i
(Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)
SKRIPSI
Disusun guna Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
WULANDARI
NIM. 211-12-013
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
ii
Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si Dosen IAIN Salatiga
PENGESAHAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Wulandari
NIM : 211-12-013
Judul : “TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH
ANAK SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK” (Studi Kasus Di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 02 Februari 2017 Pembimbing,
iii
PENGESAHAN
Skripsi
“TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK” (Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran)
Oleh:
WULANDARI NIM. 211-12-013
Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Senin, tanggal 27 Februari
2017, dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H).
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Drs. Machfudz, M.Ag
Sekretaris Sidang : Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si
Penguji I : Sukron Makmun, S.HI., M.Si
Penguji II : Luthfiana Zahriani S.H., M.H
Salatiga, 02 Februari 2017
Dekan Fakultas Syari‟ah
IAIN Salatiga,
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Wulandari
Nomor Induk Mahasiswa : 211-12-013
Fakultas : Syari‟ah
Jurusan : Ahwal Al Syakhsiyyah(AHS)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari hasil karya tulis orang lain. Pendapat dan temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 02 Februari 2017 Penulis,
v
MOTTO
“Hidup itu bukan masalah siap
a yang terbaik, tapi hidup itu
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah „ala kulli hal. Atas limpahan kasih sayang Sang Maha
Rahmaan dan Rahiim yang telah mengantarkan penulis pada kesempatan istimewa ini. Penulis persembahkan karya kecil ini sebagai kado bukti keseriusan kepada orang-orang terkasih yang Allah titipkan untuk mendampingi hingga penghujung awal perjuangan.
1. Terimakasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, orang pertama yang selalu
memotivasi dan mendoakanku. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan untuk kalian.
2. Adik kandungku, Diyah Ariyati dan Bayu Aji, yang senantiasa menjadi
saudara seperjuangan.
3. Terimaksih juga kepada Muhammad Mustaqim, orang terdekat yang
senantiasa mengarahkan kebaikan dan memudahkan dalam pengerjaan tugas akhir ini sehingga semuanya dapat terseleseikan.
4. Teman-teman halaqah, Ustadzah Tsam, Dita, Insani, Kanti, Nanda yang
memberikan pencerahan di setiap waktu.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut asmaa Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Puji syukur hanya layak dan pantas dipersembahkan kepada Sang Pemilik Keagungan, Allah swt. Atas takdirNyalah, dijadikannya manusia sebagai
“akhsani taqwiim”, yang senantiasa berfikir, berilmu dan beriman.
Lantunan shalawat serta salam terhaturkan kepada Nabi penyempurna
akhlak manusia, Nabi penyampai mau‟idzah khasanah, Dialah Nabi Muhammad
salallahu „alaihi wa salam. Atas wahyu yang Ia sampaikan kepada umatnya, telah
mengantarkan manusia pada ketaqwaan kepada Allah swt.
Skripsi ini terselesaikan bukan atas jerih payah penulis sendiri, melainkan atas bantuan dan kebaikan dari orang-orang hebat. Maka dari itu, atas bimbingan dan arahannya, penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Makmun, S.HI., M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal Al
Syakhsiyyah IAIN Salatiga.
4. Ibu Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah mencurahkan pikiran, tenaga, dan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Yahya, S.Ag., M.H.I, selaku dosen pembimbing akademik.
6. Bapak/Ibu dosen IAIN Salatiga, yang telah mendidik, mengarahkan dan
viii
7. Segenap civitas akademika IAIN Salatiga, dan seluruh pihak yang telah
membantu hingga skipsi ini selesai.
8. Para responden di desa Tengaran, Kecamatan Tengaran yang senantiasa
memudahkan dalam penyelesaian tugas akhir ini.
9. Teman-teman AHS semuanya Angkatan 2012, kebersamaan dengan kalian
telah menciptakan canda, tawa, tangis, bahagia, dan sejuta pengalaman yang terukir dalam bingkai kenangan manis yang teramat indah untuk dilupakan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Saran dan kritik konstruktif sangat
diperlukan dalam kesempurnaan skripsi ini. Jazaakumullah akhsanal jazaa‟.
Salatiga, 02 Februari 2017 Penulis,
ix
ABSTRAK
Wulandari, 211-12-013. ”Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”
(Studi Kasus di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran). Jurusan Ahwal Al Syakhsiyyah (AHS), Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida S.H., M.Si
Kata Kunci: Nafkah, Anak, Perceraian
Tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh semua orang tua. Anak berhak
mendapatkan segala kepentingannya untuk menunjang tumbuh
kembangnya, berhak atas pemenuhan kebutuhan, sandang, pangan, dan papan secara wajar. Putusnya perkawinan antara suami dan istri tidaklah menggugurkan segala kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Apakah tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah perceraian di desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak? Upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh ibu agar (ayah) melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah kepada anaknya setelah terjadinya perceraian di desa Tengaran, Kecamatan Tengaran?. Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian field research dimana penelitian ini dilakukan dengan terjun
langsung ke lapangan guna memperoleh data sebanyak dan seakurat mungkin dari para responden yang diteliti.
