• Tidak ada hasil yang ditemukan

119322050 Tabloid Amanat Edisi 119

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "119322050 Tabloid Amanat Edisi 119"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

SENGKARUT LINIERITAS

KEILMUAN DOSEN

Surat Kabar Mahasiswa

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Takwa

AMANAT

(2)

TERAS

S A L A M R E D A K S I

Redaksi menerima artikel, resensi, dan puisi, maksimal 5.000 karakter (ter-masuk spasi), sedang cerpen maksi-mal 8.000 karakter (termasuk spasi). Naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sederhana, yang tidak dimuat akan dikembalikan jika disertai per-angko balasan. Redaksi berhak mengedit tulisan selama tidak men-gubah isi. Tulisan dapat dikirim me-lalui email: skmamanat@yahoo.com

Cover Abdul Arif PELINDUNG Rektor IAIN Walisongo PENANGGUNG JAWAB Pembantu Rektor III IAIN Walisongo

PEMBINA

Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan Dosen Bina SKK

PEMIMPIN UMUM Khoirul Muzakki

BENDAHARA Nazilatun Nihlah

Yestik Arum PEMIMPIN REDAKSI Hammidun Nafi’ Syifauddin

SEKRETARIS REDAKSI Abdul Arif DESK BERITA

Shodiqin DESK ARTIKEL

Irma Muflikhah DESK SASTRA BUDAYA

M. Faizun LAYOUTER Akhmad Baihaqi Arsyad

Rohman Kusriyono ILUSTRATOR

Aufal Marom FOTOGRAFER

Slamet Tridadi KOORDINATOR REPORTER

Alfian Guntur A REPORTER

Azid Fitriyah, Yulianti, Lusi Ekasari, Arif Khoirudin, Mahya Afiyati Ulya, Nur Alawiyah, M Arifin, S Maemunah,

Khoirurrahma Safitri PEMIMPIN USAHA

Fathul Jamil PUSAT DOKUMENTASI

Afiyati Badriyah PERIKLANAN

Mukhlisin SIRKULASI Khoirul Umam

HUMAN RESOURCES DEPARTMENT Amin Fauzi, Farih Lidinillah, Musyafak,

Munaseh, Suhardiman, Fani Setyaningrum, Nanik Kurniawati, Farid

Helmi. STAF AHLI

Zamhuri, Joko Tri Haryanto, Abdullah Ibnu Thalhah, Ajang ZA, Sohirin, Siti Alfiah, Ingwuri Handayani, Lutfil Kirom,

Heri Nugroho, Abdul Hakim, Khusnul Huda, Ali Romdhoni, Muh Slamet, Rosidi, Siswanto, Ali Mustofa, Fakhrudin

Karmani, Edi Purnomo, Pujianto, M Olies, Afida Masyitoh.

SURAT KABAR MAHASISWA

AMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa Penerbit:

Unit Kegiatan Mahasiswa Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT

IAIN Walisongo Semarang Izin Terbit:

SK Rektor IAIN Walisongo Semarang No. 026 Tahun 1984

International Standart Serial Number (ISSN): 0853-487X

Mencipta Perubahan

ORSENIK tidak dibuka PR III

Ada uang tetap lancar

Ramai-ramai ORSENIK

Ramai-ramai tawuran

Bin, salabin jadi UIN!

Prok, prok, prok. Dibantu yah!

Parkir di IAIN Semrawut

Kalau nggak semrawut, nggak IAIN..

Banyak dosen mengajar tak sesuai kompetensi

Yang penting mengajar lah mas...

Pak Jokowi jadi gubernur DKI

Masih macet nggak ya..???

Kampus dua dibangun lagi

sik asik, sik asik, gedung baru

DPL banyak yang tidak hadir ke tempat PPL

Lho, yang PPL khan Mahasiswa...

Proyek penelitian hanya untuk dosen

Dosen saja masih rebutan kok mas...

Sekarang ada sertifikasi ulama’

Perlu sertifikat koruptor, biar lebih profesional..

Film innocens bikin umat Islam marah

Tanya nabi dulu, beliau marah nggak?

Walisongo TV sudah mengudara

Trus..? Gue harus bilang Wuouw gitu??

Bang Aman yang kadang pakewuh

Sentilan Bang Aman

S

ebagai insan kampus, kita tentu memahami betul hiruk-pikuk di dalamnya. Tiap hari dosen, pegawai,Tiap hari dosen, pegawai,dosen, pegawai, mahasiswa, ruang kuliah dan lainnya se-lalu nampak. Tentu hafal betul.

Namun, masih ada yang luput dari pengamatan. Kita terlalu egoistis. Kepent-ingan liyan menjadi tidak penting bagi kita. Sehingga yang muncul kemudian adalah apatisme yang menjangkiti jiwa.

Apatisme itu misalnya mahasiswa hanya membisu ketika melihat profesion-alitas dosen yang rendah. Banyak dosen yang mengampu mata kuliah tak sesuai bidangnya.

Melalui tabloid edisi 119 ini, Amanat mencoba membuka tabir yang selama ini menutup mata. Bahwa persoalan profe-sionalisme dosen sangat penting. Sebab menyangkut roda kehidupan akademik di kampus.

Persoalan itu kami sajikan dalam lapo-ran utama (laput). Tentu bukan bermak-sud menjatuhkan seseorang atau lem-baga yang memiliki wewenang. Semacam pemantik untuk menciptakan perubahan. Sehingga persoalan itu tak berlarut.

Lebih dari itu, kami berharap per-soalan ini mampu menjadi bahan refle-ksi bagi segenap sivitas akademika IAIN Walisongo.

Di halaman yang lain, banyak mobil yang parkir sembarangan. Ya, di laporan pendukung (lapend), penataan parkir kampus layak diperbincangkan. Minim-nya lahan parkir tentu akan menuai keti-daknyamanan.

Tak hanya itu, mahasiswa juga ban-yak yang melanggar aturan lalu-lintas. Tuh, baca saja laporannya di halaman Humaniora.

Kehidupan kampus memang dina-mis. Di tengah kesibukan mengikuti jad-wal kuliah, ada yang diam-diam nyantri. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mem-bagi waktu untuk pondok dan kam-pus. Ya, tentu kita berharap keberadaan mereka mampu meramaikan suasana kampus.

Sebagai pengantar, cukup di sini saja. Tak baik kalau di awal sudah ban-yak cerita. Seharusnya untuk tegur-sapa, karena diam-diam Amanat menyimpan rindu kepada para pembaca.

Nah, apa kabar para pembaca? Amanat yakin, pembaca baik-baik saja. Dan akan lebih baik jika tabloid edisi ini ditamatkan. Oke?

(3)

telah melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi.

“Sudah mengajar, mengabdi, dan meneliti,” imbuh Kepala PPMA ini.

Predikat profesional wajar disematkan pada dosen sertifikasi. Sebab, ia dianggap berhasil memenuhi kriteria-kriteria yang dijadikan standar penilaian sertifikasi. Diantaranya, telah menguasai empat kompetensi dasar. Pertama, kompetensi pedagogik, diantaranya mencakup kemampuan merancang pembelajaran, disiplin dalam penyelenggaraan perkuliahan, dan menguasai media atau teknologi pembelajaran. Kedua, kompetensi profesional, diantaranya mencakup penguasaan materi perkuliahan secara luas dan mendalam. Ketiga, kemampuan sosial, seperti kemampuan membina suasana kelas dan kerja. Keempat, kompetensi kepribadian, yaitu memiliki komitmen dan etika profesional dosen.

Namun, profesionalitas itu ditampik sebagian mahasiswa. Afif Ma’ruf misalnya. Mahasiswa Jurusan Tadris Matematika ini mengungkapkan, tak semua dosen sertifikasi IAIN profesional, terutama dalam mengajar. Ia menyesali hal tersebut lantaran tak konsekuen dengan tunjangan profesional yang diterima sang dosen.

“Beberapa dosen tak menguasai materi, dan kurang memotivasi,” ujarnya.

Hal itu dibenarkan Mahasiswa Jurusan Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah, Khoirul Manan. Ia menambahkan, sebagian dosen sertifikasi sebenarnya telah menguasai materi. Namun, tidak bisa mengkondisikan suasana kelas sehingga proses pembelajaran tak maksimal. Selain itu, dosen juga tak memiliki inisiatif dalam mengajar sehingga pembelajaran terkesan monoton.

“Itu bisa menghambat perkembangan belajar mahasiswa,” katanya.

Pernyataan mahasiswa tersebut tepat. Minimnya penguasaan materi serta inisiatif dalam pengajaran dosen berarti mengingkari kompetensi yang mestinya dikuasai. Terutama, kompetensi pedagogik dan profesional yang meniscayakan dosen menguasai materi dan media pembelajaran.

Kepala PPMA Agus Nurhadi tak menampik hal itu. Ada dosen sertifikasi yang memang belum maksimal dalam melaksanakan tugas. Ia menilai, dosen yang memiliki kasus tersebut tak maksimal saat mengikuti pelatihan.

Dosen Fakultas Dakwah Mohammad Fauzi menganggap, kejadian tersebut hanya bersifat kasuistik karena hanya terjadi pada sebagian dosen. Namun menurutnya, kasus seperti itu tidak akan terjadi jika dosen mau melaksanakan pembelajaran sesuai dengan silabus pembelajaran.

“Silabus mengarahkan dosen untuk kreatif mengajar,” kata pria kelahiran kudus ini.

Terkait hal itu, Fauzi berharap,

PPMA sebagai lembaga yang bertugas meningkatkan mutu akademik, dapat meningkatkan kualitas dosen, terutama dalam mengajar.

