• Tidak ada hasil yang ditemukan

259064795 Majalah Pum Edisi Juni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "259064795 Majalah Pum Edisi Juni"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KOORDINASI NASIONAL

KEBIJAKAN PEMERINTAH

DI BIDANG

(2)

Menteri Dalam Negeri

Kepala Pusat Penerangan

DR. I Made Suwandi, M.Soc,Sc

Drs. Mohammad Roem, MM Drs. Safrizal ZA, M.Si

Agnes Wirdayanti, M.Si

Abdul Muntholib

Fery Gunawan

Kelana

BAGIAN PERENCANAAN SETDITJEN PEMERINTAHAN UMUM

Bagian Perencanaan Subbag Data dan Informasi Jl. Kebon Sirih No. 31, Jakarta. Telp. 021 3142 142 ext. 253 Fax. 021 3142 917 Mariane Deasy A, S.Sos Ahmad Rizki Rifani, SE Iratania Larasati Putri,S.STP Tatang Wahyudin, SE Endang Murwaningsih, SE Drs. A Siradjuddin Nonci, M.Si Drs. Eko Subowo, MBA Dr. Ir. Dharma Setyawan, M.Ed Dr. Drs Rizari, MBA, M.Si Drs. Nugroho

Basuki Harjana, SH, M.Si Sri Retno Suryaningsih, SE, M.Si Drs. Marsudi Darussalam Agust Binartedja, SH, M.Si Tengku Syahdana, S.Kom Siti Hadijah Koedoeboen M.Si PENANGGUNG JAWAB

PIMPINAN UMUM

PEMIMPIN REDAKSI

REDAKTUR PELAKSANA

FOTOGRAFER

LAYOUT

SIRKULASI

PENERBIT

ALAMAT REDAKSI STAF REDAKSI EDITOR

DEWAN REDAKSI

REDAKTUR PEMBINA PELINDUNG

Salam Redaksi

Salam Media PUM !!

Salam untuk anda yang terus berubah atau ingin tampil beda dari

biasanya. Sebab perubahan merupakan suatu inovasi menuju langkah

kebaikan selanjutnya. Seperti yang kami rasakan saat ini, setiap

membuka lembar pertama Majalah Media Informasi PUM maka akan

selalu mengingatkan kita semua untuk membuat Evaluasi dan Revolusi.

Sebagian orang punya niat melakukan sesuatu yang besar dan

sebagian lagi hanya berniat menjadi manusia yang lebih baik.

Sesederhana apapun niat itu, kami dapat merasakan indahnya. Karena

sekecil apapun perubahan - perubahan yang terjadi mampu

mendatangkan banyak kebaikan tidak hanya bagi diri kita, tetapi juga

orang - orang disekitar kita.

Sebagai media, sudah merupakan kewajiban kami untuk

membagikan informasi terbaik kepada pembaca. Melalui Majalah

media informasi, kami suguhkan beragam informasi terbaru dari

aktifitas dan setiap kegiatan internal kita tentunya dengan tampilan

yang terus diperbaharui. Dalam edisi ini kami juga meliput kegiatan

Peringatan Hari Pemadam Kebakaran Nasional yang ke - 94 di Bali,

Rakornas Kecamatan yang dilaksanakan di Jakarta, dan Hari Ulang

Tahun Polisi Pamong Praja yang diselenggarakan di Riau, dalam rubrik

traveller kami juga menyajikan tentang Pesona Pulau Penyengat di

Kepulauan Riau.

(3)

D

A

F

T

A

R

I

S

I

DAFTAR ISI

WAWANCARA

RAKORNAS PUM

RAKORNAS ULTAH DAMKAR

RAKORNAS KECAMATAN

RAKORNAS POL PP

PARADE FOTO

PARADE FOTO

21

25

37

KAJIAN

OPINI & ARTIKEL

PARADE FOTO

INSTRUMENTASI

WEDDING MOMENT

TRAVELLER & SURAT PEMBACA

SECERCAH CAHAYA

KISAH INSPIRATIF

RESENSI BUKU

RAKORNAS PERTANAHAN

RAPAT REGIONAL FASILITASI PENYELENGGARAAN PATEN

PELANTIKAN PEJABAT ESELON 1V DI LINGKUNGAN DITJEN PEMERINTAHAN UMUM

RAPAT REGIONAL FASILITASI PENYELENGGARAAN PELAYANAN ADMINISTRASI TERPADU KECAMATAN (PATEN)

04

09

13

17

19

20

49

61

62

63

64

/

08

12

16

18

24

36

48

56

60 50

57

/

/

/

/

/

/

/

/

01

(4)

1. Bagaimana perjalanan karir Bapak ?

Saya memulai karir sebagai staf pada Bappeda Provinsi Bengkulu pada tahun 1980 sampai dengan 1981 kemudian saya diangkat menjadi Direktur SPMA Daerah Provinsi Bengkulu dan menjalani karir selama 10 tahun.

Saya banyak berkecimpung di dunia pendidikan dan latihan, jabatan awal saya adalah menjadi Kepala Diklat Provinsi Bengkulu selama 5 tahun, Kepala Pusat Diklat Regional Bandung, Kepala Pusat Diklat Kepemimpinan Bandiklat Depdagri dengan pangkat Eselon II/a dari tahun 2002 s.d 2004, Kepala Pusat Pembangunan dan Kependudukan, Kepala Pusat Diklat Kader dan Pengembangan Kepemimpinan selama satu tahun, Sekretaris

Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri dan sekarang

jabatan saya sejak 2011 adalah Direktur Polisi Pamong Praja dan

P e r l i n d u n g a n

Kementerian Dalam Negeri maka Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum merupakan unsur pelaksana Kementerian di bidang Pemerintahan Umum, dengan tugas pokoknya “Merumuskan dan melaksanakan standarisasi teknis di bidang pemerintahan umum”. Selain itu, Ditjen Pemerintahan Umum mempunyai tugas menangani urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas instansi vertikal dan tidak termasuk urusan rumah tangga daerah (urusan residual) dan menangani tugas-tugas tampung tantra (vriij bestuur). Dengan demikian maka Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum memiliki peranan yang sangat strategis dan signifikan dalam tata pemerintahan negeri ini.

3. Peran dan Fungsi Direktorat Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri ?

Direktorat Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat melaksanakan sebagian tugas Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum di bidang Polisi Pamong Praja dan dan Perlindungan Masyarakat. Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Subdirektorat Tata Operasional Sarpras Polisi Pamong Praja, Subdirektorat Peningkatan Kapasitas SDM Polisi Pamong Praja, Subdirektorat Perlindungan Masyarakat, Subdirektorat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Subdirektorat Perlindungan Hak Sipil dan Hak-Hak Manusia. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemendagri lebih khusus Ditjen Pemerintahan Umum sebagai Pembina umum Satpol PP dan Sat Linmas juga mempunyai tanggung jawab dan peran yang sangat penting dalam menentukan arah kebijakan, melalui kegiatan fasilitasi, regulasi serta monitoring dan evaluasi.

Untuk Visi Kedepan diharapkan Direktorat Polisi Pamong Praja bisa menjadi sebuah Direktorat Jenderal Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat.

4. Kebijakan terkait Polisi pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat?

W

A

W

A

N

C

A

R

A

2 WAWANCARA

DR. Ir. Dharma Setyawan Salam M.Ed

(5)

a. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas, satuan polisi pamong praja provinsi mengkoordinir pemeliharaan dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat lintas kabupaten/kota. b. Permendagri No. 60 Tahun 2012 tentang

Pedoman Penetapan Jumlah Polisi Pamong Praja dan bertujuan untuk menentukan jumlah pegawai dan usulan kebutuhan pegawai pada Satuan Polisi Pamong Praja.

c. Permendagri No. 19 Tahun 2013 tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan perlatan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, dan dapat dijadikan pedoman dalam menunjang tugas operasional anggota Satuan Polisi Pamong Praja di lapangan.

5. menepis persepsi masyarakat terhadap citra satuan polisi pamong praja yang mendapat citra negatif di masyarakat ?

Bukan hal yang mudah untuk menepis persepsi masyarakat terhadap citra negatif terhadap Pol PP, perlu adanya perubahan paradigma dan mendudukkan kembali tujuan dasar tupoksi Satpol PP berdasarkan motto “Praja Wibawa” yaitu pemerintahan yang berwibawa dan konsisten menjaga citra serta wibawa penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

6. Apa filosofi hidup Bapak ?

Ada dua hal besar yang menjadi filosofi hidup saya: Pertama Sebagai seorang pemimpin maka ia harus lah menjadi pemimpin yan amanah, bersih dan bertanggung jawab. Kedua Setiap orang membutuhkan orang lain maka jadilah penolong, dengarkan keluhan orang lain, timbulkan rasa empati dan jadilah penolong.

