Ekonomi Politik Keuangan Syariah
Friday, 19 January 2007
AGUNG VAZZA
Dorongan politik ternyata lebih berperan dalam pesatnya pertumbuhan sektor keuangan syariah di Eropa. Sektor keuangan syariah. Rasanya, siapapun tak menyangkal, sektor yang satu ini sedang mengalami pertumbuhan sangat pesat. Mulai dari produk-produk yang ditawarkan sampai pada semakin menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syariah itu sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri.
Kalau dulu produk-produk keuangan syariah lebih didominasi pada produk-produk perbankan syariah, maka kini investor bisa menemui produk yang lebih beragam. Obligasi syariah adalah salah satu yang sekarang marak ditawarkan di pasar modal negeri ini. Juga reksadana syariah. Belum lagi produk-produk yang ditawarkan terkait asuransi syariah.
Makin beragamnya produk-produk keuangan syariah tentu saja tak lepas dari makin banyaknya lembaga-lembaga keuangan syariah di negeri ini. Perbankan syariah tumbuh pesat, belum lagi asuransi syariah, bahkan pasar modal syariah, serta lembaga-lembaga keuangan lain yang juga menerapkan prinsip-prinsip Islami. Semua itu pastinya menyediakan alternatif selain produk-produk dan lembaga keuangan konvensional yang selama ini terkesan jadi satu-satunya pilihan.
Di Indonesia, perkembangan sektor keuangan syariah itu, sesungguhnya mulai terjadi ketika negeri yang 90 persen penduduknya menganut Islam ini berantakan dihantam krisis ekonomi, terutama di sektor perbankan. Saat itu, hampir seluruh sektor keuangan konvensional lumpuh. Kalaupun ada yang mampu bertahan, itu adalah perbankan syariah. Meski tak lepas juga dari imbasan krisis, perbankan syariah mampu tetap eksis, tanpa terlalu banyak mendapat ‘pertolongan’ pemerintah seperti halnya perbankan konvensional.
Dalam situasi dan kondisi seperti itulah, kemudian, banyak pihak menyadari ‘kekuatan’ sektor keuangan yang
menerapkan syariah. Sejak itulah pertumbuhan sektor keuangan syariah makin pesat. Perbankan konvensional seakan berlomba-lomba membentuk unit-unit syariah, dengan beragam produk yang ditawarkan. Bahkan sejumlah bank sakit yang sempat ‘dirawat’ di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dikonversikan seutuhnya menjadi bank syariah. Secara keseluruhan, pesatnya pertumbuhan sektor keuangan syariah di Indonesia, terjadi lebih karena dorongan
ekonomi, akibat berantakannya keuangan konvensional dihantam krisis ekonomi. Kenyataan serupa sebenarnya juga terjadi di dunia internasional, bahkan di kawasan yang selama ini dikenal sebagai kekuatan sektor keuangan
konvensional seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Selain dorongan ekonomi akibat krisis ekonomi yang juga sempat melanda, pertumbuhan sektor keuangan syariah di dunia internasional, antara lain juga terjadi lantaran dorongan politik. Dan berbicara soal politik dunia, jelas nama Amerika Serikat (AS) tak bisa begitu saja diabaikan.
Kebijakan politik Paman Sam terhadap konflik Israel dan Palestina, bisa dikata menjadi awal pertumbuhan keuangan syariah dunia, khususnya di Eropa. Banyak investor Timur Tengah yang kemudian menaruh dananya di sektor keuangan Eropa. Tentu saja ini menjadi dorongan bagi sejumlah perusahaan pengelola investasi di Eropa untuk membuka
Uniknya, kebanyakan dari perusahaan investasi Eropa itu, sebenarnya, juga merupakan mitra dari perusahaan investasi yang berbasis di AS. Sebut saja misalnya King and Spalding, sebuah firma hukum yang menawarkan jasa advis untuk investasi di produk-produk syariah, yang berbasis di AS. Menurut mitra firma hukum ini di Eropa, seperti dikutip International Herald Tribune (IHT), permintaan advis untuk investasi produk syariah di Eropa kini lebih banyak dari suplainya.
Kenyataan itu barangkali cukup jelas mencerminkan besarnya dorongan politik dalam pertumbuhan keuangan syariah di dunia internasional. Meski tak lepas juga dari dorongan ekonomi, namun sebagian investor Islami mengalihkan
investasinya dari AS ke Eropa, juga Asia Tenggara, lantaran kebijakan politik Paman Sam terhadap persoalan Israel dan Palestina.
Dorongan politik seperti itu semakin terasa ketika terjadi peristiwa yang mengejutkan seluruh penjuru dunia, runtuhnya menara kembar kebanggaan AS, World Trade Center (WTC), 11 September 2001. Setelah peristiwa yang kemudian dikenal dengan istilah The Black September itu, pemerintahan Paman Sam langsung mengeluarkan sejumlah ketentuan baru, dan lebih ketat, yang dianggap mendiskreditkan dunia Islam.
Kebijakan itulah yang kemudian mengakibatkan muncul kekhawatiran di kalangan investor muslim. Mereka khawatir pemerintah AS bakal memeriksa (mengaudit) habis-habisan, atau secara berlebihan, rekening investasi dan keuangan. Alhasil, kalangan investor muslim merasa lebih terancam untuk berinvestasi di AS. Lantaran itulah, ditambah
memburuknya perekonomian AS, mereka pun mengalihkan dananya ke kawasan seperti Eropa dan Asia Tenggara. Dan keunikan kembali terjadi. Ketika kalangan investor mengalihkan dana ke Eropa, mereka tetap berinvestasi di Inggris. Padahal, Inggris juga diketahui langsung melakukan investigasi terhadap jaringan dana-dana investasi Islam. Bedanya, kemudian pemerintah Inggris, dalam hal ini Britain’s Financial Services Authority and Anti Terrorism Unit, mengeluarkan pernyataan; setelah melakukan investigasi terhadap jaringan dana investasi Islam, dipastikan tidak ada dana atau transaksi mencurigakan.
Pernyataan itulah yang dianggap melegakan kalangan investor muslim, terutama dari Timur Tengah. Produk-produk keuangan syariah dan lembaga keuangan syariah pun berkembang pesat di Inggris. Bahkan Inggris kini dikenal juga sebagai negara Eropa pertama yang mengembangkan produk real estat syariah.
Paman Sam boleh saja berpromosi tidak mendiskreditkan Islam terkait The Black September. Tapi, ketika justru AS yang mempertajam konflik dengan Irak, sampai akhirnya melahirkan perang yang dikecam dunia internasional, kalangan investor muslim justru merasa lebih terancam ketimbang sebelumnya.