“PPMA harus sering mengadakan pelatihan,” jelasnya.

Penelitian

Profesionalitas dosen sertifikasi, menurut mantan kepala PPMA Muhyar Fanani, berarti pemenuhan tanggung jawab dosen dalam melaksanakan Tri Dharma perguruan tinggi. Di samping aspek pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat, dosen sertifikasi juga dituntut aktif melakukan penelitian.

Tuntutan idealitas tersebut berbeda dengan realitas yang terjadi di IAIN. Meski tiap tahun ada kecenderungan naik, penelitian dosen sertifikasi masih terbilang

kecil jika dibanding jumlah seluruh dosen sertifikasi yang memang diwajibkan melakukan penelitian. Berdasar data tiga tahun terakhir Lembaga Penelitian (lemlit) IAIN Walisongo menunjukkan, pada tahun 2010, proposal penelitian yang masuk ke Lemlit sebanyak 64 buah dari 52 kuota penelitian yang tersedia. Tahun 2011 naik menjadi 134 proposal penelitian dari 60 kuota. Pada tahun 2012, 124 proposal penelitian masuk dari 38 kuota.

Agus Nurhadi mengakui hal tersebut. Menurutnya, baru sekitar 40,5% dosen yang melakukan penelitian pada tahun 2012.

“Semua dosen sertifikasi mestinya mengajukan penelitian,” jelasnya.

Berbeda dengan Kepala Lemlit Khoirul Anwar, menurutnya, terdapat

LAPORAN UTAMA

Dosen sertifikasi dianggap memenuhi standar profesionalitas.

Kenyataannya berlainan

Oleh Alfian Guntur Arbiyudha

LINIERITAS KEILMUAN

Muhyar Fanani

Ketua PBB IAIN Walisongo Semarang

P

elaksanakan sertifikasi dosen mulanya muncul sebagai respon terhadap Undang-undang (UU) nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menuntut guru dan dosen memiliki profesionalitas. Dinyatakan, dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mengajarkan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Kebijakan itu lantas disambut perguruan tinggi, termasuk IAIN Walisongo, dengan mengajukan sertifikasi dosen yang dinilai memenuhi kriteria sertifikasi. Terlepas dari beban profesionalitas, sertifikasi dosen memang memikat. Jika dinyatakan lulus sertifikasi, sang dosen akan memperoleh tunjangan profesional di samping gaji pokok. Selain itu, sertifikasi juga menambah point dalam penilaian Beban Kerja Dosen (BKD).

Prosedur pengajuannya, perguruan tinggi pengusul membentuk Panitia Sertifikasi Dosen (PSD). PSD bekerja sama dengan fakultas atau jurusan atau prodi untuk melakukan penilaian konsepsional dan personal. Hasil penilaian berbentuk berkas portofolio tersebut selanjutnya diserahkan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) atau Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam (Dirjen Diktis) untuk dinilai dan dievaluasi.

Kepala Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA) Agus Nurhadi mengungkapkan, dasar penilaian sertifikasi dosen berdasarkan empat kategori. Antara lain, penilaian persepsional dari mahasiswa, teman sejawat, atasan, dan dosen yang diusulkan. Nilai akhir deskripsi diri. Nilai konsistensi antara penilaian persepsional dan personal. Dan, gabungan nilai Penilaian Angka Kredit (PAK) dan nilai persepsional. Penilaian tersebut didasarkan pada empat kompetensi. Yaitu, kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.

“Bagi yang tak lulus diserahkan kepada PT-Pengusul untuk dibina,” tutur dosen sosiologi tersebut.

Di IAIN, mekanisme pengajuan sertifikasi ditangani lembaga Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA). Kepala PPMA Agus Nurhadi mengungkapkan, PPMA bertugas mengusulkan calon sertifikasi dosen untuk selanjutnya disahkan rektor.

“Kita mengusulkan, rektor mengesahkan,” jelas Agus Nurhadi Kepala PPMA.

Profesionalisme

Jumlah dosen sertifikasi di IAIN terbilang besar. Seperti dipaparkan Agus Nurhadi, dari 306 jumlah dosen di IAIN, 283 diantaranya, atau sekitar 92,5% sudah sertifikasi. Dosen sertifikasi itu dianggap sudah profesional karena telah memenuhi syarat dan kriteria sertifikasi. Diantaranya,

SERTIFIKASI

TANPA

PROFESIONALITAS

peningkatan antusiasme dosen sertifikasi dalam melakukan penelitian. Sayangnya, antusiasme tersebut tak diimbangi dengan peningkatan alokasi dana untuk penelitian. Ia mencontohkan, pada tahun 2012, ada 124 dosen yang mengajukan proposal penelitian, sedangkan kuota penelitian yang dibiayai terbatas 38.

Kurang Pelatihan

IAIN sebenarnya telah melakukan upaya untuk meningkatkan mutu dosen sertifikasi agar bisa melaksanakan tanggung jawabnya secara maksimal. Diantaranya, dengan menyelenggarakan pelatihan atau workshop oleh PPMA. Namun, menurut Fauzi, pelatihan tersebut kurang efektif karena hanya diadakan setahun sekali.

“Workshop setahun sekali kurang,” katanya.

Kepala PPMA Agus Nurhadi mengamini hal itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa lantaran keterbatasan dana. Anggaran yang ada, menurutnya, hanya cukup untuk menyelenggarakan workshop setahun sekali.

“Anggaran yang ada hanya cukup untuk satu kali workshop,” imbuhnya.

Terkait hal itu, rektor IAIN Walisongo Muhibbin mengakui pelatihan untuk dosen memang kurang. Menyadari itu, ia menargetkan akan mengadakan pelatihan bagi seluruh dosen dalam berbagai pengetahuan agama, penelitian, workshop, dan di-training secara berkelanjutan sebagai upaya peningkatan kualitas dosen.

“Dosen mesti terlatih karena adanya pelatihan dari PPMA,” tutur profesor ilmu Hadis tersebut.

Sebenarnya, sudah ada langkah perbaikan dari PPMA untuk meningkatkan intensitas pelatihan dosen. Di antaranya, baru-baru ini, PPMA mengadakan kegiatan Active Learning For Higher Education (ALFHE) dengan tujuan untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dosen dalam proses pembelajaran. Active learning berisi berisi sosialisasi tentang materi dan praktik model-model pembelajaran aktif, serta format pengembangan silabus.

“Dosen harus menguasai metode pembelajaran active learning.”n

D

o

c.

I

n

te

rn

et

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam tengah mengisi kegiatan pembinaan sertifikasi

Dosen sertifikasi mesti

memenuhi tanggung

jawab Tri Darma

(4)

LAPORAN UTAMA

LINIERITAS KEILMUAN

D

engan penuh gairah, Muham-mad Munif Afifudin menyeger-akan langkah mengikuti kuliah Monitoring dan Evaluasi Pen-didikan di ruang D Fakultas Tarbiyah. Na-mun, semangat Afifudin tiba-tiba luntur kala kuliah sedang berlangsung.

“Pengajaran tidak memahamkan,” kata Munif usai kuliah.

Lain hari, tim Amanat melakukan pe-nyelidikan terhadap dosen IAIN Walison-go di Pusat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA). Usut punya usut, berdasarkan data, mata kuliah yang diampu dosen tersebut memang tidak sesuai dengan kualifikasi akademik atau bidang keilmuan sang dosen. Surat Keputusan (SK) penga-jaran dosen tersebut ternyata adalah Se-jarah Peradaban Islam, tak ada hubungan-nya dengan mata kuliah Monitoring dan Evaluasi Pendidikan.

Hal sama dialami mahasiswa Fakultas Tarbiyah Adi Hermawan. Salah satu do-sennya justru mengakui secara terang-terangan perihal ketidaksesuaian antara kualifikasi akademik atau keahlian dengan bidang mata kuliah yang diampu. Menu-rut penuturan Adi, dosen tersebut men-gaku diminta mengajar makul Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), yang notabene tidak sesuai dengan disdiplin keilmuan atau SK pengajarannya, yaitu, Pendidikan Agama Islam (PAI). Bahkan, di hadapan mahasiswanya, ia meminta pemakluman dan menyampaikan permohonan maaf terhadap mahasiswanya jika dalam men-gajar terjadi kekeliruan karena ketidak-sesuaian tersebut.

“Ini bukan bidang saya, jika keliru saya mohon maaf,” tutur Adi menirukan kata dosen tersebut.

Inlinieritas disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan turut diakui Dosen Fakultas Tarbiyah Ismail. Dosen yang memiliki SK pengajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) ini oleh fakultas dim-inta untuk mengajar mata kuliah Bahasa Inggris. Penunjukannya sebagai pengam-pu mata kuliah bahasa Inggris itu lanta-ran pertimbangan terkait pengalamannya

SENGKARUT LINIERITAS KEILMUAN

DOSEN

yang pernah kuliah di luar negeri.

Ia mematuhi instruksi penunjukan tersebut. Namun, Ismail mengaku, sebena-rnya lebih nyaman jika mengajar mata ku-liah sesuai dengan SKnya.

“Lebih baik bahasa Inggris diajar dosen berSK bahasa Inggris,” terangnya.

Kasus inlinieritas seperti itu lazim ter-jadi dalam sistem penjadwalan mata kuli-ah di IAIN Walisongo. Baik inlinier disiplin keilmuan dalam setiap jenjang pendidikan dosen, maupun inlinier antara bidang ke-ahlian dengan mata kuliah yang diampu. Dalam kualifikasi akademiknya, banyak dosen yang inlinier disiplin keilmuannya dalam setiap jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Beberapa kasus misalnya, ada dosen yang studi strata satunya (S1) bidang ilmu Hadist, strata duanya (S2) bidang ilmu manajemen. Fakta lain, ada dosen S1 Fakultas Ushuludin, S2 bidang ilmu pendidikan, S3 Islamic Studies, dan guru besarnya bidang ilmu Sejarah.

