلوحومه اقعيحقهوو لعقونو ةةيلوقهلهخهوحأو ةةيلوقهلحخو ةةفوصهوحأو

(6)

Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah laku

Ibn al-Akfani, sebagaimana dikutip oleh as-Suyuti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah ialah:

.اهوظهافولحاو رويحرهححتووو اهوطهبحضووو اهوتهيواوورهوو ههلهاعوفحأووو موللوسووو ههيحلوعو ههللاىللوصوىبهنلولا لهاووقحأوىلوعو لهمهتوشحيو ميلحعه

Ilmu pengetahuan yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi saw, baik periwayatannya, pemeliharaannya, maupun penulisan atau pembukuan lafaz-lafaznya”.

Jadi, yang dimaksud dengan ilmu hadis riwayah, ialah;

“Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,tabi’at, maupun tingkah lakunya”.

Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW., sahabat., dan tabi’in, yang meliputi:

a. Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat(rawi) kepada periwayat lain.

b. Cara pemeliharaan, yakni penghapalan, penulisan, dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang ‘adalah (ke-‘adil-an) sanad, syadz,(kejanggalan), dan ‘illat (kecacatan) matan. 4

Ilmu hadis riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW. Dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut, ilmu ini juga bertujuan agar umat islam menjadikan Nabi SAW. Sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT. ,

(7)

       

    



21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Q.S. Al-ahzab[33]; 21)

Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Suriah).

2. Hadits Dirayah

Istilah ilmu hadis dirayah, menurut As-suyuthi, muncul setelah masa Al-Khatib Al-Baghdadi, yaitu pada masa Al-Al-Khatib Al-Baghdadi, yaitu pada masa Al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul hadits, ‘ulum al-hadits, musththalah al-al-hadits, dan qawa’id al-tahdits.5

Berikut definisi ilmu hadis dirauah menurut At-Tirmidzi :

.كولهذو رهيحغووو لهاجورلهلا تهافوصهوو ءهادولواحوو لهمهحوتولا ةهيلوفهيحكووو دةنوسووو نةتحمو لهاووححاواهوبه يرهدحيو دلهحوته نهيحنهاووقو

Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain”.

Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.

Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung didalamnya yang turut memengaruhi kualitas hadis tersebut.

(8)

Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naqd as-sanad(kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian, karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi(kebenaran) jalur periwayatan, mulai sahabat kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.

Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut :

a. Ittishal as-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm), atau samar.

b. Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl(adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah (terpercaya) yangharus dimiliki seorang periwayat.

c. Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah lainnya.

d. Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya baik atau sempurna. Syadz dan illat adakalanya terdapat juga pada matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang mendalam.

Kajian terhadap masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matan (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian, karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah SAW. Pokok pembahasannya melliputi:

a. Kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi.\

(9)

terjadi pada masa Nabi Saw. Serta mencerminkan fanatisme golongan yang berlebihan.

c. Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan makna yang umum dikenal.

Faedah mempelajari hadits dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) dilihat dari sudut matannya. Dengan ilmu hadis dirayah, kita dapat meneliti hadis mana yang dapat dipercaya berasal dari Rasulullah Saw. , yang sahih, dhaif, dan maudhu’ (palsu).6

B. SPESIFIKASI HADIS

Seperti dijelaskan bahwa pembukuan hadis di sekitar abad kedua Hijriah yang dilakukan para pemuka hadis dalam rangka menghhimpun dan membukukannya semata-mata didorong oleh kemauan yang kuat agar hadis Nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnyapara penghapalnya. Mereka menghimpun dan membukukan semua hadis yang mereka dapatkan beserta riwayat dan sanadnya masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap pembawanya (para rawi) begitu pula terhadap keadaan riwayat dan marwinya. Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhaddisin merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Al-Madani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmuzi dan lain-lain.

Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak(spesialis) dalam satu kitab khusus ialah Al-Qadli Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (2.630 H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Rawi Was Sami’. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makri fatu Ulumil Hadis. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Na’dim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah

(10)

periwayatan hadis yang diberi nama Al Kifayah dan Al-Jami’u Liadabis Syaikhi Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadis.

Begitulah selanjutnya bermunculan ahli hadis yang menyusun kitab Mustalahul Hadis dengan berbagai macam sistem dan bentuk yang berlainan, seperti Imam As-Suyuti dengan kitab karyanya yang bernama Alfiyats, At-Taqrib dan At-Tadrib, M. Mahfud At-Turmuzi dengan kitabnya yang bernama Manhaj Azawin Nadai, Al-Hafid bin Hajar Al-Asqalani dengan kitabnya Nuhabtul Fikar.7

C. PEMBAGIAN CABANG HADIS

Pada perkembangan selanjutnya, para ulama menyusun dan merumuskan cabang-cabang ilmu hadis. Karena hal ini dirasa perlu untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat dikatakan maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Sehingga muncullah berbagai macam cabang ilmu hadis. Sebelum itu yang lebih dahulu muncul adalah ilmu hadist riwayah dan ilmu hadist dirayah, dan setelah itu barulah cabang cabang ilmu hadist seperti : Ilmu Rijal Al-Hadist, Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, Ilmu Fannil Mubhamat, Ilmu ‘Ilali Hadist, Ilmu Gharib Al-Hadits, Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh, Ilmu Talfiq al-Al-Hadits, Tashif Wa At-Tahrif , Ilmu Asbab Al-Wurud Al-Hadits, dan Ilmu Mushthalah Al-Hadist. Secara singkat cabang cabang ilmu hadist diatas akan diuraikan sebagai berikut :

1. Ilmu Rijal Al-Hadist

Munzier suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu untuk mengetahui para perawi haidst dalam kapasitasnya sebagai perawi hadist.

Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:57) Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.

Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari (1994:233) mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu

(11)

Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah :

a) Konsep tentang rawi dan thabaqah b) Rincian thabaqah rawi

c) Biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah

Bagian dari ‘ilmu rijal al-hadits ini adalah ‘ilmu tarikh rijal al-hadis. Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis, jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya.8

Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dalam memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menyebutkan sumber-sumber pemberitaannya.

Kedudukan ilmu ini sangat penting dalam lapangan ilmu hadist, karena, sebagaimana diketahui bahwa objek kajian hadist, pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Munzier Suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist ini lahir bersama sama dengan periwayatan hadist dalam islam dan mengambil posisi khusus untuk mempelajari persolan-persoalan disekitar sanad.

Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadist dari Rasullah SAW, dan keadaan para perawi yang menerima hadist dari para sahabat dan seterusnya. Dan dengan ilmu ini kita juga dapat mengetahui sejarah ringkas para perawi hadist, mazhab yang dipegang oleh para perawi, dan keadaan para perawi dalam menerima hadist.

Kitab kitab yang disusun dalam ilmu ini beraneka ragam. Seperti halnya dikutip dalam buku Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:58) ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan para perawi yang dipercaya saja. Ada yang menerangkan riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudalis, atau para pemuat hadist maudu. Dan ada yang menerangkan sebab sebab dianggap cacat dan sebab sebab dipandang adil dengan menyebut kata kata yang dipahami untuk itu serta martabat perkataan. Seperti

(12)

pada abad ke tujuh hijrah Izzudin Ibnu Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah. Pada abad kesembilan hijrah, Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani menyusun kitabnya yang terkenal denagn nama Al Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan al istiah dengan usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak trdapat dalam kitab kitab tersebut. Kemudian kitab ini diringkas oleh As Suyuti dalam kitab Ainul Ishobah. Al bukhori dan Imam Muslim juga telah menulis kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadist saja yang bernama Wuzdan.

Di anatar kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini adalah Al-isti’ab fi ma’rifah Al-ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), Al-Ishabah fi Tamyiz As-Sahabah, Tahzib At-Tahzib karya Ibnu hajar Al-Asqalani, dan Tahzib Al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusuf bin Az-Zakki Al-Mizzi (w. 742 H).9

2. Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadist, akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebagai berikut :

Munzier Suparta (2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada para perawi hadist, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan At-Ta’dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit. Sementara ulama lain mendefinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lapadz-lapadz tertentu.

(13)

Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui bahwa ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadistnya dapat diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.

Munzier Suparta (2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup perbuatan : Bid’ah yakni melakukan perbuatan tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist; Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.

Adapun orang-orang yang melakukan Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berilmu pengetahuan, Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.

Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini berbeda beda, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu Rijalus Sanad. Disamping itu sistematis pembahasannya juga berbeda beda. Ada sebagian yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada juga yang mengumpulkan keduanya. Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu, antara lain :

1. Ma’rifatur-rijal, karya Yahya Ibnu Ma’in.

2. Ad-Dluafa, karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 – 252 H) 3. At-tsiqat, karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)

4. Al-jarhu wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 – 326 H)

5. Mizanul itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 – 748 H)

6. Lisanul mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 – 852 H)

(14)

Yang dimaksud Ilmu fannil mubhamat adalah “ Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam matan atau dalam sanad.”10

Di antara ulama yang menyusun kitab dalam masalah ini adalah Al-Khatib Al-Baghdady. Kitab Al-Khatib ini diringkas dan diteliti oleh An-nawawy dalam kitab Al-Isyarat ila Bayani Asma, Al-Mubhamat.

Rawi-rawi yang tidak disebutkan namanya dalam Shahih Bukhari diterangkan lengkap oleh Ibnu hajar Al-‘Asqalani dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.

4. Ilmu ‘Ilali Al-Hadist

Munzier Suparta (2006:35) menyatakan kata ‘Ilal adalah bentuk jama dari kata Al-‘Illah, yang menurut bahasa berarti penyakit atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah ‘Illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadist. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Ilal Al-Hadist menurut Muhadditsin adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan muttashil terhadap hadist yang munqathi, menyebutkan marfu terhadap hadist yang mauquf, memasukan hadist kedalam hadist lain, dan hal-hal yang seperti itu.

Beberapa buku lainnya juga, seperti Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir (1998:61) dan Endang Soetari menyatakan hal yang sama mengenai definisi Ilmu ‘Ilal Al-Hadist. Jadi secara singkat, Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadist.

Endang Soetari, menyatakan illat yang terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yaitu :

a) Lahir sanad shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.

b) Hadist Mursal dimusnadkan lahirnya.

c) Hadist mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda tempat tinggalnya.

(15)

d) Hadist Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi’in.

e) Meriwayatkan dengan an-‘anah suatu hadist yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa orang.

f) Berlainan sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.

g) Berlainan nama gurunya yang memberikan hadist dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau nama guru tidak disebutkan dengan jelas. h) Meriwayatkan hadist yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadist padanya.

i) Meriwayatkan hadist dengan sanad lain, secara waham terhadap hadist yang sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.

j) Memauqufkan hadist yang maufu.

Adapun beberapa ulama yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H) yakni kitab Ilal Al-Hadist. Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.

5. Ilmu Gharib Al-Hadits

Menurut Endang Soetari (2005:210), Ilmu Gharib al-Hadist adalah:

“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang terpakai oleh umum’.

Yang dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:

1. Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib

(16)

3. Memperhatikan penjelasan dari rawi selain shahabat.

Di sisi lain, dalam buku Ilmu Hadis karya Mudasir (2005:57), menurut Ibnu Shalah, yang dimaksud dengan Gharib al-hadis ialah: “Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena (lafal-lafal tersebu) jarang digunakan.” Mudasir menyatakan bahwa bahwa ilmu ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasulullah SAW. Wafat ketika banyaknya bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyaknya orang yang kurang memahami istilah atau lafal-lafal tertentu yang gharib atau sukar dipahami.

Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam bukunya (2001:116) bahwa Hadis gharib adalah Hadis yang diriwayatkan dari al-Zuhri atau rawi yang selevel dengan al-Zuhri dimana Hadis-hadisnya itu dikumpulkan oleh seorang rawi. Hadis gharib terbagi ke dalam dua begian, shahih dan tidak shahih. Dalam kategori tidak shahih, hadis gharib bisa berupa Hadis hasan juga bisa dla’if. Namun umumnya Hadis gharib tidak shahih. Hadis ini juga terbagi ke dalam dua klasifikasi berdasarkan pada pada kualitas sanad dan matan Hadis tersebut. Pertama , Hadis gharib baik dari segi matannya maupun sanadnya. Ini seperti pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi. Kedua, Hadis yang kegharibannya terdapat pada sanadnya saja, seperti pada Hadis yang matannya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, di mana salah seorang di antara mereka meriwayatkannya secara tunggal Hadis itu. Dalam kaitan ini, Ai-Titmidzi biasanya menggunakan teknis gharibun min badza al-wajh (gharib berdasar tinjauan ini. Namun sampai ssat ini tidak ditemukan Hadis gharib dalam segi matannya saja, tapi sanadnya tidak gharib. Kecuali jika ada Hadis tunggal yang populer di mana Hadist itu diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu disebut Hadis gharib yang masyhur dan juga gharib secara matannya saja tidak beserta sanadnya, jika dilihat dari salah satu dari dua jalurnya, seperti Hadis Innama al-a’malu bi al-niyyat.

