• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG KARYA TERE LIYE"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN

PADA NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG

KARYA TERE LIYE

SKRIPSI

Disusun Oleh :

NAFI WAHYU SAFITRI

(K1208104)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN

PADA NOVEL AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG

KARYA TERE LIYE

Disusun Oleh :

NAFI WAHYU SAFITRI

(K1208104)

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Mendapatkan Gelar Sarjana

Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(4)

commit to user

(5)

commit to user

(6)

commit to user

vi

ABSTRAK

NAFI WAHYU SAFITRI. K1208104. Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai

Pendidikan pada Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye.

Skripsi . Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas

Maret Surakarta, Februari 2012

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) Struktur dalam

novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye ; (2) Kritik sosial dalam

novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye ;dan (3) Nilai- nilai

pendidikan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye.

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan

pendekatan sosiologi sastra. Sumber data utama penelitian ini adalah novel

Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye yang diterbitkan oleh PT

Gramedia Pustaka Utama Jakarta pada tahun 2011 dengan jumlah halaman 298

Pengumpulan data dilakukan dengan analisis dokumen berupa novel. Uji

validitas dilalukan dengan triangulasi teori. Teknik analisis data menggunakan

teknik analisis jalinan atau mengalir (

flow model of analysis

) yang meliputi :

reduksi data, penyajian, dan pemeriksaan. Prosedur penelitian ini terdiri dari

lima tahap, yaitu: (1) pengumpulan data ; (2) menyeleksi serta memilah data ;

(3) menganalisis data ; (4) menarik kesimpulan ; (5) membuat laporan

penelitian.

(7)

commit to user

vii

MOTTO

Tak seorang pun tahu sejauh mana batas kesanggupannya jika ia belum mencoba

(Publilius Syrus)

Niscaya Allah akan meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Al

Mujadalah, ayat 11)

Pada saat sebuah pintu sukses tertutup

Pintu sukses yang lain akan terbuka.

Maka janganlah terlampau lama terpaku di depan pintu yang tertutup

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Teriring syukurku pada-Mu, kupersembahkan karya ini untuk :

1.

Bapak dan Ibu tercinta

Doamu yang tiada terputus, yang telah memberikan cinta, perhatian, kasih

sayang yang tak berujung, kerja keras yang tiada henti, pengorbanan yang tak

terbatas pula. Semuanya membuatku bangga memiliki kalian. Tiada kasih

sayang yang seindah dan seabadi kasih sayangmu;

2.

Mas Mario

Terima kasih karena senantiasa mendorong langkahku dengan perhatian dan

semangat dan selalu ada di sampingku baik di saat kutegar berdiri maupun

saat kujatuh dan terluka; dan

3.

Aprilianasari, Fitri Wijayanti, Miranti Andansari, Teman-

teman Bastid’ 08

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Banyak hambatan yang muncul dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Namun, berkat bantuan dari berbagai pihak hambatan tersebut dapat diatasi.

Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah

memberikan izin untuk penulisan skripsi;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberikan persetujuan penyusunan skripsi;

3. Dr. Kundharu Saddhono, M. Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan persetujuan penyusunan

skripsi;

4. Drs. Edy Suryanto, M.Pd.,selaku pembimbing skripsi I, yang selalu

memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

5. Dr. Budhi Setiawan, M.Pd., selaku pembimbing skripsi II, yang selalu

memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

7. Dra. Sumarwati, M.Pd., selaku pembimbing akademik, yang selalu memberikan

pengarahan dan motivasi dalam menyusun skripsi ini;

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universiatas

Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada

penulis;

7. Keluarga besar mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia angkatan 2008 yang menjadi teman seperjuangan penulis selama

menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta;

8. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak

(10)

commit to user

x

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena

keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini

bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Surakarta, 30 Mei 2012

(11)
(12)

commit to user

2. Analisis Kritik Sosial dalam Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong

………..

50

3. Nilai Pendidikan dalam Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong

………..

57

C.

Pembahasan ... 63

1.

Struktur Novel Ayahku (Bukan) Pembohong

………

63

2.

Analisis Kritik Sosial dalam Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong

………

64

3.

Nilai Pendidikan dalam Novel Ayahku (Bukan)

Pembohong

………

66

BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 68

A.

Simpulan... 69

(13)

commit to user

xiii

C.

Saran ... 72

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1.

Kerangka Berpikir ... 31

(15)

commit to user

xv

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Halaman

1.

Sinopsis Novel Ayahku (Bukan) Pembohong ... 76

(17)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan pengungkapan kehidupan nyata menjadi sebuah karya imajinatif yang indah untuk dinikmati. Karya sastra sebenarnya memiliki banyak pesona bila kita mau membacanya. Sayangnya karya sastra Indonesia belum merupakan kebutuhan primer masyarakat luas. Sebagai produk budaya, karya sastra belum dibaca oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Para cendikiawan di berbagai strata pun tidak menempatkan karya sastra Indonesia sebagai sarana pengasah kepekaan dan estetika. Padahal pengasahan khasanah humaniora untuk menghasilkan manusia yang humanis, manusiawi, bermoral, dan berperasaan halus dapat diperoleh melalui bacaan sastra.

Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan gaya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan pengamatan atas kehidupan tersebut. Hakikat karya sastra adalah bercerita dan bercerita ini adalah bentuk dari hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, kesusasteraan sebagai karya kreatif harus mampu melahirkan satu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan menusia. Sastra harus pula mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.

Karya sastra adalah dokumen sosial yang di dalamnya dikisahkan manusia dengan berbagai problema. Dengan membaca karya sastra dapat dikaji hal-hal, seperti : sosiologi, psikologi, adat istiadat, moral, budi pekerti, agama tuntunan masyarakat, dan tingkah laku manusia di suatu masa. Banyak pengetahuan yang dapat diperoleh melalui karya sastra.