Di samping terjadi inlinier disiplin keil-muan dosen dalam jenjang studinya, ter-jadi inlinier antara disiplin keilmuan den-gan mata kuliah yang diampu. Mata kuliah terampu tak sesuai dengan bidang keahl-ian atau SK pengajarannya. Misalnya, sep-erti diungkapkan dosen Fakultas Dakwah Mohammad Fauzi dalam penelitiannya, terdapat dosen dengan latar belakang keil-muan Komputer mengampu mata kuliah Manajemen. Sebaliknya, ada dosen den-gan disiplin ilmu Fikih atau Ushul Fikih mengampu mata kuliah Manajemen. Ada juga, dosen dalam bidang ilmu Dakwah atau ilmu Antropologi mengampu Mata Kuliah Bahasa Inggris. (Idealitas dan Re-alitas ProfesionRe-alitas Dosen :2010)

Hasil penelitian Fauzi terhadap dosen Fakultas Dakwah yang lulus sertifikasi ta-hun 2009 misalnya, menunjukkan, dari 31 dosen Fakultas Dakwah, yang linier studi S1 sampai S3-nya ada 5 orang (16,1%), li-nier S1 dan S2-nya ada 6 orang (19,3%), linier S1 dan S3-nya ada 3 oarang (9,6%), linier S2 dan S3-nya ada 4 oarang (13%), dan dosen yang inlinier studinya ada 13 orang (42%).

Dilihat dari linieritas mata kuliah am-puan dengan disiplin keilmuan dosen, linier semua ada 1 orang (3,2%), linier/in-linier sebagian ada 28 orang (90,3%), dan inlinier semua ada 2 orang (6,5%).

Chaos Distribusi Job

Kesenjangan disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan terkait erat dengan proses penjadwalan mata ku-liah dan distribusi job dosen pada tingkat fakultas. Fakultas memiliki andil dalam penempatan tugas dosen saat penyusunan sistem kurikulum atau jadwal kuliah.

Pembantu Dekan (PD) I Fakultas Tar-biyah Shodiq mengaku belum maksimal dalam mengatur kesesuaian antara disip-lin keilmuan dosen dengan mata kuliah yang diampu. Meskipun begitu, ia men-gungkapkan, fakultas tak sembarangan dalam melakukan penjadwalan mata ku-liah. Beberapa pertimbangan seperti, pen-galaman dosen mengajar, kecakapan, dan latar belakang pendidikan dosen sudah dilakukan.

Misalnya, penempatan dosen mata ku-liah Bahasa Inggris diambilkan dari dosen yang berlatar belakang pernah kuliah di luar negeri. Ia dianggap cakap mengampu mata kuliah Bahasa Inggris karena lama tinggal di luar negeri.

Muhyar menampik, mengajar mata kuliah Bahasa Inggris tak hanya membu-tuhkan pengalaman, namun juga mesti memahami teori mengajar. Menurutnya, dosen lulusan luar negeri meski fasih ber-bahasa Inggris belum tentu menguasai teori.

Hal itu diamini oleh mahasiswa Jurusan Tadris Bahasa Inggris Ahmad Maksum, ia mengaku diajar dosen lulusan luar negeri namun memiliki disiplin keilmuan keis-laman. Menurutnya itu tak bisa menjadi ukuran kecakapan dosen. Apalagi untuk jurusan Tadris Bahasa Inggris, tak hanya membutuhkan kecakapan berbicara ba-hasa Inggris. Namun, juga teori dalam mengajar.

“Pinter ngomong, tapi teori tak men-guasai,” katanya

Ke depan, Shodiq akan segera

melaku-kan perbaimelaku-kan untuk mengatasi problem ilinieritas tersebut. Ia mengupayakan akan mengarahkan tugas mengajar dosen ses-uai disiplin keilmuan berdasarkan SK pen-gajaran masing-masing dosen.

“Ke depan kami upayakan,” tambah Sodiq.

Kesenjangan disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan memang di-pengaruhi kebijakan kurikulum fakultas. Masalahnya, kebijakan itu didasarkan atas beberapa pertimbangan dilematis. Salah satunya, terjadi ketimpangan antara pemenuhan mata kuliah dengan jumlah tenaga pengajar.

Hal itu disadari dosen Fakultas Tarbiyah M. Nafis. Menurutnya, ada ketimpangan yang signifikan antara jumlah dosen den-gan mata kuliah jurusan. Misalnya, jumlah dosen pada jurusan tertentu terlalu ber-lebihan. Sebaliknya, pada jurusan tertentu lain justru mengalami kekurangan dosen. Kekurangan dosen yang mengakibatkan kekosongan tenaga pengajar pada mata kuliah tertentu lantas diisi dengan dosen lain yang tak linier didiplin keilmuannya dengan mata kuliah tersebut.

Terlebih, keberadaan sertifikasi dosen kian mengacaukan distribusi tugas ajar dosen. Sertifikasi menuntut dosen harus memenuhi batas minimal dua belas SKS yang dibebankan oleh negara. Sehingga, akan terjadi kekurangan kelas jika mata kuliah ampuan disesuaikan dengan bi-dang keilmuannya.

Di samping masalah kebijakan distri-busi job, Nafis menengarai, masalah kes-enjangan disiplin keilmuan dosen dengan mata kuliah ampuan sebenarnya berakar pada persoalan pola perekrutan dosen. Pola perekrutan dosen di IAIN menurut-nya tidak didasarkan pada prinsip kebu-tuhan.

“Jika butuh, merekrut yang profesional di bidangnya, kalau tak butuh, tak usah merekrut.”, katanya.n

Shodiqin

Grafik

Inlinieritas

Disiplin Keilmuan Dosen

pada jenjang studinya (S1, S2, S3 dan Guru Besar)

Penelitian ini dilakukan terhadap 265 dosen sertifikasi di IAIN Walisongo Semarang 2011/2012

(5)

sat Penjaminan Mutu Akademik (PPMA), ia memahami carut marut sistem penjad-walan mata kuliah dan distribusi tugas dosen. Kondisi itu tak lepas dari ketimpa-ngan jumlah dosen deketimpa-ngan mata kuliah ampuan. Ia mencontohkan, IAIN hanya memiliki satu dosen Bahasa Indonesia aktif yang linier dengan disiplin keilmuan-nya. Padahal, mata kuliah itu diajarkan di setiap jurusan di IAIN. Akhirnya, petugas penjadwalan menunjuk dosen yang bukan berlatar belakang bidang bahasa untuk mengajar mata kuliah bahasa.

Pun dalam kasus mata kuliah Bahasa Arab. Ia mengatakan, IAIN hanya memi-liki 10 dosen yang memimemi-liki SK pengajaran

Bahasa Arab. Padahal, seluruh mahasiswa IAIN, atau sekitar delapan ribu mahasiswa, diwajibkan mengambil mata kuliah Baha-sa Arab sebanyak 6 SKS. Untuk mensiaBaha-sat- mensiasat-inya, diambil dosen dari disiplin keilmuan lain untuk ikut mengajar mata kuliah terse-but. Hal serupa terjadi pada kebijakan ter-hadap mata kuliah Bahasa Inggris.

“Pembantu Dekan (PD 1) dan Pem-bantu Rektor (PR 1) perlu membenahi problem tersebut,” ungkapnya.

Penyesuaian

Problem inlinieritas kian merunc-ing seirmerunc-ing dengan perkembangan

aka-LAPORAN UTAMA

Seorang dosen sedang menyampaikan materi kuliah

Inlinieritas

berakibat

pada kurangnya

profesionalitas dosen

Agus Nurhadi

Kepala PPMA

PROFESIONALITAS DOSEN

D

i antara komponen terpenting sivitas akademika di kampus bagi keberhasilan pendidikan adalah dosen. Dosen bukan sekedar pengajar untuk mentransforma-sikan ilmu, melainkan sebagai pendidik. Hal ini diakui di dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bahkan, menurut UU tersebut, dosen dianggap sebagai pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentransfor-masikan, mengembangkan, dan menye-barluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

UU tersebut mengamanatkan, tugas dan fungsi dosen harus dijalankan ber-dasarkan prinsip profesionalitas. Profe-sional meniscayakan pekerjaan berdasar-kan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau nor-ma, serta memerlukan pendidikan profesi. (pasal 1:4).

Di antara prinsip profesionalitas itu adalah memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang dan tugas, serta memiliki kompe-tensi yang diperlukan sesuai dengan bi-dang dan tugas (pasal 7:1)

Berdasar uraian tersebut, profesion-alitas akan tercapai jika dosen memiliki disiplin keilmuan yang linier dan melaku-kan pendidimelaku-kan sesuai dengan disiplin keilmuannya. Sayangnya, tuntutan profe-sionalitas seperti diamanatkan UU terse-but berbeda dengan realitas di IAIN Wal-isongo.

Logika profesionalitas itu tepat. Ada korelasi antara inlinearitas disiplin keil-muan dengan mata kuliah ampuan ter-hadap rendahnya profesionalitas dosen. Seperti diakui mahasiswa Fakultas Syari’ah Asif. Ia mengatakan, banyak dosennya yang inlinier studi di jenjang pendidikan-nya, dan inlinier antara disiplin keilmuan dengan mata kuliah ampuan.

