PENGARUH TINGKAT PENGHASILAN KELUARGA TERHADAP KETERLAMBATAN PENCARIAN PENGOBATAN PASIEN
TUBERKULOSIS PARU DI KABUPATEN BANYUMAS
Madyo Maryoto1), Suci Khasanah2)
STIKES Harapan Bangsa Purwokerto
Email:madyomaryoto81@yahoo.com, suci_medika90@yahoo.co.id
ABSTRACT
The tuberculosis cases due to be a source of infection for people in the neighborhood, so it needs an increase in efforts to find active case (MOH, 2001) , Delays in treatment lead to the transmission, as well as the impact the increased risk of disease transmission. So search delays pulmonary TB treatment resulted in increased numbers of cases of pulmonary TB. Objectives of this study was to analyze the delay of treatment seeking behavior of Pulmonaru TB patients in Banyumas Regency. The study design using analytic descriptive study. Samples in this study were patients who had intensive phase of TB treatment (first 2 months) in Primary Health care center of Banyumas regency. The sample size of this study were 102 respondents, purposive sampling technique was used in this study. In which the variables includes: family income and delay seeking treatment of TB patients. Analysis of this study was use simple logistic regression. The result of this study shows that the majority of pulmonary TB patients were not delay in seeking of treatment. It was about 56 respondents (54.9%). There is influence between family income and the delay treatment seeking behavior of pulmonary TB patients in Banyumas Regency. .
Keywords: Family Income, The Delay Treatment Seeking Behavior, TB
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan peringkat keempat tertinggi dari angka penyakit TB
di dunia dengan insiden 189 per 100.000 populasi pada tahun 2010, dengan sekitar
582.000 kasus baru setiap tahunnya, dimana 75 % dari penderita tuberkulosis paru
berasal dari golongan umur produktif dan golongan ekonomi lemah. Angka kejadian
TB di Jawa Tengah pada tahun 2008 berkontribusi 22,182 angka prevalensi atau
12,5 % jumlah TB paru di Indonesia (Depkes RI, 2012). Walaupun telah diantisipasi
dengan strategi DOTS untuk pengendalian tuberkulosis sejak 1998, akan tetapi
tingkat deteksi kasus atau Case Detection Rate (CDR) di provinsi Jawa Tengah di
tahun 2008 adalah 16,748 orang atau 47.97% atau kurang dari target penemuan kasus
% yaitu tida Kabupaten terendah dari beberapa Kabupaten di provinsi Jawa Tengah
(Depkes RI, 2012)
Rendahnya Case Detection Rate (CDR) dapat diartikan bahwa terdapat
banyak kasus TB paru yang belum terdeteksi dan diberikan perawatan, sehingga
dapat menjadi sumber infeksi bagi orang-orang di lingkungan sekitar, sehingga
diperlukan sebuah peningkatan upaya pencarian kasus secara aktif (Depkes RI,
2011). Keterlambatan pencarian pengobatan tidak hanya berdampak terhadap
meningkatnya beban program terhadap kontrol penyakit TB, tetapi dapat
meningkatkan resiko penularan penyakit dan resiko kematian (Yusuf, 2008 dan Paul,
2012). Fatiregun (2010) menyebutkan bahwa dua komponen kunci dari sebuah
kontrol TB program yang baik adalah diagnosis dini dan pengobatan yang efektif.
Perilaku keterlambatan pencarian pengobatan pasien TB, mempengaruhi rendahnya
cakupan kesembuhan pasien, yang dipengaruhi oleh pengetahuan, persepsi,
keyakinan, sikap, status ekonomi, aksesibilitas untuk layanan dan kualitas layanan,
(yulfira, 2011 ).
Faktor pengobatan dini menjadi penting dalam menambah kontribusi untuk
menemukan kasus untuk mencegah penurunan kualitas hidup masyarakat Mara
(2004). Beberapa penelitian yang telah di lakukan oleh Layogi (2011); Gemeda
(2010); Hasimah (2011); Wang (2008 ); Silvio (2005); Paul (2010); Jossy (2011);
Weiguo (2009) dan Yusuf (2008) menemukan bahwa pengetahuan, persepsi,
ekonomi dan sosial dapat mempengaruhi keterlambatan pengobatan TB paru. Ini
berbeda dengan penelitian oleh Kilale, (2008) yang mengatakan bahwa sosial
ekonomi tidak berhubungan dengan keterlambatan pencarian perawatan kesehatan
pada pasien TB paru.
