BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung pada tahun 1886,
namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga
tahun 1938, Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. Herald
Hirschsprung melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada
saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal
Swedia ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11
bulan yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang
berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai
penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat obatan
dan simpatektomi. (Swenson,1990)
2.2 Anatomi
Kolon (usus besar) memiliki panjang 3-5 kaki sekum yang paling lebar
diameternya adalah 7,5-8.5 cm, bagian sigmoid paling sempit panjangnya hanya
2,5 cm. otot longitudinalis luar bekoluasen kedalam 3 tenia koli yang berbeda yang dimulai pada apendiks dan berakhir pada rektum, haustra koli adalah kantung keluar kolon asenden dan desenden letaknya
retroperoneal,transversal,sigmoid sekum letaknya intraperitoneal dan omentum
Sumber : http://medicastore.com/images/anatomi_usus_besar.jpg
Pasokan Arteri
Mesentrika inferior mendrainase kolon desenden,sigmoid,rectum memasuki limpa yang lainnya mengikuti arteri. mesentrika superior bergabung dengan vena splenika untuk membantu vena porta. (Schwartz, 2004)
Limfatik
Berasal dari dalam submukosa dan muskularis mukosa mengikuti dari pasokan
arteri. (Schwartz, 2004)
Persarafan
Pada dasarnya prinsip kerja dari persarafan simpatis dan parasimpatis adalah saraf
simpatis menghambat dan parasimpatis merangsang. Kolon tidak ikut berperan
dalam proses pencernaan makanan maupun absorpsi makanan. Bila isi usus halus
mencapai sekum maka semua zat makanan telah di absorpsi dan semua akan cair
dan selama perjalanan didalam kolon isinya menjadi makin padat karena terjadi
proses reabsorbsi. Proses ini akan berakhir ketika mencapai rektum dan akan
terbentuk peses. Peristaltik kolon membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai
flexura sigmoid. (Pearce,E.2008)
2.3 Histologi Kolon
Usus besar terdiri atas membran mukosa tanpa adanya lipatan kecuali pada bagian
distalnya (rectum). Vili usus tidak di jumpai pada bagian usus ini. Kelenjar usus berukuran panjang dan di tandai dengan banyaknya sel goblet dan sel absorptive
dan sedikit sel enteroendokrin. Sel penyerapnya berbentuk silindris dengan mikrovili pendek dan tak teratur. Usus besar disesuaikan dengan fungsi utamanya
yaitu sebagai absorpsi air, pembentukan masa tinja dan produksi mukus. Mukus
adalah jel berhidrasi tinggi yang tidak hanya melumasi permukaan usus, namun
juga menutupi bakteri dan zat renik lain. Absorpsi air berlangsung pasif dan
mengikuti transport aktif natrium yang keluar dari permukaan basal sel-sel epitel .
Di dalam lamina propia banyak dijumpai sel limfoid dan nodul yang sering kali menyebar sampai kedalam submukosa. Banyaknya jaringan limfoid ini berkaitan
dengan banyaknya bakteri didalam usus besar. (Junquera,L.C.2007)
Sumber : Junquera,Luis carlos, 2007
2.4 Definisi
Penyakit Hirschsprung (HD) adalah gangguan yang kompleks yang dihasilkan
karena tidak adanya ganglion sel-sel di dinding usus yang menyebabkan obstruksi
fungsional dan dilatasi usus proksimal sehingga dapat mempengaruhi segmen.
(Monajemzadeh,M.2011). HD disebabkan oleh abnormalnya persarafan usus,
dimulai dari sfingter anal internal dan memperluas ke proksimal sehingga dapat melibatkan seluruh usus. ( Kliegman,R.1999)
Konstipasi merupakan masalah umum di antara anak dan hanya sebagian kecil
diketahui dari pasien penyebab organik untuk kasus konstipasi, bahkan konstipasi
dianggap sebagai suatu masalah proses perkembangan pencernaan ataupun
masalah dalam proses menyusui. Konstipasi pada HD didefinisikan pada neonatus
sebagai kegagalan keluarnya mekonium dalam 48 jam pertama kehidupan dan anak-anak yang lebih tua mengalami konstipasi dengan gejala konsistensi tinja
yang menurun. Persentase anak dengan konstipasi yang disertai HD hanya sedikit
ditemukan pada anak usia 12 bulan keatas. Penyakit Hirschsprung adalah
kelainan anomali yang jarang ditemukan dan serta kelainan kongenital dari sistem
saraf enterik (ENS) yang terjadi dengan rata-rata kejadian
1/5000 kelahiran hidup. Hal ini ditandai oleh tidak adanya ganglia enterik
sepanjang saluran usus bagian distal, yang di akibatkan oleh kegagalan migrasi
neural vagal sel di dalam usus. Hirschprung memiliki kompleks masalah utama
pada genetik keluarga, yang ditandai dengan insidensi dominan pada laki-laki.
