• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angka angka Keadilan Dalam Pemidanaan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Angka angka Keadilan Dalam Pemidanaan (1)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

GUNTORO EKA SEKTI Halaman 1 ANGKA-ANGKA KEADILAN DALAM PEMIDANAAN

Pendahuluan

Dalam setiap putusan perkara pidana yang menyatakan seseorang telah

terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang

kemudian akan diikuti dengan pidana yang dijatuhkan, semisal pidana penjara,

maka akan diikuti dengan angka-angka tertentu yang menunjukkan lamanya

pidana yang harus dijalani oleh terdakwa apabila menerima putusan. Angka-angka

tersebut tentunya diharapkan sebagai perwujudan rasa keadilan, tidak saja bagi

terdakwa (yang setelah menerima putusan menjadi terpidana), korban (dalam hal

tindak pidana yang ada korbannya), masyarakat dan juga bagi ilmu hukum itu

sendiri. Apa dan bagaimana sehingga angka-angka pemidanaan dalam amar

putusan itu muncul, adalah pertanyaan yang tidak mudah untuk menjelaskannya,

termasuk setelah membaca uraian pertimbangan hukum dalam sebuah putusan.

Entah apakah kesulitan yang sama juga akan dialami oleh mereka yang diberi

kewenangan oleh negara untuk menentukan angka-angka itu jika diminta untuk

menjelaskannya.

Pemidanaan

Setelah dapat ditentukan kebersalahan seorang tersangka dalam

persidangan (baik dengan musyawarah mufakat ataupun dengan suara

terbanyak), tahapan musyawarah hakim (dalam hal majelis hakim) adalah

penentuan jenis pidana (penjara atau denda, atau lainnya), semisal pidana penjara

yang ditentukan maka selanjutnya adalah berapa lama pidana penjara yang akan

dijatuhkan terhadap terdakwa yang telah dinyatakan bersalah dan mampu

bertanggung jawab (tidak ada alasan pembenar maupun pemaaf). Proses

pengambilan putusan dilakukan dengan musyawarah (jika majelis) dimulai dari

anggota yang termuda seterusnya sampai pada ketua majelis. Jika terhadap

perbedaan pendapat (dissenting opinion) ataupun alasan yang berbeda

(concurring opinion) untuk saat ini akan dengan mudah ditemukan dalam

pertimbangan-pertimbangan putusan. Sedangkan untuk perbedaan pendapat

mengenai lamanya pidana (penjara) yang akan dijatuhkan, belum banyak yang

kemudian dituangkan dalam pertimbangan sebuah putusan pidana.

Ketentuan normatif mengenai proses dalam musyawarah majelis hakim

dapat dilihat dalam Pasal 182 ayat (6) yang menentukan pada asasnya putusan

(2)

GUNTORO EKA SEKTI HALAMAN 2 setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku

ketentuan sebagai berikut: a. putusan diambil dengan suara terbanyak; b. jika

ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah

pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Sedangkan apa yang

dimaksud yang paling menguntungkan bagi terdakwa, tidak ada penjelasannya

karena penjelasan pasal tersebut menyebutkan cukup jelas.

Ancaman Pidana

Salah satu ciri sebuah norma disebut sebagai norma pidana, adalah adanya

pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang yang disertai dengan sanksi bagi

yang melanggarnya. Ancaman pidana, yaitu hukuman atau sanksi pidana yang

diancamkan kepada orang yang melakukan suatu perbuatan pidana. Ancaman

pidana ini berbeda-beda untuk setiap tindak pidana, bisa berupa pidana mati,

pidana penjara, atau pidana kurungan maupun pidana denda. Ancaman pidana ini

bisa dilihat dari bunyi pasal-pasal dalam setiap undang-undang yang mengatur

mengenai tindak pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya

mencantumkan ancaman pidana penjara maksimal, artinya hakim diberi

kewenangan untuk menjatuhkan pidana penjara dari satu hari sampai angka

maksimal tersebut. Meski disebutkan sebagai ancaman pidana maksimal, ternyata

dalam hal tertentu dimungkinan untuk melampaui angka-angka maksimal tersebut.

Pemberatan istilahnya, dalam hal terjadi pemberatan maka ancaman pidana

maksimal tersebut dapat ditambah dengan sepertiganya.

