BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan
Teori keagenanan atau agency theory menjelaskan hubungan keagenan yang timbul ketika satu orang atau lebih (principal) bersepakat dengan orang
lain (agent) untuk memberikan jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976: 5).
Contoh dari hubungan ini adalah pemberi kerja dengan pekerjanya atau pemilik perusahaan dengan manajemen. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan dalam perusahaan berbentuk kontrak antara pemilik
sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agent) yang mengelola penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Kontrak ini mengatur proporsi hak dan kewajiban masing – masing pihak dengan tetap
memperhitungkan manfaat secara keseluruhan. Pemilik menyetorkan modal untuk mendapatkan bagi hasil laba, lalu manajer mengelola modal agar
perusahaan berlaba dan mereka mendapat reward berupa gaji.
Menurut Eisenhard (1989: 59), teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi. Asumsi yang pertama yaitu manusia selalu memiliki sifat untuk mementingkan
diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan menghindari risiko (risk aversion). Kecenderungan
mementingkan diri sendiri ini sering membuat konflik kepentingan antara
agent memiliki lebih banyak informasi daripada principal karena mereka yang mengelola langsung sumber daya ekonomi. Asumsi yang terakhir adalah
informasi dipandang sebagai barang yang bisa diperjualbelikan. Informasi merupakan sesuatu yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan sehingga
tidak diungkapkan secara sembarangan. Menurut Jensen dan Meckling (1976), informasi asimetri menyebabkan dua masalah yaitu moral hazard dan adverse selection. Moral hazard adalah permasalahan yang terjadi karena agent tidak
melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja. Adverse selection adalah keadaan bahwa principal tidak dapat mengetahui apakah
keputusan yang diambil agent didasarkan pada informasi yang diperolehnya, atau terjadi kelalaian dalam tugas.
Menurut Mitnick (1973: 2), masalah keagenan dibagi tiga yaitu, masalah
principal, masalah agent, dan masalah kebijakan yang mengatur mekanisme pemberian insentif. Masalah principal adalah bagaimana memotivasi agent
agar perilaku mereka sesuai dengan tujuan principal. Masalah agent adalah ketika mereka harus mengambil keputusan. Apakah mereka bertindak sesuai kepentingan principal, kepentingan mereka sendiri, atau beberapa alternatif di
antaranya ketika tidak ada titik temu. Masalah yang terakhir adalah mekanisme pemberian insentif terhadap agent yang bertindak sesuai dengan harapan
principal, contohnya kenaikan gaji. Hubungan antara principal dan agent dapat mengarah kepada informasi asimetri atau ketidakseimbangan informasi karena
bertindak untuk kepentingan pemilik. Masing – masing individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan sendiri sehingga agent yang lebih memiliki
banyak informasi akan cenderung menyembunyikan informasi dari principal. Misalnya agent dapat mempengaruhi jumlah saldo akun tertentu dalam laporan
keuangan dengan tujuan earning management.
Masalah keagenan tentu dapat diatasi namun akan menimbulkan biaya keagenan (agencycost) yang ditanggung oleh principal mau pun agent. Jensen
dan Meckling (1976: 5) membagi biaya keagenan menjadi tiga, yaitu
monitoring cost, bonding cost, dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya
yang ditanggung principal untuk mengawasi perilaku agent, misalnya untuk mengukur, mengamati, dan mengendalikan perilaku agent. Bonding cost
merupakan biaya yang ditanggung agent untuk menetapkan dan mematuhi
mekanisme yang menjamin bahwa agent bertindak sesuai kepentingan
principal. Residual loss adalah pengorbanan berupa berkurangnya
kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal. Penerapan manajemen risiko dapat meminimalisir biaya keagenan. Hal ini terjadi karena manajemen risiko menciptakan pengungkapan
risiko yang lebih baik sehingga antisipasi terhadap risiko semakin bagus dan pada akhirnya biaya keagenan bisa ditekan. Perusahaan yang menerapkan
manajemen risiko dapat membantu pelaksanaan pengawasan internal sehingga
2.2 Manajemen Risiko
Risiko berasal dari kata riscare (bahasa Italia), yang berarti „to dare‟
(bahasa Inggris) yang berarti „untuk memberanikan‟. Risiko merupakan
kemungkinan untuk mendapat kerugian dari suatu kondisi. Risiko tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dan selalu melekat pada segi operasional maupun finansial di perusahaan manapun (Syifa‟, 2013: 15). Jenis – jenis
risiko sangat banyak, ada risiko pasar, risiko likuiditas, risiko reputasi, risiko
bisnis, risiko hukum, dan sebagainya. Pedoman RMBG (2012: 67) membagi risiko menjadi tiga kelompok, yaitu high risks, medium risks, dan low risks.