(Rusmini,M,.2013)
2.5 Etiologi
Sistem saraf enterik (ENS) terdiri dari neuron dan sel glial dalam dinding saluran
pencernaan. Hal ini bertanggung jawab untuk mengatur pergerakan usus, fungsi
kekebalan tubuh, sekresi luminal, dan aliran darah selama pengembangan.
(Wallace S,A.2011). Pembentukan ENS yang fungsional membutuhkan
koordinasi dari banyak proses, termasuk, migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel
sepanjang saluran pencernaan di daerah kolon menyebabkan bagian tertentu tidak
memiliki neuron enterik karena neuron enterik sangat penting untuk pergerakan
usus. Selain peran gen amat penting dalam proses pembentukan sel saraf
penelitian (Wallace S,A.2011 ) tentang Genetic interactions and modifier genes in Hirschsprung's disease menjelaskan ada beberapa gen yang berperan dalam terjadinya HD ini antara lain :
GDNF/RET-GFRα1
GDNF adalah protein yang disekresikan dari superfamili TGF-β s . GDNF akan
berikatan dengan reseptor glycosylphosphatidylinsoitol-linked. Kompleks dari GDNF-GFRα1 kemudian mengikat dan mengaktifkan reseptor transmembran
tirosin kinase. Terjadinya mutasi pada pengkodean jalur GDNF/RET-GFRα1 ini
terjadi sekitar 50% dari keluarga yang pernah terdiagnosis HD. (Wallace
S,A.2011 )
SOX10
SRY (Sex determining region Y) 10 (SOX10) merupakan mobilitas faktor dari transkripsi kelompok tinggi penentu jenis kelamin dalam keluarga. Mutasi di
SOX10 dapat menyebabkan sekitar 5% kasus HD dan di ikuti oleh sindrom
(Waardenburg-Shah tipe 4 (WS4)). Beberapa pasien sindrom WS4 dengan mutasi
SOX10 juga menderita dysmyelination dari sistem saraf pusat dan perifer. SOX10 dinyatakan dengan migrasi sel pial neural enterik. (Wallace S,A.2011 )
PHOX2B
PHOX2B juga merupakan faktor transkripsi oleh sel neural enterik. Penelitian
telah mengaitkan mutasi di PHOX2B dengan HD dan di ikuti oleh sindrom
kongenital hipoventilasi pusat (CCHS). Penyebab utama mutasi adalah seringnya
ZFHX1B
ZFHX1B adalah faktor homeodomain dari transkripsi zinc, sehingga jika terjadi mutasi di ZFHX1B dan juga berhubungan dengan sindrom Mowat-Wilson telah
terbukti menghasilkan HD dengan beragamnya tingkatan lokasi terjadinya
dibagian usus besar. (Wallace S,A.2011 )
ENDOTHELIN SIGNALLING PATHWAY
Endotelin 3 (ET-3) adalah peptida yang disekresikan oleh mesenkim usus. (ET-3) mendapat sinyal melalui reseptor endotelin reseptor B (EDNRB), yang dihasilkan
pada migrasi sel neural enterik. Jika terjadi mutasi di ET3 dan Endotelin reseptor
B menyebabkan sekitar 5% terjadinya kasus HD. Mutasi pada ET3-dan EDNRB
terkait HD juga muncul pada sindrom sindrom Wardenburg-Shah. (Wallace
S,A.2011)
2.6 Patofisiologi
Hirschsprung dapat terjadi dibagian kolon asending ataupun sigmoid. Tidak adanya ganglion penting seperti myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) sehingga mengurangi peristaltik usus dan fungsinya. Mekanisme yang tepat yang mendasari perkembangan penyakit Hirschsprung
sampai saat ini masih belum diketahui (idiopatik) meskipun ada keterlibatan gen
dalam hal terjadinya Hirschprung disease. (Lee,S. 2012)
