• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI - Pengaruh Country Of Origin Terhadap Perceived Value dengan Consumer Ethnocentrism sebagai Variabel Moderator (Studi pada Konsumen Televisi Merek Samsung di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI - Pengaruh Country Of Origin Terhadap Perceived Value dengan Consumer Ethnocentrism sebagai Variabel Moderator (Studi pada Konsumen Televisi Merek Samsung di Kota Medan)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Perceived Value

Sanchez et al (2004) Perceived Value (persepsi nilai) adalah sebuah

konstruk subyektif pada beberapa perasaan yang beragam diantara pelanggan

(Wikstom dan Normann, 1994; Parasuraman, 1997), diantara budaya (Assael,

1995), dan pada waktu yang berbeda-beda (Ravald dan Gronroos, 1996).

Zheitaml (1988) dalam jurnalnya yang berjudul “Consumer perceptions of

price, quality, and value: a means-end model and synthesis of evidence”

memahami model nilai (model of value) melibatkan banyak makna yang bersifat

implisit pada ekspresi konsumen terhadap nilai itu sendiri. Namun setidaknya ada

empat definisi umum atas nilai yang dipersepsikan konsumen, yaitu nilai adalah

sesuatu dengan harga yang murah (value is low price), nilai adalah segala sesuatu

yang saya inginkan dari produk, nilai adalah kualitas yang saya dapatkan dari

harga yang saya bayarkan, nilai adalah sesuatu yang saya peroleh dari apa yang

saya berikan.

Kotler et al (2005:7) mengatakan customer atau pelanggan membentuk

ekspektasi tentang nilai dari tawaran pemasaran yang beragam berdasarkan

pengalaman pembelian pada masa lampau, pendapat rekannya, serta informasi dan

janji dari pemasar dan pesaing.

(2)

Kotler dan Keller (2009:136) berpendapat bahwa nilai yang dipersepsikan

pelanggan adalah selisih antara penilaian pelanggan prospektif atas semua

manfaat dan biaya dari suatu penawaran terhadap alternatifnya. Jadi, konsumen

mempersepsikan nilai suatu produk berdasarkan apa yang didapatkan dan apa

yang mereka berikan. Pemasar dapat meningkatkan nilai penawaran pelanggan

melalui beberapa kombinasi peningkatan manfaat ekonomi, fungsional,

emosional, dan atau mengurangi satu jenis biaya atau lebih.

Gambar 2.1 Determinan nilai yang dipersepsikan pelanggan

(3)

Kotler dan Keller (2009:137) menyatakan bahwa nilai yang dipersepsikan

pelanggan (Customer Perceived Value) merupakan kerangka kerja berguna yang

diterapkan dalam banyak situasi dan menghasilkan pandangan yang kaya.

Implikasinya :

1. Penjual harus menilai total manfaat pelanggan dan total biaya pelanggan

yang berhubungan dengan tawaran tiap pesaing untuk mengetahui

bagaimana peringkat tawaran penjual dalam pikiran pembeli

2. Penjual yang berada pada keadaan nilai yang dipersepsikan pelanggan

yang tidak menguntungkan mempunyai dua alternatif, yaitu meningkatkan

total manfaat pelanggan atau mengurangi total biaya pelanggan.

Fernández dan Bonillo (2007) menyimpulkan bahwa karakteristik utama

yang menonjol dari Perceived Value diungkapkan oleh penelitian saat ini adalah :

a. Konsep Perceived Value melibatkan interaksi diantara subyek (konsumen

atau pelanggan) dan sebuah obyek/produk (Holbrook, 1994, 1999; Payne

dan Holt, 2001);

b. Nilai tersebut bersifat relatif berdasarkan sifat dari perbandingan, pribadi,

dan keadaan alamiahnya (Holbrook, 1994, 1999);

c. Nilai bersifat preferensial (Holbrook, 1994, 1999; Zeithaml, 1988),

perceptual (Day and Crask, 2000), dan afektif-kognitif (Babin et al., 1994;

Park, 2004)

