• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan dan Kimia Sosial Tiga Artikel (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan dan Kimia Sosial Tiga Artikel (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KITA Oleh

Fridiyanto

A. Perguruan Tinggi dan Social Chemistry

Seorang Profesor menanyakan kepada seorang mahasiswa di sebuah sidang tugas akhir. “Apakah anda bersedia merubah judul dan permasalahan penelitian anda?” dan dijawab sigap oleh simahasiswa, “siap pak!” lalu disambung lagi dengan sang Profesor, “baik, anda telah berhak menggunakan gelar…….., dan anda mempunyai waktu tiga bulan untuk memperbaiki seperti yang dipinta penguji.”

Deskripsi singkat yang penulis ungkap di awal tulisan, adalah sebuah dialog nyata di sidang tugas akhir mahasiswa untuk menyelesaikan studinya. Yang menarik penulis bukanlah gelar yang telah secara resmi boleh dikenakan oleh si mahasiswa untuk memperpanjang namanya, tetapi adalah pola-pola “kolonial” sang Profesor atau dosen yang menjajah alam pikiran mahasiswa untuk menggiring ke alam pikiran sang dosen. Sang mahasiswa dengan sangat terpaksa harus mengorbankan idealismenya demi diraihnya gelar sarjana yang diidamkan bertahun-tahun. Coba bayangkan kalau sang mahasiswa berani menjawab “tidak” untuk menuruti permintaan penguji ataupun pembimbing, sudah tentu gelar sarjananya melayang!.

Memang tugas para dosen pembimbing, dan penguji untuk memberikan perubahan-perubahan pada sebuah karya ilmiah mahasiswa. Tetapi tetap harus memperhatikan nilai-nilai demokratis, dan ilmiah bahwa bahan bacaan, dan pemahaman, antara sang dosen dengan mahasiswa tentunya berbeda. Kalau sang Profesor sudah melahap buku-buku klasiknya dan kekeuh mempertahankan teori-teori klasik, tentu sangat beda dengan seorang generasi muda yang dengan idealisme, progesivisme, dan agresivisme aktif mencari literatur terbaru. Bisa dibayangkan, teori ortodok dengan teori-teori terbaru antara si mahasiswa dengan sang dosen, ya tentu saja si mahasiswa akhirnya mengalah demi menghormati Profesornya, sekaligus mikir-mikir tujuh keliling kalau berani membantah teori klasik sang Profesor.

Bullying dan kolonial

Bullying atau kekerasan dalam pendidikan lazimnya ditemukan di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, dan ini sering bersifat fisik maupun psikis kepada peserta didik. Namun tidak jarang bullying kita temukan di perguruan tinggi, masih melekat diingatan kita budaya kekerasan fisik di IPDN yang menewaskan praja IPDN di Jatinangor.

(2)

tugas akhirnya. Pasti kendalanya adalah sulitnya menemui dosen pembimbing, kalaupun ketemu pembimbing yang didapat adalah mata melotot sang pembimbing sekaligus draf penelitiannya yang dicoret-coret tanpa ada arahan atau solusi dari sang pembimbing. Atau dosen yang malas untuk memeriksa tugas-tugas dan mengevaluasi kinerja mahasiswa, sehingga sering merugikan mahasiswa yang rajin dan bersungguh-sungguh dalam perkuliahan, seharusnya memperoleh nilai tinggi tapi malah yang terendah. Atau tentang dosen yang ogah mendengar pendapat mahasiswa, anti kritik, tidak terbantahkan sedikitpun oleh mahasiswa.

Sebaiknya kriteria calon seorang dosen kedepan harus ditambah lagi persyaratannya, tidak cukup hanya dengan sudah menempuh pendidikan S2, S3 atau Profesor sekalipun. Perlu disyaratkan, seorang dosen bukanlah orang tipikal kolonial dan feodalistik. Banyak yang terjadi di perguruan tinggi saat ini seorang dosen sebagai akademisi tidak mempunyai mind set dialogis, dan akhirnya ketika berada di depan kelas memberi kuliah memang benar-benar seperti ceret yang menuangkan air ke gelas, anti kritik, anti ide-ide baru dari para mahasiswa. Ketika ada mahasiswa yang ngotot dengan keidealisannya, paling yang berbicara adalah pena sang dosen ketika pengeluaran nilai semester.