Saat perang, investor dari negara-negara Timur Tengah, seolah makin semangat berinvestasi di Eropa, dengan memilih instrumen investasi jangka pendek. Ini terjadi lantaran mereka merasa perlu menjaga likuiditas. Dan setelah perang usia, sebuah keunikan kembali terjadi. Investor muslim tadi bukannya menarik kembali investasinya, melainkan justru
mengalihkan ke instrumen investasi jangka panjang.
Usut punya usut, ternyata, kalangan investor tadi masih merasa khawatir besarnya sentimen anti-AS bakal mengganggu likuiditas mereka. Real estat, pasar kredit, serta saham-saham teknologi dan medikal (kesehatan) jadi pilihan investasi jangka panjang mereka.
Betul. Dorongan ekonomi memang tak lepas dari pergerakan dana investor muslim yang pada gilirannya mempercepat pertumbuhan produk dan lembaga keuangan syariah ke Eropa dan Asia Tenggara. Namun, memperhatikan kenyataan dan keunikan di atas, tak pelak dorongan politik pun jadi faktor penentu.
Etika Bisnis Syariah
Sunday, 11 June 2006
Dalam pandangan Al Quran, tanggung jawab individual sangat penting dalam sebuah transaksi bisnis. Setiap
individu bertanggungjawab terhadap semua transaksi yang dilakukannya. Tidak ada seorangpun yang memiliki
previlage tertentu atau imunitas untuk menghadapi konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya. Dalam Al
Quran, hal tersebut merupakan alat pencegah terhadap terjadinya tindakan yang tidak bertanggungjawab,
karena setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.
Al Quran dan Hadist telah memberikan resep tertentu dalam tatakrama demi kebaikan seorang pelaku bisnis.
Seorang pelaku bisnis diwajibkan berperilaku dengan etika bisnis sesuai dengan yang dianjurkan oleh Al Quran
dan Sunnah yang terangkum dalam 3 (tiga) garis besar, yakni :
<!--[if !supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Murah Hati
<!--[if !supportLists]-->2.
<!--[endif]-->Motivasi untuk Berbakti
<!--[if !supportLists]-->3.
<!--[endif]-->Ingat Allah dan Prioritas Utama-Nya
Banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadist Nabi yang memerintahkan kaum Muslimin untuk bermurah hati. Orang
yang beriman diperintahkan untuk bermurah hati, sopan dan bersahabat saat melakukan dealing dengan sesama
manusia. Al Quran secara ekspresif memerintahkan agar kaum Muslimin bersifat lembut dan sopan manakala
berbicara dengan orang lain sebagaimana yang tercantum dalam Surah Al Baqarah ayat 83 dan Surah Al Israa’
ayat 53.
Tindakan murah hati, selain bersikap sopan dan santun, adalah memberikan maaf dan berlapang dada atas
kesalahan yang dilakukan orang lain, serta membalas perlakuan buruk dengan perilaku yang baik, sehingga
dengan tindakan yang demikian musuh pun akan bisa menjadi teman yang akrab. Selain itu hendaknya seorang
Muslim dapat memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan kapan saja ia dibutuhkan tanpa
berpikir tentang kompensasi yang akan didapat.
Manifestasi lain dari sikap murah hati adalah menjadikan segala sesuatu itu gampang dan lebih mudah serta
tidak menjadikan orang lain berada dalam kesulitan. Islam menginginkan para pemeluknya untuk selalu
membantu, dan mementingkan orang lain lebih dari dirinya sendiri ketika orang lain itu sangat
membutuhkannya dan berlaku moderat dalam memberikan bantuan.
kepentingan umum, atau berlaku menciptakan sesuatu kebutuhan yang sangat artificial, sangat tidak sesuai
dengan ajaran Al Quran. Agar seorang Muslim mampu menjadikan semangat berbakti mengalahkan
kepentingan diri sendiri, maka ia harus selalu mengingat petunjuk-petunjuk berikut:
<!--[if !supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan orang lain;
<!--[if !supportLists]-->b.
<!--[endif]-->Memberikan bantuan yang bebas bea dan menginfakkannya
kepada orang yang membutuhkannya;
<!--[if !supportLists]-->c.
<!--[endif]-->Memberikan dukungan dan kerjasama untuk hal-hal yang
baik.
Seorang Muslim diperintahkan untuk selalu mengingat Allah, meskipun dalam keadaan sedang sibuk oleh
aktivitas mereka. Umat Islam hendaknya sadar dan responsive terhadap prioritas-prioritas yang telah ditentukan
oleh Sang Maha Pencipta. Prioritas-prioritas yang harus didahulukan adalah:
<!--[if !supportLists]-->a.
<!--[endif]-->Mendahulukan mencari pahala yang besar dan abadi di akhirat
ketimbang keuntungan kecil dan terbatas yang ada di dunia;
<!--[if !supportLists]-->b.
<!--[endif]-->Mendahulukan sesuatu yang secara moral bersih daripada
sesuatu yang secara moral kotor, meskipun akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar;
<!--[if !supportLists]-->c.
<!--[endif]-->Mendahulukan pekerjaan yang halal daripada yang haram;
<!--[if !supportLists]-->d.
<!--[endif]-->Mendahulukan bisnis yang bermanfaat bagi alam dan
lingkungan sekitarnya daripada bisnis yang merusak tatanan yang telah baik.
Dari bahasan singkat di atas dapat disimpulkan, bahwa perilaku bisnis yang baik dan benar telah di atur dengan
seksama di dalam Al Quran sebagai pedoman hidup yang komprehensif dan universal bagi seluruh umat
Islam. Dengan demikian marilah kita mulai menerapkan etika-etika bisnis menurut ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah Shallullahu Alaihi wa Sallam sejak empat belas abad yang lalu tanpa perlu bimbang dan ragu lagi.
Legitimasi Bisnis Syariah
Sunday, 11 June 2006
Al Quran sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan memandang
bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat
mendorong dan memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan mereka.
Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam
masalah bisnis yang dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) bagian, yakni sebagai berikut:
<!--[if !supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Kebebasan dalam Usaha
<!--[if !supportLists]-->2.
<!--[endif]-->Keadilan Sosial
<!--[if !supportLists]-->3.
<!--[endif]-->Tatakrama Perilaku Bisnis
Al Quran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas
dan tanpa paksaan. Al Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh seorang
individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai
dengan yang dikehendaki dengan batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu
yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan cara tidak halal atau tanpa
izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan
kehormatan merupakan kewajiban agama sebagaimana terungkap dalam Surah An Nisaa’ ayat 29.
Pengakuan Al Quran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang Muslim untuk
mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia akan menggunakan, menjual atau
menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Al Quran memberikan kebebasan berbisnis secara
sempurna, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pembatasan dalam hal keuangan dan kontrol
pertukaran juga dibebaskan, karena hal itu menyangkut kebebasan para pelaku bisnis. Kompetensi terbuka
didasarkan pada hukum natural dan alami, yakni berdasarkan penawaran dan permintaan (supply dan demand).