“Bisa dicek gelar dosen di buku

pan-duan sarjana inlinieritas itu.”

Ketidaksesuaian tersebut dirasakan Asif memiliki dampak yang signifikan ter-hadap pembelajaran di kelas. Ia menilai, dosen yang inlinier disiplin keilmuan den-gan mata kuliah ampuan biasanya tak pro-fesional dalam mengajar.

“Dampaknya dalam mengajar tak maksimal,” ungkapnya.

Penyesatan

Inlinieritas, menurut dosen Fakultas Dakwah Mohammad Fauzi, sangat berisiko terhadap rendahnya kualitas keil-muan dosen. Lebih fatal, ia berpengaruh terhadap penurunan kualitas lulusan ma-hasiswa karena pengajaran yang tak profe-sional.

Kepala Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) Muhyar Fanani mengamini hal tersebut. Bahkan, ia menganggap inlini-eritas itu sebagai “penyesatan” terhadap mahasiswa. Terkait itu, Muhyar mengaku pernah menegur seorang petugas penjad-walan mata kuliah karena ada keluhan dari mahasiswa terhadap pengajaran seorang dosen mata kuliah Bahasa Arab. Usut pu-nya usut, dosen tersebut mengajar mata kuliah Bahasa Arab bukan berdasarkan bidang keahlian atau SK pengajarannya, namun lantaran untuk memenuhi beban Sistem Kredit Semester (SKS)nya.

“Kalau tak dikasih jam Bahasa Arab, dosen itu kekurangan 2 SKS,” kata petugas penjadwalan tersebut, kenang Muhyar.

Mendengar hal itu, hati Muhyar geram. Baginya, penugasan dosen bukan berdasarkan disiplin keilmuannya itu sama halnya penyesatan terhadap mahasiswa. Padahal, mahasiswa berhak mendapatkan pendidikan yang layak dengan kualitas dosen yang baik.

“Anda menolong satu dosen, tapi menyesatkan ribuan mahasiswa,” tegur Muhyar terhadap petugas penjadwalan tersebut.

Kasus inlinieritas bukanlah asing bagi Muhyar. Sebagai mantan kepala

Pu-PROFESIONALITAS SEMU

demik fakultas. Perubahan kurikulum terjadi saban tahun meniscayakan perom-bakan jadwal kuliah karena ada penamba-han mata kuliah baru. Karena itu, sebagian mata kuliah baru memang belum memiliki dosen pengampu yang linier disiplin keil-muannya dengan mata kuliah tersebut. It-ulah yang menurut kepala PPMA Nurhadi menjadi dilema bagi fakultas dalam proses penjadwalan mata kuliah.

Petugas penjadwalan, menurut Nurhadi, mengalami kesulitan saat proses penjadwalan karena terjadi ketimpangan antara jumlah tenaga pengajar dengan mata kuliah. Solusinya, mata kuliah yang tak memiliki dosen yang linier disiplin keilmuannya dengan mata kuliah tersebut, dicarikan dosen yang disiplin keilmuan-nya sedikit bersinggungan atau dianggap mampu mengampu mata kuliah tersebut.

“Ini berakibat pada kurangnya profe-sionalitas dosen,” katanya.

Sebenarnya, problem inlinieritas itu bisa diminimalisir jika petugas penjadwa-lan lebih teliti pada proses penjadwapenjadwa-lan mata kuliah. Seperti disampaikan Muhyar Fanani, problem itu dapat disiasati, misal-nya, dengan melakukan pertukaran dosen antar fakultas sesuai dengan bidang ke-ahliannya.

Misalnya, untuk mata kuliah Filsafat Islam pada Fakultas Syari’ah, dapat men-gambil dosen dari Fakultas Ushuludin yang memiliki disiplin keilmuan filsafat. Atau, sebaliknya, untuk mata kuliah Fikih atau Ushul Fikih di Fakultas Ushuludin, dapat mengambil dosen Fakultas Syari’ah yang memiliki disiplin keilmuan di bidang Fikih.

Masalahnya, menurut Muhyar Fa-nani, “individualisme” masing-masing fakultas menghambat penerapan wacana tersebut. Muhyar menambahkan, terdapat klaim, dosen itu milik fakultas atau juru-san. Sehingga, sang dosen dipaksa untuk mengajar di fakultas atau jurusan masing-masing meskipun mata kuliah yang diam-pu tak linier dengan disiplin keilmuannya. “Dosen harus bisa mengajar di juru-san apapun sesuai dengan bidang keahl-ian.”

Akar persoalan inlinieritas sebena-rnya berkaitan erat dengan problem per-ekrutan dosen. Hal itu disampaikan dosen Fakultas Tarbiyah M. Nafis, maka, untuk mengatasi persoalan inlinieritas, mesti dibenahi mekanisme perekrutan dosen. Menurutnya, prosedur perekrutan dosen mestinya berpegang pada asas “kebutu-han.” Ia melihat ada ketimpangan kuanti-tas dosen. Misalnya, ada sebagian jurusan atau bidang mata kuliah yang kekurangan dosen yang disiplin keilmuannya linier dengan jurusan atau mata kuliah terse-but. Di sisi lain, ada sebagian jurusan yang kelebihan dosen.

“Soal inlinieritas berkaitan dengan mekanisme penjadwalan juga proses per-ekrutan dosen,” terangnya.

Di sisi lain, masalah inlinieritas se-benarnya disadari oleh baik dosen ber-sangkutan maupun pemangku kebijakan yang memiliki wewenang untuk memberi-kan izin studi lanjut terhadap dosen ber-sangkutan. Sayangnya, Fauzi memandang, linieritas belum menjadi bahan pertim-bangan bagi pemangku kebijakan dalam memberikan izin studi lanjut atau tugas mengampu mata kuliah.n

Shodiqin

Inlinieritas

berdampak pada rendahnya profesionalitas dosen dalam mengajar.

Sistem penjadwalan mata kuliah perlu diperbaiki.

A

lf

ia

n

/A

m

a

n

a

(6)

Parkir Mobil Tak Tertib

LAPORAN PENDUKUNG

PARKIR MOBIL

Parkir mobil di tepi jalan fakultas membuat sivitas akademika resah karena merusak pemandangan

dan mengganggu lalu lintas. Reformasi sistem parkir terhambat keterbatasan lahan dan dana.

Salah satu ruas jalan menyempit karena digunakan untuk parkir mobil

H

aqi tersentak kaget, tiba-tiba se-buah motor melintas di depan-nya saat ia mau menyeberang ja-lan dari taman Fakultas Tarbiyah menuju parkiran motor di seberang. Ia tak tahu akan ada motor yang melintas lantaran pandangannya terhalang mobil yang parkir di depannya. “Gara-gara mobil,” ucapnya.

Atas kejadian itu, ia berharap, pihak bi-rokrasi perlu menambah lahan parkir yang aman dan efisien demi terciptanya kenya-manan dan keakenya-manan bagi seluruh peng-huni kampus.

Keberadaan parkir mobil di sepanjang ja-lan Fakultas Tarbiyah memang cukup mere-sahkan. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Elina misalnya, ia menilai parkir mobil di tepi jalan sangat menggangu aktivitas lalu lintas di jalan tersebut. Tak hanya itu, parkir mobil di sepan-jang jalan dianggap tak rapi dan memperbu-ruk pemandangan.

Sebab itu, Elina mengusulkan, parkir mobil mesti ditata dan disediakan tempat tersendiri.

“Agar semua nyaman,” tuturnya. Kepala Jurusan (Kajur) Kependidikan Is-lam (KI) Mustofa menilai sama. Menurutnya, parkir mobil di sepanjang jalan mengganggu lalu lintas serta merusak keindahan. Padahal, tambahnya, Islam mencintai keindahan dan kerapian. Mestinya, IAIN yang memiliki basis keislaman kuat memperhatikan ihwal terse-but.

“Jalan seharusnya untuk jalan, bukan un-tuk parkir.”

Dekan Fakultas Tarbiyah Suja’i memberi-kan tanggapan berbeda. Ia justru tidak mem-permasalahkan kondisi parkir mobil di tepi jalan. Asal, jalan tersebut masih bisa dipakai untuk lalu lintas.

“Yang masalah itu kalau parkirnya di ten-gah jalan,” ungkapnya.

Dengan kondisi parkir mobil yang demi-kian, Suja’i hanya mewanti-wanti, agar peng-guna jalan berhati-hati saat melintas.

Kondisi serupa terjadi di fakultas-fakul-tas lain. Sistem parkir mobil di setiap fakulfakultas-fakul-tas sama. Umumnya, terpusat di kantor fakultas dan di tepi jalan. Area yang dijadikan tempat parkir mobil tersebut hanya ditandai dengan garis putih di tepi-tepi jalan.

Kondisi itu membuat sebagian sivitas akademika merasa tak nyaman. Mahasiswa

Fakultas Syari’ah Baidhowi antara lain, di samping merusak pemandangan kampus, menurutnya, parkir mobil di sepanjang jalan juga mempersempit badan jalan sehingga dapat mengganggu lalu lintas.

“Parkirnya tampak semrawut,” tuturnya. Untuk itu, ia mengimbau kepada birokra-si kampus agar menertibkan parkir mobil dengan menyediakan parkir mobil khusus yang luas.

“Parkir mobil harus tertib dan rapi.”

Penambahan tempat parkir motor, sep-erti dikatakan Suja’i, memang senantiasa dilakukan saban tahun. Namun, pembangu-nan tempat parkir mobil yang memadai be-lum dilakukan.