7. Pesan Bapak kepada pembaca media informasi ? Jadilah aparatur yang memiliki hard skill dan soft skill. Artinya Sumber daya aparatur yang memiliki kompetensi. Kompetensi tersebut saja tidak cukup, akan tetapi harus menjadi aparatur yang memiliki soft skill juga.

Soft Skill ini dapat berwujud karakter yakni sifat mental atau etika yang kompleks yang menjadi ciri seseorang atau bangsa seperti

cara berpikir, berkata dan bertindak, serta cara merespon. Karakter dapat dibagi menjadi dua, yaitu Pertama kinerja atau hasil kerja (karakter kinerja ini merupakan kualitas diri seseorang untuk melakukan “pekerjaan” dengan cara terbaik) dan Kedua berkaitan dengan moral [moral merupakan sistem nilai, etika yang diperlukan untuk melakukan hal yang benar; tidak menghalalkan segala cara” untuk mencapai kinerja dan ditunjukan dalam aktivitas yang didasarkan pada rasa tanggung jawab, rasa hormat, empati (orientasi memberi), rendah hati, integritas, dan keadilan.

CURICULUM VITAE

Nama : Dr. Ir. Dharma Setyawan Salam, M.Ed. Tempat/Tgl Lahir : Curup/Rejang Lebong, 14 Mei 1954

Agama : Islam

Jabatan : Direktur Polisi Pamong Praja dan Linmas Ditjen Pemerintahan Umum Kemendagri Pangkat/Golongan : Pembina Utama Madya (IV/d)

N.I.P : 195405141983031001

Alamat Kantor : Ditjen Pemerintahan Umum Kemendagri Jl. Kebon Sirih No.31 Jakarta Pusat 10340 Telp. (021) 31902744 FAX. (021) 31901743

A Riwayat Pendidikan 1. SD di Curup, tamat tahun 1969

2. SMP di Bengkulu, tamat tahun 1969.

3. SMA di Bengkulu, tamat tahun 1972.

4. Sarjana/S1, jurusan sosoal ekonomi falkutas pertanian IPB, tamat tahun 1980.

5. Pascasarjana/s2, Master of Education Sam Houston State University, Huntsville Texas, USA, tamat tahun 1982

6. Pascasarjana/S3, Doktor Ilmu Sosial, Bidang Kajian Utama Administrasi, Universitas Padjajaran di Bandung, tamat tahun 2000.

B. Riwayat Jabatan

1. Staf Bappeda Provinsi Bengkulu, 5-8-1980 s/d 25-3-1981

2. Direktur SPMA Daerah Provinsi Bengkulu (Eselon III/b), 25-3-1981 s/d 4-9-1990

3. Kepala Diklat Provinsi Bengkulu (Eselon III/a), 4-9-1990 s/d 7-10-1992.

4. Kepala Diklat Provinsii Bengkulu (Eselon II/b), 7-10-1992 s/d 3-6-1995.

5. Kapus Diklat Depdagri Regional Bandung (Eselon II/b), 2-7-2001 s/d 6-4-2002.

6. Kapus Diklat Kepimpinan BAndiklat Depdagri (Eselon II/a ) 28-3-2002s/d 7-7-2004.

7. Kapus Diklat Pembangunan dan Kependudukan (Eselon II/a ) 7-7-2004 s/d 4-9-2005

8. Kapus Diklat Kader dan Pengembangan kepimpinan (Eselon II/a) 5-9-2005 s/d 16-9-2006

9. Sekretaris Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri (Eselon II/a) 17-9-2010 s/d 8-2-2011

10. Direktur Polisi Pamong Praja dan Linmas Ditjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri

(Eselon II/a) 9-2-2011 s/d Sekarang

3

(6)

p

o

i

n

t

o

F

V

i

E

W

4

MEDIA PUM POINT OF VIEW

R

apat Koordinasi ini merupakan ajang pertemuan penting karena dapat digunakan sebagai dialog antara kementerian dan pemerintahan daerah terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan umum, khususnya dalam mengawal stabilitas pemerintahan dan keutuhan wilayah NKRI.

Berbicara mengenai pemerintahan umum, sebagaimana amanat pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang dibagi dalam provinsi dan setiap provinsi dibagi atas kabupaten/kota dan masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan

undang-undang. Hal ini penting karena bagaimanapun juga dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kita tidak melihat hanya dari aspek kebijakan desentralisasi saja yang memberikan ruang atau kewenangan bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, tetapi perlu diintegrasikan dengan kewenangan pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan sinerji antara pusat dan daerah dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam kerangka NKRI. Kegiatan pemerintahan yang terkait dengan kegiatan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan fasilitasi untuk menciptakan sinerji

Rapat KooRdinasi nasional KEbijaKan

(7)

5

MEDIA PUM POINT OF VIEW

antar tingkatan pemerintahan serta menjaga empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut merupakan ranah dari urusan pemerintahan umum.

Keseimbangan pelaksananan antara tugas pemerintahan daerah yang tercemin dalam asas desentralisasi dan tugas pemerintahan umum baik yang bersifat atributif maupun kewenangan yang dilaksananakan dengan azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan harus dilihat dalam konteks efektivitas penyelenggaraan pemerintahan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Karenanya asas pemerintahan pada hakekatnya hanya merupakan instrumen atau tool untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Indonesia menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan di Provinsi dalam rangka melaksanakan kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi. Fungsi ini bukan saja untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan melainkan pada sisi lain adalah memperkuat koordinasi dan efektivitas pencapaian tujuan nasional.

Dalam lingkup pemerintahan dalam negeri, tugas-tugas pemerintahan yang berkaitan dengan erat

fungsi-fungsi Pemerintahan Umum, antara lain:

1. Memfasilitasi pemahaman konsep Negara Bangsa bagi seluruh jajaran Pemerintahan di Daerah yang dilaksanakan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi untuk memperkuat eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. Memfasilitasi terwujudnya keselarasan penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi, antar pemerintah daerah provinsi, antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota dan antar pemerintah daerah kabupaten/kota;

3. Memfasilitasi terciptanya iklim kondusif dalam mendukung terwujudnya ketenteraman, ketertiban umum serta perlindungan masyarakat di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4. Memfasilitasi tertibnya hubungan lintas batas dan kepastian batas dengan negara tetangga, batas antar daerah yang meliputi batas antar propinsi, antar kabupaten/kota serta antar desa;

5. Provinsi sebagai wilayah administrasi dan Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan (pelaksanaan dekonsentrasi);

(8)

yang ditugaskan kepada daerah (pelaksanaan tugas pembantuan);

7. Melakukan mitigasi dan penanggulangan bencana serta permasalahan sosial lainnya secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.

Rakornas Kebijakan Pemerintah di Bidang Pemerintahan Umum mengetengahkan topik yaitu mengenai penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi, pengembangan kerja sama antar daerah, penegasan batas daerah, pembinaan ketenteraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat, pengembangan dan pengelolaan kawasan dan pertanahan, serta penanggulangan bencana.

I. Penguatan Peran Gubernur

Gubernur mempunyai peran yang sangat strategis karena Gubernur mempunyai “dual roles” baik sebagai kepala daerah otonom provinsi maupun sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi, Gubernur melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi atas terselenggaranya pemerintahan umum didaerah. Dengan demikian selaku wakil pemerintah pusat, gubernur merupakan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah provinsi. Dalam rangka memperkuat peran Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah, perlu diberikan dukungan baik dukungan politik, manajemen, personil, anggaran maupun prasarana dan sarana.

II. Pengembangan kerjasama daerah

Sebagaimana Pasal 195 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 disebutkan “bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan“.

Mempedomani amanat Pasal 195 dimaksud, pemerintah daerah dimungkinkan dapat lebih memaksimalkan pengelolaan potensi sumber daya alam yang ada dan selanjutnya diharapkan dapat mendatangkan manfaat yang lebih besar untuk kepentingan bersama, terlebih bilamana dikelola secara bersama-sama dibandingkan dengan dikelola secara sendiri-sendiri.

Pemerintah daerah pada dasarnya mempunyai kekayaan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan atau dikembangkan melalui kerjasama. Namun upaya– upaya tersebut terkendala oleh terbatasnya sumber daya, anggaran dan teknologi. Melalui Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, maka sumber daya yang ada di daerah dapat dikelola secara bersama-sama dengan pemerintah untuk meningkatkan investasi daerah yang pada akhirnya dapat menarik investasi pada skala nasional.

