BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dismenore
1. Pengertian Dismenore
Dismenore adalah keluhan sewaktu haid dalam siklus teratur akibat dari peningkatan kadar prostaglandin dalam darah haid (Pritchard, MacDonald, & Gant,
1991). Dismenore didefenisikan sebagai kram menstruasi yang menyakitkan dan dibagi menjadi dismenore primer (tanpa patologi) dan dismenore sekunder (karena
patologi) (Rees, et al. 2008).
2. Klasifikasi Dismenore
Dismenore dibagi menjadi dua yaitu dismenore primer dan dismenore sekunder. Dismenore primer adalah nyeri saat haid tanpa ada patologi sedangkan dismenore sekunder adalah nyeri haid dikarenakan ada patologi (Rees, et al. 2008).
3. Etiologi Dismenore
Dismenore primer terjadi akibat endometrium mengandung prostaglandin dalam jumlah tinggi. Selama siklus menstruasi yaitu pada fase luteal, hormon
progesterone sangat mempengaruhi endometrium yang mengandung prostaglandin. Akibatnya prostaglandin menjadi meningkat yang menyebabkan kontraksi miometrium yang kuat sehingga terasa nyeri. Dismenore sekunder mungkin disebabkan karena endometriosis, polip atau fibroid uterus ,penyakit radang panggul (PRP), perdarahan uterus disfungsional, prolaps uterus, maladaptasi pemakaian AKDR, produk kontrasepsi yang tertinggal setelah abortus spontan, abortus
terapeutik, atau melahirkan, dan kanker ovarium atau uterus (Morgan & Hamilton,
4. Gejala Klinis Dismenore
Dismenore primer muncul berupa serangan ringan, kram pada bagian tengah, bersifat spasmodik yang dapat menyebar ke punggung atau paha bagian dalam.
Umumnya dismenore primer ini dimulai 1 – 2 hari sebelum menstruasi, namun nyeri
paling berat selama 24 jam pertama menstruasi dan mereda pada hari kedua.
Dismenore primer kerap disertai efek samping seperti muntah, diare, sakit kepala, sinkop, nyeri kaki (Morgan & Hamilton. 2009).
5. Karakteristik Dismenore
Menurut Morgan dan Hamilton (2009), dismenore primer umumnya dimulai
1-3 tahun setelah menarce dan bertambah berat setelah beberapa tahun sampai usia
23-27 tahun, lalu mulai mereda. Dismenore terjadi pada wanita yang berusia antara
20 tahun hingga 24 tahun yang mana episode dismenore yang paling parah biasanya
berlaku pada usia sebelum 25 tahun (Azifah, 2010. Hal 1).
Umumnya terjadi pada wanita nulipara dan kerap menurun signifikan setelah
kelahiran anak. Lebih sering terjadi pada wanita obesitas. Dismenore jarang terjadi
pada wanita yang memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur. Dismenore berkaitan
dengan aliran darah menstruasi yang lama dan jarang terjadi pada atlet. Sedangkan
pada dismenore sekunder, kasus ini dimulai setelah usia 20 tahun dan nyeri bersifat
unilateral. Faktor risiko durasi dan tingkat keparahan dismenore adalah usia
menarche, periode menstrual yang panjang dan juga adanya riwayat merokok (Azifah, 2010, hal 1).
6. Skala Pengukuran Tingkat Nyeri Dismenore
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
orang yang berbeda (Septiani, 2011. hal 15). Dismenore termasuk ke dalam nyeri visceral karena nyeri berada di rongga abdominal (Moeliono, 2008).
Menurut Perry & Potter (2005), skala penilaian Numeric Rating Scale (NRS)
digunakan untuk menggantikan penilaian dengan deskripsi kata. Klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala yang paling efektif digunakan unruk
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi terapeutik.
Keterangan :
0 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan
4-6 : nyeri sedang
7-10 : nyeri berat
7. Penatalaksanaan Dismenore
Pemeriksaan panggul normal dilakukan pada wanita dengan dismenore
primer. Pemeriksaan panggul memiliki manfaat diagnostik dan memberikan
kesempatan untuk mendidik dan meyakinkan pasien tentang fungsi normal
reproduksi. Namun, jika pasien sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan
seksual secara aktif dan riwayat mengarah kepada dismenore primer, uji coba obat
Seseorang mulai mengkonsumsi NSAID pada saat tanda mulainya menstruasi
atau dismenore dan dilanjutkan selama 2 – 3 hari. Dosis yang dianjurkan adalah ibuprofen 400 – 800 mg setiap 6 jam, atau naproxen (220 – 550 mg) 2 kali sehari. Jika seseorang tidak merespon kerja NSAIDs, pil kontrasepsi merupakan pengobatan
efektif untuk dismenore primer. Jika pasien tidak merespon keduanya, dismenore
sekunder lebih mungkin terjadi dan pemeriksaan panggul dianjurkan. Para dokter
mengevaluasi pasien dengan dismenore sekunder harus mengetahui riwayat seksual
dan melakukan pemeriksaan panggul walaupun pasien tidak aktif secara seksual.