(17)

karena penyendirian personalia itu sendiri. Berdasarkan pada bentuk penyendirian tersebut, kemudian hadits gharib terbagi pada dua macam: pertama, Hadits Gharib Mutlaq yakni hadits yang didalamnya terdapat penyendirian sanad dalam jumlah personalianya. Kedua, Hadis Gharib Nisbi yakni Hadis yang terdapat penyendirian dalam dalam satu sifat atau keadaan tertentu.

6. Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh

Menurut Drs. H. Mudasir dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa almansukh disini terbatas sekitar nasikh dan mansukh pada hadist. Beliau menyebutkan bahwa kata An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izzlah (menghilangkan), seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya menyalin kitab) yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai Dalam Al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 106: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 106)

Adapun An-Nasakh menurut Istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul adalah:“Syari’ mengangkat (membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian.”

Sedangkan menurut Endang Soetari dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:213) menyebutkan bahwa Ta’rif ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah:“Ilmu yang menerangkan Hadist-hadist yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya.”

(18)

diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.

Kitab-kitab yang disusun tentang Nasikh dan Mansukh Hadis, diantaranya yaitu: An-Nasikh wa Al-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah as-Sadusi (w.118 H), namun tidak sampai ke tangan kita, Nasikh Al-Hadis wa Mansukhikhi, karya Al-Hafidz Abu Bakar ahmad bin Muhammad Al-Atsram (w 261 H), Imam Ahmad, Al I’tibar fi An-Nasikh wa Al-Mansukh min Al-Atsar, karya Imam al-Hafidz an-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Hamadani (w. 584 H), An-Nasikh wa al-Mansukh, karya Abul Faraj Abdurrahman bin Ali, atau yang lebih dikenal Ibnu Al-Jauzi.11

7. Ilmu Talfiq al-Hadits

Ilmu Talfiq al-Hadits adalah “Ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadis-hadis yang berlawanan lahirnya.”12

Cara mengumpulkan dalam talfiq al-hadits ini adalah dengan men-takhsis -kan makna hadis yang ‘amm (umum), men-taqyid-kan hadis yang mutlaq, atau melihat berapa banyak hadis itu terjadi. Para ulama menamai ilmu hadis ini dengan Mukhtalif Al-Hadits.

Diantara para ulama yang telah merintis ilmu ini adalah Asy-Syafi’i (w. 204 H) dengan kitab Mukhtalif Al-Hadits-nya, dilanjutkan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Al-Thawawi (w. 321 H), Ibn Al-Jauzi (597 H) yang menyusun kitab At-Tahqiq, yang di-syarah dengan baik oleh Ahmad Muhammad Syakir.13

8. At-Tashif Wa At-Tahrif

Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya

11 Syaikh Manna Al-Qaththan. Mabahits fi’Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005. Hlm. 129.

(19)

(musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin iilmu bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffaz). Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengarannya yang diterima dari orang lain.

Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:216) Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah: “Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).

(20)

yang berartri kambibg. Ia pun akhirnya, karena salah memahami makna Hadis yang dimaksud, shalat dengan disertai kambing kecil.

9. Ilmu Asbab Al-Wurud Al-Hadits

Menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan al-habl (tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya. Adapun arti asbab menurut istilah adalah Segala sesuatu yang mengantar pada tujuan.Kata wurud (sampai, muncul) berarti : “Air yang memancar atau yang mengalir.” Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian asbab wurud al-hadist, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu al-hadist, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad, dinasakhkan, dan seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadist saat kemunculannya.”

Dari pengertian asbab wurud al-hadist seperti di atas, dapat dibawa pada pengertian ilmu asbab wurud al-hadist, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. Menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda RasulullahSAW tentang menyucikan air laut, yaitu, “ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadist ini dituturkan oleh Rasulullah SAW ketika seorang sahabat sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.

Menurut As-Suyuti, urgensi asbab wurud terhadap hadist sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadist, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an. Ini terlihat dari beberapa faedahnya antara lain dapat men-taksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak,menunjukkan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.Maka dengan memahami asbab wurud al-hadist ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadist dapat dipahami dengan mudah. Namun, tidak semua hadist mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab an-nuzul-nya.

(21)

antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).

10. Ilmu Mushthalah Ahli Hadits

Ilmu Mushthalah Ahli Hadits adalah ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah) yang dipakai oleh ahlil-ahli hadits.14

Ulama yang mula-mula menyusun kitab tentang ilmu ini adalah Abu Muhammad ar-Ramahurmuzy (w. 360 H). Kitab ini boleh dikatakan kitab yang cukup lengkap isinya. Kemudian, dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Ashbhani, Al-Khatib (w. 463 H), al-Hafidz ibn Shalah (463 H) dengan kitabnya Muqaddimah ibn Shalah.

Kitab-kitab tentang ilmu ini ada yang ditulis secara ringkas seperti Nukhbatul Fikar yang disusun oleh Al-“asqalani. Dan ada juga yang ditulis secara panjang lebar, seperti Taujihun Nadzar fi Ushulil Atsar karangan Asy-Syaikh Thahir Jaza’iry dan Qawa’idul Tahdits, karya Allamah Jamaluddin Al-Qasimi.15

D. SEJARAH PENGHIMPUNAN HADIS

Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya ditemukan oleh Khalifah Umar bin Al-Khattab (w. 23 H = 664 M). Ide itu tidak dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir, umat Islam terganggu perhatian mereka dalam mempelajari Al-quran. Kebijaksanaan Umar dapat dimengerti karena pada zaman Umar, daerah Islam telah makin luas; jumlah orang yang memeluk Islam makin bertambah banyak.16

14 Ash-Shidieqy. Op.cit. hlm. 165 15 Ibid. Hlm. 166.

(22)

Kepala negara secara resmi memerintahkan penghimpunan hadis Nabi ialah Khalifah Umar bin Abdul Al-Azis (w. 101 H = 720 M). Perintah itu antara lain ditujukan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhri (w. 124 H = 724 M), seorang ualam besar di Hijaz dan Syam.