Dalam perkembangannya, untuk tindak pidana tertentu selain ancaman

pidana maksimal tersebut, entah karena dianggap terlalu luas sehingga

pembentuk undang-undang merasa perlu untuk membatasi ‘kewenangan’ hakim

dengan mencantumkan ancaman minimal pidana penjara dalam norma pidana.

Dengan demikian, maka ‘kebebasan’ hakim berkurang karena hanya antara

ancaman pidana minimal tersebut sampai ke maksimal lah angka-angka pidana

penjara dapat dijatuhkan oleh hakim. Jika ancaman pidana maksimal, ternyata

dapat ditambah sepertiga lalu bagaimana dengan ancaman pidana minimal

tersebut, apakah dapat turun dari ancaman pidana minimal tersebut. Secara

normatif tidak ada ketentuan yang secara eksplisit sebagaimana pemberatan yang

dapat menambah sepertiga dari ancaman maksimal (mungkin lain waktu bisa

dibahas lebih lanjut).

Satu hari penjara sampai dengan angka maksimal dan pemberatannya,

(3)

GUNTORO EKA SEKTI HALAMAN 3 pidana minimal itulah, tolak ukur atau batasan yang diberikan oleh undang-undang

kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bagi mereka yang melakukan perbuatan

yang dilarang oleh norma pidana.

Tuntutan Pidana

Dalam proses persidangan, setelah pemeriksaan selesai, penuntut umum

mengajukan tuntutan pidana. Tuntutan pidana adalah permohonan jaksa (penuntut

umum) kepada pengadilan (majelis hakim) atas hasil persidangan. Jadi tuntutan

pidana baru muncul apabila pelaku tindak pidana sudah disidangkan di pengadilan

dan pemeriksaan dinyatakan selesai oleh hakim. Dalam tuntutan pidana apabila

penuntut umum berpendapat pelaku tindak pidana terbukti bersalah melakukan

tindak pidana maka meminta agar pengadilan menjatuhkan pidana kepada pelaku

tindak pidana tersebut. Dalam tuntutan pidana ini akan disebutkan berapa lama

pidananya, lamanya pidana ini bisa sama dengan maksimal ancaman pidana, lebih

rendah atau dalam hal tertentu melebihi maksimal ancaman pidana.

Jika melihat pengertian ancaman pidana di atas, maka tuntutan pidana

dalam praktek selama ini, kecuali untuk tindak pidana tertentu, jarang sekali yang

menuntut dengan ancaman pidana maksimal dengan pemberatan (ditambah

sepertiga) ataupun ancaman pidana maksimal. Seringkali jauh dari ancaman

pidana maksimal tersebut. Jika dihitung secara prosentasi, maka tidak ada sepuluh

persen dari tuntutan pidana yang diajukan oleh penuntut umum yang menuntut

agar terdakwa dijatuhi pidana maksimal. Berangkat dari asumsi tersebut, maka

hampir sembilan puluh persen tuntutan penuntut umum adalah dibawah angka

ancaman pidana maksimal.

Dua Pertiga atau Setengah Rasa Keadilan ditentukan oleh Penuntut Umum

Sepertinya tidak ada satupun teori yang dapat mendukung bahwa dua

pertiga atau setengah rasa keadilan telah ditentukan oleh penuntut umum. Minimal

dari berbagai buku yang penulis baca, tidak ada satupun yang menguatkan hal itu,

terlebih hakim yang diberi kewenangan oleh negara untuk menentukan

angka-angka pemidanaan yang mencerminkan rasa keadilan, diberikan diskresi yang

begitu luas. Ukuran pertama tentu adalah ancaman pidana (dari satu hari atau

dalam tindak pidana tertentu ancaman minimal sampai dengan ancaman

maksimal, bahkan dengan tambahan sepertiga karena pemberatan. Dalam

rentang itulah ‘keleluasaan’ diskresi hakim dalam menentukan angka-angka

(4)

GUNTORO EKA SEKTI HALAMAN 4 Lalu apa fungsi dari tuntutan penuntut umum, jika undang-undang telah

memberikan rentang bagi diskresi hakim menjatuhkan pidana. Jika melihat fungsi

penuntut umum sebagai representasi negara dalam melindungi kepentingan umum

terhadap pelanggaran perbuatan yang dilarang (termasuk dan tidak terbatas pada

kepentingan saksi korban) dalam norma pidana, maka dalam persidangan seolah

berhadapan penuntut umum di satu sisi dan terdakwa dengan penasehat

hukumnya di sisi lain dan hakim dalam posisi yang akan menentukan di akhirnya.