III. Penegasan Batas Daerah

Permasalahan batas antar daerah kab/kota yang cenderung semakin meningkat potensi permasalahannya seiring dengan makin luasnya kewenangan yang diserahkan ke daerah. Adanya pemekaran baik provinsi, kabupaten/kota bahkan

6

(9)

kecamatan menambah kompleksitas masalah batas antar daerah yang memerlukan penanganan secara cepat, tepat dan akurat. Penanganan batas yang efektif memerlukan adanya dukungan data yang cermat dan akurat. Lemahnya sumber data yang akurat merupakan salah satu titik lemah kita dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dalam manajemen pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah termasuk dalam penyelesaian masalah perbatasan antar daerah.

Pemerintah pusat sangat tidak mungkin untuk menyelesaikan secara cepat dan tepat setiap permasalahan yang tejadi karena keterbatasan waktu dan biaya. Secara faktual sebagian besar daerah otonom (33 provinsi, 497 kabupaten/kota), bila dipetakan batas daerahnya terdiri dari 946 segmen batas daerah (belum termasuk pemekaran provinsi Kalimantan Utara dan 11 kabupaten baru).

Batas daerah yang tidak jelas akan memicu konflik di wilayah perbatasan yang disebabkan perebutan sumber daya potensial di wilayah perbatasan tersebut dan akan menghambat penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah dan pada saatnya bila hal ini

tidak segera diselesaikan akan menurunkan tingkat pelayanan kepada masyarakat

dan juga potensial menyebabkan ketidak pastian hukum yang akan

mengganggu iklim investasi dan daya saing kita.

Untuk itu, kejelasan batas daerah yang memenuhi aspek teknis dan yuridis perlu segera

diwujudkan secara bertahap. Apabila instrumen-instrumen pemerintahan tersebut tidak bekerja secara optimal, dikhawatirkan tidak mampu untuk mengatasi permasalahan dan dampak yang akan ditimbulkan, sebagaimana terlihat dalam perkembangan akhir-akhir ini baik pada akhir tahun 2012 antara lain:

a. proses pemekaran daerah administrasi baru, belum diikuti dengan tuntasnya kejelasan batas daerah induk dengan daerah pemekaran;

b. batas daerah menjadi sangat krusial karena dalam proses penetapannya harus berdasarkan pada kesepakatan antar pihak-pihak yang berbatasan. Seringkali terjadi ketidaksepakatan antar daerah dalam menentukan batas daerahnya. Hal ini banyak disebabkan karena egosentris kedaerahan sehingga memunculkan perbedaan penafsiran peraturan perundangan yang menyangkut batas daerah dan kurang pahamnya terhadap penegasan batas daerah; dan

c. dalam proses penyelesaian sengketa batas pada suatu daerah, seringkali berbenturan terhadap permasalahan pemberian izin lahan yang sering melibatkan kepentingan politik;

IV. Tramtibum dan Linmas

Sesuai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ketentuan Pasal 27 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang serta kewajiban memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dalam kaitan tersebut pasal 148 ayat (1) menetapkan bahwa untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman Masyarakat dibentuk Satuan Polisi pamong Praja. Mengingat keberadaan Lembaga Satuan Polisi Pamong Praja sampai saat ini masih terus eksis dan tetap dibutuhkan perannya oleh masyarakat baik dalam Penegakan Perda/Keputusan Kepala Daerah maupun penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, maka dipandang perlu untuk senantiasa

7

(10)

berupaya meningkatkan pembinaan Satuan Polisi Pamong Praja guna mewujudkan kondisi daerah yang aman tenteram dan tertib serta menciptakan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kegiatan masyarakat yang kondusif. Oleh karena itu, Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya dapat berdaya guna dan berhasil guna secara optimal.

Keberadaan Satlinmas juga perlu diperhatikan terutama di desa-desa/kelurahan karena realita sampai saat ini Satlinmas masih terus eksis dan tetap dibutuhkan perannya oleh masyarakat dan dirasakan semakin luas serta strategis sebagai bagian dari peranserta masyarakat yang bertugas menjaga kesatuan bangsa dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, terutama dalam mengemban tugas membantu menjaga tramtibum dan tramtibmas serta ikut membantu dalam penyelenggaraan pilpres/pemilukada serta penanggulangan bencana.

V. P e n g e l o l a a n

Kawasan Dan

Pertanahan

Berbagai konflik yang muncul di kawasan hutan, pertambangan,

perkebunan, pelabuhan, kelautan, kawasan perdagangan

bebas dan pelabuhan bebas, dan berbagai kawasan lain, tumpang tindih perijinan dalam pengelolaan sumber daya alam dan permasalahan pertanahan, pada umumnya sering kali tidak sejalan dengan kewenangan daerah otonom termasuk belum sinkronnya peraturan perundangan lintas sektor dan penataan ruang daerah.

VI. Penanggulangan Bencana

Dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan daerah, upaya pengurangan risiko bencana merupakan salah satu bagian yang menjadi kewenangan

pemerintah daerah. Salah satu fokus yang dapat dilakukan adalah pra bencana yang bertumpu pada 3 (tiga) faktor, yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan langkah konkrit dalam rangka mendorong pengurangan resiko bencana sebagai suatu pengarus-utamaan (disaster risk reduction mainstreaming).

Dilain pihak, arah kebijakan dalam penanggulangan bencana dan kebakaran harus dilakukan secara

konprehensif dan terintegrasi dalam rangka efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan

upaya penanganan bencana khususnya mengenai kelembagaan (struktur dan

tatakerja, personil, pembiayaan, sarana dan prasarana),

manajemen mitigasi bencana/ Standar Operasional Prosedur

(SOP), dan pemberdayaan masyarakat. Disamping itu,

Kementerian Dalam Negeri telah memikirkan pentingnya suatu Badan/ balai Pengembangan, pelatihan dan sertifikasi pemadam kebakaran pada level nasional

untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalitas pemadam

kebakaran di daerah.

Melaui Rakornas Kebijakan di Bidang P e m e r i n t a h a n Umum maka tercipta pemahaman dan komitmen yang utuh dalam upaya m e n i n g k a t k a n akuntabilitas dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan serta memperkuat kapasitas daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan umum yang bermuara pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat.

8

(11)

R

apat Koordinasi Nasional (Rakornas) Satuan Polisi Pamong Praja Seluruh Indonesia dilaksanakan pada tanggal 18 April s/d 21 April 2013 di Pekanbaru Provinsi Riau. Rakornas ini merupakan agenda tahunan Kementerian Dalam Negeri yang difasilitasi Ditjen PUM yang didahului dengan upacara gelar pasukan dalam rangka memperingati HUT Satuan Polisi Pamong Praja ke-63 dan Satuan Perlindungan

Masyarakat ke-51 Tahun 2013, yang pada tahun ini di gabungkan pelaksanaannya pada tanggal 19 April 2013 di Pekanbaru Riau.

Penggabungan peringatan HUT Pol PP dan HUT Linmas didasarkan atas pertimbangan efisiensi serta tepat sasaran disamping juga karena bidang Linmas telah digabungkan di SKPD Satpol PP. Acara gelar pasukan dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 19 April

p

o

i

n

t

o

F

V

i

E

W

9

MEDIA PUM POINT OF VIEW

Rapat KooRdinasi nasional (RaKoRnas)

satuan polisi pamong pRaja

(12)

2013, bertepatan dengan HUT Linmas, karena apabila dilaksanakan tepat pada HUT Pol PP tanggal 3 Maret 2013, justru jatuh pada hari Minggu.

Pelaksanaan gelar pasukan Satuan Polisi Pamong Praja seluruh Indonesia yang di laksanakan di Jalan Gajah Mada Riau menampilkan keterampilan-keterampilan Satuan Polisi Pamong Praja seperti: marching band, peragaan Pasukan Huru Hara, tari rentak bulian, peragaan para layang serta devile pasukan kontingen Polisi Pamong Praja

Peringatan HUT Polisi Pamong Praja dan HUT Linmas dihadiri Gubernur Riau H.M. Rusli Zaenal, Wakil Gubernur Riau H. Mambang Mit, Seluruh Bupati/ Walikota se-Provinsi Riau, Danrem 031/Wb Brigjen TNI Teguh Rahardjo, Wakapolda Riau, Danlanud Rosmin Nurdjadin, Danlanal Dumai, Pasukan dari TNI, Polri, Pemadam Kebakaran, dan 2500 tamu undangan lainnya yang ikut menghadiri upacara tersebut.

Seyogyanya perayaan HUT Polisi Pamong Praja dan Linmas akan dihadiri Menteri Dalam Negeri namun Mendagri berhalangan hadir karena pada waktu bersamaan harus mendampingi Wapres dalam kunjungan kerja ke Kalimantan Tengah, namun hal tersebut tidak menyurutkan antusias peserta untuk mengikuti perayaan HUT Polisi Pamong Praja dan Linmas tersebut.

