• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuliah Etika Hand out Mahasiswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kuliah Etika Hand out Mahasiswa"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH

ETIKA

SEKOLAH TINGGI KATEKETIK PASTORAL

KATOLIK

“BINA INSAN”

(2)

REFERENSI:

Suseno, F.Magnis, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1987 Bertens,K., Etika. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993 Bertens,K., Perspektif Etika, Kanisius, Yogyakarta, Cet. Ke-5, 2005

Sugiharto,B.I., Wajah Baru Etika dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, Cet. Ke-6, 2009 Haryatmoko, Etika Komunikasi, Kanisius Yogyakarta, Cet. Ke-5, 2011

(3)

PENGANTAR

I. Beberapa Contoh Kasus:

• Euthanasia (eu: tenang; thanasia: kematian):

kasus dr. Kevorkian (News Week) : menolong sektr 15 pasien untuk mengakhiri hidup mereka, dgn alas an: lebih baik mengakhiri hidup mereka dengan lebih tenang. Pemerintah US mengambil tindakan tindakan legal dengan menuduh dokter tersebut melanggar UU Negara itu. Sementara Kevorkian merasa dia buat yang terbaik, yakni membantu mereka meninggal, karena sakit yang tidak dapat disembuhkan.

Apakah secara moral tindakan itu dapat dibenarkan ?

Membandingkan: antara tindakan legal (melanggar/tdk melanggar aturan/hukum) dan tindakan moral (menurut HN, norma objektif dan maksud perbuatan)

• Seorang Janda mempunyai 5 org anak, 1 org kuliah di PT, 1 org sekolah di SMA, 1 org sekolah di SMP, 1 orang sekolah di SD dan yg bungsu masih usia 3 tahun. Mendiang Suaminya tdk meninggalkan apa-apa untuk mereka, selain hutang yang bertumpuk pada Tengkulak. Semasa suaminya masih hidup, sang Janda adalah seorang Ibu RT yang hanya tahu urusan dapur dan rumah, tidak terbersit sedikit pun bayangan bahwa suatu saat dia harus bekerja, memikirkan nasib dan kebutuhan anak-anaknya dan dia sendiri. Maka dia sangat terpukul dan bingung dengan kepergian suaminya. Dia dihadapkan pada dua masalah yang sama-sama penting: melunasi hutang mereka pada tengkulak dan membiayai hidup dan sekolah anak-anaknya. Dalam kondisi itu, sang Tengkulak menawarkan pilihan untuk menjadi istri simpanannya, asal bisa menjaga sikap dan rahasia, dan semua keperluan dan kebutuhannya dipenuhi serta hutangnya dihapus. Sang Janda tsb dihadapkan pada pilihan dilematis: jika dia menolak tawaran sang Tengkulak, bagaimana dia bisa melunasi hutang yang bertumpuk-tumpuk itu dan biaya hidup serta pendidikan anak-anaknya. Di lain pihak, jika dia setuju dengan tawaran sang Tengkulak, dia merasa melawan SHnya, dan bagaimana kalau anak-anaknya tahu hal itu; bagaimana juga nanti kalau suatu saat istri dan keluarga Tengkulak itu tahu, dan bagaimana nanti kalau masyarakat di lingkungannya tahu tentang hal itu. Lalu, dalam kebingungannya, sang Janda memutuskan untuk rela menjadi simpanan seorg tengkulak, demi kelangsungan hidup keluarga dan biaya pendidikan anak-anaknya.

(Obyektif: salah; subyektif: tdk tahu, karena harus melihat latarbelakang tindakannya, HN sang Janda. Penilaian: a. Langgar HN scr sadar: salah, tetapi di bawah tekanan. b. yakin bahwa tindakan itu heroik: bernilai.

(4)

II. Kesimpulan:

Apa yg disebut moral selalu berhubungan dgn praksis, dgn tindakan manusia (baik-buruk tindakan manusia).

Cth I: terlihat bahwa sifat legal sebuah tindakan tidak sama dengan nilai moralnya. Sifat legal hanya ditentukan oleh pertanyaan: apakah suatu tindakan itu sesuai dgn aturan & hukum yg berlaku atau tidak. Motivasi dan maksud seseorang tdk diperhitungkan. Sebaliknya, nilai moral sangat ditentukan oleh keyakinan HN, tujuan yang hendak dicapai dan cara yang digunakan. Secara moral, tujuan tidak menghalalkan cara.