Selain mewakili kepentingan korban, penuntut umum juga mewakili kepentingan

umum sehingga dari sudut tugas dan fungsi tersebut angka-angka pidana dalam

surat tuntutan penuntut umum sedikit banyak juga merupakan ‘manifestasi’ rasa

keadilan dalam bentuk angka-angka lamanya pidana yang harus dijalani oleh

orang yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana.

Berbagai literatur maupun bunyi pasal-pasal hukum acara tidak ada satupun

yang mewajibkan bagi hakim untuk terpaku pada tuntutan pidana penuntut umum

dalam melakukan penilaian mengenai berat ringannya kesalahan terdakwa untuk

menentukan angka-angka pidana penjara yang akan dijatuhkan. Hakim

sepenuhnya diberikan kebebasan dalam rentang antara minimum dan maksimum

ancaman pidana pasal yang disangkakan dan terbukti di persidangan. Dalam

praktek, meski hakim sama tidak terikat dengan angka-angka pemidanaan dalam

tuntutan penuntut umum, sadar atau tidak sadar lambat laun dan sepertinya

tertanam di alam bawah sadar ternyata tuntutan penuntut umum ‘akan sangat

mempengaruhi’ proses musyawarah hakim.

Dalam musyawarah hakim, setelah seorang dinyatakan bersalah melakukan

tindak pidana, karena terpenuhi secara sah semua unsur pasal dakwaan penuntut

umum dan hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa, selanjutnya

adalah musyawarah mengenai pidana apa yang akan dijatuhkan terhadap

kesalahan terdakwa tersebut. Jika pidana yang akan dijatuhkan adalah pidana

penjara, maka tuntutan penuntut umum seringkali menjadi acuan pertama dalam

musyawarah dalam menentukan lamanya pidana yang akan dijatuhkan. Berapa

lama dituntut, seringkali menjadi pertanyaan pembuka ketika musyawarah untuk

menentukan amar mengenai pidana yang akan dijatuhkan. Praktek juga

menunjukkan bahwa mayoritas pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim adalah

dibawah tuntutan penuntut umum. Selanjutnya meski bukan merupakan pola,

terlihat bahwa dalam beberapa tindak pidana tertentu amar pemidanaan tidak akan

jauh dari sepertiga dari tuntutan penuntut umum dan sebagian yang lainnya adalah

(5)

GUNTORO EKA SEKTI HALAMAN 5 penelitian yang mendalam). Hal ini terkait dengan mekanisme di internal kejaksaan

selaku penuntut umum, akan kewajiban melakukan upaya hukum terhadap

putusan hakim dibawah angka dua pertiga dan setengah dari tuntutan. Dalam

beberapa pembicaraan sampai muncul ungkapan ‘guyonan’ bahwa sepertiga atau

setengah dari rasa keadilan yang akan dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa

telah ditentukan oleh penuntut umum.

Pertimbangan Munculnya Angka-Angka Keadilan Dalam Pemidanaan

Jika untuk amar putusan mengenai bersalah tidaknya seorang terdakwa,

ataupun mengenai pengurangan masa penahanan, status penahanannya, ataupun

status mengenai barang bukti maupun pembebanan biaya perkara yang muncul

dalam amar, rasanya tidak terlalu sulit untuk dilihat dan dibaca melalui

pertimbangan hakim dalam putusannya. Berbeda halnya pertimbangan mengenai

amar pidana penjara, tidak mudah untuk dapat segera ditemukan dalam

pertimbangan putusan. Pertimbangan paling sederhana mengenai hal tersebut

adalah pada hal-hal yang meringankan dan memberatkan pada diri terdakwa, akan

tetapi tidak begitu mudah untuk menggambarkan dengan adanya hal tersebut

sehingga hakim sampai kepada amar yang berisi angka-angka keadilan.