Sel ganglion enterik berasal dari puncak saraf. Selama perkembangan normal,
neuroblasts ditemukan di usus kecil pada minggu ke-7 kehamilan dan akan
mencapai usus besar pada minggu ke-12 kehamilan. Salah satu kemungkinan
etiologi penyakit Hirschsprung adalah kecacatan dalam migrasi neuroblas sehingga menyebabkan kegagalan turunnya neuroblast untuk berada di lokasinya yaitu di usus besar. Selain itu, terjadi kegagalan neuroblas untuk bertahan hidup,
berkembang biak juga dapat menyebabkan gagalnya neuroblast turun kearah usus
Tiga saraf pleksus usus seperti pada bagian submukosa (yaitu, Meissner) pleksus
intermuskuler (Auerbach) pleksus mukosa pleksus kecil. Semua pleksus ini
terintegrasi dan halus terlibat dalam semua aspek fungsi usus, termasuk absorbsi,
sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas yang normal terutama di bawah
kendali neuron intrinsik. meskipun kehilangan persarafan ekstrinsik. Ganglia ini
mengontrol kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan relaksasi yang
mendominasi. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak
hadir, yang mengarah ke peningkatan dalam usus yaitu persarafan ekstrinsik.
Persarafan dari kedua sistem kolinergik dan sistem adrenergik adalah 2-3 kali dari
persarafan normal. Adrenergik (rangsang) sistem diperkirakan mendominasi atas
kolinergik (penghambatan) sistem, yang menyebabkan peningkatan tonus otot
polos. Dengan hilangnya saraf intrinsik enterik penghambatan, nada peningkatan
yang terlindung dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos,
peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. (Lee,S. 2012)
2.7 Manifestasi Klinis
Karakteristik gejala yang terlihat pada pasien HD adalah kesulitan dalam proses
pengeluaran feses yang berlangsung beberapa hari pertama kehidupan karena
terjadinya obstruksi usus besar. HD mungkin terjadi di dalam periode neonatal dan sangat berbahaya. bahaya yang mungkin adalah kematian dari perforasi sekum atau usus besar serta terjadinya malnutrisi akibat obstruksi usus
(Ziai,M,1983)
Penyakit Hirschsprung pada pasien yang lebih tua harus dibedakan dari penyebab
lain dari distensi perut dan sembelit kronis. Sejarah sering mengungkapkan
meningkatnya kesulitan pada buang air besar yang dimulai pada 1 minggu
pertama kehidupan itulah salah satu kunci untuk mendiagnosis HD. Keadaan masa
tinja besar juga dapat diraba di bagian kiri bawah perut, tetapi pada pemeriksaan
hirschsprung harus dibedakan dari sindrom mekonium stekeker,ileus
obstruktif,dan atresia usus. (Kliegman,R 1999 )
Pemeriksaan rektal menunjukkan keadaan normal namun biasanya diikuti dengan
keluarnya kotoran peses berbau busuk dan juga bercampur gas. Serangan
intermiten obstruksi usus juga berhubungan dengan nyeri dan demam.
2.8 Pemeriksaan Fisik
Bayi yang baru lahir jarang dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap seperti
inspeksi, palpasi,perkusi dan auskultasi sehingga pemeriksaan fisik pada kasus
HD sering dilakukan setelah beberapa jam kemudian, pada penilaian inspeksi
(melihat) sering terlihat perut buncit yang membesar tanpa diketahui sebelumnya.