Adapun hasil analisis dari penelitian diperoleh kesimpulan,
Pertama, tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak yang diberikan secara berbelit-belit dan kurang sepenuhnya dilaksanakan, bertentangan dengan surat At Thalaq ayat 7, hendaknya nafkah itu diberikan sesuai dengan
kemampuan suami, dengan hati yang ikhlas dan tidak berbelit-belit. Kedua,
tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak yang tidak pernah dilaksanakan, hal ini bertentangan dengan surat Al-Baqarah ayat 233, ayat ini menjelaskan bahwa ayah yang bertanggung jawab atas kewajibannya memberikan nafkah kepada anaknya. Dan itu sesuai dengan kesanggupannya. Menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak di dalamnya mencantumkan ketentuan pidana dan sangsi hukum bagi seseorang yang melakukan penelantaran terhadap anak.
Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu, belum ada upaya hukum dari pihak ibu untuk menuntut nafkah anak, hal ini disebabkan karena minimnya pengetahuan tentang hukum itu sendiri. Pihak ibu hanya
melakukan upaya-upaya non hukum seperti, pertama, mengantarkan dan
menyuruh anak memintanya secara langsung kepada ayahnya. Kedua,
x DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Pengesahan Pembimbing ... ii
Lembar Pengesahan ... iii
Pernyataan Keaslian Tulisan ... iv
Motto ... v
Persembahan ... vi
Kata Pengantar ... vii
Abstrak ... ix
Daftar isi ... x
Daftar Lampiran ... xiii
BAB I Pendahuluan A.Latar Belakang ... 1
B.Rumusan Masalah ... 7
C.Tujuan Penelitian ... 8
D.Manfaat Penelitian ... 8
E. Penegasan Istilah ... 9
F. Tinjauan Pustaka ... 10
G.Metode Penelitian ... 12
H.Sistematika Penulisan ... 16
BAB II Perceraian Dan Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih Dan Hukum Positif A.Tinjauan Umum Tentang Perceraian ... 18
xi
2. Rukun dan Syarat Thalaq ... 22
3. Sebab-sebab Perceraian ... 23
4. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan... 25
B.Hak Nafkah Anak menurut Fiqih dan Hukum Positif ... 38
1. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya... 38
2. Batas Usia Pemberian Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih ... 43
3. Dasar Hukum Nafkah menurut Hukum Positif ... 44
4. Macam-macam Nafkah ... 45
5. Sebab-sebab yang mewajibkan Nafkah ... 46
6. Kadar Pemberian Nafkah ... 46
7. Pentingnya Nafkah Terhadap Kehidupan Anak ... 48
C.Hakikat Anak ... 50
1. Pengertian Anak Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ... 50
2. Pengertian Anak Menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak... 51
3. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam ... 52
BAB III Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian Di Desa Tengaran Kecamatan Tengaran A.Gambaran Umum Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran ... 55
1. Kondisi Geografis ... 55
2. Keadaan Demografis ... 56
xii
4. Kondisi Ekonomi ... 62
B.Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak di desa Tengaran,
Kecamatan Tengaran ... 62
BAB IV Analisis Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Mengenai Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian
A. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian
menurut hukum Islam ... 85
B. Upaya Hukum yang dapat ditempuh oleh Ibu agar orang tua laki-laki
(ayah) melaksanakan kewajibannya dalam memberikan nafkah anak setelah perceraian ... 90
BAB V Penutup
A.Kesimpulan ... 94 B.Saran ... 95
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Konsultasi Skripsi
2. Surat Penunjukan Pembimbing Skripsi
3. Surat Izin Penelitian
4. Surat Keterangan Kegiatan (SKK)
1 BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan aqad dengan upacara ijab qabul antara
calon suami dan istri untuk hidup bersama sebagai pertalian suci (sacral),
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga dalam memakmurkan bumi Allah SWT yang luas ini. Dengan perkawinan terpeliharalah kehormatan, keturunan, kesehatan jasmani, dan rohani, serta jelasnya nasab seseorang (Leter, 1985: 7).
Perkawinan juga merupakan sebuah ikatan yang mengakibatkan munculnya sebuah tanggung jawab, yang mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yakni suami dan istri. Dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun1974 Pasal 1 disebutkan bahwa “ tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
2
yang kerap diambil suami atau istri untuk menyelesaikan
permasalahannya.
Selain orang tua merasa tidak cocok lagi dan memutuskan berpisah, ada beberapa hal yang menjadi penyebab orang tua bercerai, diantaranya adalah faktor ekonomi, ketidaksetiaan, kekerasan dalam rumah tangga, pernikahan usia dini, perubahan budaya, salah satu pihak hanya mementingkan dirinya sendiri, maupun adanya pihak ketiga dalam rumah tangga. Seorang anak juga memiliki hak tersendiri yakni hak mendapatkan nafkah dengan tujuan anak dapat tumbuh berkembang secara sempurna didalam lingkungan yang utuh. Bagi anak-anak yang dilahirkan, perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncang kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan terjadinya perceraian orangtuanya.
3
Dari semua permasalahan yang ada di dalam sebuah keluarga, baik itu masalah perceraian, suami tetaplah mempunyai tanggung jawab kepada anak-anaknya untuk menyampaikan atau memberikan hak-hak mereka, sehingga hak-hak mereka tidak terabaikan. Sebuah perceraian mempunyai akibat hukum untuk suami, isteri maupun anak dalam perkawinan tersebut. Masalah suami yang tidak mau memberikan nafkah pada keluarga banyak terjadi di sebagian masyarakat Indonesia, hal seperti itu sering penulis jumpai dalam kehidupan sehari-hari terutama di lingkungan penulis di desa Tengaran.