Dalam sambutannya yang dibacakan Gubernur Riau, Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, termasuk di dalamnya bidang perlindungan masyarakat adalah urusan wajib yang telah diserahkan ke daerah, Artinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai peran strategis dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat melalui penegakan Peraturan Daerah, termasuk di dalamnya bidang perlindungan masyarakat.

Tema peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Satuan Polisi Pamong Praja ke – 63 dan Satuan Perlindungan Masyarakat ke- 51 tahun 2013 ini adalah ”Satuan Polisi Pamong Praja dan Satuan Perlindungan Masyarakat Konsisten Menjaga Citra dan Wibawa Penyelenggaaan Pemerintahan Daerah”. Sedangkan tema Rapat Koordinasi Nasional Satuan Polisi Pamong Praja Seluruh

Indonesia tahun 2013 adalah ”Melalui Penegakan Peraturan Daerah serta Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat, Satuan Polisi Pamong Praja Konsisten Menjaga Citra dan Wibawa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah”

Setelah pelaksanaan gelar Pasukan Satuan Polisi Pamong Praja kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan Rakornas bertempat di Hotel Aryaduta Pekanbaru, Riau.

Tujuan Rakornas kali ini adalah dalam rangka mendudukan kembali khitah (tujuan dasar) tugas pokok dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan motto ”Praja Wibawa” yaitu Pemerintahan yang Berwibawa. Diharapkan Satuan Polisi Pamong Praja konsisten menjaga citra dan wibawa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melalui penegakan Peraturan Daerah serta penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Motto “Praja Wibawa” bukan hanya sekedar slogan tetapi benar - benar diimplemetasikan dalam bentuk nyata melalui tugas pokok dan fungsi Satpol PP di lapangan.

Capaian Rakornas adalah dalam rangka membangun kesamaan pemahaman, pandangan dan komitmen jajaran Satuan Polisi Pamong Praja seluruh Indonesia dalam menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta membangkitkankan semangat corps Polisi Pamong Praja yang profesional, kompeten dan berintegrasi tinggi melalui motto ”Praja Wibawa”, yaitu Pemerintahan yang Berwibawa.

Tugas pokok dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja sesuai pasal 148 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah membantu Kepala daerah dalam penegakkan peraturan daerah serta penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Motto Polisi Pamong Praja adalah “Praja Wibawa” yang artinya Pemerintahan yang berwibawa. Jika merunut kepada sejarah lahirnya Satuan Polisi Pamong Praja, memang keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja pada awalnya dibentuk adalah untuk mengembalikan wibawa pemerintah daerah yang carut marut karena kondisi Pemerintahan Republik Indonesia yang masih belia pada waktu itu, porak poranda akibat agresi militer Belanda tahun 1948. Kondisi yang tidak stabil di Daerah

1 0

(13)

ini ditengarai dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu. Dari kondisi tersebut terbitlah Surat Perintah Jawatan Praja di Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor I tahun 1948 pada tanggal 30 Oktober 1948 yang mengamanatkan didirikannya Detasemen Polisi pamong Praja Keamanan Kepanewon, yang kemudian pada tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja. Selanjutnya, tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor UR.32/2/21 disebut dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja.

Sejak saat itulah setiap tanggal 3 maret selalu diperingati sebagai hari lahirnya Satuan Polisi Pamong Praja. Sampai saat ini, di tahun 2013 yaitu 63 tahun telah berlalu, motto Praja Wibawa harus kita kembalikan lagi kepada tujuan dasar atau khitahnya, yaitu bagaimana Satuan Polisi Pamong Praja sesuai tugas pokok dan

fungsinya melalui penegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyrakat dapat terus konsisten dalam menjaga citra dan wibawa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Motto atau jargon ini tidak hanya menjadi sekedar kata-kata hiasan tanpa makna, tetapi harus terus ditanamkan di hati dan jiwa setiap anggota Satuan Polisi Pamong Praja dan diimplementasikan dalam setiap pelaksanaan tugas operasional di lapangan. Citra dan wibawa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah harus di mulai dari terwujudnya suasana kondusif, tertib dan tenteram di masyarakat melalui penegakkan peraturan daerah. Dan ini dapat dibangun oleh Satuan Polisi Pamong Praja yang memiliki kelembagaan yang kuat, sumber daya manusia yang profesional, kompeten dan berintegritas tinggi serta didukung dengan anggaran dan sarana prasarana yang memadai.

1 1

(14)

p

a

R

a

d

E

F

o

t

o

RAPAT KOORDINASI PENGEMBANGAN

KAPASITAS POLISI PAMONG PRAJA

Lombok, Februari 2013

1 2

(15)

p

o

i

n

t

o

F

V

i

E

W

pERinGAtAn HARi pEMADAM KEBAKARAn nASionAL KE-94

P

elayanan pemadam kebakaran yang disebut

brandweer kita kenal sejak tahun 1909, yang telah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat dalam bidang penanggulangan kebakaran dan melakukan penyelamatan terhadap korban kebakaran dan bencana lainnya dibumi nusantara ini. Sejarah tanggal 1 maret sebagai hari pemadam kebakaran di indonesia diawali pemberian plakat tanda penghargaan tertulis hari ulang tahun yang ke-10 dari masyarakat betawi terhadap brandweer batavia

pada tanggal 1 Maret 1919, atas jasa perjuangan dan pengorbanan petugas pemadam kebakaran dalam penyelamatan korban jiwa dan kerugian harta benda pada kejadian kebakaran besar diperkampungan Melayu, tepatnya di pasar Mester Jatinegara dan Kampung Melayu.

Atas dasar Plakat tanda penghargaan tersebut, selanjutnya setiap 1 Maret masyarakat betawi memperingati hari pemadam kebakaran yang selanjutnya pemerintah khusus ibukota Jakarta dan kota/kabupaten di Indonesia memperingati 1 Maret sebagai hari pemadam kebakaran nasional sebagai bentuk apresiasi terhadap perjuangan dan pengorbanan petugas pemadam kebakaran yang setia siapsiaga sepanjang hari yang tak mengenal hari libur, dan sigap merespon waktu tanggap darurat kebakaran dengan semboyan “Pantang Pulang Sebelum Api Padam Walaupun Nyawa Taruhannya “. Upacara Pemadam Kebakaran Nasional 1 Maret 2013 ke – 94 merupakan sebuah gerakan seruan kepada seluruh anak bangsa Indonesia agar waspada kebakaran dan pencemaran asap untuk mendukung pemantapan

1 3

(16)

perekonomian Nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Peran satuan tugas pemadam kebakaran sangat strategis dalam pembangunan perekonomian daerah sebagai perwujudan perlindungan bahaya kebakaran

terhadap aset masyarakat, dunia usaha, pemerintah daerah dan aset nasional terhindar dari bencana dan keakaran. Melalui Hut Damkar maka kita perlu mereposisi sudut pandang terhadap arah dan kebijakan ke depan dimana peran institusi pemadam kebakaran bukan hanya sekedar siap siaga sebagai penjaga kota dari kebakaran tetapi juga terlibat langsung memberi rekomendasi terhadap proteksi kebakaran. Institusi pemadam kebakaran berperan pada peyusunan perencanaan pembangunan dan melakukan pengawasan terhadap akses dan perlindungan kebakaran disetiap pembangunan pemanfaatan tata ruang sesuai fungsi penggunaannya.

Untuk meminimalisasi kebakaran di daerah, diharapkan kepala daerah selaku penanggung jawab utama penanggulangan kebakaran di daerah melakukan peningkatan kapasitas institusi pemadam kebakaran dalam pengurangan resiko kebakaran disetiap tahapan manajemen kebakaran, baik pada pra kebakaran, waktu kejadian kebakaran, paska kebakaran dengan mengedepankan tindakan preventif daripada responsif. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengurangan resiko kebakaran yaitu : Pertama, Paradigma penanggulangan kebakaran

1 4

(17)

mengedepankan preventif dengan kegiatan mitigasi, penyuluhan, inspeksi dan penegakan hukum. Kedua, waktu tanggap darurat kebakaran satgas damkar tiba di tempat kejadian kebakaran tidak lebih dari 15 menit dengan cara medekatkan pos pelayanan pemadam kebakaran di wilayah berpotensi kebakaran. Ketiga, Peningkatan jumlah aparatur satgas damkar memenuhi kualifikasi dan kompetensi minimal 6 orang untuk setiap 1 unit mobil damkar. Keempat, Peningkatan jumlah mobil damkar dan pos wilayah damkar minimal 1 unit untuk setiap penduduk maksimal 25.000 jiwa.