Kini tipikal dosen kolonial yang hanya ingin di dengar, dipatuhi, kalau bisa mahasiswa bersujud serta memelas-melas agar urusannya dipermudah, dan ketika kuliah duduk manis mencatat apa yang disampaikan, sudah tidak layak lagi menjadi dosen. Tanpa bermaksud mengagungkan pola pendidikan di luar, di Belanda misalnya yang nota bene adalah negara penjajah, namun saat ini sistem pengajaran di perguruan tinggi Belanda sangat demokratis, dan egaliter, walau Profesor sekalipun bukan berarti harus anti kritik ketika perkuliahan. Menurut seorang rekan yang menyelesaikan studi Doktor di Belanda, bahwa sang Profesor tidak sungkan-sungkan mendatangi mahasiswa bimbingannya untuk mengoreksi penelitian mahasiswanya. Memang interaksi egaliter ini mempunyai konsekuensi, yaitu sang Profesor mempunyai high expectation kepada mahasiswa untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Di India yang teknologi informasinya sedang melesat, juga mempunyai budaya akademis egaliter, para Profesornya tidak sungkan-sungkan dikunjungi mahasiswa untuk konsultasi di rumah yang berada di dalam lingkungan kampus dan memang sengaja di setting begitu untuk mempermudah komunikasi mahasiswa dan dosen. Kalau di Indonesia Jambi khususnya, minta ampun sulitnya ketemu untuk konsultasi ke dosen pembimbing, di rumah tidak boleh dengan alasan menganggu istirahat, di kampus, boro-boro! pergi ke kampus saja jarang.

Social Chemistry

(3)

perguruan tinggi, mahasiswa mengalami bullying mind set atau kekerasan yang secara sadar maupun tidak sadar di lakukan dosen yang sudah sistematis. Dengan budaya akademis yang tidak demokratis dan egaliter, dipastikan Out put mahasiswa Jambi nantinya adalah robot-robot egois yang tidak terbiasa mengkritik dan dikritik, jadilah mereka “sarjana alien” yang terasing di lingkungan masyarakatnya sendiri, sehingga merasa sulit untuk bersenyawa dengan masyarakat sendiri. Muncullah gejala-gejala sosial tanpa persenyawaan, egosentris, merasa pintar sendiri.

Konteks social chemistry, budaya akademis sebagai “ruh” perguruan tinggi tidak hanya mengembangkan intelektual mahasiswa, dan tidak cukup hanya dengan membangun fasilitas fisik kegiatan akademis. Perlu diciptakan iklim dan budaya dialogis demokratis yang menuntut para dosen untuk open

minded. Mungkin saat ini sudah selayaknya di tataran top level management

perguruan tinggi untuk mempensiun dini para dosen yang memuja diri paling benar, merasa sebagai sumber ilmu, dan tidak memahami peran hanya sebagai fasilitator. Dosen adalah guru, kalau waktu pendidikan SD, SMP, dan SMA guru adalah sosok teladan yang ditiru oleh peserta didik, begitu juga dosen di perguruan tinggi, adalah “model” bagi mahasiswa sebagai inspirasi aktualisasi diri. Jadi jangan sampai terjadi seperti ungkapan orang Jawa berikut “bapak polah anak kepradah” yang penulis rubah “dosen polah mahasiswa kepradah.” Tingkah polah dan pemikiran positif dosen seharusnya menjadi sumber inspirasi tak terlupakan bagi mahasiswa sebagai unsur di masyarakat.

