• Tidak ada hasil yang ditemukan

MUHAMMAD SANG REVOLUSIONER Eksplorasi Se (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MUHAMMAD SANG REVOLUSIONER Eksplorasi Se (1)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD SANG REVOLUSIONER

(

Eksplorasi Sejarah Revolusi Dakwah Nabi Perspektif Filsafat Sosial

)

Lutfi Rahmatullah, S.Th.I, M.Hum

Pasca Sarjana/Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplor sejarah revolusi dakwah

Nabi saw dalam perspektif filsafat sosial. Hal ini berangkat dari

realitas sejarah yang menegaskan bahwa, sosok “muhammad”

adalah pribadi yang kompleks. Selain sebagai Nabi, dia juga seorang

manusia yang sejarah hidupnya begitu kaya dan beragam, banyak

wilayah sosial yang diperankannya, ia juga tampil sebagai tokoh

revolusi terpenting, yang membangun suatu ummat yang akan berada

dalam “revolusi yang permanen” menegakkan keadilan sosial,

persaudaraan kemanusiaan dan memperjuangkan suatu masyarakat

tanpa kelas. Hal ini membawa perubahan radikal pada wilayah

teologis, bahasa, politik, bahkan ekonomi dan budaya.

Fragmen-fragmen kehidupan muhammad yang penuh ragam dan kaya dimensi

itu akan selalu menimbulkan inspirasi untuk dikaji dari berbagai

perspektif.

Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab melalui tulisan ini

adalah, pertama, bagaimana bentuk revolusi dakwah Nabi saw dalam

mengkonstruksi tatanan masyarakat baru saat itu ?.

Kedua,

bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan social change

sebagai implikasi dari revolusi dakwah Nabi saw ?.

Ketiga, apa

relevansi revolusi dakwah Nabi saw dalam konteks perubahan sosial

di Indonesia ?.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah

(heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi) yang di

sajikan melalui perspektif filsafat sosial sebagai kacamata analisis,

yang mencoba mengkaji secara komprehensif dan kritis fenomena

sosial dan politik yang melingkupi perjalanan dakwah Nabi saw,

sehingga menghasilkan sebuah kajian yang dinamis progresif atas

sirah Nabawi, yang selama ini didominasi oleh nuansa normatif

teologis.

(2)

A.Pendahuluan

Sejarah sebuah tradisi agama merupakan dialog berkelanjutan antara realitas transenden dan peristiwa terkini di ranah duniawi. Orang yang beriman menyelidiki masa lalu (sejarah) yang disucikan, mencari pelajaran yang dapat berbicara secara langsung kepada kondisi kehidupan mereka.1 Sebagian besar agama memiliki figur utama, seorang individu yang menjelmakan nilai nilai keimanan dalam sosok manusia. Dalam agama Islam, sosok ideal sebagai figur utama tentu merujuk kepada Nabi Muhammad saw yang secara teologis mendapatkan legitimasi sebagai prototype (uswah hasanah) yang harus diteladani.

Profil Muhammad sebagai Nabi diyakini menjadi contoh ideal (par excellence) dalam menjalani kehidupan. Dari sini dapat difahami makna penting dari upaya Muhammad Ibn Ishaq (w.767) dalam menulis Sirah

Nabawiyyah yang kemudian diedit dan direvisi oleh Ibn Hisyam (w.833). Dua

karya inilah merupakan kitab tertua yang sampai kepada kita tentang sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. Karya penting lainnya dan merupakan kitab yang tergolong tertua yang sampai kepada kita adalah

al-Maghazi oleh Muhammad Ibn Umar al Waqidi (w.823), Muhammad Ibn sa’ad

(w.845)2 serta Ibn Jarir Ath Thabari (w.923) melalui karyanya Tārīkh al-Rusūl

1 Sejarah merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi pada masa lampau dan

dapat diambil sebagai pelajaran, sebagaimana yang diungkapkan oleh F.R Ankersmit, bahwa sejarah sebagai guru kehidupan (historia magistra vitae). Oleh karena itu dengan mengetahui peristiwa masa silam, sejarah pada gilirannya bermakna sebagai pedoman bagi masa kini dan masa yang akan datang. Untuk mencapai hal tersebut, maka sejarah harus ditulis secara akurat dan lepas dari maksud tertentu kecuali untuk mencapai kebenaran sejarah. Lebih jauh lihat Dudung Abdurrahman "Pengantar Sejarah dan Peradaban Islam" dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga &LESFI, 2002), hlm. 7. Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis (Yogyakarta: PLP2M, 1984), hlm. 8.

2 Penulisan sejarah Islam dimulai dengan menuliskan sejarah yang berkenaan

(3)

wa al-Mulk.3 Para sejarahwan ini tidak sekedar mengandalkan ingatan dan kesan kesan mereka sendiri, melainkan sedang mengupayakan rekonstruksi sejarah yang serius. Mereka memasukan dokumen dokumen awal dalam narasi mereka, melacak tradisi lisan hingga kesumber aslinya. Lantaran upaya upaya merekalah kita tahu lebih banyak tentang “Muhammad” dari pada tentang hampir semua pendiri tradisi tradisi religius besar lainnya.

Sebagai tokoh yang memiliki peran ganda menjadikannya sosok pribadi yang unik dan kompleks. Karena selain sebagai Nabi, dia juga seorang manusia yang ikut sepenuhnya dalam kehidupan sosial (sebagai seorang suami, ayah, kepala negara, hakim, panglima perang dll). Hal ini tidak jarang menjadikan kesulitan bagi kalangan non-Muslim untuk memahami peranan Nabi Muhammad saw sebagai prototipe kehidupan religius dan spiritual. Kesulitan ini disebabkan karena peranan spiritual Nabi yang paling murni tersembunyi di balik peranan manusiawi dan tugasnya sebagai pembimbing manusia dan pemimpin masyarakat.4 Kondisi ini menjadikan sejarah hidupnya begitu kaya dan beragam, banyak wilayah sosial yang diperankannya. Fragmen-fragmen kehidupan muhammad yang penuh ragam dan kaya dimensi itu selalu menimbulkan inspirasi untuk dikaji dari berbagai perspektif.

Biographical Literature” dalam Historians of the Middle East, ed. Bernard Lewis dan P.M Holt (London: Oxford University Press, 1962), hlm. 54-58.

3 Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari, Tārīkh al-Rusūl wa al-Mulk, Ed. Muhammad Abu

Fadl Ibrahim, cet. Ke-4, 13 Jilid (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1382 H/1962)

4 Nabi Muhammad saw berperan bukan saja sebagai pembimbing spiritual, tetapi

(4)

Beragam karya sejarah dan puisi baik dari kalangan Muslim maupun orientalis dilahirkan untuk menghormati serta mengabadikan perjalanan hidupnya (Muhammad) sebagai pemimpin besar yang diakui oleh dunia. Visi dakwah yang dibawanya telah melahirkan revolusi besar terhadap tatanan masyarakat.

Tak heran jika ia dianggap sebagai tokoh revolusi terpenting, yang

membangun suatu ummat yang akan berada dalam “revolusi yang permanen”

menegakkan keadilan sosial, persaudaraan kemanusiaan dan memperjuangkan

suatu masyarakat tanpa kelas. Hal ini membawa perubahan radikal pada

wilayah teologis, politik, bahkan ekonomi dan budaya.