Akan tetapi perlu diingat bahwa legalitas dan kebebasan di atas, jangan diartikan dapat menghapuskan semua
larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan berbisnis. Seorang Muslim diwajibkan
melaksanakan secara penuh dan ketat semua etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua
transaksi, yakni:
melakukan transaksi;
<!--[if !supportLists]-->2.
<!--[endif]-->Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
<!--[if !supportLists]-->3.
<!--[endif]-->Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
<!--[if !supportLists]-->4.
<!--[endif]-->Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
<!--[if !supportLists]-->5.
<!--[endif]-->Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika
mendapatkan kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
<!--[if !supportLists]-->6.
<!--[endif]-->Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi
dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy- Syarth)
Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga memperhatikan keadilan sosial bagi
masyarakat luas. Ajaran Al Quran yang menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua,
yakni bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu ajaran Al Quran yang paling penting dalam masalah pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban
menghormati semua kontrak dan janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Quran juga mengingatkan bahwa
setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan dengan ikatan janji dan kontrak
yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam Surah Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa
Al Quran menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan yang telah disetujui.
Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah
sebabnya mengapa semua pelaku bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan
konsumen. Al Quran berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui ayat-ayat yang memerintahkan
umat Islam untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan
keras siapa saja yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT.
Islam juga peduli terhadap hukum perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja
dengan yang mempekerjakan. Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi
dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal,
dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan
pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif,
dan effisien. Al Quran mengakui adanya perbedaan upah di antara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas
kerja yang dilakukan sebagaimana yang dikemukakan dalam Surah Al Ahqaaf ayat 19, Surah Al Najm
ayat 39-41.
dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang
terungkap dalam Surah Ali’ Imran ayat 195.
Al Quran memerintahkan kepada manusia untuk bertindak jujur, tulus, ikhlas, dan benar dalam semua
perjalanan hidupnya, dan hal ini sangat dituntut dalam bidang bisnis. Islam memerintahkan semua transaksi
bisnis harus dilakukan dengan jujur dan terus terang, dan tidak dibenarkan adanya penipuan, kebohongan serta
eksploitasi dalam segala bentuknya. Perintah ini mengharuskan setiap pelaku bisnis secara ketat berlaku adil
dan lurus dalam semua dealing dan transaksi bisnisnya.
Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewelengan dan
kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap
sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan
professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak
professional. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi
“Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang
dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit.”
(Hadist diriwayatkan oleh H.R. Tirmidzi).
Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja handalan
seperti yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26.
Standard Al Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi
seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka
bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi pemilik
otoritas untuk melakukan investigasi sebelum ia menentukan seseorang dalam jabatan publik tertentu, terutama
dalam posisi-posisi kunci dan pengambil keputusan.
Al Quran juga memerintahkan kaum Muslimin untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi (tabayyun)
terhadap semua pernyataan dan informasi yang datang sebelum ia mengambil suatu keputusan dan
melaksanakan sebuah aksi (tindakan), serta melaksanakan investigasi terhadap komoditas tertentu sebelum
memutuskan untuk melakukan pembelian.
terakhir selesai dilaksanakan.
Dalam pandangan Al Quran, tanggung jawab individual sangat penting dalam sebuah transaksi bisnis. Karena
setiap individu bertanggungjawab terhadap semua transaksi yang dilakukannya dan tidak ada seorangpun yang
memiliki previlage tertentu atau imunitas untuk menghadapi konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya. Hal
tersebut merupakan alat pencegah terhadap terjadinya tindakan yang tidak bertanggungjawab, karena setiap
orang akan dimintai pertanggung-jawabannya baik di dunia maupun di akhirat.
Spiritualitas Pemb. Ekonomi
Sunday, 11 June 2006
Sebelum terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997 yang dampaknya masih terasa hingga kini, para pakar ekonomi kapitalis yakin bahwa dengan pertumbuhan ekonomi akan memperbesar “kue ekonomi”, sehingga setiap orang akan memperoleh lebih banyak bagian. Pertambahan Produk Domestik Bruto bagi suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi suatu wilayah daerah diyakini sebagai pertambahan kekayaan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut David C. Korten (2002), usaha yang tidak henti-hentinya dalam mengejar “pertumbuhan ekonomi” telah mempercepat kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di planet ini, memperhebat persaingan dalam
memperebutkan sumber daya, memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan menggerogoti nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Semakin terpusatnya kekuasaan yang semakin hebat di tangan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan telah melucuti pemerintah dari kemampuannya untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kerangka
kepentingan umum yang lebih luas. PDB (PDRB) merupakan sebuah petunjuk nilai pasar secara kasar dari transaksi uang terhadap barang dan jasa pada suatu bangsa atau regional. Sedangkan kerja produktif yang dilakukan untuk diri sendiri tidak diperhitungkan, meskipun bermanfaat bagi kesejahteraan. Namun sebaliknya, transaksi yang paling merugikan pun malahan dimasukkan selama diperhitungkan dengan uang.PDB (PDRB) sama sekali tidak memperhatikan terkurasnya modal hidup, jumlah keseluruhan modal manusia, sosial dan kelembagaan dalam memperbaharui diri, yang berfungsi sebagai fondasi kehidupan dan peradaban. Ketika hutan dibabat habis atau laut dikuras habis, maka penjualan kayu atau ikan dihitung sebagai tambahan kekayaan, tetapi perubahan yang diperlukan terhadap potensi produktif dan eko-sistem yang hilang akibat eksploitasi tersebut tidak diperhitungkan. Hal yang sama juga terjadi pada saat minyak bumi dan sumber mineral lain yang tidak dapat diperbaharui ditambang, biaya
mengeluarkannya diperhitungkan sebagai tambahan PDB (PDRB), tetapi tidak ada yang dikurangi akibat terkurasnya modal fisik alami yang tersedia. Jadi, dengan demikian, mungkin sekali dengan ukuran seorang Ekonom, ekonomi suatu negara atau wilayah daerah dianggap tumbuh dengan cepat sekali di saat negara atau wilayah tersebut sedang menderita erosi yang parah dari potensi produktifnya serta kesejahteraan para masyarakatnya di masa depan. Untuk mengetahui kemakmuran perekonomian suatu negara atau wilayah daerah, kemudian para Ekonom membagi angka PDB (PDRB) dengan jumlah
