• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Sinema 2.1.1 Definisi - Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Sinema 2.1.1 Definisi - Pengaruh Terapi Sinema Terhadap Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah di RSUP. H. Adam Malik Medan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Terapi Sinema

2.1.1 Definisi

Olivia (2010) menjelaskan bahwa terapi sinema adalah proses menggunakan film bioskop atau televisi yang dapat memberi efek positif bagi banyak orang untuk tujuan penyembuhan, kecuali orang-orang yang mengalami gangguan psikotik. Film yang merupakan alat kebudayaan yang populer menyingkapkan dan menyiarkan nilai-nilai, konflik dan juga tujuan akhir dalam cerita yang dapat dibagikan dalam terapi sinema (Jones, 2007 dalam Goldberg, 2007).

Terapi sinema adalah sebuah intervensi terapeutik yang membiarkan klien secara visual mengkaji interaksi antarkarakter, lingkungan-lingkungan dan isu-isu personal dalam sebuah film yang bertujuan mendorong perkembangan terapeutik secara positif (Tyson, et al., 2000; Caron, 2005 dalam Goldberg, 2007).

2.1.2 Manfaat Terapi Sinema

(2)

8

belajar bagaimana film dapat memengaruhinya serta menonton beberapa film dengan kesadaran dan kewaspadaan diri.

Wolz (2011) juga menerangkan bahwa film dalam terapi sinema dapat memberikan peningkatan kesehatan emosional yang dapat dijelaskan dengan penelitian medis mengenai tertawa dan menangis. Tertawa mendorong sistem imun dan menurunkan hormon stress sedangkan menangis melepaskan neurotransmitter yang mengurangi nyeri.

2.1.3 Jenis Terapi Sinema

Wolz (2011) memadukan pengalaman menonton film dalam terapi sinema dengan metode terapeutik tradisional yang efektif dan membedakannya menjadi tiga cara, yaitu cara evokatif yang tidak membutuhkan rekomendasi film secara spesifik, cara preskriptif yang menyarankan film tertentu dan cara katartik yang merekomendasikan film ataupun jenis film secara spesifik.

2.1.3.1Cara Evokatif

(3)

9

Klien mengerti reaksi-reaksi yang ditimbulkannya terhadap karakter-karakter dalam film sehingga ia akan tahu sendiri bagian dalam dirinya yang tidak disadari sebelumnya. Akibatnya reaksi-reaksi tersebut akan mengajarkannya bagaimana mencapai peningkatan kesehatan. Hal ini mungkin terjadi karena timbulnya kesadaran sendiri akan membantu melepaskan pola yang tidak sehat dan membangkitkan kembali dirinya yang sebenarnya (Wolz, 2011).

Reaksi negatif terhadap sebuah karakter dalam film penting untuk ditelusuri. Reaksi ini dapat membantu menemukan bagian yang selama ini ditekan ke dalam jiwa dan dipungkiri oleh klien sehingga klien dapat melepaskan pola hidup yang tidak sehat akibat bagian-bagian tersebut dan kembali pada diri yang sebenarnya (Wolz, 2011).

2.1.3.2Cara Preskriptif

(4)

10

2.1.3.3Cara Katartik

Nichols dan Bierenbaum (1978 dalam Wolz, 2011) mengatakan bahwa teknik terapeutik katartik membantu terapis dalam mengakses emosi-emosi klien yang terpendam dan membebaskannya. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengalaman katartik klien, semakin cepat pula proses penyembuhannya.

Perasaan yang menyedihkan tidak hanya dapat menyebabkan klien menangis tetapi juga terbukti dapat menghasilkan bahan kimiawi penyebab stress pada tubuh manusia. Cara katarsis dapat membantu menetralkannya dengan jalan melepaskan perasaan-perasaan terpendam. Pada dasarnya, manusia telah diberikan proses katartik alami seperti tertawa dan menangis untuk melepaskan diri dari rasa sedih yang menyakitkan (Wolz, 2011).