Dalam Tjiptono (2004:141) Sweeney dan Soutar (2001) berusaha

(4)

dinamakan PERVAL (Perceived Value) tersebut dimaksudkan untuk menilai

persepsi pelanggan terhadap nilai suatu produk konsumen tahan lama pada level

merek. Skala ini dikembangkan berdasarkan konteks situasi pembelian ritel untuk

menentukan nilai-nilai konsumsi yang mengarah pada sikap dan perilaku

pembelian. Menurut Sweeney dan Soutar, dimensi nilai terdiri dari empat aspek

utama berikut:

1. Emotional Value, yaitu utilitas yang berasal dari perasaan atau afektif / emosi

positif yang ditimbulkan dari mengkonsumsi produk.

2. Social Value, yaitu utilitas yang didapatkan dari kemampuan produk untuk

meningkatkan konsep diri-sosial konsumen.

3. Functional Value, yaitu kegunaan yang berasal dari kualitas produk atau

product performance.

4. Price/Value of Money, yakni utilitas yang diperoleh dari persepsi terhadap

kualitas dan kinerja yang diharapkan atas produk.

Cateora dan Graham (2007:45) menekankan bahwa sebuah produk lebih

dari sekedar barang fisik, namun produk merupakan sekumpulan kepuasan atau

kegunaan/utilitas yang diterima pembeli. Kepuasaan atau kegunaan itu meliputi

bagaimana produk berfungsi ketika digunakan, keyakinan dan kebanggan yang

ditawarkan, dan kegunaan simbolis lainnya yang diterima akibat kepemilikan atau

(5)

Langkah-langkah yang bisa dilakukan perusahaan dalam menganalisis

nilai pelanggan demi menghasilkan kepuasan diatas menurut Kotler dan Keller

(2009:137) yaitu :

1. Mengidentifikasi atribut dan manfaat utama yang dinilai pelanggan

2. Menilai arti penting kuantitatif dari atribut dan manfaat yang berbeda

3. Menilai kinerja perusahaan dan pesaing berdasarkan nilai pelanggan yang

berbeda dan membandingkannya dengan peringkat arti pentingnya

4. Mempelajari bagaimana pelanggan dalam segmen tertentu menentukan

peringkat kinerja perusahaan terhadap pesaing utama berdasarkan suatu

atribut atau manfaat

5. Mengamati nilai pelanggan sepanjang waktu

2.2 Country Of Origin

Konsep Country Of Origin atau COO pertama kali dikemukakan oleh

Nagashima pada tahun 1960, sedangkan penelitian tentang COO effect pertama

kali dilakukan oleh Schooler pada tahun 1965 (Listiana, 2012). Menurut Tjiptono

dan Chandra (2012:444) yang dimaksud dengan Country Of Origin effect adalah

segala pengaruh dari negara asal terhadap persepsi positif maupun negatif

konsumen atas produk dan merek tertentu.

Cateora dan Graham (2007:71) mendefinisikan Country Of Origin sebagai

pengaruh yang dimiliki negara yang memproduksi, merangkai, atau mendesain

terhadap persepsi positif maupun negatif konsumen atas produk. Konsumen

biasanya memiliki persepsi umum atas produk yang dinilai baik yang berasal dari

(6)

mobil dari Jerman, sutra dari China, perangkat elektronik dari Jepang, rum dari

Jamaika, dan seterusnya.

Efek Country Of Origin, juga dikenal sebagai konsep “made in”, telah

digambarkan secara luas sebagai pengaruh positif atau negatif dimana sebuah

negara yang menghasilkan produk sudah mempengaruhi proses keputusan

konsumen atau perilaku sesudahnya (Elliott dan Cameron, 1994). Namun, tak satu

pun negara yang memonopoli reputasi positif untuk sebuah produk spesifik dan

juga tidak ada reputasi yang secara universal inferior. Persepsi masing-masing

individu di setiap negara berbeda-beda terhadap seberapa penting dampak COO

bagi keputusan pembelian yang mereka lakukan. Implikasinya, reputasi suatu

negara bisa berbeda-beda di setiap negara dan bisa berubah seiring perubahan

waktu (Tjiptono dan Chandra, 2012:444).