penduduk, yang disebut dengan PDB (PDRB) per Kapita. Sebuah wilayah yang mempunyai PDRB per Kapita yang tinggi akan dianggap sebagai sebuah wilayah yang makmur dan mempunyai tingkat kesejahteraan ekonomi yang tinggi terlepas apakah terdistribusi secara seimbang ataupun terdapat kesenjangan yang tinggi antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Menurut Chapra (2000), setiap perekonomian dapat dikatakan telah mencapai efisiensi yang optimal apabila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sedemikian rupa sehingga kuantitas barang dan jasa maksimum yang dapat memuaskan kebutuhan telah dihasilkan dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan di masa yang akan datang. Pengujian efisiensi tersebut terletak pada ketidak-mampuannya untuk mencapai hasil yang lebih dapat diterima secara sosial tanpa menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan sosial yang berkepanjangan, atau merusak keserasian keluarga dan sosial atau tatanan moral dari masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa. Sehingga, kebutuhan semua individu memuaskan secara memadai. Di samping itu juga terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, tanpa
insentif bagi upaya dan inovasi yang lebih besar. Para Ekonom, sebelumnya berpandangan bahwa apabila pertumbuhan dapat diakselerasi, mekanisme trickle-down pada akhirnya akan menyelesaikan
permasalahan kemiskinan dan distribusi pendapatan.Menurut mereka, redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti output per kapita yang lebih besar.Keadilan menurut Qardhawi (1994) adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu baik moral ataupun material, antara individu dengan komunitas (masyarakat), antara komunitas dengan komunitas. Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan tersebut tidak dapat dikatakan keadilan, apalagi persamaan secara mutlak adalah suatu hal yang mustahil karena bertentangan dengan tabiat manusia. Dengan demikian, keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama sesuai dengan batas-batas persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya, atau membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.Arti keadilan dalam ekonomi adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana, serta mengakui perbedaan
kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan dan sarana yang disediakan. Oleh sebab itu, tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang memungkin-kannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan sarana yang akan dipergunakan untuk mecapai kesempatan tersebut. Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.Sistem Kapitalisme telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar biasa, mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik material maupun spiritual (Laissez Faire Laissez Fasser). Sebaliknya, sistem komunisme merampas dari individu segala yang telah diberikan oleh sistem kapitalisme, sehingga individu menjadi kurus, kusut, kehilangan motivasi dan kepribadian. Kesemuanya itu dirampas dan kemudian diberikan kepada sesuatu yang disebut “masyarakat”, yang tercermin dalam “Negara”. Negara menjadi gemuk dan berkuasa penuh. Padahal ia tidak lain adalah alat yang terdiri atas sejumlah individu. Akhirnya sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa di atas penderitaan orang lain, yang nota bene mayoritas dari masyarakat (Qardhawi, 1995).Oleh karena itu, perlu dicari sebuah solusi dalam Ekonomi yang dapat merealisasikan keadilan antara hak-hak individu dengan hak-hak kolektif suatu masyarakat. Pada saat ini, para ahli Ekonomi menggali kembali sistem ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum abad pertengahan. Ruh sistem ekonomi Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil. Ciri khas keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di dalam kitab Al Qur’an. Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak menganiaya hak-hak
untuk mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan saja tidak akan mampu menghilangkan ketidakadilan sistem pasar, sehingga negara juga harus
memainkan peran komplementer (Chapra, 2000). Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik, bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat basis moral masyarakat dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif. Oleh karena itu, telah dirasakan bahwa system ekonomi kapitalis sekuler yang membedakan antara kesejahteraan material dengan masalah ruhaniah banyak membawa masalah dalam distribusi kesejahteraan yang adil dan seimbang di antara masyarakat. Dengan demikian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Fukuyama (1995), bahwa perlu disadari, kehidupan ekonomi tertanam secara mendalam pada kehidupan sosial dan tidak bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana proses ekonomi itu terjadi. Sehingga, membahas pembangunan ekonomi di Indonesia dengan memasukkan nilai-nilai Islam bukan suatu hal yang irrelevant. Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Ekonomi Islam itu Adil & Indah
Guru marketing Hermawan Kartajaya sudah beberapa lama bergaul dengan praktisi keuangan syariah. Ia mulai fasih mengatakan ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin. Beragama Katolik,
Hermawan malah berniat ikut dalam mengembangkan nilai marketing Islami. Berikut petikan wawancara sesaat setelah peluncuran buku Sharia Marketing di Jakarta pekan lalu.
Sebetulnya apa beda marketing syariah dan konvensional?
Dalam dunia marketing itu ada istilah kelirumologi. Itu lho sembilan prinsip yang disalah artikan. Misalnya marketing diartikan untuk membujuk orang belanja sebanyak-banyaknya. Atau marketing yang yang pada akhirnya membuat kemasan sebaik-baiknya padahal produknya tidak bagus. Atau membujuk dengan segala cara agar orang mau bergabung dan belanja. Itu salah satu kelirumologi ( merujuk istilah yang dipopulerkan Jaya Suprana). Marketing syariah itu mengajarkan orang untuk jujur pada konsumen atau orang lailn. Nilai syariah mencegah orang (marketer) terperosok pada kelirumologi itu tadi. Ada nilai-nilai yang harus dijunjung oleh seorang pemasar. Apalagi jika ia Muslim.
Apakah nilai marketing syariah bisa diterapkan umat lain?
Lha ya nilai Islam itu universal. Rahmatan lil alamin. Begitu kan istilahnya. Nabi Muhammad itu menyebarkan ajaran Islam pasti bukan hanya untuk umat Islam saja. Jadi tidak apa-apa jika nilai marketing syariah ini inisiatif orang Islam supaya bisa menginspirasikan orang lain. Makin banyak non-Muslim yang ikut menerapkan nilai ini, makin bagus. Saya ikut mengendorse marketing syariah. Soal jujur itu kan universal. Jadi marketing syariah harus diketahui orang lain dalam rangka rahmatan lil alamin itu.
Apa nilai inti marketing syariah?
Integrity atau tak boleh bohong. Transparansi. Orang kan tak boleh bohong. Jadi orang membeli karena butuh dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan, bukan karena diskonnya. Itu jika konsep marketing dijalankan secara benar.
Bagaiman muasal perkembangan nilai spiritual dalam marketing
Sejalan dengan perkembangan dunia. Setelah September attack, orang melihat IQ dan EQ saja tidak cukup. Harus ada SQ, spiritual quotient. Orang melihat
Apakah nilai marketing syariah ini akan bertahan?
Ya pasti sustain. Karena prinsip dasarnya kejujuran. Ini yang dibutuhkan semua orang. Apalagi setelah kasus seperti Enron, Worldcom dan lainnya. Orang melihat bisnis itu harus jujur.
