BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Keagenan (agency theory)
Adanya peralihan dalam lingkungan bisnis mengakibatkan perusahaan
yang dulunya hanya dimiliki satu orang yaitu manajer-pemilik (owner-manager)
sekarang menjadi perusahaan yang kepemilikannya tersebar dengan pemegang
saham yang dimiliki oleh berbagai kalangan. Peralihan ini mengakibatkan
terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan, dimana kepemilikan
berada pada tangan para pemegang saham sedangkan pengelolaan berada pada
tangan tim manajemen. Hubungan keagenan ini sebagai suatu kontrak di mana
satu atau lebih pihak (principal) memberikan tugas kepada pihak lain (agen) untuk
melaksanakan jasa dan pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan,
hubungan inilah yang dinamakan teori keagenan.
Pemisahan dalam teori keagenan ini menandakan pemilik tidak lagi
terlibat dalam pengelolaan perusahaan karena telah dialihkan kepada agen. Pihak
principal hanya bertindak sebagai pengawas dengan memonitor kinerja
perusahaan melalui laporan yang diberikan oleh agen. Agency theory yang
dikembangkan oleh Michael Johnson, professor dari Harvard (dalam Emirzon,
2007) memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agen bagi pemegang
saham akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri,
Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan permasalahan keagenan.
Adanya posisi, fungsi, kepentingan, dan latar belakang principal dan agen yang
berbeda dan saling bertolak belakang, namun saling membutuhkan, mau tidak
mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan, saling tarik menarik
kepentingan dan pengaruh antara satu dengan yang lain (Emirzon, 2007). Hal ini
mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam pelaporan kepada principal akibat
adanya keinginan untuk memenuhi tujuan pribadi seperti ingin memaksimumkan
utilitasnya, yang memungkinkan agen tidak selalu berbuat terbaik bagi principal,
sehingga muncul masalah keagenan. Masalah keagenan ini dapat terlihat dalam
aktivitas manajemen laba yang muncul pada laporan keuangan perusahaan akibat
adanya asymmetric information.
Asymmetric information adalah informasi yang tidak seimbang yang
disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen
yang berakibat dapat menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan adanya
kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap
tindakan-tindakan agen. Menurut Jansen dan Meckling yang dikutip dalam Emirzon (2007),
permasalahan yang dimaksud adalah :
a. Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan
hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.
b. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana principal tidak dapat
mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar
didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai
Pada prinsipnya teori keagenan menjelaskan bagaimana menyelesaikan
konflik kepentingan antara para pihak dan stakeholder dalam kegiatan bisnis yang
berdampak merugikan (Emirzon, 2007). Untuk menghindarkan konflik, kerugian,
diperlukan prinsip-prinsip dasar pengelolaan perusahaan yang baik atau good
corporate governance.
2.1.2 Teori Sinyal (Signaling Theory)
Konsep teori sinyal dan asimetri informasi sangat berkaitan erat dimana
teori asimetri informasi terjadi ketika pihak-pihak yang berkaitan dengan
perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko
perusahaan. Pihak tertentu mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan
dengan pihak lainnya. Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik
dibandingkan dengan pihak luar seperti investor sehingga terjadi asimetri
informasi antara manajer dan investor. Investor yang merasa mempunyai
informasi sedikit, akan berusaha menginterpretasikan perilaku manajer.
Perilaku manajer dalam hal menentukan struktur modal bisa dianggap
sebagai sinyal oleh pihak luar (investor). Kurangnya informasi pihak luar
mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri dengan memberikan
harga yang rendah untuk perusahaan. Menurut Mamduh (2004) menyatakan
bahwa “perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan mengurangi
informasi asimetri. Upaya untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan
memberikan sinyal pada pihak luar termasuk investor”.
Teori sinyal mengemukakan bagaimana seharusnya sebuah perusahaan
informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk
merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi
lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan
lain. Informasi berupa pengungkapan tanggung jawab sosial yang dipublikasikan
diharapkan dapat menjadi sinyal positif yang dapat diberikan perusahaan guna
menarik minat para investor untuk berinvestasi karena melalui pengungkapan
tanggung jawab sosial tersebut diperlihatkan bahwa perusahaan telah
menunjukkan suatu pertanggung jawaban terhadap lingkungan sekitar dimana ia
beroperasi.
2.1.3 Manajemen Laba
2.1.3.1 Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba (earning management) menurut Schipper dalam Wild, et
al. (2008) didefinisi sebagai intervensi manajemen dengan sengaja dalam proses
penentuan laba, biasanya untuk memenuhi tujuan pribadi. Terlebih lagi,
manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki informasi tentang perusahaan
lebih cepat, lebih banyak, dan lebih valid daripada pemegang saham (asymmetric
information) sehingga memungkinkan manajemen melakukan praktek akuntansi
dengan berorientasi pada angka laba, yang dapat menciptakan kesan (prestasi)
tertentu.
Scott (2009) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.
Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak
memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient
Earning Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak.
2.1.3.2 Insentif Manajemen Laba
Banyak alasan melakukan manajemen laba, termasuk meningkatkan
kompensasi manajer yang terkait dengan laba yang dilaporkan, meningkatkan
harga saham, dan usaha mendapatkan subsidi pemerintah. Dalam Wild, et al.
(2008) dipaparkan sejumlah insentif utama untuk melakukan manajemen laba
adalah sebagai berikut.
a. Insentif perjanjian.