Gerakan revolusioner yang dilakukannya menjadikan alasan kuat bagi Michael H. Hart ketika meletakan Nabi Muhammad saw pada rangking pertama di antara seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah kehidupan manusia :

My choice of Muhammad to lead the list of the world’s most influental persons may surprise some readers and may be questioned by others, but he was the only man in history who was suremely sucsessful on both the religious and secular level.5

Hal ini juga diakui Armstrong dalam salah satu karyanya, ia menyatakan bahwa “Muhammad” sebagai “The Perfect man of his Generation and a particularly effective symbol of the divine”.6 Sosoknya menjadi teladan yang baik

(good model) bagi ummatnya dalam seluruh totalitas kepribadiannya, baik sebagai pemimpin, pedagang, pendidik atau sebagai kepala rumah tangga. Dan dengan jujur Armstrong juga menyatakan bahwa “Muhammad” adalah seorang yang sangat cerdas (a man of exceptional genius)7 dan juga seorang

spiritual-genius.8

5 Michael H. Hart, 100: A Rangking of the Most Infuential Person in History (New

York: Hart Publishing Company, 1978), hlm. 33

6 Karen Armstrong, A History of God (New York: Ballantine Book, 1994), hlm. 238.

Sebagai seorang penulis produktif (khususnya kajian agama agama di dunia) dari Barat dalam banyak karyanya menyiratkan simpatik yang mendalam terhadap Islam.

7Ibid, hlm. 135.

(5)

Berangkat dari hal tersebut, melalui tulisan ini penulis mencoba mengelaborasi lebih jauh perjalanan revolusi dakwah Nabi saw melalui perspektif filsafat sosial sebagai kacamata analisis, yakni mencoba mengkaji secara komprehensif dan kritis fenomena sosial dan politik yang melingkupi perjalanan dakwah Nabi saw, sehingga menghasilkan sebuah kajian yang dinamis progresif atas Sirah Nabawiyyah, yang selama ini didominasi oleh nuansa normatif teologis.

Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab melalui tulisan ini adalah, pertama, bagaimana bentuk revolusi dakwah Nabi saw dalam mengkonstruksi tatanan masyarakat baru saat itu ?. Kedua, bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan social change sebagai implikasi dari revolusi dakwah Nabi saw ?. Ketiga, apa relevansi revolusi dakwah Nabi saw dalam konteks perubahan sosial di Indonesia ?.

B.Pembahasan

1.Revolusi Dakwah Nabi Muhammad saw

Analisis sejarah Islam menunjukkan bahwa Islam sendiri muncul sebagai agama revolusioner dan sejak itu pula telah bekerja sebagai suatu gerakan revolusioner yang berkesinambungan. Dalam konteks historis, kaum Muslim telah mencapai tingkat solidaritas sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana diabadikan dalam kitab suci al-Qur’an.9 Hubungan egaliter antara kelompok masyarakat yang terbagi menjadi suku suku terbangun setelah kehadiran Islam di Jazirah Arab. Peran Muhammad dalam mendamaikan antar kelompok sosial sangat signifikan karena ia dikenal oleh tiap tiap kelompok sosial yang ada sebagai manusia berkepribadian dan

9 Bentuk solidaritas ideal dalam masyarakat tersebut dinisbatkan pada kondisi

(6)

tidak memiliki cacat moral, ia dipercaya oleh mereka sebagai manusia objektif, tidak memihak dan penganjur egalitarianisme.

Kehadiran Nabi saw dengan membawa risalah Islam, sangat concern

perhatiannya terhadap kaum tertindas, tertekan dan teraniaya. Karena itu misi dan perjuangan para Nabi memiliki tujuan yang sama, yaitu penegakkan tauhid dan membebaskan kaum yang lemah tertindas10, memproklamasikan kebenaran, dan membangun orde orde sosial atas dasar kesamaan hak, keadilan sosial dan persaudaraan.11

Untuk memahami gerakan revolusioner, mengetahui kondisi sosial, politik religius, budaya dan ekonomi yang sedang berlangsung sangatlah penting, karena gerakan perubahan (revolusioner) sebenarnya selalu berangkat dari kondisi ini. Oleh karena itu, perlu kiranya kita mengkaji kondisi sosio kultur masyarakat Arab sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. Hanya dengan cara demikian kita dapat memahami signifikansi Muhammad sebagai sang revolusioner.

Kondisi dunia sekitarnya saat kelahiran “Muhammad” diilustrasikan sebagai masyarakat yang tidak bermoral. Dalam suasana alam yang gersang panas berpasir, kehidupan individu tidak pernah menemukan ketenangan dan kedamaian. Masyarakat badui, penghuni padang pasir Arabia, tercabut dari karakteristik kemanusiaannya. Kekurangan harta benda ditengah terik padang pasir menyuburkan kriminalitas dan penyakit sosial lain yang demikian kronis. Pembunuhan, perampasan, perkosaan dan perjudian menjadi warna dominan yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat. Keramaian manusia selalu ditemukan di setiap sudut kota dalam pesta pesta minuman keras, lokalisasi wanita dan meja meja perjudian.

10 Dijelaskan bahwa Tuhan menjanjikan dalam kitab suci al-Qur’an bahwa

perjuangan para Nabi akan dimenangkan untuk mewarisi bumi. Lihat al-Qashas ayat 5:”Dan kami hendak memberi karunia kepada orang orang yang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikannya mewaris bumi”.

11 Lihat Ziaul Haque, Revolusi Islam di Bawah Bendera Laa Ilaa ha Illallah (t.tp: Darul

(7)

Jauh sebelum kelahiran “Muhammad”, Makkah merupakan pusat keagamaan dan perdagangan, karena posisinya yang strategis dan sakral. Kondisi masyarakatnya waktu itu adalah masyarakat buta huruf, Ibnu Jarir Al-Thabari memperkirakan hanya 17 orang yang mampu membaca dan menulis.12 Mereka sangat menggemari syair sesuatu yang dibacakan dan didengarkan, bukannya ditulis. Kondisi ini tidak menjadi persoalan bagi masyarakat Makkah, karena pandangan sosial mereka sangat sempit. Hal ini menunjukan bahwa mereka sangat sulit memahamai orang lain di luar sukunya. Tata aturan mereka terbatas pada adat kesukuan yang tidak tertulis. Mereka sangat membanggakan nenek moyangnya. Jika perasaan kesukuan tersebut sampai tersinggung, maka akan terjadi pertumpahan darah dalam waktu yang panjang, bahkan berlangsung sampai beberapa generasi.