Dengan demikian, label “made in” masih menjadi atribut yang memegang

peranan penting dalam kegiatan pemasaran internasional. Perusahaan juga

dituntut melakukan pemasaran yang efektif dengan memperhatikan penilaian

konsumen atas citra negara asal produk, serta mempertimbangkan perbedaan

sikap mereka dalam proses evaluasi produk secara keseluruhan.

Bluemelhuber et al (2007) menemukan bahwa Country Of Origin

mempengaruhi sikap konsumen terhadap aliansi merek lintas negara secara

berbeda di berbagai kondisi keakraban merek (brand familiarity). Mereka

menyimpulkan bahwa COO memiliki pengaruh yang signifikan terhadap aliansi

merek lintas negara, pengaruh COO lebih kuat daripada mereknya ketika

(7)

dengan suatu merek maka pengaruh merek lebih kuat dibandingkan Country Of

Origin.

Laroche et al. (2005) menggarisbawahi keyakinan konsumen atas suatu

negara diukur berdasarkan model tiga faktor yang terdiri dari keyakinan atas

negara (country beliefs), pengaruh masyarakatnya (people affect), dan keinginan

berinteraksi dengan negara tersebut (desired interaction).

Verlegh dan Steenkamp (2009) juga mengemukakan bahwa secara

kognitif, COO bisa dipandang sebagai suatu isyarat ekstrinsik untuk kualitas

produk asing. Konsumen menyimpulkan penilaian kualitas produk dari citra

negara, dimana terdapat keyakinan tentang produk suatu negara, dan juga tentang

karakteristik yang lebih umum, seperti perekonomian, kekuatan pekerja dan

budaya.

2.3 Consumer Ethnocentrism

Istilah etnosentris diperkenalkan pertama kali oleh Sumner pada tahun

1906. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Shimp dan Sharma (1987) di

dalam artikelnya yang berjudul “Consumer Ethnocentrism: Construction and

Validation of the CETSCALE”. Mereka mengembangkan seperangkat instrumen

yang dinamakan CETSCALE untuk mengukur kecenderungan etnosentrik

konsumen atas produk buatan dalam negeri versus produk buatan luar negeri.

Instrumen tersebut lebih menekankan kepada kecenderungan atau tendensi

konsumen dibandingkan attitude atau sikapnya (Tjiptono, Chandra, dan

(8)

Butir pernyataan dalam CETSCALE tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 CETSCALE

No. Item

1 American people should always buy American-made products instead of imports.

2 Only those products that are unavailable in the USA should be imported

3 Buy American-made products, keep America working

4 American products, first, last, and foremost

5 Purchasing foreign-made products is un-American

6 It is not right to purchase foreign products, because it puts Americans out of jobs

7 A real American should always buy American-made products

8 We should purchase products manufactured in America instead of letting other countries get rich off us

9 It is always best to purchase American products

10 There should be very little trading or purchasing of goods from other countries unless out of necessity

11 Americans should not buy foreign products, because this hurts American business and causes unemployment

12 Curbs should be put on all imports

13 It may cost me in the long-run but I prefer to support American products

14 Foreigners should not be allowed to put their products on our markets

15 Foreign products should be taxed heavily to reduce their entry into the USA

16 We should buy from Foreign countries only those products that we cannot obtain within our own country

17 American consumers who purchase products made in other countries are

responsible for putting their fellow Americans out of work

Sumber: Shimp dan Sharma (1987)

Kotler et al (2005:163) memaparkan bahwa memahami perilaku

konsumen cukup sulit bagi pemasaran perusahaan dalam melewati batas suatu

negara. Dalam pelaksanaannya pada banyak negara, bagaimanapun juga,

(9)

Meskipun konsumen dari berbagai negara memiliki kesamaan, namun nilai-nilai,

sikap, dan perilaku mereka sering kali sangat berbeda-beda. Pemasar internasional

harus memahami perbedaan-perbedaan itu dan menyesuaikan produk dan program

pemasaran mereka.