Desa Tengaran merupakan kota kecamatan yang meliputi dusun-dusun atau kelurahan-kelurahan yang masuk dalam wilayah kecamatan Tengaran. Secara Administratif desa Tengaran sebelah utara berbatasan dengan desa Klero, sebelah selatan berbatasan dengan desa Tegal Rejo, sebelah barat berbatasan dengan desa Sampetan dan sebelah timur berbatasan dengan desa Suruh. Penduduk desa Tengaran sebagian bermata pencaharian sebagai petani, abdi negara, dan buruh. Penduduk desa Tengaran beraneka ragam latar belakang, ada yang penduduk asli ada juga yang penduduk pendatang dengan membawa kultur budaya serta pola pikir yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut menyebabkan munculnya fenomena perilaku masyarakat.
4
mengabaikan hak-hak anak. Masih banyak hal lain yang sering diabaikan oleh mantan suami terhadap anak sesudah perceraian terjadi. Dari situlah penulis menemukan beberapa keluarga dari suami yang melalaikan kewajibannya, bahkan sejak awal dari anak itu terlahir tidak sekalipun suami memperhatikan keperluan istri maupun persalinan bagi buah hatinya tersebut. Di lain hal adapula anak-anak yang biaya pendidikan atau sekolah mengandalkan pihak-pihak tertentu (kerabat) dekat, bukan dari ayah kandungnya sendiri.
Untuk mantan istri atau ibu dari anak-anak tersebut, hal ini sangat memberatkan karena harus menanggung biaya perawatan dan pendidikan anak-anaknya. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun1974 tentang
perkawinan, pasal 41 menentukan bahwa “Akibat putusnya perkawinan
suami tetap memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada
anak-anaknya”.
Allah SWT berfirman dalam surat Ath Thalaq ayat 7 dibawah ini:
ْْقِفنُيِل
5
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berke wajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah: 233).
Berdasarkan beberapa ayat diatas tampak beberapa hak-hak anak seperti, hak mendapatkan penjagaan dalam kandungan, hak mendapatkan asi dari ibu atau penggantinya, hak mendapatkan asuhan,dan hak mendapatkan perlindungan.
6
dekat adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah.
. Pasal 9 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik, jasmani maupun sosial. Tanggung jawab orangtua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan, serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan pancasila.
Disebutkan pula dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 35 tahun
2014 tentang Perlindungan Anak mengenai hak anak yaitu “ Setiap anak
7
Diantaranya yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 tahun
1974, pasal 45 (1,2) menjelaskan bahwa : “Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Dan
kewajiban orang tua yang dimaksud pada pasal (1), berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus.
Akan tetapi masih banyak orang tua laki-laki (ayah) tidak melaksanakan kewajiban menafkahi anaknya setelah terjadinya perceraian. Hal ini menjadi salah satu faktor terabaikannya hak anak dalam proses kehidupan dan perkembangannya baik dilihat dari sisi rohani maupun jasmani berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan yang layak. Berangkat dari masalah tersebut diatas, penulis tertarik untuk menjadikan sebuah karya ilmiah berupa skripsi. Untuk itu penulis
mengambil judul TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP
NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Di Desa Tengaran Kecamatan Tengaran).
B. Rumusan Masalah
8
1. Apakah tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah terjadinya
perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak?
2. Upaya hukum apa yang dapat ditempuh oleh ibu agar (ayah)
melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah kepada anaknya setelah terjadi perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan
Tengaran?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah diatas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah
terjadinya perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu agar
(ayah) melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah kepada anaknya setelah terjadi perceraian di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
9
b. Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan dan
konstribusi kepada khasanah ilmu pengetahuan dan khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah terjadinya perceraian.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
Dapat menambah wawasan tentang tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah perceraian.
b. Bagi Peneliti
1) Menerapkan ilmu yang didapat dari mata kuliah Hukum
Perkawinan dalam menjawab persoalan nafkah ayah kepada anak setelah perceraian khususnya di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran.
2) Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana strata
satu (S.1) dalam bidang Hukum Perdata Islam (Syari‟ah).
E. Penegasan Istilah
Untuk mempemudah pemahaman terhadap judul penelitian ini, maka disampaikan beberapa penjelasan istilah sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya,
kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya ( http://kbbi.web.id/tanggung jawab).
2. Nafkah yakni belanja, kebutuhan pokok yang diperlukan oleh
10
3. Anak adalah seseorang yang masih berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan ( UU RI No. 23 Tahun 2002, 2006: 4).
4. Perceraian adalah pisah, putus hubungan sebagai suami-istri
(Depdikbudd, 1990: 164).
5. Undang-undang Nomor 35 Tahun2014 Tentang Perlindungan Anak
yaitu peraturan yang mengatur tentang segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dari hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( UU RI No. 35 Tahun 2014, pasal 1 ayat 2).
6. Hukum Islam yaitu peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan Al Qur‟an dan Hadits, Hukum syara‟
(Depdiknas, 2002: 411).
F. Tinjauan Pustaka
Diantaranya referensi khususnya dari skripsi yang dapat dijadikan sumber telaah pustaka adalah sebagai berikut:
Pertama adalah skripksi M. Fathur Rois yang berjudul “Pemberian
Hak Nafkah Anak Setelah Putusan Perceraian” (Studi Analisis Di
11
tidak adanya gugatan nafkah yang berdiri sendiri yang diajukan ke pengadilan.