High risks adalah kelompok risiko yang berbahaya dan tidak bisa ditolerir, apapun manfaat yang dikandung dalam kegiatan tersebut. Contoh risiko ini adalah bencana alam. Medium risks adalah kelompok risiko di mana perlu ada
analisis manfaat-biaya guna mengukur perbandingan antara peluang serta dampak buruknya. Contoh risiko jenis ini adalah risiko kredit. Perusahaan
harus memperhitungkan manfaat dari pengambilan kredit untuk bisnisnya serta biaya yang timbul akibat kegiatan tersebut. Low risks adalah kelompok risiko di mana aspek positif atau negatif risiko tersebut sangat sepele atau terlalu kecil
sehingga tidak butuh penanganan risiko secara khusus. Contohnya risiko salah catat.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2012: 21), risiko adalah dampak ketidakpastian pada sasaran (ISO GUIDE 73:2009 definisi 1.1). Risiko secara umum dibagi dua, yaitu pure risk dan insurable risk. Pure risk
bencana alam gempa bumi. Insurable risk adalah risiko yang masih bisa diasuransikan, sehingga kerugian masih bisa ditekan. Contohnya persediaan di
gudang diasuransikan sehingga jika terjadi kebakaran, kerugian yang ditanggung tidak seluruhnya karena sebagian lagi ditanggung oleh perusahaan
asuransi. Asuransi merupakan salah satu tindakan untuk mengelola risiko. Pedomang RMBG (2012: 69) menyebutkan 4 perlakuan terhadap risiko, yaitu
risk avoidance, risk sharing, mitigation, dan risk acceptance. Risk avoidance
berarti tidak melaksanakan kegiatan yang menimbulkan risiko. Risk sharing
atau disebut juga risk transfer berarti upaya mengurangi kemungkinan
timbulnya risiko atau dampak risiko tersebut. Contohnya asuransi dan
outsourcing. Mitigation adalah upaya mengurangi kemungkinan risiko, mengurangi dampak risiko, atau mengurangi keduanya. Risk acceptance berarti
tidak melakukan apapun terhadap risiko tersebut. Perlakuan terhadap risiko ini terintegrasi di dalam sistem manajemen risiko. Manajemen risiko korporat dan
perencanaan strategis harus dilihat sebagai aktivitas yang saling melengkapi (Christina, 2012).
Manajemen risiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur
risiko, serta membentuk strategi untuk mencegah terjadinya risiko dalam perusahaan (Syifa‟, 2013: 15). Manajemen risiko adalah serangkaian sistem,
prosedur, kebijakan, serta implementasi dari pengelolaan risiko. Menurut KNKG (2012: 21), manajemen risiko adalah upaya organisasi yang terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan risiko (ISO GUIDE
struktural, operasional, dan perawatan. Aspek struktural memastikan bahwa struktur organisasi seperti sumber daya apa saja yang dibutuhkan dan yang
dimiliki perusahaan untuk menerapkan manajemen risiko. Lalu aspek operasional yang sudah memasuki tahap implementasi secara sistematis seperti
penyusunan pedoman manajemen risiko perusahaan. Aspek yang terakhir adalah aspek perawatan. Pada aspek ini dipastikan adanya upaya evaluasi dan perbaikan yang berkesinambungan terhadap penerapan manajemen risiko
perusahaan.