Wolz (2011) menjelaskan bahwa film pada umumnya lebih banyak menyebarkan gagasan-gagasannya melalui emosi dari pada melalui intelektual sehingga dapat menetralisir naluri untuk menekan perasaan dan mencetuskan pelepasan emosi. Film membantu menyalurkan perasaan klien dengan menimbulkan emosi-emosi yang selama ini tertahan di dalam dirinya dengan lebih mudah dari pada menuangkan perasaan tersebut pada kehidupan nyata dengan orang yang sebenarnya. Klien juga dapat merasakan pengalaman emosional yang tersembunyi dari kesadaran mereka melalui identifikasi karakter tertentu dan keadaan-keadaan sulit para tokoh dalam film.

(5)

11

menolong untuk memilih koping terhadap aspek-aspek kehidupan yang tidak dapat didamaikan dengan pemikiran rasional. Tragedi memiliki kekuatan katartik karena hal itu membersihkan gangguan-gangguan emosi dan menyembuhkan truma (Murnaghan, 1951 dalam Wolz, 2011).

Air mata dapat mengalir melalui sebuah film yang menyentuh perasaan, namun dalam beberapa kondisi tidak terjadi pada kehidupan nyata, terutama ketika berada dibawah tekanan atau ancaman. Proses menonton dan berempati dengan sebuah karakter film yang mengalami tragedi dapat menstimulasi keinginan pelepasan emosional. Pelepasan tersebut biasanya meningkatkan semangat dalam jiwa klien sementara waktu karena emosi yang meluap-luap. Energi yang dialirkan oleh depresi dapat saja muncul kembali sewaktu-waktu. Kesempatan ini dapat digunakan untuk mulai menelusuri dan menyembuhkan alasan mendasar atas depresi yang dialami, termasuk dukacita (Wolz, 2011).

2.1.4 Area Terapi Sinema

Wolz (2011) membagi beberapa area terapi sinema berdasarkan lingkungan terapeutiknya. Area tersebut yaitu terapi individual, terapi pasangan atau keluarga, terapi kelompok dan konseling sekolah.

2.1.4.1Terapi Sinema Individual

(6)

12

1. Psikoterapi Mendalam

Wolz (2011) menjelaskan bahwa menonton film menjadi jalan menuju alam bawah sadar klien. Alam bawah sadar mengkomunikasikan isinya lewat simbol-simbol. Komunikasi seperti itu biasanya dapat kita sadari lewat mimpi dan imajinasi aktif yang menjadi celah menuju alam bawah sadar. Keduanya mengubah bentuk visual dari yang tidak disadari menjadi gambar-gambar yang dapat diterima pikiran sadar klien. Oleh karena itu, terapis psikologi mendalam dapat menggunakan respon terhadap film seperti mengunakan mimpi maupun imajinasi aktif. Respon yang ditimbulkan sering menjadi tanda bahwa jalan menuju alam bawah sadar telah diaktifkan.

Pikiran tidak sadar kita sering mengalami konflik dengan gagasan, maksud dan tujuan yang berasal dari pikiran sadar. Keingintahuan terhadap simbolisasi dan pengaruh sebuah film dapat menerobos penghalang diantara kedua tingkat psikologis tersebut dan mengatur aliran komunikasi yang sejati antara keduanya sehingga materi dalam alam bawah sadar menjadi lebih disadari (Wolz, 2011). 2. Terapi Kognitif

Film mendukung pemahaman model kognitif dimana seseorang akan memikirkan dan menginterpretasikan situasi yang menentukan perasaannya. Terapis mengajarkan model kognitif untuk memberikan klien sebuah gambaran dan mengajak mereka mengendalian reaksi emosionalnya. Film sangat berguna untuk membantu proses pengajaran hal-hal tersebut (Wolz, 2011).

(7)

13

sendirian dan mengurangi perasaan menghakimi diri sendiri. Contohnya pada pasien depresi biasanya memiliki penyimpangan kognitif dan kecenderungan untuk membenci diri sendiri, sehingga dalam menjalani terapi kognitif film dapat membantu untuk menerangkannya.