Sebelum khalifah Umar bin Abdul Al-Azis mengeluarkan surat perintahnya itu, telah cukup banyak orang yang mencatat hadis, namun mereka melakukan hal itu bukan atas perintah resmi keppala negara. Di samping itu, berbagai hadis nabi yang tersebar dalam masyarakat belum seluruhnya terhimpun secara tertulis. Para periwayat hadis ketika itu masih lebih banyak yang mengandalkan hapalan daripada tulisan. Hal itu dapat dimengerti karena pada masa itu, hapalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan; dan orang-orang arab terkenal memiliki kemampuan hapalan yang tinggi; selain itu, para penghapal masih bannyak yang berpendapat bahwa penulisan hadis itu tidak diperkenankan.

Pada akhir abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoritis.

Perkembangan Penghimpunan Hadits Dibagi Atas 5 Periode :

1. Periode Nabi Muhammad (13 H-11H)

Nabi dangan tugas yang sangat suci yang dilakukan dengan cara dakwah menyampaikan dan mengajarkan risalah Islam pada umatnya, Nabi sebagai sumber hadits menjadi figure sentral yang mendapat perhatian segala sahabat, segala aktivitas beliau seperti: perkataan, parbuatan, dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak ikut menyaksikan. Ajaj Al-Khatib menjelaskan bahwa proses terjadinya hadits ada 3 dari berbagai sisi:

- Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan disampaika kepada lainnya.

(23)

- Segala amal perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan Syari’ah islamiah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat kemudian mereka menyampaikan kepada tabi’in.

2. Periode Sahabat

Karena terjadi banyak problem diantaranya kaum murtad kekhawatiran Umar bin Khatab dalam pembukuan hadits adalah Tassabbun/menyerupai dengan ahli kitab yakni yahidi dan nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikan dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka dalam kitab Tuhan mereka, Umar khawatir umat Islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca hadits, jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti melarang mengkodifikasikan untuk itu. Pada masa Ali timbul perpecahan diantara kalangan Umat Islam akibat konflik politik antara pendukung Ali dan Mu’awiyah umat Islam terpecah jadi 3 golongan:

- Khawarij : Golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian.

- Syiah : Pendukung setia terhadap Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan terhadap Ali.

- Jumhur Muslimin : Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan Ali ada yang mendukung Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.

Akibat perpecahan ini tidak segan-segan membuat hadits palsu (mawdhu) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan dan partai diatas, dan untuk dapat dukungan dari umat Islam, ulama tidak tinggal diam menghadapi pemalsuan hadits diatas, mereka berusaha juga kemurnian dengan serius, dengan mengadakan perlawanan keberbagai umat Islam.

• Periode Tabi’in

(24)

adanya penghimpunan dan pembukuan hadits karena beliau khawatir lenyapnya ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama, baik dikalangan sahabat maupun tabi’in, maka beliau menstruksikan kepada Gubenur diseluruh wilayah negeri Islam agar para ulama dan ahli ilmu penghimpun dan membukukan hadits.

Lihatlah hadits Rasulullah dan kemudian himpunlah ia demikian juga surat khalifah yang dikirim kepada Ibnu Hazm (W-117 H).

“Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada hadits Rasulullah sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.”

Tidak diketahui secara pasti siapa diantaranya ulama yang lebih dahulu dalam melaksanakan intruksi khalifah tsb, sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, sebagaimana bunyi teks diatas, pendapat lain mangatakan Ar-Rabibin Rahim Said bin Arubah dan Muhammad bin Muslim bin Asy-syhab Az-zahri, dan yang paling popular adalah Muhammad bin Muslim bin Asy-syhab Az-zahri.

• Periode Tabi’it Tabi’in

Artinya perode pengikut tabi’in yakni pada abad 14 H, yang disebut ulama dahulu/salaf/mutaqaddimin, sedangkan ulama pada berikutnya abad ke 4H dan setelahnya disebut ulama belakang khalaf/mutakharirin pada abad ke 3 H disebut kejayaan sunnah (Minlushur Al-Izdihar) atau masa keemasan (min al-ushutadz-dzanabiyah) maka lahirlah 6 buku induk hadits diantaranya adalah yang dijadikan pedoman dan referensi para ulama hadits berikutnya yaitu:

- Al-Jami” Ash-Shahih li Al- Bukhari (194-256 H)

- Al-Jami” Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hallaj al-Qusyayry (204-261H)

- Sunan An-Nasai (215-303H)

- Sunan Abu Dawud (202-276H)

(25)

- Sunan ibn Majah Al-Quzwini (209-276H)

Pada akhir abad ke 7 H Turki dapat menguasai daerah Islam kecuali bagian barat seperti Maroko dan sekitarnya, pada abad pertengahan 9 H Turki dibawah pemerintahan otonom berhasil merebut kota konstansi nopel dan dijadikan Ibu Kotanya, kemudian menaklukan Mesir dan melenyapkan khalifah Abbasyyah, turki semakin kuat akan tetapi bersamaan itu pemerintahan Islam di Andalusia dan Islam padam setelah memancarkan sinarnya selama 8 abad, belum lagi imperalis barat yang memperbudak Islam, hal ini menyebabkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang termasuk dalam pengabdianya terhadap agama. Karena kondisi diatas ulama hadits tidak bebas dalam menyampaikan dan menerima hadits, maka dilakukan secara murasalat (korespondensi) ijazan dan imla, metode ijazah artinya seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits yang ditulis oleh gurunya, metode imla artinya seorang guru hadits duduk di Mesjid (pada hari jum’at) kemudian dia menguraikan hadits itu baik dari segi kualitas, kandunganya dan lain-lain, dan yang hadir itu baik yang dilakukan oleh Zainuddin Al-Iraal (W. 806H) dan Ibnu Hajar Al-Asaalani (W. 852H)

• Periode Setelah Tabi’tabi’in

(26)

wa Al-Wa’i. Menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani,17 kitab ini belum membahas masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.