Pemeriksaan perkusi dan auskultasi pada pasien HD sering di dengar suara berisi
suatu masa ataupun kontraksi usus yang meningkat namun pada anak-anak, perut
buncit dan di tambah tidak mengeluarkan mekonium (kotoran pertama) dapat
dipertimbangkan bahwa penyebabnya adalah Hirschprung disease. (Lee,S. 2012)
2.9 Diagnosa
Kegagalan keluarnya tinja menyebabkan dilatasi dari usus proksimal dan
ditambah dengan terjadinya distensi abdomen. Sebagian usus melebar sehingga
Tabel 2.1: Membedakan fitur Penyakit Hirschsprung Disease dan konstipasi
Fungsional (Kliegman,R 1999 )
VARIABEL FUNGSIONAL HIRSCPRUNG DISEASE
SEJARAH
Relaksasi sfingter internal
2.9.2 Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi akan terlihat bangunan haustrae sepanjang kolon. mulai dari distal kolon desenden sampai sigmoid,. Dalam keadaan normal garis-garis haustrae dapat terlihat dan di ikuti dengan jelas dan serta saling berkesinambungan. Lebar kolon berubah secara perlahan mulai dari sekum (±8,5
cm) sampai sigmoid (± 2,5 cm) dan panjang kolon bervariasi setiap individu,
berkisar antara 91-125 cm bahkan lebih. (Rasad,S 2007 )
Diagnosis radiografi penyakit Hirschsprung didasarkan pada adanya bagian
transisi antara usus bagian proksimal yang melebar dan kolon bagian distal yang
mengeecil karena disebabkan oleh nonrelaxation dari usus aganglionik. bagian
transisi ini biasanya tidak terjadi pada 1-2 minggu kelahiran. Evaluasi radiologis
harus dilakukan dengan persiapan untuk mencegah dilatasi bagian aganglionik
(Kliegman,R 1999)
Gambar 2.3. : Radiografi perut menunjukkan loop melebar usus. Kontras enema menunjukkan
karakteristik "zona transisi" Penyakit Hirschsprung, yaitu transisi antara recto menyempit. sumber
Sumber : Kim, H.J.2008 Gambar 2.4 : (a) barium kontras ganda anteroposterior enema radiografi menunjukkan rektum agak menyempit dan persimpanganrectosigmoid (panah) dengan kolon sigmoid membesar (SC). (b) reseksi spesimen seluruh kolon menunjukkan dilatasi
kolon sigmoid dan kolon ascending nondilated,
melintang usus ,dan kolon desendens.
2.9.3 Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin,tes ini untuk memastikan bahwa berapa kadar
hematokrit untuk sebelum dilakukannya operasi dan jumlah trombositnya. Syarat
dilakukannya operasi nilai-nilai darah rutin tersebut harus berada dalam rentang
referensi normal.sedangkan, untuk pemeriksaan koagulasi diperoleh untuk
memastikan bahwa apakah ada gangguan pembekuan yang terjadi dan itu
dilakukan sebelum operasi. (Lee,S.2012)
2.10 Penatalaksanaan 2.10.1 Farmakologi
Tujuan umum perawatan medis antara lain :
1. Untuk mengobati komplikasi dari penyakit Hirschsprung disease
2. Memonitor tindakan sementara sampai bedah rekonstruksi terjadi
3. Memonitor fungsi usus setelah operasi rekonstruksi agar berjalan dengan
baik
Manajemen komplikasi HD diarahlan kepada pemantauan kembali cairan normal
dan keseimbangan elektrolit, mencegah distensi usus yang berlebih, dan
mengelola komplikasi seperti sepsis,dekompresi nasogastrik, pemberian antibiotik
intravena termasuk tatalaksana awal pada kasus ini. (Lee,S 2012)
9.10.2 Bedah
Transabdominal operation
Manajemen bedah untuk HD bertujuan memotong sebagian usus aganglionik dan
merekonstruksi kembali ke usus yang normal, dengan cara membawa usus turun
ke anus sambil menjaga sfingter yang normal,hal ini dilakukan pertama kali oleh
Swenson dan Bill yang menggambarkan operasi untuk HD dengan menghapus
aganglionik usus dengan menarik keluar usus ke anus pada tahun 1948.
Pendekatan bedah berubah secara bertahap dari tahap tarik-melalui tanpa
karena lebih sedikit waktu yang dibutuhkan untuk rawat inap. Telah ada
pengembangan yang signifikan untuk teknik operasi dan diagnostik alat yang
digunakan pada tatalaksana kasus HD, dulu tindakan istilah operasi minimal
digunakan untuk setiap prosedur untuk pasien dengan operasi terbuka tradisional.
Namun pada saat ini tindakan operatif bisa saja melibatkan laparoskopi,
endoskopi atau pembedahan dengan bantuan komputer dan biasanya dapat
mengurangi trauma bedah untuk pasien, selain itu keuntungan yang didapat
pemulihan lebih cepat dan waktu rawat inap di rumah sakit menjadi minimal.