Banyak perjanjian yang menggunakan angka akuntansi. Misalnya perjanjian
kompensasi manajer biasanya mencakup bonus berdasarkan laba. Perjanjian
bonus biasanya memiliki batas atas dan bawah, artinya manajer tidak
mendapat bonus jika laba lebih rendah dari batas bawah dan tidak
mendapatkan bonus saat laba lebih tinggi dari batas atas. Hal ini berarti
manajer memiliki insentif untuk meningkatkan atau mengurangi laba
berdasarkan tingkat laba yang belum diubah terkait dengan batas atas dan
bawah.
b. Dampak harga saham
Potensi dampak harga saham misalnya manajer dapat meningkatkan laba
tertentu seperti merger yang akan dilakukan atau penawaran surat berharga,
atau rencana menjual saham atau melaksanakan opsi. Manajer juga
melakukan perataan laba untuk menurunkan persepsi pasar akan risiko dan
menurunkan biaya modal.
c. Insentif lain.
Terdapat beberapa alasan manajemen laba lainnya. Laba seringkali
diturunkan untuk menghindari biaya politik dan penelitian yang dilakukan
badan pemerintah. Selain itu, perusahaan dapat menurunkan laba untuk
memperoleh keuntungan dari pemerintah, misalnya subsidi atau proteksi dari
persaingan asing. Perusahaan juga menurunkan laba untuk mengelakkan
permintaan serikat buruh. Salah satu insentif lain adalah perubahan
manajemen yang sering menyebabkan big bath karena beberapa alasan.
Pertama, melemparkan kesalahan pada manajer yang berwenang. Kedua,
sebagai tanda bahwa manajer baru harus membuat keputusan tegas untuk
memperbaiki perusahaan. Ketiga, dan yang terpenting, yaitu memberikan
kemungkinan dilakukannya peningkatan laba di masa depan.
2.1.3.3 Strategi Pelaksanaan Manajemen Laba
Dalam pelaksanaan aktivitas manajemen laba, manajemen memiliki
beberapa strategi dalam melaksanakan praktek ini. Dalam Wild, et al. (2008),
dijelaskan tiga jenis strategi manajemen laba yaitu :
a. Meningkatkan laba (increasing income)
Cara ini dilakukan dengan meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode
dimungkinkan selama beberapa periode. Pada skenario pertumbuhan, akrual
pembalik lebih kecil dibandingkan akrual kini sehingga dapat meningkatkan
laba. Kasus yang terjadi adalah perusahaan dapat melaporkan laba yang lebih
tinggi berdasarkan manajemen laba yang agresif sepanjang periode waktu
yang panjang. Selain itu, perusahaan dapat melakukan manajemen untuk
meningkatkan laba selama beberapa tahun dan kemudian membalik akrual
sekaligus pada satu saat pembebanan. Pembebanan satu saat ini sering kali
dilaporkan “di bawah laba bersih” (below the line) sehingga dipandang tidak
terlalu relevan.
b. Mandi besar (big bath)
Strategi big bath dilakukan melalui penghapusan sebanyak mungkin pada
satu periode. Periode yang dipilih biasanya periode dengan kinerja yang
buruk (seringkali pada masa resesi dimana perusahaan lain juga melaporkan
laba yang buruk) atau peristiwa saat terjadi satu kejadian yang tidak biasa
seperti perubahan manajemen, merger, atau restrukturisasi. Strategi ini juga
seringkali dilakukan setelah strategi peningkatan laba pada periode
sebelumnya. Karena sifat big bath yang tidak biasa dan tidak berulang,
pemakai cenderung tidak memperhatikan dampak keuangannya. Hal ini
memberikan kesempatan untuk menghapus semua hal buruk di masa lalu dan
memberikan kesempatan untuk meningkatkan laba di masa depan.
c. Perataan laba (Income smoothing)
Perataan laba merupakan bentuk umum manajemen laba. Pada strategi ini,
mengurangi fluktuasinya. Perataan laba juga mencakup tidak melaporkan
bagian laba pada periode baik dengan menciptakan cadangan atau “bank”
laba dan kemudian melaporkan laba ini saat periode buruk. Banyak
perusahaan menggunakan bentuk manajemen laba ini.
Praktek manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen ini dapat
diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring untuk menyelaraskan
ketidaksejajaran kepentingan pemilik dan manajemen. Mekanisme yang dianggap
dapat digunakan untuk membatasi tindakan tersebut adalah mekanisme good
corporate governance.
2.1.3.4 Pengukuran Manajemen Laba
Dechow et al (1995) telah mengevaluasi beberapa model untuk mendeteksi
dan mengukur manajemen laba berdasarkan akrual. Berbagai model tersebut
adalah :
1. Model Healy
Healy (1985) menguji manajemen laba dengan membandingkan rata-rata total
akrual (diskala dengan lag total aset) antara variabel yang merupakan bagian
manajemen laba. Model Healy dirumuskan sebagai berikut :
𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝜏𝜏 =Σ𝑇𝑇𝑁𝑁𝑇𝑇 𝑡𝑡
dimana :
NDA = estimasi nondiscretionary accrual
T = t merupakan tahun subscript untuk tahun-tahun yang termasuk dalam
periode estimasi
τ = tahun subscript yang menunjukkan suatu tahun dalam periode
berjalan.