Saat itu struktur suku di Makkah mengalami perpecahan, dan proses individualisasi mulai berlangsung. Suku suku pecah, atau dalam proses menjadi kelompok keluarga yang lebih kecil, karena berkembangnya hubungan baru yang didasarkan pada harta kekayaan. Meskipun rasa kesukuan mulai memudar, namun masih tetap diperlukan oleh masyarakat, untuk menjaga ketertiban dan melaksanakan hukum lintas suku, hal ini dikarenakan tidak adanya institusi seperti negara formal yang mengatur sistem masyarakat mereka,13 sehingga rentan terjadi antagonisme. Kondisi politik tidak kalah rumitnya. Bangsa Arab adalah bangsa yang merdeka namun ganas dan kemerdekaan itu mereka jaga dengan sangat hati hati. Dua bangsa besar saat itu, Romawi dan Sasanid tidak ada yang berhasil menundukkannya. Mereka hidup dengan bebas di jazirah Arab, dengan nilai nilai individualisme suku dan tidak ada konsep kemanusiaan di luar sukunya,

12 Dikutip dari Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology: Essay on Liberative

Elements in Islam. Edisi Indonsia, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 42.

13 Mekanisme pemerintahan diwakili dengan lembaga yang disebut Mala’a,

(8)

karena persatuan sesuatu yang hina bagi mereka. Hanya beberapa suku di Makkah yang mengadakan kerja sama (inter tribal corporations) untuk tujuan perdagangan.14

Masyarakat Arab padang pasir pada umumnya tidak memiliki agama formal atau doktrin tertentu. Berbeda dengan penduduk Makkah yang menyibukan diri dengan pekerjaan terutama perdagangan, mereka membutuhkan agama formal, terutama kelas paling bawah, dikarenakan kesulitan materi yang disebabkan oleh ketimpangan dalam distribusi kekayaan, sehingga mereka memerlukan ketenangan spiritual. Agama, sebagaimana di negara kota Yunani, juga difungsikan untuk tujuan ramalan. Kehidupan religius Makkah pada dasarnya secara umum percaya kepada Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim, tetapi dari masa ke masa, sedikit demi sedikit ajaran itu begeser dan luntur. Memang mereka masih mengakui wujud Allah, dan bahwa Allah adalah pencipta alam raya ini, karena itu beberapa kali al-Qur’an menegaskan bahwa apabila mereka ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi mereka pasti berkata “Allah” dalam surat al-Zumar : 38 :

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.

Dalam surat al-Ankabut (29) ayat 63 juag dijelaskan, jika mereka ditanya tentang siapa yang menurunkan hujan atau bahkan yang menciptakan mereka,

14W. Montgomery Watt, Islam and the Interpretation of Society (London: t.p, 1962),

(9)

mereka pun akan menjawab “Allah”. Dalih mereka menyembah berhala adalah, karena Allah terlalu tinggi dan luhur sehingga perlu ada perantara perantara antara manusia dan Allah. Mereka kemudian menjadikan malaikat malaikat sebagai perantara dan untuk maksud tersebut mereka membuat patung berhala untuk mereka sembah sambil menyatakan, bila dikecam15 :

Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (az Zumar : 3)

Karena hal inilah para sejarawan Muslim tidak memberi predikat kepada penduduk Makkah dan sekitarnya dengan sebutan “penyembah berhala” tetapi sebagai “orang orang yang mensekutukan”16, yaitu mensekutukan Allah dengan patung dan berhala berhala. Tercatat ada 360 berhala yang diletakan di Ka’bah, yang paling terkenal adalah Hubbal (dianggap tuhan tertinggi), Latta, Mannat, Uzza’.17

Kondisi sosial ekonomi lebih suram lagi. Kaum wanita tidak dapat memainkan peran yang independen dalam bidang sosial ekonomi politik. Mereka harus hidup dengan suami yang rata rata memiliki istri lebih dari

15 Lihat Muhammad Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam

Sorotan Al-Qur’an dan Hadis Hadis Shahih (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 130.

16 Masyarakat Makkah disebut dengan al-musyrikun yang diartikan orang musyrik.

Orang yang profesi atau keahliannya melakukan penyekutuan. Lihat Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, juz. III (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993), hlm. 80.

17 Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari, Tārīkh al-Rusūl wa al-Mulk, Ed.

(10)

empat istri dan wanita dianggap sebagai beban hidup. Yang paling memprihatinkan adalah kondisi perekonomian, banyak terjadi ketimpangan, dimana struktur ekonomi kesukuan mengalami keruntuhan dangan tumbuhnya oligarki perdagangan dengan sistem kapitalistik eksploitatif. Hal ini menyuburkan keserakahan terhadap materi, bahkan aturan aturan kesukuan sudah mulai tidak lagi dihiraukan. Sebagian mereka menjadi kaya raya, sementara yang lain dalam keadaan miskin, tidak ada lagi tolong menolong meskipun dalam satu suku. Kesengsaraan tidak terlukiskan lagi. Anak anak yatim, janda janda, serta budak tak terhitung lagi jumlahnya. Mereka dipaksa bekerja dengan upah yang sangat minim. Mereka tidak lagi dianggap memiliki harkat dan martabat kemanusiaan. Kemudian muncullah solidaritas kelas berdasarkan harta, yang menggantikan solidaritas kesukuan.

Dalam kondisi chaos seperti itulah Muhammad saw sebagai nabi akhir zaman terlahir untuk membangun dimensi dimensi revolusioner bagi pembebasan dan perubahan. Kehadirannya dengan membawa risalah Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara signifikan dalam panggung sejarah manusia. Tidak diragukan lagi, Islam telah menjadi penanda perubahan, bukan hanya dalam teologi, namun juga dalam sosial ekonomi. Revolusi dakwah Nabi saw menghendaki adanya transformasi struktural. Karena Islam selalu berupaya merombak struktur struktur ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat. Itulah sebabnya gerakan kelas dalam Islam bukanlah untuk mengantarkan kelas mustadz’afin untuk menegakan kediktatoran baru (dictactorship of proletariat) melainkan untuk melakukan transformasi dalam kerangka struktur struktur baru yang lebih adil.

(11)

kehidupan manusia akibat dari benturan antara cita-cita ideal dan kenyataan melahirkan pertanyan dasariah tentang hidup manusia. bagaimana tatanan sosial harus dibangun ?, apa dan bagaimana keadilan, kesetaraan dan solidaritas sosial ?, bagaimana konsep kebebasan dan batasannya ?, Apa konsep masyarakat ideal dan apa bentuk ideal sebuah pemerintahan?

Semua pertanyaan ini muncul karena ada sebagian individu, sekelompok orang dan lembaga yang terlibat dalam konflik yang berkepanjangan, khususnya dalam kondisi sosial politik yang tidak menentu. Filsafat sosial lahir untuk membangun konsep ideal tentang tatanan masyarakat sebagai panduan bagi individu dan pemerintah, karena semua orang, individu yang mengatasnamakan dirinya sendiri atau yang berhimpun dalam organisasi sosial dan negara akan menagih kebebasan, pengakuan hak dan keadilan.18

Dari perspektif filsafat sosial, bentuk revolusi dakwah Nabi Muhammad saw bermuara pada prinsip transendental, yakni teologi pembebasan, humanisme, persaudaraan universal, kesetaraan dan keadalian sosial ekonomi. Nilai nilai tersebut terlihat dalam perjalanan hidupnya (Sirah Nabawiyyah) dalam menyampaikan risalah Tuhan :

a)Teologi Pembebasan (liberation theology)

Tauhid adalah basis utama dari perubahan yang digulirkan Nabi Muhammad saw. Pandangan tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, selain itu adalah kekuatan yang tidak mutlak. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakannya untuk semata kepada-Nya. Pandangan ini menggerakan manusia untuk melawan segala kekuatan, dominasi dan belenggu kenistaan oleh manusia atas manusia. Inilah esensi dari teologi pembebasan sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas dan kesetaraan.

