Dicari:
Calon Presiden yang Memahami dan Mengerti Sejarah!
Tyo Prakosoi
“...masa sekarang merupakan pusat gerak sejarah yang sadar yang dipengaruhi oleh masa lalu dan menentukan masa yang akan datang.”
Panggung perpolitikan negeri ini kian hari kian menarik. Walau sesekali bising dan gaduh. Tapi, seyogyanya kita turut pula menyambutnya. Setelah April lalu kita telah merayakan Pemilihan Legislatif. Juli nanti, kita akan merayakan Pemilihan Presiden. Tahun 2014 adalah tahun menentukan, begitu kata salah seorang tokoh nasional.
Hal yang harus disadari oleh kita sebagai seorang pemilih adalah memilih seorang Presiden bukan layaknya memilih kucing didalam karung. Artinya, kita mesti tahu betul rekam jejak, visi-misi, program kerja dan tak kalah penting adalah bagaimana kedua pasangan capres-cawapres itu memandang Indonesia sebagai sebuah bangsa yang memiliki serentetan peristiwa, atau kita kerap menyebutnya “Sejarah”.
Maksudnya, kita perlu tahu juga bagaimana kedua pasangan tersebut memahami dan
mengerti Sejarah –dalam hal ini Sejarah Indonesia. Dus, pun bagaimana kedua pasangan capres-cawapres ini melihat masa depan Indonesia dalam kerangka pikir Sejarah. Karena, meminjam istilah Ali Syariati, sejarah adalah masa lalu, masa kini dan masa depan. Nah, pada bagian ini kita perlu juga bertanya pada kedua pasangan capres-cawapres tersebut; apa sejarah menurut, tuan-tuan?
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencanangkan akan diselengarakannya debat antar capres-cawapres. Debat akan diselengarakan sebanyak enam kali.ii Yang dimulai dari tanggal 9 Juni
hingga 5 Juli nanti. KPU berharap, dari debat tersebut, dapat membantu pemilih dalam menentukan pilihannya. Dengan cara mengetahui visi-misi dan program kerja apa saja yang ditawarkan oleh kedua calon pasangan.
dan siarkan langusng di sejumlah stasiun televisi, masih belum nampak apa yang diharapkan oleh jutaan rakyat Indonesia. Hanya ada beberapa peristiwa yang menarik, semisal pada segmen keempat atau saat tanya-jawab, pasangan nomor urut dua, Jokowi-Jusuf Kalla, mengkritik visi dan misi yang disampaikan pasangan nomor urut satu, Prabowo-Hatta, yaitu melindungi rakyat dari berbagai diskriminasi dan menjunjung HAM. Yang menyulut pergunjingan tentang ‘masa lalu’ Prabowo. Tapi, tetap itu masih menyoal gunjing-menggunjing. Pertanyaan atau –setidaknya—cara pandang dan cara berpikir sejarah belum nampak dari kedua pasangan tersebut. Apakah ini indikasi kedua pasangan tersebut tak begitu
memahami dan mengerti sejarah?
Sejarah. Pada Mulanya adalah Soekarno...
Di dalam bukunya yang berjudul Sejak Indische sampai Indonesia, Bapak Sejarah Indonesia, Sartono Kartodirdjo, mengatakan bahwa pengetahuan sejarah suatu bangsa berkaitan erat dengan kesadaran sejarahnya. Dan kesadaran sejarah, lanjut Sartono, adalah salah satu syarat suatu bangsa memiliki identitas. Karena dari sejarahlah indentitas itu ditemukan, dibentuk dan dilestarikan, kata Sartono.iii
Sejarah juga mencatat, negeri ini pernah dipimpin seorang Presiden yang begitu memahami
dan mengerti sejarah, yakni Soekarno. “Di tahun kedua studiku, aku lebih senang membaca buku-buku politik, sejarah dan filsafat, ketimbang buku pelajaran.” kata Soekarno dalam
Penyambung Lidah Rakyativ yang ditulis oleh Cindy Adams.
Tentu kita juga tahu, ketika Soekarno pada 1 Juni 1945 untuk pertama kalinya ia berpidato tentang landasan negara Indonesia; Pancasila. “Pancasila,” kata Soekarno, “bukan hasil ciptakanku, tapi aku hanya mengali dari bumi pertiwi. Pancasila memang sejak lama di bumi Nusantara.” Lanjut Soekarno memaparkan. Jika kita dapat berpendapat, tentu Soekarno takkan pernah bisa ‘menggali’ Pancasila dari bumi pertiwi tanpa ia memahami dan mengerti
sejarah Indonesia itu sendiri, bahkan sejarah dunia. Jadi apa itu sejarah menurut Soekarno?