Selain hal-hal yang memberatkan dan meringankan, pertimbangan hukum

sewaktu hakim mempertimbangkan unsur-unsur pasal dakwaan juga dapat

dijadikan alat ukur dalam menentukan berat ringannya amar pidana penjara yang

dijatuhkan. Dalam pembuktian unsur-unsur pasal dakwaan penuntut umum akan

dapat dilihat kadar berbahayanya perbuatan, akibat berupa dampak dan kerugian

yang ditimbulkan, latar belakang dan keadaan-keadaan yang melingkupi sehingga

terjadinya tindak pidana adalah hal-hal yang akan sangat menentukan

angka-angka dalam amar putusan. Hal yang sepertinya mudah, akan tetapi tentu tidak

mudah, terlebih orang pada umumnya, ketika harus membaca pertimbangan

hukum dari sebuah putusan agar sampai pada kesimpulan adalah beralasan

(hukum) angka-angka yang muncul dalam amar putusan.

Diluar pertimbangan hukum dalam putusan, proses sehingga hakim sampai

pada angka-angka amar putusan juga bukan hal yang mudah terlebih pada

ancaman-ancaman maksimal sampai pada hukuman mati misalnya. Pergulatan

batin yang terjadi masing-masing hakim tentu akan berbeda-beda. Dikatakan

sebagai pergulatan batin karena selain pertanggungjawaban kepada pencari

keadilan, profesi dan yang lebih berat adalah kepada irah-irah yang selalu ada

(6)

GUNTORO EKA SEKTI HALAMAN 6 Pergulatan batin yang dialami oleh hakim, tentu tidak akan mudah dipahami oleh

yang lain, bahkan pada sesama hakim, karena selain menyangkut sisi-sisi rasa

sang hakim juga tidak akan muncul (jika tidak boleh dikatakan secara eksplisit)

dalam pertimbangan hukum sang hakim.

Disparitas dan Pedoman Pemidanaan

Karena keadilan adalah soal rasa, maka tidak mudah melepaskan unsur

subyektif dalam penentuannya dan juga penilaiannya, bahkan seringkali lebih

dominan. Karena unsur subyektifitas pula, maka tidak mudah untuk semata menllai

bahwa angka-angka amar pemidanaan dalam sebuah putusan telah memenuhi

rasa keadilan (kecuali dilihat semata terdakwa menerima putusan, demikian juga

penuntut umum, karena tidak kurang dari dua pertiga atau lebih dari setengah

tuntutan pidana yang diajukannya, sehingga terhadap putusan tersebut tidak

dilakukan upaya hukum dan berkekuatan hukum tetap).

Di era keterbukaan dan masuknya penggunaan teknologi informasi, semisal

dengan adanya direktori putusan, maka sejak putusan diucapkan dan kemudian di

upload ke direktori putusan maka sejak saat itu pula ‘seluruh dunia’ dapat

mengakses putusan-putusan pengadilan. Mau tidak mau saling membandingkan

antara putusan yang satu dengan yang lain tidak terhindarkan. Ketika terhadap

perkara yang sejenis dengan kualitas dan kuantitas hampir sama dan tidak jauh

berbeda akan tetapi terdapat angka-angka yang tidak saja sama akan tetapi jauh

berbeda tentu akan mengusik rasa keadilan. Meski tidak ada satupun perkara

yang sama persis akan tetapi disparitas pemidanaan terlebih yang berbeda jauh

akan selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai

pemidanaan.

Disparitas pemidanaan adalah masalah klasik yang terus terjadi sampai

sekarang terkait dengan pemidanaan. Pedoman pemidanaan dapat menjadi

semacam panduan dalam mengurangi disparitas yang dapat mencederai rasa

keadilan. Tidak mudah menemukan pedoman pemidanaan, selain masing-masing

wilayah berbeda ukuran ‘rasa keadilan’nya, juga akan dianggap ‘mengurangi’

kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya berupa ‘diskresi’

menentukan angka-angka keadilan dalam pemidanaan. Terlepas dari itu, meski

tidak tertulis, dengan adanya pedoman pemidanaan, dalam skala tertentu, semisal

satu wilayah hukum pengadilan tertentu, atau mungkin wilayah hukum satu

pengadilan tinggi, selain akan memudahkan hakim dalam melakukan ‘pergulatan

(7)

GUNTORO EKA SEKTI HALAMAN 7 mengurangi disparitas pemidanaan yang akan mencederai rasa keadilan

masyarakat. Ketika rasa keadilan masyarakat tercederai, maka sebaik dan selurus

apapun proses persidangan yang dilakukan akan ‘dicurigai’ dan menjadi tidak ada

artinya. Ketika itu terjadi maka tidak mudah untuk ‘menjelaskan’ pertimbangan

putusan bahwa angka-angka pemidanaan telah memenuhi rasa keadilan.