18 Filsafat sosial juga melibatkan kajian sejarah dalam mengungkap kedalaman

(12)

Perubahan besar yang dilakukan Nabi Muhammad adalah reformasi sosial yang dilandasi pada solusi spiritual baru (tauhid), karena jika tidak perubahan itu akan tetap dangkal. Momentum besar ini bertepatan pada tahun 610 M ketika usianya mencapai empat puluh tahun, wahyu pertama turun kepadanya sebagai tanda kenabian, firman tersebut :

Dalam konteks wahyu pertama ini, masih sejalan dengan keyakinan suku Quraisy bahwa Allah telah menciptakan setiap mereka.19 Ayat ini menegaskan bahwa Dia bukanlah Tuhan yang jauh dan tak hadir melainkan ingin mengajarkan dan memandu makhluk-Nya. Sehingga mereka mesti “datang mendekat” kepada-Nya. Tetapi alih alih mendekati Tuhan dalam semangat

istighna’ (rasa cukup diri), mereka mesti bersujud di hadapan-Nya seperti budak hina : “tundukan kepala mu ke tanah” sebagaimana perintah Tuhan. Sebuah postur yang menjijikan bagi masyarakat Arab yang tinggi hati. Sejak awal sekali, agama Muhammad secara diametris bertentangan dengan beberapa prinsip dasar muruwah masyarakat Arab.

Dari perspektif sosiologis, ayat ini juga ingin menyadarkan masyarakat Arab yang diliputi oleh kesombongan, membanggakan kekuasaan manusia dan pengrusakan terhadap segala sesuatu di dunia ini. Konsep teologis yang

19 Masyarakat jahiliyah secara umum percaya kepada Allah, sebagaimana yang

(13)

dibawa Nabi Muhammad saw merupakan perubahan besar terhadap struktur soaial masyarakat Arab saat itu, hal inilah yang menjadikan dakwahnya ditentang begitu keras oleh masyarakatnya saat itu. Dr. Tohah Husain, cendekiawan Mesir terkemuka, menjelaskan hal tersebut :

“saya yakin bahwa jika (Nabi Muhammad) hanya mengajarkan keesaan Tuhan tanpa menyerang sistem sosial dan ekonomi, tidak memperdulikan perbedaan antara yang kaya dan miskin, yang kuat dan tertindas, budak dan majikan, dan tidak melarang riba, serta tidak menganjurkan orang orang kaya untuk mendermakan sebagain kekayaan mereka kepada orang miskin dan yang membutuhkan, mayoritas suku Quraisy akan menerima agamanya. Karena sebagian besar mereka itu tidak sungguh sungguh menyembah berhala dan tidak mempunyai hubungan emosional dengan berhala berhala tersebut. Sebenarnya mereka memanfaatkan berhala berhala itu untuk mempertahankan pengaruh mereka terhadap bangsa Arab.20

Hal senada juga dijelaskan oleh H.R Gibb :

“perlawanan yang dilancarkan oleh masyarakat Makkah bukanlah disebabkan sikap keras kepala mereka akan ajaran yang disampaiakan Nabi, namun karena alasan-alasan ekonomi politik. Mereka khawatir, ajaran yang disampaikan Nabi bisa mengancam kemakmuran ekonomi mereka, dan khususnya ajaran monoteisme murninya bisa menghancurkan aset ekonomi yang mereka kuasasi. Disamping itu, mereka juga sadar bahwa pengakuan mereka terhadap ajaran Muhammad akan memunculkan suatu bentuk kekuasaan politik baru dalam masyarakat oligarki yang mereka bentuk selama ini”.21

Konsep keimanan yang terangkum dalam prinsip rukun iman merupakan arus balik dari kondisi sosial masyarakat Arab jahiliyyah. Adanya konsep tentang “hari pembalasan” contohnya, merupakan respon kondisi masyarakat Quraisy saat itu yang tidak lagi merasa bertanggung jawab atas tindakan mereka. Mereka sibuk mengumpulkan harta kekayaan pribadi, tanpa memberi perhatian pada penderitaan kaum yang lemah. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan mereka akan memiliki konsekuensi yang berjangka panjang (di akhirat kelak).

Prinsip tauhid (keesaan) menjadi pusat spiritualitas Islam. Ini bukan sekedar sebuah penegasan metafisik yang abstrak tentang kesatuan tuhan, melainkan, seperti seluruh ajaran al-Qur’an, merupakan seruan untuk berbuat.

20 Taha Husein, al-Ftnah al-Kubra (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th), Jilid I, hlm. 11

21 H.R.Gibb, Muhammadanism (London: t.p, 1919), hlm. 18. Dikutip dari Aghar Ali

(14)

Kaum Muslim tidak hanya harus menolak untuk menyembah berhala-berhala, tetapi juga harus memastikan bahwa realitas lain tidak mengalihkan mereka dari komitmen mereka kepada Tuhan semata, harta, negara, keluarga, kekayaan materi dan bahkan ide ide mulia seperti cinta harus dinomorduakan. Melangkah lebih dari itu Nabi Muhammad saw merangkul semua anggota komunitas dengan penghormatan yang sama. Dia (Muhammad) melepaskan etos aristokratis masyarakat Quraisy, karena misi yang dibawanya adalah untuk yang kaya maupun yang miskin.22

Dari sini tampaklah bahwa teologis pembebasan yang dicanangkan Nabi saw, merupakan pengembangan struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala macam penghambaan dan perbedukan pada selaian Tuhan demi suatu cita cita eskatalogis yang sudah pasti. Oleh karena itu orientasi alturisnya yang berdasarkan pada etika transendental itu, juga harus diarahkan diarahkan kepada kehidupan yang objektif empiris. Dan karena kehidupan yang objektif empiris itu merupakan resultan dari kondisi sistem sosial ekonomi politik yang bersifat historis, maka perjuangan Islam adalah perjuangan untuk memperbaikinya.

Misi teologis monoteisme (tauhid) merupakan revolusi radikal dari misi kenabian guna menegakan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Kalimat singkat itu, jika digali maknanya secara mendalam memiliki dampak sosial politik yang sangat dinamis dan progresif. Bahwa melalaui kalimat tauhid, semua kekuasaan dan kekuatan dimuka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak, selebihnya hanyalah nisbi. Konsekuensinya, tidak seorang pun dimuka bumi ini, diizinkan untuk berkuasa secara lalim dan sewenang wenang. Seluruh penguasa otoritarian dan kediktatoran haruslah dimusnahkan, karena semua manusia memiliki posisi yang sama dihadapan-Nya.