Kelima, perbaikan gizi petugas siapsiaga, perlindungan diri satgas damkar dari panas api, dan kesejahteraan satgas damkar. Keenam, membangun kerjasama satgas damkar antar daerah yang bersandingan dalam pelayanan pemadam kebakaran, karena pelayanan pemadam kebakaran tidak mengenal batas wilayah administrasi. Ketujuh, Mengedepankan pemberdayaan komunitas dunia usaha dan masyarakat dalam pengurangan resiko kebakaran.

Data kebencanaan nasional Tahun 2012, menujukan intensitas kejadian kebakaran menempati urutan ke -2 tertinggi setelah banjir. Kejadian kebakaran di Indonesia dapat terjadi karena faktor alam, non

alam dan sosial yang dapat dikategorikan kebakaran bersifat insiden dan non insiden. Adapun jenis tipologi kebakaran yang sering terjadi di Indonesia yaitu kebakaran permukiman penduduk, bangunan gedung publik, pabrik dan industri, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, perhotelan dan restoran, kawasan hutan dan lahan perkebunan, pelabuhan, pertambangan dan kebakaran lainnya. Kebakaran kawasan hutan dan lahan cukup signifikan mempengaruhi gangguan perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan berdampak terganggunya transportasi udara dan darat maupun kesehatan masyarakat, pencemaran asap sampai ke negara tetangga dan kerusakan lingkungan.

Kementerian Kehutanan merilis data bahwa 80% titik hotspot dan kebakaran terjadi di luar kawasan hutan yaitu di wilayah yurisdiksi yang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah, dan hanya 20 % titik hotspot dan kebakaran yang berada di kawasan hutan yang menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan. Daerah provinsi yang memiliki titik panas tertinggi ditempati oleh Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Jambi. Tahun-tahun mendatang daftar kejadian ini bias jadi bertambah panjang melihat kondisi perubahan iklim (Climate Change) yang kita

1 5

(18)

hadapi. Korelasi sederhana antara Climate Change dengan kejadian kebakaran bisa kita lihat dari semakin meningkatnya suhu bumi dan bertambah panjangnya musim kemarau. Pada musim kemarau itulah biasanya kejadian kebakaran baik permu-kiman, hutan maupun lahan marak terjadi.

Arah kebijakan dan strategi penguatan kapasitas Pemda dalam pengurangan risiko kebakaran meliputi : 1. Penguatan kerangka regulasi pencegahan dan

penanggulangan kebakaran.

2. Penguatan institusi Pemadam Kebakaran dalam penerapan pencapaian target standar pelayanan minimal yang terakomodir dalam perencanaan dan anggaran pembangunan.

3. Peran serta perguruan tinggi, peningkatan peran LSM, dunia usaha dan organisasi mitra pemerintah pemerhati kebakaran.

4. Pemberdayaan komunitas masyarakat dalam pengurangan resiko kebakaran.

5. Pentingnya penetapan protap koordinasi waktu tanggap kebakaran dan sop pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

Pemerintah daerah perlu memberikan perhatian

khusus dalam peningkatan pengendalian kebakaran lahan dan hutan sebagaimana instruksi Presiden nomor 16 Tahun 2011 sehingga hutan dan lahan kita bebas titik hotspot dan pencemaran asap utamanya ke Negara tetangga maupun kerusakan lingkungan. Untuk menjamin akses dan mutu pelayanan umum bidang Pemadam Kebakaran kepada masyarakat diharapkan pemerintah daerah mampu memenuhi target pencapaian standar pelayanan minimal (SPM) Bidang Pemadam Kebakaran, sebagaimana telah ditetapkan dalam Permendagri nomor 69 Tahun 2012.

1 6

(19)

S

ubdit Fasilitasi Kecamatan, Direktorat Dekonsentrasi dan Kerjasama, Ditjen PUM, Kemendagri menyelenggarakan Rakornas Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan, di Hotel Golden Boutique-Jakarta, 13-16 Maret 2013.

Rakornas yang mengangkat tema Optimalisasi Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kecamatan sebagai Pusat Pelayanan Masyarakat dan Pelaksana Tugas Umum Pemerintahan di Daerah dalam Kerangka Penguatan NKRI” dihadiri oleh Camat perwakilan dari kabupaten/ kota se-Indonesia sejumlah 497 orang. Tujuan penyelenggaraan rakornas ini, yakni terwujudnya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal ini Camat secara nasional untuk menyamakan visi

dan misi dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan pelayanan publik sekaligus terciptanya kondisi dinamis di wilayah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tema rapat ini merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Dimana dalam PP tersebut pasal 15 menyatakan, camat dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah yang meliputi aspek: perizinan, rekomendasi, koordinasi, binwas, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan, dan kewenangan lain yang dilimpahkan.

Mengawali rangkaian pembukaan rakornas, Direktur

1 7

MEDIA PUM POINT OF VIEW

p

o

i

n

t

o

F

V

i

E

W

RApAt KooRDinASi nASionAL (RAKoRnAS)

(20)

Dekonsentrasi dan Kerjasama, Bapak A. Sirajuddin Nonci, M.Si. memberikan laporan panitia dihadapan para peserta. Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Bapak Dr. I Made Suwandi, M.Soc., Sc., membuka secara resmi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan.

Dalam Rakornas ini mengundang 9 narasumber yakni ,Wamen PAN dan RB, Anggota Wantimpres Bidang Pemerintahan dan RB, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Dirjen Kesbangpol, Dirjen Dukcapil, Dirjen PMD, Prof. Sadu Wasistiono, MS, Bupati Siak, dan Prof. Dr. Ngadisah, MA.

Berdasarkan hasil tanya jawab dan notulensi selama pemaparan materi dari narasumber serta perumusan kembali dalam Focus Group Discussion (FGD), maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Permasalahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan:

a. Pendelegasian Kewenangan yang masih belum banyak dilaksanakan oleh Bupati/Walikota. Sebagai SKPD kedudukan camat sangat tergantung seberapa besar kewenangan yang didelegasikan.

Political will dan goodwill bupati/walikota untuk mengoptimalkan fungsi kecamatan sampai saat ini belum maksimal;

b. Sumber Daya Manusia di kecamatan yang terbatas, baik secara kuantitas dan kualitas sehingga menghambat percepatan tugas. Ketentuan mengenai persyaratan jabatan camat sesuai Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2008 tentang Kecamatan banyak tidak dilaksanakan oleh bupati/ walikota;

c. Plafonisasi penganggaran di kecamatan. Hal ini sangat kontraproduktif dengan kedudukan kecamatan sebagai SKPD yang seharusnya diberi kewenangan untuk menyusun anggaran sendiri supaya mengakomodir tugas-tugas pelayanan dan kewilayahan yang sangat strategis;

d. Stagnasi pelaksanaan tugas umum

pemerintahan, selain karena tidak adanya anggaran khusus untuk tugas ini, pemahaman perangkat kecamatan terhadap tugas ini juga masih rendah;

e. Demokratisasi local dengan system pemilukada langsung, dimana camat menjadi alat politik karena kedudukannya sebagai perangkat daerah yng mempunyai wilayah kerja;

f. Sarana dan prasarana masih sangat terbatas terutama dalam bidang penyediaan teknologi,

informasi dan komunikasi, khususnya di daerah-daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan;

g. Perubahan tanda jabatan camat seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 60 Tahun 2007, membawa konsekwensi secara psikis terhadap pelaksanaan tugas koordinasi penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, khususnya terhadap instansi vertikal kepolisian dan TNI, serta tugas pembinaan terhadap Kepala Desa.

2. Saran Tindak/ Rekomendasi:

a. Regulasi dari pusat untuk mengatur secara spesifik terkait dengan pendelegasian sebagain kewenangan bupati/walikota kepada camat. Perlu adanya penekanan kebijakan kepada bupati/ walikota untuk segera melaksanakan;

b. Dalam penyusunan rancangan permendagri tentang Pedoman rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), SKPD kecamatan ditempatkan sebagai subyek dalam skala prioritas untuk mencapai target pembangunan sehingga optimalisasi tugas, fungsi dan penganggaran dapat tercapai;

c. Perlu dukungan dana APBN untuk pelaksanaan tugas umum pemerintahan bagi camat, karena secara filosofi tugas umum pemerintahan adalah tugas pusat/negara dalam menciptakantrantibmas dan menjaga keutuhan NKRI;

d. Depolitisasi jabatan camat dan jabatan lainnya dalam birokrasi pemda, dan implementasi konsep ASN secara komprehensif;

e. Optimalisasi keberadaan kecamatan, diakomodir dalam pasal pada Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Alternatif solusi camat sebagai kepala wilayah;

f. Pengaturan kembali Pakaian Dinas dan Tanda Jabatan Camat.