Pemeriksaan gonore dan klamidia, CBC dan tingkat pengendapan, dan periksa kehamilan harus dilakukan. Konsultasi dengan ahli ginekolog dianjurkan untuk
melihat endometriosis atau masalah kongenital dengan ultrasonografi atau laparoskopi. Pengobatan berdasarkan penyebab (Hay, et al. 2003).
Obat yang sering digunakan untuk menghilangkan radang dan rasa nyeri
adalah obat – obatan analgetika atau Obat Antiinflamasi (OAINS). Meskipun berkhasiat menghilangkan radang dan nyeri, obat ini tidak boleh digunakan
sembarangan. Pasalnya, jika digunakan bertahun – tahun dengan dosis tinggi, bisa
menimbulkan adiksi, penegroposan tulang , dan tulang rawan. Pada masa lalu, memang obat – obatan nonsteroid berhasil menghambat leukotrin dan prostaglandin.
Tetapi, akibatnya berefek samping berupa nyeri lambung dan kerusakan ginjal
(Hawarti, 2010. ¶ 2).
B. Ekstrak Jahe
Jahe (Zingiber officinale roscoe) yang terhimpun di dalam famili
berketinggian berkisar 500-1000 m di atas permukaan laut. Jahe memiliki rhizome
yang tumbuh secara horizontal. Rhizome ini memberikan aroma khas dan terasa
pedas (Widya. 2007).
Jahe (Zingiberaeae) adalah salah satu rempah yang paling lazim digunakan
dalam makanan di seluruh dunia dan memiliki keragaman penggunaan medisinal.
Jahe ditanam pada iklim tropis yang lembap dan hangat di India, Cina, Sri Lanka,
Asia Tenggara, Nigeria, dan Jamaika. Rimpangnya adalah bagian tumbuhan yang
digunakan dan tersedia di perdagangan baik yang sudah ataupun belum dikupas.
Penggunaan jahe sebagai obat di Eropa memiliki sejarah kuno dan dapat ditelusuri
dari masa Yunani dan Romawi. Tumbuhan ini juga telah tercantum dalam Ayurveda
dan kitab-kitab agama lain yang tertulis pada 2000 SM, ketika jahe diketahui
membantu pencernaan serta untuk rematik dan peradangan (Michael, et al. 2009).
Beberapa khasiat jahe yang telah terbukti berdasarkan Kemenkes (2008, dalam
Tim TPC, hal 4), antara lain untuk mengatasi mual dan muntah (akibat mabuk
kendaraan, mual pagi hari pada wanita hamil) diare, perut gembung, demam, batuk
berdahak, flu, pegal linu, tidak nafsu makan, kaki kesemutan, keracunan makanan,
kolik, rematik, sakit pinggang, nyeri haid, dan keseleo.
Bagian utama pada jahe yang dimanfaatkan adalah rimpangnya. Rimpang
jahe digunakan secara luas sebagai bumbu dapur dan obat herbal untuk beberapa
penyakit. Rimpang jahe mengandung beberapa komponen kimia yang berkhasiat
bagi kesehatan (Tim Lab IPB. 2011). Komponen utama dari jahe segar adalah
senyawa homolog fenolik keton yang dikenal sebagai gingerol (Mishra. 2009, dalam
Hernani dan Winarti, hal 127). Kandungan gingerol jahe merah lebih tinggi
dibuktikan mempunyai aktivitas sebagai anti inflamasi atau pereda nyeri (Hernani &
Winarti, 2011. ¶ 9).
Konsumsi jahe juga telah dilaporkan memiliki efek bermanfaat meringankan
nyeri dan frekuensi sakit kepala migrain, dan penelitian tentang kerjanya pada
keadaan rematik menunjukkan efek yang bermanfaat. Pembedaan dibuat antara indikasi untuk rimpang segar (muntah, batuk, kembung abdomen, dan pireksial) dan
rimpang yang dikeringkan atau telah diolah (nyeri abdomen, lumbago, dan diare).
Hal ini dapat dibenarkan karena kandungan kimianya terdapat dalam perbandingan
berbeda di dalam sediaan yang berbeda (Michael, et al. 2009).
Jahe merupakan obat alami anti inflamasi atau penghilang rasa sakit saat
menstruasi. Ekstrak jahe dapat menekan pengeluaran prostaglandin dan leukotrin pada endometrium yang mengakibatkan kontraksi kuat sehingga timbul rasa nyeri yang disebut dismenore atau nyeri haid (Burner, 2012. ¶ 8). Penggunaan jahe pada
dosis 6 gram perhari atau lebih dapat menyebabkan iritasi lambung (Hawarti, 2010. ¶
5).