(5)

BAB I PENDAHULUAN

I Latar Belakang :

• Perubahan pandangan hidup

• Pergeseran Nilai dan Krisis

Etika adalah sebuah disiplin filsafat yang menyelidiki kewajiban moral serta baik-buruknya tindakan manusia. Akan tetapi kewajiban moral dan baik-baik-buruknya tindakan manusia itu selalu ditemukan dan dinilai dalam situasi konkret di mana manusia itu hidup.

Nilai moral tidak pernah boleh dibicarakan dalam situasi netral atau vacuum, tetapi selalu berdasarkan situasi konkret / situasi tertentu.

Nilai dan Penilaian Moral pada situasi konkret dipengaruhi oleh adanya perubahan pandangan hidup. Perubahan pandangan hidup mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai yang dihayati dalam kehidupan masyarakat. Perubahan pandangan hidup dan

pergeseran nilai tersebut, di satu pihak disebabkan oleh adanya krisis kebudayaan, namun di lain pihak, krisis juga menyebabkan perubahan pandangan hidup dan pergeseran nilai. Maka, krisis bisa menjadi sebab dan bisa menjadi akibat.

Secara negatif: Perubahan yang terlalu cepat bisa menimbulkan krisis: disorientasi

(kehilangan arah/tdk tahu arah yg jelas) dan disintegrasi (nilai-nilai yang dianut hilang/ mengalami keterpecahan, dan muncul nilai-nilai baru yang belum ada sebelumnya dan belum jelas). Secara positif: krisis dilihat sbg suatu fase dalam perkembangan

kebudayaan, suatu fase peralihan untuk mencari dan menciptakan sesuatu yang baru. Sebab yang paling mendasar dari krisis adalah pergeseran paradigma kebudayaan.

1.1 Pergeseran Paradigma Kebudayaan

Paradigma1: model, pola, kerangka

Di atas sudah disebutkan berbagai perubahan dalam bidang moral. Namun

sebenarnya yang terjadi adalah bahwa ada begitu banyak pergeseran dlm bidang-bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi dan agama. Semua bidang ini termasuk kebudayaan

bila memahami kebudayaan dlm arti seluas-seluasnya, yaitu sebagai keseluruhan proses dan hasil budi daya manusia. Jd, kebudayaan sekaligus verb & noun (sbg hasil: meja, kursi, buku, dll; sbg proses: bagaimana buat rumah, proses belajar, bagaimana orang belajar filsafat, dll…) 2.

Perubahan memiliki dua basis, yaitu, basis rasional (perubahan begitu cepat karena arus informasi yang begitu cepat); dan basis material (perlatan yang berubah krn perkmbgn & kemajuan teknologi: ex. Sekop ke traktor, parang ke chainsaw, dll )

Secara garis besar, perubahan paradigma itu terjadi dalam tiga tahap/kategori: paradigma pra-modern, paradigma modern & paradigma post-modern. Yang akan menjadi fokus perhatian dalam pembahasan setiap paradigma itu adalah pandangan ttg dunia, ttg masyarakat & ttg perwujudan pribadi manusia di tengah dunia.

1 pola utama yang mendasari pandangan hidup dan tingkah laku sekelompok manusia (komunitas).

(6)

1.1.1 Paradigma Kebudayaan Pra-Modern

Beberapa ciri khas kebudayaan Pra-Modern adalah :

1. Dalam kebudayaan Pra-Modern, dunia adalah kosmos3. Dari arti katanya sudah

menunjukkan bahwa untuk manusia pra-modern, alam semesta ini merupakan susunan yang teratur dan indah. Di tengah kosmos, tatanan yang teratur itu, setiap benda atau makhluk memiliki nilai dan artinya masing-masing dalam harmony dengan keseluruhan.

2. Dalam masyarakat Pra-Modern, kosmos bersifat sacral, sebab tertib semesta alam ini terjelma melalui perwahuan diri Yang Kudus. Manusia hidup dalam kedekatan dengan Yang Kudus. Dunia sakral dan dunia profan saling meresapi dan melengkapi.