Padahal, peningkatan jumlah pengguna mobil terus meningkat. Hal itu diakui Kepala Bagian (Kabag) Rumah Tangga IAIN Jaya, ia mencontohkan, di kampus I IAIN hampir semua pegawai mengendarai mobil. Sayang-nya, kondisi tersebut tak dibarengi dengan penyediaan tempat parkir yang memadai.

“Parkir tak sebanding dengan jumlah pengendara mobil.”

Sentralisasi

Lambannya penanganan masalah parkir dilatarbelakangi beberapa persoalan. Antara lain, menyangkut keterbatasan lahan. Hal tersebut diakui dekan Fakultas Syari’ah Imam Yahya. Meski ia mengamini sistem parkir yang demikian cukup mengganggu, namun kondisi lingkungan IAIN menurutnya me-mang tak memadai untuk dibuat sistem par-kir sentral.

“Parkir mobil di Fakultas Syariah sead-anya,” tuturnya.

Hal senada diungkapkan Suja’i. Menu-rutnya, di Fakultas Tarbiyah pun tak memiliki lahan yang memadai untuk dijadikan tempat parkir mobil.

“Tidak ada tempat yang layak untuk digu-nakan parkir.” tutur Suja’i.

Itu turut dibenarkan Pembantu Rektor (PR) II Ruswan. Di kampus 2 misalnya, ia me-nilai, kondisi tanah di area tersebut tidak rata sehingga sulit untuk dijadikan tempat parkir.

“Tanah di kampus 2 tidak rata,” terang-nya.

Upaya penertiban kawasan parkir di IAIN tak lepas dari wacana sentralisasi tempat parkir yang sempat digagas beberapa kalan-gan. Namun, wacana itu menuai kontroversi karena kondisi lahan IAIN yang dinilai tak mendukung. Selain itu, seperti penuturan

Suja’i, sentralisasi parkir dinilai kurang praktis karena bisa menyusahkan sivitas akademika yang posisi kantor atau ruang kuliahnya ber-jauhan dengan lokasi tempat parkir.

“Kondisi tanah menanjak, beban bagi yang berjalan jauh.”

Kabag Rumah tangga Ahmadi Jaya me-nanggapi beda. Menurutnya, keterbatasan lahan bukanlah alasan untuk menata sistem parkir IAIN. Sebenarnya, IAIN memiliki lahan cukup. Persoalannya, menurut Jaya, justru pada kendala dana. Sebab, pembangunan area parkir di atas lahan IAIN yang berbukit membutuhkan anggaran besar. Di sisi lain, saat ini IAIN belum memiliki prioritas untuk membangun tempat parkir.

“Prioritas utama saat ini pembangunan gedung,” terang Jaya.

Pun, di Fakultas Tarbiyah sebenarnya ada beberapa lahan yang cukup luas. Di antaranya, seperti dituturkan dosen Fakultas Tarbiyah Miswari, terletak di depan gedung ma’had kampus 2.

“Lahannya datar dan luas.”

Jaya sepakat dengan usulan Miswari. Ma-salahnya, kondisi area yang panas dan jauh dari kantor dan ruang kuliah membuat dosen atau pegawai berpikir panjang untuk me-markirkan mobilnya di tempat tersebut.

Wacana sentralisasi parkir sebenarnya juga pernah digagas, bahkan sempat diusul-kan oleh dediusul-kan Fakultas Syari’ah imam Yahya. Ia mengaku pernah mengusulkan semua parkir dipusatkan di samping perpustakaan kampus 3. Namun, usulan itu menuai ham-batan karena dianggap akan memberatkan sivitas akademika.

“Akan jadi kendala semua pihak,” jelas-nya.

Solusi sementara menurutnya, baru di-lakukan membuat garis tanda parkir mobil di tepi-tepi jalan atau depan gedung. Ia ber-harap, sivitas akademika mau menaati sistem parkir yang sudah ada. n

Machya Afiyati Ulya

Keterbatasan lahan bukanlah

alasan untuk menata sistem parkir

IAIN. Sebenarnya, IAIN memiliki

lahan cukup. Persoalannya, adalah

dana. Sebab, pembangunan area

parkir di atas lahan IAIN yang

berbukit membutuhkan anggaran

besar.

Ahmadi Jaya

Kabag Rumah Tangga

M

a

ch

ya

/A

m

a

n

a

(7)

LAPORAN PENDUKUNG

D

i samping pendidikan dan pen-gabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi memiliki tugas menyelenggarakan penelitian, sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Penelitian menjadi hal yang tak terpisahkan dari agenda akademik sivitas akademika, termasuk mahasiswa.

Kebijakan dalam pengembangan penelitian pada masing-masing perguru-an tinggi berbeda-beda. Termasuk, ihwal pemberdayaan mahasiswa dalam pene-litian. Sebagian perguruan tinggi bersedia membuka ruang, bahkan memfasilitasi mahasiswanya yang bersungguh-sung-guh mau melakukan penelitian. Sebagian perguruan tinggi lain menutup celah bagi mahasiswanya untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian.

Di Universitas Diponegoro (Undip) misalnya, memiliki apresiasi tinggi ter-hadap penelitian mahasiswa. Hal terse-but salah satunya diwujudkan dengan pembentukan wadah atau lembaga untuk memfasilitasi mahasiswa agar terdorong untuk meneliti. Hal itu diungkapkan salah satu mahasiswa Undip Nurul Mahrihah. Ia mencontohkan, di jurusannya, Kelautan Undip, terdapat lembaga bernama Farma-si yang menangani penelitian mahaFarma-siswa tingkat jurusan. Pun, di tingkat fakultas ter-dapat Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang mengakomodir penelitian mahasiswa level fakultas.

Prosedur pengajuan penelitian pada lembaga atau organisasi tersebut seder-hana. Mahasiswa mengajukan proposal penelitian pada lembaga tersebut den-gan menyertakan pembimbing dari unsur dosen.

Mahasiswa kelautan semester enam ini mengaku, proposal penelitiannya pernah

lolos seleksi dan mendapatkan dana pene-litian dari Dikti sebesar enam juta, dit-ambah bantuan dana dari fakultas sebesar satu juta rupiah.

Sebenarnya, proyek penelitian untuk sivitas akademika terus meningkat seiring dengan naiknya anggaran pendidikan. Na-mun, menurut Nurul, di samping kampus tak tanggap, mahasiswa juga tak memiliki inisiatif sendiri untuk mencari informasi penelitian dari berbagai sumber. Nurul mengaku, di samping mengandalkan in-formasi dari fakultas, ia juga sering melaku-kan browsing internet untuk mendapatkan informasi penelitian lebih banyak.

Pun, di perguruan lain seperti Univer-sitas Negeri Semarang (Unnes), atau Uni-versitas Negeri Surakarta (UNS), sama. Di UNS misalnya, terbentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) khusus, Kelompok

Stu-di Ilmiah (KSI), yang membi-dangi penelitian mahasiswa. Di Unnes, seperti dijelaskan, ma-hasiswa Jurusan Kimia, Suriat Hadi, ada mata kuliah khusus, Karya Tulis Ilmiah (KTI), serta pelatihan pembuatan karya il-miah. Karya terbaik mahasiswa dari program kuliah dan pelati-han tersebut selanjutnya diaju-kan ke Dikti oleh Fakultas.

“Mahasiswa jadi termoti-vasi.”

Penelitian IAIN

Di banding perguruan tersebut, IAIN lebih terbe-lakang dalam hal pemberday-aan penelitian mahasiswa. Tidak ada lembaga di tingkat fakultas maupun jurusan yang mengakomodir penelitian ma-hasiswa, seperti di Undip. Pun, belum ada tindakan untuk mendorong mahasiswa melakukan penelitian. Proyek penelitian, seperti diakui Kepala Lembaga Penelitian (Lemlit), Khoirul Anwar, selama ini me-mang difokuskan untuk dosen. Asumsinya, menurut Khoirul Anwar, dosen lah yang memiliki kemampuan, pengalaman, serta kewajiban ke arah pengembangan ilmu pengetahuan yang telah didapat.

Khoirul Anwar melihat antusiasme dosen dalam penelitian sangat besar. Pada semester terakhir 2012, ada 124 proposal penelitian yang masuk, padahal daftar kuota hanya tiga puluh proposal yang akan diterima. Itulah mengapa, lanjut Khoirul, mahasiswa belum mendapatkan porsi un-tuk ikut berpartisipasi dalam penelitian. Lebih lanjut Khoirul mengatakan, masalah mahasiswa tak dilibatkan dalam penelitian

dipicu faktor keterbatasan dana.

Dosen mata kuliah Biologi, Dian Ayun-ing Tyas, mengatakan, mahasiswa mes-tinya tak hanya mengandalkan dana dari fakultas atau institut untuk melakukan penelitian. Sebab, fakultas memang belum punya program untuk penelitian maha-siswa.

“Mahasiswa harus proaktif mencari in-formasi di luar.”

Di sisi lain, mahasiswa tak proaktif lan-taran tidak ada gerakan penelitian secara terpadu yang bisa menjadi jembatan un-tuk mengarahkan penelitian mahasiswa. Termasuk, tidak adanya alokasi dana penelitian yang disediakan untuk maha-siswa. Hal itu disampaikan Lianah, dosen Biologi.

Pembantu Dekan III Fakultas Tarbi-yah, Ridwan mengamini hal itu. Menurut-nya, memang, secara formal, belum ada program penelitian untuk mahasiswa di fakultas.

“Kalau gagasan sudah ada.”