Kemudian muncul Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi (w. 405 H/1014 H) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits.

Kemudian, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Ash-Asfahani (w. 430 H/1038 H) dengan kitabnya, Al-Mustakhraj ‘Ala Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits. Setelah itu muncul Abu Bakr Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi(392 H/1002 M-463 H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadits, yakni Al-Kifayah fi qawanin Ar-Riwayah dan al-fami’li Adab asy-Syeikh wa As-Sami’.18

Selang beberapa waktu, menyusul Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshibi (w.544 H) dengan kitabnya Al-Ilma fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’, dan kitab-kitab lainnya yang terus bermuncullan dan perkembangan yang lebih baik lagi.

Di samping kitab ulumul hadits yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab ulumul hadis yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam.

E. KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS ULUMUL HADITS

1. Kitabِ Al-Muwatta’

a. Latarِ belakangِ penyusun

Ada ِ beberapa ِ versi ِ yang ِ mengemukakan ِ tentang ِ latar belakangِ penyusunِ al-Muwatta’.Menurutِ Noelِ J.ِ Coulsonِ problem

17 Ash-Shalih. Op.cit. hlm. 113-114

(27)

politikِ danِ socialِ keagamaanlahyangِ melatarbelakangiِ penyusun al-Muwatta’.

Versiِ lainِ menyatakan,ِ penulisanِ al-Muwatta’ِ dikarenakan adanya ِ permintaan ِ Khalifah ِ Ja’far ِ al-Mansur ِ ِ atas ِ usulan Muhammad ِ ibn ِ al-Muqaffa’ ِ yang ِ sangat ِ prihatin ِ terhadap perbedaan ِ fatwadan ِ pertentangan ِ yang ِ berkambang ِ saat ِ itu, dan ِ mengusulkan ِ kepada ِ Khalifah ِ untuk ِ menusun ِ undang-undangِ yangِ menjadiِ penengahِ danِ bisaِ dirterimaِ semuaِ pihak.

b. Penamaanِ Kitab

Tentangِ penamaanِ kitabِ al-Muwatta’adalahِ orisinilِ berasalِ dariِ Imamِ Malikِ sendiri.ِ Hanyaِ sajaِ tentangِ mengapaِ kitabِ tersebutِ dinamakanِ denganِ al-Muwatta’ِ adaِ beberapaِ pendapatِ yangِ muncul:

Pertama,ِ sebelumِ kitabِ ituِ disebarluaskanِ Imamِ Malikِ telahِ menyodorkanِ karyanyaِ iniِ diِ hadapanِ paraِ 70ِ ulamaِ Fiqhِ Madinahِ danِ merekaِ menyepakatinya.

Kedua,ِ pendapatِ yangِ menyatakanِ penamaanِ al-Muwattaِ karenaِ kitabِ tersebutِ ِ “memudahkan”ِ khalayakِ ummatِ Islamِ dalamِ memilihِ danِ menjadiِ peganganِ hidupِ dalamِ beraktivitasِ danِ beragama.

Ketiga,ِ pendapatِ yangِ menyatakanِ penamaanِ al-Muwatta’ karenaِ kitabِ al-Muwatta’ِ merupakanِ perbaikanِ terhadapِ kitab-kitabِ fiqhِ sebelimnya.

c. Isiِ Kitab

Kitabِ iniِ menghimpunِ hadis-hadisِ Nabi,ِ pendapatِ sahabat,ِ qaulِ tabi’in,ِ Ijma’ِ ahlِ al-Muwatta’ِ danِ pendapatِ imamِ Malik.

(28)

1) Ibnuِ Habbabِ yangِ dikutipِ Abuِ Bakarِ al-A’rabiِ dalamِ

Syarahِ al-Tirmiziِ menyatakanِ adaِ 500ِ hadisِ yangِ disaringِ dariِ 100.000ِ hadist.

2) Abuِ Bakarِ al-Abhariِ berpendapatِ adaِ 1726ِ hadistِ denganِ pericianِ 600ِ musnad,ِ 222ِ mursal,ِ 613ِ mauqaf,ِ danِ 285ِ qaulِ tabi’in.

3) Al-Harasiِ dalamِ “Ta’liqahِ fiِ al-Usul”ِ mengatakanِ kitabِ Malikِ memuatِ 700ِ hadisِ dariِ 9000ِ hadistِ yangِ telahِ disaring.

4) Abuِ al-Hasanِ bunِ Fahrِ dalamِ “Fada’il”ِ mengatakanِ adaِ 10.000ِ hadistِ dalamِ kitabِ al-Mawatta’

5) Arnoldِ Johnِ Wensinckِ menyatakanِ dalamِ al-Muwatta’ِ adaِ 1612ِ hadist

6) Ibnuِ Hazmِ berpendapat,ِ denganِ tanpaِ menyebutkanِ jumlahِ persisnya,ِ 500ِ lebihِ hadistِ musnad,ِ 300ِ lebihِ hadistِ mursal,ِ 70ِ hadistِ lebihِ yangِ tidakِ diamalkanِ Imamِ Malikِ danِ berpendapatِ hadistِ da’if.ِ

d. Kesimpulan

Dariِ paparanِ diِ atas,adaِ beberapaِ halِ yangِ perluِ diِ garisِ bawahiِ :

1) Kitabِ al-Muwatta’ِ disusunِ Imamِ Malikِ atasِ usulanِ khalifahِ ja’farِ al-Mansurِ danِ keinginanِ kuatِ dariِ dirinyaِ yangِ

berniatِ menyusunِ kitabِ yangِ dapatِ memudahkanِ umatِ islamِ memahamiِ agamanya

(29)

Tabi’in,ijma’ِ Ahlulِ Madinahِ danِ pendapatِ Imamِ

Malik.Menurutِ Fuatِ Abdulِ Baqi,al-muwatta’ِ memuatِ 1824ِ hadisِ denganِ kualitasِ yangِ beragamِ denganِ metodeِ penyusunanِ hadisِ berdasarِ klasifikasiِ hokum(abwabِ fiqhiyyah)

3) Tuduhanِ josephِ Schachtِ yangِ meragukanِ ketidakِ otentikan hadisِ dalamِ muwatta’ِ diِ tangkisِ olehِ Mustafaِ

al-A’zami.A’zamiِ menolakِ penelitianِ otentitasِ sanadِ hadisِ denganِ mendasarkanِ padaِ kitab-kitabِ fiqihِ sepertiِ al-muwatta’ِ al-syaibani,al-al-muwatta’ِ imamِ malikِ danِ al-ummِ alِ syafi’i.