Kedua adalah skripsi Dedy Sulistyanto yang berjudul “ Kewajiban
Suami Narapidana Terhadap Nafkah Keluarga” ( Studi Kasus di Lembaga
Permasyarakatan Kelas II.A Beteng Ambarawa). Penelitian ini terfokus pada pemberian nafkah oleh ayah selama di dalam penjara, dan nafkah dari hasil yang diperoleh selama bekerja dalam pembinaan kemandirian
dilapas, dikumpulkan, diberikan saat keluarga menjenguknya.
Memberikan wewenang penuh kepada keluarga untuk mengelola barang yang ditinggalkan.
Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Zaerodin dalam
skripsinya yang berjudul “Nafkah Hadhanah Dalam Putusan Verstek”
(Studi Kasus Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2008). Dimana dalam penelitiannya terfokus pada pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian, nafkah anak (hadhanah) dalam putusan verstek adalah tetap berdasarkan kemampuan suami, dalam menentukan kadar nafkah meski tanpa kehadiran suami, dengan mempertimbangkan kebiasaan dan masyarakat di daerah salatiga dalam memberi nafkah pada anak.
Penelitian yang berikutnya adalah Wahyu Izzati dalam skripsinya
yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Istri Dalam Memperoleh
Hak Nafkah Akibat Cerai Talak” (Studi Kasus Di Pengadilan Agama
12
pengadilan agama pada waktu persidangan cerai talak, membimbing pemohon untuk menuntut haknya yang berupa nafkah. Sekalipun ada sebagian majlis hakim di pengadilan agama dalam memberikan putusan
terikat dengan kaidah ultra petitum partium (tidak boleh memutus hal-hal
yang tidak dimohon atau melebihi yang dimohon). Sehingga termohon (istri) yang awam tentang hukum, tidak mengerti akan hak-haknya yang berupa nafkah.
Berbeda dengan penelitian yang sedang penulis lakukan saat ini,
dimana fokus pada penelitian yang penulis lakukan adalah “Tanggung
jawab Ayah terhadap Nafkah Anak Setelah Perceraian dalam tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran). Dalam penelitian ini terfokus pada pemberian nafkah oleh ayah setelah perceraian yang berbelit-belit dan tidak pernah dilaksanakan, serta tidak adanya gugatan nafkah dari pihak ibu yang disebabkan karena minimnya pengetahuan ibu tentang hukum itu sendiri.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dibagi menjadi dua yakni field research dan library
research.
13
b. Library Research atau Penelitian Kepustakaan adalah metode
penelitian yang digunakan untuk mencari data, dengan cara membaca buku yang menjadi sumber penelitian.
Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian
yang field research dimana penulis terjun langsung ke lapangan
yakni ke lokasi penelitian, di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran guna memperoleh data sebanyak dan seakurat mungkin dari para responden yang diteliti.
2. Sumber Data
Sumber Data menurut Soerjono Soekanto (1984:12) terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :
a. Data Primer
Yaitu Data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan merupakan keterangan atau fakta yang terjadi dilapangan.
b. Data Sekunder
Yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan .
Undang-14
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014.
3. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menurut Suharismi Arikunto ada beberapa macam yakni:
a. Wawancara yaitu : Sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari responden (Arikunto, 1996:115). Dalam penelitian ini informasi dapat diperoleh melalui wawancara dengan ibu, anak, masyarakat sekitar, baik tetangga maupun kerabat dekat.
b. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan , buku-buku, surat kabar, majalah dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
c. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan jalan
pengamatan dan pencatatan secara langsung dan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diteliti. (Arikunto, 1987:128).
d. Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang menggali dari
bahan-bahan tertulis (Amirin, 1990:135).
Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara, penelitian ini dilakukan dengan acuan-acuan
catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan
15
beberapa keluarga di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran,
untuk melakukan wawancara di masing –masing keluarga yang
menjadi responden.
b. Dokumentasi, penulis mencari data mengenai beberapa hal baik
yang berupa catatan, data monografi Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, akta cerai dan lain sebagainya.
4. Teknis Analisis Data
Menurut Prof. Dr. Lexy J.Moleong , (2002:45) teknis analisis data terbagi menjadi dua yakni:
a. Metode analisis deskriptif kualitatif adalah penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan.
b. Analisis data kuantitatif adalah penelitian yang menggambarkan
keadaan gejala sosial apa adanya, tanpa melihat hubungan-hubungan yang ada.
16 H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran umum yang lebih jelas mengenai penelitian ini, peneliti akan menyajikannya dalam sistematika penulisan penelitian sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, yang meliputi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, yang berisi tentang jenis penelitian, sumber data, pengumpulan data, teknis analisis data dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah perceraian dan hak nafkah anak menurut fiqih dan hukum positif, yang meliputi tentang pengertian perceraian, rukun dan syarat talak, sebab-sebab perceraian, akibat hukum atas putusnya perkawinan, pengertian nafkah dan dasar hukumnya, batas usia pemberian nafkah anak menurut fiqih, dasar hukum nafkah anak menurut hukum positif, macam-macam nafkah, sebab-sebab yang mewajibkan nafkah, kadar pemberian nafkah, pentingnya nafkah terhadap kehidupan anak, pengertian anak menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pengertian anak menurut undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, dan pengertian anak menurut Hukum Islam.
