commit to user SKRIPSI
HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN
FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH
Oleh :
Yuan Harnawan Pamungkas H0708160
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
i
HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN
FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH
SKRIPSI
untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Oleh :
Yuan Harnawan Pamungkas H0708160
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
ii SKRIPSI
HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN
FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH
Yuan Harnawan Pamungkas H0708160
Pembimbing Utama
Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi NIP.1962016 199002 1 001
Pembimbing Pendamping
Ir. Zainal Djauhari Fatawi, MS NIP.19490906 197903 1 001
Surakarta, 6 Agustus 2012
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
commit to user
iii SKRIPSI
HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN
FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH
yang dipersiapkan dan disusun oleh Yuan Harnawan Pamungkas
H0708160
telah dipertahankan di depan Tim Penguji
pada tanggal : 6 Agustus 2012
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Agroteknologi
Susunan Tim Penguji :
Ketua
Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi NIP.1962016 199002 1 001
Anggota I
Ir. Zainal Djauhari F, MS NIP.19490906 197903 1 001
Anggota II
commit to user
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Hubungan Gejala Visual Terhadap Infeksi Patogen Fusarium oxysporum f.
sp. cepae pada Benih Bawang Putih”. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret.
Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dukungan berbagai pihak, sehingga penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret.
2. Dr. Ir. Hadiwiyono, M.Si. selaku Ketua Program Studi Agroteknologi
Fakultas Pertanian UNS sekaligus Pembimbing Utama.
3. Ir. Zainal Djauhari Fatawi, M.S. selaku Pembimbing Pendamping dan
Pembimbing Akademik.
4. Dr. Ir. Endang Yuniastuti, M.Si. selaku Dosen Pembahas.
5. Keluarga yang saya sayangi, ibu Sri Yuharti, bapak Hari Gunawan, dan kakak
yang telah memberikan dukungan baik materi, semangat, dan doa.
6. Sahabat dan teman-teman Agroteknologi 2008 (Solmated) yang selalu solid.
7. Petani bawang putih Tawangmangu atas keramahan dan ilmu yang dibagikan.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini, yang tidak
bisa saya sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan
karya ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat kepada kita semua.
Surakarta, 6 Agustus 2012
commit to user
C. Perancangan Penelitian dan Analisis Data ... 13
D. Pelaksanaan Penelitian ... 16
E. Pengamatan Peubah ... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
A. Kondisi Umum Penelitian ... 20
B. Pengamatan Gejala Visual FOCe ... 22
C. Pengamatan Intensitas Penyakit Busuk Benih Bawang Putih ... 24
D. Laju Infeksi ... 32
E. Pengamatan Jamur FOCe Secara Mikroskopis ... 34
commit to user
vi
G. Pembahasan Umum ... 38
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
A. Kesimpulan ... 40
B. Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
commit to user
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul dalam Teks Halaman
1. Analisis varians pengaruh pengujian benih tanpa dipotong terhadap
insidens penyakit busuk benih Fusarium………. 25
2. Insidens penyakit busuk benih pengujian benih tanpa dipotong…………. 25
3. Hasil perhitungan laju infeksi tiap varietas benih bawang putih…………. 32
4. Anggapan petani Tawangmangu mengenai kenampakan visual benih bawang putih yang dikatakan sehat………. 35
5. Anggapan petani Tawangmangu mengenai penyakit busuk pangkal bawang putih dapat disebabkan oleh tular benih………. 36
6. Cara petani Tawangmangu memperoleh bibit bawang putih……….. 36
7. Perlakuan bibit yang dilakukan petani Tawangmangu……… 36
8. Cara penyimpanan bibit yang dilakukan petani Tawangmangu………….. 37
9. Legalitas bibit yang digunakan petani Tawangmangu……… 37
10. Cara penanggulangan penyakit busuk pangkal bawang putih yang dilakukan oleh petani Tawangmangu……….. 38
Judul dalam Lampiran 11. Deskripsi bawang putih………... 44
12. Insidens penyakit pengujian benih tanpa dipotong (%)……….. 46
13. Insidens penyakit pengujian benih dipotong melintang 2 bagian (%)…… 47
14. Hasil uji T pengujian benih tanpa dipotong………. 48
15. Hasil uji T pengujian benih dipotong melintang 2 bagian………... 48
16. Hasil uji T pengujian benih dipotong melintang 4 bagian………... 48
commit to user
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul dalam Teks Halaman
1. Gejala busuk pangkal pada daun dan umbi bawang putih………. 8
2. Fusarium oxysporum... 10
3. Benih bawang putih yang digunakan……….. 20
4. Pertanaman bawang putih di daerah Pancot, Kalisoro, Kecamatan
Tawangmangu………. 21
5. Gejala visual FOCeyang tampak pada benih bawang putih………... 22
6. Hubungan gejala visual terhadap hasil deteksi FOCe………. 23
7. Pengaruh benih tanpa dipotong (%) terhadap insidens penyakit busuk
benih Fusarium……….... 26
8. Nilai AUDPC pengujian benih tanpa dipotong………... 27
9. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 2 bagian (%) terhadap
insidens penyakit busuk benih Fusarium………. 28
10. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Tawangmangu Baru….. 30
11. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap
insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Lumbu Hijau…………. 31
12. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap
insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Lumbu Kuning……….. 31
13. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap
insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Bawang Jawa………… 32
14. Konidiospora Fusarium oxysporum f. sp. cepae………. 34
Judul dalam Lampiran
15. Visual benih varietas Bawang Jawa pada pengujian benih tanpa dipotong
setelah pengamatan minggu ketiga……….. 49
16. Visual benih varietas Lumbu Hijau pangkal pada pengujian benih
dipotong melintang 2 bagian setelah pengamatan minggu keempat……... 49
17. Visual benih varietas Lumbu Kuning pangkal 2 pada pengujian benih
dipotong melintang 4 bagian setelah pengamatan minggu keempat……... 49
18. Perbandingan visual benih bawang putih yang terinfeksi FOCe dan benih
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR
(Lanjutan)
Nomor Judul dalam Lampiran Halaman
19. Pembuatan media PDA dan Pengamatan harian………. 51
20. Perendaman benih ke dalam larutan Alkohol……….. 51
21. Proses pengambilan isolat untuk preparat pengamatan mikroskopis…….. 51
22. Cawan petri tampak dari bawah menunjukkan pembusukan benih……… 52
23. Wawancara pengambilan data kuesioner dengan petani di Blumbang…... 52
commit to user
x
commit to user
x
RINGKASAN
HUBUNGAN GEJALA VISUAL TERHADAP INFEKSI PATOGEN
FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE PADA BENIH BAWANG PUTIH.
Skripsi: Yuan Harnawan Pamungkas (H0708160). Pembimbing: Hadiwiyono,
Zainal D. Fatawi, Endang Yuniastuti. Program Studi: Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Bawang putih merupakan komoditas pertanian penting, namun produksi bawang putih dalam negeri belum dapat memenuhi permintaan pasar. Masalah yang dihadapi dalam budidaya bawang putih adalah penyakit busuk pangkal yang disebabkan Fusarium oxysporum f. sp. cepae (FOCe) yang merupakan penyebab berkurangnya hasil bawang putih, selama di lahan maupun selama penyimpanan. Infeksi jamur tersebut dapat melalui FOCe yang terbawa benih. Oleh karena itu, perlu penelitian tentang aspek pengelompokan gejala visual bawang putih melalui pengujian benih. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara gejala visual dengan persentase benih bawang putih yang terinfeksi FOCe.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Tawangmangu, Karanganyar mulai Februari 2012 sampai Juli 2012. Penelitian dilaksanakan dengan tiga tahapan, yaitu pengujian benih tanpa dipotong, pengujian benih dipotong melintang 2 bagian, dan pengujian benih dipotong melintang 4 bagian. Setiap unit perlakuan 20 benih diletakkan secara menyebar dengan jarak sama. Analisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dilakukan setelah didapatkan intensitas penyakit melalui persentase perbandingan jumlah benih yang diidentifikasi busuk FOCedengan jumlah benih keseluruhan.
commit to user
xi SUMMARY
RELATIONSHIP OF VISUAL SYMPTOMS TO PATHOGENS
INFECTION FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE ON GARLIC
SEED. Thesis-S1: Yuan Harnawan Pamungkas (H0708160). Advisers:
Hadiwiyono, Zainal D. Fatawi, Endang Yuniastuti. Study Program: Agrotechnology, Faculty of Agriculture, University of Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Garlic is an important agricultural commodity, but the domestic production has not covered the market demand. Problems encountered in the cultivation of garlic is often the disease. Basal rot caused by Fusarium oxysporum f. sp. cepae (FOCe) is one of the factors causing the loss of garlic, while in the field or during storage. The pathogen easily spread by seed. Therefore, the necessary research on clustering aspects of visual symptoms of garlic through testing the seed. This study aims to assess the relationship visual symptoms with the percentage of infection FOCe seed-borne.