2. Model DeAngelo
DeAngelo (1986) menguji manajemen laba dengan memperhitungkan
perbedaan pertama dalam total akrual, serta mengasumsikan bahwa
perbedaan pertama mempunyai suatu nilai ekspektasi nol di bawah hipotesis
nol yaitu tidak adanya manajemen laba. Nondiscretionary accrual
berdasarkan model DeAngelo dirumuskan sebagai berikut:
NDAt=TAt-1
3. Model Jones
Model Jones (1991) berusaha untuk mengontrol dampak perubahan ekonomi
perusahaan terhadap nondiscretionary accrual. Model Jones untuk
nondiscretionary accrual dirumuskan sebagai berikut :
NDAt = α1(1/At-1) + α 2(ΔREVt)+ α 3(PPEt)
dimana :
ΔREVt= pendapatan tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1 yang diskala oleh
total aset pada tahun t-1
PPEt = peralatan dan properti pabrik tahun t yang diskala dengan total aset
pada tahun t-1
At-1 = total aset pada t-1
4. Model Industri
Model industri berasumsi bahwa variasi-variasi yang terdapat dalam
faktor-faktor penentu nondiscretionary accrual biasa terjadi pada
perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama. Model industri untuk nondiscretionary
accrual dirumuskan sebagai berikut :
NDA t = γ 1 + γ 2 median t (TAt)
dimana :
median t (TAt) = nilai median dari total akrual yang diskala dengan lag aset
untuk semua perusahaan non sample, yang sama dengan 2 digit kode SIC.
γ 1, γ 1 = parameter spesifik perusahaan
5. Model Jones yang Dimodifikasi
Model Jones yang dimodifikasi oleh Dechow, Sloan, dan Sweeney (1995)
dirancang untuk mengurangi kecenderungan terjadinya kesalahan model
Jones, ketika discretionary diterapkan pada pendapatan. Perubahan
pendapatan disesuaikan dengan perubahan piutang, karena dalam pendapatan
atas penjualan sudah tentu ada yang berasal dari penjualan secara
kredit.Pengurangan terhadap nilai piutang untuk menunjukkan bahwa
pendapatan yang diterima benar-benar merupakan pendapatan bersih
(Dechow et al, 1995). Seperti yang dilakukan Jones (1991), perhitungan
dilakukan dengan :
a. Mengukur total accrual dengan menggunakan model Jones yang
Total Accrual (TAC) = laba bersih setelah pajak (net income) – arus kas
operasi (cash flow from operating)
b. Menghitung nilai accruals yang diestimasi dengan persamaan regresi
OLS (Ordinary Least Square):
TAC
t/ At-1 = α1(1/ At-1) + α2((ΔREVt - ΔRECt) / At-1) + α3(PPEt / At-1) +e
Dimana
TAC
t : total accruals perusahaan i pada periode t
A
t-1 : total aset untuk sampel perusahaan i pada akhit tahun t-1
REV
t : perubahan pendapatan perusahaan i dari tahun t-1 ke tahun t
REC
t : perubahan piutang perusahaan i dari tahun t-1 ke tahun t
PPE
t :aktiva tetap perusahaan tahun t
c. Menghitung nondiscretionary accruals model (NDA) adalah sebagai
berikut:
NDAt = α
1(1/ At-1) + α2((ΔREVt - ΔRECt) / At-1) + α3(PPEt / At-1
Dimana
NDAt : nondiscretionary accruals pada tahun t
α : fitted coefficient yang diperoleh dari hasil regresi pada perhitungan
total accruals
d. Menghitung discretionary accruals
DACt : (TAC
t / At-1) - NDAt
Dimana
2.1.4 Good Corporate Governance
2.1.4.1 Definisi Good Corporate Governance
Good corporate governance merupakan suatu aturan sistem dan
seperangkat aturan mengenai pengelolaan perusahaan yang perlu diterapkan pada
setiap perusahaan dan mengatur hubungan antara pihak yang berkepentingan
dalam perusahaan. Good corporate gorvernance dimaksudkan untuk mengatur
hubungan-hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan ini dalam rangka
mencapai tujuan perusahaan dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan
signifikan dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa
kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat di perbaiki dengan segera.
Menurut Cadbury (1922 dalam Agoes dan Ardana, 2013), “Good
corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka”.
Good corporate governance adalah sistem dan struktur untuk mengelola
perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai pemegang saham (stakeholder’s
value) serta mengalokasikan berbagai pihak yang berkepentingan dengan
perusahaan seperti kreditor, supplier, asosiasi usaha, konsumen, pekerja,
pemerintah dan masyarakat luas (Tangkilisan, 2003).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa good corporate
governance merupakan suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis
stakeholder lainnya untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya. Pelaksanaan good
corporate governance dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan cara
meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh
dewan komisaris dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri
dan umumnya good corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan
investor.
2.1.4.2 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Komitmen dari seluruh jajaran pengurus perusahaan hingga pegawai yang
terendah untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam good corporate
governance merupakan faktor penentu terlaksananya good corporate governance
dalam perusahaan, maka dari itu seluruh karyawan wajib untuk menjunjung tinggi
prinsip good corporate governance. National Committee on Governance (2006
dalam Agoes dan Ardana, 2013) mengemukakan lima prinsip good gorporate
governance yaitu: Transparansi (Transparancy), Akuntabilitas (Accountability),
Tanggung jawab (Responsibility), Independensi (Independency) dan Kesetaraan
(Fairness).