Di Indonesia penerapan manajemen risiko hanya diwajibkan bagi sektor
perbankan. Menurut PBI No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha Bank. Pada peraturan ini pula dijelaskan ada empat ruang lingkup manajemen risiko, yaitu: pengawasan
aktif dewan komisaris dan direksi; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta informasi manajemen risiko; dan sistem pengendalian
intern yang menyeluruh. Penerapan manajemen risiko ini harus dilakukan dengan efektif. Manajemen risiko yang diterapkan dengan baik akan membantu
Menurut Duggan (2006: 26), manfaat penerapan manajemen risiko ada 7,
yaitu:
1. Meningkatkan komunikasi antara dewan komisaris dan dewan direksi
2. Mendorong keefektifan penggunaaan sumber daya
3. Meningkatkan continuous improvement
4. Meningkatkan fokus untuk siklus manajemen lain seperti audit
internal dan perencanaan strategi
5. Mengurangi banyak kejutan yang tidak sesuai harapan
6. Menyiapkan reasuransi untuk pemangku kepentingan
7. Membuka kesempatan baru dengan kemungkinan sukses yang
lebih tinggi
2.3 Pengungkapan Manajemen Risiko (Enterprise Risk Management)
Sarana pengungkapan manajemen risiko adalah laporan tahunan. Dalam Kep-431/BL/2012 tentang Penyampaian Laporan Tahunan Emiten Atau
Perusahaan Publik yang dikeluarkan Bapepam & LK, perusahaan publik diwajibkan menyampaikan laporan tahunan. Dalam ketentuan umum, laporan
tahunan wajib memuat tentang tata kelola perusahaan. Pada huruf (g) Tata Kelola Perusahaan, diatur bahwa perusahaan publik harus mengungkapkan sistem manajemen risiko perusahaan paling kurang mengenai gambaran umum
pengelolaannya, dan reviu atas efektivitas sistem manajemen risiko
perusahaan.
PSAK 60 (Revisi 2010) mengatur ketentuan pengungkapan instrumen keuangan dengan dua kategori yaitu: informasi mengenai signifikansi instrumen keuangan untuk posisi dan kinerja keuangan; dan informasi
mengenai sifat dan tingkat risiko yang timbul dari instrumen keuangan. Pengungkapan informasi tentang risiko dibagi dua, yaitu pengungkapan
kualitatif dan pengungkapan kuantitatif. Pengungkapan kualitatif adalah pengungkapan berupa eksposur risiko, bagaimana risiko timbul, tujuan, dan
kebijakan dan proses pengelolaan risiko serta metode pengukuran risiko. Sedangkan pengungkapan kuantitatif adalah pengungkapan berupa risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko pasar termasuk membuat analisa sensitivitas
untuk setiap jenis risiko pasar. PSAK 60 (Revisi 2010) mewajibkan entitas untuk mengungkapkan informasi tentang risiko sehingga para pemangku
kepentingan dapat mengevaluasi jenis dan tingkat risiko yang timbul.
Manajemen dalam menyusun strategi dan tujuan perusahaan harus mempertimbangkan risiko-risiko terkait, sehingga manajemen risiko
(Enterprise Risk Management/ERM) ini terintegrasi dengan strategi perusahaan dan sejalan dengan tujuannya. Manfaat dari ERM adalah adanya
pengungkapan risiko yang memberikan informasi yang lebih tentang profil risiko perusahaan (Syifa‟, 2013: 5). Enterprise Risk Management, Enterprise
yang sering dipakai untuk menyebutkan manajemen risiko perusahaan. Pengertian Enterprise Risk Management dalam COSO (2004: 2) adalah:
“Enterprise Risk Management is a process, effected by an
entity’s board of directors, management and other
personnel, applied in strategy setting and across the enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, and manage risk to be within its risk appetite, to provide reasonable assurance regarding the
achievement of entity objectives.”