Berdasarkan fenomena tersebut maka dibutuhkan analisis faktor yang
mempengaruhi keterlambatan pencarian pengobatan di Kabupaten Banyumas pada
khususnya. sehingga dapat menentukan langkah antisipasi bagi pemegang kebijakan
program pengendalian penyakit TB dengan mempertimbangkan beberapa faktor
pencegahan keterlambatan pengobatan TB paru sebagai langkah kongkrit
METODE PENELITIAN
Desain pada penelitian ini adalah descriptive analitic dengan pendekatan
cross-sectional. Sampel yang dikehandaki pada penelitian ini adalah pasien fase
intensif atau pengobatan kurang dari 2 minggu yang sedang mendapatkan
pengobatan di Puskesmas Kabupaten Banyumas pada periode penelitian
berlangsung, besar sampel ditentukan dengan menggunakan G-power, untuk
memperoleh power size 0.95, α=0.05, sampel minimal adalah 102 orang. Teknik
sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling technic
berdasarkan kriteria inklusi; Pasien TB Paru yang memiliki smear dan X-ray film
positif dengan usia 15 -64 tahun, mendapatkan perawatan dalam fase intensif dan
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Banyumas yang bersedia menjadi
responden. Kriteria ekslusi nya adalah pasien dengan komplikasi penyakit lain
(misalnya COPD, HIV-AIDS, penyakit ginjal) dan gangguan kejiwaan.
Lokasi penelitian ini telah dilaksanakan di enam Puskesmas yaitu
Puskesmas Baturaden II, Puskesmas Kedungbanteng, Puskesmas Jatilawang,
Puskesmas Kalibagor, Puskesmas Sokaraja I, Puskesmas Sokaraja 2 di wilayah
Kabupaten Banyumas
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini meliputi analisis
univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat untuk mendapatkan
gambaran/distribusi frekuensi dari variabel penelitian. Sedangkan Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah simple logistic regression yaitu untuk
menggambarkan keterlambatan pencarian pengobatan TB paru di Kabupaten
Banyumas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. HASIL PENELITIAN
Hasil penghitungan distribusi frekuensi keterlambatan pencarian
pengobatan pada pasien tuberkulosis terhitung sejak merasakan gejala sampai
mendapatkan pengobatan di Puskesmas wilayah Kabupaten Banyumas adalah
Tabel 1. Keterlambatan pencarian pengobatan pada pasien TB paru (n = 102)
Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa sebagian besar pasien
Tuberkulosis paru di wilayah Banyumas, sebagian besar terlambat dalam mencari
pengobatan yaitu 46 responden (45.1%).
Tabel 2. Pengaruh Penghasilan Keluarga Terhadap Keterlambatan Pencarian Pengobatan Pada Pasien Tuberkulosis Paru (n = 102)
Berdasarkan penghasilan keluarga di ketahui bahwa sebagian besar
responden berpenghasilan dibawah Upah Minimum Kabupaten sebesar 1 juta rupiah.
Dimana jumlah responden yang mempunyai pendapatan kurang dari UMK adalah 37
responden (36.3%). Berdasarkan hasil analisis data, terdapat pengaruh antara
penghasilan keluarga terhadap keterlambatan pencarian pengobatan pasien
tuberkulosis dengan besarp-value 0.000.
2. PEMBAHASAN
Keterlambatan pencarian pengobatan oleh pasien tuberkulosis dalam
penelitian ini terhitung sejak pasien merasakan tanda dan gejala batuk lebih dari 3
minggu sampai pasien tersebut mendapatkan terapi (Obat Anti Tuberkulosis Paru)
oleh Puskesmas setempat. Tabel 1 diatas menunjukan bahwa dari 102 orang
responden yang berpastisipasi dalam penelitian ini dinyatakan terlambat dalam
mencari pengobatan tuberkulosis paru sebanyak 46 responden pasien (45,1%) dan
yang tidak terlambat mencari pengobatan adalah 56 responden atau (54,9%).