(Gunnarsdottir,2011)
Total Transanal Endorectal Pull-Through (TERPT)
Tindakan ini dilakukan dengan memberi sayatan melingkar di mukosa rektum
sekitar 5 mm di atas garis dentate, untuk membuat permukaan datar di submukosa, kemudian lakukan pemotongan dibagian permukaan submukosa
diatas garis dentate sepanjang usus yang akan keluar, selain itu perhatikan resiko terjadinya cedera pada struktur panggul., laporan kegiatan TERPT menggunakan
potongan otot pendek tanpa myectomy telah terbukti menguntungkan. Setelah
panjang pemotongan tercapai, dinding otot dubur dibagi menjadi beberapa bagian
dengan cara rektum dimobilisasi keluar melalui anus, selanjutnya adalah cara
membagi bagian vaskular kecil sepanjang rektum dan usus besar . biopsi diambil
dari makroskopik usus ganglionik yang normal hal ini bertujuan untuk
menentukan tingkat reseksi usus besar sebelum penjahitan penyambungan akhir..
prosedur TERPT juga dapat mengurangi risiko merusak struktur panggul serta
lebih murah dan waktu pemulihan lebih cepat setelah operasi.(Gunnarsdottir,
Gambar. 2.6 a. lubang anus.
Gambar. 2.7.b. Menyayat mukosa sekitar 5 mm di atas garis dentate. belah antara submucosa dan melingkar dengan lapisan otot.
Gambar. 2.8.c. Potong lapisan otot di atas kulit panggul. Dan siap dilakukan pembedahan serta mobilisasi rektum dan sigmoid
usus.
Laparoscopic assisted Pull-Through
Laporan untuk tindakan endorectal laparoscopic assisted pull-through untuk HD pertama kali diterbitkan oleh Georgeson et al pada tahun 1995. Prosedur ini
dilakukan dengan memasukkan jarum 4-5 mm sekita 30 ° di bagian kanan atas
tepat di bawah pinggir hati untuk mendapatkan pneumoperitoneum kemudian memasukan jarum varess di umbilikus. memasukan 2 mm trocars 4-5 satu di nagian kanan bawah dan satu di sebelah kiri di bagian atas perut. terkadang
tambahan trocar diperlukan pada supra pubik untuk traksi usus yang lebih baik selama pembedahan laparoskopi dari rektum. kemudian dilakukan mobilisasi
penuh pada usus yang aganglionik dan kemudian lakukan diseksi pada rektum
dari mukosa dubur dengan cara yang sama seperti dijelaskan di atas. Keuntungan
utama dari pendekatan laparoskopi adalah untuk mudahnya pengambilan biopsi
seromuscular untuk identifikasi awal kolon normal ganglionik. (Gunnarsdottir,
2011)
Botolinium Injection
Gejala obstruktif ringan dapat dikelola oleh langkah-langkah yang mudah seperti
diet, mengkonsumsi obat pencahar. namun gejala yang lebih parah dengan
serangan berulang dapat menyebabkan enterokolitis berulang. Beberapa anak butuh stimulasi dubur atau irigasi untuk proses awal buang air besar. Namun jika
tidak diketahui apa penyebab dari obstruktif , gejala dapat disebabkan ada
masalah pada sfingter internal, yang bisa menjadi indikasi untuk injeksi intra sphincterik toksin botulinum. Metode ini pertama kali dijelaskan oleh Langer pada
tahun 1997 botulinum sebuah toksin yang disuntikkan ke dalam sfingter internal
dalam keadan anastesi umum. Dosis yang diberikan sangat bervariasi, sekita
15-120 unit biasanya setelah 3-4 bulan. Pasien yang di suntik menunjukkan hasil
yang sangat baik. penelitian melaporkan bahwa 80% dari pasien menanggapi
injeksi pertama, tetapi 69% diperlukan suntikan kedua. Jumlah penerimaan ke
rumah sakit untuk obstruktif gejala menurun secara signifikan (Gunnarsdottir,
Myectomy
Pada pasien yang respon pada pemberian toksin botulinum, tetapi tidak ingin
melanjutkan dengan suntikan toksin botolinum yang berulang, myectomy
adalah pilihan. (Wildhaber dkk) melaporkan hasil setelah myectomy posterior