17
perceraian, pola pemberian nafkah anak oleh ayah, upaya yang dilakukan ibu dan faktor penyebab tidak dilaksanakannya tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah perceraian.
Bab keempat adalah analisis mengenai tanggung jawab ayah terhadap nafkah anak setelah perceraian menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh ibu.
18 BAB II
PERCERAIAN DAN HAK NAFKAH ANAK MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF
A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian (Thalaq) dan Dasar Hukumnya
Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga kekekalan keturunan mereka.
Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batasan pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting, Di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
b. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan
keturunan.
c. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali
persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki ( suami ) dengan kaum kerabat perempuan ( istri ) sehingga pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa satu kaum (golongan) untuk tolong menolong dengan kau yang lainnya (Rasjid, 2014:401).
19
keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suami istri, maka
dengan keadilan Allah Subhanahu Wata‟ala, dibukakanNya suatu jalan
keluar dari segala kesukaran itu yakni pintu perceraian.
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa yaitu
“melepaskan atau meninggalkan”, dan menurut istilah yaitu melepas tali
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri (Ghazali,
2006:191-192). Dalam ilmu fiqih (Depag, 1985:226) kata “thalaq” dalam bahasa
Arab berasal dari kata “Thalaqa-Yathlaqu-Thalaqan” yang artinya
melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat kongrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Disebutkan pula oleh Sayyid Sabiq (1980:7) mendefinisikan istilah thalak yakni melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
20
(perceraian) itulah jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara
mereka. Berdasarkan hadits Nabi Shallallah Alaihi Wasallam yang
berbunyi:
dibenci oleh Allah ialah thalaq.” ( riwayat Abu Dawud dan Ibn
Majah )
Berdasarkan hadis tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami-isteri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternative terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan tehnik untuk mencari kedamaian diantara kedua belah pihak, baik melalui hakim dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh
Qur‟an dan hadis (Ali, 2006:73). Hadis ini juga menjadi dalil bahwa suami
wajib selalu menjauhkan diri selalu dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarkannya. Suami dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menghindarinya. Serta talak itulah satu-satunya jalan untuk terciptanya kemaslahatan.
21
a. Wajib yaitu Talak yang dijatuhkan oleh pihak hakim atau penengah
karena perpecahan antara suami istri yang sudah berat.
b. Haram yaitu dilakukan tanpa alasan, karena merugikan bagi suami dan
istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau dicapai dengan perbuatan talaknya itu.
c. Sunnah yaitu talak karena perpecahan antara suami istri yang sudah
berat dan bila isteri keluar rumah dengan minta khulu‟ karena ingin
terlepas dari bahaya (Sabiq, 1980:10).
d. Mubah yakni boleh saja diakukan bila memang perlu terjadi perceraian
dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu, sedangkan manfaatnya juga ada (Syarifuddin, 2003:127).
Di dalam Al-qur‟an banyak ayat yang berbicara tentang masalah
perceraian. Diantara ayat-ayat yang menjadi landasan hukum perceraian adalah firman Allah SWT:
22
2. Rukun dan Syarat Talak (Perceraian)
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat yaitu:
a. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak
menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.
b. Istri, masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap
istrinya sendiri, tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya talak, pada istri yang ditalak disyaratkan kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah dan istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalani masa iddah talak
raj‟i dari suaminya oleh hukum islam dipandang masih berada dalam
perlindungan kekuasaan suami, karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami.
c. Shighat Talak yaitu kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap
23
kinayah (sindiran), baik berupa ucapan, lisan, tulisan dan isyarat bagi suami tuna wicara.
d. Qashdu (kesengajaan) artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain (Ghazaly, 2003: 201-204).
Dalam ilmu fiqih (Depag, 1985: 235) untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak diisyaratkan:
a. Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Dimaksudkan
dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit.
b. Baligh, tidak dipandang jatuh, talak yang dinyatakan oleh orang yang
belum dewasa.
c. Atas kemauannya sendiri, dimaksudkan dengan atas kemauannya
sendiri dalam hal ini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dilakukan atas pilihan sendiri, bukan karena dipaksa orang lain.
3. Sebab-sebab Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan ada tiga hal yang menjadi sebab putusnya perkawinan diantaranya, kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.
a. Kematian yakni jika salah seorang dari suami atau isteri meninggal
24
b. Perceraian sebagaimana ketentuan dari Undang-undang Perkawinan
pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa“perceraian hanya dapat dilakukan
didepan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak” (Undang-Undang No 1
Tahun1974 pasal 39 ayat 1).
c. Putusan pengadilan
Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 39 dinyatakan bahwa :
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri (Ali, 2006: 74).
Berkaitan dengan pasal diatas maka selanjutnya dijelaskan mengenai penyebab terjadinya perceraian yakni pada Putusan Presiden Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 dinyatakan perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan berikut :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat,
25
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Muhammad, 1993:109-110).
7) Salah satu pihak melanggar taklik talakyang dia ucapkan saat ijab
kabul pernikahan.
8) Salah satu pihak beralih agama atau murtad yang mengakibatkan
ketidakharmonisan dalam keluarga dan tidak bisa hidup rukun (Manjorang, Aditya, 2015: 19).
4. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan
a. Bagi Pihak Mantan Istri
26
jawab orang tua dan hak-hak anak dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) karakteristik yaitu :
1) Akibat Talak
Pasal 149 KHI, bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla
al-dukhul.
b) Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan
pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali
bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan
separuh apabila qobla al-dukhul.
d) Memberi biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak
yang belum mencapai umur 21 tahun.