22 Bahkan dalam satu kisah diceritakan bahwa, Rasulullah pernah mengabaikan

(15)

b)Persaudaraan Universal (universal brotherhood)

Persaudaraan merupakan manifestasi dari konsep ukhuwwah (brotherhood) yang memposisikan setiap muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain.23 Persaudaraan yang dibangun Oleh Nabi Muhammad disandarkan pada kesadaran humanistik bahwa tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri tanpa kontribusi makhluk lain. Setiap manusia meniscayakan keterlibatan antar individu dalam kolektivitas untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, keterikatan antar manusia adalah konsepsi yang melandasi hubungan timbal balik dalam solidaritas dan persaudaraan, ilustrasi metaforis yang menunjukkan konsep persaudaraan dalam Islam adalah sebagaimana sabda Nabi saw :”bahwa hubungan seorang individu Muslim dengan individu lainnya ibrat satu tubuh, jika sebagaian merasakan penderitaan maka bagian tubuh yang lain menunjukkan solidaritasnya”.

Hal ini tentu suatu hal yang tidak wajar bagi masyarkat Makkah saat itu, dimana persaudaraan hanya terkait dengan kesukuan yang fanatik. Dan menganggap acuh setiap penderitaan diluar golonganya. Konsep ini tentu membawa ketertarikan bagi golongan lemah (yang tidak punya prestise kesukuan dan financial). Terlihat bahwa pengikut Nabi saw, pada masa awal terdiri dari sekelompok orang yang dipandang lemah/kelas bawah. Pada tahap awal kenabian Muhammad hanya diakui segelintir orang, dari kalangan keluarga Khadijah dan putri-putri mereka, Ali, Zaid, sepupu Nabi, Ja’far ibn Abi Thalib, Abdullah dan Ubaidillah ibn Jahsy serta adik perempuan mereka, Zainab. Dari kalangan sahaya, ada Bilal ibn Rabbah, Abdullah ibn Mas’ud, Ammar ibn Yassar serta kedua orang tuanya. Pengikut Nabi saw yang paling semangat adalah sahabatnya, Attiq ibn Ustman yang lazim dikenal dengan kunyah-nya, Abu Bakr al-Shiddiq.

Konsep persaudaraan universal yang dibawa Nabi saw, tidak hanya berkisar pada komunitas Muslim. Dengan konsep yang berdasarkan firman Allah, “wahai manusia, sungguh kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan,

23 Landasan persaudaraan dalam Islam termaktub dalam surat al-Hujurat yat 10 :

(16)

lalu kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling kenal mengenal (ta’aruf). Sungguh, yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang pling bertaqwa.24 Konsep ini secara jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan. Kesalehan yang ditekankan bukan hanya kesalehan ritual.

Membangun persaudaraan universal adalah revolusi fundamental yang diperjuangkan Nabi saw, mengingat kondisi masyarakat Arab terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang biasa hidup secara badui, biadab, gemar berperang dan labil. Setiap hari mereka disibukan dengan masalah air dan rumput, karena memang itulah problem utama yang dihadapi.

Karakteristik ini terbentuk karena pengaruh alam yang sebagain besar berupa padang pasir. Watak alami pasir, pertama, tidak dapat disatukan. Pasir bagaimanapun, dimasukan kedalam karung kemudian diikat tetap tidak bisa bersatu, begitu juga watak orang Arab. Bangsa Arab, bersatu atau ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Kedua, pasir wataknya labil, mudah terbang kesana-kemari, kemana angin berhembus kesitu pasir mengarah. Demikian pula orang Arab, dimana mereka mendapat tempat perlindungan yang bisa menjamin atau membawa kebahagiaan, mereka akan segera mengikutinya dengan fanatisme dan semangat tinggi tanpa banyak pilihan.

Kegersangan gurun juga membentuk suku-suku dan kabilah jazirah Arab memiliki solidaritas internal yang kokoh disatu sisi, sekaligus ganas terhadap suku atau kabilah lain. Itulah sebabnya bangsa Arab juga dikenal sebagai bangsa yang antara suku dengan suku lainnya mudah untuk bermusuhan. Hanya karena tamunya diganggu bisa memicu perang saudara selama 40 tahun, ini kemudian dikenal dengan perang Fujjar.25 Rasulullah saw sendiri juga pernah terlibat dalam permusuhan kabilah. Yang ketika itu membantu

24 QS. Al-Hujurat : 13.

25 Menurut Ibnu Hisyam waktu perang Fijjar, Nabi saw berusia 14 atau 15 tahun,

(17)

pamannya Abu Thalib membawakan panah dalam perang tersebut. Itulah gambaran bangsa Arab ketika itu.

Di tengah bangsa yang demikian, Rasulullah saw diutus Allah membawa misi Islam yang sangat menekankan ukhuwwah, persaudaraan manusia atas dasar keimanan. Untuk tujuannya itu rasulullah memanfaatkan kefanatikan dan sifat indifa’ (emitional) yang menjadi watak bangsa Arab. Fanatisme yang semula digunakan utnuk membela kabilahnya, setelah Rasulullahg datang, digunakan untuk membela Islam, dan ternyata watak emotional yang tinggi dari bangsa Arab ini menjadi salah satu faktor yang mempercepat penyebaran Islam.

Selama 23 tahun, dengan segala kehebatan serta kebesaran dan kharisma yang dimilikinya, Rasulullah saw mampu meredam kefanatikan kabilah, menjadi kefanatikan agma, ghirah Islam, yang semula bangga dengan sebutan

al-Taimi, al-Adiy, al-Zahri, di masa Rasulullah saw menjadi bangga dengan sebutan al-Siddiq, al-faruq, Al-mutadlo, tegasnya membuang kebanggaan suku dan kabilahnya.

Dengan status yang disandangnya sebagai “rahmatan lil alamin”, sebagaimana dijelaskan al-Qur’an :”Dan aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”26. Cakupan rahmat bagi alam semesta memberi ruang gerak bagi tumbuhnya masyarakat plural (majemuk) yang senantiasa cinta damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan peradaban. Melalui revolusi dakwahnya, Nabi saw mampu membawa masyarakat menapaki kehidupan yang semakin cemerlang dari hari ke hari. Diawali periode Makkah yang masih mengedepankan paradigma “ukhuwwah

islmiyyah” persaudaraan internal Muslim. Kemudian berlanjut periode

Madinah yang menekankan “ukhuwwah wathaniyyah” persaudaraan lintas agama dan dipungkasi dengan peristiwa haji wada’ yang menjunjung tinggi “ukhuwwah basyariyyah” persaudaraan lintas etnis.

(18)

c)Humanisme

Bentuk revolusi Nabi saw berikutnya adalah, Visi kemanusiaan sebagai perubahan transendental. Visi ini didorong oleh problematika manusia yang dihadapkan kepada kegelisahan yang tidak pernah selesai dijawab yakni mengapa semua manusia harus diperlakukan secara adil dan bermoral? Pertanyaan ini memiliki jawaban yang juga tidak pernah selesai yakni karena semua manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang sama derajat, sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya. Harkat dan martabat manusia bersumber pada hakikat manusia sebagai manusia bukan hadiah dari orang lain, masyarakat atau negara. Hakikat manusia merupakan keutuhan baik dalam diri sendiri maupun dalam hubungannya dengan sesama sebagai makhluk sosial. Dimensi totalitas manusia bukanlah totalitas statis melainkan suatu totalitas dinamis, oleh karena itu, manusia adalah dinamika yang harus digerakkan, suatu potensialitas yang harus diaktualisasikan.