3. Terapi Modifikasi Perilaku

Wolz (2011) mengatakan bahwa film membantu latihan asertif dengan jalan pemodelan yang jelas. Contoh dari perilaku asertif yang tepat ditunjukkan kepada klien, kemudian mereka diminta untuk meniru perilaku tersebut. Hal ini disebut latihan pengulangan perilaku. Film atau klip-klip film yang ditunjukkan menyajikan contoh yang sangat baik.

Wolz (2011) menerangkan bahwa teknik pemodelan tersembunyi dapat dilakukan dengan cara mewajibkan klien untuk membayangkan berespon asertif. Terapis mengarahkan klien kepada suasana dan pemandangan yang disarankan. Imajinasi ini dapat juga menggunakan gambaran karakter-karakter dalam film yang telah disaksikan klien.

(8)

14

Film juga membantu mempersiapkan Flooding and Implosion. Flooding

and Implosion adalah terapi induksi kecemasan untuk memadamkan respon fobia.

Flooding dilakukan dengan membiarkan klien terpajan objek yang ditakuti tanpa

memiliki kesempatan untuk melarikan diri atau menghindar. Terapi implosion mewajibkan klien untuk membayangkan hal yang tidak nyata, berlebihan atau peristiwa berbahaya yang berkaitan dengan reaksi fobia (Wolz, 2011).

Kecemasan merupakan hal yang ditekan selama terapi ini sehingga klien perlu mengakses kekuatan dan keberanian batinnya. Klien perlu mengingat dan mengidentifikasi karakter dalam film yang memodelkan kekuatan dalam menghadapi kesulitan agar dapat membantu dalam usaha ini (Wolz, 2011).

Ketika klien dipaparkan sebuah situasi yang menakutkan, mereka sepenuhnya berinteraksi dengan rangsangan tersebut, seperti menyentuh gagang pintu, lantai dan kursi toilet dimana pada titik ini klien merasa takut mereka timbul. Pencegahan respon berarti bahwa mereka harus memblokir setiap kegiatan yang digunakan untuk mencegah bahaya yang merupakan konsekuensi paparan, misalnya mencuci tangan. Klien harus bersedia mentoleransi ketidaknyamanan yang ditimbulkan sampai mereka terbiasa dengan stimulus. Identifikasi film membantu mengakses kekuatan dan keberanian jiwa seseorang sehingga menolongnya dalam mentoleransi rasa takutnya (Wolz, 2011).

4. Hipnoterapi

(9)

15

juga dapat melewati pikiran bawah sadar. Klien merasa memasuki sebuah film dalam sebuah adegan tertentu sebagai karakter tertentu atau dalam sebuah hubungan dengan karakter yang penting menurut mereka. Kemudian klien membiarkan kisah mereka sendiri terungkap dengan bimbingan dari terapis. Biasanya pada saat ini hal-hal yang bahkan tidak disadari klien akan terungkap (Wolz, 2011).

Klien dipandu untuk menjadi sebuah karakter yang perilaku dan keterampilannya telah dimodelkan. Cara ini membantu mereka memperoleh atribut karakter yang diinginkan dalam sebuah film (Wolz, 2011).

Film dalam hipnoterapi juga dapat berguna untuk menciptakan tempat yang aman melalui adegan-adegan film yang menenangkan. Adegan-adegan ini dapat membantu terapis yang biasanya akan membimbing klien untuk membayangkan tempat yang nyaman sesuai pilihan mereka untuk memperdalam klien memasuki terapi. Klien akan masuk dalam tempat nyaman mereka dengan cara masuk dalam adegan film yang didalamnya terdapat tempat yang aman dan menenangkan (Wolz, 2011).

5. Terapi Naratif

(10)

16

mereka merasa tidak cocok dengan pandangan dominan mereka sendiri. Pengalaman-pengalaman yang luar biasa ini menghubungkan kembali klien kepada sumber informasi yang mereka lupakan (Wolz, 2011).