This research was held in the Laboratory of Plant Pests and Diseases belong to the Faculty of Agriculture, the University of Sebelas Maret (UNS) in Surakarta and in Tawangmangu, Karanganyar, Central Java. The research was carried out on Pebruary 2012 until July 2012. The research was conducted in three stages of testing with no section, two parts of section, and four parts section. A unit treatment was consist of 20 seeds. The research was analysed by completely randomized design. Analyses were performed after the disease intensity obtained by the percentage of the number of seeds identified as being rotten (diseased) FOCe by overall seeds.
The results showed that visual symptoms was related to the percentage of infected seed garlic by FOCe, however a symptomatic seeds are still infected. The pathogen on seed-borne garlic has significant potential symptoms seen from the results shown by each of the varieties that have been tested. Area Under the
Disease Progress Curve value of testing with no section in Tawangmangu Baru
commit to user
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan komoditas pertanian yang
sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Sayuran umbi ini banyak digunakan
sebagai salah satu bumbu dapur utama. Permintaan masyarakat pada bawang
putih yang tinggi menyebabkan banyak petani menanam sayuran ini, namun
produksi bawang putih dalam negeri belum dapat menutupi permintaan tersebut,
sehingga impor bawang putih masih menjadi pilihan. Surabaya Post (2012)
memberitakan bahwa bawang putih impor dari China menguasi pasar dalam
negeri berdasarkan data Badan Pusat Statistik, yakni sepanjang 2011 sebanyak
419,1 ribu ton bawang putih impor masuk ke tanah air.
Secara umum bawang putih hanya cocok ditanam di dataran tinggi,
meskipun sekarang ditemukan beberapa varietas toleran dataran rendah. Bawang
putih diduga merupakan keturunan bawang liar Allium longicurpis Regel, yang
tumbuh di daerah Asia Tengah yang beriklim subtropik (Wibowo 2003). Masalah
yang dihadapi dalam budidaya bawang putih seringkali ialah didapatinya
penyakit. Busuk pangkal yang disebabkan Fusarium oxysporum f. sp. cepae
(FOCe) merupakan salah satu faktor penyebab kehilangan hasil bawang putih,
selama di lahan maupun selama penyimpanan (Widodo et al. 2008).
Akhir-akhir ini, busuk pangkal telah menjadi penyakit endemi di daerah
sentra produksi bawang putih di Tawangmangu. Lebih dari 92 % lahan
penanaman bawang putih di daerah tersebut telah terjangkit Fusarium oxysporum
f. sp. cepae (Hadiwiyono et al. 2009). Fusarium sp. merupakan jamur penyebab
penyakit tular tanah (soilborne disease) yang dapat bertahan secara alami di
dalam media tumbuh (tanah) dan pada akar-akar tanaman sakit dalam jangka
waktu yang relatif lama. Pelaksanaan usaha tani yang dilakukan saat ini, yang
hanya berdasar pengalaman mengenai pemilihan benih dapat menimbulkan
ledakan serangan patogen. Infeksi dapat melalui FOCe yang terbawa benih. Oleh
karena itu, perlu penelitian tentang aspek pengelompokan gejala visual bawang
putih melalui pengujian benih yang sehat dan pengujian varietas.
commit to user
2
Berdasarkan pengujian dan pengamatan fenotipe menunjukkan bahwa
terjadinya ledakan serangan Fusarium oxysporum f. sp. cepae di Tawangmangu
disebabkan oleh adanya penanaman bawang putih yang terus menerus dan
ditanam secara campuran dengan bawang merah dan bawang putih serta
penggunaan agrokimia yang intensif (Fatawi et al. 2003). Pengamatan gejala
visual bawang putih dikaitkan dengan potensi terjadinya infeksi Fusarium
oxysporum f. sp. cepae yang terbawa benih. Moyer (2011) mengatakan bahwa
jamur ini menyerang jaringan bagian vaskuler dan mengakibatkan busuk pangkal
pada tanaman inangnya dengan cara menghambat aliran air pada jaringan xilem.
Karakteristik fenotipe inilah yang diuji untuk didapatkan hubungan gejala visual
terhadap persentase infeksi patogen pada benih bawang putih.
Pengujian awal yang menunjukkan bahwa patogen terbawa benih belum
diketahui seberapa besar potensinya. Untuk kepentingan lapangan perlu teknik
identifikasi yang lebih aplikatif di tingkat petani seperti berdasarkan gejala visual.
Pengujian yang dilakukan dengan penumbuhan benih pada medium PDA
memberikan informasi awal bahwa gejala visual infeksi Fusarium oxysporum f.
sp. cepae. Akhirnya perlindungan bawang putih dari serangan patogen tersebut
dapat dilakukan secara terpadu dan terarah serta tepat guna sehingga dapat
menurunkan tingkat kerusakan dan penurunan hasil produksi.
B.Perumusan Masalah
Busuk pangkal yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. sp. cepae telah
menjadi penyakit endemi pertanaman bawang putih di Tawangmangu. Penyakit
ini sangat merugikan karena yang terserang patogen umumnya umbi sebagai hasil
tanaman menjadi busuk, sehingga besarnya kerugian sama dengan insidens
penyakit. Pengujian awal menunjukkan bahwa patogen tersebut terbawa benih.
Namun seberapa besar potensi patogen terbawa benih belum diketahui. Di
lapangan pengujian laboratorium tidak mungkin dilakukan secara langsung oleh
petani. Oleh karena itu perlu teknik identifikasi yang lebih aplikatif di tingkat
petani seperti berdasarkan gejala visual. Berdasarkan permasalahan yang ada,
commit to user
1. Bagaimana cara identifikasi gejala visual pada benih bawang putih (Allium
sativum L.) yang terinfeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae?
2. Berapa potensi Fusarium oxysporum f. sp. cepae sebagai patogen pada
bawang putih (Allium sativum L.) terbawa benih?
3.
Bagaimana hubungan gejala visual bawang putih (Allium sativum L.)dikaitkan dengan infeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae yang terbawa
benih?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi gejala visual pada benih bawang putih (Allium sativum L.)
yang terinfeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae.
2. Mengkaji seberapa besar potensi Fusarium oxysporum f. sp. cepae sebagai
patogen pada bawang putih (Allium sativum L.) yang terbawa benih.
3. Menganalisis hubungan antara gejala visual pada benih bawang putih (Allium
sativum L.) dengan infeksi Fusarium oxysporum f. sp. cepae yang terbawa
benih.
D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat mengetahui hubungan gejala visual pada benih
bawang putih (Allium sativum L.) yang terinfeksi patogen Fusarium oxysporum f.
sp. cepae untuk memberikan teknik identifikasi yang lebih aplikatif di tingkat
petani berdasarkan gejala visual. Selain itu, dapat dijadikan sebagai informasi
pentingnya pencegahan terhadap kemungkinan munculnya penyakit sekaligus
commit to user
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Bawang Putih (Allium sativum L.)