2. Kitabِ Musnadِ Ahmadِ Ibnِ Hanbal

Imam ِ ahmad ِ ibn ِ hanbal ِ adalah ِ gambaran ِ seorang tokoh ِ yang ِ sederhana,merakyat ِ dan ِ mempunyai ِ komitmen keislaman ِ tinggi.kecintaan ِ beliau ِ pada ِ hadis ِ dan ِ kesetiaan padaِ nabiِ yangِ harusِ diِ bayarِ denganِ pengorbananِ fisikِ dan nonfisik,merupakan ِ satu ِ nilai ِ tambah ِ yang ِ harus ِ di hargai.Upaya ِ beliau ِ dalam ِ menyelaraskan ِ kata ِ dan sikap/tindakan ِ adalah ِ semata ِ konsistensi ِ dari ِ kecintaan tersebut.Keteguhanِ sikabِ ahmadِ memberinyaِ kekuatanِ untuk menghadapiِ mihnahِ danِ otoritasِ penguasa.

(30)

penting ِ yang ِ berharga ِ bagi ِ perumusan ِ pemikiran ِ dan penyelesaianِ masalahِ kontemporer.

Akhirnya, ِ semakin ِ banyak ِ pengalamanِ melihat ِ dunia, semakin ِ tinggi ِ kesadaran ِ membuka ِ pikiran ِ dan ِ semakin tinggi ِ tingkat ِ pendidikan ِ seseorang ِ maka ِ akan ِ semakin komphrensip ِ dia ِ melihat ِ suatu ِ masalah ِ dan menyelesaikannya.

3. Kitabِ Al-Sahihِ Al-Bukhari

a. Imam ِ Al-Bukhari ِ adalah ِ seorang ِ ahli ِ hadist kenamaan ِ yang ِ mendapat ِ gelar ِ tertingi ِ bagi ِ Ahli hadist ِ yaitu ِ Amir ِ Al-Mu’minun ِ fi ِ al-HAdist ِ dan disepakati ِ sebagai ِ pengarang ِ kitab ِ hadist ِ yang palingِ sahih.

b. Setelah ِ dilakukan ِ penelitian ِ terhadap ِ hadis-hadisnya, ِ kretiria ِ hadist ِ sahih ِ menurut ِ imam ِ al-Bukhari ِ adalah: ِ dalam ِ hal ِ persambungan ِ sanad ِ ia menekankan ِ adanya ِ informasi ِ positf ِ tentang periwayatِ bahwaِ merekaِ benar-benarِ bertemuِ ataw minimalِ satuِ zamanِ danِ dalamِ halِ sifatِ atawِ tingkat keilmuanِ periwatanِ iaِ menekankanِ adanyaِ kreteria palingِ tinggi.

c. Dalam ِ menyesun ِ kitabnya ِ ia ِ memakai ِ sistematika kitabِ sahihِ danِ sunanِ yaituِ denganِ memakaiِ istilah kitabِ danِ bab.

(31)

4. Kitabِ Sahihِ Muslim

Kitab ِ koleksi ِ hadist ِ nabi ِ Muhammad ِ SAW ِ yang penyusunnyaِ sangatِ dikenalِ sebagaiِ orangِ yangِ terpercaya

karena ِ integritas ِ kepribadian ِ dan ِ kapasitas

intelektualnya.kitab ِ ini ِ sangat ِ penting ِ untuk ِ di ketahui,dikaji,di ِ pahami ِ dan ِ di ِ jadikan ِ sebagai acuan,khususnyaِ olehِ umatِ islam.Studiِ menunjukkanِ bahwa hadis-hadis ِ yang ِ terdapat ِ dalam ِ kitab ِ ini ِ umumnya berkualitas ِ sahih,dan ِ merupakan ِ hasil ِ seleksi ِ yang ِ sangat teliti,ketatِ danِ cermatِ dariِ ratusanِ ribuِ hadis.Kitabِ iniِ disusun dalamِ rentangِ waktuِ yangِ sangatِ leluasa,susunanِ nyaِ sangat sistematis,dan ِ pengulangan ِ hadisnya ِ relatif ِ sangat sedikit.Namunِ demikian,dalamِ kitabِ iniِ punِ dapatِ beberapa hadisِ yangِ diِ kritik.Kritikِ yangِ munculِ terutamaِ bukanِ pada aspekِ sanadِ nyaِ tetapiِ lebihِ padaِ matannya,halِ itupunِ lebih di ِ sebabkan ِ karena ِ adanya ِ perbedaan ِ pemahaman ِ atau pemaknaan.

5. Kitabِ Sunanِ Abuِ Daud

Abu ِ dawud ِ al-sijistani ِ merupakan ِ ulama ِ besar ِ ahli hadisِ yangِ menulisِ kitabِ sunanِ abuِ dawud.ِ Kitabِ sunanِ abu dawud ِ di ِ susun ِ berdasarkan ِ bab-bab ِ fiqih ِ yang ِ dimulai dengan ِ bab ِ al-taharah ِ dan ِ di ِ akhiri ِ bab ِ al-adab.di dalamnya,hanyaِ memuatِ hadisِ yangِ marfu’yakniِ sumberِ dari nabiِ Muhammadِ sawِ danِ hadis ِ lainnya ِ mauqufِ danِ maqtu tidakِ dimuat

6. Kitabِ Sunanِ Al-Tirmizi

(32)

al ِ tirmizi ِ pada ِ abad ِ ke-3 ِ H,yakni ِ periode ِ “penyempurnaan dan ِ pemilahan”.kitab ِ al ِ tirmizi ِ ini ِ memuat ِ seluruh ِ hadis kecualiِ hadisِ yangِ sangatِ yangِ sangatِ da’ifِ danِ munkar.satu spesifikasiِ kitabِ al-tirmiziِ adalahِ adanyaِ penjelasanِ tentang kualitasِ danِ keadaanِ hadisnya.ketiga,melaluiِ kitabِ jami’ِ al-sahih ِ ini ِ pula ِ al-tirmizi ِ memperkenalkan ِ istilah ِ hadis hasan,yangِ sebelumnyaِ hanyaِ dikenalِ istilahِ hadisِ sahihِ dan hadisِ da’if.kriteriaِ iniِ denganِ konsistenِ diaplikasikanِ al-tirmizi dalamِ kitabnyaِ tersebut.