2.1.4.2Terapi Pasangan dan Keluarga

Wolz (2011) mengatakan bahwa terapi pasangan dan keluarga berorientasi pada sistem dan pelatihan komunikasi yang dikombinasikan dengan menonton film yang bertujuan menunjukkan dinamika dalam keluarga. Hal ini membantu klien untuk memahami masalah mereka sebagai fungsi dari bagian sistem yang lebih besar, mengidentifikasi dan membandingkan apa yang dirasakan telah memuaskan dan belum memuaskan sesuai dengan sistem mereka, menkomunikasikan konsep yang tidak lazim pada pasangan mereka melalui film yang memperkenalkannya pada mereka dalam gambar-gambar yang mudah dipahami, serta berguna untuk menghubungkan atau memperbaiki hubungan mereka melalui peningkatan komunikasi.

Solusi dicari dengan menonton film yang berisi perjuangan tokoh dalam masalah yang sama ketika salah satu anggota keluarga menolak terapi, sehingga akan membantu klien untuk lebih bersifat terbuka karena tidak lagi terintimidasi oleh proses terapi dan tidak takut untuk disalahkan (Wolz, 2011).

2.1.4.3Terapi Sinema Kelompok

(11)

17

untuk proses psikologis sejalan dengan efek terapi dari dinamika kelompok. Refleksi anggota kelompok mengenai respon emosional pada film adalah komponen utama yang memperkaya terapi kelompok. Peserta memperoleh alat yang efektif untuk mengenal diri mereka sendiri dan orang lain melalui pemahaman dan saling berbagi tentang adegan atau karakter yang menyentuh.

Suasana hati yang menyenangkan muncul setelah menonton film yang lucu dan menggembirakan, sedangkan suasana hati yang lebih berat dirasakan setelah menonton film yang membahas hubungan dan kehidupan yang penuh masalah (Wolz, 2011). Hal ini membuktikan bahwa manusia rentan terhadap pengaruh dari luar. Film yang bahkan bukanlah sebuah kenyataan melainkan merupakan cahaya yang diproyeksikan melalui layar juga dapat mempengaruhi manusia. Pengalaman batin seseorang dibentuk oleh proyeksi terhadap lingkungan disekitarnya (Wolz, 2011).

2.1.5 Tahapan Terapi Sinema

(12)

18

memperhatikan bagaimana jalan cerita film tersebut, karakter tokohnya, percakapan demi percakapannya tanpa berkomentar atau mengkritiknya; (6) film bisa ditonton sendiri atau juga berkelompok yang berisi tiga sampai delapan orang apabila ingin menonton bersama, berdiskusi dan saling berbagi; (7) setelah menonton film maka kondisi dalam film dapat dikaitkan dengan kondisi pribadi. Cara ini memiliki tiga fungsi yaitu kreatif (menempatkan satu keadaan dalam berbagai kondisi), adaptif (sudah menghadapinya, lalu apa tindakan selanjutnya), akomodatif (jika belum terjadi bagaimana cara mencegahnya).

2.1.6 Sinema pada Anak

Bandura & Ros (1963 dalam Papalia,dkk, 2008) mencatat informasi riset pembelajaran sosial yang menyatakan bahwa anak-anak mengimitasi contoh yang difilmkan bahkan lebih dari yang nyata. Pengaruh tersebut bertambah kuat apabila anak yakin bahwa kondisi yang diceritakan dalam film adalah nyata sehingga ia mengidentifikasikan dirinya dengan setiap adegan dan karakter-karakter yang bermain didalamnya. Misalnya ketika anak menonton kekerasan di televisi, mereka mungkin menyerap nilai yang digambarkan dan memandangnya sebagai perilaku yang dapat diterima.

(13)

19

tahun (baik pria maupun wanita) adalah tingkat kekerasan dalam pertunjukan yang mereka tonton saat mereka masih anak kecil.