Lalu di mana peran ilmu marketing dalam konsep syariah
Syariah mengendorse marketing dan marketing mengendorse syariah. Ilmu marketing menyumbangkan profesionalitas dalam syariah. Karena jika orang marketing tidak profesional, orang tetap tidak percaya. Lihat saja bagaimana investor Timur Tengah belum mau investasi di Indonesia, meski negara ini
populasinya mayoritas Muslim. Karena mereka tidak yakin dengan profesionalitas kita. Jadi, jujur saja tidak cukup.
Bukankan nilai kejujuran dan transparansi itu diajarkan semua agama
Setelah nilai spiritual konsep apa lagi yang akan mengemuka dalam dunia bisnis?
Millenium. Orang mencari keseimbangan. Maksudnya orang berbisnis itu harus menjaga kelangsungan alam, tidak merusak lingkungan. Berbisnis juga ditujukan untuk menolong manusia yang miskin dan bukan menghasilkan keuntungan untuk segelintir orang saja. Nilai-nilai ini ke depan akan mengemuka. Sekarang pertemuan para praktisi marketing mulai mengarah ke sana.
Setelah mengenal Islam, apa pendapat Anda tentang nilai yang diajarkan
Islam agama yang universal dan komprehensif. Guidance-nya lengkap. Ada petunjuk untuk seorang pedagang, kepala negara, seorang anak, panglima perang dan semuanya. Ada diatur secara lengkap. Di atas semua itu saya melihat Islam itu ajaran yang damai dan indah. Ajaran Islam bisa dipakai semua orang. Itu kesan saya dan mengapa saya mau mempelajari nilai Islam untuk dikembangkan dalam konsep marketing. Saya sekarang menjadi aktivis lingkungan dan nilai-nilai.
Sumber: Republika
Memasarkan dengan Hati
Sunday, 02 July 2006
Syariah Marketing
Kalo hati sama-sama enak, keuntungan jadi nomor kesekian, karena berkah yang didamba.
Seorang sales wanita mempersentasikan produk pada klien dari beberapa perusahaan. Setelah berjalan beberapa saat, sepertinya
customer kurang meresponnya. Maka, sang sales mulai menerapkan jurus jitunya.
Tanpa ragu, ia–maaf–membuka kancing baju atas sambil presentasi. Begitu seterusnya, tanpa canggung, satu persatu kancingnya pun dibuka. Akhirnya, bersamaan dengan dibukanya kancing baju ketiga, produk yang ditawarkan pun ludes.
Anda seorang marketer? Tentu pernah mendengar cerita di atas. Atau, cerita lain yang berbeda 180 derajad. Cerita ini dialami oleh Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Muhammad Syakir Sula, saat menunaikan ibadah haji tahun lalu.
Saat di Madinah, ia mengunjungi percetakan al-Qur'an terbesar di dunia. Percetakan yang biasa membagikan al-Qur'an gratis ke seluruh dunia ini, merupakan wakaf Kerajaan Saudi Arabia. Di percetakan ini, Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) ini, membeli
beberapa al-Qur'an.
Salah satunya, al-Qur'an saku cetakan terbaru yang dihiasi kaligrafi indah. Harganya 9 riyal (1 riyal sekitar Rp 2.700). Sayang,
percetakan ini hanya membolehkan pembelian maksimal 10. Karenanya, ia pun keliling toko buku mencari al-Qur'an yang sama.
Sampailah di dua toko buku yang berdekatan. Yang satu menjual 12 riyal, tapi persediannya hanya 5. Sedangkan satunya yang masih banyak persediannya, menjual 35 rial. Ia pun membeli di toko yang
menawarkan harga 12 riyal tanpa menawar, karena harganya masih wajar.
Ketika ia menawar di toko yang memasang harga 35 rial, si penjual tak mau menurunkan harga. Sampai pada harga 20 rial, Arab ini tetap tak mau. Pokoknya, ia keukeuh pada harga 35 rial. Ia lantas
protes. "Syekh, antum jualannya yang benar dong. Di sebelah hanya 12 riyal, masa di sini 35 riyal." Dengan santai, ia menjawab, "Naam di sebelah 12 riyal, tapi di sini 35 riyal baru halal.
pelit ni Arab." Rupanya, si penjual mengerti bahasa Indonesia. Lantas bilang, "Saya tidak bakhil, tapi saat ini saya tidak ikhlas jual 12 riyal." Sambil tersenyum, Syakir berbalik, salaman, kenalan, dan minta maaf.
Karena penasaran, CEO Batasa Tazkia Consulting (BTC) ini, dua hari kemudian mendatangi toko yang sama. Tapi, kali ini ia datang dengan sikap sok akrab, karena sudah kenalan sebelumnya. "Assalamu'alaikum syekh, kaifa haluk …," Ia mencoba basa-basi dalam bahasa Arab.
Setelah suasana menjadi akrab, ia bertanya, "Syekh, ana mau beli al-Qur'an ini 30, antum jual berapa?" Arab itu bilang, "Antum shahib ana, 10 riyal halal." Karuan saja, Syakir pun kaget. "Kemarin antum kasih 35 riyal, sekarang 10 riyal. Ana tau harga dipercetakan 9 riyal, jadi antum cuma untung 1 riyal."
Arab ini ketawa sambil memeluk dan berkata, "Akhi ana cuma perlu berkahnya. Hari ini ana jual 10 riyal tapi ikhlas. Kalo antum
senang, ana dapat berkahnya. Kemarin, meski ana jual dengan untung besar, tapi ana tak ikhlas, antum pun tak ikhlas, jadi tidak berkah."
Itulah cerita yang mengemuka saat Seminar dan Peluncuran Buku Syariah Marketing yang diselenggarakan MarkPlus&Co di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa (18/4). Selain Muhammad Syakir Sula, seminar ini menghadirkan Staf Ahli Kementrian BUMN Aries Mufti, Presiden MarkPlus&Co Hermawan Kertajaya, Pakar Ekonomi Syariah Muhammad Syafii Antonio, dan praktisi bisnis syariah.
Selanjutnya, Syakir menjelaskan, cara penjualan seperti cerita pertama di atas, sama sekali tak dibenarkan. Nilai-nilai universal, apalagi agama, apapun agamanya, juga tidak membenarkannya. Karenanya, diperlukan pelurusan terhadap penyimpangan praktik marketing. Salah satu caranya, menggunakan pendekatan syariah.
Berdasarkan konsep inilah, Syakir Sula dan Hermawan Kertajaya
menyusun buku "Syariah Marketing." Dalam buku ini dipaparkan empat karakteristik syariah marketing, yakni teistis (religius), etis
(beretika), realistis (fleksibel), dan humanistis (manusiawi).
Dua dari empat karakteristik ini dijelaskan Syakir sebagai berikut.