Tuntutan budaya akademis yang dialogis, dan komunikasi egaliter demokratis antara dosen, mahasiswa dan seluruh civitas akademika adalah kebutuhan mutlak. Tentunya apabila kita masih ingin negeri ini di pimpin generasi muda yang didik oleh almamaternya untuk menjadi intelektual yang dapat bersenyawa dalam keberagaman.

B. Pendidikan dan Kimia Sosial

Sangat menarik artikel Amirul Mukminin “Pendidikan dan Social Reproduction” yang dimuat di harian Jambi Ekspres 06/08/08, dalam artikel tersebut penulis mengemukakan permasalahan yaitu adanya pengelompokan masyarakat dengan berbagai kepentingannya apakah itu ekonomi, kesempatan hidup, dan penghargaan sosial, sehingga manusia telah lupa bahwa mereka adalah mahluk sosial. Membaca artikel tersebut penulis tergelitik untuk menulis peran pendidikan sebagai sarana “peleburan” manusia sebagai mahluk sosial. Artinya, kita membutuhkan pendidikan bukan hanya meningkatkan produktifitas atau hanya mencapai tujuan ekonomi belaka, lebih dari itu kita membutuhkan pendidikan untuk menyatukan masyarakat menjadi “senyawa.”

Realitas Sosial

(4)

dalam aneka perspektif, sehingga terjadi reduksi praktik peng-aku-an, dan peng-anda-an.

Mengapa perlu memahami pendidikan sebagai salah satu unsur dari sekian banyak unsur lainnya dalam kehidupan manusia? Sebelum menjawab Pertanyaan tersebut akan memuncul pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah pendidikan kita benar-benar telah menjadi sarana transfer kebudayaan, dan pusat kebudayaan?. Apakah proses pendidikan kita memang telah menuju “pembebasan” dan memanusiakan manusia?. Apakah hasil dari pendidikan kita selama ini telah mengeluarkan manusia-manusia yang berbudaya dan berkemanusiaan?

Realitas sosial negeri ini benar-benar menyesakkan dada, setiap hari berita media masa adalah kasus-kasus korupsi yang tersebar dari Pemerintah Daerah sampai Pemerintah Pusat, berita tindakan kriminal yang semakin menggila-gila dari pembunuhan berantai sampai persetubuhan antara anak dan ibu yang menghasilkan anak. Konflik-konflik sosial apakah horizontal maupun vertical tidak pernah berhenti mulai dari kerusuhan karena BBM antara rakyat dan aparat negara, konflik lahan antara rakyat dan pemodal (perusahaan), sampai rakyat versus rakyat yang membela jagoan mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah. Kekacauan itu akan bertambah lagi dengan berbagai macam kenakalan remaja (siswa dan mahasiswa) yang berbentuk tawuran, narkoba, seks bebas, dan ramainya “film panas” yang dibintangi dan disutradarai sendiri.

Pengalaman sebagai seorang pendidik yang bersentuhan langsung dan banyak berkomunikasi dengan pelajar Sekolah Dasar sampai Mahasiswa Perguruan Tinggi, penulis terkadang merasa “nyeri” dan “ngeri” melihat menurun drastisnya akhlak peserta didik di era teknologi yang serba canggih ini. Peserta didik juga ikut “canggih” dengan berkurangnya rasa hormat terhadap orang yang lebih tua dan kepada guru mereka, baca saja berita kemarin seorang murid melempar gurunya yang sedang menulis dengan kerikil karena merasa kesal dengan gurunya . Fenomena sosial tersebut memperlihatkan kekacauan nilai yang memunculkan lagi pertanyaan, apakah pendidikan kita telah gagal?

Refleksi

(5)

Tanpa mengenyampingkan pendidikan SD, SMP, dan SMA, Perguruan Tinggi harus memainkan peran intinya sebagai “mercusuar sosial.” Mahasiswa merupakan salah satu unsur di masyarakat, untuk itu pendidikan di Perguruan Tinggi harus berperan sebagai humanisasi dan mampu merobohkan praktik dehumanisasi dengan jaringan masyarakat. Humanisasi tersebut dimulai dengan membangun hubungan mahasiswa dan dosen yang demokratis dan egaliter, selama ini masih banyak terjadi di Perguruan Tinggi hubungan dosen dan mahasiswa masih berpola majikan dan buruh, masih banyak dosen yang anti kritik dan menghambakan mahasiswa dengan senjata nilai.