Hasil rekomendasi diatas nantinya akan dijadikan acuan oleh pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi secara nasional dengan para camat untuk menyatukan visi dalam penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan sekaligus menyusun rencana aksi ke depan dalam pembuatan sebuah kebijakan, dalam rangka mengoptimalkan fungsi kecamatan sebagai garda terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan tugas umum pemerintahan.

AGENG PRATIWI, S.IP., M.AP. Direktorat Dekonsentrasi dan Kerjasama

1 8

(21)

RakoRnas PeRtanahan

P

a

R

a

d

e

f

o

t

o

1 9

(22)

Rapat Regional Fasilitasi penyelenggaRaan paten

p

a

R

a

d

e

F

o

t

o

2 0

(23)

p

o

i

n

t

o

F

V

i

E

W

P

ada hakikatnya, penyelenggaraan pemerintahan sesuai amanat UU Nomor 32 tahun 2004 ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik (public services). Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan telah mengalami pergeseran paradigma. Yaitu paradigma dari konsep dasar yang menekankan pada mekanisme mengatur dan memerintah (rules and regulations) menuju kepemerintahan yang lebih

menekankan pada kolaborasi dan sinergi dalam konsep good governance.

Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kemampuan para penyelenggaranya untuk responsif terhadap permasalahan daerah yang dihadapi, dinamika permasalahan yang berkembang di masyarakat, pemerintah daerah diharapkan mampu merumuskan strategi yang tepat dalam meningkatkan

RApAt REGionAL FASiLitASi pEnYELEnGGARAAn pELAYAnAn

ADMiniStRASi tERpADU KECAMAtAn (pAtEn)

Oleh :

Drs. Siradjuddin Nonci (Direktur Dekonsentrasi dan Kerjasama)

2 1

(24)

mutu dan akses pelayanan publik. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pejabat penentu kebijakan di daerah, yakni :

1. dalam situasi seperti sekarang ini, bahwa upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di daerah tidak terlepas dari peran dan komitmen kepala daerah beserta seluruh jajarannya. Selaku pejabat publik hendaknya memiliki kemampuan untuk pandai membaca peluang dan memahami dalam mengantisipasi tantangan terutama dalam konteks peningkatan pelayanan publik di daerah.

2. otonomi daerah hendaknya dijadikan peluang bagi daerah untuk menggali berbagai potensi sumber daya. Salah satu peluang yang memiliki implikasi positif kearah ini adalah optimalisasi peran kecamatan dalam pelayanan publik melalui penerapan pelayanan administrasi terpadu kecamatan (PATEN).

3. pemerintah daerah sebagai penyedia layanan publik (public services provider) hendaknya memperhitungkan lingkungan politik dengan baik, agar gagasan dan program peningkatan pelayanan publik memperoleh dukungan yang luas dari berbagai stakeholders di daerah.

Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2008 tentang Kecamatan, maka fungsi kecamatan sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, memiliki peran penting dan strategis. Karena sebagai perangkat daerah yang menerima pendelegasian sebagian kewenangan dari kepala daerah, untuk itu, diperlukan upaya penguatan kapasitas dan inovasi, agar kecamatan selain siap secara struktural menerima pendelegasian sebagian kewenangan, juga sekali-gus berdampak kepada penguatan aparatur yang optimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Pelayanan administrasi terpadu kecamatan (PATEN) merupakan salah satu inovasi pelayanan administrasi yang dilakukan dengan mengubah pola pikir (mind set) aparatur kecamatan untuk lebih efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya guna mendorong terciptanya mekanisme partisipasi masyarakat, serta berfungsi sebagai simpul kabupaten/kota (front office) dalam mendukung efektifitas penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP); Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan dan Juklak nomor 138-270 tahun 2010 tentang Juknis PATEN,

2 2

(25)

merupakan pedoman bagi daerah dalam menerapkan PATEN.

Pelayanan administrasi terpadu kecamatan, memiliki peranan penting untuk diimplementasikan di daerah, karena :

1. Pelayanan publik di tingkat kecamatan menjadi lebih mudah, cepat, transparan dan berkualitas. 2. Secara konseptual, PATEN memberikan penguatan

terhadap optimalisasi tugas pokok dan fungsi kecamatan.

3. Secara aktual, PATEN memberikan penguatan terhadap eksistensi badan/kantor/dinas pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) dalam mendukung iklim investasi di kabupaten, karena mampu menjadi simpul pelayanan (front office).

4. Dalam kerangka filosofi, PATEN mampu menjadi pioner dalam mengisi ruang desentralisasi dengan memberikan akses dan mutu pelayanan kepada masyarakat. PATEN dapat berfungsi membantu perencanaan pembangunan di kecama-tan, karena selain menjadikan kecamatan sebagai pusat pelayanan, juga menjadi pusat informasi dan pembangunan.

5. PATEN berikut juknis dapat menjadi sebuah solusi/instrumen dalam pelayanan publik yang dilaksanakan bup/walikota cq.aparat dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Berdasarkan Permendagri Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan dinyatakan bahwa seluruh kecamatan di Indonesia pada tahun 2014 telah menerapkan PATEN

dan dalam pelaksanaannya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan PATEN di daerahnya masing-masing dan sampai dengan Tahun 2013 baru 23 Kabupaten/Kota (2,31%) yang telah menerapkan program PATEN. Adapun permasalahan yang dihadapi yakni :

A. Pelimpahan kewenangan :

Salah satu syarat dalam penerapan PATEN adalah adanya pelimpahan sebagian kewenangan dari bupati/walikota kepada camat, namun demikian, dalam pelaksanaannya masih banyak bupati/ walikota yang belum melimpahkan sebagian kewenangannya baik yang bersifat perijinan maupun non perijinan kepada camat. Sampai dengan tahun 2012, kabupaten/kota yang telah melimpahkan sebagian kewenangannya kepada camat baru sebanyak ± 118 kabupaten/ kota. B. Kelembagaan :

− Masih banyak daerah yang belum membentuk tim teknis PATEN di kabupaten/kota dan tim pelaksana PATEN di kecamatan.

− Uraian tugas personil kecamatan belum sepenuhnya mendukung terlaksananya penyeleng-garaan PATEN di kecamatan.

C. Ketatalaksanaan :

− Belum banyak skpd/unit pelayanan di daerah yang memiliki standar pelayanan dan sop pelayanan khususnya di kecamatan.

− Masih belum sinkronnya tata hubungan kerja penyelenggara PATEN di kecamatan dengan

2 3

(26)

pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di kabupaten/kota

D. Sarana dan prasarana :

Sebagaian daerah masih belum menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung operasional pelaksanaan PATEN di kecamatan. E. Sumber daya aparatur

− Kurangnya pelaksana teknis dari pegawai negeri sipil di kecamatan yang kompeten di bidang perizinan.

− Kurangnya diklat subtantif/bimbingan teknis pengelolaan perizinan.

F. Infrastruktur dan sistem informasi :

Pada beberapa daerah terutama di luar jawa infrastruktur jaringan masih minim dan terbatasnya penyediaan sistem informasi pelayanan yang didukung oleh sumber daya aparatur yang handal dan hardware yang memadai.

II. Kendala :

A. Kurangnya komitmen kepala daerah (bupati/ walikota) dalam mendukung penerapan PATEN di wilayahnya.

B. Belum samanya persepsi antara penyelenggara PATEN dengan organisasi perangkat daerah terkait. C. Perubahan mindset (pola pikir) penyelenggara

pemerintahan kabupaten/kota.

D. Keterbatasan anggaran pemerintah kabupaten/ kota untuk alokasi PATEN.

Dalam rangka percepatan penerapan PATEN di daerah, Ditjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri pada bulan Maret sampai dengan Mei 2013 melakukan fasilitasi penerapan PATEN Kepada 120 Kabupaten/Kota pada 24 Provinsi melalui Kegiatan Rapat Regional Fasilitasi Penyelenggaraan PATEN yang diselenggarakan di 6 (enam) lokasi yakni Kota Batam (Kepri), Kota Yogyakarta (DIY), Kota Balikpapan (Kaltim), Kota Makasar (Sulawesi Selatan), Kota Manado (Sulawesi Utara) dan Kota Mataram (NTB).

Melalui kegiatan ini diharapkan tersusunnya rencana tindak lanjut untuk implementasi penerapan PATEN sebagaimana himbauan menteri dalam negeri melalui surat edarannya nomor 138/113/pum tanggal 13 januari 2012 perihal percepatan penerapan PATEN di daerah, antara lain melalui :

A. Pembentukan tim teknis dan tim pelaksana PATEN; B. Penyusunan peraturan dan keputusan bupati/

walikota tentang pendelegasian wewenang, standar pelayanan, dan uraian tugas personil kecamatan. C. Peganggaran penyelenggaraan PATEN dalam apbd

kabuPATEN/kota.