Penutup

Luasnya diskresi hakim dalam menentukan lamanya pidana yang akan

dijatuhkan yaitu dari satu hari (atau ancaman pidana minimal) sampai dengan

ancaman pidana maksimal, seringkali menimbulkan disparitas pemidanaan yang

mengusik rasa keadilan masyarakat. Terlebih mengenai angka-angka pemidanaan

dalam amar putusan, tidak mudah ditemukan argumen hukumnya dalam

pertimbangan putusan, jika dibandingkan dengan amar putusan yang lainnya.

Meski tidak mudah ditemukan dalam putusan ternyata proses penentuannya

seringkali tidak terlalu sulit dilakukan, semisal jika untuk amar penentuan bersalah

tidaknya seseorang telah jauh-jauh hari ‘ditentukan’ maka ‘khusus’ untuk berapa

lama pidana penjara yang akan dijatuhkan seringkali tidak terlalu memerlukan

waktu, bahkan bisa jadi hanya sesaat sebelum putusan dibacakan (hal yang sama

juga seringkali di temukan dalam surat tuntutan penuntut umum, pertimbangan

lengkap tuntutan biasanya telah di ketik dengan rapi, sedangkan khusus mengenai

amar berapa lama tuntutan penjara masih tertulis dengan tulisan tangan).

Hal-hal di atas terkait dengan angka-angka pemidanaan dalam amar

putusan telah menyebabkan tidak mudah untuk memahami ‘pergolakan batin’

hakim sewaktu menentukannya. Tidak saja hal tersebut tidak mudah ditemukan

pertimbangan hukum yang secara eksplisit dalam menjelaskan persoalan itu,

tetapi juga karena memang juga tidak mudah untuk menggambarkan soal rasa

keadilan itu. Bukankah dalam dunia ini, seringkali memang ada hal-hal yang tidak

mudah ditangkap oleh panca indera akan tetapi mempengaruhi sendi kehidupan.

Metafisika, istilah keren untuk menggambarkan hal-hal ghaib dalam kehidupan.

Mungkin dalam ‘dunia’ peradilan, khususnya pembuatan putusan, juga terdapat

hal-hal yang bersifat seperti itu. Metayuridis, hal-hal yang sangat mempengaruhi

sebuah keputusan, akan tetapi tidak mudah menjelaskannya secara yuridis.

Apapun itu, hendaknya hal-hal yang metayuridis tersebut, meski tidak mudah

dihilangkan, pun seandainya ada pedoman pemidanaan, hendaknya memang

(8)

GUNTORO EKA SEKTI HALAMAN 8 lainnya, terlebih rasa yang dapat mengarah pada pelanggaran kode etik yang

harus dpegang oleh hakim. Semoga.

Referensi

Dokumen terkait

Berkenaan dengan cara tata cara tidur, Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim dari bara’ bin azib: “bila kamu akan mendatangi tempat tidur maka

[r]

So gone are the days of having the same job for 30 years and slowly building your fortune in strong solid secure types of growth funds.. Hello world series of poker, good buy

bahwa dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian antara lain ditegaskan, bahwa kepada calon Pegawai Negeri Sipil diberikan Latihan Pra

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: ANALISIS ATAS KESALAHAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PENIPUAN YANG MENYIMPANGI ASAS PERADILAN CEPAT,

Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, maka dapat disimpulkan bahwa variabel kepercayaan, kemudahan, kualitas informasi, dan tampilan produk memberikan

A. Pithecanthropus Erectus Jenis manusia purba ini ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1891. Fosil yang ditemukan berupa tulang rahang bagian

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor: 8.B Tahun 2010 tanggal 24 Mei 2010 tentang Persetujuan Pelepasan Wilayah Kecamatan Yang Masuk