Lembaga pendidikan harus memantapkan tekadnya dengan “zero bullying” setiap kekerasan fisik dan pisikis harus nol dari lingkungan pendidikan. Sekolah yang merupakan interaksi pendidik dan peserta didik bukanlah pola relasi antara penjajah dan sitertindas. Nilai-nilai yang ditanamkan bukanlah watak inlader dan individualis, melainkan menyadarkan tentang nilai-nilai manusia merdeka yang berperikemanusiaan. Budaya yang berkembang di lembaga pendidikan bukanlah budaya feodal koruptif dan konsumtif, melainkan budaya akademis, toleransi dan kolaboratif.

Apakah kita sanggup “mensenyawakan” nilai-nilai pendidikan yang sederhana dan klasik tersebut di lembaga pendidikan kita? Apabila tidak sanggup merealisasikan lembaga pendidikan sebagai kesatuan sistem sosial, maka konsekwensi social cost yang mahal akan terus kita terima. Hari-hari kita akan terus dihiasi oleh manusia-manusia individualis korup tak bermoral yang ada di masyarakat namun telah membentuk identitas sendiri yaitu masyarakat sakit, dan itu merupakan hasil pendidikan kita. Atau Perguruan Tinggi kita akan terus memproduksi sarjana yang mungkin berkualitas namun mereka teralienasi dari lingkungan sosial masyarakat mereka sendiri. Sarjana-sarjana yang merupakan kaum muda yang mempunyai skill atau sarjana yang hanya mempunyai titel akan merasa terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dan bersinergi dengan masyarakat kebanyakan yang bekerja sebagai buruh, bertani misalnya. Jika itu yang terjadi, penulis mencoba meringkas maksud Pendidikan dan Kimia Sosial yang intinya adalah tidak adanya jurang pemisah (Aku, Anda, Kalian) di masyarakat dengan pemikiran Tan Malaka berikut ”Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali!”

C. Guru di Misi Endeavour

“Untuk Barbara Morgan dan kru, pelajaran dimulai.”

(6)

Internasional (ISS), dan tentunya misi “terselubung” Endeavour adalah misi pendidikan.

Barbara Morgan adalah seorang guru yang terseleksi dari 114 kandidat “Guru di Ruang Angkasa” yang diprogramkan oleh NASA. Beberapa kegiatan untuk guru Morgan yang telah disiapkan oleh NASA di antaranya adalah berbicara langsung melalui siaran dari ISS dengan murid-muridnya di Idaho, tempat dia pernah mengajar sebelum konsentrasi penuh sebagai astronot, dan apabila misi selama 11 hari tersebut diperpanjang menjadi 14 hari, Morgan direncanakan akan menjawab pertanyaan siswa-siswi sekolah di Virginia dan Massachusetts.

Dilibatkannya seorang guru yang merupakan warga sipil dalam sebuah misi luar angkasa yang lazimnya sarat berbau kepentingan militer, dan penuh kerahasiaan bukanlah sesuatu yang tanpa makna. Pemerintah Amerika Serikat melalui Menteri Pendidikan Margaret Spellings mengatakan bahwa Guru Morgan akan dapat memberi inspirasi bagi sesama rekan pendidik, dan memberi motivasi kepada rakyatnya di masa mendatang. Seperti syair seorang pujangga RW Emerson”Hangt uw idealent aa de sterre. Als u zu daar nie hangt, dan hangen ze te lag.” Pasangkan cita-citamu setinggi bintang di langit. Kalau tidak, maka cita-citamu terlalu rendah, syair ini sering dikutip oleh Bung Karno. Guru Morgan sudah mencapai bintang tersebut dan memberikan braindstorm bagi murid dan rakyat negaranya untuk ikut menggantungkan cita-citanya di bintang seperti syair RW Emerson dan seperti apa yang telah dilakukannya sampai di luar angkasa.

