BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM HUKUM INDONESIA
A. PENGERTIAN DAN UNSUR -UNSUR TINDAK PIDANA
Pembentukan undang-undang kita telah menggunakan perkataan
“Strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita sebut sebagai “Tindak Pidana”di dalam KUHP tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang
sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Strafbaarfeit”tersebut.
Pengertian tindak pidana belum ada kesatuan pendapat diantara para
sarjana, dalam garis besarnya perbedaan pendapat tersebut terbagi dalam dua
aliran atau dua pandangan monistis dan pandangan dualistis. Menurut Moeljatno,
pandangan monistis adalah bahwa para sarjana melihat keseluruhan (tumpukan)
syarat untuk adanya pidana kesemuanya itu merupakan sifat dari perbuatan,
sedangkan pandangan dualistis adalah membedakan dengan tegas dapat
dipidananya perbuatan dan dipidana orangnya, dan sejalan ini dipisahkan, maka
pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.28
Menurut Simon, Strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel Berdasarkan pengertian dan pemisahan pandangan tersebut berikut ini
akan disebutkan pendapat para sarjana berdasarkan pandangan mereka
masing-masing sehingga jelas letak perbedaannya.
1. Aliran Monistis
28
mengatakan bahwa Strafbaarfeit adalah kelakuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.
Tindak pidana menurut E. Mezger adalah keseluruhan syarat untuk adanya
pidana. Menurut Karni, Delik itu mengandung perbuatan yang mengandung
perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna
akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan. Dan
menurut definisi pendek Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
Jadi jelas sekali dari definisi-definisi tersebut diatas tidak adanya “pemisahan
antara Criminal Act dan Criminal Responsibility”.29 2. Aliran Dualistis
Pompe berpendapat bahwa menurut hukum positif, Strafbaarfeit adalah tidak lain dari pada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, selanjutnya menurut beliau bahwa menurut teori Strafbaarfeit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam
dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.“Pandangan golongan
dualistis ini mengadakan pemisahan antara dilarangnya suatu perbuatan dengan
sanksi ancaman pidana dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat”.30
1. Aliran Monistis
Penggolongan pandangan para sarjana tersebut diatas juga merupakan
penggolongan terhadap unsur-unsur tindak pidana yang terbagi menjadi dua yaitu:
29Ibid, hal 26 30Ibid,
Menurut pendapat D. Simons, unsur-unsur Strafbaarfeit adalah: a. Perbuatan manusia
b. Diancam dengan pidana
c. Melawan hukum
d. Dilakukan dengan kesalahan
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
Selanjutnya Simon menyebutkan adalah unsur objektif dan unsur
subjektif. Yang disebut sebagai unsur objektif dari Strafbaarfeit adalah : a. Perbuatan orang
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu
“ seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “Openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur subjektif dari Strafbaarfeit adalah : a. Orangnya mampu bertanggung jawab
b. Adalah kesalahan (dolus atau culpa) perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan.”
Menurut Van Hamel, “unsur-unsur Strafbaarfeit adalah : a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang
b. Bersifat melawan hukum
c. Dilakukan dengan kesalahan
d. Patut dipidana.”31
Menurut E. Mezger, “unsur-unsur tindak pidana” adalah :
a. Perbuatan dalam arti yang luar dari manusia
b. Sifat melawan hukum
c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
d. Diancam dengan pidana.”32
2. Aliran Dualistis
Menurut H.B. Vos, Strafbaarfeit hanya dirumuskan : 1. Kelakuan manusia
2. Diancam pidana dalam undang-undang
Kemudian menurut Moeljatno, perbuatan pidana memiliki unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
3. Bersifat melawan hukum (syarat materil)
Syarat formil tersebut harus ada, hal ini disebabkan karena :
Adanya asas legalitas yang tersimpul dalam pasal 1 KUHP, syarat materil
itu harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan, oleh
karena bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan
masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.
Selanjutnya Moeljatno berpendapat :
“Bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat
tidak orang yang berbuat.”33
32Ibid 33Ibid
Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila
diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah.