Institutv. Soekarno di tawari mengajar Ilmu Hitung dan Sejarah. Tapi Soekarno memilih
mengajar sejarah. Syahdan, kala ia tengah mengajar sejarah didalam kelas, Soekarno bak berorasi di tengah kerumunan massa. Ia mengajarkan tentang Revolusi Perancis, Revolusi Perancis dan banyak peristiwa masa lampau lainnya dengan berapi-api. “Sejarah bukan hanya masa lampau, sejarah adalah masa kini dan masa depan. Sejarah adalah lokomotif!” kata Soekarno lantang. Kemudian sejarah mencatat, Soekarno diberhentikan dari sekolah
Ksatrian. Karena disela-sela Soekarno mengajar di dalam kelas, ada intel yang mengawasinya. Ia tuduh mengasut pemuda. “Memang, aku tak berbakat jadi pengajar.” Kata Sekarno kemudian.
Dari cerita itu, kita bisa mengetahui bagaimana cara pandang dan pikir Soekarno terhadap sejarah. Hingga ia dapat memahami dan mengerti sejarah, yang mampu ‘menggali’ Pancasila dari bumi pertiwi. Pertanyaannya kemudian, adakah dari kedua pasangan capres-cawapres yang memiliki cara pandang dan pikir sejarah seperti demikian?
Memang, dari kedua pasangan capres-cawapres dengan kasat mata mencoba mengidentikkan diri se-Soekarno-mungkin. Prabowo-Hatta dengan baju safarinya, Jokowi-JK dengan semboyan ‘Marhaenisme’-nya.vi Tapi keduanya hanya retorika belaka. Pertanyaanya masih
sama; bagaimana cara pandang dan pikir sejarah kedua capres-cawapres? Sejauh mana keduanya memahami dan mengerti sejarah?
Sejarah adalah....
Dalam bukunya Berpikir Historis, Sam Winnerburg berkelakar, bahwa belajar (atau membaca) dan mengajarkan sejarah adalah hal yang sulit.vii Mengapa? Bagi Sam, belajar dan
mengajarkan sejarah adalah menghadirkan kembali masa lampau ke masa kini. Dan itu hampir mustahil, kata Sam. Mungkin benar kata Goenawan Mohamad, bahwa sejarah adalah sebuah negeri asing.viii Dan membaca sejarah, menulis sejarah dan menyusun sejarah adalah
berkabung, kata Goenawan Mohamad lagi.ix Karna sejarah adalah ingatan. Dan ingatan sering
berkelindan dengan kenangan. Sejarawan atau guru sejarah dan pembaca sejarah, harus sadar tentang jarak dan ruang dirinya dan peristiwa sejarah. Karna sejarah adalah fatamorgana.x
Mungkinkah? Memang tidak ada yang tidak mungkin. Tapi ini ironis. Artinya, kita membutuhkan guru-guru yang memahami dan mengerti sejarah secara penuh. Agar tujuan Pendidikan Nasional kita tercapai. Tapi, saya kira, kita juga butuh presiden yang memahami
dan mengerti sejarah Indonesia. Agar tak hanya didalam kegiatan belajar-mengajar saja sejarah dibicarakan. Namun, sejarah –sebagai cara berpandang dan berpikir—pun harus dipraktek dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika hal ini diimplementasikan, tentu kita tak lagi melihat, bangunan-bangunan bersejarah kita dijadikan sebuah lokasi uji nyali, atau para wakil rakyat di Senayan yang korup terpilih lagi. Tentu hal ini berkaitan dengan sejarah. Dengan cara pandang dan pikir sejarah. Dengan ingatan. Karna, negeri yang tanpa sejarah, masa depan dikuasai mereka yang menguasai ingatan.xii
“The People must know their history.” Kata sastrawan terkemuka Rusia, Maxim Gorky dalam salah satu bukunya yang berjudul Culture and the People (1939). Bukan hanya sebuah slogan. Kata-kata Gorky adalah sebuah peringatan yang kerap didengungkan oleh sejumlah sastrawan dan seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tahun 1960-an. Salah satu sastrawan yang kerap mendengungkan dan menjalankan ‘teori’ Gorky itu adalah Pramoedya Ananta Toer. Pram kerap menulis roman dan novel berlatarkan sejarah. Menurut Pram, kesadaran akan sejarah akan membawa rakyat untuk mampu berpikir pula secara dialektis, yang ditandai dengan kemampuan memandang masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang sebagai kesatuan integral.xiii
Bagi Pram, tujuannya menulis karya sastra dengan latar sejarah ialah memberi keyakinan dan pemahaman kepada pembaca (baca: rakyat) bahwa masa sekarang merupakan pusat gerak sejarah yang sadar yang dipengaruhi oleh masa lalu dan menentukan masa yang akan datang.xiv
Sampai disini kita harus menyadari, bahwa memahami dan mengerti sejarah adalah sebuah fase cara pandang dan pikir yang mesti dimiliki oleh rakyat Indonesia, terlebih para pemimpinnya. Dan itu harus disadari sebelum kita masuk ke bilik suara 9 Juli nanti.