7. Kitabِ Sunanِ al-Nasa’i

Kegiatan ِ pendokumentasian ِ hadis ِ sebagai ِ bagian ِ dari kegiatan ِ penelitian ِ hadis ِ setelah ِ Nabi ِ wafat ِ terus berkembang,denganِ memunculkanِ berbagaiِ kitabِ hadisِ dan mempunyai ِ metode ِ serta ِ karakteristiknya ِ masing-masing. Kitab ِ hadis ِ sunan ِ al-nasai’ ِ di ِ tulis ِ dengan ِ menggunakan metode ِ al-sunan,yaitu ِ metode ِ penulisan ِ hadis ِ yang sistematikanyaِ mengikutiِ bab-babِ yangِ adaِ dalamِ kitabِ fiqih. Al-nasa’i ِ mengarang ِ sejumlah ِ kitab,di ِ antaranya ِ yang terkenal ِ adalah ِ kitab ِ sunan ِ al-nasa’i ِ yang ِ merupakan ringkasan ِ dari ِ kitab ِ beliau ِ sebelumnya ِ yaitu ِ sunan ِ al-kubra,yang ِ isinya ِ belum ِ diseleksi ِ dari ِ hadis-hadis ِ yang dhaif.sebagai ِ ringkasan ِ dari ِ kitab ِ sebelumnya,maka ِ dalam kitabِ sunanِ al-nasaiِ iniِ hanyaِ memilihِ hadisِ yangِ berkualitas sahih,hasanِ danِ sangatِ sedikitِ yangِ berkualitasِ da’if.

8. Kitabِ Sunanِ ibnِ Majah

(33)

terakhir ِ sebelum ِ Sahih ِ Bukhari, ِ Sahih ِ Muslim, ِ Sunan ِ Abu Dawud,ِ Sunanِ al-Nasaiِ danِ Sunanِ al-Tirmizi.ِ Pernilaianِ Ulama atasِ kitabِ Sunanِ Ibnِ Majahِ beragamِ adaِ yangِ menilaiِ positif danِ negative.ِ Namun,ِ hal-halِ yangِ dipersilihkanِ ulamaِ hanya pada ِ masalah ِ hadis ِ zawa’id.Hal ِ tersebut ِ sudah ِ diadakan penelitianِ ulangِ danِ ternyataِ nilaiِ hadistِ tersebutِ beragam adaِ yangِ sahihِ danِ bahkanِ adaِ yangِ maudu.Olehِ karenaِ itu, ketika ِ menjumpai ِ hadits ِ yang ِ bernilai ِ negative, ِ maka disarankanِ untukِ berhujjahِ melaluiِ dalilِ yangِ lebihِ kuat.

9. Kitabِ Sunanِ Al-Darimi

AL-Darimiِ meruoakamnِ sosokِ ulamaِ yangِ gigihِ dalam mencari ِ hadist ِ dan ِ diakui ِ oleh ِ kebanyakan ِ ulama ِ hadist. Salah ِ satu ِ keryanya ِ adalah ِ Sunan ِ Al-Darimi ِ yang ِ judul aslinyaِ adalahِ al-Hadistِ al-Musnadِ al-Marfuِ waِ al-Mauqufِ wa al-Maqtu.

Sesuai ِ dengan ِ nama ِ aslinya,kitab ِ Sunan ِ al-Darimi ِ di dalamnya ِ memuat ِ hadist-hadist ِ yang ِ beragam ِ dari ِ yang marfu’maukuf, ِ dan ِ maqtu’. ِ Kebanyakan ِ hadist ِ bersandar langsungِ dariِ nabiِ Muhammadِ SAWِ marfu’danِ selebihnyaِ 89 hadist ِ mursal ِ dan ِ 240 ِ muqtu ِ hadist ِ yang ِ termuat ِ dalam kitab ِ Sunan ِ al-Darimi ِ sebanyak ِ 3367 ِ hadist ِ yang ِ di ِ bagi dalamِ 24ِ kitabِ danِ ratusanِ bab.

10. Kitabِ Sunanِ Al-Gasirِ Al-Baihaqi

ِ Al-Baihaqi ِ adalah ِ seorang ِ tokoh ِ ahli ِ hadist ِ yang ِ hidup padaِ masaِ dis-integrasiِ politik,ِ yaituِ ketikaِ kekuasaanِ danِ pusat peradapban ِ Islam ِ tidak ِ lagi ِ di ِ kota ِ Bagdad, ِ melainkan ِ sudah terdesentrasiِ kepadaِ beberapaِ kota.

(34)

merupakan ِ perpaduan ِ antara ِ kitab ِ fiqih ِ dengan ِ kitab ِ hadist. Dikatakanِ sebagaiِ kitabِ fiih,ِ karenaِ penulisannyaِ menggunakan sistematika ِ fiqih, ِ mencantumkan ِ berbagai ِ pendapat ِ ualam, danemamngِ dimaksudkanِ olehِ pengarangnyaِ menjadiِ semacam kitab ِ fiqih ِ madzhab ِ alh-sunnah ِ wa ِ al-jamaa’ah. ِ Dikatakan sebagai ِ kitab ِ hadist, ِ karena ِ memang ِ di ِ dalamnya ِ dominan pemuatan ِ hadist-hadist ِ nabi ِ lengkap ِ dengan ِ sanadnya ِ yang autentikِ dariِ al-Baihaqi.

Hadist-hadist ِ yang ِ ada ِ di ِ dalamnya, ِ sebagianِ dijelaskan kualitasnya,ِ sebagianِ shahihnyaِ sebagiannyaِ lagiِ dha’if.ِ Adapun bagian ِ tersebar, ِ hadist-hadist ِ tidak ِ ia ِ jelaskan ِ kualitasnya, sehinggaِ untukِ mengetahuiِ kealitasnyaِ perluِ ditelitiِ ualngi.

