• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Gus Dur tentang Pancasila dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pandangan Gus Dur tentang Pancasila dan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan seorang presiden keempat di Indonesia. Selain itu, beliau lebih dikenal sebagai bapak bangsa yang memberikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi dan pluralisme dalam kebersamaan. Atau dalam istilahnya Adam Schwartz, penulis buku A Nation in Waiting bahwa Gus Dur adalah adalah Figur Neo Modernis Indonesia.

Pandangannya yang selalu menjadi perdebatan dan mengundang kontroversi, perlu kita kaji lebih mendalam untuk memahaminya secara komprehensif.

Banyak pemikiran Gus Dur, mulai dari pendidikan, kebangsaan, persatuan, pluralitas, keagamaan, hingga hal-hal kecil seperti guyonan

nyeleneh yang beliau lontarkan sebagai sarana kritik, yang perlu kita pelajari dan melanjutkannya.

Oleh sebab itu, dalam makalah ini, kami sangat tertarik untuk membahas tentang pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur)?

2. Bagaimana genealogi pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? 3. Apa dan bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang

berbagai persoalan agama hingga kebangsaan?

C. Tujuan Pembahasan

1. Menceritakan biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

2. Menjelaskan genealogi pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 3. Menyebutkan dan menjelaskan tentang berbagai bentuk pemikiran

(2)

BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Nama Abdurrahman pada awalnya disandingkan dengan nama Addakhil (sang penakluk), yakni seorang pejuang pada masa Dinasti Umayyah. Namun, kata Addakhil tidak cukup dikenal sehingga diganti dengan nama Wahid. Yang kemudian nama Abdurrahman Wahid lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.1

Abdurrahman Wahid lahir di Jombang pada tahun 1940. Dia adalah putra pasangan Abdul Wahid Hasyim dengan Salikha. Dari garis ayah, dia adalah cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, sedangkan dari garis ibu, dia adalah cucu Kiai Bisri Syamsuri. Dengan demikian, nasabnya dari keturunan para ulama besar dan sekaligus pendiri NU.2

Walau demikian Gus Dur pernah memberi pernyataan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Mengaku keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri kesultanan Demak.3

Sejak tinggal di Jakarta sejak tahun 1944, KH. Wahid Hasyim dan Gus Dur disibukkan dengan menerima tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh dengan berbagai bidang profesi, khususnya politikus. Yang mana tradisi ini memberikan pengalaman tersendiri bagi Gus Dur yang secara tidak langsung, mengenalkannya dengan dunia politik.

Riwayat pendidikan. Gus Dur pernah masuk Sekolah Dasar KRIS yang sebelumnya pernah pindah dari SD Matraman. Untuk menambah khazanah pengetahuan formal, ayahnya menyarankan untuk privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl (Jerman) atau dikenal dengan nama Iskandar. Dari Buhl inilah Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.4

1 "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak laki-laki kiai yang berati "abang" atau "mas". Lihat dalam, Muhammad Zaki, Gus Dur Presiden Akhirat,

(Sidoarjo: Masmedia Buana, 2010), hlm. 1.

2 Mujamil Qomar, NU Liberal, (Bandung: Mizan, 2002), 164.

3 Tan Kim Han sendiri berdasarkan penelitian seorang peneliti perancis, Louis Charles, di identifikasi sebagai syekh Abdul Qadir Al Shini yang makamnya di daerah Trowulan, Jawa Timur. Lihat, Muhammad Zakki, Gus Dur Presiden Akhirat, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2010), hlm. 2

(3)

Pada bulan April 1953, Gus Dur meneruskan sekolah di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama). Gowongan sambil mondok di Krapyak Jogjakarta.5 Bersamaan dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan KH. Ali Maksum. Pada 1959 Gus Dur pindah ke Pesantren Tambak Beras Jombang, kesibukannya mengajar dan aktifis jurnalis di majalah Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Setamat dari SMEP Gus Dur

melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah.6

Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan sewaktu beranggapan bahwa Kairo sudah tidak sesuai lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad Irak pada tahun 1966 dan mengambil fakultas sastra.7 Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studi ke Eropa, namun karena persyaratan yang ketat ia putus asa. Akhirnya Gus Dur menjadi pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan.

Dalam karier politiknya, Gus Dur menjabat sebagai ketua umum PBNU (Nahdlatul Ulama) selama tiga masa jabatan mulai dari periode 1984 hingga periode 1994. Dan pada tahun 1999 beliau mengundurkan diri dari kepemimpinan NU karena terpilih sebagai presiden RI ke-IV.8 Disamping itu, Gus Dur pernah menjadi anggota legeslatif dan eksekutif, bahkan menjadi anggota MPR dari utusan Golkar.

Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik islam mulai terbentuk, dan pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Pada Juli 1998 Gus Dur menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.

5 Muhammad Zakki, Gus..., hlm. 3. 6 Ibid, hlm. 4.

7 Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara,

(4)

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4. Dan selama 22 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden.

Selain sebagai politikus dan Presiden, Gus Dur juga merupakan seorang mistikus sejati. Terbukti dengan ungkapan-ungkapan syairnya yang menyentuh kalbu bagi setiap orang yang mendalaminya. Dan seringnya beliau mengunjungi makam Syaikh Abdul Qadir Jailani, pendiri Thariqat Qadariyah. Dan beliau juga menggeluti ajaran Thariqat Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jemaah NU.9

Selain itu, Gus Dur adalah penggemar berat (maniak) kesenian, olahraga (sepak bola dan catur), dan dunia film. Sehingga tak heran jika Gus Dur pernah diminta menjadi komentator bola di stasiun televisi dan pernah pula diangkat menjadi ketua juri Festifal Film Indonesia tahun 1986-1987.10

B. Sanad Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Gus Dur memiliki pemahaman yang luas, Pengetahuan yang luas itu disebabkan karena Gus Dur hidup dari berbagai latar belakang keilmuan, sosial, dan budaya.11Pertama, ia berasal dari kalangan pesantren yang toleran (moderat),

kedua, ia sudah mengenyam pendidikan di Timur Tengah yang radikal dan terbuka. Ketiga, ia banyak membaca buku-buku orientalis yang liberal dan rasional. Oleh karen itulah pernyataan Gus Dur sulit untuk dipahami dan diterima secara mentah-mentah.12

Bahkan ia tak segan-segan belajar kepada para buruh galangan kapal di Jerman. Sejak kecil, Gus Dur hidup di pesantren. Ketika di pesantren ia sudah menghadapi berbagai masyarakat. Di NU dia telah banyak mempelajari kitab-kitab klasik bahkan yang fundamentalis.

9 Al-Zastrauw Ng, Gus Dur; Siapa Sih Sampeyan?, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 25. 10 Muhammad Mirza, Gus Dur..., hlm. 7-8.

11 Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid” dalam Greg Fealy & Greg Barton, Ed., Tradisionalisme Radikal: Persinggungan NU-Negara, terj. Tim LkiS, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 167.

(5)

Semenjak remaja, Gus Dur sudah ‘melahap’ karya Karl Marx yakni What To Be Vladimir Lenin, karya Adam Schwartz, A Nation in Waiting, Kitab-kitab klasik, serta lainnya, dan hal ini merupakan fase internalisasi keilmuan Gus Dur.

Saat di Mesir ia bertemu dengan pemikir Islam liberal sampai yang fundamentalis kanan. Di Irak, Gus Dur bertemu dengan Saddam Husein dan menjadi salah satu Steering Committe partai Ba’ath.

Dalam pemikirannya, Gus Dur lebih bercorak progresif, sebab komitmen-nya terhadap adaptasi tiada henti dalam penerapan nilai-nilai keagamaan untuk secara tepat mempertemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di

masyarakat. Ia tidak takut di cap liberal, bahkan ia berpendapat bahwa nilai-nilai inti Islam adalah liberal.13

Kendati ia tidak belajar formal di Barat, ia sudah membaca secara

mendalam pemikiran Barat sejak usia muda. Selain itu, studi-studinya di Bagdad telah memberinya dasar-dasar yang baik mengenai pendidikna bercorak liberal, bergaya Barat dan sekular.

Sejak pertengahan tahun 70-an ia secara teratur melakukan kontak dengan beberapa intelektual muslim progresif lainnya, seperti Nurcholish Majid (Cak Nur) dan Djohan Effendi. Terdapat beberapa kemiripan pemikiran Gus Dur dengan Cak Nur dalam pandangannya mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam, dan kemaslahatan umat muslim.

Fazlur Rahman memang adalah guru Cak Nur dan mempunyai hubungan dengan kaum pemikir Islam Indonesia termasuk Gus Dur didalamnya. Sedangkan embrio keilmuan Rahman sendiri telah dibentuk atau dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Iqbal sebagai giant pemikirnya. Disamping Ahmad Khan dari India, Al-Afghani di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh di Mesir.

Pemikir Timur Tengah lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia khususnya mengenai penggunaan hermeneutik untuk memahamai Al-Qura adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Dari sinilah tertadap ketersambungan sanad keilmuan liberalisme pemikiran di Indoensia.

(6)

Dalam masalah politik, Gus Dur lebih mengerucut pada pemikiran Al-Afghani yakni tentang konsep “masyarakat ideal” yang secara konsisten dirumuskan oleh para pemikir Muslim modern sejak al-Afghani hingga Sayid Qutb dan al-Maududi.