1. Transparansi (Transparancy)
Transparansi adalah adanya pengungkapan suatu informasi yang terbuka,
tepat waktu, dan jelas serta dapat dibandingkan dengan keadaan yang
menyangkut tentang keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan
mudah dipahami untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham,
kreditur dan pemangku kepentingan lain.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas dimaksudkan sebagai prinsip dimana para pengelola
berkewajiban untuk membina sistem akuntansi yang efektif untuk
menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Akuntabilitas
menekankan pada pentingnya penciptaan sistem pengawasan yang efektif
berdasarkan pembagian kekuasaan antara dewan komisaris, dewan direksi,
dan pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian
terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai
dengan kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan
lainnya. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lain, agar perusahaan mampu
mempertanggung jawabkan kinerjanya secara jelas dan transparan kepada
pihak-pihak yang membutuhkan informasi tersebut, karena akuntabilitas
merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang
berkesinambungan.
3. Tanggung jawab (Responsibility)
Prinsip Tanggung jawab adalah prinsip di mana para pengelola wajib
memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola
perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan
(kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi
yang sehat seta peraturan perundangan yang berlaku. Prinsip ini diwujudkan
dengan kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari
adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggung jawab sosial,
menghindari penyalahgunaan wewenang kekuasaan, menjadi profesional dan
menjunjung etika dan memelihara bisnis yang kuat.
4. Independensi (Independency)
Prinsip Independesi atau kemandirian merupakan prinsip yang mengatur
tentang pengelolaan perusahaan secara profesional tanpa pengaruh/tekanan
dari pihak manapun. Upaya melancarkan asas good corporate governance
dilakukan dengan mengelola perusahaan secara independen sehingga
masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat
diintervensi oleh pihak lain. Independensi diperlukan untuk menghindari
adanya potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para
pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini menuntut adanya rentang
kekuasaan antara komposisi komite dalam komisaris, dan pihak luar seperti
auditor. Keputusan yang dibuat dan proses yang terjadi harus objektif tidak
dipengaruhi oleh kekuatan pihak-pihak tertentu.
5. Kesetaraan (Fairness)
Prinsip kesetaraan (Fairness) merupakan prinsip perlakuan yang adil bagi
seluruh pemegang saham. Keadilan yang diberikan merupakan perlakuan
yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang
perilaku insider. Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan
kesetaraan dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya.
2.1.4.3 Manfaat dan Tujuan Good Corporate Governance
Menurut Gunarsih (2003 dalam Hardikasari, 2011) “esensi corporate
governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau
pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap
shareholder dan pemakai kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan
peraturan yang berlaku”. Good corporate governance dapat memberikan
kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif.
Beberapa manfaat penerapan good corporate governance adalah sebagai
berikut :
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan
keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan
dengan lebih baik, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders,
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga
dapat lebih meningkatkan nilai perusahaan (corparate value),
3. Mengurangi agency cost, yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang
saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen,
4. Meningkatkan nilai saham perusahaan sehingga dapat meningkatkan citra
perusahaan kepada publik lebih luas dalam jangka panjang,
5. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di
Tujuan good corporate governance adalah sebagai berikut :
1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham,
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholder non pemegang
saham,
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan pemegang saham,
4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus atau board of
directors dan manajemen perusahaan,
5. Meningkatkan mutu hubungan board of directors dengan manajemen senior
perusahaan.
2.1.4.4 Implementasi Good Corporate Governance
Implementasi terhadap prinsip-prinsip good corporate governance di
Indonesia telah diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan. Peraturan
dan undang-undang berupaya untuk mendorong berbagai perusahaan untuk
melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance dalam melakukan
kegiatan operasional perusahaan tersebut. Dalam Surat Keputusan Menteri
BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan
Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara,
menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan good corporate
governance secara konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip good corporate
governance sebagai landasan operasionalnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan
kepentingan stakeholders lainnya, dan berlandaskan peraturan
perundang-undangan dan nilai-nilai etika.
Pelaksanaan prinsip Transparansi (Transparancy) dilakukan agar
perusahaan senantiasa menjaga dan meningkatkan pengungkapan suatu informasi
yang terbuka, tepat waktu, dan jelas serta dapat dibandingkan dengan keadaan
yang menyangkut tentang keuangan dan informasi non keuangan. Akuntabilitas
(Accountablity) dengan menekankan pentingnya penciptaan sistem pengawasan
yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi, dan
pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap
manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan
kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Tanggung
jawab (Responsibility) untuk menunjukkan adanya kesesuaian (kepatuhan) di
dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat seta
peraturan perundangan yang berlaku.
Independensi (Independency) dilakukan agar perusahaan dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi
dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain serta untuk menghindari adanya
potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para pemegang saham
mayoritas. Pelaksanaan kesetaraan (Fairness) dilakukan agar perusahaan
senantiasa memberikan perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham,
terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dari
kecurangan, dan kesalahan perilaku insider. Penerapan prinsip-prinsip Good
efisien dalam suatu perusahaan. Menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien
dibutuhkan suatu bentuk komitmen dan kesadaran penuh dari seluruh jajaran
organ perusahaan untuk menjalankan kegiatan perusahaan berdasarkan sistem tata
kelola perusahaan yang baik.
2.1.5 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang
dimiliki oleh institusi (Beiner et al dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007).
Kemampuan manajer perusahaan untuk mengelola laba secara oportunistik dapat
dibatasi oleh efektivitas pengawasan oleh para shareholder khususnya investor
institusional.
Kepemilikan institusional diukur sebagai persentase saham yang dimiliki
oleh lembaga yang diungkapkan dalam laporan keuangan tahunan. Adanya
kepemilikan saham institusional dalam perusahaan dapat membantu untuk
meningkatkan pembiayaan jangka panjang dengan biaya yang menguntungkan.