Melakukan perbuatan pidana belaka atau disamping itu pada orang tersebut harus
ada kesalahan dan bertanggung jawab. Jika seseorang melakukan tindak pidana
kejahatan dan harus masuk ke dalam persidangan. Hukum Acara Pidana akan
memberi keterangan seperti: rangkaian peraturan hukum yang menentukan
bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara
kepidanaan dan bagaimana cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang
yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum
perbuatan melanggar hukum itu terjadi, dengan lain perkataan: Hukum Acara
Pidana ialah hukum yang mengatur tata cara bagaimana alat-alat negara
(Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) harus bertindak jika terjadi pelanggaran.
Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak
pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan menurut
aturan-aturan hukum yang berlaku, dan si tersangka dalam sidang itu diberikan segala
jaminan hukum yang telah ditentukan dan yang telah diperlukan untuk pembelaan.
Lapangan kepidanaan meliputi hal pengusutan, penuntutan, penyelidikan,
penahanan, pemasyarakatan dan lain-lain. Perkara pidana ialah perkara tentang
pelanggaran atau kejahatan terhadap suatu kepentingan, umum, perbuatan mana di
ancam dengan hukuman yang bersifat suatu penderitaan.
B. PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN A. Pengaturan Tindak Pidana Dalam Bidang Perbankan
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenal adanya
di dalam kepustakaan hukum pidana dikenal adanya kedua istilah tersebut,
meskipun belum terdapat adanya pengertian yang seragam terhadap
masing-masing istilah“tindak pidana perbankan” dan “tindak pidana dibidang
perbankan”.
Menurut Marulak Pardede34
Marwan Effendi
pengertian istilah tindak pidana di bidang
perbankan adalah tindak pidana yang terjadi di kalangan dunia perbankan, baik
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
diubah menjadi Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998, sedangkan
yang dimaksud dengan istilah tindak pidana perbankan adalah tindak
pidana yang di atur dalam undang-undang yang sifatnya intern.
Pengertian istilah tindak pidana perbankan dan tindak pidana di bidang
perbankan yang telah diberikan oleh Marulak Pardede tersebut, maka dapat
diketahui bahwa dalam pengertian istilah tindak pidana di bidang perbankan lebih
luas dibanding istilah tindak pidana di bidang perbankan sudah termasuk tindak
pidana yang diatur dalam Undang tentang perbankan dan
Undang-undang tentang Bank Indonesia.
35
34
Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta) Tahun 1995, cetakan Pertama.Hal. 13
35
Marwan Effendi, Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana (CV Sumber Ilmu Jaya, Jakarta Tahun 2005 cetakan Pertama) hal 13,14
memberikan pengertian istilah tindak pidana perbankan
adalah tindak pidana sebagaimana dirumuskan di dalam Undang-Undang tentang
perbankan dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, sedang tindak pidana di
bidang perbankan adalah tindak pidana yang bersangkutan patut dengan tindak
pidana lain yang terkait dengan perbankan, seperti KUHP, Undang-Undang
Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang tentang Lalu Lintas Devisa dan sistem
nilai tukar dan lain sebagainya.
Pengertian istilah tindak pidana perbankan dan tindak pidana dibidang
perbankan adalah seperti tersebut diatas dapat diketahui bahwa menurut Marwan
Effendi dalam pengertian istilah tindak pidana dibidang perbankan tidak dapat
dikatakan lebih luas atau lebih sempit jika dibandingkan dengan pengertian tindak
pidana perbankan, karena masing masing istilah tersebut memuat pengertian yang
berbeda, yaitu dalam pengertian istilah tindak pidana perbankan memuat
pengertian perumusan tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-Undang tentang perbankan dan Undang-Undang-Undang-Undang tentang Bank Indonesia, sedang
dalam pengertian istilah tindak pidana di bidang perbankan memuat pengertian
tindak pidana yang bersangkut paut dengan tindak pidana lain yang terkait dengan
perbankan atau tindak pidana selain tindak pidana yang dirumuskan di dalam
Undang-Undang tentang Perbankan dan Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
Berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh merulak Pardede dan
Marwan Effendi, menurut M. Sholehuddin36, istilah tindak pidana perbankan
tidak hanya mencakup setiap perbuatan yang melanggar ketentuan
Undang-Undang perbankan nomor 6 Tahun 2009, Peraturan Hukum Pidana Khusus,
seperti Undang tentang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang-Undang-Undang tentang Lalu lintas
Devisa dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Subversi.37
36
M. Sholehuddin, Tindak Pidana Perbankan ( PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun1997) hal, 11
37
Setelah dikemukakan adanya istilah tindak pidana perbankan dan tindak
pidana di bidang perbankan beserta pengertiannya dalam kepustakaan hukum
pidana, maka timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan tindak pidana”
dibidang perbankan” dalam pasal 2 ayat (1) huruf g.