(19)

utuh, bebas dari ikatan yang merendahkan dan merdeka untuk mencapai derajat dan nilai kemanusiaan yang dicita-citakannya.27

Visi kemanusiaan dalam revolusi transenden berpijak kepada revolusi autentik yang berbeda dengan wacana revolusi sosial yang bermakna perubahan dahsyat struktural yang fokus utamanya perubahan dari akar-akarnya dengan kekerasan dan perjuangan berdarah. Revolusi transenden fokus pada radikalisme proses sadar diri, artinya proses untuk membuang semua bentuk kesadaran palsu yang ditanamkan oleh penjajah dan penguasa yang mau memaksakan citra, bahasa dan wacana sang penguasa pada cara pikir yang dikuasai.

Visi kemanusiaan yang dipromosikan revolusi transenden adalah suksesi kesadaran yakni dari kesadaran palsu menuju kesadaran sejati yakni penggunaan akal sehat dan penjernihan nurani untuk transformasi dan pemerdekaan yang berani tidak hanya melakukan dekonstruksi pada sistem-sistem berpikir sampai sosial yang membelenggu, tetapi juga berani berpikir kritis untuk mengkritisi pendapat wacana yang mencuci otak dan merepresi kebebasan berpikir apalagi kebebasan berpendapat dan bersuara.

Dalam masyarakat kapitalistik, manusia hanya menjadi element dari pasar, dalam masyarakat seperti itu, kualitas kerja manusia dan bahkan kualitas manusia sendiri ditentukan oleh pasar, jika mereka ingin bekerja, maka mereka harus menawarkan jasanya ke pasar. kondisi inilah yang dialami oleh masyarakat Makkah saat dakwah Nabi saw digulirkan. Masyarakat kapitalis Makkah menjadikan manusia sebagai bulan bulanan dari kekuatan pasar, malapetaka kemanusiaan dalam sistem kapitalistik ini ternyata tak lebih ringan dari malapetaka yang dihadapi manusia dalam sisten komunis, karena dalam sistem komunis, manusia tidak menjadi element pasar melainkan menjadi elemen birokrasi. Kedua sistem sosial tersebut hanya menempatkan manusia sebagai element.28

27 Babari, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sebagai Dasar Negara, dalam “Jurnal

Analisa” Jakarta, 1983, hlm. 861.

28 Dalam konteks ini, maka kedudukan manusia mengalami degradasi. Manusia

(20)

Hal ini tentu bukanlah tujuan dari risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Dalam Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusia menduduki tempat yang sangat terhormat. Dalam banyak sekali ayat al-Qur’an diserukan agar manusia menemukan esensi dirinya, memikirkan kedudukannya dalam struktur realitas, den dengan demikian mampu menempatkan dirinya sesuai dengan keberadaan kemanusiannya. Karena itu dalam perjalanan dakwahnya, Nabi saw begitu amat memuliakan niali nilai kemanusiaan, penghargaannya yang tulus terhadap siapapun dan dari agama manapun. Hal ini tercermin dari sabda sabdanya, “perlakukan seseorang sebagaimana engkau ingin diperlakukan”. Konsep sederhana ini sebenarnya merupakan suatu konsepsi yang sangat revolusioner jika diingat bahwa pada konteks kelahiran Islam sekitar abad ke-7 berada dalam kondisi amoral, bangsa Arab khususnya masyarakat badui telah tercabut dari karakteristik kemanusiannya.

Ibnu Khaldun, sejarahwan abad keempat belas, dalam karyanya

Muqaddimah menggambarkan karakter suku Arab Badui secara lugas :

“bahwa suku Badui adalah bangsa yang tak beradab yang terbiasa melakukan tindakan-tindakan yang tak bermoral. Kebiadaban telah menjadi watak dan sifat mereka. Mereka menikmatinya, karena hal ini berarti terbebas dari kekuasaan dan tiadanya ketundukan pada kepemimpinan. Watak alamiah ini merupakan pengingkaran dan anti tesis dari peradaban. Semua aktifitas keseharian mereka adalah mengembara dan berpindah-pindah. Ini adalah anti tesis dari kehidupan menetap, yang menghasilkan peradaban.... mereka tidak mempunyai bangunan yang permanen, yang menjadi pondasi peradaban.

Lebih dari itu, sudah menjadi sifat mereka untuk merampas apa saja yang memiliki orang lain. Makanan mereka didapat dengan melemparkan tombak ke musuh mereka. Mereka menganggap tak ada batas dalam mengambil milik orang lain. Kapan saja pandangan mereka melihat harta benda, peralatan atau barang-barang berharga lain, mereka mengambilnya....29

unsur unsur suatu sistem ekonomi atau sistem politik. Dalam beberapa aliran filsafat Barat, kedudukan manusia digambarkan secara absurd. Pada zaman Renaisans digambarkan sebagai pusat alam semesta, sedangkan pada zaman modern ini telah tereduksi hanya sebagai unsur kecil di dalam sistem raksasa, bahkan telah terbelenggu oleh mekanisme-mekanisme sistem itu. Posisi manusia semcam ini, celakanya, justru dijustifikasi oleh banyak aliran filsafat kontemporer.

29 Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn

(21)

Ibnu khaldun juga mengemukakan beberapa karakter khas kaum Badui lainnya, Ia berkata:

Bangsa Badui juga tidak peduli dengan hukum atau berusaha mencegah tindakan-tindakan yang tidak bermoral atau melindungi suatu suku dari penyerbuan suku lainnya. Hidup mereka hanya untuk mendapatkan harta benda yang mereka ambil melalui perampokan dan penyerbuan....

Dalam hukum Badui, kehidupan mereka mirip dengan negara anarki yang tanpa hukum. Anarki menghancurkan umat manusia dan merusak peradaban, karena, seperti yang sudah kami katakan, eksistensi kekuasaan kerajaan adalah kualitas alamiah manusia. Ini saja sudah menjamin eksisitensi manusia serta organisasi sosialnya.30

Tidak hanya masyarkat disekitar jazirah Arab, tapi kondisi dunia saat itu, terutama disebelah Barat, didominasi oleh pandangan filsafat Romawi dan Yunani yang melihat manusia secara muram dan pesimis. Kedatangan Nabi saw merombak pola struktur tersebut. Dengan menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan dimuka bumi ini. Penekanan pada kemuliaan manusia inilah sesungguhnya yang sangat revolusioner dari konsep Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an31:

“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka

di daratan dan di lautan. kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...,”

30Ibid., hlm. 119.