Tampaknya pemikiran Cak Nur lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedangkan pemikiran neo modernisme Gus Dur telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU.

Pengaruh pemikiran liberal ini nampaknya semakin mewabah di

Indoensia. Terbukti sejak akhr tahun 1990-an muncul kelompok anak muda yang menamakan diri kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberi respon terhadap berbagai permasalahan yang muncul pada akhir abad ke-20. Diantara mereka seperti: Taufiq Adnan Amal, Rizal Malarangeng, Denny JA, Syaifullah Fatah, Hadi Mulyo, Ulil Abshar Abdallah, dll.

Dalam analisa kami, Gus Dur yang dilahirkan dari keluarga pesantren yang seharusnya memiliki corak pemikiran tradisionalisme konservatif keagamaan, namun malah keluar dari kekangan dogma, yakni dengan corak pemikirannya yang liberalis progresif. Itulah salah satu keunikan pemikiran Gus Dur yakni sebagai pemikir ‘bebas’ yang tidak terkekang oleh dogmatisme pemikiran konservatif.

C. Berbagai Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Gagasan-gagasannya yang segar dan pikiran-pikirannya yang jauh kadang membuat masyarakat sulit mengikuti dan memahaminya. Demikian pula

prilakunya yang melampaui kelaziman membuat berbagai kalangan meng-khawatirkan dirinya.14

Melihat apa yang terjadi, Gus Dur tidak sekedar menjadi sosok individu seorang manusia, lebih dari itu Gus Dur telah menjadi teks dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia. Apa yang dilakukan, dibicarakan, dan dipikirkannya menjadi bahan perbincangan masyarakat diberbagai kalangan.15

Berikut ini beberapa pemikiran Gus Dur:

(7)

1. Tidak Ada Sistem Negara Islam

Dalam artikel berjudul “Negara Islam, adakah konsepnya?”, Gus Dur mengajukan sejumlah pertanyaan terkait dengan negara Islam, yakni sebagai berikut.

Ada pertanyaan amat menarik untuk diketahui jawabannya, apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauh hal ini dirasakan kalangan pemikir Islam sendiri? Apakah konsekuensi konsep ini bila memang ada? Lalu apakah konsekuensi dari konsep itu sendiri? Rangkaian pertanyaan itu perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam.16

Karena itu Gus Dur berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD

(Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan Undang-Undang (UU) di pihak lain.17 Dengan kata lain beliau menyatakan bahwa Islam adalah jalan hidup (syariah), tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara.

2. Pribumisasi Islam

Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosialbudaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Durterhadapgejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”.

Kecenderungansemacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadapaktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu terlihatmisalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakankata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnyasudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk penyebutanFakultasKeputrian dengan sebutan kulliyatul bannat

di UIN. Jugaketidakpuasanorang awam jika tidak menggunakan

16 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 81.

(8)

kata “ahad”untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolaholahkalau tidak menggunakan kata-kata berbahasaArab tersebut,akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akanberkurang karenanya.18

Formalisasiseperti ini, menurutGus Dur,merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketikamenghadapi“kemajuanBarat” yang sekuler.Maka jalan satu-satunyaadalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasiyang diyakinisebagai langkah ke arah Islamisasi.

PadahalArabisasi bukanlahIslamisasi.Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudahdiungkapkanpada tahun 1980-an, yakni ketika ia mengungkapkangagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agarWahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor–faktor kontekstual, termasuk kesadaranhukum dan rasa keadilannya. Sehubungandengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnyadengan“pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsiliasi”Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agarbudaya lokal itu tidak hilang.19 Di sini pribumisasi dilihat sebagaikebutuhan,bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi antaraagamadengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukansebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal,karena dalam pribumisasi Islam harustetap pada sifat Islamnya.

PribumisasiIslam juga bukan semacam“jawanisasi” atausinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkankebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskanhukum-hukumagama, tanpamerubah hukum itu sendiri. oleh karena itu, unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sebagai sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. sedangkan yang bertentangan harus dihilangkan atau diganti.20

3. Pendidikan Islam

Gus Dur pernah menulis disalah satu artikelnya bahwa;

Pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang

18 Ibid, hlm. 245.

(9)

berserak-serak di seluruh penjuru dunia... Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yang

merisaukan hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian alamiah dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri.21

Terkesan selama bahwa pendidikan Islam hanyalah mengajarkan tentang berbagaimacam hukum-hukum agama dan banyak hal didalamnya. Padahal, tugas dari pendidikan Islam bukan hanyalah itu saja, namun yakni pendidikan Islam harus mampu memberi jawaban atas segala persoalan kehidupan utamanya dalam tantangan arus modernisasi.

Pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran, baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, ‘arisan’ dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini.

Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi tugas berat para perencana pendidikan Islam. Kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.

4. Pluralisme Agama

Gus Dur merupakan salah satu dari sekian tokoh di Indonesia yang menjunjung pluralisme agama. Yang mengakui keberagaman agama harus

(10)

dihormati tanpa adanya intimidasi dan menganaktirikan. Salah satu contoh konkrit pembelaan Gus Dur terhadap paham Konghuchu di Indonesia.

Sebagian orang Tiong Hoa yang datang ke Indonesia memandang bahwa paham Konfusianisme sebagai agama. Mereka membawa serta budaya-agama yang diwariskan nenek moyang mereka sebagai tradisi yang harus diikuti.

Disinilah letak persoalannya, paham Konghuchu itu dianggap sebagai agama atau bukan.

Lalu pertanyaanya apa pendapat penulis tentang ini? Mudah saja. Bahwa para pemeluk paham Konghuchu-lah yang seharusnya menentukan bukan pihak pemerintah. Kalau mereka menganggap itu sebagai agama maka hal itu harus diterima oleh pemerintah. Kalau ada pejabat pemerintah tidak menghargai hal itu, mereka menentang Undang-Undang Dasar 1945.22

Disitulah letak pluralisme agama yang mengakui kemajemukan agama didunia apalagi lingkup lokal yang harus diakui dan dihargai. Karena hal ini sesuia dengan sila Pancasila pertama bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang secara implisit mengajarkan kita untuk bersifat plural.

Dari seluruh pemikiran Gus Dur sebenarnya satu hal yang tersirat dibalik semua itu, yakni sesungguhnya Gus Dur menginginkan adanya respon balik kritisisasi atas pemikirannya, karena beliau meyakini bahwa tidak ada konsep pemikiran yang sempurna. Disitulah makna tersirat dibalik Gus Dur sebagai seorang kritikus.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

22 Abdurrahman Wahid, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid,

(11)

Dari seluruh uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Gus Dur

merupakan tokoh pemikir Islam modern di Indonesia yang pandangannya banyak mengundang kontroversial namun dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pandangannya yang maju mulai dari kehidupan sosia, budaya, pendidikan, hingga keagamaan yang pelik dapat dijawab jengan lugas ala nyeleneh Gus Dur. Dari itulah kita sebagai generasi penerus haruslah banyak belajar atas segala aspek kehidupan Gus Dur, mulai dari pemikiran, kesederhanaan, dan lainnya.

B. Kritik dan Saran

Saran kami ialah tirulah dan dalamilah pemikiran Gus Dur tentang menjawab segala persoalan kehidupan. Serta kami berharap agar pembaca yang budiman memberikan saran atau kritik kepada kami, tim penulis untuk

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zastrauw Ng, Gus Dur; Siapa Sih Sampeyan?, (Jakarta: Erlangga, 1999) Fealy, Greg & Greg Barton, Ed., Tradisionalisme Radikal: Persinggungan

NU-Negara, terj. Tim LkiS, (Yogyakarta: LkiS, 1997)

Hamid, Abdul dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

Mirza, Muhammad, Gus Dur Sang Penakluk, (Jombang: Pustaka Warisan, 2010) Murod, Ma’mun, Menyingkap Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang

Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999)

Qomar, Mujamil, NU Liberal, (Bandung: Mizan, 2002)

Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006)

Wahid, Abdurrahman, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid,

(Yogyakarta: LkiS, 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Pakan yang dibuat dari berbagai bahan pakan yang berbagai bahan pakan yang diramu menggunakan formulasi tertentu sehingga diramu menggunakan formulasi tertentu sehingga memenuhi

Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar sebagai hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran

Penelitian dengan metode kualitatif ini menemukan bahwa: (1) politik ekonomi air sangat dinamis melibatkan beragam aktor lokal, nasional, global dengan kepentingan dan ideologi

Pengaruh Pemberian Isoflavon Terhadap Jumlah Eritrosit Dan Aktivitas Enzim Katalase Tikus Yang Dipapar Sinar Ultraviolet.. Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid Total Dari

Ektrak daun binahong diperoleh dari maserasi daun binahong dengan pelarut metanol dan dipartisi dengan menggunakan pelarut etil asetat, kemudian dilakukan uji

Sementara itu kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, mengurus rumahtangga dan golongan lain penerima pendapatan (Simanjuntak, 1985). Dalam

Berdasarkan analisis yang dilakukan maka didapatkan hasil yakni pemahaman masyarakat terhadap perubahan iklim di kawasan pesisir Kecamatan Pariaman Utara adalah

Apabila terjadi perubahan ketentuan Polis mengenai tapi tidak terbatas pada ketentuan manfaat, biaya, dan risiko akan diberitahukan kepada Pemegang Polis melalui nomor atau