Menurut penulis yang dimaksud dengan pengertian tindak pidana
dibidang perbankan, tersebut adalah pengertian “tindak pidana dibidang
perbankan’ yang diberikan oleh Marulak Pardede atau pengertian “tindak pidana
di bidang perbankan” yang diberikan oleh M. Sholehuddin atau “ tindak pidana di
bidang perbankan yang diberikan oleh seminar Tindak Pidana Bidang Perbankan,
karena dalam ketiga pengertian yang dimaksud sudah termasuk tindak pidana
seperti yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1992 yang diubah dengan UU No.
10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 3Tahun
2004.
Tindak pidana di bidang perbankan menurut Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Tindak pidana di bidang perbankan
adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crime against the bank).38
38
Hermansyah, Hukum Perbankan Indonesia Kencana, Jakarta,2006, hal 149
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tindak pidana di
bidang perbankan terdiri dari tiga belas (13) macam, namun dalam penulisan ini
hanya membahas 4 (empat) macam tindak pidana dalam perbankan yaitu Tindak
rahasia bank, Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
bank dan Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
B. Jenis Tindak Pidana di Bidang Perbankan
1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
Tindak pidana di bidang perbankan yang tergolong dalam kelompok ini
adalah tindak pidana yang berhubungan dengan perizinan pendirian bank sebagai
lembaga keuangan. Setiap orang yang ingin mendirikan bank, tentunya harus
memenuhi syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang.
Pihak yang mendirikan bank, tetapi bank tersebut didirikan tidak berdasarkan atas
syarat atau ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang, pihak pendiri bank
tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana di bidang perbankan
kelompok ini dan Bank yang telah didirikan tersebut dinamakan bank gelap.39
Ayat (2): “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseorangan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok
Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak
pidana yang berkaitan dengan perizinan, terdapat dalam Pasal 46, yang berbunyi:
Ayat (1): “Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa izin usaha dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).”
39
perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.”
2. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok
Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak
pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, terdapat dalam Pasal 47 ayat (1),
Pasal 47 ayat (2), dan Pasal 47A yang berbunyi:
Ayat (1):“Barangsiapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah).”
Ayat (2):“Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).” Pasal 47A:“Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).”
Terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, ada
beberapa pengecualian sehingga pihak yang melakukan tindak pidana rahasia
bank yang dikecualikan tersebut, tidak dipidana. Pengecualian tersebut adalah:40
1. Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Perpajakan.
Pada awalnya berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, untuk kepentingan perpajakan, Menteri
keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar
memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat
menyurat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak.
Ketentuan tersebut telah mengalami perubahan seiring dengan diubahnya
ketentuan dalam Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tersebut.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ketentuan dalam Pasal 41
ayat 1 menjadi:
“Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.”
Dalam hal pembukaan rahasia bank tersebut, maka pembukaannya harus
ada permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Sedangkan mengenai keperluan
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan lainnya,
tidak diperlukan permintaan.Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 35 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, yang menjelaskan bahwa untuk
kepentingan menjalankan peraturan perundang-undangan pajak, pihak pajak dapat
langsung meminta keterangan atau bukti dari bank mengenai keadaan nasabahnya
sepanjang mengenai perpajakan.