COSO ERM Integrated Framework membagi ERM menjadi 8 ruang
lingkup, yaitu:
a. Internal Environment – Lingkungan internal ini menunjukkan
corak dari suatu organisasi. Corak organisasi ini termasuk diantaranya filosofi manajemen risiko dan seperangkat pedoman mengenai bagaimana risiko dipandang, nilai etika dan integritas,
dan lingkungan di mana perusahaan beroperasi.
b. Objective Setting – ERM memastikan bahwa manajemen masih
dalam jalur yang sesuai untuk mencapai tujuan, mendukung misi perusahaan, dan konsisten terhadap pendekatan risiko.
c. Event Identification – Peristiwa internal dan eksternal yang
berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi harus diidentifikasi, baik peluang maupun risikonya.
d. Risk Assessment – Risiko dan dampaknya dianalisis agar
perusahaan bisa mengetahui bagaimana mengelolanya.
e. Risk Response – Manajemen menanggapi risiko dengan cara
f. Control Activites – Prosedur dan kebijakan ditetapkan dan diterapkan untuk membantu mengukur dan menghilangkan risiko.
g. Information & Communication – Informasi yang relevan diperoleh,
disimpan, dan dikomunikasikan dalam bentuk dan waktu yang
tepat sehingga setiap pekerja dapat menjalankan tanggung jawabnya. Informasi yang efektif menyebar ke seluruh jenjang organisasi perusahaan.
h. Monitoring – Pengawasan terus menerus bisa berlangsung dalam
aktivitas manajemen, dipisahkan dari evaluasi, atau keduanya
digabungkan.
Beasley, et al., (2007) mengatakan bahwa ERM merupakan sarana untuk mempromosikan kinerja operasional perusahaan dan membantu pembuatan
keputusan strategis. ERM menciptakan kegiatan manajemen risiko menyatu dengan struktur perusahaan, sehingga ERM dapat mendorong laba menjadi
lebih tinggi karena risiko spesifik (misalnya risiko operasional) dapat ditekan.
2.4 Komisaris Independen
Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris yang tidak berasal dari
pihak yang terafiliasi dan komisaris yang berasal dari pihak yang terafiliasi (KNKG, 2006: 13). Komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi disebut komisaris independen. Pihak yang terafiliasi adalah pihak yang mempunyai
Lalu, diharuskan terdapat paling sedikit 1 komisaris independen yang mempunyai latar belakang akuntansi atau keuangan di dalam dewan komisaris.
Pengangkatan dan pemberhentian dewan komisaris ditentukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Walaupun direksi yang melaksanakan
sistem manajemen risiko perusahaan dalam penerapannya, komisaris independen dan anggota dewan komisaris yang lain juga harus menganalisis sistem manajemen risiko perusahaan serta menilai toleransi risiko yang dapat
ditanggung perusahaan.
Menurut KNKG (2006: 16), fungsi pengelolaan perusahaan oleh direksi
mencakup 5 (lima) tugas utama yang satu diantaranya adalah manajemen risiko. Fungsi pengelolaan lain yaitu pengendalian internal juga mencakup upaya memperbaiki efektifitas pengendalian risiko. Efektifitas pengendalian
risiko akan membantu mengingkatkan efektifitas sistem pengendalian internal. Keputusan Direksi PT BEJ No: Kep-305/BEJ/07-2004 di dalam Pencatatan
Efek No. 1- A: tentang Ketentuan Umum Pencatatan Saham dan Efek yang bersifat ekuitas menjelaskan bahwa jumlah komisaris independen minimal 30% (tiga puluh persen) dari jumlah anggota dewan komisaris keseluruhan.