Program penelitian untuk mahasiswa sebenarnya tak hanya bersumber dari dana internal fakultas ataupun institut. Banyak kesempatan mahasiswa untuk bisa melakukan penelitian eksternal. Sayang-nya, minimnya informasi membuat maha-siswa tak bisa menangkap peluang terse-but. Terlebih, dosen kurang proaktif dalam memberikan informasi dan mendorong mahasiswanya untuk meneliti. Padahal, dosen lah yang mengetahui ihwal potensi mahasiswanya dan berkewajiban untuk membimbing. n

Anik Sukhaifah

Penelitian Hanya untuk Dosen

Proyek penelitian IAIN terbatas untuk dosen. Mahasiswa perlu dilibatkan

.

D

alam sebuah tayangan televisi, se-orang mahasiswi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo tampak mahir memandu sebuah acara bak presenter handal. Sebagai pemula, ia merasa tak canggung saat dihadapkan dengan sorot kamera televisi.

Cuplikan tayangan tersebut merupa-kan bagian dari sajian acara Walisongo TV. Walisongo TV merupakan stasiun televisi yang dikembangkan oleh IAIN Walisongo. Meski terbilang baru, gagasan pendirian stasiun televisi IAIN Walisongo sebenarnya sudah sejak lama muncul. Te-patnya, seperti diungkapkan Kepala Lab-oratorium Fakultas Dakwah dan pembina Walisongo TV Amelia Rahmi, gagasan itu dicetuskan pada masa kepemimpinan Aminudin Sanwar sebagai dekan.

Tujuan awalnya, untuk memberikan bekal dan wawasan kepenyiaran media elektronik kepada mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakul-tas Dakwah. Namun, wacana tersebut saat itu urung terealisasi. Minimnya sum-ber daya manusia (SDM) serta sarana dan prasarana disinyalir menjadi kendala uta-ma dalam mewujudkan wacana tersebut. “Baru ada kamera saat itu, ” ungkap Amelia.

Baru, pada era kepemimpinan Mu-hamad Sulton sebagai dekan Fakultas Dakwah, wacana itu dapat direalisasikan. Langkah pertama dilakukan dengan men-gangkat mantan presenter TVRI yang juga alumnus Fakultas Dakwah, Bahrudin, sebagai pembina untuk membesarkan Walisongo TV.

Terkait nama, seperti dijelaskan

Pem-Media Baru IAIN Walisongo

bantu Dekan (PD) III Fakultas Dakwah Ahmad Anas, Walisongo TV diambil dari nama IAIN Walisongo. Semangat para Walisongo dalam menyebarkan Islam menjadi inspirasi bagi perjalanan dakwah IAIN Walisongo.

Meski mulanya untuk mendukung kegiatan mahasiswa KPI Fakultas Dak-wah, Bahrudin tak menampik, fakultas lain boleh mengisi program yang ditay-angkan Walisongo TV.

“Kami bisa membuka biro peliputan di tiap Fakultas,” tambah Bahrudin.

Kehadiran Walisongo TV turut disam-but positif oleh mantan Kepala Humas IAIN Walisongo, Ahmad Fauzin, karena bisa dijadikan media promosi untuk mengenalkan IAIN kepada masyarakat. Ia megimbau, Walisongo TV bisa menjadi pusat informasi dan pengetahuan bagi masyarakat Semarang.

“Agar bisa dikenal dan berkompetisi perguruan tinggi lain,” harapnya.

Media Dakwah

Sebagai TV komunitas, tambah Ame-lia Rahmi, Walisongo TV yang telah men-gudara sejak tanggal 1 Maret 2012 terse-but bisa dinikmati sivitas akademika IAIN yang berada sampai radius 5 KM. Walisongo TV tayang setiap hari Senin-Jum’at dari pukul 14.00-16.00 WIB dengan menawarkan beberapa program pilihan. Antara lain, Ukm Expose, Gembel Sang Pencerah, Talk Show Psikologi dan Indi-ego, Talk Show Agama, Inspirasi Kita, Re-portawa, Klips and Tips, dan Talk Show Kampus.

Sebagai pembina, Bahruddin

menga-rahkan program Walisongo TV tidak se-batas pada acara formal, seperti talkshow atau ceramah. Ia juga memberi porsi ter-hadap tayangan yang bersifat hiburan.

“Biar tak jenuh, 50% formal, 50% hiburan.”

Terpenting, seperti dikatakan Muham-mad Sulton, Walisongo TV tidak menjadi media provokatif yang bisa membangun persepsi buruk serta memancing konflik beragama.

“Jangan sampai membangun musuh bagi orang lain,” tegasnya.

Ahmad Anas menambahkan, Walison-go TV merupakan media dakwah sekali-gus penebar semangat pendidikan Islam. Sehingga, muatan atau program acara Walisongo TV mesti disesuaikan dengan visi tersebut. Ia menggarisbawahi, Islam dalam konteks dakwah IAIN Walisongo adalah Islam yang mengajak pada keda-maian, bukan Islam garis keras. Makanya, ia mensyaratkan tayangan Walisongo TV melalui proses penyaringan ketat.

“Kalau ada kru yang garis keras, se-mentara out,” tegas Anas.

Visi perdamaian tersebut antara lain diwujudkan dengan mengadakan ker-jasama dengan majalah online Transcend dari Norwegia. Media tersebut dikenal berkonsentrasi pada proses perdama-ian dunia. Walisongo TV mendapatkan izin untuk menayangkan media tersebut dalam salah satu program televisi terse-but.

Kurang Perhatian

Meski sudah mengudara sejak awal Maret, Walisongo TV belum banyak dike-nal sivitas akademika IAIN. Hal itu,

sep-erti diakui Bahrudin, sebab Walisongo TV belum berani melakukan sosialisasi secara besar-besaran.

Di samping itu, Walisongo TV baru melakukan proses perizinan ke KPID. Amelia Rahmi memprediksi, proses per-izinan baru rampung pada bulan Agustus atau September.

Untuk melakukan promo, menurut Bahrudin, perlu kesiapan matang. Maka, masa awal, menurut Bahrudin, diman-faatkan untuk menguatkan SDM kru Walisongo TV terlebih dahulu.

“Kalau semua sudah siap, kami baru melakukan promo.”

Upaya pemberdayaan kru salah satun-ya diwujudkan dengan melakukan pelati-han kepenyiaran dengan dampingan kru dari TV Borobudur. Termasuk, menye-lenggarkan pelatihan host menggunakan bahasa Jawa melalui kerja sama dengan museum Ronggowarsito. Amelia Rahmi berharap, pelatihan seperti tersebut bisa dilaksanakan rutin dan berkesinambun-gan.

Meski upaya pemberdayaan kru ter-us dilakukan, Walisongo TV dihadap-kan pada berbagai kendala. Antara lain, kurangnya perhatian birokrasi untuk me-maksimalkan Walisongo TV. Peralatan misalnya, menurut Amelia Rahmi, keban-yakan sudah tak layak pakai.

“Semoga semua hambatan men-jadikan kru lebih semangat berjuang,” harap Amelia.n

Ahmad Muchlisin

PENELITIAN

IAIN memiliki stasiun televisi baru. Sebagai media penyampai pesan perdamaian

(8)

Oleh

Nasirudin

K

AJIAN

Logika Terbalik Khutbah Bilingual

S

ebagaimana telah diketahui ber-sama, khutbah Jum’at di masjid al-Fitroh kampus II IAIN Walisongo meggunakan dua bahasa asing, yakni bahasa Arab dan bahasa Inggris secara bergantian. Entah apa tujuannya, mengapa Khotbah Jum’at meggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Apakah karena alasan syar’i atau alasan non syar’i.

Terkait hal itu, ada tiga pendapat men-genai bahasa apa yang seharusnya digunak-an dalam khutbah Jum’at . Pertama, khut-bah tidak sah kecuali menggunakan khut- baha-sa Arab, alabaha-sannya adalah karena khutbah Jum’at bersifat taabbudi. Sebagai bentuk ibadah maka bahasa yang digunakan ha-rus sama dengan bahasa yang digunakan oleh Rasul Allah dan para sahabat seb-agaimana bahasa dalam shalat yang bersi-fat taabbudi. Pendapat ini banyak dianut oleh kelompok Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Kedua, khutbah Jum’at tetap sah menggunakan bahasa apapun sesuai dengan bahasa pendengarnya, alasan-nya inti dari khutbah adalah mealasan-nyam- menyam-paikan pesan, menasihati dan men-gajak. Bagaimana mungkin pesan itu akan sampai bila tidak bisa dipahami oleh penerima pesan. Pendapat ini ban-yak dianut oleh kelompok Hanafiyyah. Ketiga, khatib menggunakan bahasa Arab kecuali ada kelemahan seperti keti-dakmapuannya dalam berbahasa Arab. Maka khatib boleh menggunakan ba-hasa jamaahnya. Pendapat ini mashur di kalangan madzhab Ahmad bin Hanbal. Nampaknya model khutbah di mas-jid al-Fitrah kampus II IAIN Walisongo dengan menggunakan bahasa asing tidak masuk kedalam salah satu tiga pendapat di atas. Meskipun menggunakan bahasa Arab, namun nampaknya, penggunaan ba-hasa tersebut bukan karena alasan syar’i, akan tetapi lebih pada alasan non syar’i. Entah sebagai ajang pengembangan ket-erampilan berbahasa seperti muhadatsah (berbicara) dan istima’ (mendengarkan), atau tidak menutup kemungkinan untuk “gagah-gagahan” semata. Apalagi peng-gunaan Bahasa Inggris, nampaknya sulit sekali kalau bukan karena alasan non syar’i. Secara subtantif, khutbah merupakan sebuah komunikasi yakni proses pencip-taan arti terhadap gagasan atau ide yang disampaikan. Dalam sebuah komunikasi