2) Akibat perceraian atau (cerai gugat)
27
putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) perkawinan (Ali, 2006:77).
Pasal 156 KHI mengatur putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat) yaitu :
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah
dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh :
(1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya
(2) Ayah
(3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
(4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
(5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis
samping dari ibu
(6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis
samping dari ayah
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
28
d) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi
tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan
nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
f) Pengadilan dapat pula dengan kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
3) Akibat Khuluk
Perceraian yang terjadi akibat khulu‟ yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan.
Selain itu khulu‟ adalah istri memisahkan diri dari suaminya
dengan ganti rugi kepadanya (Sabiq, 1980:100).
Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi :
“perceraian dengan jalan khulu‟ mengurangi jumlah talak dan
tak dapat dirujuk”.
4) Akibat Li‟an
Perceraian yang terjadi sebagai akibat li‟an, yaitu ikatan
29
dinasabkan kepadanya (ibu anak) sebagai akibat li‟an. Pasal 162
KHI yang berbunyi “ bilamana li‟an terjadi maka perkawinan
ini putus selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan
kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban
memberi nafkah”.
5) Akibat ditinggal mati suaminya
Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 157 KHI yang berbunyi
“harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut
dalam pasal 96 dan 97.
Pasal 96 KHI
a) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lama.
b) Pembagian harta bersama bersama bagi seorang suami atau
istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 KHI
“ Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan”.
30
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya.
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Selain kewajiban nafkah oleh suami dan seorang istri yang telah diceraipun mempunyai kewajiban menjalani masa iddah atau masa tunggu sebagai akibat dari perceraian tersebut. Dimana hal tersebut telah dijelaskan dalam firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 :
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟ “(Sabiq, 1980:151).
Adapun masa-masa iddah adalah :
a) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli
31
Artinya : "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
b) Istri yang diceraikan suami sebelum sempat digauli tidak
menjalani masa iddah. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 49:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka `iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
32
bahwa kewajiban beriddah disini bukan untuk
mengetahui kebersihan rahimnya, dari bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap suaminya yang meninggal itu.
c) Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh
suaminya sedangkan ia masih dalam haid, maka
iddahnya adalah selama tiga quru‟, sebagaimana firman
Allah dalam urat al-Baqarah ayat 228 :
ُْتاَقَّلَطُمْلاَو
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟ “.
Yang dimaksud dengan tiga quru‟ dalam ayat ini
menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangkan
bagi ulama Hanafiyah tiga quru‟ itu berarti tiga kali masa
haid. Di antara dua masa tersebut di atas tiga kali haid lebih panjang daripada tiga kali suci.
d) Istri yang bercerai dari suami, sedangkan dia telah
33 lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
e) Istri-istri yang bercerai dari suaminya sedang dalam keadaan
hamil iddahnya adalah melahirkan anaknya. Ketentuan ini ditetapkan Allah SWT dalam surat At Thalaq ayat 4:
َّْنُهَلَْحَْْنْعَضَيْنَأَّْنُهُلَجَأْ ِلاَْحَْْلْاُْت َلْوُأَو
ْ
....
ْ
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya....”
34
sepuluh hari maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari,namun bila setelah 4 bulan sepuluh hari anaknya belum lahir juga, maka iddahnya adalah melahirkan anak (Syarifuddin, 2003: 142-144).
Perempuan yang menjalani masa iddah ada dua macam : a) Iddah raj‟iyah ialah iddah dari perceraian dimana istri
masih dinikahi (ruju‟) lagi oleh bekas suaminya.
b) Iddah ba‟in ialah iddah dari perceraian dimana istri tidak
boleh lagi dinikahi (ruju‟) oleh bekas suaminya (sebelum
dinikahi oleh lelaki lain). (Rifa‟I, Zuhri, Salomo, 1978:
337).
Istri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya (Syarifuddin, 2003: 144).
Adapun hak-hak mereka itu adalah sebagai berikut: a) Perempuan yang ta‟at dalam iddah raj‟iyah berhak
35
keperluan hidupnya, dari yang menalaknya (bekas suaminya); kecuali istri yang durhaka, tidak berhak menerima apa-apa. Rasulullah bersabda :
ْ: ٍسْيَ قْ ِتْنِبَْةَمِطاَفْْنَع
bersabda kepadanya : “Perempuan yangberhak mengambil nafkah dan rumah kediaman dari bekas suaminya itu apabila bekas
suaminya itu berhak ruju‟ kepadanya”. (Riwayat Ahmad dan Nasa‟i)
b) Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung,
ia berhak juga atas kediaman, nafkah, dan pakaian. Allah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,...” (At-Talaq: 6)
c) Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain
36
Sebagian ulama berpendapat bahwa bain yang tidak
hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah dan tidak pula tempat tinggal. Rasulullah bersabda:
ِْنَعْ ٍسْيَ قْ ِتْنِبْ َةَمِطاَفْ ْنَع
Artinya: “Dari Fatimah binti Qois, dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, mengenai perempuan yang ditalak tiga. Sabda Rasulullah: “ia tidak berhak atas tempat tinggal dan tidak pula atas nafkah”.(Riwayat Ahmad dan Muslim)
Adapun Firman Allah dalam surat At-Talaq ayat 6 tersebut di atas, menurut mereka hanya berlaku untuk
perempuan yang dalam iddah raj‟iyah.
d) Perempuan yang dalam iddah wafat mereka tidak
mempunyai hak sama sekali meskipundia mengandung, karena dia dan anak yang berada dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal itu (Rasjid, 2014: 416-417).
b. Bagi Pihak Anak
37
Hak Anak Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7
1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin mendapat perlindungan dari perlakuan:
a) Diskriminasi
b) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
c) Penelantaran
d) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.
e) Ketidakadilan, dan
f) Perlakuan salah lainnya.