Pertama, teistis berarti marketer syariah harus membentengi diri dengan nilai-nilai spiritual, karena marketing memang "akrab" dengan riswah (suap), korupsi, kolusi, dan wanita. Untuk itu, ia harus
memiliki ketahanan moral, selalu mendekatkan diri pada Allah, dan meyakini jika gerak-geriknya diawasi Sang Khalik.
melariskan produk dan bisnis.
Apalagi, Rasul saw "melaknat penyuap dan orang yang disuap" (HR Ahmad, at-Tarmidzi dan Ibn Majah). Dalam hadist lain, Rasul mengatakan, termasuk orang yang dilaknat adalah ar-ra'isy, yakni perantara terjadinya perbuatan maksiat antara keduanya.
Pada cerita yang kedua, Syakir menilai, pedagang Arab menerapkan strategi bisnis dengan hati. Ia langsung menghujam ke jantungnya pemasaran. How to win the heart share (bagaimana memenangkan hati pelanggan). Prinsipnya berlandaskan ukhuwah Islamiyah baik pada customer dan competitor.
Sehingga, ketika hati sama-sama enak, sama-sama suka, keuntungan menjadi nomor kesekian, karena berkah yang didamba. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu," (Qs. An-Nisa 29).
Di dunia marketing, dikenal tiga medan pertempuran yang harus dimenangkan. Pertama, strategi. Di sini, aspek segmentasi, targeting, dan positioning harus lebih baik dari competitor, untuk
memenangkan perang pemikiran, how to win the mind share (bagaimana menang di benak nasabah).
Kedua, taktik. Dalam bisnis harus mengenal dan memperhatikan aspek diferensiasi (keunikan) dari produk kita. Ketiga, marketing mix atau 4P (product, price, place, promotion) dan selling. Kelima aspek ini
merupakan kekuatan utama untuk memenangkan persaingan di pasar. How to win the market share (bagaimana memenangkan pasar).
Pedagang Arab itu mengetahui bagaimana caranya merayu, menarik hati dan memberikan service yang langsung menyentuh hati para pembelinya. Sehingga tercipta brand dirinya yang selalu diingat pelangganya.
Secara tak langsung, ia mempraktikkan marketing critical moment of truth (suatu kesan yang sangat membekas dan tak akan terlupakan).
Tak heran jika beberapa hari kemudian, Syakir mengajak beberapa kawannya yang kebetulan juga ingin membeli al-Qur'an, ke toko itu. Secara tak sadar, ia telah menjadi agen pedagang Arab itu, tanpa komisi dan sejenisnya.
Sementara itu, Hermawan Kertajaya mengatakan, secara umum pangsa pasar syariah tergabi dua, yakni pasar rasional dan emosional. Pasar rasional adalah pasar yang didasarkan pada nilai-nilai rasional, seperti tingkat profit, kualitas layanan dan produk. Pangsa pasar ini disebut pasar mengambang.
syariah. Sesungguhnya, pasar emosional ini justru yang rasional, karena mereka menghitung untung rugi di setiap hal yang mereka lakukan.
Bukankah al-Qur'an memerintahkan, setiap manusia wajib mewujudkan kebahagiaan akhirat tanpa melupakan kebahagiaan dunia. Karenanya, meski pasar emosional sangat concern terhadap nilai-nilai syariah dalam bisnis, bukan berarti mereka melupakan aspek rasional, seperti untung rugi, kenyamanan, service, dan lainnya.
Jika begitu, ngapain buka kancing baju segala?
Dwi Hardianto
Laporan: Afriadi Murwanto
Sumber: Rubrik TIJARAH, Majalah SABILI edisi No. 22 Th XIII, 18 Mei 2006
Uang: Perspektif Islam
PERSPEKTIF UANG DALAM EKONOMI SYARIAH
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak dapat melakukan semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain, dan untuk mendapatkannnya seorang
individu harus menukarnya dengan barang atau jasa yang dihasilkannya.
Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang dimilikinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Jauh sebelum bangsa Barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya, dunia Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham.
Uang Dalam Pandangan al-Ghazali & Ibnu Khaldun
Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai media penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya, adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja,
meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Fungsi Uang dalam Ekonomi Syariah vs Konvensional
Menurut konsep Ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods. Capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods,
sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyal membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods
tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.”
Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Syariah dan Konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian
berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa
“Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.”
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang didapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat dirasakan saat ini, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.
Peringatan Ibnu Tamiyah Akibat Menjadikan Uang Sebagai Komoditi
Dijadikannya uang sebagai komiditi telah menimbulkan dampak buruk dalam perekonomian secara global, sebagiman yang dapat diraskan pada saat ini. Namun sebenarnya, dampak tersebut sudah diingatkan oleh Ibnu Tamiyah yang lahir di zaman pemerintahan Bani Mamluk tahun 1263. Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam) menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni:
1. Perdagangan uang akan memicu inflasi;
2. Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan;
3. Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang; 4. Perdagangan internasional akan menurun;
keluar negeri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perdagangan uang adalah salah satu aktivitas yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang kepada barang yang lain.
Dengan demikian, maka dalam praktek sebuah Bank Syariah yang benar, Bank bukan menjual-belikan uang tetapi adalah menjual-belikan barang dan atau berbagi hasil dalam sebuah kemitraan usaha guna menghindari perubahan fungsi uang dari alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami & Praktisi Perbankan Syariah)
Ekonomi Keseimbangan Islami (1)
Ekonomi Keseimbangan Islami (Bagian 1)
Oleh: Merza Gamal
Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup secara kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui sebagai faktor esensial agar dapat survive dalam kehidupan. Seluruh anggota manusia bergantung kepada yang lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan sosial di antara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi gradual dalam pembentukan sistem pertukaran barang dan pelayanan. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman, sistem pertukaran ini
berevolusi dari aktivitas yang sederhana kepada aktivitas ekonomi yang modern.
Bisnis atau berusaha sebagai bagian dari aktivitas ekonomi selalu memegang peranan vital di dalam kehidupan manusia sepanjang masa, sehingga kepentingan ekonomi akan mempengaruhi tingkah laku bagi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional, dan internasional. Umat Islam telah lama terlibat dalam aktivitas ekonomi, yakni sejak lima belas abad yang silam. Fenomena tersebut bukanlah suatu hal yang aneh, karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis (berusaha) guna memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi mereka. Rasulullah Shallullahu Alaihi wa Sallam sendiri terlibat di dalam kegiatan bisnis selaku pedagang bersama istrinya Khadijah.
Al Quran sebagai Kitab Suci Umat Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga memberikan petunjuk yang sempurna (komprehensif) dan abadi (universal) bagi seluruh umat manusia. Al Quran mengandung prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk yang fundamental untuk setiap permasalahan manusia, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi yang ada dalam berbagai ayat di Al Qur’an dilengkapi dengan sunah-sunah dari Rasulullah melalui berbagai bentuk Al Hadits dan diterangkan lebih rinci oleh para fuqaha pada saat kejayaan Dinul Islamiyah baik dalam bentuk Al Ijma maupun Al Qiyas.