Para investor institusional bertindak sebagai sumber utang jangka panjang karena
mereka bersedia memberi pinjaman kepada perusahaan yang membutuhkan dana.
Para investor institusional dapat berfungsi sebagai perangkat pemantauan yang
efektif atas keputusan-keputusan strategis perusahaan.
Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan
sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang
dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Kepemilikan institusional
memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses
2.1.6 Komite Audit
Keberadaan komite audit melalui surat edaran Bapepam Nomor
SE03/PM/2002. Dalam pelaksanaan tugasnya komite audit mempunyai fungsi
membantu dewan komisaris untuk:
1. Meningkatkan kualitas laporan keuangan,
2. Menciptakan kedisiplinan dan pengendalian yang dapat mengurangi
kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan.
3. Meningkatkan efektivitas fungsi internal audit maupun eksternal audit.
4. Mengindentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris.
Komite audit mempunyai peran yang penting dan strategis dalam hal
memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan, menjaga
terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya
good corporate governance. Dengan berjalannya fungsi komite audit secara
efektif, maka control terhadap perusahaan akan lebih baik sehingga konflik
keagenan yang terjadi akibat keinginan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan sendiri dapat diminimalisasi.
2.1.7 Dewan Komisaris Independen
Pengertian komisaris menurut Emirzon ( dalam Wulandari 2013) adalah
lembaga yang bertugas mengawasi atau mengontrol jalannya perusahaan yang
dipimpin oleh dewan direksi. Pembentukan Komisaris Independen ini
didasarkan oleh keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas dalam PT terbuka dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan
memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding
dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali.
Proporsi dewan komisaris independen dalam mekanisme good corporate
governance berperan penting tidak hanya melihat kepentingan pemilik tetapi juga
kepentingan perusahaan secara umum. Karakteristik dewan komisaris khususnya
komposisi dewan komisaris independen dapat menjadi suatu mekanisme yang
menentukan tindakan manajemen laba. Dewan komisaris independen merupakan
posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan
yang good corporate governance. Jika fungsi independensi dewan direksi
cenderung lemah, maka ada kecenderungan terjadinya moral hazard yang
dilakukan oleh para direktur perusahaan untuk kepentingannya melalui pemilikan
perkiraan-perkiraan akrual yang berdampak pada manajemen laba.
2.1.8 Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan mekanisme penggendalian intern tertinggi
yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen punjak.
Berdasarkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) Nomor: Kep-315/BEJ/06 (2000 dalam sari,
2010) “mengharuskan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk
memiliki dewan komisaris yang memonitor perusahaan agar tercipta Good
Corporate Governance di Indonesia”. Artinya Dewan Komisaris merupakan
organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk
melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta
Ukuran dewan komisaris yang dimaksud disini adalah banyaknya jumlah
anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Ukuran dewan komisaris
menentukan tingkat keefektifan pemantauan kinerja perusahaan. Menurut
Chtourou (2001 dalam Sari, 2010) “jumlah dewan yang semakin besar maka
mekanisme monitoring manajemen perusahaan akan semakin baik”.
2.1.9 Ukuran Dewan Direksi
Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang
akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun
jangka panjang. Dewan direksi juga merupakan salah satu indikator dalam
pelaksanaan good corporate governance yang bertugas dan bertanggungjawab
untuk menjalankan manajemen perusahaan.
2.1.10 Konvergensi IFRS
International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah standar,
interpretasi dan kerangka kerja dalam rangka Penyusunan dan Penyajian Laporan
Keuangan yang diadopsi oleh International Accounting Standards Board (IASB).
Banyak standar membentuk bagian dari IFRS. Sebelumnya IFRS ini lebih dikenal
dengan nama International Accounting Standards (IAS) (Lestari, 2012).
Seperti yang diungkapkan dalam Media Akuntansi (2005)
(Pangabean,2007 dalam Wardhani 2009) IFRS telah diterapkan oleh sejumlah
negara di dunia, dengan tingkat adopsi yang berbeda-beda. Adopsi IFRS dapat
dilakukan dalam lima tingkatan, yaitu:
2. Adapted, dimana suatu Negara mengadopsi seluruh IFRS tetapi disesuaikan
dengan kondisi suatu negara.
3. Piecemeal, dimana suatu negara mengadopsi sebagian nomor IFRS yaitu
nomor standar tertentu dan memilih paragraf tertentu saja.
4. Referenced, dimana suatu negara menjadikan IFRS sebagai referensi dalam
pembentukan standar yang dibuat sendiri oleh badan pembuat standar.
5. Not adoption at all, dimana suatu negara sama sekali tidak mengadopsi IFRS.
Lestari (2012) menyebutkan manfaat adopsi IFRS adalah sebagai berikut:
a. Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar
Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional (enhance
comparability).
b. Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi.
c. Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui
pasar modal secara global.
d. Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
e. Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan antara lain, mengurangi
kesempatan untuk melakukan earning management.
Kustina (2012) menyatakan konvergensi IFRS dilakukan melalui tiga
tahapan, yaitu:
1. Tahap adopsi (2008 - 2011) yang meliputi adopsi seluruh IFRS ke PSAK,
persiapan infrastruktur yang diperlukan, evaluasi dan kelola dampak
2. Tahap persiapan akhir (2011) yaitu penyelesaian infrastruktur yang
diperlukan.
3. Tahap implementasi (2012) yaitu penerapan pertama kali PSAK yang
sudah mengadopsi seluruh IFRS dan evaluasi dampak penerapan PSAK
secara komprehensif.