D. Penyediaan sarana dan prasarana serta biaya operasional pelaksanaan PATEN di kecamatan. E. Penyiapan personil untuk tim pelaksana PATEN

di kecamatan dan pembinaan, pengawasan serta pelatihan kepada aparatur kecamatan.

F. Penetapan kecamatan sebagai penyelenggara PATEN.

2 4

(27)

1. Latar Belakang

I

ndonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km2. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya: Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan, untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km.

Luasnya wilayah perbatasan laut dan darat Indonesia tentunya membutuhkan dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu ditingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi minimnya infrastruktur di kawasan perbatasan telah menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik. Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pengaturan tentang pengembangan wilayah perbatasan di Kabupaten/Kota secara hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah daerah tersebut. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, keamanan dan pertahanan (CIQS). Meskipun demikian, pemerintah daerah masih menghadapi beberapa hambatan dalam mengembangkan aspek sosial-ekonomi kawasan perbatasan. Beberapa hambatan tersebut diantaranya, masih adanya paradigma pembangunan wilayah yang terpusat, sehingga kawasan perbatasan hanya dianggap sebagai “halaman belakang”. Dari berbagai kebijakan pemerintah

Kajian Potensi eKonomi Wilayah Perbatasan antar negara

sebagai Dasar KebijaKan Dan Pengembangan

KaWasan Perbatasan antar negara

BAB I

PENDAHULUAN

2 5

MEDIA PUM KAJIAN

(28)

tentang pembangunan kawasan perbatasan tersebut, dalam implementasi pengelolaannya selama ini belum dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Sampai saat ini, permasalahan beberapa kawasan perbatasan masih ditangani secara

ad hoc, sementara (temporer) dan parsial serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat mendesak untuk dilakukan, karena tidak hanya menyangkut kesejahteraan masyarakat, tapi juga terkait dengan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara historis, hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga pernah dilanda konflik, serta seringkali terjadinya pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan lebih didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan (security belt). Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan dengan kondisi infrastruktur yang belum memadai dan kurang memiliki aksesibilitas yang baik, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi di negara tetangga. Kawasan perbatasan di Kalimantan dan Sulawesi Utara misalnya, kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya berkiblat ke wilayah negara tetangga yang infrastrukturnya lebih baik.

Pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat dari wilayah negara tetangga berpotensi mengundang kerawanan di bidang politik. Potensi sumberdaya alam yang berada di kawasan perbatasan, baik di wilayah darat maupun laut cukup besar, namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara optimal.

2. Permasalahan

Rawannya daerah perbatasan telah banyak memicu potensi sumber daya ekonomi yang belum dikelola secara optimal, sehingga banyak menimbulkan penyelundupan, pemasaran hasil produksi keluar ke Negara tetangga Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh negara di luar Indonesia yang berada di perbatasan tersebut dengan memberikan

kemudahan-kemudahan kepada warga negara yang berada di wilayah perbatasan dari aspek ekonomi, kesempatan untuk mendapat pendidikan gratis dan lainnya juga menjadi penyebab maraknya warga negara Indonesia yang berada di wilayah perbatasan mempunyai identitas ganda.

BAB II

KONDISI EKSISTING WILAYAH

PERBATASAN

1. Kawasan Perbatasan Sebagai Daerah Tertinggal Beberapa daerah di wilayah perbatasan

antar negara banyak yang masuk dalam kategori daerah tertinggal. Ketertinggalan ini terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah, dimana kebijakan pembangunan selama ini lebih mengarah kepada kawasan yang padat penduduk dan mudah dijangkau. Sementara kawasan perbatasan cenderung difungsikan hanya sebagai sabuk keamanan (security belt).

2. Kendala Geografis

Secara geografis kawasan perbatasan merupakan daerah yang sangat luas. Di Kalimantan Barat saja panjang garis perbatasan sekitar 966 Km. Apabila diasumsikan lebar perbatasan sejauh 20 Km dari titik batas, maka luas kawasan perbatasan di Kalimantan Barat sekitar 19.320 Km2 atau sekitar 1,9 juta Ha. Tentu saja dengan luas yang demikian cukup menyulitkan dalam penanganan terutama ditinjau dari aspek rentang kendali pelayanan, kebutuhan dana, dan kebutuhan aparatur. Keadaan ini semakin diperparah lagi oleh kondisi infrastruktur jalan yang vertikal dan relatif sangat terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya. Akibatnya sebagian besar kawasan perbatasan merupakan daerah yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan.

3. Inkonsistensi Antara Perencanaan dengan Pelaksanaan

Selama ini kawasan perbatasan belum mendapat perhatian dari pemerintah. Meskipun RPJMN 2010-2014 telah mengamanatkan arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, yaitu “menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI, dengan tujuan untuk

2 6

(29)

meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan keamanan kawasan perbatasan”. Namun, Dalam hal ini jelas sekali terlihat adanya inkonsistensi antara arah pembangunan yang tertuang dalam dokumen perencanaan dengan kenyataan yang terjadi pada saat pelaksanaan program pembangunan.

4. Kemiskinan

Kemiskinan menjadi topik yang menarik dibahas ketika diskusi tentang kawasan perbatasan karena penduduk miskin merupakan sesuatu yang mudah dijumpai ketika berkunjung ke kawasan ini. taskannya.

5. Keterbatasan Infrastruktur

Di kawasan perbatasan terdapat jenis prasarana transportasi laut, sungai dan darat. Misalnya fasilitas transportasi laut menghubungkan Paloh (Kabupaten Sambas) dengan Lundu (Serawak), sedang fasilitas sungai masih ada namun sudah tidak populer lagi. Jaringan jalan darat di kawasan perbatasan Kalimantan Barat berbentuk vertikal sehingga pelayanannya kurang efektif. Panjang jalan darat sekitar 520 km dengan rincian: 200 km jalan tanah, 30 km jalan batu, 290 km jalan aspal. Sedangkan, menurut fungsinya terdapat 63% jalan kabupaten, 31% jalan propinsi, dan 6% jalan nasional.

Pada saat ini di kawasan perbatasan Serawak telah tersedia pembangkit listrik tenaga air, seperti dari bendungan Batang Ai di Lubuk Antu dengan kapasitas 108 MW dan bendungan Bakun yang sedang dibangun dengan kapasitas 2.400 MW. Kondisi tersebut ternyata terjadi pula pada

fasilitas air bersih yang hanya mampu melayani 50 persen penduduk di kawasan perbatasan Kalimantan Barat. Sedangkan, penduduk kawasan perbatasan di Serawak 100 persen telah terpenuhi fasilitas air bersih.

6. Lemahnya Penegakan Hukum

Akibat penegakan hukum yang masih lemah, maka berbagai bentuk pelanggaran hukum sering terjadi di kawasan perbatasan. Masalah ini memerlukan penanganan dan antisipasi yang

seksama dan sungguh-sungguh. Luasnya wilayah yang harus ditangani serta minimnya prasarana dan sarana telah menyebabkan aktivitas aparat keamanan dan kepolisian sejauh ini belum dapat dilakukan secara optimal.

7. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Belum Optimal Potensi sumberdaya alam yang berada di

kawasan perbatasan cukup besar namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara optimal. Potensi sumberdaya alam sementara ini yang terdeteksi adalah:

− Tambang: misalnya emas (tanah aluvial-sungai) tersebar hampir di seluruh aliran sungai di sepanjang kawasan perbatasan.

− Hutan: potensinya cukup besar dan dapat diusahakan seluas 80.000 Ha. Selain itu, di kawasan ini terdapat hutan lindung berupa Taman Nasional yang berpotensi dikembangkan sebagai obyek wisata alam.

− Perkebunan berupa: coklat, lada, karet, kelapa sawit dan lain-lain yang sebagian besar hasilnya dijual ke Serawak.

− Potensi perikanan air tawar cukup besar dan memiliki spesies ikan yang relatif lengkap dan hanya terdapat di beberapa negara di dunia. Kegiatan ini bahkan sebagian besar bersifat illegal yang cukup sulit ditangani karena keterbatasan sumberdaya aparatur dan infrastruktur untuk pengawasan.

8. Hubungan dengan Penduduk Negara Tetangga Kegiatan lintas batas tradisional tersebut mulai dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dari kedua negara untuk melakukan kegiatan ilegal, yaitu berupa transaksi dagang yang melebihi ketentuan atau bahkan berupa penyelundupan.