(22)

Melalui konsep humanisme ini, Nabi saw juga ingin menghapus sistem “perbudakan”32 yang merajalela pada saat itu, karena bertentangan dengan nilai nilai kemanusiaan. Paradigma ini mengehendaki agar manusia hanya melakukan pengabdian dan penghambaan pada Allah sang Khaliq, bukan terhadap sesama manusia.

d)Kesetaraan (equality) dan Keadilan Sosial (social justice)

Gagasan revolusi transenden yang di perjuangkan Nabi Muhammad saw menempatkan keadilan sosial sebagai pokok perjuangan. Spirit perjuangan ini didasarkan pada persoalan utama yakni keadilan selalu merupakan tantangan hidup yang tidak pernah berhenti diperjuangkan, karena perjuangan mewujudkan keadilan sosial adalah bagian integral peradaban manusia. Tujuan utama terwujudnya keadilan sosial ialah menyusun suatu masyarakat yang seimbang dan teratur yang semua warganya mendapat kesempatan untuk membangun suatu kehidupan yang layak. Keadilan sosial mewajibkan negara agar demi tercapainya kesejahteraan umum untuk membagi beban kerja kepada para warganya secara proporsional. Perjuangan keadilan sosial pada dasarnya memperjuangkan adanya pembagian kekuasaan yang adil dan memperjuangkan tegaknya demokrasi.

Keadilan sosial mendorong tegaknya makna autentik keadilan yakni persamaan dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk apapun, tetapi keadilan dalam arti persamaan ini masih perlu penjelasan. Persamaan itu ialah perlakukan yang mutlak sama antara setiap orang tanpa memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas dan fungsi antara seseorang dengan orang lain, maka yang terwujud bukanlah keadilan melainkan justru kezaliman. Arti persamaan yang didorong oleh keadilan sosial adalah setiap bagian harus berada dalam ukuran dan hubungan satu dengan lainnya secara tepat. Artinya, keadilan tidak harus menuntut persamaan, karena fungsi suatu bagian dalam hubungannya dengan bagian lain dan dengan keseluruhan

32 Dalam literatur fiqh banyak dijelaskan bahwa salah satu mekanisme

(23)

kesatuan menjadi efektif tidak karena memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang sama dengan yang lain, melainkan karena memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang pas dan sesuai fungsinya.33

Keadilan sosial tidak membenarkan konflik kelas sebagaimana pemikiran Marx, begitupula keadilan sosial tidak membenarkan persaingan bebas tanpa mempertimbangkan kekuatan dan potensi yang dimiliki masing-masing pelaku hidup. Keadilan sosial adalah gerakan pembaharuan dalam pembagian prinsip-prinsip dasar ekonomi yang di dalamnya ada pembatasan terhadap persaingan bebas dan monopoli ekonomi. Wacana ideal ini bukan membatasi kreativitas manusia sebagai makhluk yang merdeka tetapi hal ini sebagai upaya untuk memastikan tatanan ekonomi tidak merugikan orang lain apalagi menjadikan orang lain sebagai budak dari struktur yang tidak memerdekan manusia sebagai being (apa adanya) dan becoming (proses menjadi), keadilan sosial menempatkan manusia setara dalam konteks being dan menghormati manusia dalam konteks becoming.34

Keadilan sosial yang dicita-citakan revolusi transenden adalah jalan tengah antara dua titik berbeda yakni kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme menekankan kemerdekaan individu dan menafikan potensi sosial manusia, sosialisme menekankan kehidupan sosial dan menafikan potensi masing-masing individu yang berbeda. Revolusi transenden membuat garis besar konsep keadilan sosial yakni kolektivisme. Prinsip dasar kolektivisme adalah penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan individu serta penekanan terhadap kehidupan sosial. Isi pokok kolektivisme ini adalah milik bersama dan usaha bersama. Kolektivisme mengarah kepada cara hidup atau prinsip bagi kerja sama sosial yang berdasarkan nilai-nilai demokratis, sukarela, tanggungjawab individual. Kolektivisme berarti usaha bersama yang peran masing-masing individu dihargai sama penting, maka diskusi atau dialog

33 Nurcholis Madjid, "Kebebasan dan Supremasi Hukum, Dua Asas Masyarakat

Madani"dalam buku Masyarakat Warga dan pergulatan Demokrasi (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 513-515.

34 William F Drummond, Social Justice, A Clear Definition of “Social Justice” and Its

(24)

adalah niscaya dan inisiatif masyarakat. Kolektivisme tidak berarti meniadakan hak-hak politik warga seperti hak berkumpul dan menyatakan pendapat. Tujuan kolektivisme adalah untuk menghalangi terjadinya sentralisasi kepemilikan dan peran hanya pada satu orang atau kelompok.

Nilai nilai kesetaraan dan keadilan di atas tercermin dalam perjuangan Nabi saw. Pada konstruksi komunitas komunitas Madinah (Yatsrib) yang dipimpin Nabi saw. Pranata sosial yang dibangun saat itu sungguhpun mayoritas Muslim, justru memakai perjanjian bersama dibawah payung “piagam Madinah”. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sekali kali tidak pernah disinggung kata Islam dan al-Qur’an. Piagam itu hanya memuat kesepakatan antara etnis migran (muhajirin), atnis Madinah (pribumi) meliputi al-Khazraj, Qainuqa, Nadlir dan Quraidzah dengan background keyakinan Yahudi, Nasrani, Islam dan Musyrik.35

Kemudian dipenghujung misi Rasulullah saw, ditutup dengan peristiwa “haji Wada”. Pada kesempatan tersebut Nabi saw menyampaikan pesan pesan akhir melalui mimbar khutbah haji wada’ di padang ‘Arafah. Dalam khutbah itu lagi lagi beliau menandaskan, bahwa ada tiga hak yang harus dijunjung tinggi agar menjadi Muslim yang sempurna, yaitu hak hidup yang jauh daripertumpahan darah dan kekerasan (al-dima’), hak properti dan memiliki harta benda (al-amwal), serta hak untuk terjaga kehormatan, martabat, harkat dan profesinya (al-a’rad). Singkatnya melalui pesan tersebut, keislaman seseorang belumlah sempurna, jika belum menegakkan demokrasi dan HAM.

Dalam perjuanganya di Makkah maupun di Madinah, Nabi saw begitu egaliter dalam bersikap terhadap siapapun, kaum bourjuis, suku kuat ataupun lemah, kalangan bangsawan ataupun budak, disikapi dengan proporsional sesuai dengan hak keadilan dan kesetaraan. Sumuanya diikat dalam tali persudaraan, mempuanyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan misi “rahmatan lil alamin” komunitas dibangun dalam lima prinsip universal (kulliyatul khams), yakni menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din),

35 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah Dan Undang-UndangDasar 1945: Kajian

(25)

memelihara nyawa (hifdz al-Nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wal-‘irdl).

C.Penutup

Sebagai sosok yang paridigmatik, Nabi Muhammad menyampaikan pelajaran penting, bukan hanya kepada kaum muslim, melainkan juga kepada orang Barat. Kehidupannya adalah sebuah jihad, seperti yang kan kita lihat, kata ini tidak berarti “perang suci”, melainkan “perjuangan”. Muhammad secara harfiah berpeluh peluh dengan upayanya untuk menghadirkan kedamaian di dunia Arab yang tercabik oleh perang, dan kita butuh orang yang siap untuk melakukan hal tersebut hari ini. Hidupnya merupakan kampanye tanpa lelah untuk melawan ketamakan, kezaliman dan keangkuhan. Beliau menyadari bahwa tanah Arab sedang berada pada titik balik dan bahwa cara pikir lama tidak lagi memadai. Maka beliau mempertaruhkan dirinya sendiri dalam upaya kreatif untuk mengembangkan solusi yang sama sekali baru. Kita memasuki era sejarah yang lain pada 11 September, dan harus berjuang dengan kesungguhan yang setara untuk mengembangkan cara pandang baru.

Sebagaian fundamentalis Muslim melandaskan ideologi militan mereka pada kehidupan Nabi Muhammad saw, kaum ekstrimis Muslim yakin bahwa beliau tentu akan memaafkan dan mengagumi perbuatan kejam mereka. Kaum Muslim lain terperangah sdengan klaim ekstrimis ini, dan menunjukan pluralisme al-Qur’an yang sangat luar biasa, yang mengutuk tindakan agresi dan memandang semua agama yang diberi petunjuk dengan benar sebagai agama agama yang berasal dari satu Tuhan.

(26)

dalam cara yang seimbang agar dapat mengapresiasi capaian-capaiannya yang besar.

Perjalanan hidup Nabi Muhammad yang berlangsung di Arab abad ketujuh mengajarkan banyak hal kepada kita tentang peristiwa peristiwa di masa kita dan arti pentingnya yang mendasar-jauh lebih banyak, sesungguhnya, dari pada ucapan ucapan para politisi yang pintar bersilat lidah. Nabi Muhammad tidak sedang memaksakan ortodoksi agama, beliau tidak terlalu tertarik pada metafisika, melainkan mengubah hati dan fikiran orang orang. Sebagain orang menyebut semangat yang sedang menyebar luas di zaman kita sebagai jahiliyyah. Kaum Muslim biasanya memahami ini sebagai berarti “zaman kebodohan”, yakni periode pra –Islam di Arab. Akan tetapi seperti yang ditunjukan oleh riset terbaru, bahwa istilah jahiliyyah merujuk bukan kepada era sejarah, melainkan kepada keadaan fikiran yang menyebabkan kekerasan dan teror di Arab abad ketujuh. Dan saat ini hal ini juga banyak terjadi di dunia Barat juga dunia Muslim.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

A. Ezzati, Gerakan Islam Sebuah Analisis, Jakarta; Pustaka Hidayah, 1990.

Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn

Khaldu>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah, 2003. Edisi Inggris The

Muqaddimah diterjemahkan dari bahasa Arab oleh F. Roshental dan

diringkas oleh N.J Dawood, London: t.p, 1958.

Ahmad Gabbas Salih, Al-Yamin wa Al-Yassar fi Al-Islam, Beirut: Muassasa al-Arabiya li Dirasat wa al-Nasr, 1972.

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah Dan Undang-UndangDasar 1945: Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk,

Jakarta: UI Press, 1995.

Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, juz. III, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993.

Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology: Essay on Liberative Elements in Islam. Edisi Indonsia, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

---, The Origin Development of Islam: An essay on its Socio Economic Growth. Terj. Imam Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Babari, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sebagai Dasar Negara, dalam “Jurnal Analisa” Jakarta, 1983, hlm. 861.

Dudung Abdurrahman "Pengantar Sejarah dan Peradaban Islam" dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga &LESFI, 2002

H.A.R Gibb, “Islamic Biographical Literature” dalam Historians of the Middle East, ed. Bernard Lewis dan P.M Holt, London: Oxford University Press, 1962.

---, Muhammadanism, London: t.p, 1919.

Huston Smith, Agama Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.

Ibnu Hisyam, Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Kairo: Dar al-Kunuz al-Adabiyyah. t.t.

Ira M Ladipus, A. History Islamic Societies, edisi Indonesia Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1999.

(28)

John Obert Voll, Islam Continuity and change in the Modern World, The United States of America: Westview Prees, 1982, Edisi Indonesia Politik Islam

Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, terj. Ajat Sudrajat,

Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997

Karen Armstrong, A History of God, New York: Ballantine Book, 1994

---, Muhammad : Prophet for Our Time, London: Harper Collins Publisher, 2006, Edisi Indonesia “Muhammad”, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Mizan Pustaka, 2013.

Mahmud Syaltut, “sosialisme dan Islam”, dalam John J. Donohue & John L. Esposito (ed), Islam dan Pembahuruan, Jakarta: Rajawali Press, 1995

Michael H. Hart, 100: A Rangking of the Most Infuential Person in History, New York: Hart Publishing Company, 1978.

Muhammad A. Bamyeh, The Social Origins of Islam: Mind, Economi, Discourse, t.tp: Minneapolis, 1999

Muhammad Hamidullah, Muhammad Rasulullah, Paris: t.p, 1974.

Muhammad Ibn Ishaq, Sirah Rasulullah dalam A. Guillaume penerj., The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s, London: t.p, 1955.

Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari, Tārīkh al-Rusūl wa al-Mulk, Ed. Muhammad Abu Fadl Ibrahim, cet. Ke-4, 13 Jilid, Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1382 H/1962.

Muhammad Ibn Sa’ad, At-Thabaqat Al-Kubra, 9 Jilid, Beirut: Dar Shadir, t.t.

Muhammad Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis Hadis Shahih, Jakarta: Lentera Hati, 2012.

Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis, Yogyakarta: PLP2M, 1984.

Nurcholis Madjid, "Kebebasan dan Supremasi Hukum, Dua Asas Masyarakat Madani" dalam buku Masyarakat Warga dan pergulatan Demokrasi, Jakarta: Kompas, 2000.

Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, terj. Abdurrahman Wahid&Hasyim Wahid, edisi Indonesia Islam Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Pusaka, 2001.

Taha Husein, al-Ftnah al-Kubra Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.

Tor Andrae, Mohammad, the Man and His Faith, London: t.p, 1956.

(29)

William F Drummond, Social Justice, A Clear Definition of “Social Justice” and Its Application to Present-Day Problems, Massachusetts, The Bruce Publishing Company, 1995.

Referensi

Dokumen terkait

aureus secara molekular misalnya dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) memiliki kelebihan akurasi tinggi dan dapat dilakukan dalam waktu singkat, namun kelemahan

Ilmu le!ih utama ari harta, karena ilmu akan men*agamu sementara harta malah engkau yang harus men*aganya#!. Ilmu le!ih utama ari harta karena i akherat nanti pemilik harta

Geobiokomposit yang disintesis dari LPP, STKS (rasio LPP/STKS=8/2) dan clay yang meliputi kaolin dan haloisit dalam berbagai rasio konsentrasi, secara reaktif dengan penggandeng

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab IV, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, variasi yang dimunculkan guru Bahasa

Setiap anak yang dilahirkan pun memiliki golongan darah yang diwarisi dari hasil perkawinan kedua orang tuanya.Rule Based Expert System(RBES) merupakan suatu

Dimana tingkat pendidikan S1 sebanyak 19 laki ± laki dan 38 perempuan ditawarkan langsung oleh pihak asuransi, sedangkan responden lain mendapatkan penawaran dari telepon

Bertitik tolak dari hasil analisis data Skor-t, dan selanjutnya dibawa ke dalam kuadran Glickman tentang penyelenggaraan PPL di IKP PGRI Bali, dapat