Beberapa macam bawang putih dapat ditemukan dalam beberapa catatan
sejarah. Genus Allium (familia untuk bawang-bawangan) terdiri dari tidak kurang
600 spesies yang tersebar di seluruh dunia. Bawang putih atau garlic berasal dari
bahasa Inggris kuno “gar” yang berarti tombak atau ujung tombak dan “lic” yang berarti umbi atau bakung. Garlic terkadang juga dinamakan dengan Allium
sativum yang berasal dari bahasa Celtic “All” yang berarti berbau tidak sedap dan
“sativum” yang berarti tumbuh (Atmadja 2002). Di Indonesia bawang putih disebut dengan banyak nama, yaitu lasuna moputi (di Menado), sedang pia moputi
(di Gorontalo), lasuna kebo (di Makasar), bawang (di Jawa), dan bawang bodas
(di Priangan) (Wibowo 2003).
1. Arti Ekonomi Budidaya Bawang Putih
Bawang putih (Allium sativum L) selain dikenal sebagai sayuran yang
penting, juga merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru ekonomi dalam
pembangunan pertanian. Bawang putih ini dianggap sebagai komoditas potensial
terutama untuk subsitusi impor dan dalam hubungannya dengan penghematan
devisa. Inflasi Kota Solo yang tercatat pada Juni 2012 dinilai relatif tinggi yang
disebabkan karena adanya kenaikan harga pada beberapa komoditas termasuk
bahan makanan yang turut andil sebesar 0,6877 persen. Bahan makanan
merupakan penyumbang inflasi terbesar dan bawang putih menyumbang sebesar
0,1303 persen, melebihi komoditi pokok lainnya (Hastuti 2012).
Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, bahwa 95% kebutuhan
bawang putih nasional dipenuhi oleh impor. Sementara sisanya berasal dari
produksi petani dalam negeri. Produksi dalam negeri Indonesia hanya 5% yaitu
12.000 ton per tahun. Bawang putih asal China lebih digemari konsumen karena
berukuran lebih besar dan lebih murah. Sampai saat ini impor bawang putih masih
diperlukan untuk menyangga harga (IPOTNews 2011).
commit to user
2. Morfologi dan Taksonomi Bawang Putih
Menurut Wibowo (2003), bawang putih tumbuh tegak dengan tinggi 30-60
cm dan membentuk rumpun. Sebagaimana kelompok monokotiledon, bawang
putih berakar serabut yang tidak panjang dan tidak terlalu dalam berada dalam
tanah. Perakaran yang demikian menyebabkan bawang putih tidak tahan
kekeringan. Daun bawang putih berbentuk pipih, rata, dan agak melipat ke dalam.
Kelopak daunnya tipis tetapi kuat membungkus kelopak daun di dalamnya yang
lebih muda, sehingga membentuk batang semu. Kelopak-kelopak daun inilah
yang membalut umbi yang terdapat di bagian buah tanaman.
Jenis bawang putih yang ditanam di suatu tempat sering dijumpai berbeda
dengan jenis yang ditanam di daerah lain. Perbedaan jenis bawang putih tersebut
dapat dilihat dari besar tanaman, umur panen, produktivitas tanaman, ukuran
umbi, jumlah dan ukuran siung, bentuk dan warna umbi, kandungan zat kimia,
ketahanan terhadap penyakit, persyaratan tumbuh, dan lainnya. Jenis bawang
putih yang banyak ditemui adalah Lumbu hijau (Allium sativum L. var. lumbu
hijau), Lumbu kuning (Allium sativum L. var. lumbu kuning), Cirebon (Allium
sativum L. var. cirebon), Tawangmangu (Allium sativum L. var. tawangmangu),
dan jenis Ilocos (Allium sativum L. var. ilocos) dari Filipina (Wibowo 2003).
Taksonomi bawang putih dalam USDA Plant Database (2012) adalah:
Kingdom : Plantae
Bawang putih adalah tanaman semusim berbatang semu dan berwarna hijau.
Bagian bawahnya bersiung-siung, bergabung menjadi umbi besar berwarna putih.
Tiap siung terbungkus kulit tipis, daunnya berbentuk pipih memanjang, tepi rata,
ujung runcing, beralur, panjang 60 cm dan lebar 1,5 cm, berakar serabut,
commit to user
6
3. Ekologi dan Budidaya Bawang Putih
Bawang putih untuk tumbuh baik dengan hasil optimum, diperlukan kondisi
ekologi tertentu. Iklim, tanah, dan air merupakan tiga faktor utama yang perlu
mendapat perhatian. Ketinggian tempat yang mempunyai hubungan erat dengan
suhu udara merupakan faktor penting dalam budidaya bawang putih (Wibowo
2003). Jenis bawang putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 700
m sampai lebih 1.100 m di atas permukaan laut, sedangkan jenis bawang putih
untuk dataran rendah cocok ditanam pada ketinggian 200-250 m di atas
permukaan laut (Santoso 1988).
Habitus bawang putih berupa herba, semusim, dan tinggi tanaman berkisar
50-60 cm. Kondisi lingkungan hidup meliputi keadaan tanah yaitu keadaan fisika
dan kimia tanah, keadaan topografi tanah (kemiringan, ketinggian tempat) dan
faktor iklim yang meliputi curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, dan angin.
Intensitas cahaya matahari berpengaruh terhadap produktivitas tanaman bawang
putih dalam menghasilkan umbi dan pertumbuhan tanaman (Cahyono 1992).
Bawang putih tumbuh baik di daerah dataran tinggi karena selama
pertumbuhan memerlukan udara yang sejuk dan kering. Di daerah dataran rendah
tanaman ini sulit membentuk umbi. Bawang putih termasuk tanaman sayuran
yang tidak tahan air hujan, sehingga biasanya ditanam pada awal musim kemarau
(Warsito dan Soedijanto 1981). Bawang putih ideal ditanam pada musim kemarau
di daerah tropis, yaitu bulan Mei - Juli. Penanaman bawang putih pada musim
hujan tidak dianjurkan karena cuaca terlalu basah, kelembaban dan suhu udara
tidak baik untuk pertumbuhan bawang putih dan hasil (Nazaruddin 1994).
Penanaman bawang putih dapat dilakukan satu atau dua kali setahun dengan
mengadakan penyesuaian varietas. Pola tanam bawang putih dalam setahun dapat
dirotasikan sebagai berikut: a) Bawang putih - sayuran - bawang putih, b) Bawang
putih - sayuran tumpang sari palawija - bawang putih, dan c) Bawang putih -
tumpang sari palawija atau sayuran. Penggunaan jarak tanam yang sesuai
dapat meningkatkan hasil umbi per hektar. Jarak tanam yang terlalu rapat akan
menghasilkan umbi yang relatif kecil walaupun hasil per satuan luas meningkat.
commit to user
B.Busuk Pangkal Bawang Putih
1. Arti Ekonomi Busuk Pangkal Bawang Putih
Busuk pangkal yang disebabkan oleh F. oxysporum f. sp. cepae telah
menjadi penyakit yang merugikan dan mengancam pertanaman bawang putih di
Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah sehingga menjadi kendala baru sejak
musim tanam 2000. Berdasarkan hasil identifikasi penyakit, busuk pangkal
Fusarium yang ada di Tawangmangu disebabkan oleh Fusarium oxysporum
Schlecht. f. sp. cepae (Hanz.) Snyd. et. Hans (Fatawi et al. 2003). Menurut Havey
(1995) inang utama F. oxysporum f. sp. cepae adalah bawang bombay (Allium
cepa), namun dapat sangat merugikan juga pada bawang putih (Allium sativum),
bawang merah (Allium ascalonicum), dan bawang daun (Allium fistulosum).
Permintaan umbi bawang putih di California, Amerika Serikat menurun
seiring peningkatan jumlah penyakit busuk pangkal yang cukup tinggi (University
of Minnesota 2012). Pengembangan bawang putih di suatu daerah secara intensif
dan terus-menerus juga memberikan dampak negatif dengan adanya peningkatan
serangan patogen penyebab penyakit bawang putih yang cukup signifikan. Busuk
pangkal yang disebabkan F. oxysporum f. sp. cepae merupakan salah satu faktor
penyebab kehilangan hasil bawang putih sejak 1973, selama di lahan maupun
selama penyimpanan (Widodo et al. 2008).
2. Gejala Busuk Pangkal Bawang Putih
Infeksi penyakit busuk bangkal terjadi pada bagian jaringan pembuluh
xilem. Akibat gangguan pada jaringan xilem, tanaman menunjukkan gejala layu,
daun menguning, dan akhirnya mati. Gejala layu seringkali disertai gejala klorosis
dan nekrosis pada daun. Gejala yang terjadi pada tanaman yang layu fusarium
adalah menguningnya daun dari tepi daun selanjutnya menjadi coklat dan mati
secara perlahan hingga tulang daun. Menguning dan matinya daun-daun dimulai
dari daun yang lebih tua. Hal ini disebabkan patogen menginfeksi tanaman
melalui luka pada akar dan masuk kedalam jaringan xilem melalui aktivitas air
sehingga merusak dan menghambat proses menyebarnya air dan unsur hara ke
commit to user
8
Gambar 1. Gejala busuk pangkal pada daun (kiri) dan umbi bawang putih (kanan) (Sumber: University of Minnesota 2012).
Patogen busuk pangkal bawang putih menyebabkan gejala daun mati dari
ujung dengan cepat atau layu. Apabila tanaman dicabut terjadi pembusukan pada
perakaran dan atau umbi terutama mulai dari pangkal umbi sehingga sesuai
gejalanya disebut penyakit busuk pangkal. Pada umbi yang busuk sering dijumpai
tanda penyakit berupa miselium jamur yang berwarna putih. Di Tawangmangu,
pada musim tanam 2000 serangan patogen paling tinggi 10 %, namun dari tahun
ke tahun meningkat dan pada musim tanam 2002 insidens penyakit dapat
mencapai 60 %. Penyakit paling sering muncul pada tanaman yang menjelang
siap panen, namun pada musim tanam 2003 penyakit telah dapat dijumpai pada
tanaman umur 15 hari setelah tanam. Penyakit ini tentu sangat merugikan karena
tanaman yang terserang patogen umumnya umbi sebagai hasil tanaman menjadi
busuk, sehingga besarnya kerugian sama dengan insidens penyakit, karena umbi
bawang tanaman yang terserang tidak lagi laku dijual (Fatawi et al. 2003).
Penyakit busuk pangkal ini berkembang pesat pada suhu tanah 21-33 0C,
dengan suhu optimum 28 0C, serta kelembaban tanah tinggi. Serangan hebat
terjadi pada tanah yang mengandung banyak kalium, atau tanah yang
mengandung bahan organik tinggi tetapi drainase buruk. Suhu yang meningkat
selain membantu pertumbuhan Fusarium oxysporum, dapat mengakibatkan
pelunakan pada akar tanaman yang menyebabkan akar tanaman menjadi mudah
luka dengan pelunakan dan luka pada perakaran tersebut sangat memudahkan
commit to user
C.Fusarium oxysporum f. sp. cepae
Agrios (2005) menyatakan bahwa seluruh populasi jamur patogen di dunia
mempunyai ciri morfologi tertentu yang seragam dan membentuk spesies patogen,
tetapi beberapa individu dari spesies tersebut hanya menyerang tanaman inang
tertentu. Individu tersebut membentuk kelompok yang dinamakan “Formae
specialis”. Setiap forma spesialis menyerang beberapa varietas tumbuhan inang
tertentu tidak menyerang beberapa varietas lainnya masing-masing kelompok
individu ini dinamakan dengan ras.
Gen yang menjadikan tumbuhan inang rentan terhadap suatu patogen
tertentu terdapat hanya pada inang atau mungkin juga pada beberapa tumbuhan
inang yang berkerabat. Burgess et al. (2001) menambahkan, bahwa sifat
morfologi dan urutan DNA yang dianalisis menandai adanya hubungan genetika
antara masing-masing Fusarium. Selain itu, kekhususan gen juga menentukan
kemampuan daya hidup dari suatu mikroba patogen yang berpengaruh terhadap
virulensi yang dimiliki. Daya hidup berarti lamanya suatu organisme atau mikroba
dapat disimpan dan masih mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan
berkembang yang tinggi.
F. oxysporum f. sp. cepae menyerang bawang putih yang luka pada waktu
penyiangan, panen, pengangkutan, atau pada waktu pemotongan daun. Gejala
pada umbi terserang patogen adalah umbi membusuk dan berwarna kuning coklat,
umbi bawang putih menjadi “gembus”. Penyakit Fusarium dapat menyebabkan layu pada daun bawang putih, gejalanya dimulai dari pucuk daun (Santoso 1988).
Jamur penyebab layu Fusarium ini dalam WikiGardener (2010) klasifikasinya
commit to user
10
1. Morfologi Fusarium oxysporum
Morfologi Fusarium oxysporum menurut Semangun (2004) yaitu memiliki
struktur yang terdiri dari mikronidium dan makronidium. Jamur ini membentuk
miselium bersekat dan pada permukaan koloninya berwarna merah muda atau
ungu, tepi bergerigi, permukaan kasar berserabut dan bergelombang. Pada
miselium yang lebih tua terbentuk klamidospora. Konidiofor bercabang, rata-rata
mempunyai panjang 70µm. Cabang-cabang samping biasanya bersel 1,
panjangnya sampai 14µm. Konidium terbentuk pada ujung cabang utama atau
cabang samping. Miselium terutama terdapat di dalam sel khususnya di dalam
pembuluh, juga membentuk miselium yang terdapat di antara sel-sel, yaitu di
dalam kulit dan di jaringan parenkim di dekat terjadinya infeksi.
a. Konidiofor, b. Makrokonidia, c. Klamidospora, d. Mikrokonidia Gambar 2. Fusarium oxysporum (Sumber: University of Illinois 2010).
Koloni Fusarium biasanya berwarna merah muda sampai biru violet dengan
bagian tengah koloni berwarna lebih gelap dibandingkan dengan bagian pinggir.
Saat konidium terbentuk, tekstur koloni menjadi seperti wol atau kapas (Fran dan
Cook 1998). Agrios (2005) menyatakan F. oxysporum mampu menyebabkan
penyakit pada tanaman budidaya disebabkan oleh gen virulensi patogen yang
khusus untuk satu atau beberapa jenis tumbuhan inang yang berkerabat. Gen yang
menjadikan tumbuhan inang rentan terhadap patogen tertentu atau mungkin juga
commit to user
2. Daur Hidup Penyakit
Temperatur optimum untuk pertumbuhan F.oxysporum f. sp. cepae berkisar
antara 24 0C sampai 27 0C yang berpengaruh pada diameter koloni dan berat
kering setelah 146 dan 177 jam. Suhu tanah dapat menjadi faktor utama yang
memberikan respon untuk perkembangan busuk pangkal Fusarium bawang dalam
kondisi lahan di pegunungan, yang umumnya dingin dalam sebagian stadium
pertumbuhannya (Abawy dan Lorbeer 1972).
Winarsih (2007) menerangkan bahwa inokulum patogen dapat masuk
melalui akar dengan penetrasi langsung atau melalui luka. Di dalam jaringan
tanaman, patogen dapat berkembang secara interseluler maupun intraseluler.
Klamidospora dapat berkecambah bila ada rangsangan eksudat akar yang
mengandung gula dan asam amino, juga dapat dirangsang dengan penambahan
residu tanaman ke dalam tanah. Klon tanaman rentan tidak dapat ditanam kembali
hingga 30 tahun pada tanah yang sudah terinfeksi Fusarium. Di dalam tanah
Fusarium bertahan sebagai parasit pada gulma bukan inangnya. Ujung akar atau
bagian permukaan rizoma yang luka merupakan daerah awal utama dari infeksi.
Daur hidup Fusarium oxysporum mengalami fase patogenesis dan
saprogenesis. Pada fase patogenesis, jamur hidup sebagai parasit pada tanaman
inang. Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai
saprofit pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi
sumber inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran
propagul dapat terjadi melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa
oleh alat pertanian dan manusia (Winarni 2004).
Fusarium sp. menghasilkan tiga macam toksin yang menyerang pembuluh
xilem yaitu asam fusaric, asam dehydrofusaric, dan lycomarasmin. Toksin-toksin
tersebut akan mengubah permeabilitas membran plasma dari sel tanaman inang
sehingga mengakibatkan tanaman yang terinfeksi lebih cepat kehilangan air
daripada tanaman yang sehat. Selain terinfeksi oleh jamur yang berada dalam
tanah, tanaman dapat juga menjadi sakit karena jamur yang terbawa oleh bibit
yang diambil dari tanaman sakit. Penyakit juga dibantu oleh tanah yang
commit to user
12
3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit
Soesanto (2002) mengatakan penyebaran F. oxysporum dipengaruhi oleh
keadaan pH yaitu dari kisaran keasaman tanah yang memungkinkan F. oxysporum
tumbuh dan melakukan kegiatannya. Sementara itu, suhu di dalam tanah erat
kaitannya dengan suhu udara di atas permukaan tanah. Suhu udara yang rendah
akan menyebabkan suhu tanah yang rendah, begitu pula sebaliknya. Suhu selain
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, juga terhadap perkembangan
penyakitnya. F. oxysporum mampu hidup pada suhu tanah antara 10 - 24°C,
meskipun hal ini tergantung pula pada isolat jamurnya.
Fusarium sp. merupakan jamur patogen tular tanah atau “soil-borne
pathogen” yang termasuk parasit lemah. Jamur ini menular melalui tanah atau
rimpang yang berasal dari tanaman jahe sakit, dan menginfeksi tanaman melalui
luka pada rimpang. Luka tersebut dapat terjadi karena pengangkutan benih,
penyiangan, pembumbunan, atau karena serangga dan nematoda (Hariyanto
1990). Lebih lanjut dikatakan, apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan,
jamur bertahan hidup dalam rimpang, baik di lapangan maupun selama masa
penyimpanan. Pada saat kondisi lingkungan menguntungkan, jamur akan
menyebabkan pembusukan rimpang dan menular ke rimpang yang lain. Walaupun
rimpang sudah tertular, gejala penyakit belum tampak karena memerlukan waktu
beberapa bulan dan bila digunakan sebagai bibit sebagian besar tanaman akan
terinfeksi jamur patogen tersebut.
Menurut Sastrahidayat (1990), Fusarium oxysporum sangat sesuai pada
tanah dengan kisaran pH 4,5-6,0; tumbuh baik pada biakan murni dengan kisaran
pH 3,6-8,4; sedangkan untuk pensporaan, pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan
yang terjadi pada tanah dengan pH di bawah 7,0 adalah 5-20 kali lebih besar
dibandingkan dengan tanah yang mempunyai pH di atas 7. Pada pH di bawah 7,
pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan
terjadi pada pH di bawah 3,6 atau di atas 8,8. Suhu optimum untuk pertumbuhan
jamur Fusarium oxysporum adalah 200C dan 300C, maksimum pada 370C atau di
bawahnya, minimum sekitar 50C, sedangkan optimum untuk pembentukan spora
commit to user
III. METODE PENELITIAN
A.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan pada Februari 2012 sampai Juli 2012.
Pengujian benih bawang putih dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Survei di
tingkat petani bawang putih Tawangmangu dilakukan di Kelurahan Gondosuli,
Kelurahan Blumbang, dan Kelurahan Kalisoro.
B.Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian benih bawang putih dengan empat
varietas yaitu Tawangmangu Baru, Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, dan Bawang
Jawa, media PDA (Potato Dextrose Agar), aquades, asam laktat 3%, alkohol 90%,
spirtus, formalin, dan air.
Alat yang digunakan bak plastik, Laminar Air Flow (LAF), autoklaf, gelas
ukur, erlenmeyer, saringan, cawan petri, tabung reaksi, jarum inokulasi, jarum
ose, pipet, mikroskop, label, pisau, pinset, kompor listrik, panci, plastik, kapas,
tisu, alat tulis, kamera optilab, dan kamera digital.
C.Perancangan Penelitian dan Analisis Data
Perancangan penelitian dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu pengujian benih
tanpa dipotong, pengujian benih dipotong melintang 2 bagian, dan pengujian
benih dipotong melintang 4 bagian.
1. Pengujian benih tanpa dipotong
Penelitian ini dilakukan dengan pengujian benih bawang putih bagian utuh
(tanpa dipotong) pada PDA. Rancangan penelitian disusun berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 ulangan. Perlakuan terdiri dari
sejumlah benih bawang putih yang berasal dari daerah yang berbeda yaitu:
A1 = Varietas Tawangmangu Baru
A2 = Varietas Lumbu Hijau
A3 = Varietas Lumbu Kuning
A4 = Varietas Bawang Jawa
commit to user
Dengan demikian akan diperoleh 32 unit perlakuan, yaitu:
A1U1 A1U2 A1U3 A1U4 A1U5 A1U6 A1U7 A1U8
Setiap unit perlakuan 18 benih diletakkan secara menyebar dengan jarak sama.
2. Pengujian benih dipotong melintang 2 bagian
Penelitian ini dilakukan dengan pengujian benih bawang putih dipotong
melintang 2 bagian antara bagian ujung dan pangkal (cross section) pada PDA.
Rancangan penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 4 ulangan. Perlakuan meliputi benih bawang putih yang berbeda yaitu:
A1 = Varietas Tawangmangu Baru - ujung
A2 = Varietas Lumbu Hijau - ujung
A3 = Varietas Lumbu Kuning - ujung
A4 = Varietas Bawang Jawa - ujung
B1 = Varietas Tawangmangu Baru - pangkal
B2 = Varietas Lumbu Hijau - pangkal
B3 = Varietas Lumbu Kuning - pangkal
B4 = Varietas Bawang Jawa - pangkal
Dengan demikian akan diperoleh 32 unit perlakuan, yaitu:
A1U1 A1U2 A1U3 A1U4
commit to user
3. Pengujian benih dipotong melintang 4 bagian
Penelitian dilakukan dengan pengujian benih bawang putih yang dipotong
melintang 4 bagian pada PDA. Rancangan penelitian disusun berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari:
A1 = Varietas Tawangmangu Baru - ujung 1
A2 = Varietas Lumbu Hijau - ujung 1
A3 = Varietas Lumbu Kuning - ujung 1
A4 = Varietas Bawang Jawa - ujung 1
C1 = Varietas Tawangmangu Baru - pangkal 1
C2 = Varietas Lumbu Hijau - pangkal 1
Dengan demikian akan diperoleh 64 unit perlakuan, yaitu:
A1U1 A1U2 A1U3 A1U4
commit to user
Analisis data penelitian akan menggunakan uji T (T Test). Analisis kualitatif
meliputi data visual yang dianalisis dengan menggunakan metode. Sedangkan
data kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam berdasarkan
uji F (Fisher’s Test) taraf 5% dan 1%, apabila terdapat beda nyata dilanjutkan
dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) taraf 5% dan 1%.
D.Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan benih
Memilih benih bawang putih yang didapatkan dari penjual benih di
Tawangmangu, masing-masing sekitar 1 kg dengan 4 varietas (Tawangmangu
Baru, Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, dan Bawang Jawa). Kemudian dilakukan
pemilihan benih sesuai jumlah yang akan ditumbuhkan di PDA. Dalam pemilihan
benih dilakukan pensortiran kondisi benih yang masih baik yang akan digunakan,
serta dilakukan penyeragaman ukuran benih yang sama untuk tiap cawan petri.
2. Sterilisasi alat dan media
Alat-alat cawan petri, labu erlenmeyer, dan gelas ukur dicuci dengan
detergen, kemudian dikeringkan lalu dimasukkan di autoklaf. Alat tersebut di
setrilisasi dalam autoklaf pada temperatur 1210C, 17,5 psi selama 60 menit.
Begitu juga dengan PDA instant yang akan digunakan telah siap, maka media
tersebut disterilkan di autoklaf.
3. Penanaman bawang putih
Menanam benih bawang putih empat varietas (Tawangmangu Baru, Lumbu
Hijau, Lumbu Kuning, dan varietas Bawang Jawa) di dalam cawan petri pada
media PDA 25 ml yang sudah ditambahkan asam laktat 3% sebanyak 2-3 tetes.
Sebelum ditanam di PDA, benih tersebut direndam terlebih dahulu ke dalam
alkohol 90% selama 5 menit. Benih bawang putih dipilih yang berukuran seragam
dan tampak sehat diletakkan secara menyebar dengan jarak yang sama. Untuk
penananam pengujian benih cross section dilakukan pemotongan bagian sama
besar ujung dan pangkal benih.
commit to user
4. Pengamatan Fusarium
Mengamati setiap hari sampai muncul gejala Fusarium oxysporum f. sp.
cepae kurang lebih 14 hari setelah inkubasi. Pengamatan ini merupakan saat hari
pertama muncul Fusarium. Pengamatan visual fenotipe meliputi warna, struktur,
miselium, bercak (spot), dan browning dengan cara melihat langsung perubahan
pada medium PDA.
5. Pengamatan intensitas penyakit
Pengamatan dilakukan secara destruktif melalui intensitas penyakit yang
tampak dimulai saat terdapat gejala busuk pangkal dengan interval pengamatan 3
hari sekali. Namun untuk pengolahan datanya disederhanakan menjadi 1 minggu
sekali.
6. Survei benih sehat versi petani
Melakukan survei secara random kepada pemilihan benih bawang putih
yang sehat versi petani Tawangmangu yang merupakan daerah pengambilan benih
dan sekaligus sentra penanaman bawang putih. Bertujuan untuk memperoleh data
pendukung mengenai kenampakan visual benih bawang putih yang dikatakan
sehat dan layak dijual. Juga untuk mendapatkan informasi terkait aspek tindak
budidaya yang dilakukan oleh petani di Tawangmangu.
E.Pengamatan Peubah
1. Tipe gejala
Perkembangan variasi gejala diamati pada kenampakan bagian benih secara
visual yang terserang infeksi patogen Fusarium oxysporum f. sp. cepae yaitu
berupa warna, struktur, miselium, bercak (spot), dan browning. Pengamatan
dilakukan secara destruktif. Kemudian dilanjutkan dengan membuat scooring
pada tipe gejala visual tersebut. Identifikasi tipe gejala secara sederhana
dikelompokkan bagaimana yang tidak berkenampak gejala dan bagaimana yang
bergejala.
commit to user
2. Saat muncul gejala
Pengamatan saat muncul gejala diamati kapan pertama kali gejala muncul
dan pada unit perlakuan yang mana gejala busuk pangkal muncul hingga
kerusakan benih.
3.
Nilai Area Under the Disease Progress Curve (AUDPC)Nilai AUDPC diperoleh dari hasil pengamatan insidens penyakit.
Perhitungan AUDPC untuk mengetahui jumlah penyakit dalam suatu populasi
yang merupakan area di bawah kurva perkembangan penyakit.
ti
Mengamati persentase perbandingan jumlah benih yang diidentifikasi
mengalami busuk (sakit) karena Fusarium oxysporum f. sp. cepae,dengan jumlah
benih keseluruhan. Insidens penyakit dihitung berdasarkan nilai scooring dengan
rumus:
Mengamati laju infeksi yang dihitung berdasarkan rumus laju infeksi Van
commit to user
6. Benih sehat versi petani
Pengelompokan hasil survei benih sehat versi petani, yang digolongkan ke
dalam karakteristik maupun kenampakan khusus yang diidentifikasi dari rekapan
data yang didapat melalui pengalaman dan pengamatan petani. Data pendukung
mengenai anggapan penyakit busuk pangkal karena tular benih, asal benih,
commit to user
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Kondisi Umum Penelitian
Bawang putih dapat diperoleh dengan membelinya di pasar. Begitu juga
ketika kita ingin mendapatkan benih bawang putih tersebut yang tersedia cukup
banyak, khususnya di daerah sentra penanaman seperti di Tawangmangu, Jawa
Tengah. Benih bawang putih umumnya dapat diperoleh di kios penjual benih atau
diperoleh dari hasil panen sebelumnya, tetapi mungkin tidak setiap orang tahu
kualitas benih bawang putih.
Penelitian menguji benih bawang putih empat varietas (Gambar 3) yaitu
Tawangmangu Baru, Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, dan Bawang Jawa.
Sebagaimana jenis bawang putih yang banyak ditemui di Indonesia adalah jenis
Lumbu hijau (Allium sativum L. var. lumbu hijau), Lumbu kuning (Allium sativum
L. var. lumbu kuning), Cirebon (Allium sativum L. var. cirebon), Tawangmangu
Allium sativum L. var. tawangmangu), jenis Ilocos (Allium sativum L. var. ilocos)
dari Filipina dan jenis Thailand (Wibowo 2003). Umumnya yang digunakan
sebagai benih bukan seluruh umbinya, melainkan hanya siungnya saja. Umbi yang
dipecah menjadi siung dipilah berdasar keseragaman ukuran siung.
a. Tawangmangu Baru, b. Lumbu Hijau, c. Lumbu Kuning, d. Bawang Jawa Gambar 3. Benih bawang putih yang digunakan
20
commit to user
Benih bawang putih yang baik penting untuk mendapatkan pertumbuhan
lapang dan hasil yang tinggi. Sebaiknya benih bawang putih memenuhi
kriteria-kriteria berikut. a). Bagian pangkal batang padat (berisi penuh dan keras). b).
Siung berpenampilan licin dan tegar, tidak kisut. c). Tunas terlihat segar bila siung
dipatahkan. d). Berat siung sekitar 1,5-3 g, bentuk normal. e). Bebas
hama-penyakit. Bila benih yang digunakan 3 g/siung maka kebutuhan per hektarnya
adalah 1.600 kg. Sedang untuk ukuran siung kecil (sekitar 1 g) menghabiskan 670
kg/ha. Meskipun yang ditanam sebagai benih adalah siung, tetapi kalau membeli
benih sebaiknya dalam bentuk umbi. Hal itu disebabkan bawang putih dalam
bentuk umbi lebih tahan lama daripada bentuk siung. Umbi boleh dipecah menjadi
siung paling tidak 1-2 hari sebelum tanam (Budiarti 2010).
Gambar 4. Pertanaman bawang putih di daerah Pancot, Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu
Daerah Tawangmangu telah banyak dikenali sebagai lokasi penanaman dan
penghasil bawang putih. Tidak heran saat survei diketahui bahwa Tawangmangu
termasuk dalam rencana pengembangan bawang putih secara nasional oleh
Kementerian Riset dan Teknologi yang menghendaki kluster daerah sesuai
potensi. Diharapkan daerah Tawangmangu nantinya dapat memenuhi permintaan
commit to user
22
Hasil observasi lapang juga mencatat bahwa khususnya lahan di daerah
Pancot, Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu (Gambar 4) difokuskan untuk
seluruhnya dialihkan kepada penanaman bawang putih. Periode tahun 2012
dilakukan Sekolah Lapang GAP Bawang Putih Kegiatan Tugas Pembantuan
Hortikultura. Harapan untuk memperoleh jumlah produksi yang meningkat akan
bertambah dari pemanfaatan lahan di Tawangmangu. Mengingat di Indonesia
sampai saat ini varietas bawang putih yang berkembang umumnya memiliki
potensi hasil yang jauh lebih rendah dibanding potensi hasil di daerah subtropis.
Oleh karena itu, pengoptimalan lahan menandakan upaya meningkatkan produksi
bawang putih nasional. Di samping tentunya menekan permasalahan penyakit
busuk pangkal yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
B.Pengamatan Gejala Visual FOCe
Gejala awal merupakan indikasi paling memungkinkan untuk deteksi FOCe.
Gejala yang teridentifikasi pada benih bawang putih dapat menunjukkan seberapa
besar intensitas penyakit karena FOCe dan kaitannya dengan kondisi benih
umumnya di tingkat petani. Pengamatan visual yang meliputi warna, struktur,
miselium, bercak (spot), dan browning. Identifikasi tipe gejala dilakukan secara
sederhana dikelompokkan yang bergejala dan tidak berkenampak gejala.
a. Benih yang tidak bergejala, b. Benih yang bergejala bercak (spot), c. Benih yang bergejala browning
Gambar 5. Gejala visual FOCeyang tampak pada benih bawang putih bercak (spot)
commit to user
Warna struktur benih yang tampak dari munculnya jamur FOCe pada benih
bawang putih dalam medium PDA menunjukkan gejala visual FOCeseperti yang
terlihat kenampakannya pada Gambar 5. Gejala visual yang dideteksi dari bercak
(spot) dideskripsikan terdapat spot melingkar kecil kecoklatan yang menyatu.
Gejala visual yang dideteksi berdasarkan browning yaitu kenampakan struktur
benih bawang putih yang seperti sudah berkenampakan busuk kecoklatan. Kondisi
browning juga tampak struktur yang terkesan lebih lunak.
Warna koloni yang tampak pada medium PDA berbeda. Pada awalnya
semua koloni memiliki warna sama (putih), kemudian menjadi berbagai warna
sesuai bentuk khusus Fusarium sp. (Sastrahidayat 1990). Fusarium oxysporum
ditumbuhkan pada medium PDA mula-mula miseliumnya berwarna putih,
semakin tua menjadi berwarna krem atau kuning pucat, serta dalam keadaan
tertentu akan berwarna merah muda agak ungu dengan miselium bersekat dan
membentuk percabangan (Semangun 1999). Perbedaan warna yang tampak pada
jamur dikarenakan adanya kandungan zat seperti asam amino yang diproduksi
oleh isolat, yang berperan dalam pertumbuhan spora (Susetyo 2010).
Hasil pengamatan gejala visual fenotipe FOCe secara lengkap disajikan
dalam Gambar 6 berikut. Keempat varietas menunjukkan perbedaan hasil
perolehan persentase gejala yang terdeteksi dari bercak (spot) dan browning.
commit to user
24
Gejala visual berpengaruh terhadap hasil deteksi FOCe pada benih bawang
putih, dengan diperoleh hasil pada varietas Tawangmangu Baru yang terdapat
gejala bercak (spot) sebesar 20,83% dari total benih keseluruhan. Dari jumlah
tersebut didapatkan sebesar 18,75% benih yang terinfeksi FOCe. Kemunculan
gejala browning dideteksi sebesar 9,72%, sedangkan benih yang dapat terinfeksi
FOCe sebesar 7,64%.
Perbandingan jumlah benih yang bergejala dan tidak bergejala menunjukkan
bahwa terdapat identifikasi gejala visual pada benih bawang putih yang terinfeksi
patogen FOCe. Semangun (1999) menyatakan bahwa setiap fase pertumbuhan
tanaman memiliki kerentanan berbeda yang menyebabkan jenis penyakit dominan
yang menyerang setiap fase pertumbuhan berbeda pula. Pada masa-masa tersebut
ada penyakit yang menjadi penyakit utama dan ada pula yang dapat diabaikan.
Mengetahui jenis penyebab penyakit (patogen) yang benar adalah penting untuk
menentukan pengendalian yang harus dilakukan. Gejala-gejala visual kunci suatu
penyakit menjadi petunjuk kepada penentuan patogen penyebabnya.
Pengamatan jamur FOCe secara makroskopis, dapat dikatakan bahwa jamur
yang dikulturkan pada medium padat seperti agar dekstrosa kentang (PDA)
memiliki penampilan yang berbeda-beda meskipun berasal dari tanaman dengan
inang yang sama (Sastrahidayat 1989), dan secara umum miselium udara pertama
kali muncul adalah warna putih. Salah satu hal yang mempengaruhi hal tersebut
adalah konsentrasi perolehan cahaya (Moyer 2011).
C.Pengamatan Intensitas Penyakit Busuk Benih Bawang Putih
Pengujian benih dan pengujian varietas sangat penting artinya untuk
mengetahui seberapa besar potensi gejala FOCe yang terbawa benih pada bawang
putih. Berdasarkan pengamatan gejala visual FOCe diperoleh hasil yang dapat
dikaitkan dengan hasil pengamatan intensitas penyakit bahwa benih yang tidak
bergejala masih menunjukkan persentase benih yang terinfeksi FOCe. Intensitas
penyakit yang diamati juga dijadikan sebagai dasar penghitungan laju infeksi.
Intensitas penyakit dinyatakan dengan insidens bila penyakit bersifat sistemik
commit to user
1. Hasil pengujian benih tanpa dipotong
Pengamatan jamur FOCe pada media PDA dilakukan mulai dari minggu
ke-1 sampai minggu ke-8. Hasil analisis pengujian benih bawang putih tanpa
dipotong disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis varians pengaruh pengujian benih tanpa dipotong terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium
Tabel 1 menunjukkan bahwa berpengaruh nyata dengan perbandingan
varietas yang dapat memberikan gambaran potensi busuk pada benih atau
persentase insidens penyakit yang menjelaskan masing-masing kemampuan
ketahanan benih terhadap penyakit FOCe.
Tabel 2. Insidens penyakit busuk benih pengujian tanpa dipotong
Varietas Insidens Penyakit
Tawangmangu Baru 100,00 a
Lumbu Hijau 97,22 a
Lumbu Kuning 89,58 ab
Bawang Jawa 85,41 b
Varietas Tawangmangu Baru tertinggi dari hasil analisis lanjutan DMRT
(Tabel 2) yang berbeda nyata yaitu sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa
varietas tersebut pada perlakuan lebih tinggi dibandingkan perlakuan varietas
lainnya. Penanaman pada media PDA dilakukan karena media PDA diyakini
sebagai media penanaman yang steril dan memiliki kandungan penyakit yang bisa
commit to user
26
Gambar 7. Pengaruh benih tanpa dipotong (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium
Hasil pengamatan pada Gambar 7 menunjukkan jamur FOCe memiliki
tingkat rata-rata intensitas penyakit busuk pangkal bawang putih yang berbeda
(lihat Tabel 12 Lampiran 2). Pada varietas Tawangmangu Baru, intensitas
penyakit busuk pangkal bawang putihnya adalah yang paling tinggi. Varietas
tersebut pada minggu ke-6 persentase insidens penyakit sudah mencapai 100%,
yang artinya semua benih varietas tersebut mengalami penyakit busuk.
Berbeda dengan hasil varietas Lumbu Hijau yang insidens penyakit 97,22%.
Jumlah tersebut cukup tinggi, mengingat varietas tersebut dikatakan sebagai salah
satu varietas unggulan yang banyak dikembangkan. Jumlah tertinggi berikutnya
varietas Lumbu Kuning dengan insidens penyakit 89,58%. Varietas bawang putih
terkenal seperti Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning kurang mampu beradaptasi
dengan dataran rendah. Lumbu Hijau cocok untuk dataran tinggi, sedangkan
Lumbu Kuning masih toleran dengan dataran medium (Amazing 2012).
Pengujian benih tanpa dipotong juga mendapatkan hasil varietas Bawang
Jawa memiliki insidens penyakit terendah yang hanya sebesar 85,41%. Apabila
dikaitkan dengan sejarah benih varietas tersebut diketahui bahwa jenis ini sudah
lama diintroduksikan kepada masyarakat khususnya para petani. Informasi
menyatakan petani Tawangmangu menggunakan jenis bawang putih varietas
Bawang Jawa sejak puluhan tahun lalu, dan dikenal umumnya lebih tahan karena
commit to user
Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan varietas Tawangmangu
Baru dengan intensitas penyakit paling besar. Realita di lapang, diketahui
memang varietas ini adalah jenis bawang putih yang tergolong baru
diintroduksikan kepada masyarakat. Hasil umbinya terbilang besar, namun
seringkali tingkat keparahan penyakit di lapangan menyebabkan kehilangan hasil.
Hardiyanto et al. (2007) menyatakan untuk diameter umbi, klon Tawangmangu
masih lebih unggul dibandingkan klon lainnya. Jumlah siung per umbi, sebagian
besar berkisar antara 14-19 siung. Meskipun demikian, ada beberapa klon seperti
klon Sanggah dan Ciwidey yang jumlah siungnya berkisar 6-8 siung per umbi.
Bawang yang ditanam kadang-kadang tidak tumbuh karena kesalahan teknis
penanaman atau faktor bibit. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam
suatu lahan ada tanaman yang tidak tumbuh sama sekali, ada yang tumbuh lalu
mati, dan ada yang pertumbuhannya tidak sempurna. Jika keadaan ini dibiarkan,
maka produksi yang dikehendaki tidak tercapai.
Nilai Area Under the Disease Progress Curve (AUDPC)
Nilai AUDPC tertinggi pada Tawangmangu Baru sebesar 603,47 (Gambar
8), dan yang terkecil pada varietas Bawang Jawa 421,88. Perhitungan AUDPC ini
dilakukan untuk mengetahui jumlah penyakit dalam suatu populasi yang
merupakan area di bawah kurva perkembangan penyakit.
commit to user
28
Hasil yang diperoleh dari perhitungan AUDPC selaras dengan nilai yang
diperoleh dari hasil pengamatan insidens penyakit. Besarnya potensi patogen
FOCe dari data tersebut menunjukkan FOCe sebagai patogen yang penting pada
bawang putih yang terbawa benih. Keempat varietas benih menandakan tingkat
kerentanan benih masih sangat perlu diperhatikan agar tidak lagi mengurangi hasil
produksi di lapang.
2. Hasil pengujian benih dipotong melintang 2 bagian
Pengamatan jamur FOCe pengujian kedua dilakukan mulai dari minggu
ke-1 sampai minggu ke-7. Hasil pengujian benih bawang putih melalui pemotongan
melintang 2 bagian antara bagian ujung dan pangkal disajikan pada Gambar 9.
a. Tawangmangu Baru, b. Lumbu Hijau, c. Lumbu Kuning, d. Bawang Jawa
Gambar 9. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 2 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium
a
b
commit to user
Hasil pengujian benih dipotong melintang 2 bagian menunjukkan bahwa
terdapat pembusukan benih dengan perlakuan dipotong. Bahkan penyakit busuk
pangkal bawang putih ini dapat muncul gejala pada bagian ujung siung. Walaupun
berdasarkan hasil pengamatan jumlah kemunculan gejala dari bagian ujung tidak
terlalu besar, namun apabila dikaitkan dengan jenis bawang putih bergejala paling
tinggi pengujian benih utuh yaitu varietas Tawangmangu Baru pun didapati hasil
yang cukup tinggi untuk kemunculan gejala dari bagian ujung benihnya.
Wibowo (2003) mengungkapkan pada pangkal tanaman tampak akar-akar
membusuk dan pada dasar umbi terlihat jamur yang berwarna keputih-putihan
pada permukaan bagian lapisan yang membusuk. Jika umbi dipotong membujur
tampak adanya pembusukan yang berair, yang kemudian meluas ke atas maupun
ke samping dan pangkal umbi. Infeksi akhir dari lapangan, di gudang cendawan
F. oxysporum dapat menginfeksi mulai dari dasar umbi, kemudian berkembang ke
dalam umbi dan menjadi sumber infeksi pada pertanaman berikutnya.
Tawangmangu Baru bagian pangkal memiliki insidens penyakit tertinggi
yaitu 91,25%. Kemunculan gejala tampak jelas dan cepat menyebar dari minggu
ke minggu ditandai miselium berwarna putih kemudian berkembang menjadi
berwarna merah muda dan ungu. Persentase tertinggi berikutnya bagian ujung
varietas Tawangmangu Baru yaitu sebesar 60,89%. Kedua bagian varietas ini
menghasilkan potensi gejala terbesar di antara bagian dari varietas lainnya.
Apabila dijumlahkan, total dari varietas Tawangmangu Baru ini dideteksi patogen
benih FOCe menghasilkan persentase insidens penyakit sebesar 152,14%.
Hasil pengujian mendapatkan potongan melintang varietas Bawang Jawa
bagian pangkal dengan persentase insidens penyakit yang paling rendah 1,25%.
Bukti kualitas benih varietas Bawang Jawa yang sudah lama digunakan untuk
penanaman. Seperti dikatakan Budiarti (2010) bahwa sebelum kebijakan
swasembada bawang putih dicanangkan, Tawangmangu sudah dikenal sebagai
wilayah penanaman bawang putih, yaitu bawang putih lokal yang disebut sebagai
Bawang Jawa. Bentuknya kecil-kecil tetapi rasanya lebih pedas daripada bawang
putih impor. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa bagian pangkal dan ujung
commit to user
30
Berdasarkan hasil pengamatan, bagian struktur benih memiliki potensi
untuk pengujian benih dan sebagai teknik deteksi FOCe. Keberhasilan usaha tani
bawang putih sangat ditunjang faktor benih karena produksinya tergantung dari
mutu benih yang digunakan. Benih harus bermutu tinggi, berasal dari tanaman
yang pertumbuhannya normal, sehat, serta bebas dari hama dan patogen.
3. Hasil pengujian benih dipotong melintang 4 bagian
Pengamatan dilakukan dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7. Pengujian
benih bawang putih melalui pemotongan melintang 4 bagian disajikan pada
Gambar 10-13. Varietas Lumbu Hijau pangkal 2 merupakan yang tertinggi yaitu
sebesar 75%. Insidens penyakit pada varietas Bawang Jawa menunjukkan potensi
gejala terendah. Sampai akhir pengamatan hanya didapatkan hasil paling tinggi
yaitu 18,75% pada Bawang Jawa pangkal 1.
Gambar 10. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Tawangmangu Baru
Perbandingan antar bagian benih bawang putih varietas Tawangmangu Baru
yang dipotong melintang (Gambar 10) menghasilkan persentase insidens penyakit
yang dominan terjadi gejala busuk pada bagian pangkal. Tertinggi yaitu bagian
pangkal irisan ke-2 yang bergejala sebesar 57,67% pada akhir pengamatan.
commit to user
Gambar 11. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Lumbu Hijau
Gambar 11 menunjukkan bagian pangkal benih Lumbu Hijau dominan
gejala penyakit disebabkan FOCe, dengan persentase insidens penyakit tertinggi
yaitu pada bagian pangkal irisan ke-2 yang bergejala sebesar 75% dan merupakan
nilai tertinggi dari keseluruhan benih yang diujikan potong melintang 4 bagian.
Gambar 12. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Lumbu Kuning
Pengamatan antar bagian benih bawang putih varietas Lumbu Kuning yang
dipotong melintang menjadi 4 bagian (Gambar 12) menghasilkan persentase
insidens penyakit yang dominan pada bagian pangkal. Tertinggi yaitu bagian
commit to user
32
Gambar 13. Pengaruh pemotongan benih secara melintang 4 bagian (%) terhadap insidens penyakit busuk benih Fusarium varietas Bawang Jawa
Gambar 13 menunjukkan bagian pangkal 1 benih Bawang Jawa bergejala
penyakit FOCe. Nilai persentase insidens penyakit pada akhir pengamatan yaitu
sebesar 18,75%. Dapat dikatakan tergolong rendah intensitas penyakitnya.
D.Laju Infeksi
Hasil analisis laju infeksi dari masing-masing varietas benih bawang putih
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 17 Lampiran 4). Laju infeksi
sangat dipengaruhi besarnya intensitas penyakit. Berdasarkan rumus laju infeksi
Van der Plank (1963) diperoleh nilai laju infeksi tertinggi berasal dari varietas
Tawangmangu Baru (0,148 unit/hari). Nilai laju infeksi terendah dari varietas
Bawang Jawa (0,127 unit/hari). Selengkapnya disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil perhitungan laju infeksi tiap varietas benih bawang putih
Varietas
Laju Infeksi (unit/hari) pada minggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8
Tawangmangu
Baru 0,915 0,187 0,056 0,015 0,006 0,004 0,001 0,001 0,148 Lumbu Hijau 0,865 0,170 0,075 0,044 0,005 0,001 0,002 0,006 0,146 Lumbu Kuning 0,875 0,183 0,055 0,014 0,005 0,005 0,004 0,009 0,143
Bawang Jawa 0,571 0,260 0,083 0,058 0,014 0,017 0,012 0,002 0,127