Dalam konteks pemasaran, istilah Consumer Ethnocentrism atau CET

mengacu pada keyakinan yang dianut konsumen negara / budaya tertentu tentang

kesesuaian dan moralitas dari aktivitas membeli produk asing. Bagi konsumen

etnosentrik, membeli produk impor dianggap sebagai tindakan yang keliru/salah

karena bisa mengganggu perekonomian domestik, menyebabkan pengangguran,

dan sama sekali tidak patriotik. Sebaliknya, konsumen non-etnosentrik akan

mengevaluasi produk asing berdasarkan kemampuan objektifnya tanpa

memandang negara asalnya (Tjiptono, Chandra, dan Anastasia, 2004:203).

Secara fungsional, etnosentrisme konsumen (Consumer Ethnocentrism)

menunjukkan diri seseorang tentang sebuah rasa identitas, rasa kepemilikan, dan

yang paling utamanya adalah sebuah pemahaman dari perilaku membeli apa yang

diterima dan yang tidak diterima dalam suatu kelompok (Shimp dan Sharma,

1987).

Shah dan Ibrahim (2012) mengatakan bahwa definisi terkini dari

etnosentrisme telah dikembangkan sebagai suatu bentuk ekonomis, dimana para

peneliti mencoba menghubungkan etnosentrisme dengan keyakinan konsumen

(consumer beliefs) tentang kelayakan dan moralitas dari tindakan pembelian suatu

(10)

Kotler et al (2005:164) menyatakan tenaga pemasar harus memutuskan

pada tingkat mana mereka akan mengadaptasikan produk dan program

pemasarannya untuk mencocokkan kebudayaan khusus dan kebutuhan konsumen

di berbagai pasar. Di satu sisi, mereka ingin menstandarkan penawaran agar

menyederhanakan kegiatan dan mengambil keuntungan biaya ekonomis. Dan di

sisi lainnya, menyesuaikan upaya pemasaran yang lebih bagus dalam memuaskan

kebutuhan konsumen lokal di masing-masing negara.

2.4 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan penjelasan ilmiah mengenai preposisi

antarkonsep / antar konstruk atau pertautan / hubungan antarvariabel penelitian

(Juliandi dan Irfan, 2013:114). Kerangka konseptual bertujuan untuk

mengemukakan objek penelitian secara umum dalam bentuk kerangka variabel

yang akan diteliti. Dengan demikian dalam kerangka penelitian ini dikemukakan

variabel yang akan diteliti yaitu Country Of Origin sebagai variabel bebas,

Perceived Value sebagai variabel terikat, dan Consumer Ethnocentrism sebagai

(11)

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan diatas, maka kerangka

konseptual penelitian ini secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Penelitian

BAB III

Country Of Origin

Indikatornya:

1. Country Beliefs

2. People Affect

3. Desired Interaction

Perceived Value Indikatornya:

1. Emotional Value

2. Social Value

3. Functional Value

4. Value of Money

Consumer Ethnocentrism

Indikatornya:

Gambar

Gambar 2.1 Determinan nilai yang dipersepsikan pelanggan
Tabel 2.1 CETSCALE
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari faktor-faktor ekstrinsik tersebut, peneliti tertarik dengan persepsi konsumen pada Country Of Origin yang menjadi pertimbangan konsumen terhadap minat beli mereka

Pada pernyataan nomor 6 tentang apakah China merupakan negara dengan tenaga kerja yang kreatif, nilai yang diperoleh dari 100 responden adalah 3,74 (Tinggi)... Kualitas

Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan pada kesempatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh Country Of Origin terhadap Perceived Value dan Minat

Dari tabel 2 dapat diambil kesimpulan bahwa variabel purchasing intention memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi yaitu 3,89, consumer perception dengan 3,81, brand image

Dari tabel 2 dapat diambil kesimpulan bahwa variabel purchasing intention memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi yaitu 3,89, consumer perception dengan 3,81, brand image