Berdasarkan roadmap tersebut maka Indonesia telah memasuki tahap
persiapan akhir di tahun 2011 setelah sebelumnya melalui tahap adopsi (2008 –
2010). Berikut ini Tabel perkembangan konvergensi PSAK ke IFRS:
Tabel 2.1
Perkembangan Konvergensi PSAK Ke IFRS Tahap Adopsi
(2008 – 2010)
Tahap Persiapan Akhir (2011)
Tahap Implementasi
(2012) Adopsi seluruh IFRS ke
PSAK
Penyelesaian persiapan infrastruktur yang diperlukan
Penerapan PSAK berbasis IFRS secara bertahap
Persiapan infrastruktur yang diperlukan
Penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS
Evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif
Evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku
Kustina (2012) juga menyebutkan bahwa Perusahaan BUMN sebagai
perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik dipersyaratkan oleh regulasi untuk
menyusun laporan keuangan berdasarkan standar, serta untuk dapat
dan dana yang cukup untuk melakukan pemutakhiran sistem dan SOP yang saat
ini telah ada.
Komitmen pimpinan perusahaan juga diperlukan untuk mendukung proses
implementasi IFRS tersebut. Besarnya komitmen pimpinan terkadang dipengaruhi
oleh kepedulian stakeholder pengguna laporan keuangan. Kementerian BUMN
sebagai stakeholder utama BUMN sangat mempengaruhi bagaimana proses
implementasi PSAK baru ini dalam perusahaan.
Secara garis besar Kustina (2012) membagi dampak konvergensi IFRS
menjadi empat bagian, yaitu:
1. Dampak IFRS pada sistem akuntansi
Adanya peningkatan penggunaan nilai wajar (fair value), adanya penggunaan
” judgment” karena karakteristik IFRS yang lebih berbasis prinsip (principle
based) sedangkan PSAK merupakan rule based, dan penggunaan persyaratan
pengungkapan yang akan lebih banyak, baik kualitatif maupun kuantitatif.
2. Dampak IFRS pada sistem informasi perusahaan
Hal ini disebkan karena dengan konvergensi IFRS menyebabkan perbedaan
standar yang signifikan antara IFRS dan standar yang berlaku sebelumnya.
3. Dampak IFRS pada sumber daya manusia pada perusahaan
Penerapan IFRS membutuhkan sumber daya profesional yang memiliki
kemampuan untuk melakukan judgment dalam menggunakan standar IFRS,
baik dalam hal mempersiapkan laporan keuangan maupun dalam hal
4. Dampak IFRS pada sistem organisasi perusahaan
Penerapan IFRS tidak hanya mengubah cara organisasi membuat laporan
keuangan, namun juga mengubah bagaimana perusahaan menjalankan
bisnisnya. Diperlukan pengendalian internal khususnya yang terkait dengan
pelaporan keuangan agar perusahaan dapat memnuhi semua persyaratan yang
ditetapkan.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian ini juga pernah di angkat sebagai topik penelitian oleh beberapa
peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk mempelajari
penelitian-penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi
peneliti dalam melakukan penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan Ningsaptiti pada tahun 2010 dengan judul
“Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Mekanisme Good Corporate
Governance Terhadap Manajemen Laba”, dengan manajemen laba sebagai
variabel dependen dan variabel independen terdiri dari ukuran perusahaan,
konsentrasi kepemilikan, dewan komisaris, spesialisasi industri KAP, komite
audit. Penelitian ini dilakukan dengan sampel 37 perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI periode 2006-2008. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ukuran
perusahaan, konsentrasi kepemilikan, dan spesialisasi industri KAP berpengaruh
signifikan secara parsial terhadap manajemen laba, sedangkan dewan komisaris
dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.
Selanjutnya pada penelitian Suryani (2010) “Pengaruh Mekanisme
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI” . Penelitian ini mengambil 55
sampel dari 137 populasi perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun
2004 sampai dengan tahun 2008. Variabel dependen dari penelitian ini adalah
manajemen laba dan variabel independen yang digunakan adalah kepemilikan
intitusional, kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komposisi dewan
komisaris, komite audit dan ukuran perusahaan. Dari penelitian ini disimpulkan
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan
berpengaruh negative signifikan terhadap manajemen laba sedangkan komite
audit dan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Pada penelitian Ujianto & Pramuka (2007) dengan judul “Mekanisme
Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”. Disimpulkan
kepemilikan institusional dan jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan manajerial
berpengaruh negatif signifikan dan proporsi dewan komisaris berpengaruh positif
signifikan. Secara bersama-sama variabel berpengaruh signifikan terhadap
manajemen laba.
Pada penelitian yang dilakukan Herawaty dan Guna (2010) dengan judul
“Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Independensi Auditor,
Kualitas Audit, dan Faktor Lainnya Terhadap Manajemen Laba” disimpulkan
bahwa laverage, kualita audit, dan profitabilitas berpengaruh terhadap
manaejemen laba. Sedangkan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,
komite audit, komisaris independen, independensi auditor dan ukuran perusahaan
Cahyati pada tahun 2011 dalam jurnal akuntansi keuangan volume 1 No.2,
januari 2011 dengan judul “Peluang Manajemen Laba Pasca Konvergensi IFRS”
menyimpulkan bahwa secara teoritis konvergensi IFRS diharapkan mengurangi
manajemen laba yang dilakukan perusahaan karena standar IFRS yang berbasis
prinsip, lebih condong pada penggunaan nilai wajar, dan pengungkapan yang
lebih banyak dan rinci diharapkan dapat mengurangi manajemen laba.