Komisaris independen tidak memiliki kepentingan pribadi dalam perusahaan yang membuat mereka lebih baik dalam menginformasikan risiko kepada
pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkena dampak risiko membutuhkan wakil yang independen di dalam dewan untuk melindungi aset mereka yang terwujud melalui kehadiran komisaris
2.5 Komite Audit
Komite audit adalah anggota dewan komisaris yang tidak melaksanakan
tugas eksekutif, independen, serta memiliki tugas utama untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan tentang proses pelaporan keuangan dan pengendalian internal. Kehadiran komite audit menjadi ukuran transparansi
yang dapat berdampak potensial terhadap pengelolaan manajemen risiko. Komite audit biasanya mempunyai peran untuk menentukan kualitas dari
informasi yang dilaporkan dalam laporan keuangan (Zhang, et al., 2013: 344 ). Peran dan tanggungjawab komite audit berdasarkan Keputusan Ketua
BAPEPAM No. Kep-29/PM/2004 diantaranya adalah mengenai manajemen risiko dan kontrol, yaitu mengawasi proses manajemen risiko dan pengendalian perusahaan. Komite audit harus memiliki pemahaman mengenai risiko dan
kontrol serta mengawasinya termasuk mengidentifikasi risiko dan evaluasi kontrol untuk mengecilkan risiko tersebut.
KNKG (2002: 5) menyatakan bahwa anggota komite audit harus diangkat dari anggota dewan komisaris yang tidak melaksanakan tugas-tugas eksekutif, paling sedikit tiga anggota, dan mayoritas harus independen. Tujuan
dibentuknya komite audit adalah agar pelaporan keuangan yang dihasilkan benar-benar memberikan informasi yang tepat. Pelaporan keuangan ini
berkaitan dengan pengungkapan manajemen risiko. Semakin baik pelaporan keuangan, maka pengungkapan manajemen risiko juga semakin baik. Dengan demikian, pemangku kepentingan dapat dengan benar mengambil keputusan
akuntansi dan keuangan. Hal tersebut jika dikaitkan dengan tugas komite audit dalam mengawasi manajemen risiko, satu anggota komite audit harus memiliki
suatu keahlian keuangan dan latar belakang pendidikan untuk mengerti dan memahami tentang informasi risiko yang dihadapi oleh perusahaan (Ruwita,
2012: 30).
2.6 Konsentrasi Kepemilikan
Menurut Taman dan Nugroho (2012: 7), konsentrasi kepemilikan menggambarkan bagaimana dan siapa saja yang memegang kendali atas
keseluruhan atau sebagian besar atas kepemilikan perusahaan serta keseluruhan atau sebagian besar pemegang kendali atas aktivitas bisnis pada suatu
perusahaan. Kepemilikan saham bisa disebut terkonsentrasi jika jumlah saham yang dimiliki pemegang saham relatif dominan dibanding jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang lain. Pemegang saham mayoritas bisa
mempengaruhi keputusan perusahaan (Yazid, et al., 2012: 83). Pemegang saham mayoritas memegang kendali sebagian besar perusahaan sehingga bisa
memberikan tekanan kepada manajemen untuk mengungkapkan informasi tentang risiko lebih luas. Manajemen akan membagi informasi hanya secara internal daripada ke publik jika kepemilikan saham tersebar. Dallas (2004: 21)
menyatakan bahwa kepemilikan saham dikatakan menyebar, jika kepemilikan saham secara relatif merata dimiliki publik, tidak ada yang memiliki saham
2.7 Leverage
Leverage adalah rasio untuk mengukur seberapa jauh perusahaan
menggunakan hutang (Setyarini, 2011: 27). Leverage juga menunjukkan seberapa mampu perusahaan membayar kewajibannya berupa hutang jangka pendek maupun jangka panjang. Beberapa macam pengukuran leverage yaitu
debt to asset ratio, debt to equity ratio, atau long term debt to total equity. Debt to asset membandingkan seberapa besar pemakaian hutang untuk membiayai
aset perusahaan. Leverage menggambarkan seberapa banyak aktiva milik perusahaan yang dibiayai dengan utang. Semakin besar rasio leverage maka
semakin besar pula pendanaan dari hutang dan semakin tinggi pula ketergantungan kepada kreditur. Ketika perusahaan berhutang dari institusi lain untuk membiayai pembelian aktiva atau operasi, perusahaan harus mengelola
risiko gagal bayar. Hal ini semakin berisiko ketika situasi ekonomi memburuk dan perusahaan harus melunasi pokok hutang beserta bunganya.