atau myotomy di 32 pasien dengan gejala obstruktif setelah TERPT. Operasi itu
dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun dan membutuhkan waktu sekitar 8,6 tahun
untuk menindaklanjuti hasil operasi. Tingkat respon tergantung pada indikasi
untuk melakukan myectomy tersebut. 75% pasien dengan enterokolitis berulang
tidak mengalami gejala lagi dan sekitar 60% dari pasien dengan sembelit kronis
melakukan myectomy. Di sisi lain, hanya 17% pasien dengan sisa aganglionosis
dan sembelit yang membaik (Gunnarsdottir,2011)
Redo Pull-Through
Pasien dengan gejala obstruktif persisten dan enterokolitis jarang untuk kembali
dilakukannya redo pull-through. Karena tindakan tersebut atas indikasi terjadinya aganglionosis kembali, terjadi striktur parah, dan melebarnya usus, Tindakan
pencegahan seharusnya dilakukan sebelum mempertimbangkan redo pull-through. Teknik yang berbeda telah diusulkan untuk prosedur redo tergantung pada operasi pasien sebelumnya dan juga keputusan yang diambil oleh
ahli bedah. (Gunnarsdottir, 2011)
Management of Total Colonic Aganglionosis
Total colonic Aganglionosis (TCA) terjadi pada 2-15% pasien dengan aganglionosis. Umumnya seluruh usus besar mengalami aganglionik dan sebagian
dari usus kecil juga dapat terlibat. TCA telah digambarkan berbeda klinis,
radiologis, dan histologis dari rectosigmoid. TCA telah dikaitkan dengan angka
kematian yang tinggi dan morbiditas dari penyakit segmen pendek. Beberapa
metode bedah telah diusulkan untuk TCA, seperti prosedur Martin-Duhamel,
2.11. Komplikasi
Komplikasi potensial untuk operasi kompleks terkait dengan penyakit
Hirschsprung mencakup seluruh spektrum komplikasi dari tindakan bedah
gastrointestinal. Komplikasi termasuk peningkatan insiden enterokolitis pasca
operasi dengan prosedur Swenson, sembelit setelah perbaikan Duhamel, dan diare
dan inkontinensia dengan prosedeur Soave. (Lee,S 2012)
Secara umum, komplikasi kebocoran anastomosis dan pembentukan striktur
(5-15%), obstruksi usus (5%), abses pelvis (5%), infeksi luka (10%), dan
membutuhkan re-operasi kembali (5%). seperti prolaps atau striktur.
Kemudian, komplikasi yang terkait dengan manajemen bedah penyakit
Hirschsprung termasuk enterocolitis, gejala obstruktif, inkontinensia, sembelit
kronis (6-10%), dan perforasi. (Lee,S 2012)
Enterokolitis
Enterokolitis menyumbang morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien
dengan penyakit Hirschsprung. Hasil enterokolitis dari proses inflamasi pada
mukosa dari usus besar atau usus kecil. Sebagai penyakit berlangsung, lumen usus
menjadi penuh dengan eksudat fibrin dan berada pada peningkatan risiko untuk
perforasi. Proses ini dapat terjadi di kedua bagian aganglionik dan ganglionik
usus. transisi. Pasien mungkin hadir pasca operasi dengan distensi perut, muntah,
sembelit atau indikasi obstruksi yang sedang berlangsung.Obstruksi mekanik
dapat dengan mudah didiagnosis dengan rektal digital dan barium enema. (Lee,S
2012)
Aganglionosis Persistent
Jarang terjadi dan mungkin karena kesalahan patologis, reseksi tidak memadai,
atau hilangnya sel ganglion setelah di tarik keluar. (Lee,S 2012)
Dapat mengakibatkan obstruksi persisten. Hal ini dapat diobati dengan
sfingterotomi internal intrasphincteric toksin botulinum, atau nitrogliserin pasta.
Sebagian besar kasus akan menyelesaikan pada usia 5 tahun. (Lee,S 2012)
Inkontinensia
Hal ini mungkin hasil dari fungsi sfingter normal, ataupun kesalahan dalam
tindakan operasi sehingga penurunan sensasi, atau inkontinensia sekunder. Secara
umum manometri anorectal dan USG harus membantu dalam membedakan antara