2.2Anak Usia Sekolah

2.2.1 Definisi Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah adalah anak yang berada pada rentang usia kehidupan mulai dari enam sampai dua belas tahun yang diawali dengan masuknya anak ke lingkungan sekolah dasar sehingga mengalami dampak perkembangan dan hubungan dengan orang lain (Wong, 2009).

2.2.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah

Usia sekolah merupakan saat dimana terjadi pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap dengan peningkatan yang lebih besar pada aspek fisik dan emosional (Wong, 2009).

2.2.2.1 Perkembangan Biologis

(14)

20

2.2.2.2 Perkembangan Psikososial

Wong (2009) menyebutkan bahwa tahapan keempat dalam perkembangan psikososial menurut Erikson adalah tahap industri dan inferioritas (enam sampai dua belas tahun). Tahap ini adalah tahap dimana anak siap bekerja dan berproduksi. Mereka mau terlibat dalam melaksanakan tugas dan aktivitas hingga selesai dan menginginkan pencapaian yang nyata. Pada masa ini anak akan belajar berkompetisi dan bekerja sama dengan mempelajari aturan-aturan yang akan mendorong mereka untuk memproduksi kompetensi. Saat ini adalah waktu dimana anak memantapkan hubungan sosial mereka. Rasa inferioritas dapat terjadi apabila terlalu banyak yang diharapkan dari mereka atau jika mereka percaya bahwa mereka tidak dapat memenuhi standar yang ditetapkan orang lain pada mereka. Perasaan inferioritas atau kurang berharga dapat diperoleh dari anak sendiri atau dari lingkungan mereka.

Wong (2009) menjelaskan bahwa masa usia sekolah merupakan masa perkembangan psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu periode antara fase Odipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisme pada masa remaja. Periode laten merupakan periode dimana anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis setelah pengabaian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas.

2.2.2.3 Perkembangan Kognitif

(15)

21

Tahap ini disebut sebagai tahap operasional konkret menurut Pieget, yaitu tahap dimana anak mampu menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan, juga merupakan tahap dimana egosentris telah digantikan dengan proses pikir yang memungkinkan anak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (Wong, 2009).

Keterampilan yang paling penting pada usia sekolah yaitu keterampilan membaca yang merupakan alat paling berharga untuk menyelidiki kemandirian anak. Kemampuan anak untuk mengeksplorasi, berimajinasi dan memperluas pengetahuan ditingkatkan dengan kemampuan membaca (Wong, 2009).

2.2.2.4 Perkembangan Moral

Perkembangan psikomoral anak menurut Kohlberg disimpulkan kembali oleh Wong (2009) dalam tiga tingkat utama, yaitu tingkat prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional, autonomi atau prinsip. Anak usia sekolah berada pada tingkat konvensional, yaitu tahap dimana anak terfokus pada kepatuhan dan loyalitas. Perilaku yang disetujui atau membantu orang dianggap sebagai perilaku yang baik.

(16)

22

menerima konsep memperlakukan orang lain seperti bagaimana mereka ingin diperlakukan (Wong, 2009).

2.2.2.5 Perkembangan Spiritual

Anak pada usia sekolah berpikir dalam batasan yang sangat konkret tetapi tetap berkemauan besar dalam mempelajari Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan sebagai manusia yang memiliki sifat penyayang dan penolong. Anak juga tertarik terhadap konsep surga dan neraka sebagai bentuk imbalan dari setiap perilaku. Pada usia ini anak mulai belajar membedakan antara natural dan supranatural tetapi mengalami kesulitan dalam memahami simbol-simbol. Kegiatan doa dalam beribadah cenderung menuntut balasan yang nyata (Wong, 2009).