Namun sejak abad ke 15 hingga pertengahan abad ke 20 Masehi, kontribusi Islam dalam pemikiran ekonomi seakan hilang ditelan peradaban dunia sehingga tidak ditemukan buku-buku sejarah pemikiran Ekonomi Islam. Adalah sebuah ironi, bahwa Adam Smith, yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Ekonomi”, dalam bukunya The Wealth of Nations (tahun 1766), menjelaskan bahwa perekonomian yang maju ketika itu adalah perekonomian Arab yang dipimpin Muhammad dan Para Khalifa ur Rasyidin (dalam buku tersebut disebut sebagai Mahomet and his immediate successors). Lebih ironis lagi, jika kita simak, ternyata judul buku Adam Smith tersebut merupakan saduran dari buku Imam Abu Ubayd, yaitu “Al-Amwal” (865).
Ironi lainnya, adalah, ketika Samuelson dalam buku teks Economics edisi 7, menyebutkan bahwa asal muasal Ilmu ekonomi adalah Bible (Injil), tidak satupun ekonom (pakar ekonomi) yang bereaksi.
Sementara itu, ketika Ilmuwan Islam mengangkat kembali Ilmu Ekonomi Islam dengan Al Qur’an dan Al Hadits sebagai sumber rujukan utama, sebagian besar ekonom, termasuk ekonom muslim, spontan bereaksi menentang keberadaan Ekonomi yang berdasarkan ajaran Syariah Islam tersebut.
Sementara itu, seorang ilmuwan Barat, C.C. Torrey dalam disertasinya yang berjudul “The Commercial Theological Terms in the Koran” menyatakan bahwa Al Quran menggunakan terminology bisnis
(ekonomi) yang sedemikian banyak, menunjukkan sebuah manifestasi adanya spirit bersifat komersial dalam Al Quran.
Jika kita simak dengan seksama, menurut Adiwarman Karim (2002), ilmu ekonomi merupakan warisan peradaban manusia yang dapat diibaratkan sebagai bangunan bertingkat, dimana setiap kaum telah memberikan kontribusi pada zamannya masing-masing dalam mendirikan bangunan tersebut. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan pemikiran Ekonomi Islam, para ulama yang merupakan guru kaum muslimin tidak menolak pemikiran para filosof dan ilmuwan non Muslim asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Para ulama dan pakar ekonomi Islam, saat ini, berusaha mengembangkan Ekonomi Islam sesuai dengan dalil naqli dan dalil aqli, meskipun pengaruh pemikiran ekonom Barat masih terasa.
Kegiatan sosial-ekonomi (muamalah) dalam Islam mempunyai cakupan luas dan fleksibel, serta tidak membedakan antara Muslim dan Non Muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, yaitu "dalam bidang muamalah, kewajiban mereka adalah
kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita". Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Syariah yang bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al
Ijma dan Al Qiyas.
Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem Ekonomi Syariah. Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni:
1.Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Baqarah ayat 2 & 168, Maidah ayat 87-88, Al-Jumu'ah ayat 10);
2.Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu'araa ayat 183)
3.Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An'am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4.Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra'du ayat 36, Luqman ayat 22).
Ekonomi Syariah yang merupakan bagian dari sistem perekonomian Syariah, memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berkonsep kepada “amar ma’ruf nahi mungkar” yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Ekonomi Syariah dapat dilihat dari 4 (empat) sudut pandang, yaitu:
1. Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an) 2. Ekonomi Akhlaq
3. Ekonomi Kemanusiaan 4. Ekonomi Keseimbangan
Ekonomi Akhlaq mengandung arti bahwa kesatuan antara ekonomi dan akhlaq harus berkaitan dengan sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian seorang Muslim tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkan atau yang menguntungkan tanpa mempedulikan
orang lain.
Ekonomi Kemanusiaan mengandung arti bahwa Allah memberikan predikat “Khalifah” hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya. Melalui perannya sebagai “Khalifah” manusia wajib beramal,
bekerja keras, berkreasi, dan berinovasi.
Ekonomi Keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak
menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan masyarakat secara berimbang.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Sistem Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala hal kehidupan, namun penganut ajaran Islam sendiri, seringkali tidak menyadari hal itu. Hal itu terjadi karena masih berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis, karena berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga bahwa pandangan dari Barat selalu lebih hebat. Padahal tanpa disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai
mendalami system perekonomian yang berbasiskan Syariah.
Distribusi Kesejahteraan yang Adil dan Bekeseimbangan
Sebelum terjadinya krisis multi dimensi pada tahun 1997, para pakar ekonomi kapitalis yakin bahwa dengan pertumbuhan ekonomi akan memperbesar “kue ekonomi”, sehingga setiap orang akan memperoleh lebih banyak bagian. Pertambahan Produk Domestik Bruto bagi suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bagi suatu wilayah daerah diyakini sebagai pertambahan kekayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Korten (2002), usaha yang tidak henti-hentinya dalam mengejar “pertumbuhan ekonomi” telah mempercepat kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di planet ini, memperhebat persaingan dalam memperebutkan sumber daya, memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan menggerogoti nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat. Semakin terpusatnya kekuasaan yang semakin hebat di tangan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan telah melucuti pemerintah dari
kemampuannya untuk menempatkan
prioritas ekonomi, sosial dan lingkungan dalam kerangka kepentingan umum yang lebih luas. PDB (PDRB) merupakan sebuah petunjuk nilai pasar secara kasar dari transaksi uang terhadap barang dan jasa pada suatu bangsa atau regional. Sedangkan kerja produktif yang dilakukan untuk diri sendiri tidak diperhitungkan, meskipun bermanfaat bagi kesejahteraan. Namun sebaliknya, transaksi yang paling
dengan uang.
PDB (PDRB) sama sekali tidak memperhatikan terkurasnya modal hidup, jumlah keseluruhan modal manusia, sosial dan kelembagaan dalam memperbaharui diri, yang berfungsi sebagai fondasi kehidupan dan peradaban. Ketika hutan dibabat habis atau laut dikuras habis, maka penjualan kayu atau ikan dihitung sebagai tambahan kekayaan, tetapi perubahan yang diperlukan terhadap potensi produktif dan eko-sistem yang hilang akibat eksploitasi tersebut tidak diperhitungkan. Hal yang sama juga terjadi pada saat minyak bumi dan sumber mineral lain yang tidak dapat diperbaharui ditambang, biaya mengeluarkannya diperhitungkan sebagai tambahan PDB (PDRB), tetapi tidak ada yang dikurangi akibat
terkurasnya modal fisik alami yang
tersedia. Jadi, dengan demikian, mungkin sekali dengan ukuran seorang Ekonom, ekonomi suatu negara atau wilayah daerah dianggap tumbuh dengan cepat sekali di saat negara atau wilayah tersebut sedang menderita erosi yang parah dari potensi produktifnya serta kesejahteraan para masyarakatnya di masa depan.