Dua hal utama dalam ekstrak rempah – rempah adalah essential oil dan
oleoresin. Oleoresin jahe merupakan cairan berwarna coklat gelap dan mempunyai kandungan minyak atsiri berkisar 15 – 35%, dan senyawa pembentuk rasa yaitu
gingerol, shogaol, zingeron, bersifat agak kental rasa jahe. Oleoresin jahe yang digunakan dalam pengolahan pangan didapat dari ekstraksi rimpang jahe segar, jahe
kering, atau tepung jahe. Oleoresin mengandung total rasa dan aroma khas bahan
asalnya (Widya, 2007).
Senyawa bioaktif yang dikandung jahe (misalnya gingerol atau minyak
menggunakan panas yang berlebihan patut untuk dihindari. Walaupun demikian,
dalam larutan berair, gingerol dapat bertahan sampai suhu 100 derajat celcius.
Ekstraksi adalah suatu metoda atau cara untuk memindahkan atau
mengeluarkan sebuah senyawa atau zat dari suatu medium ke medium yang lain atau
suatu proses untuk mendapatkan suatu zat (Widya. 2007). Teknik ekstraksi yang
lazim dan sering digunakan yaitu teknik ekstraksi yang menggunakan pelarut
organik. Prinsip kerjanya adalah diawali dengan penggilingan rimpang jahe kering
yang tidak dikupas kemudian menghancurkannya hingga diperoleh serbuk jahe.
Selanjutnya dilakukan ekstraksi oleoresin dari serbuk jahe dengan menggunakan
pelarut organik (etanol atau aseton). Selama proses ekstraksi berlangsung maka harus dipastikan bahwa seluruh serbuk jahe terendam dalam pelarut. Kemudian
hasilnya disaring untuk mendapatkan cairan berwarna coklat kekuningan atau coklat
gelap yang terdiri dari oleoresin dan sisa pelarut. Tahap terakhir dari pengolahan jahe
menjadi oleoresin ini adalah proses penguapan pelarut dengan prinsip perbedaan titik
didih (Fakhruddin, 2008. hal 25).
Pembuatan oleoresin jahe diawali dengan pembuatan bubuk jahe. Bubuk jahe
dibuat dari jahe segar yang ditimbang sebanyak ±800 gram. Jahe kemudian dipotong
tipis-tipis tanpa proses penguapan terlebih dahulu. Setelah itu, jahe kemudian
dikeringkan dan dihaluskan dengan menggunakan blender. Hasil yang diperoleh
adalah bubuk jahe. Bubuk jahe ini kemudian direndam dalam larutan etanol 95%
dengan perbandingan bubuk jahe : etanol sebesar 1 : 4. Filtrat kemudian disaring
dengan pompa vakum dan dipekatkan dengan rotary evaporator pada kecepatan 80 rpm dan suhu 50’C. Pemekatan ini berlangsung hingga tidak ada lagi etanol yang
menetes di bagian labu pemisah. Ekstrak jahe yang diperoleh merupakan oleoresin
dilakukan dengan cara dijemur di panas matahari di atas tampah ataupun para-para
yang ditutupi kain hitam. Tempat penjemuran tidak boleh mengenai tanah minimal
jaraknya ± 4 cm dari permukaan tanah (Sofianna & Yuliani, 2009. ¶ 4).
Cara mengonsumsi ekstrak jahe yaitu pemberian jahe secara per oral
sebanyak 2 gr/hari sekali diminum saat 1 hari atau 2 hari sebelum menstruasi , atau
saat 24 jam pertama menstruasi tergantung kapan dismenore timbul kemudian
ditunggu reaksinya selama 15 menit untuk mengukur tingkat nyeri pada dismenore
(Hua. 2012).
C. Dasar Penelitian
Pada penelitian Hua (2012) yang bertujuan untuk menguji pengaruh ekstrak
jahe terhadap penurunan dismenore primer pada mahasiswa keperawatan UNSOED
tahun 2010-2012 dengan desain penelitian quasy eksperimen one group pretest and
posttest dimana menggunakan satu kelompok yaitu kelompok intervensi. Jumlah responden 70 orang dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling.
Variabal-variabel yang diteliti berupa karakteristik responden yaitu usia. Selain itu,
dikukur pula skala nyeri haid sebelum intervensi dan sesudah intervensi.
Pada penelitian yang saya lakukan dengan tujuan menguji pengaruh ekstrak
jahe terhadap penurunan dismenore primer pada mahasiswa kebidanan Poltekkes
Medan dengan desain penelitian quasy eksperimen one group pretest and posttest
dimana menggunakan satu kelompok yaitu kelompok intervensi. Jumlah responden
35 orang dengan teknik pengambilan sampel total sampling. Variabel yang diteliti
berupa skala nyeri haid sebelum dan sesudah intervensi.
Beberapa hal persamaan antara peneliti terdahulu dengan penelitian ini yaitu
penelitian dan teknik pengambilan sampel. Pada penelitian ini, saya tidak melakukan
identifikasi karakteristik responden, misalnya usia responden yang dilakukan oleh