2.2.2.6 Perkembangan Sosial

(17)

23

2.3Konsep Praoperatif

2.3.1 Definisi Praoperatif

Praoperatif adalah fase awal dari sebuah pengalaman operasi yang disebut perioperatif, dimana setelah fase ini akan dilanjutkan kepada fase berikutnya yaitu intraoperatif dan pascaoperatif. Fase praoperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi operasi dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.2 Indikasi dan Klasifikasi Operasi

Operasi mungkin dilakukan karena berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut yaitu diagnostik, seperti ketika dilakukan biopsi atau laparotomi eksplorasi; kuratif, seperti ketika mengeksisi masa tumor atau mengangkat apendiks yang mengalami inflamasi; reparatif, seperti ketika harus memperbaiki luka multipel; rekonstruktif atau kosmetik, seperti ketika melakukan mammoplasti atau perbaikan wajah; dan paliatif, seperti ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah seperti contohnya ketika selang gastrostomi dipasang untuk mengkompensasi terhadap ketidakmampuan untuk menelan makanan. Operasi juga dapat diklasifikasikan sesuai tingkat urgensinya yaitu kedaruratan, urgen, diperlukan, elektif (yang direncanakan) dan pilihan (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.3 Persiapan Praoperatif pada Anak

(18)

24

penerimaan, uji darah, injeksi obat praoperatif (jika diresepkan), periode sebelum dan selama pemindahan ke ruang operasi, dan kembalinya ke unit perawatan pasca-anastesi (PACU) (Wong, 2009).

2.3.3.1. Persiapan Fisik

Persiapan fisik yang paling umum menjelang prosedur operasi ialah menyangkut kebutuhan nutrisi dan cairan. Masukan makanan atau air per oral harus sudah tidak diberikan 8 sampai 10 jam sebelum operasi. Makanan kecil diperbolehkan pada malam sebelumnya jika pembedahan dijadwalkan pagi hari. Pasien dehidrasi cairan per oral dianjurkan minum sebelum operasi dilakukan dan selain itu cairan diresepkan secara intravena, terutama pada pasien yang tidak mampu minum. Sarapan pagi lunak bisa saja diberikan jika pembedahan dijadwalkan pada siang hari dan tidak melibatkan bagian gastrointestinal manapun (Smeltzer & Bare, 2002).

2.3.3.2. Persiapan Psikologik

(19)

25

Secara umum persiapan psikologik dapat menggunakan berbagai tehnik seperti yang dipakai pada persiapan anak untuk hospitalisasi, yaitu film, buku, permainan dan tur. Intervensi psikologik terdiri atas persiapan yang sistematik, latihan kejadian yang akan datang dan perawatan penunjang selama saat-saat stress (misalnya saat masuk rumah sakit) yang telah terbukti efektif dalam mempersiapkan anak. Peningkatan pengenalan dengan prosedur medis dapat menurunkan kecemasan (Wong, 2009).

Bermain adalah salah satu cara yang dapat digunakan anak untuk memanipulasi atau mengendalikan situasi, dan bermain dapat membantu anak mengatasi stress. Bermain praoperatif telah terbukti dapat mengurangi rasa cemas pada anak-anak (Greundemann & Fernsebner, 2006).

Secara umum anak-anak berespon lebih baik terhadap materi permainan, dan anak-anak yang lebih besar berespon lebih baik terhadap film sebaya yang dilihatnya (Greundemann dan Fernsebner, 2006). Selain itu tempramen anak, strategi koping yang sudah ada dan pengalaman sebelumnya terkait proses persiapan secara individual penting dipertimbangkan (Greundemann & Fernsebner, 2006 ).

(20)

26

et al. (2013) mengatakan bahwa salah satu intervensi untuk menangani kecemasan

praoperatif ialah dengan mengizinkan orang tua mendampingi anak selama induksi anastesi, namun pengaruh intervensi ini terbatas.