Penelitian Winayu pada tahun 2013 dengan judul “Manajemen Laba
Sesudah dan Sebelum Konvergensi IFRS”, pada penelitian ini menunjukkan
bahwa ada perbedaan manajemen laba sebelum dan sesudah IFRS diterapkan.
Pada penelitian Marsono (2013) yang berjudul “Analisis Komparasi Kualitas
Informasi Akuntansi Sebelum dan Sesudah Pengadopsian Penuh IFRS di
Indonesia” disimpulkan bahwa kualitas akuntansi sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS menunjukkan tidak adanya perbedaan ini disebabkan
oleh faktor infrastruktur. Infrastruktur disini meliputi DSAK (Dewan Standar
Akuntansi Keuangan) sebagai financial accounting standard setter di Indonesia,
kondisi peraturan perundang-undangan yang belum tentu sinkron dengan IFRS
serta kurang siapnya sumber daya manusia dan dunia pendidikan di Indonesia.
Penelitian oleh Rudra pada tahun 2012 dengan judul “Does IFRS
Influence Earnings Management? Evidence From India” juga menyimpulkan
bahwa penerapan IFRS tidak menjamin akan kualitas laporan keuangan.
Penelitian Widyawati dan Angraita (2013) yang berjudul “Pengaruh Konvergensi
IFRS Efektif Tahun 2011, Kompleksitas Akuntansi, dan Probitabilitas
menyimpulkan Konvergensi IFRS dalam PSAK yang efektif di tahun 2011
memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap tingkat manajemen laba,
kompleksitas akuntansi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat manajemen
laba , dan perusahaan dengan status probabilitas kebangkrutan memiliki pengaruh
negatif signifikan terhadap tingkat manajemen laba.
Penelitian Trisanti (2012) “The Effect of IFRS Adoption on Income
Smoothing Practices by Indonesian Listed Firms” menyimpulkan bahwa perataan
laba pada perusahaan yang terdaftar di BEI telah berkurang sejak diterapkannya
IFRS. Trisanti juga menyebutkan bahwa regulator dan pembuat standar di
Indonesia harus menyadari bahwa tantangan besar tidak hanya untuk
mengeluarkan standar dan peraturan tetapi untuk memastikan bahwa mereka dapat
dengan baik disosialisasikan, diimplementasikan dan diawasi.
Penelitian Rusmin dalam Jurnal bisnis dan akuntansi (2011) dengan judul
“Internal Governance Monitoring and Earnings Quality”, disimpulkan bahwa
komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap kualitas laba.
Selanjutnya pada penelitian Fidio, Ibikunle, dan Oba (2013) dengan judul
“Corporate governance Mechanism and reported Earnings Quality in Listed
Nigerian Insurance Firm” juga disimpulkan komisaris independen, dewan
komisaris dan komite audit berpengaruh negatif terhadap kualitas laba.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah
penelitian terdahulu menggunakan komponen good corporate governance sebagai
variabel independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen, dan
variabel dependen sementara pada penelitian ini peneliti mengggunakan
komponen good corporate governance dan konvergensi IFRS sebagai variabel
independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen.
Selain itu perusahaan yang dijadikan sampel pada penelitian sebelumnya
adalah perusahaan manufaktur, perusahaan perbankan, perusahaan asuransi,
sedangkan pada penelitian ini peneliti menggunakan perusahaan BUMN sebagai
sampel penelitian. Perusahaan BUMN sebagai perusahaan yang dimiliki oleh
pemerintah diharapkan dapat menunjukkan penerapan good corporate governance
dan konvergensi IFRS yang baik, sehingga diharapkan dapat mengurangi praktik
manajemen laba (earnings management).
Berikut ini disajikan table penelitian terdahulu:
Table 2.2 Penelitian terdahulu No. Nama Peneliti dan
Judul Penelitian
Variabel
Penelitian Hasil Penelitian 1. Ningsaptiti (2010)
“Anallisis Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Mekanisme Good Corporate 5. Komite audit
Ukuran perusahaan,
konsentrasi kepemilikan, dan spesialisasi industri KAP berpengaruh signifikan secara parsial terhadap manajemen laba, sedangkan dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan
Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI”
2. Kepemilikan manajerial 3. Ukuran dewan
komisaris 4. Komposisi
dewan komisaris 5. Komite audit 6. Ukuran
perusahaan
sedangkan komite audit dan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
3. Ujiyanto & Pramuka (2007)
“Mekanisme Corporate Governance,
Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan” dan jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan dan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif signifikan. Secara bersama-sama variabel berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
4. Herawaty & I Guna Kualitas Audit dan Faktor Lainnya 3. Komite audit 4. Komisaris
independen 5. Kualitas audit 6. Leverage 7. Profitabilitas 8. Ukuran
perusahaan
Leverage, kualitas audit, dan profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, komite audit, komisaris independen, independensi dan ukuran perusahaan tidak
dapat mengurangi
manajemen laba. Jadi secara teoritis konvergensi IFRS diharapkan mengurangi manajemen laba yang dilakukan perusahaan. 6. Winayu (2013)
“Manajemen Laba Sesudah dan Sebelum Konvergensi IFRS”
Hasil pengujian yang dilakukan pada perusahaan selain bank dan lembaga keuangan menunjukkan ada beda manajemen laba sebelum dan sesudah IFRS diterapkan, namun
mengindikasikan tidak membuat praktik manajemen laba berkurang. IFRS di Indonesia”
Dependen:
Tidak ada perbedaan kualitas informasi sesudah dan sebelum pengadopsian IFRS, hal ini disebabkan faktor infrastruktur yang belum memadai.