Karya sastra hadir sebagai kegiatan mencipta sastrawan yang didasarkan daya imajinatif kreatif. Proses penciptaan cerita fiksi bersifat individual. Artinya, cara yang digunakan oleh pengarang yang satu dapat berbeda dengan pengarang

(18)

commit to user

yang lain. Perbedaan itu meliputi metode, munculnya proses kreatif, dan cara mengekspresikan apa yang ada dalam diri pengarang (Waluyo, 2002:68)

Sesuai dengan fungsi karya sastra ialah dulce et utile (indah dan berguna) maka sebuah karya sastra harus memberikan kontribusi terkait karya sastra yang dijadikan pembelajaran masyarakat.Beberapakaryasastrayangdapatdijadikan

pembelajaran masyarakat adalah karya sastra berdasarkan pada fakta. Adapun karya sastra yang didasarkan fakta, antara lain: fiksi historis ialah jika dasar penulisannya fakta sejarah, fiksi biografi ialah jika yang menjadi dasar

penulisannya fakta biografis, dan fiksi sains jika yang menjadi dasar penulisan

ilmupengetahuan(Nurgiyantoro, 2005:4).

Dalam sastra Indonesia ada beberapa bentuk cipta sastra, yaitu puisi, prosa dan drama. Bentuk cipta karya seperti puisi banyak diciptakan, antara lain : Balada Orang-orang Tercinta karya W.S. Rendra, Tirani karya Taufik Ismail, Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar dan sebagainya. Begitu juga karya prosa Indonesia yang dapat dibedakan menjadi roman, novel, dan cerpen, ketiganya biasa disebut cerita rekaan atau fiksi.

Sejak tahun dua puluhan, karya sastra yang berbentuk novel selalu menyertai perkembangan kesusasteraan Indonesia. Dibandingkan dengan karya sastra puisi dan drama, novel mempunyai daya tarik tersendiri dengan bahasanya yang lugas dan mudah dipahami.

Dalam perkembangannya media masa seperti media cetak, baik yang terbit mingguan maupun bulanan banyak memuat cerita reakaan seperti novel. Di media elektronik bidang perfileman juga tidak ketinggalan mengangkat cerita dari sebuah novel. Sinetron juga banyak mengangkat cerita-cerita dari novel-novel yang pernah ada, baik yang muncul pada tahun dua puluhan maupun novel-novel yang digemari oleh masyarakat luas, seperti Cintaku di Kampus Biru, Ayat Ayat Cinta.

(19)

commit to user

luas kepada para pembacanya. Dengan gaya bahasa yang memikat, novel memberikan suatu cerita kehidupan secara tuntas dan mendalam. Melalui tema, amanat, tokoh, perwatakan, dan unsur intrinsik lainnya, novel mampu memberikan suatu ajaran atau nilai didik kepada para pembacanya.

Dalam berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, novel sering menjadi kajian pembuatan makalah. Dalam dunia pendidikan, khususnya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam standar kompetensi di SMP dan SMA novel digunakan sebagai salah satu materi pengajaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa novel bukan hanya sebagai bahan bacaan hiburan saja, melainkan juga merupakan salah satu karya sastra yang perlu dikaji dan dikembangkan.

Seiring dengan perkembang zaman, kini banyak bermuculan pengarang-pengarang muda berbakat yang menghasilkan karya gemilang seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Ahmad Fuadi, Tere Liye, dan lain-lainnya. Salah satu novel karya Tere Liye Ayahku (Bukan) Pembohong adalah novel yang

menjadi objek penelitian ini. Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong

pengarang banyak memberikan nilai-nilai kehidupan yang sederhana namun sangat bermakna jika hal tersebut dijadikan prinsip dalam kehidupan ini.

Hal yang menarik dalam novel ini adalah pengarang banyak memberikan contoh kesederhanaan dalam menjalani hidup ini. Selain itu, pengarang juga mengambarkan kehidupan sosial seorang yang memiliki gelar kesarjanaan yang didapat dari luar negeri namun tetap berpegang pada prinsip kesederhanaan dalam membangun sebuah kehidupan yang bahagia. Di dalam novel ini pengarang menampilkan masalah-masalah kehidupan sosial yang di dalamnya sarat dengan kesederhanaan dan kejujuran seorang ayah dalam mendidik anaknya menjadi orang yang tumbuh hebat, dengan memberikan cerita-cerita yang sederhana namun di dalamnya terkandung banyak kearifan yang dapat dijadikan teladan sekaligus prinsip hidup yang hebat.

(20)

commit to user

jadi cerita tersebut berjalan saling beriringan dengan isi novel tersebut. Meskipun cerita berbingkai tersebut memiliki alur yang berbeda namun hal tersebut tidak menyulitkan pembaca untuk memahami alur cerita dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong.

Dalam novel ini terdapat banyak nilai pendidikan yang dapat dijadikan teladan bagi anak-anak bangsa. Pengarang menampilkan sebuah cerita yang di dalamnya menceritakan sebuah perjuangan seorang anak yang selalu ingin mengapai semua impiannya. Anak tersebut menjadikan seorang tokoh panutan dalam dunia sepak bola sebagai inspirasi untuk mengapai semua impiannya. Selain itu, pengarang juga menampilkan nilai pendidikan moral yang orang tuanya, karena apa pun yang di katakana orang tua merupakan nasihat yang baik bagi seorang anak.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan di lakukan penelitian mengenai “ Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan Pada Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana struktur yang membangun novel Ayahku (Bukan) Pembohong

Karya Tere Liye ?

2. Bagaimana kritik sosial yang terdapat dalam novel Ayahku (Bukan)

Pembohong Karya Tere Liye ?

3. Bagaimana nilai pendidikan dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya

Tere Liye ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan :

(21)

commit to user

2. Kritik sosial yang ada dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere

Liye

3. Nilai- nilai pendidikan novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teroretis penelitian ini, antara lain :

a. memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang sastra

b. menambah khasanah pustaka Indonesia agar nantinya dapat digunakan sebagai penunjang kajian sastra dan dijadikan bandingan bagi penelitian yang sejenis

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak, antara lain :

a. Bagi peneliti

Peneliti dapat mengetahui jawaban dari masalah yang dirumuskan

b. Bagi pembaca

Pembaca diharapkan dapat memahami pesan-pesan moral yang disampaikan oleh pengarang lewat novel yang berjudul Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere Liye. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli memilih bahan bacaan yang mengandung nilai-nilai pendidikan.

c. Bagi pendidik

(22)

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teoretis

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Novel termasuk fiksi karena novel merupakan hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Selain novel ada pula roman dan cerita pendek ( Waluyo, 2002: 2). Nurgiyantoro (2005: 9) berpendapat bahwa istilah novella dan novella, yang berarti mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novellet (Inggris : novellet) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya sedang, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Senada dengan pendapat itu, Abrams ( dalam Nurgiyantoro, 2005: 9) menyatakan bahwa sebutan novel dalam bahasa Inggris dan kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle).