Ketentuan mengenai pembukaan rahasia bank untuk penyelesaian
piutang Negara merupakan ketentuan yang baru. Pasal yang mengatur untuk itu,
yaitu Pasal 41A menyatakan bahwa:
“Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah debitur.”
Izin untuk pembukaan rahasia dalam rangka penyelesaian Piutang
Negara tersebut dapat diperoleh apabila dilakukan permohonan tertulis oleh
Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara serta Ketua Panitia Urusan
Piutang Negara.Permintaan tersebut harus menyebutkan nama dan jabatan Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara atau Panitia Urusan Piutang Negara, nama
nasabah debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keterangan.
3. Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Peradilan.
Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan untuk kepentingan peradilan dalam
perkara pidana, Menteri keuangan dapat memberi izin, secara tertulis, kepada
polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan
keuangan tersangka/ terdakwa pada bank. Selain izin dari Menteri Keuangan, juga
harus ada permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa
Agung, atau Ketua Mahkamah Agung. Sedangkan menyangkut perkara perdata
antara bank dengan nasabahnya, informasi dan keterangan dapat diberikan tanpa
izin dari Menteri Keuangan. Direksi bank yang bersangkutan dapat
menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang
tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
4. Pengawasan Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Kegiatan Perbankan.
Pembukaan yang menyangkut data dari nasabah yang termasuk pula
sebagai rahasia bank dalam hal untuk kelancaran kegiatan bank, terbatas dalam
hal tukar menukar informasi antar bank. Tukar menukar informasi antar bank
dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha bank, antara
lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari suatu
bank ke bank yang lain. Dengan demikian, bank dapat menilai tingkat resiko yang
dihadapi sebelum melakukan transaksi dengan nasabah atau bank lain. Hal ini
tercantum dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Peraturan pelaksanaan dari ketentuan mengenai tukar menukar informasi
mencakup pengaturan tata cara penyampaian dan permintaan informasi serta
bentuk dan jenis informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indikator
secara garis besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan, dan masuk tidaknya
debitur yang bersangkutan dalam daftar kredit macet. Peraturan yang berlaku saat
ini yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/120/KEP/DIR
tentang Tata Cara Tukar Menukar Informasi Antar-Bank, tanggal 25 Januari 1995.
5. Pembukaan Rahasia Bank Atas Permintaan Pemegang Rekening.
Pembukaan rahasia yang tidak dikenakan pidana, bisa saja dilakukan
sendiri maupun melalui kuasa hukum nasabah pemegang rekening. Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44A ayat (1) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi:
Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang
dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan
nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk
oleh nasabah penyimpan tersebut.”
6. Pembukaan Rahasia Bank Karena Kepentingan Ahli Waris
Jika nasabah penyimpan telah meninggal dunia, maka ahli waris dari
nasabah penyimpan tersebut berhak mengajukan permintaan untuk membuka
keadaan keuangan nasabah penyimpan yang telah meninggal tersebut.Hal ini bisa
saja untuk menyelesaikan hak dan kewajiban nasabah penyimpan di bidang
keuangannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44A
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
berbunyi:
“Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari
nasabah penyimpan yang bersangkutam berhak memperoleh keterangan mengenai
simpanan nasabah penyimpan tersebut.”
Pembukaan rahasia bank berkaitan dengan Pelaksanaan kewajiban bank
dalam hal pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan
(PPATK). Hal ini terdapat dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi:
“Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh penyedia jasa keuangan yang berbentuk
bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank.”
3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok
Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak
pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) dan
Pasal 48 ayat (2), yang berbunyi:
Ayat (1): “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan
sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal
34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,- (seratus miliar rupiah).”
Ayat (2): “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang lalai
dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2),
diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp.
1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).”
4. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank
Sehubungan dengan semakin banyak dan bervariasinya kegiatan dan
usaha suatu bank, maka bank tersebut perlu untuk menjaga kepercayaan
masyarakat dengan cara menggunakan dana nasabahnya secara bertanggungjawab
yang diwujudkan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban yang akan
diumumkan langsung kepada publik melalui media massa, maupun diberikan
kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas jasa keuangan.
Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan
Komisaris,Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam
pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak
dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,
maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi
atau rekening suatu bank;
c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau
menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam
transaksi atau rekeningsuatu bank, atau dengan sengaja mengubah,
mengaburkan, menghilangkan,menyembunyikan atau merusak catatan
pembukuan tersebut.
Di ancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan
palinglama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 49 ayat (2) huruf a:
“Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan segaja meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) butir a dan b, istilah
pengawai bank dalam pasal tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam
ketentuan Pasal 49 ayat (1) dan ketentuan Pasal 49 ayat (2) butir a bahwa yang
dimaksud dengan pegawai bank adalah semua pejabat dan karyawan bank,
sedangkan dalam Pasal 49 ayat (2) butir b yang dimaksud dengan pegawai bank
adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggungjawab tentang
hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.41
41
Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak
Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 50A. UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pemegang saham yang
dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan
lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda
sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. :
M01.PW.07.03Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana tindak pidana perbankan
termasuk dalam tindak pidana khusus (sebagai penjelasan dari Pasal 284
KUHAP). Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini
Kejahatan orang dalam adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam bank
terhadap bank (crimesagainst the bank). Kejahatan “orang dalam” dalam bentuk penipuan (fraud) dan selfdealing merupakan penyebab utama kehancuran bank karena bagian terbesar aset bank berbentuk likuid.42Di Amerika Serikat misalnya
insider fraud merupakan 50% dari kejahatan yang terjadi pada perbankan.43Kejahatan oleh “orang dalam” ini dapat dilakukan oleh pengurus dan
atau pemegang saham dominan (pemegang saham pengendali) yang
mempengaruhi pengurus bank.Kejahatan yang dilakukan tersebut dapat
digolongkan ke dalam dua cara. Pertama, dilakukan dengan memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri secara melawan hukum.Kedua,
mismanagement berat berupa tindakan ceroboh yang oleh hakim pasti dikecualikan dari prinsip business judgement.44
Kejahatan “orang dalam” sangat erat kaitannya dengan dominasi terhadap
kebijakan dan administrasi oleh seorang atau beberapa orang dan lemahnya
pengawasan baik pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun
eksternal (regulator). Di samping itu, berbagai ketentuan yang berlaku menyebabkan bank sering mengambil risiko yang berlebihan, yang menyebabkan
turunnya tingkat pengawasan internal, sehingga kegagalan bank yang disebabkan
oleh penipuan oleh orang dalam menjadi lebih tinggi.45
Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan
oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya
diterapkan yaitu Pertama. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan
42
Jonathan R. Macey and Geoffrey P. Miller, “Bank Failures, Risk Monitoring, and the Market for Bank Control”,Columbia Law Review, (October 1988), hal.255
43
.FDIC DOS Manual of Exam Policies Bank Fraud and Insider Abuse, Section 9.3 44
Ibi d
45
KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372
(penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362
(pencurian), dll.Pasal-pasal KUHP diterapkan biasanya apabila bank menjadi
korban dari suatu tindak pidana misalnya kasus pembobolan BNI 46 New York
oleh salah seorang mantan pegawainya dikenakan pasal362 KUHP (pencurian).
Kedua, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999. Ketentuan Korupsi,Undang-Undang-Korupsi,Undang-Undang Korupsi biasanya
diterapkan terhadap kasus yang menimpa bank pemerintah.UU ini dipergunakan
untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan
memperoleh uang pengganti atas kerugian negara.
Ketiga, UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-undang ini biasanya diterapkan apabila Komisaris, Direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan bank
“orangdalam” atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai
pelakunya. Sebagai perbandingan di Malaysia setiap director atau pejabat bank dinyatakan bertanggung jawab secara pribadi apabila memberikan fasilitas kredit
melampaui batas yang ditentukan atau diluar persyaratan yang telah ditetapkan
atau bertentangan dengan pedoman atau perjanjian, dihukum lima tahun penjara
ataudenda 5 juta ringgit.46
46