2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pasal 20
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
38
Pasal 26
1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk ;
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi,
b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya, dan
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya,
atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendidikan Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
Ketentuan Pidana Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya, atau
2) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
B. Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih Dan Hukum Positif
1. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya
Kata nafkah berasal dari kata an nafaqoh yang artinya pengeluaran,
39
dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat seperti makanan, pakaian, dan rumah dan sebagainya (Rasjid, 2014: 421). Nafkah juga merupakan hak istri terhadap suami sebagai akibat telah terjadinya akad nikah yang sah (Depag, 1985:184).
Keharusan nafkah dari mantan suami tak hanya sewaktu dia masih menjalin hubungan dengan mantan istrinya, akan tetapi terhadap anak-anak dari mantan istrinya itu, mantan suamipun wajib memberi nafkah, bahkan saaat perceraian. Apalagi terhadap nafkah anak dan kesejahteraan ibunya merupakan tanggung jawab seorang ayah, meskipun terjadi perceraian jangan sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan anaknya sesuai keadaanya. Seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :
Artinya:“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
40
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Baqarah :233).
Menurut pendapat setengah ahli tafsir, ibu-ibu yang dimaksud ialah perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan mengandung (Zaeroddin, 2012:30). Dapat diartikan pula bahwa kewajiban nafkah pada mantan istri yang telah mempunyai anak, adalah satu kesatuan yaitu nafkah istri dan pemeliharaan anak. Begitu juga M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah berpendapat atas ayat yang artinya merupakan kewajiban ayah, yaitu atas apa yang dilahirkan untuknya (anak), yakni memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang
disusukan itu telah diceraikan secara ba‟in bukan raj‟i. Adapun jika
masih berstatus istri walau ditalak raj‟i, maka kewajiban memberi makan
dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami istri (Zaeroddin, 2012:18).
Islam sebagai agama yang praktis, tidak memaksakan beban yang berlebihan kepada salah satu pihak. Tetapi mereka harus melakukan yang terbaik untuk kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila mereka bertindak dengan tulus, maka Allah akan memberi solusi untuk mengatasi masalah biaya pemeliharaan anak, seperti yang
41
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (Q.S At-Thalaq:6).
Ayat diatas mempertegas hak-hak wanita itu memperoleh tempat
tinggal yang layak. Ini perlu dalam rangka mewujudkan yang ma‟ruf,
sekaligus memelihara hubungan agar tidak semakin keruh dengan perceraian itu. Ayat diatas menyatakan, tempatkanlah mereka para istri yang dicerai itu dimana kamu wahai yang menceraikannya bertempat tinggal. Kalau dahulu kamu mampu tinggal di tempat yang mewah sedangkan sekarang penghasilan menurun atau sebaliknya maka tempatkanlah mereka menurut atau sesuai dengan kemampuan kamu sekarang, dan janganlah sekali-kali kamu menyusahkan mereka dalam hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk menyempitkan hati dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau minta keluar (Zaeroddin, 2012:20).
Ibnu Taimiyah berkata, “ Nash menyebutkan anak ini agar menjadi
42
mengandung dan menyusuinya, karena tidak mungkin menafkahi anak dengan kondisi demikian kecuali dengan cara tersebut. Apalagi ketika anak tersebut telah lepas dari pengasuhan ibunya, tentu menafkahinya jauh lebih ditekankan dan diprioritaskan (Ibrahim, 2005:231-232). Dan dijelaskan dalam surat At-Talaq ayat 7 yang berbunyi:
ْْقِفنُيِل
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Qs.
At Thalaq:7)”.
43
lain serta waktu dan waktu yang lain. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah (Zaerodin, 2012:22). Adapun Dasar Hukum Nafkah Anak dari Al Hadist, Rosululllah SAW bersabda:
)ويلعْقفتم(ْفْوْرعلمْابْكْاْدلووْكيفعيْْامْيْذخ
Artinya: “Ambilah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu
dengan cara yang makruf” (HR. Muttafaqun Alaih) (Depag
1985: 195).
يمْنمعْسبيَْنْاْاشماْءْرمْابْيفك
ْوباوْيْءاسنلْاوْملسمْهاور(ْوتْوقْكل
ْ)دْوْاْد
Artinya: “Cukup besar dosa seseorang bila ia menahan nafkah
terhadap orang yang ia miliki (Riwayat Muslim, Nasa‟i dan
Abu Daud) (Nashif, 1993: 107).
2. Batas Usia Pemberian Hak Nafkah Anak Menurut Fiqih
Batas usia pemberian hak nafkah anak menurut fiqih, kewajiban itu gugur jika anak mencapai usia dewasa, dewasa menurut hukum islam adalah sudah baligh (kira-kira seseorang itu berusia 14 tahun). Sedangkan dewasa menurut negara dan KHI adalah 21 tahun. Jika anak yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap mampu untuk bekerja sendiri.
44
memberi nafkah pada anak perempuan hingga anak perempuannya menikah. Hal ini dikarenakan anak perempuan tidak mampu bekerja, atau kalaupun mampu bekerja diluar akan cenderung berakibat pada kemudaratan atau berdampak negatif.
3. Dasar Hukum Nafkah Anak menurut Hukum Positif
a. Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
b. Kompilasi Hukum Islam
Pasal 149
Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
1) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla
al-dukhul.
2) Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)
kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah
dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh
apabila qobla al-dukhul.
4) Memberi biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang
belum mencapai umur 21 tahun. Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian,
1) Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
2) Pemelharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
c. UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak
Pasal 26
45
a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi,
b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya, dan
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Qs. At Thalaq:7)”.
Memberi makan dengan baik, artinya dengan cara-cara yang halal, usaha yang halal.
b. Pakaian yakni segala sesuatu yang bisa menutupi tubuh
c. Nafkah ibadah seperti, diizinkan pergi berhaji, puasa wajib dan
46
5. Sebab-sebab yang mewajibkan nafkah
a. Sebab keturunan. Yang dimaksud ialah orang tua menjadi asal adanya
anak/keturunan maka orang tua wajib memberikan nafkah anaknya. Syarat wajibnya nafkah atas kedua ibu-bapak kepada anak ialah apabila si anak masih kecil dan miskin, atau sudah besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin pula.
b. Sebab pernikahan. yaitu suami diwajibkan memberi nafkah kepada
istrinya yang taat baik makanan, pakaian, tempat tinggal perkakas ruah tangga dan lain-lain menurut keadaan ditempat masing-masing dan menurut kemampuan suami.
c. Sebab milik. Seseorang yang memiliki binatang wajib memberi
makan binatang itu, dan dia wajib menjaganya jangan sampai diberi bebanlebih dari semestinya (Rasjid,2014: 421-423).
6. Kadar Pemberian Nafkah
Kadar nafkah keluarga bagi istri atau anak pada waktu perkawinan atau setelah perceraian yang menjadi tanggung jawab mantan suami harus disesuaikan dengan :
a. Sesuai kemampuan Suami
Dalam nafkah keluarga begitu juga nafkah anak baik pada waktu perkawinan atau setelah perceraian, bahwa istri dituntut untuk tidak membebani suami diuar kemampuannya. Suami hanya berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya.
47
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (Q.S At-Talaq:7).
b. Tidak kikir dan tidak berlebihan
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Isra ayat 29
Artinya : “ Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (Q.S Al Isra: 29).
Maksud dari ayat tersebut adalah jangan terlalu kikir dan jangan pula terlalu pemurah karena terlalu kikir dalam memberikan nafkah keluarga sangat dikecam oleh Rosulullah SAW ( Zaerodin, 2012: 26).
Dalam membangun keluarga tidak akan tercapai keluarga yang bahagia tanpa tercukupinya nafkah. Dan hal ini merupakan kewajiban
suami sebagai kepala keluarga, meskipun telah terputus
48
dan tidak selayaknya berlaku kikir terhadap orang yang menjadi tanggung jawabnya.
7. Pentingnya Nafkah Terhadap kehidupan Anak
Tegasnya biaya mengasuh anak, apapun bentuknya apabila memang benar-benar diperlukan adalah menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya yang ada. Nafkah hidup anak pun yang berupa makanan, pakaian , tempat tinggal, kesehatan, dan biaya pendidikan dibebankan kepada ayahnya (Basyir, 1996: 94). Berikut ini pentingnya nafkah terhadap kehidupan anak yakni:
a. Sebagai kebutuhan hidup yaitu segala sesuatu yang muncul secara
naluriah dan sangat diperlukan oleh manusia untuk mempertahankan hidup. untuk bertahan hidup manusia harus memenuhi segala macam kebutuhannya. Adapun yang tergolong dalam kebutuhan hidup ini meliputi kebutuhan pangan, kebutuhan sandang dan pengobatan.
(http://perpustakaancyber.blogspot.in/2013/04/pengertian-kebutuhan-manusia.html/diakses 8 Januari 2016). Adapun yang dimaksud
kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, dan kebutuhan pengobatan yakni:
1) Kebutuhan pangan yaitu kebutuhan pokok yang berupa makanan
49
pangan setiap hari bagi kelangsungan hidup anaknya. Dalam sehari-hari manusia membutuhkan asupan makanan yang berguna untuk menunjang kegiatan aktivitasnya.
2) Kebutuhan sandang (pakaian) yaitu segala sesuatu yang
diperlukan oleh anak untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin, menutupi auratnya menurut cara-cara yang pantas sesuai etika yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dengan (http:// pojokmode.blogspot.com/2011/11/manfaat.berpakaian.html/diaks es 8 Januari 2017).
3) Kebutuhan pengobatan yakni kebutuhan akan pemeliharaan
kesehatan bagi anak, termasuk didalamnya adalah biaya
pengobatan, pemeriksaan ke dokter dan lain-lainya
(Asrori,1987:38). Penulis berpendapat bahwa nafkah ayah sangat berguna untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan anak sewaktu sakit. Berobat kedokter atau tenaga kesehatan lainnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini karena disesuaikan biaya perawatan (apabila diperlukan) dan pengobatan penyakit yang diderita anaknya.
b. Kebutuhan Tempat Tinggal yaitu rumah yang merupakan tempat