11. kitabِ Sahihِ Ibnِ Khuzaimah

Kitabِ hadistِ Sahihِ Ibnِ Khuzaimahِ merupakanِ kitabِ hadist yangِ ditulisِ olehِ Ibnِ Khuzaimahِ (223-311ِ H)ِ seorangِ ahliِ hadist yangِ dikenalِ alimِ danِ meninggalkanِ benyakِ karyaِ ilmiah.ِ Kitab iniِ disusunِ denganِ caraِ imla’ِ dimanaِ Ibnِ Khuzaimahِ sangِ guru menditekan ِ sejumlah ِ hadist-hadist ِ ke ِ muridnya. ِ Hadist ِ yang dimuat ِ dalam ِ kitab ِ tersebut ِ sebanyak ِ 3079 ِ hadist ِ dan disajiakanِ dalamِ empatjilid.Banyakِ sanjunganِ yangِ dialamatkan kepadaِ kitabِ tersebutِ salahِ satunyaِ diungkapkanِ olehِ Ibnِ Kasir yang ِ mengatakan ِ bahwa ِ lebih ِ baik ِ Sahih ِ Ibn ِ Khuzaimah dariMastadrakِ al-Hakim.

12. Al-Mustadrak’alaِ Al-SAhihainِ Al-Hakim

(35)

al-Hakimِ sendiriِ daِ nadaِ yangِ belumِ dinilaiِ al-Hakim.Itupunِ tidak semua ِ ulama ِ sepakat ِ dangan ِ ijtihad ِ penilaian ِ al-Hakim, khususnyaِ al-Zainabِ yangِ banyakِ mengulasِ kitabِ al-Hakim.

Adanya ِ standar ِ ganda ِ yang ِ digunakan ِ sebagai ِ bentuk ijtihad ِ al-Hakim, ِ yakni ِ tasahul ِ terhadap ِ hadist-hadist ِ fadail a’mal, ِ sejarah ِ rasul ِ dan ِ sahabat, ِ serta ِ sejarah ِ masa ِ silam. Tasyaddud ِ untuk ِ persoalan ِ aqidah ِ dan ِ syari’ah ِ (halal, ِ haram, nikah,ِ raqa,ِ mu’amalah),ِ seringِ menjadikanِ merekaِ perbedaan pandanganِ diِ antaraِ paraِ pakarِ hadistِ danِ menjadikanِ mereka beranggapanِ al-Hakinِ terlaluِ longgarِ dalamِ menetaokanِ kaedah kesahihah ِ suatu ِ hadist. ِ Terlebih ِ beberapa ِ ulama ِ hadist menemukanِ ketidskِ konsistenِ al-Hakim,ِ yangِ tasahulِ terhadap persoalanِ aqidahِ danِ syariah,ِ danِ banyakِ memasukkanِ hadist-hadistِ yangِ sangatِ lemahِ (267ِ hadist)ِ termasukِ hadist-hadistِ maudu meskipunِ jumlahnyaِ kurangِ lebuhِ hanyaِ 87ِ hadist.

al-Hakimِ mengklafikasikanِ hadistِ menjadiِ dua,ِ sahihِ dan da’if.ِ Untukِ hadistِ hasanِ (sebagaimanaِ klasifikasinyaِ al-Turmuzi) dimasukkan ِ dalam ِ kriteria ِ hadis ِ sahih ِ yang ِ tidak ِ disepakati keshahihannya.

Terlepasِ dariِ kelebihanِ danِ kekuranganِ kitabِ al-Mustadrak ‘ala ِ al-Sahihain, ِ terlepas ِ dari ِ pujian ِ dan ِ kritikan ِ yang dilontarkanِ kepadanya,ِ langkahِ al-Hakimِ merupakanِ keberanian besar ِ seorang ِ pakar ِ hadistِ untuk ِ memberiksnِ konstribusiِ dan wacanaِ baruِ diِ ranahِ hadistِ danِ ulamaِ al-hadistِ bagiِ pengkaji hadistِ berikutnya.

13. Kitab ِ Mu’jam ِ Sagir ِ Tabarani ِ Sahihain ِ

Al-Hakim

(36)

monumental,ِ yaituِ Mu’jamِ Kabr,ِ Mu’jamِ Ausat,ِ danِ al-Mujamِ al-Sagir.

Khusus ِ untuk ِ kitab ِ ِ Mu’jam ِ al-Sagir ِ yang ِ merupakan pokok ِ bahasan ِ dalam ِ tulisan ِ ini, ِ sitematikanya hanyamemperhatikan ِ pada ِ huruf ِ yang ِ pertama ِ saja, ِ tanpa memperhatikanِ hurufِ keduaِ danِ seterusnya.ِ Diِ sampingِ itu,ِ nilai atauِ kualitasِ hadistِ yangِ dikandungِ dalam ِ kitabِ Mu’jamِ al-Sagirِ iniِ cukupِ beragam,ِ adaِ hadistِ yangِ bernilaiِ sahih,ِ hasan danِ daif.Olehِ sebabِ itu,ِ perluِ dilakukanِ penelitianِ lebihِ jauhِ dan mendalamِ agarِ supayaِ dapatِ diketahuiِ hadist-hadistِ yangِ sahih danِ hasan,ِ sehinggaِ dapaِ dijadikanِ sebagaiِ hujjahِ agama.

Referensi

Dokumen terkait

KEDUDUKAN MATA PELAJARAN SENI RUPA BERBASIS NILAI ISLAM DALAM STRUKTUR KURIKULUM .... Struktur Kurikulum

Dari definisi di atas, maka judul analisis preferensi konsumen terhadap penggunaan jasa transportasi Bus Rapid Transit (BRT) Trans Jateng (studi kasus BRT Trans Jateng

Hasil serangkaian uji dan evaluasi kestabilan yang dilakukan pada sediaan lipstik ekstrak kulit buah ruruhi, maka dapat disimpulkan bahwa warna sediaan yang

Untuk itu perlu bimbingan keluarga mendampingi anak agar anak tidak ambil langkah yang salah dalam mencari tahu sesuatu yang

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, perlindungan serta anugerah kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat

This research is based on the location of data sources including field research category, and in terms of the properties of data included in qualitative

mampu member penilaian secara proses Yang harus diperhatikan berkaitan kondidi siswa : a.. kondisi, minat, dan

Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) Hasil belajar sejarah siswa yang menggunakan model pem- belajaran cooperative learning tipe jigsaw lebih tinggi dari hasil