Hari ini, saat tulisan ini ditulis, minggu 15 Juni 2014, adalah untuk kedua kalinya debat capres digelar. Temanya adalah “Ekonomi” dan “Kesejahteraan Sosial”. Mungkin, jutaan rakyat Indonesia akan nobar (Nonton Bareng) debat tersebut. Menunggu tentang apa yang disampaikan oleh kedua capres.
Soal ekonomi dan kesejahteraan sosial adalah hal penting. Namun, kedua hal tersebut akan semakin berpijak dan memiliki sebuah landasan program kerja, jika dikaitkan dengan cara pandang dan pikir sejarah. Bahwa memahami dan mengerti sejarah Indonesia adalah sebuah keharusan. Bagaimana mungkin bisa berbicara tentang ekonomi kerakyatan, misalnya, tanpa membicarakan dan menelaah konsep Koperasi Mohammad Hatta. Atau membicarakan kesejahteraan sosial, misalnya juga, tanpa membicarakan dan menelaah konsep ‘Merdeka 100%’-nya Tan Malaka. Dan inilah yang disebut Pram, kita harus memahami dan meyakini bahwa masa sekarang adalah pusat gerak sejarah yang dipengaruhi oleh masa lalu dan menentukan masa depan. Sejarah selalu aktual!
2014 adalah momen penting. Selain berlangsung Piala Dunia di Brazil, Pilpres pun tak kalah penting. Terlebih, 9 Juli nanti bertepatan pada minggu pertama bulan suci Ramadhan. Artinya, kalau kita boleh mengaitkan, pemilihan presiden di bulan suci Ramadhan adalah tanggung jawab sejarah. Ingatkah kita pada 17 Agustus 1945, Soekarno membacakan Proklamasi disaat tengah berpuasa?
Tapi harus diingat, perbedaan dalam memilih tak perlu membuat kita saling menuding dan mencaci. Perbedaan, kata Gus Dur, adalah kekuatan dan keindahan Indonesia. Tapi, yang terpenting adalah Dicari: Presiden Yang Memahami dan Mengerti Sejarah! Agar kita (rakyat Indonesia) tahu dan sadar, kita berpijak dimana, darimana dan akan kemana. Dan untuk itu, hanya pemimpin dan rakyat yang memahami dan mengerti sejarahlah yang mampu menjawabnya. []
Daftar Pustaka: Buku:
Kartodirdjo, Sartono. 2005. Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta; Penerbit Buku Kompas.
Ed. Purwanto Setiadi,dkk. 2011. Douwes Dekker: Sang Inspirator Revolusi (Seri Buku TEMPO: Bapak Bangsa) , Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.
Winerburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia.
Harian, Majalah dan Laman: Harian Kompas, 10 Juni 2014
Majalah Tempo, Edisi 29 Desember 2013 Majalah Tempo, Edisi 27 Oktober 2013
Laman: http://gerakanaksara.blogspot.com/
Laman: http://indoprogress.com/1
i Mahasiswa Strata-1 Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
ii Harian Kompas 10 Juni 2014. Hal. 1 dan 15.
iii Sartono Kartodirdjo, 2005. Sejak Indische sampai Indonesia, Jakarta; Penerbit Buku Kompas.
Hal 123.
ivCindy Adams, 1966. Bung Karno:Penjambung Lidah Rakjat, Jakarta; Gunung Agung. Hal. 71
v Ed. Purwanto Setiadi,dkk, Douwes Dekker: Sang Inspirator Revolusi (Seri Buku TEMPO: Bapak
Bangsa) , Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011. Hal. 53.
vi Untuk paparan ini lihat artikel “Dua Tubuh Soekarno” tulisan Jhon Roosa di laman http://indoprogress.com/2014/06/dua-tubuh-soekarno/ [diakses 15/06/14pukul 15:12 WIB]
vii Sam Winerburg, 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu.
Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. Hal. 95 dan 207.
viii Majalah Tempo 27 Oktober 2013. Hal. 154.
ix Majalah Tempo 29 Desember 2013. Hal. 178.
x Tyo Prakoso Belajar dari Raja Mogok. Dalam laman
http://gerakanaksara.blogspot.com/2014/06/belajar-dari-raja-mogok.html [diakses 15/06/14 pukul 16:28]
xi Lihat dalam draft Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Sejarah Kelompok
Peminatan Ilmu-ilmu Sosial Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) dalam Kurikulum 2013. Jakarta; Kemendikbud, 2013.
xii Kata Michael sturmer di kutip dari makalah Taufik Abdullah Masalah Kontemporer Imu
Sejarah dan Historiograf. Dalam Jurnal Kalam tahun 1997. Hal. 67.
xiii Dikutip dari Eka Kurniawan. 2006. Pramoedya dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta;
Gramedia Pustaka Utama. Hal. 148.