(23)

commit to user

Nurgiyantoro (2005: 4) mengungkapkan bahwa novel sebagai suatu karya sastra fiksi yang menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibandingkan melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajiner.

Bebagai salah satu karya sastra, novel, mengandung nilai-nilai moral yang berguna bagi pembacanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Waluyo (2002: 37), yakni novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan kepada pembaca tentang pekerti yang baik dan budi luhur. Pengarang novel meneliti tentang rahasia hidup di masa lalu maupun masa yang akan datang

Simpulan yang dapat diambil dari beberapa teori di atas bahwa novel merupakan karya prosa fiksi yang mengisahkan sebagian kehidupan manusia yang dianggap penting dalam beberapa episode kehidupan manusia dan di dalamnya terjadi perubahan kehidupan pelaku dan memasukkan berbagai unsur intrinsik di dalam dan bersifat imajinatif.

b. Unsur Pembangun Novel

Sebuah novel dibangun atas karangka-kerangka yang saling terpadu. Unsur - unsur yang terbangun dalam novel banyak sekali dirumuskan oleh para ahli. Namun pada intinya ada dua unsur pembangun novel yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik (Nurgiyantoro, 2005: 23) adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur- unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

Unsur dalam sebuah karya sastra baik itu intrinsik maupun ekstrinsik dalam novel, cerpen, puisi, dan drama adalah suatu keharusan untuk dimasukkan dalam karya-karya tersebut. Dalam hal ini unsur intrinsiklah yang paling sering dimasukkan dalam karya sastra, karena unsur intrinsik adalah hal utama dalam membangun sebuah cerita.

(24)

commit to user

Menurut Nurgiyantoro (2005: 23) ada lima unsur intrinsik, yaitu : plot/alur cerita, tema, penokohan, latar/setting, sudut pandang. Kelima unsur intrinsik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Plot/Alur cerita

Plot merupakan bagian yang penting dari cerita rekaan. Cerita rekaan mutakhir yang biasa disebut dengan nonkonvensional sering kali dinyatakan tanpa plot, namun jika ditelusuri memiliki plot juga. Waluyo (2002: 145) berpendapat alur cerita adalah struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi.

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau meyebabkan terjadinya peristiwa lain. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113-114) mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan strukur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.

Waluyo (2002: 147-148) mengemukakan bahwa alur cerita meliputi tujuh aspek. Ketujuh alur cerita tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Eksposisi, artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman. Inciting moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Rising action adalah perjalanan konflik, selanjutnya terus terjadi peningkatan konfik. Complication adalah konfik yang semakin ruwet. Climax adalah puncak penggawatan, klimaks cerita yang harus merupakan puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisah/peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Falling action, artinya konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah

mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang. Denovement,

(25)

commit to user

pembaca, karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita.

Plot sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik itu dikemukakan secara ekspilisit maupun implisit. Sebuah cerita atau sebuah teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya dan barangkali ada pula akhirnya. Namun, plot sebuah karya fiksi sering tak menjanjikan urutan peristiwa secara kronologis dan runtut, melainkan penyanjian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengahkiri dengan kejadian awal dan kejadian terahkir. Dengan demikian, tahap awal cerita tak harus berada di awal cerita atau bagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian mana pun.

Nurgiyantoro (2005: 142-146) berpendapat secara teoretis plot dapat diurutkan atau dikembangkan ke dalam tahap-tahap tertentu secara kronologis. Tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Tahap awal biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal (atau: pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.

Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik pertentangan yang terjadi antara tokoh-tokoh cerita.

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adengan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah ahkir sebuah cerita.

(26)

commit to user

2) Tema

Hartoko dan Ramanto (dalam Nurgiyantoro, 2005:68) mengemukakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan bukan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Brooks, Puser, dan Waren (dalam Tarigan, 1993: 125) mengemukakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan dari suatu karya sastra.

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Untuk menemukan tema sebuah karya sastra fiksi haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti ia bukanlah makna yang “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya sastra fiksi tidak secara sengaja disembunyikan karena inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.

Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel secara lebih khusus dan rinci, Stanton ( dalam Nurgiyantoro, 2005: 87) mengemukakan adanya

sejumlah kriteria. Pertama, penafsiran tema sebuah novel hendaknya

mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Dengan kata lain, tokoh-masalah-konflik utama merupakan tempat paling strategis untuk mengungkapkan

tema utama sebuah novel. Kedua,penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak

(27)

commit to user

hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak nyata baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Tema cerita tak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan pikiran, sesuatu yang dibayangkan ada dalam cerita atau informasi yang kurang dapat dipercaya. Keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau disarankan pada cerita.

Bertolak dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama atau gagasan pokok yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra.

3) Penokohan

Waluyo (2002: 164) mengatakan bahwa perwatakan berhubungan dengan karateristik atau bagian watak tokoh-tokoh itu, sedangkan penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokoh serta memberi nama okoh itu. prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya, yaitu :

a) Metode analitis

Dalam metode ini pengarang langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci. Deskripsi tentang ciri tokoh itu dapat secara fisik, psikis dan keadaan sosial.

b) Metode tidak langsung

Penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan penampilan fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya. Lukisan watak tokoh dalam metode ini tidak diberikan langsung oleh pengarang, tetapi harus disimpulkan sendiri oleh pembaca.

c) Metode kontekstual

(28)

commit to user

Dalam metode ini penggambaran watak digambarkan secara panjang lebar melalui tingkah laku dari tokoh-tokohnya.

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165) menjelaskan tokoh cerita ialah individu orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Tokoh cerita, walaupun hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan tokoh yang hidup dengan wajar, seperti bagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya.

Menurut Nurgiyantoro (2005: 176-194), tokoh-tokoh dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut pandang penamaan itu dilakukan. Adapun beberapa tokoh cerita tersebut, antara lain :

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun bisa terjadi dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.

b) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis

(29)

commit to user

hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis juga disebut dengan tokoh baik yang dapat mendatangkan simpati para pembacanya. Penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis dapat disebut sebagai tokoh jahat, yaitu yang menimbulkan perasaan antipati dan benci pada para pembacanya.

c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat

Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana boleh saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang diformulakan itu.

Tokoh bulat, kompleks, berbeda haknya dengan tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiandan jati dirinya. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 183), dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan.

d) Tokoh statis dan tokoh berkembang

Alterbernd dan lewis (dalam Nurgiyantoro, 2005: 188), tokoh statis adalah tokoh cerita yang esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lainnya, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.

e) Tokoh tipikal dan tokoh netral

(30)

commit to user

dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang bersifat mewakili.

Tokoh netral merupakan tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan berinteraksi dalam dunia fiksi. Tokoh netral (atau dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau bahkan tokoh inilah yang sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita dan diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya, seorang yang berasal dari dunia nyata.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter/ penokohan merupakan penentuan bagaimana watak yang dimiliki tokoh-tokoh dalam suatu cerita yang terlibat berbagai peristiwa yang ada di dalam cerita tersebut atau disebut juga karya naratif.

4) Latar/setting

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 216) menyatakan bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang akan diceritakan.

Menurut Hudson (dalam Waluyo, 2002: 198), setting adalah keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan dan pandangan hidup. Montaque dan Henshaw (dalam Waluyo, 2002: 198) menyatakan tiga fungsi setting, yaitu : mempertegas watak para pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang disampaikan.

(31)

commit to user

a) Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karateristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.

b) Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu dan sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain.

c) Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.

(32)

commit to user

cerita dan peristiwa yang terdapat dalam suatu karya fiksi yang meliputi tempat/ lingkungan, waktu dan sosial.

5) Point Of View/sudut pandang/pusat pengisahan

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 248), menyatakan bahwa sudut padang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Hal ini merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Waluyo ( 2002: 184-185) mengemukakan ada tiga jenis point of view, yaitu : (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku” dan disebut teknik aku-an; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia” teknik ini disebut teknik dia-an; (3) teknik yang disebut ommiscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya tokoh dalam ceritanya, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.

Menurut Gennte (dalam Nurgiyantoro, 2005: 250), pemilihan sudut pandang menjadi penting karena hal itu tak hanya berhubungan dengan masalah gaya saja, waktu tak disangkal bahwa pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika juga penting dan berpengaruh. Namun, biasanya pemilihan bentuk-bentuk tersebut bersifat sederhana, di samping hal itu merupakan konsekuensi otomatis dari pemilihan sudut pandang tertentu.

Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas dapat disimpukan bahwa point of view/ sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan oleh pengarang untuk menyajikan tokoh dalam berbagai peristiwa dalam suatu karya fiksi.

2. Hakikat Sosiologi

a. Pengertian Sosiologi

(33)

commit to user

Lebih lanjut Soekanto (2005:15) mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya dan hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tadi. Masyarakat yang menjadi objek ilmu-ilmu sosial dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari beberapa segi, yaitu segi ekonomi, ada pula segi kehidupan politik yang antara lain berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyrakat, dan lain-lain segi kehidupan.

Soemardjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 2005: 20) menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Swingewood (dalam Faruk, 2003: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.

Dalam ilmu sosial perilaku kehidupan manusia telah dilihat sebagai keterlibatan dalam usaha mendorong perubahan struktural, ekonomi dan politik yang mengacu pada perubahan globalisasi atau sebagai hasil dari perubahan tersebut dibayangkan sebagai keutamaan yang terjadi di tempat lain (Jamieson .2011).

Senada dengan pendapat di atas, Yudiono (2000: 4) mengatakan bahwa sosiologi itu telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba memahami bagaimana masyarakat dimungkinkan hidup, tumbuh dan berkembang. Telaah sosiologi menyangkut masalah-masalah seperti struktur perekonomian, agama (religi), politik, dan sosialisasi individu di tengah lingkungannya.

Simpulan dari penjelasan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah studi yang ilmiah dan objektif yang mempelajari manusia dalam masyarakat yang menyangkut masalah-masalah seperti struktur perekonomian, agama, politik dan sosialisasi individu di tengah lingkungannya hingga perubahan-perubahan sosial di tengah masyarakat.

(34)

commit to user

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakatnya sendiri. Kedudukan-kedudukan ini dinilai oleh masyarakat umun berkenaan dengan suatu skala tinggi rendah, sehingga ada kedudukan yang dianggap tinggi dan ada kedudukan yang diangap rendah. Kalau suatu masyarakat yang lebih menghargai kekuasaan berupa materi daripada kehormatan dan harga diri, misalnya, maka mereka yang lebih banyak memiliki kekayaan berupa materi akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain yang kekayaan materinya berada di bawahnya. Gejala seperti ini menimbulkan lapisan sosial dalam masyarakat yang merupakan pembeda posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.

Pengertian lapisan sosial menurut Sorokin (dalam Soekanto, 2005: 228) adalah pembeda penduduk dalam masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas rendah. Ia juga mengatakan bahwa dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Senada dengan pendapat di atas, Mahmud (1989: 32) mengemukakan lapisan sosial mempunyai dua pengertian,yaitu ; (1) lapisan sosial, yaitu tataran/atau tingkatan status dan peranan yang relatif bersifat tetap di dalam suatu sistem lapisan sosial, tataran di sini menunjuk adanya perbedaan hak, kehormatan pengaruh dan kekuasaan; (2) lapisan sosial adalah kelas sosial atau sistem kasta.