Pasien anak praoperatif penting untuk mendapatkan informasi terkait tindakan operasi yang akan dijalaninya. Usia dan perkembangan anak mempengaruhi jenis informasi yang diberikan dan kapan harus diberikan. Bayi dan anak toddler muda biasanya secara kognitif tidak mampu mengerti informasi prosedural yang terinci atau mengantisipasi kejadian. Anak toddler tua dapat diberikan penjelasan yang sederhana. Anak yang lebih tua memperoleh manfaat dari persiapan yang dilakukan beberapa hari sebelum prosedur karena memiliki waktu untuk berpikir respon apa yang akan diberikan dan perilaku apa yang dapat digunakan untuk mengatasi pengalaman operasi (Melamed et al., 1976 dalam Greundemann & Fernsebner, 2006). Penjelasan dengan waktu yang berdekatan sebelum prosedur aktual akan semakin baik untuk mencegah fantasi dan kekhawatiran pada anak yang lebih kecil. Prosedur yang kompleks lebih membutuhkan banyak waktu untuk asimilasi informasi, terutama pada anak-anak yang lebih besar (Greundemann & Fernsebner, 2006).

(21)

27

2.3.4 Kecemasan Praoperatif pada Anak Usia Sekolah

Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa kecemasan adalah wilayah

emosional negatif yang ditimbulkan oleh stres maupun keadaan sekitar yang mengancam. Videbeck (2008) mengatakan bahwa kecemasan dapat timbul tanpa peristiwa pencetus atau dapat terjadi karena peristiwa akut yang menimbulkan stress atau bahkan stressor kronis seperti masalah kesehatan dan medikasi dimana salah satu prosedur medis yang berpotensi besar untuk menimbulkan kecemasan adalah prosedur operasi. Smeltzer & Bare (2002) menjelaskan bahwa segala bentuk prosedur operasi selalu didahului dengan suatu reaksi emosional tertentu oleh pasien, dimana reaksi tersebut bisa telihat jelas atau tersembunyi, normal atau abnormal. Kecemasan praoperatif merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh atau bahkan kehidupannya itu sendiri (Smeltzer & Bare, 2002).

Kejadian yang paling mengkhawatirkan pada pasien praoperatif usia anak umumnya adalah injeksi praoperatif atau anastesi dan juga masker wajah khususnya untuk anak usia sekolah (Wong, 2009). Lee, et al. (2013) mengatakan bahwa sumber kecemasan praoperatif anak usia 4 sampai 6 tahun ialah rasa takut terhadap operasi itu sendiri, sedangkan pada anak yang lebih tua merasa takut mengenai kesadaran selama operasi dan kemungkinan untuk tidak sembuh dari anastesi.

(22)

28

memperlihatkan masalah emosi atau perilaku yang akut atau bertahan lama seperti mimpi buruk, peningkatan ketergantungan, regresi, hilangnya kemampuan buang air sendiri, gangguan makan dan peningkatan rasa takut. Lee, et al. (2013) menambahkan dampak kecemasan praoperatif yaitu munculnya perilaku negatif seperti kecemasan perpisahan dan tremor berlebihan, juga meningkatkan insiden munculnya delirium, peningkatan konsumsi analgesik karena nyeri pascaoperasi yang semakin buruk dan peningkatan durasi perawatan pascaoperasi di rumah sakit.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan praoperatif pada anak ialah karakter anak, kecemasan orang tua, status perkembangan yang belum dewasa dan riwayat perawatan di rumah sakit (Lee, et al., 2013).

Kecemasan praoperatif pada anak diukur dengan observasi karena mempertimbangkan kemampuan anak merespon secara verbal masih terbatas sesuai status perkembangannya. Observasi kecemasan dapat menggunakan

Modified Yale Preoperative Anxiety Scale (m-YPAS) yang terdiri dari 22 kriteria

Referensi

Dokumen terkait

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian tentang “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi

margarita menunjukkan derajat infeksi akar yang sangat tinggi, yaitu lebih dari 76% untuk kedua kultivar pepaya, sedangkan dua jenis isolat lainnya menunjukkan tingkat infeksi

5ada bayi dan anak usia dibaah  atau 6 tahun, jenis pernapasan adalah pernapasan diagragma atau pernapasan abdomen.3olume oksigen yang di ekspirasi oleh bayi dan anak 4

Alur penelitian yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 4. Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan segmentasi, tahapan pengukuran fitur dan

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena