• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi kasus perceraian di desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen dan dampaknya pada sikap anak dalam pergaulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi kasus perceraian di desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen dan dampaknya pada sikap anak dalam pergaulan"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

i Skripsi

Oleh : Eny Retnowati NIM K 6404025

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii Oleh : Eny Retnowati NIM. K.6404025

SKRIPSI

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Jurusan Pandidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

iii

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(4)

iv

untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Pada Hari : Kamis

Tanggal : 11 Februari 2010

Tim Penguji Skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Machmud A.R, SH, M.Si (...)

Sekretaris : Rini Triastuti, SH, M.Hum (...)

Anggota I : Dra. CH. Baroroh, M.Si (...)

Anggota II : Drs. H. Utomo, M.Pd (...)

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

(5)

v

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Februari 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) penyebab terjadinya perceraian di Desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen, (2) sikap anak terhadap perceraian orang tuanya, (3) perbedaan sikap dalam pergaulan antara anak yang orang tuanya bercerai dengan yang tidak bercerai.

Penelitian ini mengunakan metode diskriptif kualitatif. Populasi penelitian adalah masyarakat desa Gebang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling (sampel bertujuan). Teknik analisis data yang digunakan adalah kualitatif dengan tehnik analisis data secara induktif dengan model analisis interaktif.

Berdasarkan hasil kesimpulan: (1) penyebab perceraian yaitu adanya orang ketiga dalam keluarga (PIL/WIL), adanya pertengkaran yang terus-menerus, tidak dapat memberi keturunan, adanya KDRT, dan faktor ekonomi atau penghasilan, (2) sikap anak terhadap perceraian orang tuanya yaitu anak sangat tidak setuju, tidak happy, merasa sedih, kecewa, trauma, malas bahkan binggung karena meraka harus memilih ikut ayah atau ibunya (3) perbedaan sikap dalam pergaulan setelah orang tua bercerai bahwa sikap anak dalam pergaulan yang berasal dari keluarga yang bercerai di lingkungan keluarga mereka menjadi anak yang pendiam, murung. Dalam lingkungan sekolah banyak yang putus sekolah, tidak naik kelas dan nilai anjlok di karenakan anak tidak mempunyai rasa percaya diri, minder dengan teman-temanya dan jarang berkomunikasi. Dalam lingkungan masyarakat anak cenderung melampiaskan semua masalah dengan jalan pintas yaitu bergaul dengan anak yang nakal, suka bergadang bersama teman-teman, jarang pulang bahkan ada yang sampai terjerumus dalam alkhoholisme yang berdampak buruk bagi kesehatan dan bertingkah laku buruk dalam masyarakat. Sedangkan sikap anak dalam pergaulan dari keluarga yang utuh mereka mendapatkan kasih sayang dan perhatian serta pengawasan dari orang tua secara berlebih. Anak dari keluarga utuh menganggap orang tua mereka sebagai teman. Jadi mereka bisa bercerita dan mengungkapkan segala permasalahan dengan orang tua dalam suatu keluarga.

(6)
(7)

vii

Karya ini dipersembahkan Kepada : 1. Ayah dan Ibu terhormat 2. Kakak tercinta

(8)

viii

skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagaimana persyaratan dalam mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak mengalami hambatan, tetapi berkat bantuan berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu dengan tersusunya skripsi ini penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.

2. Ketua jurusan Pendidikan Ilmu Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini.

3. Ketua Progam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberi ijin dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dra. CH. Baroroh, MSi, sebagai Pembimbing I yang telah mencurahkan segenap perhatian dan memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Drs. H. Utomo, MPd, sebagai Pembimbing II yang telah mencurahkan perhatian, waktu dan doa serta memberi bimbingan dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Kepala Pengadilan Agama Sragen yang telah memberi ijin dan memberikan data-data yang peneliti butuhkan.

7. Kepala Kantor Urusan Agama Masaran yang telah memberikan ijin dan memberikan data-data yang peneliti butuhkan.

(9)

ix masyarakat pada umumnya.

Surakarta, Februari 2010

(10)

x

1. Tinjauan tentang Perceraian ……….. a. Pengertian Perceraian ……….. b. Alasan-Alasan Perceraian ……….. c. Bentuk-Bentuk Perceraian ………. d. Faktor Penyebab Perceraian ………

e. Akibat Perceraian ………

2. Tinjauan tentang Keluarga Sakinah Mawaddah

(11)

3. Tinjauan tentang Sikap Anak ... a. Pengertian tentang Sikap ……….

1) Ciri-Ciri dan unsur-unsur Sikap ... 2) Pembentukan dan Hal-Hal yang mempengaruhi

Sikap………... 3) Cara Pengukuran Sikap ... b. Pengertian tentang Anak ……… c. Perbedaaan antara Sikap Anak dalam Keluarga Utuh

dengan Keluarga yang Bercerai………... 4. Tinjauan Pergaulan...

a. Pengertian Pergaulan... b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergaulan... c. Ruang Lingkup Pergaulan... d. Bentuk-Bentuk Pergaulan... e. Perbedaan Sikap Anak dalam Pergaulan Antara

Keluarga Utuh dengan Keluarga yang Bercerai…….. B.Kerangka Pemikiran... BAB III METODOLOGI PENELITIAN...

A. Tempat dan Waktu Penelitian ………. B. Tempat dan Strategi Penelitian ………..

(12)

1. Penyebab Terjadinya Perceraian dalam Perkawinan…... 2. Sikap Anak Terhadap Perceraiaan Orang Tua... 3. Perbedaan Sikap Anak dalam Pergaulan antara Keluarga

Utuh dengan Keluarga yang Bercerai………

C. Temuan Studi... BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN...

A. Kesimpulan... B. Implikasi... C. Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN...

50 54 54 62

65 71 74 74 75 76 78 80 xi

(13)

xiii

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian... 36

Tabel 2. Luas dan Penggunaan Tanah di Desa Gebang... 48

Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Gebang Dalam Umur dan Kelamin... 49

Tabel 4. JumlahPenduduk Menurut Mata Pencaharian... 50

Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenjang Pendidikan... 50

Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Agama... 50

Tabel 7. Jumlah Sarana Peribadatan di Desa Gebang... 51

Tabel 8. Banyaknya Perceraian diKantor Urusan Agama Masaran... 52

Tabel 9. Data Perceraian yang Masuk Ke Kelurahan Gebang... 53

Tabel 10. Prosentase Jumlah Faktor-Faktor Penyebab Perceraian diWilayah Kabupaten Sragen... 59

Tabel 11. Sikap Anak Terhadap Perceraian Orang Tua... 62

Tabel 12. Perasaan Anak Terhadap Perceraian Orang Tua……….. 63

Tabel 13. Sikap Anak dalam Pergaulan dari Keluarga yang Bercerai…… 67

(14)

xiv

(15)

xv

Lampiran 3. Hasil Wawancara... 83

Lampiran 4. Trianggulasi Data... 113

Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian dari Universitas Sebelas Maret... 115

Lampiran 6. Surat Rekomendasi Research/Survei dari BAPPEDA... 116

Lampiran 7. Surat Keterangan Telah Mengadakan penelitian dari Pengadilan Agama Sragen... 117

Lampiran 8. Surat Keterangan Telah Mengadakan Penelitian dari Kantor Urusan Agama Masaran... 118

Lampiran 9. Surat Keterangan Telah Mengadakan Penelitian dari Kelurahan Gebang... 119

(16)

1

Pria dan wanita saling membutuhkan dan masing-masing mengharapkan ketenangan, ketentraman, cinta kasih sayang dari yang lain. Mereka saling memerlukan dan untuk menyalurkan cita rasa, pemikiran dan isi hatinya. Mereka ingin menjadikan yang lain sebagai tempat mengadu, menumpahkan keluhan, dan mengungkapkan rahasia-rahasia. Mereka ingin bersama-sama menghadapi manis dan pahitnya, lapang sempitnya dan senang susahnya kehidupan. Mereka saling membantu untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan masing-masing dengan mengesampingkan segala kepedihan dan kesedihan dan rasa individu serta bersama-sama membina kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi segala masalah kehidupan. Untuk mencapai semua itu diperlukan satu ikatan yang sah antara pria dan wanita.

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat, perkawinan tidak hanya sekedar menyangkut pria dan wanita sebagai calon mempelai, tetapi dalam perkawinan dituntut tanggung jawab dari kedua belah pihak dalam peranan sebagai orang tua yang kelak akan mempunyai keturunan.

Menurut Undang-Undang Perkawian No.1 tahun 1974 dalam pasal 1 merumuskan pengertian bahwa, ''Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa''.

(17)

Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa manusia melakukan perkawinan bertujuan untuk kesejahteraan keluarga, kerukunan keluarga, mencegah perzinahan dan meneruskan keturunan.

Perkawinan merupakan ketentuan yang Allah gariskan untuk manusia agar dapat mengembangkan tugas didalam kehidupannya. Walaupun pada dasarnya melakukan perkawinan itu adalah bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan sehingga harus diputuskan di tengah jalan atau terjadi perceraian antara suami istri. Perceraian dalam keluarga di sebabkan karena adanya orang ketiga adanya ketidakcocokan antara suami isteri dan adanya faktor ekonomi serta faktor biologis.

Perceraian dalam sebuah keluarga dapat menyebabkan dampak bagi suami istri yang melakukan cerai, bagi masyarakat dan banyak berdampak pada anak yang merupakan buah hati dari hasil perkawinan kedua orang tua tersebut. Dampak perceraian banyak mempengaruhi anak dalam kehidupan yang akan mereka jalani baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun kehidupan bermasyarakat. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sariyatun yang

tertulis dalam skripsinya yang berjudul “Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap

Perkembangan Kepribadian Anak di Desa Singodutan Kecamatan Selogiri

Kabupaten Wonogiri tahun 2004” Halaman 49:

“Bahwa perceraian orang tua akan selalu membawa dampak sangat besar bagi kehidupan nantinya di dalam masyarakat, dampak perceraian inipun juga mengakibatkan perkembangan kepribadian anak menjadi terganggu dan tidak baik. Dampak tersebut adalah bahwa seorang anak bisa menjadi buruk tingkah lakunya yang tadinya baik didalam masyarakat, seorang anakpun menjadi seorang pemalu, pemurung suka melamun serta anakpun bisa menjadi rendah prestasinya di sekolah bahkan anak menjadi

malas untuk sekolah”.

(18)

mengendalikan hal-hal yang berkaitan dengan konsekuensi dari perceraian orang tuanya daripada anak laki-laki. Problem anak laki-laki yang orang tuanya bercerai biasanya lebih serius. Hal ini dikarenakan anak laki-laki lebih rasional, sedangkan anak perempuan lebih mampu memendam perasaan. Dampak negatif perceraian yang bisa timbul pada anak antara lain anak menjadi pembangkang dan rendah diri dan takut menjalin kedekatan dengan lawan jenis. Setelah dewasa anak menjadi takut menjalin hubungan seperti pernikahan. Selain itu, sikap anak menjadi pendendam pada orang tuanya, terlibat drugs dan alkohol, serta timbul pikiran untuk bunuh diri.

Anak merupakan generasi penerus dan tulang punggung bangsa. Oleh karena itu, anak harus bersikap dan berkepribadian yang baik, sehingga anak akan menjadi generasi dan sumber daya manusia yang berkualitas. Anak menjadi berkualitas dipengaruhi oleh bebarapa faktor salah satunya adalah orang tua. Orang tua sangat berpengaruh bagi perkembangan anak karena antara orang tua dan anak saling berinteraksi terus menerus sejak dalam kandungan sampai dewasa. Orang tua berkewajiban mendidik dan membimbing anak. Apabila Orang tua bercerai anak harus berusaha bersikap positif tidak menjadi pendendam dan tidak merasa trauma apabila kelak akan menjalin hubungan dengan lawan jenis dan tidak menjerumuskan diri pada perilaku menyimpang seperti menjerumuskan diri ke dalam pergaulan bebas, drug, dan alkhohol, hal itu akan merugikan diri sendiri. Meskipun kedua orang tua bercerai, tetapi keduanya masih mempunyai hak dan kewajiban pada anak, baik kewajiban dalam hal materi dan kewajiban dalam memberikan kasih sayang serta perhatian pada anak. Sehingga anak masih mempunyai hak terhadap kedua orang tuanya walaupun sudah tidak tinggal dengan salah satu dari orang tuanya.

(19)

penelitian dengan judul ''Studi Kasus Perceraian Di Desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen dan Dampaknya Pada Sikap Anak Dalam Pergaulan''

B. Perumusan Masalah

Agar penulis dapat melakukan penelitian dengan baik dan tepat mencapai sasaran yang hendak dicapai, maka penulis menggunakan perumusan masalah sehingga akan memudahkan penulis dalam membahas permasalahan yang sedang diteliti.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah yang menyebabkan terjadinya perceraian di Desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen?

2. Bagaimana sikap anak terhadap perceraian orang tuanya?

3. Apakah ada perbedaan sikap dalam pergaulan antara anak yang orang tuanya bercerai dan yang tidak bercerai?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai arah dan tujuan yang telah ditetapkan, sehingga memberikan manfaat dan penyelesaian yang hendak dicapai dari peneltian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perceraian di Desa Gebang Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen.

2. Untuk mengetahui sikap anak terhadap perceraian orang tuanya.

3. Untuk mengetahui perbedaan sikap dalam pergaulan antara anak yang orang tuanya bercerai dengan yang tidak bercerai.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

(20)

b. Untuk mendapatkan gambaran dalam masyarakat yang berkaitan dengan bidang perkawinan dan perceraian sekaligus dampak yang di timbulkan. c. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar referensi berbagai

kegiatan ilmiah penelitan sejenis.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pengadilan Agama atau Instansi terkait guna mengatisipasi adanya kasus perceraian

(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan tentang Perceraian a. Pengertian Perceraian

Pada dasarnya melakukan perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya dan bahagia dunia akhirat tetapi adakalanya terdapat sebab-sebab tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan, terpaksa harus diputuskan di tengah jalan, atau terpaksa putus dengan sendirinya atau dengan kata lain terjadi perceraian antara suami istri.

Perceraian atau yang biasa disebut dalam istilah agama Islam Thalak berasal dari kata Thallaqa berarti melepaskan (umpama seekor burung) dari sangkarnya atau melepaskan (seekor binatang) dari rantainya, jadi mentalag istri berarti melepaskan istri dan membebaskan dari ikatan perkawinan atau menceraikan istri. Perceraian dalam arti umum dibedakan atas thalak dan fasakh, dalam bahasa Arab disebut “Furqah” jamaknya furaq; Furaquzzawaj berarti putusnya ikatan perkawinan, karena itu tidak semua perceraian itu thalaq, tapi thalaq itu sebagian dari perceraian. (Djamil Latief, 1985 : 40)

Perkataan thalaq mengandung 2 arti yaitu:

1. Dalam arti umum berarti setiap perceraian yang timbul karena

sebab-sebab dari pihak suami, seperti Khulu’, zhihar, li’an dan thalaq yang

diucapkan kepada istri baik dengan kata yang jelas (sharih) maupun dengan kata sindiran (kinayah).

2. Dalam arti sempit berarti perceraian yang timbul dari kata-kata thalaq dan seumpamanya yang diucapkan suami secara jelas (sharih) atau secara sindiran (kinayah) yang maksudnya melepaskan atau membebaskan istrinya dari ikatan perkawinan.

Bulgerlijk Wetboook mengartikan perceraian adalah “Putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam

(22)

perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang sah yang disebut dalam UU” (Djamil Latief, 1985: 93).

Sedangkan menurut Soemiyati (1986: 103) perceraian dalam istialah ahli

fiqih disebut talak atau furqah. Adapun arti dari talak adalah “Membuka ikatan

membatalkan perjanjian”. Furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul.

Tentang putusnya perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 dalam pasal 38 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b) perceraian, (c) atau putusan pengadilan, dan dalam pasal 39 (1) perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (Soedaryo Soimin, 1992: 32)

Lebih lanjut oleh Ter Haar seperti yang dikutip oleh Hisako Nakamura (1990: 27) bahwa "Perceraian atas dasar kesepakatan bersama nampaknya secara umum dibenarkan oleh hukum adat, dan menurut hukum adat suatu masa perpisahan yang panjang mengawali perceraian".

Hisako (1990: 31) menegaskan lebih lanjut bahwa:

"Pemutusan perkawinan merupakan pemutusan akad nikah atau pemutusan perikatan dan berakibat prosedur dan sanksi hukum. Hukum untuk menyatakan cerai dalam hukum islam hanya diberikan kepada suami dan didalam Al-Qur’an tidak ditemukan ketentuan khusus yang melarang penggunaan hak itu secara sewenang-wenang oleh suami". Tetapi pendapat Hisako di atas secara implisit telah ada pembatasan pada hak cerai mutlak dari seorang suami yaitu pada hadist yang bermakna bahwa thalaq atau perceraian merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah. Jadi walaupun hak cerai secara hukum Islam berada di tangan suami tetapi dalam pelaksanaanya pun tidak dapat sewenang-wenang begitu saja menceraikan istri, harus disertai dengan alasan-alasan sah sebagaimana yang telah diatur dalam hukum islam.

(23)

hakim pengadilan, serta masing-masing pihak setelah bercerai sudah saling membebaskan.

b. Alasan-Alasan Perceraian

Burgerlijk Wethbook menyebutkan tentang alasan perceraian menurut S.1933 No. 74, secara limitatif termaktub dalam pasal 52 yaitu:

1. Berzina

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain dengan sengaja

3. Salah satu pihak selama perkawinan berlangsung mendapat hukuman penjara atau kurungan selam 2 tahun atau lebih perihal suatu

kejahatan.

4. Penganiayaan berat oleh suami atau istri yang dilakukan terhadap pihak lain atau suatu penganiayaan sedemikian rupa sehingga dikhawatirkan bahwa pihak itu meninggal dunia atau suatu penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka berat pada badan pihak yang dianiya.

5. Cacat badan atau penyakit yang timbul setelah perkawinan dilakukan sehingga perkawinan itu tidak akan bermanfaat.

6. Percekcokan yang terus menerus diantara suami istri yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut penjelasan pasal 30 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuanya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun dan hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dapat membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri.

6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

(24)

c. Bentuk-Bentuk Perceraiaan.

Menurut hukum Islam dalam buku Djamil Latief (1985: 40) perceraian dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Tindakan perceraian dari pihak suami 1.1Thalaq

Sudah menjadi ketentuan sya’ra bahwa thalaq itu adalah hak laki-laki atau suami dan hanya ia saja yang boleh menthalaq istrinya, orang lain biarpun familinya tidak berhak kalau tidak sebagai wakil yang sah dari suami tersebut. Islam menjadikan thalaq hak laki-laki ataupun suami adalah karena laki-laki atau suamilah yang dibebani kewajiban perbelanjaan keluarga / rumah tangga, nafkah istri, anak-anak dan kewajiban lain.

Oleh Hisako Nakamura (1990: 34) bahwa hukum Islam membagi-bagi tindak tanduk manusia dalam 5 katagori hukum dimana pernyataan talak dapat termasuk dalam salah satu kategori itu menurut keadaanya, yaitu sebagai berikut:

a. Wajib. Pernyataan talak menjadi wajib bilamana para penengah (hakam) gagal dalam tugasnya sehingga tidak ada jalan lain kecuali cerai.

b. Sunat. Pernyataan talak menjadi sunat bilamana istri tidak dapat menjaga kehormatannya sekalipun telah diberi nasehat tapi tidak mengacuhkannya.

c. Mubah. Pernyataan talak dibolehkan bila suami merasa ada hal-hal yang mendesak antara lain kurang pergaulannya dengan istri. d. Makruh. Pernyataan talak itu makruh bila tidak ada alasan

tertentu bagi suami untuk menceraikan istrinya.

(25)

1.2 Ila’

Mengila’ istrinya ialah seorang suami bersumpah tidak akan

menyetubuhi istrinya. Dengan sumpah ini berarti seorang istri

(wanita) telah ditalaq oleh suaminya. Ila’ hanya berlaku sampai 4

bulan suami harus memilih antara kembali kepada istrinya (menyetubuhinya) lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menthalaqnya.

1.3 Dhihar

Dhinar adalah suami menyerupakan istrinya seperti ibunya

dengan dengan mengatakan kepada istri ”engkau serupa dengan punggung (belakang) ibuku”.

Di samping suami mempunyai hak thalaq istri pun memiliki hak thalaq dengan jalan tafwidl dari suaminya untuk menthalaq dirinya sendiri, tapi tidak mengugurkan hak thalaq yang ada tanda tangan suami.

2) Tindakan perceraian dari pihak istri 2.1 Tafwidl

Thalaq merupakan hak kekuasaan suami karenanya ia bisa melakukannya sendiri dan bisa mempercayakan orang lain melakukannya tanpa mengurangi haknya itu. Dalam mempercayakan orang lain ini ada 2 jalan yaitu melalui lembaga perwakilan dimana suami mewakilkan orang lain untuk menjatuhkan thalaqnya kepada istrinya atau melalui lembaga tafwidl dimana suami mentafwidlkan yakni mendelegir kekuasaan kepada seseorang untuk menjatuhkan thalaqnya kepada istrinya. Seseorang itu bisa orang lain dan bisa istrinya sendiri inilah terdapat kemungkinan terjadinya perceraian oleh tindakan pihak istri.

3.) Persetujuan kedua belah pihak

(26)

Fasahk merupakan perceraian yang terjadi atas persetujuan kedua belah pihak dari suami istri sebagai usaha penyembuhan kehidupan perkawinan yang menderita gugatan baik disebabkan oleh salah satu pihak atau keduanya.

3.2Mubara’ah

Perkataan mubara’ah mempunyai arti tindakan untuk sama

-sama membebaskan. Mubara’ah berlaku sebagai perceraian yang tidak dapat dicabut kembali.

4.) Keputusan Hakim

4.1 Khuluk’

Khulu’ adalah semacam perceraian dengan keputusan hakim

atas permintaan pihak istri.

Ada 4 alasan seorang istri iuntuk meminta khulu’

a. Suami mempunyai cacat b. Suami miskin

c. Suami menghilang atau persangkaan ia telah meningggal dunia d. Salah satu pihak dari suami istri murtad

4.2. Li’an

Perceraian dengan li’an adalah perceraian karena tuduhan suami kepada istrinya, menuduh istrinya berzina tetapi tak dapat membuktikannya, perceraian ini dapat dicabut kembali untuk selamanya.

(27)

d. Faktor Penyebab Perceraian

Dalam sebuah keluarga sudah menjadi hal yang biasa jika ada perbedaan pendapat, tetapi hal yang tidak biasa jika konflik itu menjadi semakin besar dan mengancam kelangsungan perkawinan. Dari penelitian

Mar’atus Sholihati (2003: 57) sebelumnya mengemukakan bahwa faktor

-faktor penyebab perceraian dalam keluarga pada umumnya yaitu: 1. Faktor krisis akhlak

Sebab tipis atau kurangnya iman dapat menyebabkan suami atau istri melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama seperti minum-minuman keras, berjudi, berzina, atau mencuri. Jika suami atau istri mempunyai kebiasaan buruk seperti itu, hinggá sulit untuk dihilangkan atau tidak dapat diperbaiki lagi akhaknya akan membuat pasangan hidupnya merasa kesal, dan menanggung rasa malu terhadap orang lain. Apabila suami istri sudah tidak tahan lagi terhadap kelakuan pasangan hidupnya maka dia akan memilih mengakhiri perkawinannya daripada harus hidup menderita.

2. Faktor cemburu

Dalam kehidupan rumah tangga sering kali timbul masalah saling mencemburui, seorang suami cemburu kepada istrinya kalau-kalau ia akan berbuat serong, demikian juga seorang istri cemburu kepada suaminya kalau-kalau dia berbuat serong. Pasangan suami istri yang mempunyai sifat cemburu akan memperkuat ikatan perkawinannya jika cemburunya timbul karena rasa cinta dari suami istri. Namun jika kecemburuan (cemburu buta) maka dapat menggocang keharmonisan rumah tangganya dan bukan tidak mungkin akan menyebabkan perceraian apabila pasangan hidupnya tidak memiliki kesabaran.

3. Faktor ekonomi

(28)

Selain itu juga bisa disebabkan istri tidak bisa membelanjakan uang dengan baik dan bersifat boros serta merasa serba kurang sehingga ekomoni keluarga menjadi kacau. Keadaan ini dapat membuat suami mengambil langkah untuk menceraikan istrinya.

4. Faktor tidak ada tanggung jawab

Suami istri harus mematuhi segala sesuatu yang diatur dan diucapkan pada saat ijab qabul sebagai konsekuensi dan tanggung jawab sebagai suami istri. Semua masalah yang timbul sudah menjadi konsekuensi suami istri untuk tanggung jawab. Namun jika suami istri itu kurang atau tidak mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan kewajibannya maka dapat menyebabkan pasanganya untuk menuntut perceraian. Sikap tidak tanggung jawab misalnya suami atau istri meninggalkan rumah tanpa pasangan hidupnya dan tanpa alasan yang jelas sehingga melalaikan tugasnya.

5. Faktor pihak ketiga

Keutuhan dan kehormonisan sebuah rumah tangga dapat terganggu dengan hadirnya ataupun campur tangan orang lain / pihak ketiga yaitu pria idaman lain dalam arti berselingkuhan dan orang tua.

Jika salah satu pihak menghianati pasangannya, berselingkuh dengan pria atau wanita lain maka hal itu akan menyakiti perasaan pasanganya dan dapat menimbulkan perselisihan dan percekcokan dalam rumah tangganya dan akan memicu terjadinya perceraian.

(29)

6. Faktor tidak ada keharmonisan

Keluarga yang tidak harmonis dapat disebabkan oleh beberapa hal misalnya antara suami istri sering terjadi salah paham, beda pendapat atau prinsip sehingga timbul perselisihan dan percekcokan yang tidak jarang berakhir dengan perceraian. Selain itu bisa disebabkan karena masalah seks yang kurang terpenuhi atau kurang terpuaskan oleh pasangannya. Ketidakhadiran anak yang disebabkan kemandulan salah satu pihak dapat menjadi sebab untuk menuntut perceraian.

e. Akibat Perceraian

Hal-hal yang perlu dilakukan oleh pihak istri maupun suami setelah terjadinya perceraian diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. (Soemiyati, 1986 : 149-150).

(30)

2. Tinjauan tentang Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah Keluarga terbentuk dari perkawinan dua orang yang mempunyai kebiasaan dan watak yang berbeda dan dalam perkawinan itu bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, sehingga dalam keluarga itu,harus ada penyesuaian-penyesuaian antara keduanya. Keluarga yang sakinah merupakan impian setiap orang. Keluarga sakinah (harmonis) itu merupakan keluarga dengan suasana dan keadaan yang damai, rukun dan tentram, karena setiap keluarga saling menyayangi, menghormati dan dihargai serta saling membantu. Selain itu setiap anggota keluarga melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang, serta keluarga yang harmonis itu mempunyai hubungan yang selaras dengan lingkungan sekitar.

Keluarga Sakinah menurut Dirjend Bimas dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama Republik Indonesia (2003: 25), yaitu:

"Keluarga sakinah (harmonis) yaitu keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang, meliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungan dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak yang mulia."

Dari pendapat itu maka dapat disimpulkan bahwa keluarga sakinah, mawaddah, warahmah adalah adanya keutuhan keluarga, adanya kecocokan di antara mereka dan adanya hubungan timbal balik dari semuanya sehingga tercipta keadaan yang tenang damai, karena berkurangnya ketegangan dan rasa kecewa dari anggota keluarga. Setiap anggota keluarga saling menjaga dan menghargai satu sama lain, dan menjalankan perannya masing-masing, serta mempunyai hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya.

Untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah (harmonis) ada beberapa hal yang harus diusahakan oleh setiap anggota keluarga, menurut Dirjend Bimas Islam Penyelenggaraan Haji, Depag RI (1994), ada garis-garis umum yang bisa dipakai oleh suami istri sebagai patokan untuk membina rumah tangga harmonis dan bahagia sebagai berikut:

(31)

b) Setia dan cinta mencintai sehingga dapat dicapai ketenangan dan ketentraman lahir batin yang menjadi pokok kekalnya hubungan

c) Mampu menghadapi persoalan-persoalan dan kesukaran-kesukaran yang mendatang dengan tenang dan bijaksana, tidak terburu-buru dan salah menyalahkan, tetapi dengan kepal dingin mencari jalan keluar untuk mengatasi kesulitan

d) Percaya mempercayai, saling membantu dan seia sekata dalam memikul tugas kerumahtanggaan. Tidak berbuat sesuatu yang menimbulkan kecurigaan, kegelisahan dan keretakan

e) Dapat memahami kelemahan dan keragu-raguan yang ada pada setiap manusia dan saling memaafkan keterlanjuran yang tidak disengaja f) Selalu konsultasi dan musyawarah dan jika ada sesuatu kesulitan

dibicarakan dengan hati terbuka, tidak segan meminta maaf jika merasa bersalah, yang demikian akan menambah kokohnya hubungan cinta kasih

g) Jangan menyulitkan dan menyiksa pikiran, tetapi lapang dada dan terbuka

h) Hormat menghormati keluarga masing-masing, apalagi dengan ibu mertua, jauhkan syak wasangka, apalagi curiga mencurigai

i) Dapat mengusahakan sumber penghidupan yang layak untuk seluruh keluarga

j) Kecuali hal-hal di atas maka anak dan anggota keluarga lain juga memegang peranan penting dalam membina rumah tangga bahagia Jadi untuk membina keluarga yang sakinah (harmonis) maka setiap anggota keluarga khususnya ayah ibu harus saling mengisi dan saling mengerti. Setiap permasalahan harus diselesaiksn dengan baik agar tidak terjadi kesalah pahaman antar satu dengan yang lainnya. Anak-anak juga ambil bagian penciptaan ketenangan dalam keluarga, anak tidak hanya sebagai pelengkap kebahagiaan keluarga.

Menurut Ahmad Rafie Baihaqy (2006: 141-142) menyebutkan bahwa Keluarga yang dapat disebut sebagai keluarga sakinah harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Kehidupan beragama keluarga

 Dilihat dari segi keimanan kepada Allah murni, taat kepada Allah dan Rasulnya, cinta kepada Rasullullah dengan mengamalkan misi yang diembannya, mengimani kitab-kitab Allah dan Al-Quran

(32)

 Dari segi pengetahuan agama, memiliki semangat untuk mempelajari, memahami dan memperdalam ajaran Islam. Taat melaksanakan tuntunan akhlak mulia, disamping itu kondisi rumahnya Islami.

b. Pendidikan keluarga

Dalam suatu keluarga orang tua mempunyai kewajiban untuk memotivasi terhadap pendidikan formal bagi setiap anggota keluarganya, membudayakan gemar membaca, mendorong anak untuk melanjutkan dan menyelesaikan sekolahnya sampai jenjang yang lebih tinggi jika orang tua mampu.

c. Kesehatan keluarga

Semua anggota keluarga menyukai olahraga sehingga tidak mudah terkena penyakit, kalau sakit segera berobat ke dokter, mendapat imunisasi pokok, keadaan rumah dan lingkungan memenuhi kriteria lingkungan rumah sehat, mendapat cahaya matahari yang cukup, sanitasi lengkap dan lancar, lingkungan yang bersih dan terbebas dari sarang nyamuk yang mana hal ini dapat menyebabkan timbulnya penyakit.

d. Ekonomi keluarga

Dalam hal ekonomi suami dan istri mempunyai pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Pengeluaran tidak melebihi pendapatan, bahkan kalau bisa ditabung.

e. Hubungan sosial keluarga yang harmonis

Hubungan suami istri yang harmonis, saling mencintai, menyayangi, saling membantu, menghormati, mempercayai, saling terbuka, saling pengertian dan saling memiliki sikap pemaaf. Demikian pula hubungan orang tua dan anak. Orang tua disini bisa menjadi teman bagi anak sehingga mereka akan merasa enjoy karenanya. Anak berkewajiban menghormati, menghargai, mantaati, menunjukkan cinta kasih kepada orang tuanya. Dan yang terpenting anak selalu mendoakan kedua orang tuannya. Selain hubungan dengan keluarga maka hubungan sosial dengan tetangga juga diupayakan menjaga keharmonisan dengan jalan saling tolong menolong, menghormati, mempercayai dan mampu berbahagia dengan kebahagiaan tetangganya, tidak saling bermusuhan dan saling memaafkan.

3. Tinjauan tentang Sikap Anak a. Pengertian tentang Sikap

(33)

Azwar, Saifudin (1988: 5) berpendapat bahwa sikap adalah ''Suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan". Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memiliki maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Sikap sebagai keteraturan (afeksi), pemikiran (kognisi), tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya.

Azwar menyatakan sikap sebagai keadaan yang menunjukan sebagai kesikapan dan kesedihan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan dari motif tertentu. Hal demikian berbeda dengan pendangan Mar'at (1981: 9-12) yang menyatakan bahwa "Sikap memiliki tiga komponen, yaitu: (1) Komponen kognitif yang berhubungan dengan kepercayaan, ide, dan konsep, (2) komponen afektif yang menyangkut kehidupan emosional seseorang dan (3) Komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku".

Menurut Koentjaraningrat (1983: 26) menyebutkan "adanya sikap mental yang dipengaruhi oleh nilai budaya seseorang atau masyarakat". Sikap dinyatakan oleh Koentjaraningrat adalah merupakan wujud ideal kebudayaan yang hidup dalam masyarakat dan seolah-olah berada dalam diri individu tersebut. Konsepsi yang ada dalam sistem nilai budaya tersebut mengakar dalam diri seeorang individu sehingga sukar berubah dalam kurun waktu tertentu.

Definisi-definisi yang dikemukakan tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa pada prinsipnya sikap merupakan reaksi seseorang terhadap ide atau objek di sekitar yang memiliki komponen perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), tindakan (konasi). Dengan demikian sikap yang di miliki seseorang terhadap suatu objek tertentu mencerminkan perilaku orang yang bersangkutan. Jika sikapnya positif, diharapkan perilakunya juga positif, sebaliknya jika sikapnya negatif, perilakunya juga negatif.

1) Ciri-Ciri dan Unsur-Unsur Sikap

(34)

tergantung pada obyek yang dihadapi, oleh karenanya obyek sedapat mungkin merupakan sesuatu yang menarik dan menguntungkan.

Adapun ciri-ciri sikap menurut Gerungan (1981 : 151-152) adalah sebagai berikut:

a) Atitute bukan dibawa sejak lahir, tetapi dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan seseorang dalam hubungannya dengan obyek.

b) Atitute tidak dapat berubah-ubah namun dapat berubah pada seseorang bila terdapat keadaan dan syarat-syarat tertentu yang dapat mempermudah sikap seseorang.

c) Sikap tidak dapat berdiri sendiri, namun senantiasa mengandung hubungan tertentu terhadap obyek.

d) Obyek sikap itu dapat merupakan suatu hal tertentu, dapat juga merupakan suatu kumpulan dari hal-hal tertentu.

e) Atitute mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan.

Menurut Mar’at (1981: 13) adalah sikap terdiri dari beberapa

unsur yang satu dengan yang lain saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, adapun unsur-unsurnya adalah:

1) Unsur kognisi yang hubungannya dengan bakat, ide dan konsep. 2) Unsur afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang. 3) Unsur emosional yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.

Jadi sikap merupakan kumpulan berfikir, keyakinan dan pengetahuan. Namun di samping itu, memiliki evaluasi negatif dan positif yang bersifat emosional. Hal ini disebabkan unsur afeksi, pengetahuan dan perasaan merupakan sikap yang akan menghasilkan tingkah laku. Jadi sikap terdiri dari beberapa unsur yang mencakup aspek kognisi, afeksi, dan emosional. Ketiga unsur tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan, karena predisposisi atau keterkaitan suatu masalah untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu akan selalu diwarnai aspek kognisi, afeksi dan emosi seseorang.

2) Pembentuk dan Hal-Hal yang Mempengaruhi Sikap

(35)

1) Faktor individu itu sendiri atau faktor dari dalam, yang dimaksud faktor dari dalam adalah bahwa apa yang datang dari luar tidak semuanya begitu saja akan diterimanya, tetapi individu mengadakan seleksi mana yang diterima dan mana yang ditolak.

2) Faktor luar atau ekstern yaitu hal-hal atau keadaan-keadaan yang ada diluar individu yang merupakan rangsangan atau stimulus atau yang mengubah sikap (Bimo Walgito, 1987: 55-56).

Dalam hubungannya dengan masalah ini, faktor-faktor yang dapat mengubah sikap menurut Bimo Walgito (1987: 56) adalah sebagai berikut:

1) Kekuatan atau force dapat memberikan suatu keadaan atau situasi yang dapat mengubah sesuatu sikap. Kekuatan dapat bermacam-macam bentuknya, misalnya kekuatan fisik.

2) Berubahnya norma kelompok, bila seseorang telah menginternalisasikan norma kelompok maka yang akan diambil oper atau dijadikan normanya sendiri.

3) Berubahnya membership group, maksudnya individu itu akan bergabung dalam berbagai macam kelompok yang ada dalam masyarakat, baik karena adanya dorongan alami, karena membutuhkan, berhubungan dengan individu yang lain, maupun karena adanya kepentingan atau tujuan yang bersamaan.

4) Berubahnya reference group adalah terbentuknya norma-norma baru yang mendesak norma-norma lama. Dengan terbentuknya nilai norma yang baru itu akan terbentuk pula sikap-sikap yang baru sesuai bengan norma-norma yang ada.

5) Membentuk kelompok yang sama sekali baru, dimana dengan membentuk kolompok yang sama sekali baru dapat akan mengubah atau membentuk sesuatu sikap yang baru pula. Dengan pembentukan kelompok baru akan membentuk norma yang baru dan dengan terbentuknya norma baru akan memungkinkan terjadinya sikap yang baru sesuai dengan norma yang ada.

Mar’at (1981: 131) berpendapat bahwa situasi-situasi yang

(36)

Sikap merupakan produk kultur yang sering bersifat situasional. Situasi khusus disebutkan mempengaruhi sikap bisa dicontohkan dalam suatu situasi perorangan misalnya situasi peperangan, keadaan menjadi tegang, dan orang-orang panik, karena kebutuhan.

3) Cara Pengukuran Sikap

Sikap perlu diukur sebagai suatu bahan mengevaluasi atau suatu bentuk penilaiaan sikap yang ada pada diri seseorang. Para ahli psikologi sosial telah berusaha untuk mengukur sikap dengan berbagai macam cara. Beberapa bentuk pengukuran sudah mulai dkembangkan sejak diadakannya penelitian sikap yang pertama yaitu pada tahun 1920 dengan meminta subjek untuk merespon obyek sikap dalam berbagai cara. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung (Direct meansure of inttitudes), tidak langsung (Indirect meansure of attitudes), tes tersusun serta tes tidak tersusun. Menurut Saifuddin Azwar (1998: 91) metode pengungkapan pengukuran sikap adalah sebagai berikut:

1) Metode langsung ialah metode di mana orang itu secara langsung diminta pendapatnya mengenai objek tertentu. Metode ini lebih mudah tetapi sulit dan hasilnya kurang dipercaya. Tes psikologi ini kemudian dikembangkan dengan skala sikap. Pengukuran sikap yang sering digunakan adalah :

a) Skala Thurtstone (1928) percaya bahwa sikap dapat diukur dengan skala pendapat yang berhubungan dengan sikap. Adapun langkah-langkahnya yaitu :

1) Memilih dan mengukur sikap yang akan diukur, 2) Merumuskan sejumlah pertanyaan tentang obyek sikap

3) Membagikan daftar pertanyaan kepada sejumlah responden yang secara objektif dan bebas akan pendapatnya baik positif ataupun negatif.

(37)

b) Skala Likert

Rensis Likert mengembangkan suatu skala beberapa tahun setelah Thurtstone. Likert menggunakan sejumlah pertanyaan untuk mengukur sikap mendasarkan pada rata-rata jawaban. Likert di dalam jawabannya menggambarkan pandangan yang ekstrim pada masalahnya. Kemudian Likert membagikan pada responden yang akan diteliti untuk menunjukkan dimana mereka setuju dan tidak setuju pada setiap pertanyaannya. Terdapat empat skala yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju. Skala ini sangat populer karena mudah untuk menyusunnya, dan ajeg serta konsisten dalam jawabannya.

c) Skala Borgadus

Emery Borgadus tahun 1925 mengemukakan suatu skala yang disebut jarak sosial, yang secara kuantitatif mengukur tingkatan jarak seseorang yang diharapkan untuk memelihara hubungan orang dengan kelompok-kelompok lain

d) Skala Perbedaan Semantik

Skala ini dikembangkan oleh Osgood, Suci dan Tannerbaum tahun 1975 yang meminta responden untuk menentukan sikapnya terhadap objek sikap, pada ukuran yang berbeda dengan ukuran skala terdahulu. Responden diminta untuk menentukan suatu ukuran skala yang bersifat berlawanan yaitu positif atau negatif. 2) Metode secara tidak langsung, yaitu metode dimana orang diminta

(38)

yang dilihat yang dibawa oleh peneliti. Akan tetapi, metode ini juga memiliki masalah yaitu sejauh mana sikap individu dapat di ungkap, bila tidak menyadari akan hal itu. Bisa jadi penelitian seperti itu melanggar kode etik peneliti.

3) Tes tersusun ialah tes yang menggunakan skala sikap yang dikonstuksikan terlebih dahulu menurut prinsip-prisip tertentu.

4) Tes yang tidak tersusun misalnya wawancara, daftar pertanyaan dan penelitian bilbiografi.

Dari uraian diatas mengenai pengukuran sikap maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan cara pengukuran sikap dengan metode langsung dan menggunaka skala Likert. Asumsi yang mendasari peneliti menggunakan metode langsung yaitu individu atau responden merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri dan manusia akan mengemukakan secara terbuka apa yang dirasakannya. Sedangkan asumsi menggunakan skala Likert dikarenakan skala ini lebih praktis dan mudah serta hasilnya ajeg dan konsisten dengan jawabannya.

b. Pengertian Tentang Anak

Dalam hukum Islam tidak ada batasan khusus tentang definisi anak, dalam Surat an- Nisa ayat 9 disebutkan bahwa :



Artinya:"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meningggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan benar".

(39)

tentang kedewasaan seseorang dapat dilihat dari hadist Rasululllah SAW. Yang dikutip oleh Ahmad Rofiq (2000: 81) sebagai berikut:

1. Terangkat pertanggung jawaban seseorang dari tiga hal; orang yang tidur hinggga ia bangun; orang gila hingga ia sembuh; anak-anak hingga ia mimpi dan mengeluarkan air mani (ihtilam). (HR. Imam Empat)

2. Saya telah mengajukan diri kepada nabi SAW. Untuk ikut perang Uhud yang waktu itu saya berumur 14 tahun, beliau tidak mengizinkan aku. Dan aku mengajukan diri kepada beliau takkala perang khadaq, waktu itu umurku 15 tahun, dan beliau membolehkan aku (untuk mengikuti). (HR. Ibn' Umar) 3. Rasulullah SAW. Menikah dengan dia (Aisyah) dalam usia 6

tahun, dan beliau memboyongnya ketika berusia 9 tahun, dan beliau wafat pada waktu dia berusia 18 tahun (HR. Muslim) Atas dasar Hadist tersebut, dalam kitab Kasyifah al Siya di jelaskan: "Tanda-tanda kedewasaan (baligh) seseorang itu ada 3 yaitu sempurnanya umur 15 tahun bagi pria dan wanita bermimpi (keluar mani) bagi laki-laki dan perempuan pada usia 9 tahun dan haid (menstruasi) bagi wanita usia 9 (sembilan) tahun".(Ahmad Rofiq, 2000: 82)

Berdasarkan pasal 45 KUHP menyatakan bahwa: "Anak adalah orang yang belum cukup umur", maksud belum cukup umur disini adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, sedangkan pasal 91 ayat 4 menyebutkan "Anak dimaksudkan pula orang yang ada dibawah kekuasaan bapak" (Moeljatno, 1999: 37)

Menurut pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak merumuskan bahwa "Anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin". Dalam penjelasan disebutkan pula batas usia 21 tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kematangan kepentingan usaha sosial, kematangan pribadi dan kematangan anak dicapai pada usia tersebut.

(40)

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun yang masih berada di bawah kekuasaan orang tua, belum kawin dan belum dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

c. Perbedaaan antara Sikap Anak dalam Keluarga Utuh dengan Keluarga yang Bercerai

Keluarga merupakan bentuk interaksi sosial yang merupakan hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antar anggota keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial paling kecil, merupakan tempat anak mengadakan interaksi sosial yang pertama. Ayah, Ibu, saudara-saudara merupakan orang pertama yang mengajarkan kepada anak-anak cara dan sikap hidup dengan orang lain.

Keluarga yang dilandasi rasa kasih sayang, pengertian, saling menghormati, tolong menolong maka akan memberikan kemudahan bagi anak untuk bergaul di lingkungan yang lebih luas. Tetapi apabila dalam keluarga terdapat berbagai permasalahan seperti pertengkaran, perbedaan secara terus menerus, tidak ada perhatian dan toleransi maka akan menyulitkan anak dalam pergaulannya.

Dalam keluarga yang ideal maka hubungan ibu ayah dan anak-anaknya berdasarkan kasih sayang. Kasih sayang ini direalisasikan dalam bentuk memenuhi semua kebutuhan, baik secara rohani misalnya anak mendapatkan perlindungan, pelukan, belaian dan perhatian, sehingga hal ini akan menimbulkan sikap positif pada anak serta dalam pertumbuhan dan perkembangan mental mereka akan lebih baik karena mereka merasa mendapat perhatian dari orang tua.

(41)

perkembangannya cukup tinggi, namun hal ini tidak selalu terjadi. Faktor penentu yang paling penting adalah ringan atau beratnya trauma yang dialami anak sebelum dan sesudah perceraian dan yang hubungan anak tersebut dengan orang tuanya.

Bagi seorang anak perceraian baru menjadi nyata bila salah satu dari orang tua meninggalkannya. Untuk menerima kenyataan ini seringkali memakan waktu yang cukup lama. Hampir semua anak merasakan perceraian itu sebagai kejadian yang menyakitkan dan mengacaukan hidup mereka. Penderitaan yang mereka rasakan biasanya disebabkan oleh rasa takut, baik yang mendasar maupun yang tidak.

Menurut pendapat A.H.Markum (1999) yang di kutip dalam skripsi Juliarti, Triwik (2002: 19) anak-anak yang orang tuanya baru bercerai pada umumnya merasa:

" a) Sedih, karena harus berpisah dengan salah satu orang tuanya. b) Khawatir, melihat orang tuanya dalam keadaan sedih.

c) Kesepian

d) Malu atas tingkah laku orang tuanya.

e) Bersalah, atas kenakalan yang pernah dilakukannya, yang dalam khayala mereka mungkin dianggap penyebab perceraian orang tuanya. f) Takut dan malu bahwa mereka sekarang berbeda dengan

kawan-kawannya".

Banyak ilmuwan sosial telah mendapat penemuan-penemuan serupa tentang masalah-masalah sikap dan tingkah laku di antara anak-anak dari perkawinan-perkawinan yang bermasalah, seperti yang diungkapkan oleh Gottman John (1999) yang di kutip dalam skipsi Julianti Triwik, (2002 : 19)

“Penelitian itu membuktikan bahwa perceraian dan konflik perkawinan dapat

(42)

waktu serta perhatiannya bagi anak-anak mereka. Jadi, anak-anak itu larut,

tanpa terawasi menuju ke sebuah kelompok rekan sebaya yang lebih bandel”.

Sebagian anak menunjukkan reaksi yang negatif yang tampak pada sikap dan perilaku mereka, seperti minat belajar yang menurun, nilai pelajaran yang menurun, sering membolos sekolah, adanya keresahan yang berlebihan, sering melamun, atau sebaliknya menjadi sangat nakal. Sebagian anak bisa lebih cepat menyesuaikan diri, akan tampak adanya kemajuan yang pesat dalam bidang pelajaran, aktif dalam organisasi didalam maupun di luar sekolah dan masyarakat. Hubungan orang tua dan anak pasca perceraian tidak berarti terputus. Yang terjadi adalah perubahan dalam pola hubungan tersebut. Demikian pula hubungan anak dengan kedua orang tua tidak terputus setelah perceraian. Sedangkan anak yang sudah memasuki pada pernikahan pertamanya akan mengalami ketidakstabilan karena diantara mereka tidak begitu bahagia dalam pernikahannya terlihat mereka lebih tegang dalam menjalin hubungan dengan pasangannya hal ini di karenakan trauma terhadap perceraian yang ada di dalam keluarganya.

Jadi dari uraian diatas mengungkapkan bagaimana perceraian orang tua mempengaruhi sikap anak dalam pergaulan, anak yang orang tuanya bercerai akan menghadapi lebih banyak stress, kurang puas dengan keluarga dan teman-temannya dalam pergaulan, mengalami lebih banyak kecemasan dan berkurangnya kemampuan untuk mengatasi masalah dalam kehidupannya. Sedangkan bagi anak yang sudah memasuki usia penikahan mereka cenderung kurang bahagia terjadi ketegangan dalam kehidupan perkawinannya dikarenakan rasa trauma terhadap putusnya perkawinan dalam keluarganya.

4. Tinjauan tentang Pergaulan a. Pengertian tentang Pergaulan

(43)

Nur Uhbiyati (1991: 13) menyatakan "Di dalam pergaulan sehari-hari tentunya terjadi interaksi sosial antara individu yang satu dengan yang lain atau individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok dan di dalam interaksi itu tentunya tidak lepas adanya saling mempengaruhi".

Menurut Ny. Y. Singgih D Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa (1991: 36):

1. Pergaulan merupakan suatu hubungan yang meliputi tingkah laku individu. Tentunya lebih daripada seorang individu, sekurang-kurangnya tingkah laku dua orang.

2. Pergaulan merupakan suatu hubungan antar manusia yang tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi pergaulan antar manusia ini acap kali menimbulkan persoalan, sehingga justru menimbulkan kesulitan bagi yang bersangkutan.

3. Pergaulan yang mengakibatkan timbulnya kesulitan, kurang membantu kelancaran hidup bahkan menimbulkan kegoncangan jiwa yang menghambat dan merugikan perkembangan individu yang bersangkutan.

Jadi dalam pergaulan bisa mengarah ke kehidupan yang positif dan juga dapat memberikan dampak negatif pada diri individu.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pergaulan merupakan proses terjadinya hubungan atau interaksi antar individu secara langsung yang saling mempengaruhi secara timbal balik. Setiap mausia secara naluri mampunyai dorongan untuk bergaul dengan orang lain. Dorongan ini dalam kehidupan sehari-hari terwujud dengan adanya saling berkomunikasi, berkunjung, mengadakan hubungan sosial maupun hubungan antar pribadi

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergaulan (Interaksi Sosial)

Faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial menurut Abu Ahmadi (1999 : 56-63) meliputi:

a) Faktor Imitasi

(44)

dapat mendorong seseorang untuk mengetahui kaidah-kaidah dan nilai-nilai norma yang berlaku. Namun imitasi dapat pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif, misalnya yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Selain itu imitasi dapat juga melemahkan atau mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.

b) Faktor sugesti

Faktor sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang dari diri sendiri maupun pengaruh dari orang lain, yang pada umumnya dapat diterima tanpa adanya daya kritik.

c) Faktor Identifikasi

Faktor identifikasi yaitu dorongan untuk menjadi identik dengan orang lain secara lahiriah maupun batiniah. Proses identifikasi berlangsung dengan sendirinya secara tidak sadar maupun disengaja oleh karena sering kali seseorang memerlukan tipe ideal di dalam proses kehidupannya. Proses identifikasi berlangsung dalam keadaan dimana seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain yang menjadi idealnya, sehingga pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pada pihak lain dapat menjiwainya.

d) Faktor Simpati

Faktor simpati atau perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain, Dorongan atau simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerjasama dengannya.

Selain faktor yang mempengaruhi interaksi sosial di atas, terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhi pergaulan, faktor tersebut antara lain: a) Faktor Intelektual, kemampuan intelektual yaitu kemampuan untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.

b) Faktor Psikologis, psikologis dalam sikap pergaulan perananya penting dalam tingkah laku (faktor perasaan, emosi, faktor reaksi)

(45)

d) Faktor Sosiologis, karena dalam pergaulan terdiri dari berbagai orang yang datang dari macam-macam masyarakat, maka seseorang harus memahami sifat dan sikap setiap orang.

Dari keempat faktor di atas dapat diklasifikasikan ke dalam 3 aspek yang dapat mempengaruhi terjadinya pergaulan. Ketiga aspek tersebut adalah:

a. Aspek Jasmani (Psykologis)

b. Aspek Rohani (Intelektual dan Psikologis) c. Aspek Lingkungan (Sosiologis)

Di samping itu juga ada faktor yang mempengaruhi pola pergaulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pergaulan mengharuskan adanya interaksi sosial antar individu dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya. Maka untuk kelangsungan tersebut memerlukan:

1. Pengenalan watak dari masing-masing individu 2. Pengertian terhadap individu lain

3. Keterbukaan diri 4. Pembiasan

c. Ruang Lingkup Pergaulan

Seluruh permasalahan manusia dalam kehidupan adalah permasalahan sosial, sehingga seluruh perilaku, ungkapan bahasanya, pola pikirnya, emosi dan ketrampilan dipelajari dan dikembangkan dalam situasi sosial yang melingkupi, dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian :

a. Pergaulan di keluarga b.Pergaulan di sekolah c. Pergaulan di masyarakat d. Bentuk-Bentuk Pergaulan

(46)

1) Teman Dekat

Pada umumnya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat, atau sahabat karib. Mereka adalah kelompok yang biasanya berjenis kelamin sama dan mempunyai minat dan kemampuan yang sama. Teman dekat saling mempengaruhi satu sama lain meskipun kadang bertengkar.

2) Kelompok Kecil

Kelompok ini terdiri dari beberapa kelompok teman dekat. Pada mulanya mereka terdiri dari jenis kelamin yang sama, tetapi kemudian meliputi keduanya baik laki-laki maupun perempuan. 3) Kelompok Besar

Kelompok besar yang terdiri dari beberapa kelompok kecil dan teman dekat, berkembang dengan meningkatnya minat dan interaksi antara mereka. Karena kelompok ini besar, maka penyesuaian minat berkurang diantara anggotanya sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar di antara mereka.

4) Kelompok yang terorganisasi

Kelompok anak yang dibina dan dibentuk oleh sekolah atau organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para remaja dan untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti agar remaja mempunyai kegiatan yang positif atau lainya. Banyak anak usia remaja yang mengikuti kelompok seperti ini merasa bosan karena mereka mengganggap terlalu diatur dan terbatasi geraknya.

5) Kelompok Geng

Kelompok yang tidak termasuk dalam kelompok besar dan yang merasa tidak puas dengan kelompok yang terorganisasi mungkin mengikuti kelompok geng. Anggota geng yang biasanya terdiri dari anak-anak sejenis dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan temen-teman melalui perilaku anti sosial. e. Perbedaan Sikap Anak dalam Pergaulan Antara Keluarga utuh dengan

Keluarga yang Bercerai

(47)

dikarena mereka tidak mempunyai keluarga utuh dan harmonis seperti teman-temannya yang lain.

"Keluarga yang dilandasi kasih sayang, pengertian, saling menghormati, tolong menolong maka akan memberikan kemudahan bagi anak untuk bergaul di lingkungan yang lebih luas. Hubungan dalam keluarga yang baik akan berpengaruh positif, karena hal ini sangat penting dalam pembentukan sikap perilaku dan kepribadian anak dalam pergaulan di keluarga, sekolah dan masyarakat. Interaksi dalam keluarga dikatakan berkualitas apabila memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan diri, anak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, dan komunikasi antara anak dan orangtua bersifat timbal balik". (AjiBaroto, http://bbawor.blogspot. com/2009/03/pengaruh-broken-home.html tanggal 16 Agustus 2009). Sedangkan anak yang orang tuanya bercerai mereka akan merasa sedih karena harus berpisah dengan ayah atau ibunya sehingga kasih sayang yang mereka dapatkan akan berkurang. Di dalam pergaulanpun anak akan merasa berbeda dengan teman-temannya. Hal ini dikarenakan mereka tidak mempunyai keluarga yang utuh dan harmonis di rumah.

Keluarga memegang peranan penting dalam pembentukan sikap anak dalam pergaulannya di luar rumah, apabila dalam keluarga terdapat berbagai permasalahan seperti pertengkaran yang terus menerus, perceraian, tidak ada perhatian karena mereka harus tinggal dengan salah satu ayah atau ibunya saja sehingga menyulitkan anak dalam pergaulannya.

”Anak-anak dari keluarga dengan orang tua tunggal rata-rata lebih

cenderung mengalami kehidupan yang kurang sehat (secara moral dan emos), daripada anak-anak dari keluarga yang utuh.” Akan tetapi, analisis yang lebih saksama terhadap penelitian semacam itu mengindikasikan bahwa kurangnya pendapatan mungkin merupakan faktor tunggal terpenting yang bertanggung jawab atas perubahan dalam diri anak-anak dari berbagai bentuk keluarga”. (dr.Salma Oktarianingsih http://iblogronnp-gpanswers.blogspot.com/2009/06/ keluarga-dengan-orang-tua-tunggal-dapat- mengalami.html 16 Agustus 2009)

(48)

perhatian sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang bercerai dan orang tuanya tunggal akan cenderung kepada pola pergaulan dan sikap yang kurang sehat, hal ini disebabkan karena kurangnya kasih sayang serta perhatian dari orang tuanya

B. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir merupakan suatu acuan di dalam melaksanakan penelitian, dalam kerangka berpikirnya adalah sebagai berikut:

Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Namun tidak semua orang dapat mewujudkan tujuan perkawinan itu, karena dalam kenyataan masih banyak perkawinan yang putus di tengah jalan dan berakhir dengan perceraian. Meskipun perceraian tidak dilarang, tetapi pada prinsipnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 mempersukar terjadinya perceraian, dalam arti untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : faktor ekonomi, biologis, pihak ketiga dan perbedaan paham antara suami dan istri.

(49)

Perceraian orang tua yang berdampak langsung pada anak, menjadikan anak merasakan hal-hal yang berbeda dari teman-temannya. Anak yang orang tuanya bercerai kadang merasa minder atau iri karena mereka merasa kurang diperhatikan dan kurang mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtua. Anak yang orang tuanya bercerai merasa kurang diperhatikan karena kesibukan dari ayah atau ibunya. Sedangkan teman-temannya yang mempunyai keluarga utuh selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Sehingga anak korban perceraian sering terjerumus ke dalam pergaulan yang sifatnya negatif karena kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua. Oleh karena itu orang tua harus bisa menanggulangi dampak perceraian terhadap sikap anak antara lain dengan memberikan nasihat dan kasih sayang serta perhatian.

Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir Perceraian /

Keluarga Bercerai

Keluarga Utuh Keluarga Bercerai

1. Keluarga 2. Sekolah 3. Masyarakat Sikap Anak

1. Keluarga 2. Sekolah 3. Masyarakat

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Kualitas dari suatu penelitian tidak tergantung oleh luas tidaknya masalah dan besar kecilnya populasi tetapi ditentukan oleh ketajaman di dalam menganalisa data atau permasalahannya. Sehingga perlu adanya suatu pembatasan tempat penelitian yang jelas. Dalam penelitian kualitatif memandang permasalahan yang ada secara menyeluruh dan terkait dengan yang lainnya. Tempat penelitian merupakan suatu lokasi dimana penelitian akan dilakukan untuk memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang diajukan.

Tempat yang akan dipakai dalam melaksanakan penelitian ini adalah di lokasi Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen. Penulis memilih lokasi penelitian di tempat tersebut, dengan beberapa pertimbangan antara lain :

a. Desa Gebang merupakan wilayah yang kasus perceraian paling banyak di banding dengan wilayah lain di kecamatan Masaran

b. Di Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen diharapkan dapat mencegah dan memperkecil kasus perceraian di kalangan masyarakat sehingga dampak yang di timbulkan pada anak dapat dihindari.

c. Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen merupakan wilayah dimana peneliti berdomisili, sehingga memudahkan peneliti mengambil informan sebagai sumber data untuk mendapatkan data-data yang diperlukan.

(51)

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini direncanakan kurang lebih 22 bulan, yang dimulai pada bulan Maret 2008 sampai dengan bulan Desember 2009. Berikut ini gambar alokasi waktu kegiatan penelitian yang penulis lakukan:

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

No Jenis Kegiatan 2008 2009

Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

1. Pengajuan Judul 2. Penyusunan

Proposal 3. Pengajuan Surat

Ijin 4. Pengumpulan

Data 5. Analisis Data 6. Laporan

Penelitian

B. Bentuk Dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian

Dalam penelitian ini bentuk yang akan digunakan adalah bentuk penulisan deskriptif kualitatif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, pencatatan dokumen maupun arsip yang gemlike arti yang sangat lebih dari sekedar angka atau frekuensi.

Menurut Lexy J. Moleong (2005: 4) yang mengutip dari pendapat

Bogdan dan Taylor. Penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: “Metodologi

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati".

(52)

"Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Karena banyak sekali ragam penyelidikan demikian metode penyelidikan deskriptif. Diantaranya ialah penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi. Sehingga menurutnya metode deskriptif adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang berlangsung pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang sedang muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing, dan sebagainya".

2. Strategi Penelitian

Strategi penelitian yang digunakan adalah strategi penelitian tunggal terpancang. Mengenai model ini HB. Sutopo(2002: 41-42) menjelaskan sebagai berikut:

"Walaupun dalam penelitian kualitatif ditemui adanya bentuk penelitian terpancang (embeded resarch) yaitu penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan tujuan dan minat penelitiannya sebelum peneliti ke lapangan studinya. Dalam proposal peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus daripada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian yang diteliti tetap diusahakan pada posisi yang saling berkaitan dengan bagian-bagian dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap".

Untuk itu maksud dari strategi tunggal terpancang dalam penelitian ini, dapat mengandung pengertian sebagai berikut : tunggal yang artinya hanya ada satu lokasi yaitu di wilayah desa Gebang, kecamatan Masaran, kabupaten Sragen. Sedangkan terpancang artinya hanya pada tujuan untuk mengetahui Penyebab perceraian dan dampaknya pada sikap anak dalam pergaulan.

C. Sumber Data

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif (H.B. Sutopo, 2002 : 96)
Tabel 2. Luas dan Penggunaan Tanah di Desa Gebang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kegiatan industri batik, pengelolaan limbah pada industri batik, dan indikasi risiko yang muncul dari adanya industri

Pendidikan pertama yang diperoleh setiap orang adalah dari keluarga, karena dari keluarga seorang mendapatkan tuntunan apa yang harus dilakukan setiap anak.. Contoh yang

Madrasah Diniyah (MD) adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara terus menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada

Di Desa Sari Makmur Kecamatan Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan terjadi fenomena yang tidak biasa dalam pembagian harta bersama, dimana setelah terjadi

penelitian ini adalah tinjauan yuridis tentang tanggung jawab orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian dibentuk dalam dua rumusan maslah, yaitu: 1) Peraturan

Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya perceraian orang tua di kelurahan Lodoyong kecamatan

Alasan ayah tidak memberikan nafkah karena faktor ekonomi, kurangnya pengetahuan agama dalam keluarga sehingga mereka beranggapan bahwa ketika anak tinggal bersama mantan isteri berarti

Mengikuti perkembangan zaman seperti sekarang, adanya penyalahgunaan dalam penggunaan teknologi seperti yang sekarang banyak kita gunakan untuk komunikasi secara virtual seperti