Bentuk-bentuk lapisan sosial dalam masyarakat berbeda-beda, juga bentuk-bentuk konkrit lapisan masyarakat tersebut banyak. Semakin rumit dan semakin maju teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakat, akan tetapi secara prinsip bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu ekonomis, politis, dan jabatan. Ketiganya saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

(35)

commit to user

simbol) yang berbeda. Tinggi rendahnya prestise seseorang diukur atribut lahiriah, misalnya, tempat kediaman mewah, kendaraan, pakaian dan lain sebagainya.

Menurut Soekanto (2005: 237-238), ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan sosial adalah :

1) Ukuran kekayaan. Anggota masyarakat yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan atas. Kekayaan suatu anggota masyarakat dapat dilihat dari bentuk rumah, kendaraan yang dimiliki, cara menggunakan pakaian dan bahan pakaiannya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan sebagainya.

2) Ukuran kekuasaan. Anggota masyarakat yang memiliki kekuasaan

atau wewenang terbesar, menempati lapisan atas.

3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tidak dipengaruhi oleh ukuran kekayaan atau kekuasaan. Seseorang yang paling disegani adan dihormati mendapat tempat teratas. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat yang masih memegang nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Biasanya orang yang dihormati adalah golongan tua dan mereka telah berjasa.

4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ini dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan, akan tetapi ukuran ini terkadang menyebabkan akibat-akibat negatif. Hal ini dikarenakan ternyata bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya, sehingga memacu seseorang untuk mendapat gelar walau tidak halal

(36)

commit to user

3. Hakikat Pendekatan Sosiologi Sastra

a. Pengertian Sosiologi Sastra

Masalah-masalah sastra tidak dapat diselesaikan dengan kriteria objektif berdasarkan hakikat (seni) sastra saja bila masalah itu menyangkut masyarakat secara langsung (Pradopo, 2002: 403). Masalah di sini adalah masalah penerima masyarakat. Artinya, bila penerimaan itu baik maka ada kecocokan antara karya sastra dengan nilai-nilai di masyarakat. Oleh karena itu, perlu suatu pendekatan untuk memetakan hubungan karya sastra dengan lingkungan sosial masyarakatnya dan juga untuk memahami nilai apa saja yang bermanfaat dari karya tersebut.

Damono (dalam Faruk, 2003:4) mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dikemukakan oleh Wallek dan Warren. Damono menemukan tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu : (1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra, (2) sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, dan (3) sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Endraswara (2003: 77) menjelaskan sosiologi sastra adalah cabang penelitian yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak dinikmati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial yang berhasil memicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang suskes adalah yang mampu merefleksi zamannya.

(37)

commit to user

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah suatu pendekatan pada karya sastra untuk menganalisis segi-segi kehidupan sosial masyarakat baik itu dilihat dari sisi pengarang, pembaca ataupun keadaan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut.

b. Kritik Sosial

Kritik sosial digolongkan menjadi dua, yakni “pengecaman” dan “pengupasan”. Kritik dapat didefinisikan sebagai “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb.” Kritik yang cenderung pada pengecaman adalah pengertian kritik wilayah umun (pragmatik), sedangkan kritik yang cendenrung pada pengupasan adalah kritik-kritik yang berada di wilayah khusus (diskursif) ( Mulyana, 2012: 1).

Hal tersebut senada dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 331) yang menegaskan bahwa sastra yang mengandung pesan pesan kritik biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dalam masyarakat. Sejalan dengan Abar dan Ahmad (1999:47) kritik sosial dinyatakan sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Dalam konteks inilah kritik sosial merupakan salah satu variable penting dalam memelihara sistem sosial. Berbagai tindakan sosial ataupun individual yang menyimpang dari orde sosial maupun orde nilai moral dalam masyarakat dapat dicegah dengan memfungsikan kritik sosial.

(38)

commit to user

sebagai karya yang diperbincangkan sepanjang masa. Dasar pertimbangan jelas bahwa karya sastra memiliki homologi dan simetris tertentu dengan strukutur sosialnya. Apabila kemudian ternyata tatanan dan struktur sosial berubah karya itu pun akan berubah sebab dalam karya sudah terkandung unsur- unsur fleksibilitas yang memadai yang mampu mengimbangi perubahan dinamika sosial (Ratna, 2003: 160).

Seorang kritikus sastra saat ini harus mampu mengupas apa yang ada dalam karya sastra, salah satunya dari segi sosial. Jadi, yang dimaksud dengan kritik sosial adalah suatu ajakan, usul atau ajuran yang bisanya terselubung dituangkan dalam novel, lakon, film. Kritik itu bertujuan untuk mengadakan perbaikan terhadap suatu keadaan dalam masyarakat yang dianggap tidak memuaskan (Djajanegara, 2005: 1). Menurut Goldman (dalam Oekon dan Soeratno, 2004: 329) karya sastra bukanlah lahir dari struktur yang otonom yang lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil strukturisasi pikiran subjek penciptanya yang timbul akibat interaksi antara dirinya dengan situasi social ekonomi dan sosial.

Sebagaimana manusia sendiri bersifat organik, kumpulan manusia pun juga punya sifat organik. Di dalam ada pula daya hidup dan daya mati. Tiranisme, fasisme, anarki, oligarki, ologolopi, kolonialisme, mafia, kekolotan, pelacuran, korupsi, kriminalitas dan segala macam bentuknya dan sebagainya yang serupa itu adalah bentuk daya mati yang merupakan penyakit di dalam masyarakat. Karena semuanya itu juga merusak daya akal, daya organisasi, daya mobilitas, daya tumbuh kembang, daya inisiatif para anggota masyarakat yang merupakan daya hidup, sehingga mereka menjadi manusia rendah sumber dayanya (Rendra, 2001: 18).

(39)

commit to user

konvensi umum. Kritik sosial dalam karya sastra adalah sarana pengarang untuk menyampaikan ketidakpuasannya terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Sebagaimana fungsi kritik sosial, yakni mengupas keadaan sosial yang terjadi dalam karya sastra. Dimensi sosial yang diangkat dalam teori kritik sastra Marx dan Engels menggunakan teori Hegel yang menyatakan bahwa sejarah berlangsung melalui resolusi atau pertentangan di dalam beberapa aspek realitas tertentu dan keduanya mengedepankan deskripsi para meterialis tentang sejarah yang berpusat pada pergolakan dan penekanan pada masyarakat.