8. Rudra (2012)
“Does IFRS Influence Earnings
Management?
Evidence From India”
Dependen :
Penerapan IFRS tidak menjamin akan kualitas laporan keuangan.
9. Widyawati & Angraita (2013) “Pengaruh
Konvergensi IFRS Efektif Tahun 2011, Kompleksitas 2. Report delay 3. Manajemen secara parsial berpengaruh positif signifikan terhadap audit delay dan report delay. Konvergensi IFRS dan profitabilitas kebangkrutan berpengaruh negatif signifikan terhadap
manajemen laba. Sedangkan komplesitas akuntansi tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
10. Trisanti (2012) “The Effect of IFRS Adoption on Income Smoothing Practices by Indonesian Listed Firm”
Dependen : 1. Perataan laba Independen: 1. Konvergensi
IFRS 2. Ukuran
perusahaan 3. Debt financing
Perataan laba pada
perusahaan yang terdaftar di BEI telah berkurang sejak diterapkannya IFRS. Ukuran perusahaan berpegaruh signifikan terhadap perataan laba, Debt financing beprpengaruh signifikan terhadap perataan laba. 1. Kualitas Laba Independen: 1. Komisaris
independen 2. Karakteristik
komite audit 3. Ukuran komite
audit
4. Komite audit independen
Komisaris independen berpengaruh negatif
signifikan terhadap kualitas laba. Karakteristik komite audit dan komite audit independen tidak berpengaruh terhadap
kualitas laba. Secara simultan variabel independen
berpengaruh terhadap kualitas laba.
12. Fidio, Ibikunle, Oba (2013)
“Corporate governance Mechanism and
Dependen: 1. Kualitas Laba Independen: 1. Dewan
komisaris
Kepemilikan Institusional X1
Komisaris Independen X3
Ukuran Dewan Komisaris X4
Ukuran Dewan Direksi X5
reported Earnings Quality in Listed Nigerian Insurance Firm”
2. Komisaris independen 3. Komite audit
independen 4. Komite audit 5. Auditor
eksternal 6. Ukuran
perusahaan
dan ukuran perusahaan berperngaruh negatif secara persial terhadpa manajemen laba.
2.3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis 2.3.1 Kerangka Konseptual
Erlina (2008) menyatakan bahwa kerangka teoritis adalah suatu model
yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting
yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual akan
menghubungkan variabel independen dengan variabel dependen.
Adapun yang menjadi kerangka konseptual dari penelitian ini adalah :
Gambar 2.1 : Kerangka Konseptual
Penelitian ini menggunakan enam variabel bebas yaitu Kepemilikan
Institusional, Komite Audit, Komisaris Independen, Ukuran Dewan Komisaris,
Ukuran Dewan Direksi, dan Konvergensi IFRS serta satu variabel dependen yaitu
Manajemen Laba.
Kepemilikan oleh institusional dinilai dapat mengurangi praktek
manajemen laba karena manajemen menganggap institusional sebagai
sophisticated investor dapat memonitor manajemen yang dampaknya akan
mengurangi motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba (Midiastuty dan
Mas’ud, 2003).
Komite audit mempunyai peran yang penting dan strategis dalam hal
memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan, menjaga
terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya
good corporate governance. Dengan berjalannya fungsi komite audit secara
efektif, maka kontrol terhadap perusahaan akan lebih baik sehingga konflik
keagenan yang terjadi akibat keinginan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan sendiri dapat diminimalisasi.
Dewan komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk
melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate
governance. Adanya dewan komisaris independen akan meningkatkan
indenpendensi monitoring terhadap manajemen perusahaan akan semakin tinggi.
Dewan Komisaris merupakan organ perusahaan yang bertugas dan
bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan
GCG. Semakin besar jumlah dewan komisaris maka monitoring terhadap
manajemen perusahaan akan semakin efektif.
Ukuran dewan direksi dalam perusahaan sangatlah penting untuk
pencapaian komunikasi yang efektif antar anggota dewan. Komunikasi yang baik
akan meningkatkan pengawasan terhadap manajemen dalam perusahaan sehingga
dapat mengurangi perilaku oportunis manajemen.
Derajat konvergensi GAAP lokal dengan IFRS secara umum berpengaruh
positif terhadap kualitas laba. Barth et al. (2007 dalam Wardhani, 2009)
menyatakan bahwa perusahaan yang mengadopsi IFRS akan memiliki tingkat
manajemen laba yang lebih kecil dan nilai relevansi laba yang lebih tinggi.
2.3.2 Hipotesis Penelitian
Menurut Erlina (2008) menyatakan bahwa “hipotesis penelitian adalah
proporsi yang dirumuskan dengan maksud untuk di uji secara empiris”. Proporsi
merupakan ungkapan atau pernyataan yang dapat dipercaya, dapat disangkal, atau
diuji kebenarannya mengenai konsep atau konstruk yang menjelaskan atau
memprediksi fenomena-fenomena. Hipotesis merupakan penjelasan sementara
mengenai perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau yang
akan terjadi.
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual yang telah
disajikan sebelumnya, maka hipotesis dari penelitian ini adalah “Good corporate
governance dan konvergensi IFRS berpengaruh secara parsial dan simultan
terhadap manajemen laba pada perusahaan BUMN yang terdaftar di Bursa Efek