(Studi kasus khutbah Jum’at di Masjid al-Fitroh kampus 2)

terdapat keseimbangan antara pengirim pesan, pesan yang disampaikan dan pe-nerima pesan. Pesan akan bermakna jika pengirim dan penerima pesan berusaha menciptakan arti dari pesan tersebut. Mustahil pesan akan diterima dengan baik apabila makna yang dimaksudkan oleh pemberi pesan berbeda dengan makna yang difahami penerima pesan. Akan lebih tidak bermakna jika pesan tidak dapat difahami. Dengan demiki-an komunikasi akdemiki-an menjadi sia-sia. Khatib (komunikator) dan mukhatab (komunikan) adalah pemberi dan peneri-ma pesan. Seorang khatib harus menyadari bahwa ia sedang berkomunikasi dengan manusia bukan dengan Tuhan (kecu-ali dalam doa), juga bukan dengan diriya sendiri. Konsekuensinya, seorang khatib harus menggunakan bahasa manusia yang secara spesifik menggunakan bahasa may-oritas jamaah (bi lughati qaumihi). Nam-paknya kurang tepat apabila bahasa khut-bah dianalogikan dengan khut-bahasa shalat. Khutbah berkomunikasi dengan sesama manusia sedangkan shalat berkomunikasi (munajat) dengan Tuhan sehingga ba-hasa yang digunakan bersifat tauqifi seb-agaimana yang digunakan oleh Nabi s.a.w agar tidak terjadi pendistorsian makna. Prinsip dasar hukum Islam adalah memudahkan yang sulit bukan

menyulit-kan yang mudah, meringanmenyulit-kan yang berat bukan memberatkan yang ringan dan me-nyenagkan bukan menakutkan. Kalau khut-bah boleh menggunakan khut-bahasa Indone-sia mengapa harus menggunakan bahasa Inggris. Kalau khutbah dapat dipahamkan untuk mayoritas mengapa cuma

dipaham-kan untuk minoritas. Kalau isi khutbah bisa diserap lebih banyak mengapa lebih me-milih isi khutbah yang hanya bisa diserap sedikit. Kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit. Penggunaan logika yang terbalik hanya akan menjauhkan dari prinsip-prin-sip hukum Islam dan kodrat kemanusian. Secara teologis, khutbah Jum’at bu-kanlah pidato biasa akan tetapi pidato yang diatur sedemikian rupa dan

bersi-fat taabbudi, yakni bagian dari pelak-sanaan ibadah yang secara lahir harus sesuai dengan aturan-aturan fiqih dan secara batin harus bersih dari kepentin-gan-kepentingan non ibadah seperti riya, ujub, gagah-gagahan, prestise dan ke-pentingan-kepentingan duniawi lainya.

Penggunaan bahasa asing dalam khutbah Jum’at dengan tujuan praktik pengembangan keterampilan berbahasa tentu dapat menggeser subtansi ibadah itu sendiri. Aktivitas ta’abbudi berge-ser ke aktivitas duniawi dan aktivitas yang sakral bergeser ke aktivitas profan. Khutbah dengan maksud gagah-ga-han, prestise dan motif-motif nafsu duni-awi lainnya jelas akan mendistorsi makna

ibadah. Dan kemungkinan terburuk adalah sebuah ibadah akan menjadi ru-sak karena kehilangan kemurniannya (muhklisiin lahu al-din). Normalnya, dengan segala kekuatan dan usaha, iba-dah harus dimurnikan dari unsur-unsur riya dan ujub, bukannya malah diba-wa-bawa pada wilayah yang bisa me-nyeret ke dalam kubangan riya dan ujub. Khutbah Jum`at merupakan bagian dari keseluruhan pelaksanaan ibadah shalat Jum’at sehingga ada yang ber-pendapat bahwa khutbah setara den-gan dua rakaat dalam shalat dhuhur. Itulah sebabya, jamaah shalat Jum’at wajib memperhatikan, mendengar-kan dan mentaati khutbah sang khatib, sebagaimana yang sering dipesankan oleh muadzin sebelum khatib naik ke mimbar anshitu wasma’u wa ‘athi’u. Masalahnya adalah bagaimana mungkin jamaah akan memperhatikan, mendengarkan dan mentaati kalau ba-hasa yang digunakan sang khatib tidak sepenuhnya dipahami oleh mayoritas jamaah. Bukankah sebuah kezaliman jika hak mayoritas jamaah untuk mem-perhatikan, mendengarkan dan mentaati menjadi terhalang gara-gara penggunaan bahasa asing. Bahkan tidak menutup ke-mungkinan hak untuk menunaikan shalat Jum’at di kampus sendiri bagi warga kampus II, menjadi terhalang atau hi-lang dan terpaksa memilih masjid di luar. Nampaknya tidak ada salahnya jika semua pihak merenungkan dan mengkaji kembali apakah khutbah Jum’at dengan menggunakan bahasa asing sesuai dengan prinsip komunikasi dan prinsip-prinsip syar’i. Apakah orientasi khutbah telah sesuai atau setidaknya mendekati dengan apa yang dikehendaki oleh syara’ atau justru telah mendistorsi makna ibadah. Orientasi taabbudi (peningkatan taqwa) beralih pada orientasi duniawi (pening-katan ketrampilan berbahasa), orientasi hati (ikhlas) beralih pada orientasi nafsu (riya, ujub, prestise) dan orientasi jamaah (jama’ah oriented) beralih pada orientasi khatib yang semakin jauh dari jamaahnya. Bukankah Allah SWT telah memberikan kesempatan kapan dan di mana hamba-Nya harus memanfaatkan waktu secara khusus untuk melaksanakn ibadah makh-dlah serta di mana dan kapan mereka har-us mengembangkan potensinya untuk ke-pentingan duniawi. Tentu segala sesuatu ada tempatnya (li kulli syain maqam). n

- Nasirudin,

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Penggunaan bahasa asing

dalam khutbah Jum’at

den-gan tujuan praktik

pengem-bangan keterampilan

berba-hasa tentu dapat menggeser

subtansi ibadah itu sendiri.

Aktivitas

ta’abbudi

bergeser

ke aktivitas duniawi dan

ak-tivitas yang sakral bergeser

ke aktivitas profan

(9)

Mengurai Akar Kekerasan Agama

Oleh

Khoirul Muzakki

W

ACANA

F

enomena kekerasan yang menga-tasnamakan agama sebenarnya terjadi pada semua agama, tak hanya Islam. Hampir setiap agama memiliki justifikasi teks keagamaan yang dapat ditafsirkan sebagai pendukung ter-jadinya kekerasan. Dalam agama Kristen misalnya, terdapat perintah “perang suci” yang karenanya kekerasan dalam bentuk peperangan diperbolehkan. Yahudi, den-gan gerakan Zionismenya bisa disebut se-bagai tindakan kekerasan yang diperbole-hkan untuk menegakkan Taurat.

Pun, dalam Islam, meski lebih banyak teks keagamaan yang mengandung pesan moral dan kedamaian, terdapat pula teks-teks yang dinilai mengandung unsur ke-kerasan, terutama jika teks tersebut dimak-nai secara literal. Misalnya, ayat Al Qur’an yang menyatakan, kesempurnaan Islam sebagai penutup (QS. 5:3), superioritas Islam atas agama lain (QS. 3: 19,85), serta keniscayaan konflik antara Islam dengan non-Islam (QS. 4:76).

Boleh saja, kelompok masyarakat ter-tentu menilai ekspresi kekerasan yang ditunjukkan suatu kelompok keagamaan tertentu sebagai suatu tindakan “brutal” dan tidak berperikemanusiaan. Namun bagi mereka, ekspresi kekerasan itu justru sebuah kebaikan, bahkan tugas suci seb-agai implementasi dari ajaran yang mereka yakini. Hanya perbedaan sudut pandang, kelompok pertama mengukurnya dari sisi kemanusiaan, kelompok kedua meman-dang dari sudut panmeman-dang teologis.

Motivasi spiritual-religius dalam kon-teks tersebut cenderung lebih kuat dan mampu menembus batas rasionalitas dan kemanusiaan seorang. Ritual pen-gorbanan dan persembahan anak yang dilakukan Ibrahim misalnya, membukti-kan, dorongan religius lebih kuat diband-ing kecintaan terhadap anak. Beberapa warisan kekerasan atas nama agama juga masih bisa kita saksikan sampai saat ini. Kekerasan dimaknai sebagai ekspresi keta-atan, sebab agama sendiri dipahami seb-agai relasi perintah dan kepatuhan makh-luk terhadap Tuhannya.

Perilaku kekerasan di satu sisi ber-sumber dari sistem ideologi. Karakteristik ideologi memang cenderung intoleran ter-hadap epistemologi berpikir “yang lain”. Kelompok penganut ideologi memiliki parameter sendiri dalam mendefinisikan yang lain sebagai “musuh” karena tak me-miliki kesamaan visi dan ideologi. Definisi tentang “sesuatu” tidak didasarkan pada pandangan umum, namun pada kepentin-gan ideologi mereka.

Ideologi sebagai sebuah sistem sim-bol atau kepercayaan memberikan daya penuntun sebuah gerakan dalam menca-pai tujuan tertentu. Seorang pribadi san-tun bisa berubah menjadi biadab seketika karena dorongan ideologis. Ini terjadi lan-taran ideologi merupakan entitas yang se-cara sosio-psikologis bertautan langsung dengan dimensi emosionalitas seseorang.

Jika perilaku kekerasan tersebut me-nyangkut persoalan ideologi, ia sulit dile-nyapkan. Negara Islam Indonesia (NII) misalnya, meski ia bagian sejarah masa lalu, ideologinya masih berkembang sam-pai saat ini, meski dengan format gerakan yang berbeda. (Riyanto, 2002)

Fundamentalisme

Perilaku kekerasan atas nama agama sering dihubungkan dengan ideologi fun-damentalisme. Praktik kekerasan atas nama Islam misalnya, diidentikkan den-gan kebangkitan fundamentalisme Islam. Fundamentalisme didefinisikan sebagai suatu bentuk gerakan agama yang bereaksi terhadap perubahan sosial dan

mengang-gapnya sebagai krisis. Mereka menyodor-kan slogan kembali kepada kemurnian ajaran agama.

Martin Riesebrodt mengidentifikasi tiga ciri mendasar sebagai tipologi funda-mentalisme. Pertama, tradisionalisme ra-dikal, karena fundamentalisme lahir dari ketegangan antara tradisi dan modernitas. Berbagai perubahan super cepat sebagai akibat dari modernisasi memaksa kaum tradisionalis memperkokoh pertahanan dan menantang mereka secara radikal.

Kedua, milieu cultural, manakala iden-titas dan persepsi kelompok terhadap rasa

kebersamaan ditentukan oleh kesamaan cita-cita sosio-moral dan kriteria non ekonomis lainnya. Kenyataan ini untuk menjelaskan mengapa fokus perjuangan mereka tidak menyangkut kesenjangan sosial, keadilan ekonomi, dan seterus-nya. Tapi lebih terkait masalah dekadensi moral, konsumerisme, kebebasan, dan lainnya. Karakteristik ketiga, yang paling spektakuler dari fundamentalisme adalah keberhasilannya memobilisasi massa, bukan saja dari segi jumlah, namun juga militansi. (Fundamentalism and The Re-surgence of Religion, 2000).

Nuansa fundamentalisme kentara pada beberapa ormas Islam di Indonesia meski dengan corak yang berbeda satu sama lain. Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI) yang mem-perjuangkan berdirinya khilafah universal dan syari’at Islam sebagai dasar misalnya. Konon, kelompok ini tidak mengakui neg-ara nasional. Perjuangan mereka memang tidak untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, seperti partai politik Islam yang ada, tetapi membangun negara Islam trans-nasional di bawah kepemimpinan tunggal khilafah Islamiyah.

Hampir serupa dengan HTI, ger-akan Jama’ah Islamiyyah sering dianggap bertujuan mendirikan negara regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang amir. Majelis Mujahidin Indone-sia (MMI) barang kali merepresentasikan model gerakan ini. Namun, pada

prin-sipnya, baik HTI maupun MMI diklaim memiliki kesamaan dalam orientasi poli-tiknya dan sama-sama menolak rezim sekular, demokrasi dan hegemoni Barat (Amerika). Mereka biasa disebut sebagai kelompok political Islam (Islam politik) yang belum pernah berhasil mengubah landscape politik Indonesia. (Islam dan Radikalisme di Indonesia, 2005)

Ekspresi fundamentalisme Islam lain adalah radikalisme Islam yang terwakili oleh gerakan Front Pembela Islam (FPI). Ekspresi keberagamaan gerakan ini cukup unik di banding lainnya. Orientasi

radi-kalisme Islam ini lebih pada penerapan syariah pada tingkat masyarakat, bukan pada level negara, seperti HTI atau MMI. Orientasi ini menggambarkan adanya pergeseran perjuangan kaum fundamen-talis dari pengislaman negara (formalisasi syariah pada level negara), ke pengisla-man atau penerapan syariah pada level masyarakat. Mereka berjuang tidak untuk mewujudkan negara Islam, setidaknya untuk jangka pendek, tetapi lebih pada penerapan syariah pada level masyarakat (Islamized space). (Oliver Roy, The Failure of Political Islam)

Demokrasi Gagal

Meski fundamentalisme berpotensi menggerakkan perilaku kekerasan, bukan berarti ia satu-satunya penyebab muncul-nya gerakan radikal atau kekerasan. Sebab pada prinsipnya, ideologi apapun, ia bisa berkembang dan berpotensi melahirkan kekerasan jika didukung oleh situasi politik yang tak berpihak terhadap mereka. John L. Esposito menyebut, kebangkitan fun-damentalisme Islam saat ini dapat dibaca lebih sebagai pencarian identitas, oten-tisitas, dan komunitas di tengah himpitan ketidakadilan dunia yang membelenggu dunia muslim. Bukan semata persoalan ideologi.

Di banyak Negara muslim, terutama di Timur Tengah, misalnya, radikalisme Islam muncul lebih sebagai perlawanan

kontraproduktif terhadap perlakuan ti-dak adil dan penyumbatan aspirasi politik oleh rezim otoriter dan politik. Revivalisasi agama dalam konteks ini menjadi para-doks karena bisa menjadi sumber pembe-basan, sekaligus ekstremisme kekerasan. Ia akan menjadi ekstremisme kekerasan apabila diposisikan atau memposisikan diri vis a vis hegemoni global yang tidak memberikan ruang gerak dan menyisakan tempat bagi mereka.

Di balik tafsir keagamaan yang men-justifikasi penggunaan kekerasan, rupa-nya terdapat kekecewaan dan kefrusta-sian yang akut terhadap rezim tertentu. Di Mesir misalnya, banyak dari kelompok radikal merupakan mantan tawanan yang mendapatkan perlakuan kasar akibat beda suara dengan rezim penguasa. Dengan kata lain, fundamentalisme bukan sekadar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari modernisasi yang tidak meny-isakan tempat bagi mereka untuk berkip-rah secara fair.

Bisa jadi, sejumlah aksi kekerasan yang ditunjukkan beberapa ormas di Indone-sia bukan semata didorong motif ideolo-gis. Namun, akibat tersumbatnya aspirasi politik mereka sebagai kaum minoritas dalam pentas perpolitikan global. Baik secara agama maupun politik, kelompok tersebut merasa termarjinalkan karena tak mendapatkan tempat yang layak. Secara politis, oleh penguasa, maupun dari sudut pandang agama secara mayoritas, mer-eka tak dihitung, bahkan dianggap sebagai “pengacau’’, dengan segala predikat negatif lainnya. Terbukti, pemberian label negatif dan penyumbatan aspirasi politik terha-dap beberapa gerakan Islam, FPI misalnya, justru membuat mereka kian brutal.

Sebab itu, fenomena kekerasan agama, meminjam istilah Komaruddin Hidayat, merupakan masalah psikososial. Dengan kata lain, ia lebih bersifat psikologis-sosiol-ogis akibat komunikasi politik dan agama tidak berjalan semestinya.

Ekspresi radikalisme sebenarnya mengandung unsur protes dan sistem koreksi terhadap sistem kekuasaan yang tengah berlangsung. Dalam ekspresi ke-kerasan yang ditunjukkan FPI misalnya, terkandung protes koreksi terhadap le-mahnya aparatur pemerintah dalam menekan kemaksiatan atau penyakit masyarakat yang secara sistematis dapat menggerogoti moral bangsa. Kehadi-ran FPI sebenarnya bisa menjadi mitra negara sebagai pengaman di tengah le-mahnya aparat kepolisian dalam me-numpas penyakit masyarakat.

Gerakan melawan kemaksiatan yang menjadi agenda utama FPI mestinya bisa diarahkan tidak hanya dilakukan terhadap kegiatan formal, seperti tempat hiburan, prostitusi, dan perjudian. Tapi, diarahkan pula untuk menumpas kemaksiatan yang jauh lebih besar. Misalnya, menggerebek rumah para pelaku korupsi yang meru-pakan kemaksiatan luar biasa karena me-nyengsarakan banyak umat. Termasuk, berani melawan kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat.

Gambar

Grafik Inlinieritas Disiplin Keilmuan Dosen
gambar instrumen musik dan

Referensi

Dokumen terkait

Data-data yang diperlukan untuk menjalankan program aplikasi optimasi pemilihan portofolio saham menggunakan fuzzy linear programming ini berasal dari database detil

Untuk mengidentifikasi penghambat guru pendidikan agama Islam dalam meningkatkan disiplin siswa kelas VII SMP Negeri 2 Gatak Sukoharjo dalam mengikuti kegiatan

Laporan keuangan Reksa Dana untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019 telah diselesaikan dan diotorisasi untuk penerbitan pada tanggal 10 Februari 2020

 Waduk/situ/danau/telaga seluas 98,58 Ha lokasinya meliputi Kecamatan Dawarblandong, Kemlagi, Jetis, Sooko, Mojoanyar, Trowulan jatirejo, Puri, Dlanggu, Pacet,

2. Data Flow Diagram Level 0 Pengunjung 1.0 Komentar 8.0 Laporan 6.0 Pemesanan Paket Wedding 5.0 Input Paket Wedding 4.0 Edit Data 3.0 Login 2.0 Daftar Member Admin Buku Tamu

Pemecahan masalah yang dilakukan oleh sebagian besar guru SMK terhadap kendala atau hambatan pemanfaatan TIK dalam implementasi Kurikulum 2013 adalah dengan melakukan

sales promotion pada Grab jauh lebih besar atau lebih efektif jika dibandingkan dengan sales promotion yang ditawarkan oleh pihak Gojek. Sales promotion pada Grab

Dalam penelitian ini, data primer yang digunakan, yaitu berupa 384 data yang diperoleh dari hasil observasi aktivitas tenaga kerja secara langsung di proyek Tunjungan Plaza