Berbeda dengan ahli ilmu pengetahuan yang membuat statistik dengan fakta-fakta, maka seniman itu memilih fakta-fakta yang mana yang paling plastis untuk menggambarkan situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi, maupun kultural yang memang lebih banyak menjadi pendekatan bagi seniman (Rendra, 2001: 14).

Novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga dewasa ini boleh dikatakan mengandung unsur pesan kritik sosial walaupun dengan tingkat intensitas yang berbeda. Kehidupan sosial yang dikritik dapat bermacam-macam seluas lingkup sosial itu sendiri. Pada umunya karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial. Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai bukan lantaran pesan itu melainkan lebih ditentukan oleh koherensi semua unsur intrinsiknya. Pesan moral yang merupakan salah satu unsur pembangun karya fisik saja, yang sebenarnya justru tidak mungkin terlihat dipaksakan dalam karya baik, walaupun hal itu mungkin sekali sebagai pendorong ditulisnya sebuah karya. Selain itu, pesan moral pun, khususnya kritik sosial, dapat mempengaruhi aktualisasi karya bersangkutan (Nurgiyantoro, 2005: 330-331)

(40)

commit to user

4. Hakikat Nilai Pendidikan

a. Pengertian Nilai Pendidikan

Realitas dalam karya sastra yang baik sebagai hasil imajinasi dan kreativitas pengarang terkadang dapat memberikan pengalaman total pada pembaca. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang pengarang bukan saja mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filsafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang problema hidup dan kehidupan. Bermacam-macam wawasan itu disampaikan pengarang lewat rangkaian kejadian, tingkah laku dan perwatakan para tokoh, ataupun komentar yang diberikan pengarangnya.

Dengan adanya bermacam-macam wawasan yang terkandung dalam karya sastra, pada dasarnya suatu karya sastra yang bermutu dan berbobot akan selalu mengandung bermacam-macam nilai didik tentang kehidupan yang bermanfaat bagi pembaca.

Berkaitan dengan nilai pendidikan dalam karya sastra, Edy (1983: 121) mengatakan bahwa sastra harus bersifat mendidik. Tetapi dalam perannya sebagai alat mendidik masyarakat tidaklah harus menggurui atau menunjukkan apa yang hendak dituju oleh seorang atau masyarakat seperti halnya yang terdapat dalam sastra propaganda atau sastra slogan Lekra. Ia dapat berupa sesuatu yang menjadi alat untuk membangkitkan rasa semangat, memulihkan kepercayaan diri sendiri dan melepaskan ketegangan-ketegangan batin. Di sinilah letak edukatif karya sastra.

(41)

commit to user

berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai cultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama.

Nilai dalam sastra menurut Waluyo (1992:28) adalah “kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan seseorang”. Hal ini berarti bahwa dengan adanya berbagai wawasan yang terkandung dalam karya sastra khususnya novel, menunjukkan bahwa pada dasarnya karya sastra akan selalu mengandung bermacam-macam nilai kehidupan yang akan sangat bermanfaat bagi pembaca.

Nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat bergantung pada persepsi dan pengertian yang diperoleh pembaca. Pembaca perlu menyadari bahwa tidak semua karya sastra dengan mudah dapat diambil nilai pendidikannya. Niali yang terdapat dalam karya sastra dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibacanya itu menyentuh diri dan perasaannya.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nilai sastra, yaitu sifat-sifat (hal-hal) atau merupakan sesuatu positif yang berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek).

Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai didik di dalamnya tidak hanya terbatas soal kabajikan dan moral saja, tetapi ada nilai lain yang lebih khas sastra. Walaupun masih banyak nilai lain, tetapi berbicara tentang nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral, etika dan kebajikan. Hal ini wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti pendidikan. Sastra memiliki nilai didik kesusilaan, mengandung nilai estetika, dan memperjuangkan hal-hal yang baik dan benar.

Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa nilai pendidikan yang bisa diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu diantaranya adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, dan sebagainya.

(42)

commit to user

1) Nilai Pendidikan Agama

Agama adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia sehingga dari pendidikan ini diharapkan dapat terbentuk manusia religius. Mangunwijaya (dalam Nurgiyantoro, 2002:327) menyatakan bahwa agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan hukum-hukum resmi. Religius, di pihak lain melihat aspek yang di lubuk hati, riak gentar nurani, totalitas ke dalam pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi.

Pernyataan diatas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:145) bahwa makin ia taat menjalankan syariat agama maka makin tinggi pula tingkat religiusitasnya. Di lain pihak, Dojosantoso ( dalam Suwondo, 1994:63) menyatakan bahwa “religius” adalah “ keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan”. Keterkaitan manusia secara sadar terhadap Tuhan merupakan cermin sikap manusia religius.

Nilai pendidikan agama atau keagamaan dalam karya sasta sebagaian menyangkut moral, etika, dan kewajiban. Hal ini menunjukkan adanya sifat edukatif (Nurgiyantoro, 2002: 317). Dasar dari pendidikan agama adalah hakikat mahluk yang beragaman. Tujuan pendidikan keagamaan adalah membentuk manusia yang beragama atau pribadi yang religius. Di samping itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 dan Pancasila sebagai falsafah Negara Republik Indonesia, pendidikan merupakan segi utama yang mendasari semua segi pendidikan lainnya. Norma-norma pendidikan kesusilaan maupun pendidikan kemasyarakatan ataupun sosial, sebagian besar bersumber dari agama. Betapa pentingnya pendidikan agama itu bagi setiap warga negara, terbukti dari adanya peraturan pemerintah yang mengharuskan pendidikan agama itu diberikan kepada anak-anak sejak pendidikan di taman kanak-kanak sampai tingkat pendidikan tinggi.

(43)

commit to user

Sering kita menjumpai karya sastra yang menampilkan cerita-cerita dan kisah-kisah yang penuh nilai didik. Karya sastra demikian itu sungguh potensial untuk digunakan sebagai sarana mengajarkan budi pekerti yang luhur dan teladan-teladan yang terpuji.

Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan di mana individu berada (Nurgiyantoro, 2002: 319). Pendidikan moral memungkinkan manusia memilih secara bijaksana yang benar dan yang salah atau tidak benar. Pesan-pesan moral memilih secara bijaksana yang benar dan yang salah atau tidak benar. Pesan-pesan moral disampaikan pengarang secara langsung dan bisa pula tidak secara langsung. Makin besar kesadaran manusia tentang baik dan buruk itu maka makin besar moralitasnya. Pendidikan besar sekali pengaruhnya atas perkembangan moralitas. Seseorang yang makin terang pengetahuannya tentang sesuatu yang baik dan yang tidak baik, akan mudah mengadakan pilihan.

Moral diartikan sebagai norma dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai pendidikan moral tersebut dapat mengubah perbuatan, perilaku, dan sikap serta kewajiban moral dalam masyarakat yang baik seperti budi pekerti, akhlak, dan etika (Widagdo, 2001:30).

Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti. Nilai-nilai pendidikan moral menujukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata krama yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.

Widagdo (2001: 31-32) mengemukakan bahwa seseorang belum dikatakan bermoral apabila dia melihat atau melakukan kejahatan dan tidak berusaha memberantasnya, hanya dengan alasan amal perbuatan dan kejahatan itu tidak mengenai atau merugikan dirinya. Sebagai pengemban nilai-nilai moral setiap orang harus merasa terpanggil untuk mengadakan reaksi, kapan, dan di mana saja melihat perbuatan yang menginjak nilai-nilai moral.

(44)

commit to user

moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu atau dari suatu kelompok yang meliputi, tata krama yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.

3) Nilai Pendidikan Sosial

Kata “sosial” berasal dari bahasa Latin Socio yang berarti “menjadikan teman”, kata socio juga berarti petunjuk umum kearah kehidupan bersama manusia dalam masyarakat ( Suwondo, 1994:128).

Sosial dapat diartikan hal-hal yang berkenan dengan masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial adalah aspek-aspek budaya. Hasan dan Salladin (1996:83) menyatakan nilai sosial adalah aspek-aspek budaya yang diupayakan oleh kelompok untuk memperoleh makna atau penghargaan yang tinggi. Pendapat lain dikemukakan oleh Bertrand (dalam Soelaeman, 1988:9) bahwa nilai sosial adalah suatu kesadaran dan emosi yang relatif lestari terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial karena ia tidak dapat lepas dalam hubungannya dengan manusia lain. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan kelompok dalam ikatan kekeluargaan antara individu satu dengan lainnya. Bertolak dari beberapa pengertian nilai sosial di atas dapat disimpulkan bahwa nilai sosial adalah suatu aspek-aspek budaya yang disertai kesadaran emosi terhadap objek untuk memperoleh makna atau penghargaan.

Karya sastra juga mengungkapkan nilai pendidikan sosial. Dengan membaca banyak karya sastra, diharapkan perasaan pembaca lebih peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, lebih dalam pengahayatan sosialitasnya, sehingga lebih mencintau keadilan dan kebenaran.

(45)

commit to user

berpadu dengan tata kehidupan sosial sebenarnya. Pada ahkirnya dapat dijadikan cermin atau sikap para pembacanya. (Suyitno, 1986: 31).

Nilai pendidikan sosial diambil dari sebuah cerita, dalam hal ini adalah novel bisa dari hal-hal yang bersifat positif ataupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar kita dapat memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru dan diteladani. Demikian pula segi negatif perlu dikatakan serta ditampilkan pada pembaca. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bias membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Nuraini tahun 2007 dengan judul “ Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami (Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nuraini, aspek yang dikaji adalah sosiologi sastra yaitu, kritik sosial. Kritik sosial yang terdapat di dalam novel Saman dan Larung dapat dilihat dari lapisan sosial masyarakatnya yang mengedepankan tingkat pendidikan dan ekonomi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nuraini tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat masalah sosial.

Dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong, masalah sosial yang ditampilkan adalah tentang kehidupan manusia yang serakah dan tidak bisa memanfaatkan hasil bumi dengan baik. Sehingga kehidupan mereka yang dulunya sejahtera dan penuh dengan hasil bumi yang melimpah menjadi penuh kesengsaraan. Karena seluruh hasil bumi yang dulu dijadikan penopang hidup, telah terkuras habis tanpa sisa.

(46)

commit to user

Karya. Hal tersebut menggambarkan cerita kehidupan yang sederhana dari seorang petani yang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya dan disertai pengorbanan dan keikhlasan untuk mencapai kesuksesan. Cara tokoh membangun ekonomi keluarga dengan mengetrapkan fungsi ekonomi. Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Bidadari-Bidadari Surga tentang kesadaran menyusun masa depan yang gemilang bagi generasi muda yang akan hidup di mana tantangan kehidupan makin kompleks dan beragam.

Penelitian tersebut juga menggunakan novel karya Tere Liye, tetapi berbeda judul novelnya. Meskipun bahan kajiannya sama, tetapi aspek yang dikaji berbeda. Dalam penelitian ini mengkaji tentang kritik sosial dan nilai pendidikan, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Susetianingsih lebih ke pandangan pengarang. Namun ada kesamaan, yaitu sama-sama mengkaji nilai pendidikan yang terdapat dalam novel, tetapi jelas berbeda nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Bidadari-Bidadari Surga dengan novel Ayahku (Bukan) Pembohong. Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel ini adalah perjuangan seorang anak dalam mengapai impian-impian dalam hidupnya dengan menjadikan cerita-cerita yang sederhana dari seorang ayah yang mampu menginspirasi anaknya menjadi orang hebat.

C. Kerangka Berpikir

Karya sastra merupakan cerminan realita kehidupan masyarakat. Untuk memahami dan menangkap makna karya sastra maka dibutuhkan sebuah pendekatan. Pendekatan sosiologi sastra, yaitu metode pengkajian sastra yang berorientasi kepada pandangan bahwa karya sastra adalah mimesis atau tiruan terhadap kenyataan. Sasaran pendekatan sosiologi sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah kritik sosial yang dikemukakan oleh pengarang dalam novel ini. Sebagai salah satu bahan kajian dalam pendekatan sosiologi sastra.

(47)

commit to user

dibahas di sini, yaitu: plot/ alur cerita, tema, penokohan, latar/setting, sudut pandang. Kelima untuk tersebut akan dikaji secara lengkap dalam penelitian ini.

Selanjutnya adalah mengkaji kritik sosial apa saja yang terdapat dalam novel ini. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra maka kritik sosial adalah salah satu bahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dengan mendalam. Kritik sosial yang ada dalam novel ini berkaitan dengan kehidupan pada zaman dahulu yang sarat dengan perampasan kekuasaan suatu suku yang hidup di masa itu. Penjajah dengan kejamnya mengambil alih harta benda dan kekuasaan yang dimiliki Suku Penguasa Angin dengan persenjataan modern yang mereka miliki, sehingga semua rakyat Suku Penguasa Angin hidup dalam kesengsaraan beratus-ratus tahun, karena mereka tidak memilki persenjataan untuk melawan penjajah. Selain itu, juga penjajah merusak mereka dengan candu (ganja) yang menjadikan rakyat Suku Penguasa Angin makin hancur dan rusak pula kehidupan mereka akibat candu tersebut.

(48)

commit to user

Untuk memperjelas kajian teori dan kerangka berpikir di atas dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Kerangka Berpikir Novel

Ayahku ( Bukan) Pembohong

Analisa Sosiologi Sastra

Struktur Novel Kritik Sosial

Nilai Pendidikan

(49)

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilaksanakan dengan studi pustaka, sehingga tidak terkait oleh tempat dan waktu penelitian karena objek yang dikaji adalah berupa naskah (teks) sastra, yaitu novel Ayahku (Bukan) Pembohong. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2012. Rincian waktu dan jenis kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan

Bulan/ Tahun 2012 No

Kegiatan

Waktu Jan Feb Maret April Mei Juni

1. Pengajuan Judul

2. Pengajuan Proposal

3. Perizinan Penelitian

4. Pengumpulan Data

5. Analisis Data

6. Penyusunan Laporan

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

(50)

commit to user

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen, yaitu kutipan kalimat-kalimat dari novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye yang diterbitkan oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama (Jakarta).

D. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis dokumen yang berupa novel. Langkah-langkah pengumpulan datanya sebagai berikut :

1. membaca novel Ayahku (Bukan) Pembohong; dan

2. mencatat kutipan kalimat-kalimat yang mengambarkan unsur intrinsik,

kritik sosial, dan nilai pendidikan dalam novel Ayahku (Bukan)

Pembohong

E. Validiatas Data

Dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan penulis adalah triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadapt data tersebut (Moleong,2001: 178).

Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Triangulasi teori, yaitu melakukan penelitian terhadap topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan teori yang berbeda-beda.

(51)

commit to user

F. Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu: (1) Reduksi data, (2) Penyajian data, dan (3) Penarikan kesimpulan ( Miles dan Huberman, 1992: 16-20). Ketiga komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Reduksi data (data reduction), yaitu kegiatan memilih data sesuai dengan objek kajian dalam penelitian.

Pada bagian ini langkah yang dilakukan, yaitu mencatat data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang terperinci. Data yang diambil berupa kata-kata tertulis dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere Liye yang mengungkapkan deskripsi tentang stuktur novel tersebut yang meliputi unsur-unsur intrinsik, kritik sosial, dan nilai pendidikan. Data dalam penelitian ini adalah informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan novel tersebut.

2. Penyajian data (data display), yaitu menyusun informasi atau data secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami dan dianalisis.

Kegiatan analisis data yang dilakukan adalah :

a. Menganalisis data yang berupa dialog maupun kalimat-kalimat yang diperoleh dari novel Ayahku (Bukan) Pembohong dan menunjang atau mewakili jawaban rumusan masalah.

b. Setelah analisi data diperoleh maka akan diperoleh deskripsi tentang unsur intrinsik, kritik sosial, dan nilai pendidikan yang terkandung

dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong.

c. Akan dibahas lebih dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong dengan

(52)

commit to user

3. Penarikan kesimpulan (conclusion drawing), yaitu kegiatan menyusun kesimpulan dari data yang sudah diperoleh sejak awal penelitian. Simpulan ini masih bersifat sementara, untuk itu perlu adanya verifikasi

(penelitian kembali tentang kebenaran laporan) selama penelitian berlangsung. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan dilakukan secara terus-menerus dari awal, saat penelitian berlangsung dan sampai ahkir penelitian. Untuk lebih jelas dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

Masa Pengumpulan Data ---

Reduksi Data

Antisipasi Selama Pasca

Penyajian Data = Analisis

Selama Pasca

Penarikan Kesimpulan

Selama Pasca

Gambar 2. Model Analisis Jalinan atau Mengalir (Sumber: Miles dan Huberman, 1992: 18)

G. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini melalui beberapa tahap, antara lain:

1. Pengumpulan data yang berupa kutipan dari novel Ayahku (Bukan)

Gambar

Gambar
Tabel
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Tabel 1. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Adapun ruang lingkup Sistem Manajemen Mutu (SMM) di Jurusan Teknik Industri adalah proses penerimaan mahasiswa, rekruitmen sumber daya manusia, pembelian atau

We hypothesized that compared with healthy volunteers, children with a parent with bipolar disorder (high- risk) would exhibit abnormalities in brain regions that regulate

Teknik Industri adalah disiplin keilmuan teknik yang berkonsentrasi pada perancangan, perbaikan dan instalasi sistem terintegrasi yang meliputi manusia, mesin, material,

We hypothesized that compared with healthy volunteers, children with a parent with bipolar disorder (high- risk) would exhibit abnormalities in brain regions that regulate

Mampu melakukan proses estimasi yang dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah perancangan, perbaikan, pemasangan dan pengoperasian sistem terintegrasi.. Mampu mengenali

We hypothesized that compared with healthy volunteers, children with a parent with bipolar disorder (high- risk) would exhibit abnormalities in brain regions that regulate

dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada Pengadilan Agama.

Sistem proteksi adalah susunan sejumlah perangkat proteksi secara lengkap yang terdiri dari perangkat utama dan perangkat-perangkat lain yang dibutuhkan untuk melakukan