Kegiatan ilegal ini khususnya dilakukan untuk jenis komoditi yang memiliki selisih harga relatif tinggi diantara kedua negara. Ironisnya, pelaku kegiatan ilegal ini sebagian besar justru penduduk yang barasal dari luar perbatasan. Kalaupun ada penduduk asli perbatasan terlibat umumnya karena kepolosan dan ketidaktahuan, dan mereka memperoleh peran serta bagian keuntungan yang kecil.

2 7

(30)

BAB III

KONDISI WILAYAH PERBATASAN

A. Kondisi Umum Perbatasan

Negara kepulauan Indonesia berbatasan langsung dengan 10 (sepuluh negara). Di darat, Indonesia berbatasan dengan tiga negara, yaitu: (1) Malaysia; (2) Papua New Guinea; dan (3) Timor Leste. Sedangkan di wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu: (1) India, (2) Malaysia, (3) Singapura, (4) Thailand, (5) Vietnam, (6) Filipina, (7) Republik Palau, (8) Australia, (9) Timor Leste dan (10) Papua Nugini. Perbatasan laut ditandai oleh keberadaan 92 pulau-pulau terluar yang menjadi lokasi penempatan titik dasar yang menentukan penentuan garis batas laut wilayah.

Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Kondisi umum kawasan perbatasan dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek

Kurangnya akses pemerintah, baik pusat maupun daerah ke kawasan perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain. Oleh karena itu, perlu adanya suatu metoda pembinaan ideologi Pancasila yang terus-menerus, tetapi tidak bersifat indoktrinasi dan yang paling penting adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa.

2. Aspek Sosial Ekonomi

Merupakan daerah yang kurang berkembang (terbelakang)

yang disebabkan antara lain oleh:

a. Lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah,

b. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat,

c. Rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal),

d. Langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots).

3. Aspek Sosial Budaya

Pengaruh budaya asing tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kebudayaan, dan dapat merusak ketahanan nasional, karena mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada aspek sosial budaya yang lain, masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah perbatasan belum mengenyam pendidikan karena tiadanya sekolah dan belum tersedianya sarana kesehatan dan terbatasnya sarana dan prasarana transportasi serta komunikasi. Situasi yang demikian dapat menghambat terwujudnya Stabilitas Nasional dan Pertahanan Keamanan Negara.

4. Aspek Pertahanan Keamanan

Kawasan perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien.

5. Aspek Politis

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, namun dimungkinkan adanya kecenderungan untuk bergeser ke soal politik, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun, selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa.

B. Kondisi Perbatasan Wilayah Kalimantan

Kawasan perbatasan dengan negara tetangga di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur merupakan perbatasan wilayah darat dan laut yang mempunyai pola keterkaitan pada daerah perbatasan darat antara wilayah Provinsi Kalimantan Barat dengan

2 8

(31)

Negeri Sarawak dan antara Provinsi Kalimantan Timur dengan Negeri Sabah. Kedua kawasan tersebut relatif berhubungan langsung satu sama lain karena merupakan perbatasan darat. Kondisi yang berbeda satu sama lain, dimana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah Indonesia, maka terjadi kecenderungan perubahan orientasi kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia.

Secara administratif, kawasan perbatasan darat Indonesia-Malaysia meliputi 2 (dua) Provinsi yaitu: Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, dan terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten, yaitu: Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan Timur). Garis perbatasan darat di Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan negara bagian Sabah dan Sarawak Malaysia secara keseluruhan memiliki panjang 1.885,3 km. Jumlah pilar batas yang ada hingga tahun 2007 secara keseluruhan berjumlah 9.685 buah, terdiri dari pilar batas tipe A sebanyak 4 unit, tipe B sebanyak 18 unit, tipe C sebanyak 225 unit dan tipe D sebanyak 9438 unit.

Berdasarkan perjanjian Lintas Batas antara Indonesia dan Malaysia tahun 2006, secara keseluruhan telah disepakati sebanyak 18 pintu batas (exit and entry point) di kawasan ini. Hingga tahun 2007, baru terdapat 2 (dua) pintu batas resmi yaitu di Entikong, Kabupaten Sanggau dan Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu).

Wilayah Kalimantan berbatasan dengan negara Malaysia, yaitu di Provinsi Kalimantan Timur (Nunukan, Malinau, Kutai Barat) dengan garis batas sepanjang 1.200 km dan Provinsi Kalimantan Barat (Sambas, Sanggau, Bengkayang, Sintang, Kapuas Hulu) berbatasan dengan bagian Serawak Malaysia dengan kawasan perbatasan yang memanjang dengan garis batas sepanjang 870 km Disisi lain, pembangunan pos pengamanan perbatasan belum secara signifikan mampu memperpendek jarak antara satu pos dengan pos yang lainnya. Jarak antar pos perbatasan rata-rata masih 50 km dan pembangunan pos pulau terdepan (terluar) baru difokuskan di 12 pulau. Oleh karenanya, tingkat kerawanan di wilayah perbatasan dan pulau terdepan (terluar) lainnya masih relatif tinggi.

C. Kondisi Perbatasan Wilayah Papua

Secara administratif, kawasan perbatasan darat di Papua berada di Provinsi Papua, terdiri dari lima Kabupaten/Kota yaitu: (1) Kota Jayapura, (2) Kabupaten Keerom, (3) Kabupaten Pegunungan Bintang, (4) Kabupaten Boven Digoel dan (5) Kabupaten Marauke.

Garis Perbatasan darat di Papua yang berbatasan dengan PNG secara keseluruhan memiliki panjang 760 kilometer, memanjang dari Skouw, Jayapura di sebelah utara sampai muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Garis batas ini ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada tanggal 16 Mei 1895. Jumlah pilar batas di wilayah perbatasan Papua yang terbentang dari utara di Jayapura sampai ke bagian selatan di wilayah Marauke sangat terbatas dan dengan kondisinya sangat memprihatinkan. Jumlah tugu utama (MM) yang tersedia hanya 52 buah, sedangkan tugu perapatan sejumlah 1792 buah.

Pos lintas batas darat di Provinsi Papua belum ada yang telah diresmikan. Lintas batas melalui laut ataupun udara mempunyai permasalahan yang berbeda dengan lintas batas darat. Pelabuhan laut yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Provinsi Papua untuk mendukung kerjasama regional BIMP – EAGA meliputi 3 pelabuhan, yaitu: (1) pelabuhan Jayapura, (2) Sorong, dan (3) Biak. Sedangkan, bandar udara yang dapat dimanfaatkan untuk sarana lintas batas di Provinsi Papua belum tersedia.

Wilayah Papua memiliki kawasan perbatasan, baik berupa perbatasan laut maupun perbatasan darat. Pada tahun 2010 telah terbangun sebanyak 5 pos pertahanan di wilayah Kodam XVII/Cendrawasih. Dengan demikian, sampai saat ini totalnya mencapai 206 pos pertahanan dari total kebutuhan minimal sebanyak 395 pos pertahanan di seluruh wilayah perbatasan. Pembangunan pos pengamanan perbatasan belum secara signifikan mampu memperpendek jarak antara satu pos dengan pos yang lainnya. Jarak antar pos perbatasan rata-rata masih 50 km. Sementara itu dari 92 pulau kecil terluar baru 12 pulau yang terbangun pos pengamanan pulau kecil terluar. Di kawasan perbatasan Papua selama ini terjadi migrasi penduduk secara tradisional berkaitan dengan ikatan

2 9

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “Dampak Fragmentasi Lahan terhadap Biaya Produksi dan Biaya Transaksi Petani Pemilik (Kasus: Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 huruf b sampai dengan huruf e, Pasal 8 huruf b dan huruf c, Pasal 9 dan Pasal 74 Peraturan Pemerintah

Hendaknya pemanfaatan dana BOS benar-benar diarahkan untuk operasional sekolah yang menunjang kelancaran proses belajar, karena apabila Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Ifen Mandiri 100324-000123 Jakarta Timur Elnier 3.00.01 alat/peralatan/suku cadang : tulis dan barang cetakan 3.00.04 alat/peralatan/suku cadang : mekanikal dan

Setelah melihat weighted tree pada Gambar 17 dinaytakan bahawa Query 3 tidak mempunyai metriks logika diakrenakan tidak adanya logika yang terdapat dibawah where, maka

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan motorik halus anak yang dilakukan dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai

Bupati sebagai Kepala Daerah atau Pejabat yang berwenang melakukan Deportasi ke daerah asal terhadap setiap orang yang terlibat dalam perbuatan asusila baik mucikari, Wanita

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui Hubungan Ketersediaan Akses Layanan Kesehatan Reproduksi dengan Perilaku Premarital Seks pada Anak Jalanan di