Guru di Indonesia

Kalau di Amerika Serikat sosok guru merupakan profesi yang harus diperhatikan dan di angkat tinggi derajatnya, kalau perlu sampai ke luar angkasa!. Begitu juga Jepang, setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom Amerika, pertama kali ditanyakan oleh Kaisar adalah, berapa jumlah guru yang tersisa, begitu berartinya profesi guru bagi negara-negara maju tersebut, karena guru adalah agen langsung perubahan sosial, gurulah yang langsung mentransfer ilmu pada anak didik, dan gurulah yang menanamkan benih-benih inspirasi agar tumbuh pohon-pohon kehidupan bagi kebesaran bangsa.

Indonesia? negara yang pada tanggal 17 Agustus 2007 nanti memasuki umur ke 62, entah kapan LAPAN mempunyai misi “Guru di Ruang Angkasa” seperti NASA. Kita tidak mesti ikut-ikutan NASA mengirim guru ke luar angkasa, tapi ada satu hal yang harus direnungkan, dipikirkan, dan dikerjakan oleh pemerintah, tentunya apabila pemerintah terinspirasi kalau tidak mau dikatakan “mencuri” inspirasi dari misi Endeavour Amerika, bahwa pendidikan adalah suatu pondasi mutlak bagi bangsa besar, dan guru adalah katalisator yang harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah.

(7)

Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005, misi meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan kesejahteraan pendidik telah mencapai angkasa alias sudah mengawang-awang. Pemerintah seperti linglung menghadapi permasalahan teknis pesawat ulang aliknya, apakah itu mulai dari masalah pendanaan, sampai besarnya jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi. Untuk Jambi saja masih ada 25.123 guru yang belum S-1 dari 33.719 jumlah guru (Diknas Provinsi Jambi) yang harus meningkatkan kualifikasi pendidikannya agar dapat sertifikat pendidik untuk memperoleh tunjangan profesi. Di luar guru PNS, banyak lagi para guru honorer yang merana, mulai dari masalah namanya yang tidak termasuk dalam data base pengangkatan PNS, masalah insentif yang belum di terima, atau guru-guru swasta yang harus berbesar hati dengan kompensasi tidak seimbang yang diberikan pihak Yayasan.

Referensi

Dokumen terkait

 Merancang dan membuat prototipe dari trafo distribusi PLN yang dimana hal yang diukur dan dimonitoring adalah Arus 3 fasa dan Suhu pada Trafo..  Merancang dan membuat sistem

Parameter mutu fisiologis benih yang diamati meliputi daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan nilai perkecambahan, sedangkan parameter pertumbuhan bibit meliputi tinggi dan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa persepsi atas produk berpengaruh positif pada minat beli ulang, persepsi atas harga tidak

Artinya Comte memikirkan bagaimana pola pikir masyarakat dengan munculnya zaman baru harus ditandai juga dengan pola pemikiran yang baru tidak hanya stagnan dalam dunia-dunia

Istilah “Online” muncul ketika sebuah perangkat dapat terhubung dengan internet dan mampu berkomunikasi secara langsung dengan perangkat lain untuk mengakses informasi

Sesuai dengan judul dalam penelitian ini, maka yang menjadi sampel penelitian adalah : Wajib Pajak Badan yang melakukan restitusi PPN LB dan Fiskus.. Berdasarkan pada

Desa Asumanu, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, Propinsi NTT merupakan sebuah desa yang memiliki sejarah sebagai desa yang berada di wilayah dengan potensi cendana (Santalum

(2012), pemberian dosis yang berbeda setiap perlakuan dalam kemampuan meningkatkan penyerapan unsur hara berbeda karena hifa dari mikoriza dapat menghasilkan enzim