Untuk mengetahui kemakmuran perekonomian suatu negara atau wilayah daerah, kemudian para Ekonom membagi angka PDB (PDRB) dengan jumlah penduduk, yang disebut dengan PDB (PDRB) per Kapita. Sebuah wilayah yang mempunyai PDRB per Kapita yang tinggi akan dianggap sebagai sebuah wilayah yang makmur dan mempunyai tingkat kesejahteraan ekonomi yang tinggi terlepas apakah terdistribusi secara seimbang ataupun terdapat kesenjangan yang tinggi antara satu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
Menurut Chapra (2000), setiap perekonomian dapat dikatakan telah mencapai efisiensi yang optimal apabila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sedemikian rupa sehingga kuantitas barang dan jasa maksimum yang dapat memuaskan kebutuhan telah dihasilkan dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan berkesinambungan di masa yang
akan datang.
Pengujian efisiensi tersebut terletak pada ketidak-mampuannya untuk mencapai hasil yang lebih dapat diterima secara sosial tanpa menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan sosial yang berkepanjangan, atau merusak keserasian keluarga dan sosial atau tatanan moral dari masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai keadilan yang optimal apabila barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa. Sehingga, kebutuhan semua individu memuaskan secara memadai. Di samping itu juga terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, tanpa menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi untuk bekerja, menabung, berinvestasi dan melakukan usaha.
Keadilan akan membawa kepada efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar. Keadilan dicapai bukan saja dengan meningkatkan kedamaian dan solidaritas sosial, tetapi juga dengan meningkatkan insentif bagi
upaya dan inovasi yang lebih besar. Para Ekonom, sebelumnya
berpandangan bahwa apabila pertumbuhan dapat diakselerasi, mekanisme trickle-down pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan distribusi pendapatan.Menurut mereka, redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dalam arti output per kapita yang lebih besar.
Keadilan menurut Qardhawi (1994) adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu baik moral ataupun material, antara individu dengan komunitas (masyarakat), antara komunitas dengan komunitas. Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena menyamakan antara dua hal yang berbeda seperti
membedakan antara dua hal yang sama. Kedua tindakan
yang sama sesuai dengan batas-batas persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya, atau membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai batas-batas perbedaan dan keterpautan kondisi antar keduanya.
Arti keadilan dalam ekonomi adalah persamaan dalam kesempatan dan sarana, serta mengakui perbedaan kemampuan dalam memanfaatkan kesempatan dan sarana yang disediakan. Oleh sebab itu, tidak boleh ada seorang pun yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang memungkin-kannya untuk melaksanakan salah satu kewajibannya. Juga tidak boleh ada seorang
pun yang tidak mendapatkan sarana yang
akan dipergunakan untuk mecapai kesempatan tersebut.
Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan sumbangannya bagi keseluruhan dan juga
memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan kebebasan penuh untuk
melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan keragaman, prakarsa dan kreativitas
pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).
Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturan-aturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan
kapitalisme yang semena-mena, dan juga tidak
berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut merupakan penyakit yang amat parah.
Sistem Kapitalisme telah memberikan kepada individu kebebasan yang luar biasa, mengalahkan masyarakat dan kepentingan sosial, baik material maupun spiritual (Laissez Faire Laissez Fasser). Sebaliknya, sistem komunisme merampas dari individu segala yang telah diberikan oleh sistem kapitalisme, sehingga individu menjadi kurus, kusut, kehilangan motivasi dan kepribadian. Kesemuanya itu dirampas dan kemudian diberikan kepada sesuatu yang disebut “masyarakat”, yang tercermin dalam “Negara”. Negara menjadi gemuk dan berkuasa penuh. Padahal ia tidak lain adalah alat yang terdiri atas sejumlah individu. Akhirnya sekelompok kecil orang menjadi gemuk dan berkuasa di atas penderitaan orang lain, yang nota bene mayoritas dari masyarakat (Qardhawi, 1995).
Oleh karena itu, perlu dicari sebuah solusi dalam Ekonomi yang dapat merealisasikan keadilan antara hak-hak individu dengan hak-hak kolektif suatu masyarakat. Pada saat ini, para ahli Ekonomi menggali kembali sistem ekonomi Islam yang pernah berjaya sebelum abad pertengahan. Ruh sistem ekonomi
Islam adalah keseimbangan (pertengahan) yang adil. Ciri khas
keseimbangan ini tercermin antara individu dan masyarakat sebagaimana ditegakkannya dalam berbagai pasangan lainnya, yaitu dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akal dan nurani, idealisme dan fakta, dan pasangan-pasangan lainnya yang disebutkan di dalam kitab Al Qur’an. Sistem Ekonomi Islam tidak
menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang
dilakukan oleh sistem kapitalis. Juga tidak menganiaya hak-hak kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis, terutama Marxisme. Akan tetapi, keseimbangan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan, dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan.
penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya materi lainnya. Namun, sangat sulit, untuk mengasumsikan bahwa semua individu akan sadar secara moral kepada masyarakat, dan keimanan saja
tidak akan mampu menghilangkan ketidakadilan sistem
pasar, sehingga negara juga harus memainkan peran komplementer (Chapra, 2000). Negara harus melakukannya dengan cara-cara yang tidak mengekang kebebasan dan inisiatif sektor swasta berlandaskan kerangka hukum yang dipikirkan dengan baik, bersama dengan insentif dan hukuman yang tepat, check and balance untuk memperkuat basis moral masyarakat dan
menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif.
Oleh karena itu, telah dirasakan bahwa system ekonomi kapitalis sekuler yang membedakan antara kesejahteraan material dengan masalah ruhaniah banyak membawa masalah dalam distribusi kesejahteraan yang adil dan seimbang di antara masyarakat. Dengan demikian, maka memahami model dinamika sosial ekonomi Syariah yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun pada abad ke 14 menjadi relevan dalam aplikasi pembangunan pada saat ini. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Fukuyama (1995), bahwa perlu disadari, kehidupan ekonomi tertanam
secara mendalam pada kehidupan sosial dan tidak bisa dipahami terpisah dari adat, moral, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat di mana proses ekonomi itu terjadi. Sehingga, membahas pembangunan ekonomi di Indonesia dengan memasukkan nilai-nilai Syariah bukan
suatu hal yang irrelevant.