Perusahaan dengan leverage yang tinggi cederung memiliki biaya agensi yang tinggi, sehingga dapat menimbulkan tingginya risiko keuangan yang harus dihadapi (Andarini dan Januarti, 2010: 11). Perusahaan dengan jumlah
hutang yang tinggi dalam struktur modalnya membuat kreditur memaksa perusahaan untuk mengungkapkan informasi yang lebih luas. Perusahaan yang
menerapkan ERM mempunyai lebih rendah leverage jika mereka memutuskan untuk meminimalkan kemungkinan financial distress dengan mengurangi risiko keuangan (Altuntas, 2011). Perusahaan dengan biaya tinggi karena
dari menerapkan ERM (Pagach dan Warr, 2011: 2). Hal ini terjadi karena perusahaan yang menerapkan ERM telah terlebih dahulu menghitung
kemungkinan timbulnya risiko – risiko tertentu.
2.8 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan. Besar
perusahaan bisa diukur dengan total aktiva, jumlah penjualan, dan kapitalisasi pasar. Nilai aktiva relatif lebih stabil dibanding jumlah penjualan dan
kapitalisasi pasar (Sari, 2013: 166). Aktiva menunjukkan sumber daya ekonomi yang dimiliki perusahaan. Menurut Syifa‟ (2013: 27), perusahaan
pada umumnya dibagi menjadi 3 kategori, yaitu perusahaan besar (large firm),
perusahaan menengah (medium firm), dan perusahaan kecil (small firm). Perusahaan besar secara logika akan memiliki lebih banyak stakeholders
dibanding perusahaan kecil. Menurut Amran, et al., (2009: 5), perusahaan
besar memiliki banyak pemangku kepentingan oleh karena itu semakin besar perusahaan maka semakin luas pengungkapan informasi untuk memenuhi
kebutuhan para pemangku kepentingan. Tekanan yang diberikan oleh banyak pemangku kepentingan membuat perusahaan mengungkapkan risiko lebih
banyak.
Menurut Beasley, et al., (2007), perusahaan besar cenderung memiliki masalah agensi yang lebih besar pula, karena lebih sulit melakukan monitoring.
yang besar pula. Agency cost ini bisa ditekan dengan penerapan ERM. Perusahaan besar cenderung lebih banyak mengungkapkan risikonya untuk
menjaga resistensi investor. Pooser dan McCullough (2013: 28) menyatakan bahwa perusahaan besar lebih memperhatikan ERM dan perusahaan yang
menerapkan ERM, memiliki klaim asuransi lebih rendah dari kebanyakan perusahaan.
2.9 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang pengungkapan
Enterprise Risk Management yang akan diteliti terdapat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Penulis Judul Variabel Kesimpulan
No. Penulis Judul Variabel Kesimpulan
3. Reputasi auditor 4. Konsentrasi
3 Probohudono,
No. Penulis Judul Variabel Kesimpulan
No. Penulis Judul Variabel Kesimpulan 2. Reputasi auditor
3. RMC
2. Ukuran dewan 3. Rangkap jabatan
No. Penulis Judul Variabel Kesimpulan 3. Komite audit
Variabel dewan 2. Komite audit
Variabel bebas turnover yang tinggi dan diversifikasi portofolio yang banyak
No. Penulis Judul Variabel Kesimpulan 3. Pemisahan CEO
dengan Kepala Dewan
Komisaris 4. Ukuran
perusahaan 5. Jenis industri 6. Leverage
keuangan 7. Kualitas auditor
eksternal 8. Pertumbuhan
perusahaan 9. Volatilitas harga
No. Penulis Judul Variabel Kesimpulan 1. Jenis industri 2. Ukuran
perusahaan 3. Cross listing
4. Profitabilitas 5. Likuiditas 6. Gearing ratio
(leverage)
7. Kepemilikan institusi 8. Ukuran dewan 9. Rangkap jabatan 10.Komisaris
independen 11.Komite audit
Jenis industri,
Cross listing, profitabilitas,
2.10 Kerangka Konseptual
Berdasarkan telaah pustaka dari beberapa penelitian terdahulu, penelitian
ini menggunakan variabel komisaris independen, komite audit, konsentrasi kepemilikan, leverage, dan ukuran perusahaan sebagai variabel independen dan pengungkapan manajemen risiko sebagai variabel dependen. Kerangka
konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
No. Penulis Judul Variabel Kesimpulan
Variabel independen: 1. Diversifikasi
Produk 2. Diversifikasi
geografis 3. Ukuran
perusahaan 4. Jenis industri 5. Leverage
signifikan terhadap pengungkapan risiko.
Diversifikasi produk dan diversifikasi geografis,
leverage
berpengaruh positif tapi tidak signifikan terhadap
pengungkapan risiko.
Jenis industri berpengaruh tidak signifikan terhadap
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.11 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu pernyataan dugaan yang logis mengenai hubungan antara dua atau lebih variabel yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji (Sularso, 2003). Hadi (2006) mendefinisikan hipotesis sebagai
sebuah kesimpulan sementara yang masih akan dibuktikan lagi kebenarannya. Hipotesis akan memberikan jawaban terkait rumusan masalah. Pemilihan
hipotesis dalam penelitian ini ditentukan setelah melakukan kajian pustaka. Komisaris Independen
(X1)
Komite Audit (X2)
Konsentrasi Kepemilikan (X3)
Leverage
(X4)
Ukuran Perusahaan (X5)
Pengungkapan Manajemen
2.11.1 Komisaris Independen, Komite Audit, Konsentrasi Kepemilikan, Leverage, dan Ukuran Perusahaan Secara Parsial Terhadap Pengungkapan Manajemen Risiko
Hubungan masing – masing variabel independen terhadap
independen secdara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Komisaris Independen Terhadap Pengungkapan Manajemen
Risiko
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan dengan perusahaan. Hal ini
menyebabkan komisaris independen lebih bebas dalam pengambilan keputusannya. Perusahaan dengan proporsi komisaris independen yang tinggi cenderung lebih
memperhatikan risiko (Andarini dan Januarti, 2010: 8). Komisaris independen membantu menjalankan fungsi
pengawasan dalam perusahaan. Komisaris independen juga memiliki fungsi penting sebagai penjaga kepentingan pemegang saham dan menjaga keefektifan dewan (Ferrero-Ferrero, et al.,
2011: 209). Penelitian yang dilakukan Probohudono, et al., (2013) menemukan bahwa komisaris independen berhubungan
independen memiliki hubungan positif terhadap pengungkapan
ERM.
b. Komite Audit Terhadap Pengungkapan Manajemen Risiko
Komite audit dibentuk dengan tujuan agar pelaporan
keuangan yang dihasilkan benar-benar memberikan informasi yang tepat. Pelaporan keuangan ini berkaitan dengan pengungkapan manajemen risiko di dalamnya. Penelitian yang
dilakukan Zhang, et al., (2013) menemukan bahwa komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan ERM. Elzahar dan Hussainey (2012) juga menemukan bahwa terdapat pengaruh
siginifikan antara ukuran komite audit dengan pengungkapan risiko perusahaan.
c. Konsentrasi Kepemilikan Terhadap Pengungkapan Manajemen Risiko
Kepemilikan saham bisa disebut terkonsentrasi jika jumlah saham yang dimiliki pemegang saham relatif dominan dibanding jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang lain.
Perusahaan dengan kepemilikan saham yang terkonsentrasi memiliki tingkat pengungkapan ERM yang lebih tinggi pula (Syifa‟, 2013: 7). Hal ini terjadi karena pemegang saham
mengungkapkan risiko lebih banyak. Penelitian yang dilakukan Putri (2013) dan Syifa‟ (2013) menemukan bahwa konsentrasi
kepemilikan berpengaruh positif terhadap pengungkapan ERM.
d. Leverage Terhadap Pengungkapan Manajemen Risiko
Leverage adalah rasio untuk mengukur seberapa jauh perusahaan menggunakan hutang (Setyarini, 2011: 27).
Leverage menunjukkan kemampuan perusahaan membiayai hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjangnya. Tingkat hutang yang tinggi mencegah manajer untuk berinvestasi pada proyek yang berisiko sehingga mereka lebih
memilih proyek yang aman. Bisnis dengan leverage yang tinggi akan lebih fokus kepada manajemen risiko untuk menghindari
risiko gagal bayar (Onder dan Ergin, 2012: 22). Seamer, et al., (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa leverage
memiliki pengaruh positif terhadap pengungkapan ERM. Penelitian yang dilakukan Azlan, et al., (2009) juga menunjukkan hasil yang sama.
e. Ukuran Perusahaan Terhadap Pengungkapan Manajemen Risiko
Ukuran perusahaan bisa dinilai dari total aktiva, jumlah
menerapkan ERM karena lingkungan mereka lebih kompleks, menghadapi berbagai macam risiko, dan mereka mempunyai
biaya yang cukup untuk menerapkan ERM. Penelitian yang dilakukan Elzahar dan Hussainey (2012) menyimpulkan bahwa
ukuran perusahaan memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan risiko perusahaan. Azlan, et al., (2009) dan Probohudono, et al., (2013) dalam penelitiannya juga
menemukan hasil yang sama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
1: Komisaris independen, komite audit, konsentrasi kepemilikan, leverage, dan ukuran perusahaan secara parsial
berpengaruh positif terhadap pengungkapan manajemen risiko 2.11.2 Komisaris Independen, Komite Audit, Konsentrasi
Kepemilikan, Leverage, dan Ukuran Perusahaan Secara Simultan Terhadap Pengungkapan Manajemen Risiko
Pengungkapan manajemen risiko (ERM) dituangkan di dalam
laporan tahunan meliputi sistem manajemen risiko perusahaan, jenis risiko dan cara pengelolaannya, dan reviu terhadap sistem tersebut. Komisaris independen dengan proporsi yang lebih mendominasi
lebih luas. Jumlah anggota komite audit yang sesuai standar dianggap dapat memberikan tekanan terhadap perusahaan untuk lebih efektif
dalam menerapkan pengendalian internal dan sistem manajemen risiko perusahaan. Konsentrasi kepemilikan yang tinggi membuat
kemampuan mengendalikan yang lebih kuat sehingga pemegang saham mayoritas dapat menekan perusahaan untuk mengungkapkan manajemen risiko lebih luas. Leverage yang tinggi membuat kreditur
memiliki posisi tawar yang lebih tinggi untuk menekan perusahaan agar mengungkapkan manajemen risiko dengan lebih baik. Ukuran
perusahaan yang besar melibatkan semakin banyak stakeholder
sehingga tekanan untuk mengungkapkan manajemen risiko menjadi
lebih banyak.
Syifa‟ (2013) dalam penelitiannya menemukan bahwa ukuran
perusahaan, konsentrasi kepemilikan, dan leverage secara simultan
berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan ERM. Penelitian Putri (2013) menyimpulkan bahwa komisaris independen dan konsentrasi kepemilikan secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap pengungkapan ERM. Sari (2013) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa komisaris independen, konsentrasi
kepemilikan, dan ukuran perusahaan secara simultan berpengaruh positif terhadap pengungkapan ERM. Hasil penelitian Probohudono,
et al., (2013) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan, komisaris
pengungkapan risiko. Elzahar dan Hussainey (2012) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa komisaris independen dan
komite audit berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan risiko perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
2: Komisaris independen, komite audit, konsentrasi kepemilikan, leverage, ukuran perusahaan secara simultan