Fatiregun (2010) menyebutkan bahwa dua komponen kunci dari sebuah kontrol TB Karakteristik Frekuensi (%)
Terlambat 46 45.1
Tidak terlambat 56 54.9
Keterlambatan/
Penghasilan Ya Tidak Tot. (%) p-value
< UMK 37 (36.3%) 22 (21.6%) 59 (57.8%) 0.000
> UMK 9 (8.8%) 34 (33.3%) 43 (42.2%)
program yang baik adalah diagnosis dini dan pengobatan yang efektif. Perilaku
keterlambatan pencarian pengobatan pasien TB, mempengaruhi rendahnya cakupan
kesembuhan pasien, yang dipengaruhi oleh pengetahuan, persepsi, keyakinan, sikap,
status ekonomi, aksesibilitas untuk layanan dan kualitas layanan (Yulfira, 2011 ).
Berdasarkan hasil analisis data, terdapat pengaruh antara penghasilan
keluarga terhadap keterlambatan pencarian pengobatan pasien tuberkulosis dengan
besar p-value: 0.000. Crofton (2002) menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan
satu faktor penyebab berkembangnya penyakit tuberkulosis. Tingkat ekonomi yang
rendah, gizi masyarakat yang kurang memenuhi standar kesehatan. Kemiskinan
dapat mengarah pada kebiasaan, minimnya sarana prasarana dan perumahan
terlampau padat yang tidak memenuhi syarat kesehatan, kondisi kerja yang buruk
serta tidak atau kurang terpenuhinya gizi seseorang atau masyarakat dapat berakibat
menurunnya daya tahan tubuh dan memudahkan terjadinya infeksi.
Ketersediaan asuransi kesehatan (BPJS) merupakan kebijakan dalam bidang
kesehatan yang di sediakan untuk mempermudah seluruh lapisan masyarakat untuk
menjangkau unit pelayanan kesehatan, semua lapisan masyarakat dapat menjangkau
dalam aspek biaya. Akan tetapi hal ini belum mampu menyelesaikan masalah
keterlambatan pencarian pengobatan di Indonesia dan di wilayah Banyumas pada
khususnya. Hal ini bisa disebabkan karena berdasarkan letak geografis wilayah di
Indonesia yang masih minimnya ketersediaan akses pelayanan yang mudah di
jangkau dan kualitas pelayanan kesehatan yang berkualitas untuk pasien tuberkulosis
pada khususnya. Hal ini harus diberikan perhatian khusus terutama pemerintah
karena berdasarkan penelitian yang di lakukan (yulfira, 2011) menjelaskan bahwa
perilaku keterlambatan pencarian pengobatan pasien TB, mempengaruhi rendahnya
cakupan kesembuhan pasien yang dikarenakan kurangnya aksesibilitas (finansial)
pelayanan dan kualitas layanan.
Fatiregun (2010) menyebutkan bahwa dua komponen kunci dari sebuah
kontrol TB program yang baik adalah diagnosis dini dan pengobatan yang efektif.
Perilaku keterlambatan pencarian pengobatan pasien TB, mempengaruhi rendahnya
seperti pengetahuan, keyakinan, sikap, status ekonomi, aksesibilitas untuk layanan
dan kualitas layanan (Yulfira, 2011).
SIMPULAN
Sebagian besar pasien Tuberkulosis paru di wilayah Kabupaten Banyumas,
terlambat dalam mencari pengobatan yaitu 46.1%.
Terdapat pengaruh antara penghasilan keluarga dengan keterlambatan
pencarian pengobatan pasien tuberkulosis paru di Kabupaten Banyumas
DAFTAR PUSTAKA
Asih, N. (2003). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Colson, P., J. Frank, S. Rita, H.M. Yael and E. Wafaa (2010). Tuberculosis Knowledge, Attitudes, and Beliefs in Foreign-born and US-born Patients with Latent Tuberculosis Infection Immigrant Minority Health, Doi: 10.1007/s10903-010-9338-4.
Fatiregun, A.A and C.C. Ejeckam. (2010). Determinants of Patents Delay The Seeking Treatment Among Pulmonary Tuberculosis Case In A Government Specialist Hospital In Ibadan, Nigeria. Tanzania Journal of Health Research. Vol. 12 (2).
Gemeda A., D. Amare, L. Aper, W. Kifle and J. Shifa. (2010). Knowledge, Health Seeking Behavior and Perceived Stigma towards Tuberculosis among Tuberculosis Suspects in a Rural Community in Southwest Ethiopia, Plos One.5(10) 13339.
Hasimah N.A. (2011). Factors Influencing Patient Delay the seeking Treatment among Smear Positive Tuberculosis Patients in Kelantan, Malaysia, International Medical Journal.Vol. 18, No. 4, pp. 316–321.
Depkes RI. (2011). Buku saku Kesehatan.Visual Data Department Kesehatan. Provinsi Jawa Tengah.
Depkes RI. (2012).Riset Kesehatan Dasar. Research dan Pengembangan. Jakarta: Kementrian kesehatan RI.
Farah, M.G., H.R. Jens, W.S. Tore, S. Randi, H. Einar and B. Gunnar. (2006).
Ford, C.M., A.M. Bayer, R.H., Gilman, D. Onifade, C. Acosta, L. Cabrera, C. Vidal and C. Evans. (2010).Factors Associated with Delayed Tuberculosis Test Seeking Behavior in the Peruvian Amazon. Am J. Trop. Med. Hyg.81(6)
1097-1102.
Hussen, A., Biadgilign S., Tessema, F., Mohhamed, S., Deribe, K. and Deribew, A. (2012). Treatment Delay among Pulmonary Tuberculosis Patient in Pastoralist Communities in Bale Zone, Southeast Ethiopia.BMC Research
Note 5:320.
Kilale, A.M., A.K. Mushi, L.A. Lema, J. Kunda, Makashi and Mwaseba. (2008).
Perceptions of Tuberculosis and Treatment Seeking Behavior in Lila and Kinondoni Municipalities in Tanzania. Tanzania Journal of Health
Research. vol.10, no.2.
Layogi, M. (2011).Treatment Seeking Behavior for Pulmonary Tuberculosis among Chest Symptomatic Bhutan.SAARC Journal of Tuberculosis, Tuber Lung Diseases & HIV/AIDS. VIII (1):36-40.
Marra, C.A., F. Marra, C.C. Victoria, P. Anita and F. Mark. (2004). Factors influencing Quality of Life in Patients with Active Tuberculosis. BioMed central. 2:58 doi:10.1186/1477-7525-2-58.
Mahendrata, A., Ahmad, R.A., Y. Utarini and S.J. Vlas,. (2011).Diagnostic Delay among Tuberculosis Patients in Jogjakarta Province. Gajah Mada University. Topical Medicine and International Health. Vol.16, no.4, pp. 412-423. Doi: 10.1111/j.1365.2010.02713.
Mesfin, M., N.N. James, D.W. John, G. Emanuel and J.M. Richard. (2005).Delay and Care Seeking Behavior among Tuberculosis Patients in Trigray of Northern Ethiopia. BMC Public Health. 9: 53. Doi:10.1186/147-2458/9/53.
Paul, W. (2012), Tuberculosis Knowledge, Attitudes, and Beliefs in Foreign-born and US-born Patients with Latent Tuberculosis Infection. J Immigrant Minority Health. DOI 10.1007/s10903-010-9338-4
Storla, D.G., S. Yimer and A.B. Gunnar. (2008).A Systematic Review of Delay in Diagnosis and Treatment of Tuberculosis. BMC Public Health. 1471-2458-8-15.
Wang, Y. (2008).Gender Difference in Knowledge of Tuberculosis and Associated Health-Care Seeking Behaviors: In A Rural Area of China. BMC Public Health. Doi: 10.1186/1471-2458-8-354.
World Health Organization. (2012). Global Health Observatory Data Respiratory.
Geneva. http://apps.who.int/ghodata, December 1, 2012.
Yusuf , A.N. (2008).Factors Influencing Delay the Seeking Tuberculosis Treatment in Belet-Weyne District, Somalia. Mater Thesis, Western Cape University.