Kehadiran Tuhan, Dewa atau Yang Kudus tidak dipersoalkan sama sekali, karena manusia Pra-Modern mengalaminya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. 3. Bagi manusia Pra-Modern, perwujudan diri yang ideal berarti menemukan tempat

khusus dalam orde sakral. Harmoni kolektif ditempatkan jauh lebih penting daripada hak dan kepentingan individu. Tingkah laku yang baik dan benar dihayati menurut figure mitologi yang dikisahkan dalam hikayat, puisi, wayang, dst…

4. Dalam kebudayaan Pra-Modern, masyarakat merupakan satu-kesatuan hidup yang dilukiskan sebagai organisme, di mana setiap anggota mempunyai peran tertentu. Orang hidup dalam semangat kekeluargaan yang kental.

5. Secara keseluruhan, kebudayaan Pra-Modern bersifat statis. Juga moralitasnya adalah moralitas statis.4

1.1.2 Paradigma Kebudayaan Modern

Beberapa ciri khas kebudayaan Modern adalah sebagai berikut:

1 Kebudayaan Modern lahir sebagai afirmasi diri “AKU” sebagai ”Subjek”. Secara epistemologis, semua yang lain bisa disangsikan, kecuali AKU. AKU Subjek ini

dibimbing oleh ratio dengan hukum akal budi yang universal. Cogito ergo Sum5 (saya

berpikir maka saya ada) dan Sapere aude6 (beranilah berpikir sendiri) menjadi

pedomaan dan prinsip berpikir sebagai awal lahirnya paradigma ini.

2 Prinsip masyarakat Modern adalah: jika aku menjadi subjek, maka dunia menjadi objek penelitian rasional yang melahirkan ilmu dan teknologi. Maka, dunia tidak lagi

kosmos-sakral, melainkan alam-sekular yang dikuasai oleh hukum-hukum mekanistik. Karena itu, bisa diselidiki, dieksploitasi, direkayasa dan digunakan untuk kepentingan manusia.

Jika dalam kebudayaan Pra-Modern waktu bersifat siklis, maka dalam kebudayaan Modern waktu bersifat linear, yang diukur secara matematis dan waktu matematis itu tidak akan berulang, sehingga ada ungkapan “Time is money, dll”. Jika dalam

3 Arti kata Kosmos adalah alam semesta, susunan yang teratur, keindahan

4 Moralitas statis: 1). terbatas pada satu masyarakat saja dan tidak berlaku untuk seluruh umat manusia. 2).Cenderung mempertahankan status quo. 3). Bersifat impersonal, karena lebih merupakan hasil tekanan sosial. 4). Dirumuskan dalam bentuk perintah dan larangan yang dianggap perlu untuk mempertahankan status quo masyarakat.

(7)

kebudayaan Pra-Modern, perkumpulan sebagai tujuan7, sedangkan dalam

masyarakat Modern, perkumpulan sebagai sebuah wadah untuk mencapai tujuan.8

3 Dalam masyarakat Modern, perwujudan diri berarti menemukan dan merealisasikan AKU yang unique (aku sebagai individu yang unik). Perwujudan diri ini dibimbing oleh rationalitas universal, dengan cita-cita kemajuan terus-menerus, menuju

kesempurnaan dan kebahagiaan manusia.

4 Dalam masyarakat Modern dengan penekanan eksistensi individu sebagai yang utama, maka eksistensi masyarakat dilihat sebagai sesuatu yang sekunder. Memahami adanya masyarakat sebagai wadah tempat individu berkumpul untuk mencapai kepentingan tertentu.

5 Dalam masyarakat Modern, hubungan AKU – ENGKAU bersifat fungsional. Karena itu, para teoritisi sosial dari zaman modern spt.. John Lock, Hobbes, Jean Jack

Rousseau mengajarkan teori kontrak sosial mengenai timbulnya masyarakat. 6 Secara keseluruhan, kebudayaan Modern bersifat dinamis. Moralitasnya adalah

moralitas dinamis9.

1.1.3 Paradigma Kebudayaan Post-Modern10

A. Latar-belakang Munculnya Paradigma Kebudayaan Post-Modern

1 Post-Modernisme sebagai kritik rasionalitas

Kebudayaan Post-Modern lahir partama-tama sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme. Rationalisme universal manusia modern dengan cita-cita penyempurna-an mpenyempurna-anusia oleh mpenyempurna-anusia akhirnya menemui keterbataspenyempurna-annya ypenyempurna-ang paling spektakuler dalam abad yang lalu, bisa dilihat dalam contoh fakta berikut: Pertama, Dalam abad 20 manusia membuat tindakan yang sangat irasional dengan membunuh puluhan juta bahkan ratusan juta orang dalam PD I & II dan pembantaian dalam kamp-kamp konsentrasi. Kedua, Pengolahan alam untuk kepentingan manusia yang menemui keterbasannya dalam dampak-dampak negative seperti menipisnya lapisan ozon, perubahan iklim global, pencemaran lingkungan, dst, dst… yang ternyata manusia tidak sanggup/tidak mudah untuk mengatasinya. d/l: tindakan manusia demi penyempurnaan dirinya justru mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri. 2 Post-Modernisme sebagai kritis ilmu

Dari segi ilmunya sendiri, muncul reaksi-reaksi yang menunjukkan keterbatasan radikal rasio manusia. Misalnya muncul dalam beberapa penemuan dan pemikiran

7 Ingat dalam pepatah Jawa: mangan ora mangan asal kumpul. Hidup berkumpul dan berada bersama sebagai tujuan hidup masyarakat.

8 Organisasi atau komunitas sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau bersama. Jika tidak mencapai itu, maka perkumpulan itu harus dibubarkan karena dianggap tidak ada gunanya.

9 Ciri moralitas dinamis dalam kebudayaan Modern: 1). Terbuka untuk semua manusia. 2). Diarahkan terus-menerus kepada penyempurnaan manusia itu. 3). Bersifat personal 4). Perintah dan larangan hanya ditaati sejauh bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. 10 Istilah Post-Modernisme baru muncul tahun 1980-an dalam tulisan J.F. Lyotard dalam bukunya “The Postmodern Condition”. Sejumlah penulis menggunakan istilah ini dalam pemahaman yang berbeda. Namun satu hal yang pasti, minimal untuk kepentingan

(8)

beberapa ahli berikut: pertama, Menurut Sigmund Freud, bagian terbesar dari hidup psikis manusia adalah lapisan tak sadar, dan karena itu tindakan manusia seringkali dilandasi motif-motif irasional. Kedua, Strukturalisme berhasil menyadarkan kita bahwa pola hidup dan tingkah laku manusia selalu dikondisikan oleh kerangka struktural di mana dia hidup.11Ketiga, J. Habermas (seorang Filsuf yang terkemuka

diabad ini) membuka kedok prasangka-prasangka yang ada di balik ilmu yang paling murni sekali pun. Contoh: seluruh teori ekonomi berdasarkan hukum kekuasaan (yang kuat menguasai yang lemah). Jadi, ilmu yang paling rasional sekalipun, ternyata mengandung latar-belakang irasional.

B. Beberapa Ciri Khas Kebudayaan Post-Modern

1 Jika manusia Pra-Modern melihat diri sebagai bagian dari kosmos-sakral dan seorang Modern melihat diri sebagai subjek dalam hubungan dengan dunia sebagai objek, maka seorang Post-Modern melihat diri sebagai makhluk yang mengada bersama yang lain dalam dunia12. Hubungan dengan dunia ditandai dengan dialektika antara

belongingness dan distanciation13. Oleh karena keterlibatan ontologis (berdasarkan

struktur ada) dinia ini bukanlah objek, melainkan lingkup hidup di mana manusia mewujudkan diri. Tetapi oleh distansi (penjarakan) manusia sanggub mengubah dan mengembangkan dunia terberi14. Dalam pemahaman tentang waktu: jika orang

Pra-Modern memahami waktu sebagai sesuatu yang siklis, orang Pra-Modern memahami waktu sebagai sesuatu yang linear-matematis, maka orang Post-Modern memahami waktu sebagai sesuatu yang spiral (sebagai waktu eksistensial)15.

2 Hubungan AKU – SESAMA dan AKU – DUNIA ditandai oleh bahasa. Bahasa bukan lagi sekedar alat (instrument) melainkan sebagai mediasi eksistensial: Mediasi AKU & DUNIA : sebagai refensi, Mediasi AKU & SESAMA: sebagai komunikasi, dan Mediasi AKU & DIRIKU SENDIRI: sebagai pengenalan diri. Jika dalam Pra-Modern pola hubungannya garis komando tertenu, dan dalam Modern ada pola komando secara organisatoris, maka dalam Post-Modern polanya adalah dialog. Dalam dialog dibutuh-kan kerelaan untuk memikul tanggung jawab, sehingga dalam decade-dekade awal munculnya paham Post-Modern muncul conciliar process, yaitu, gerakan yang menekankan keadilan, perdamaian dan lingkungan, yang merupakan manifestasi ontologis dari tanggung jawab sosio-politiknya.16

3 Manusia Post-Modern menemukan lagi symbol-symbol dan mythos-mythos purba (Pra-Modern), menafsirkannya secara kritis (Modern) untuk menemukan lagi arti baru

11 Ingat pepata: masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kuda meringkik 12 Lihat catatan dalam Filsafat Manusia “Aku dan Yang Lain Saling Mengadakan”. 13 Keterlibatan dan penjarakan

14 Dunia sebagai Yang Lain, yang turut menentukan secara mutlak eksistensi AKU. Tanpa dunia AKU tidak ada.

15 Siklis: sesuatu yang terus-menerus berulang dan kembali. Linear: sesuatu yang yang terus berjalan ke depan dan tidak pernah berulang & kembali. Spiral: waktu yang berjalan ke depan menunjukkan perkembangan tetapi juga perulangan sekaligus. Di sini dipakai “perulangan” bukan “pengulangan”, sebab sesuatu yang lama diulang secara baru (bisa caranya, isi-nya, dll).

(9)

bagi manusia saat ini (Post-Modern). Karena manusia tidak mungkin hidup tanpa symbol dan mythos.17

4 Bertolak dari bahasa sebagai kondisi eksistensial, Post-Modernisme sangat meng-hargai pluralitas kebudayaan. Tiap keudayaan bersifat khas / unik, tetapi sekaligus ada kesamaan antara kebudayaan yang berbeda itu. Sebab, jika hanya ada keunikan, maka dialog antar budaya tidak mungkin, demikian pula, jika hanya ada persamaan, maka dialog tidak perlu. Maka di sini perlu ditekankan bahwa cita-cita universalitas ilmu pengetahuan selalu harus dihubungkan secara dialektis dengan pluralitas kebudayaan.

5 Perwujudan diri sebagai makhluk yang mengada bersama yang lain dalam dunia adalah anugerah (Gabe) dan sekaligus tugas (Aufgabe)18. Manusia pertama-tama

harus menerima diri sebagai keterberian di tengah situasi sosiao-kultural yang konkret, dan baru dari titik inilah dia sanggup mengembangkan diri dan dunianya. Maka, di sini, kebudayaan harus dipahami serentak sebagai warisan dan proses penciptaan baru. Sebab, warisan tanpa penciptaan baru akan mati, dan sebaliknya, penciptaan baru tanpa warisan mustahil, karena tidak seorang pun sanggup

menciptakan dari titik zero.

6 Secara keseluruhan kebudayaan Post-Modern bersifat dinamis, tetapi sekaligus menekankan keterbatasan manusia. Di bidang moralitas, Post-Modernisme memberi-kan kualifikasi khusus (pembatasan khusus) terhadap moralitas dinamis. Kualifikasi khusus tersebut adalah: pertama, moralitas itu terbuka untuk seluruh umat manusia, tetapi bertolak dari pluralitas kebudayaan yang berbeda. Kedua, moralitas itu bersifat personal, tetapi dikondisi oleh lingkungan sosial. Dan Ketiga, moralitas itu terarah kepada penyempurnaan manusia, sambil mengakui secara realistis keterbatasan manusia.

1.1.4 Perbenturan Paradigma Kebudayaan di Indonesia

Pertanyaan mendasar yang menantang pemikian kebudayaan saat ini adalah: Apa dampak sosio-kultural yang diakibatkan oleh benturan kebudayaan yang terjadi pada zaman teknologi informasi saat ini. Bagaimana konsekuensi pembauran lapisan

kebudayaan Pra-Modern, Modern dan Post-Modern. Di belahan dunia yang lain, seperti Eropa, Amerika Utara hal ini berlangsung perlahan dan berabad-abad. Tetapi di Indonesia terutama di pedesaan dan pelosok, sesuatu yang berlangsung sangat cepat, sulit sekali bagi orang untuk dapat mencerna dengan baik, tetapi perubahan yang cepat itu terus berlangsung dan melaju.

Tumpang-tindihnya paradigma kebudayaan mengakibatkan disorientasi ataupun

disintegrasi kultural, yang biasanya dialami sebagai krisis. Tetapi krisis dapat pula dihayati secara positif sebagai peralihan menuju transformasi kebudayaan. Asal saja kita sungguh menjadi pelaku aktif / pencipta kebudayaan itu sendiri, dan tidak hanya menjadi pasien atau resipien yang pasif.

17 Symbol : struktur penandaan makna yang memiliki arti jamak, di mana arti yang lebih dalam hanya bisa dimengeri melalui arti harafiah. Mythos: symbol dalam bentuk cerita; Mythos dipahami sebagai cerita simbolis yang mangandung pandangan hidup masyarakat tertentu tentang dunia.

(10)

Di bidang moral itu berarti memikirkan dan merumuskan pendirian-pendirian moral kita secara kritis rasional. Inilah ikhtiar yang hendak kita coba / usahakan dalam kuliah ini…

1.2 Sebab-Sebab Krisis Moral dari dalam Bidang Filsafat

1.2.1 Filsafat Moral sangat bergantung pada pandangan tentang hakekat manusia19.

Setiap pandangan filsafat bersifat radikal20 dan setiap pandangan filosofis tentang manusia

itu secara langsung atau tidak langsung memiliki konsekuensi etis.

1.2.2 Dalam bidang etika sendiri pun ada beberapa system yang berbeda dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya: Hedonisme, yang berpandangan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kesenangan dan kenikmatan. Eudaimmonisme, yang berpandangan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan, sebagai

penyempurnaan diri manusia. Deontologisme, yang berpandangan bahwa manusia harus melakukan kewajiban moral demi kewajiban moral itu sendiri. Dan Utilitarianisme, yang berpandangan bahwa tindakan moral ditentukan oleh manfaat tindakan itu.

19 Bandingkan dengan macam-macam aliran yang memiliki pendapat dan pandangan berbeda tentang manusia dalam Filsafat Manusia (materialism, idealism, dualism, antropologisme, eksistensialisme, strukturalisme, …)

(11)

II. Pembatasan Ruang Lingkup Etika 2.1 Pengertian

2.1.1 Etimologis

Etika dari kata ethos- ta etha (G): kebiasaan, adat-istiadat (Pl), padang rumput, cara berpikir (Sg). Moral dr kt Mos-mores (L): kebiasaan, adat-istiadat.

Pengertian etimologis sudah menunjukkan bahwa refleksi filsafat (etika) tidak pernah mulai dari titik zerro, melainkan dari apa yang sudah ada dalam masyarakat. Etika bertolak dari situasi pra-refleksif: dari kebiasaan atau tindakan manusia yg sudah terpola, sehingga menjadi semacam norma dari tingkah laku manusia yang hidup dalam suatu lingkungan masyarakat.

Bila dalam refleksi selanjutnya, contoh diambil dari satu tindakan konkret, maka tindakan ini pun mengandaikan seluruh jaringan kebiasaan & adat-istiadat yang

melingkunginya, sehingga tindakan itu menjdi bermakna (baik-buruk). Kebiasaan/adat-istiadat menjadi norma tingkah laku dalam masyarakat tradisional. Tetapi hidup

masyarakat modern pun terikat pada banyak aturan yg menjadi norma tingkah laku anggotanya. Bila dikatakan bahwa Etika itu bersifat kritis, minimal terhadap dua hal:

 Pertama, Etika secara kritis memeriksa segala norma yang berlaku dalam

masyarakat. Terhdp norma-norma yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan legitimasi rasionalnya. Norma yg tidak tahan terhadap ujian kritis etika, harus ditolak.

 Kedua, Etika bersifat kritis terhadap setiap lembaga & pranata sosial yang memberikan perintah dan larangan untuk ditaati. Etika tidak menolak adanya norma atau pun pranata sosial, tetapi Etika menuntut pertanggung-jawaban rasional, mengapa suatu lembaga berhak menentukan orang lain untuk melakukan atau tdk melakukan suatu tindakan.

Karena Etika bersifat kritis, maka Etika bisa juga dianggap subversif terhdp kemapanan masyarakat (seperti yang sudah nyata sejak pengalaman Sokrates21.

2.1.2 Beberapa Kemungkinan Definisi

Sebelum berusaha merumuskan definisi sendiri tentang Etika, lebih dahulu kita memeriksa beberapa definisi yang pernah dirumuskan.

a. “Ethics is the study of right or wrong” (Benar-salah di sini adalah tentang tindakan manusia). Definisi ini perlu diperika:

• Definisi ini terlalu sempit karena bersifat legalistik, hanya memperhatikan benar dan salah tindakan manusia menurut peraturan/norma yang berlaku. Padahal, dalam etika yang dipersoalkan bukan hanya tentang salah-benar, melainkan juga nilai baik-buruknya suatu tindakan serta tujuan akhir yang dikejar manusia dalam segala tindakannya (mis. Kebahagiaan).

(12)

• Secara legal pun definisi ini masih dapat dipersoalkan, misalnya dalam contoh berikut: “Engkau wajib membayar hutangmu !” (secara legal lebih tegas); “Tindakanmu itu benar !” (secara legal lebih lemah)

b. “Ethics is study of morals” (Moral di sini adalah pandangan moral maupun tindakan yang merupakan konsekuensi pandangan tersebut). Jadi, dalam pengertian di atas, Etika adalah studi tentang pandangan moral dan tindakan yang merupakan

konsekuensi pandangan moral (tindakan yang menyertainya). Periksa definisi ini: Definisi ini secara tepat menunjukkan objek material Etika, tetapi belum secara persis memberi pembatasan pada ojek formalnya. Karena moralitas sekelompok orang (manusia) bisa juga dipelajari oleh ilmu-ilmu lain, seperti Sosiologi dan Antropologi. Bedanya: Antropologi dan Sosiologi bersifat empiris deskriptif, sedangkan Etika tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga perskriptif (normatif)22.

c. “Ethics is not the study of what is, but what ought to be”. (Etika bukanlah studi tentang apa yang ada, tetapi tentang apa yang wajib secara moral). Periksa definisi ini:

Definisi ini secara tegas membedakan apa yang disebut das Sein dan das Sollen23

Namun definisi ini bisa menyesatkan. Dalam Etika kita tidak boleh memisahkan das Sein dan das Sollen. Sebab Etika berurusan dengan praksis, dengan tindakan manusia yang konkret. Dalam arti ini, Etika sungguh berurusan dengan apa yang ada. Jadi, Etika juga studi tentang what is (tindakan praksis manusia), bukan hanya tentang ought to be (kewajiban secara moral).

2.2 Merumuskan Sebuah Definisi Etika

Etika adalah sebuah disiplin filsafat yang mempelajari tindakan manusia dipandang dari segi kewajiban moral serta baik-buruknya tindakan tersebut sehubungan dengan penyempurnaan diri manusia sebagai manusia.

Pertanggungjawaban Kritis Terhadapa Definisi ini:

• Definisi ini langsung menyebut Etika sebagai salah satu disiplin Filsafat. Berarti, Etika adalah suatu penyelidikan ilmiah yang dilakukan secara metodis, sistematis, kritis dan radikal dengan menggunakan akal-budi. Dalam sejarah, ada aliran yang secara tegas menolak Etika sebagai ilmu. Statusnya sebagai penyelidikan ilmiah ditolak, misalnya oleh Positivisme, yang berpendapat bahwa ilmu adalah sesuatu yang berhubungan dengan realitas yang sungguh-sungguh ada, yang bisa diverifikasi secara empiris. Jawaban terhadap Positivisme:

Klaim Positivis tentang reduksi ganda24 terhadap realitas. Padahal realitas lebih

luas dari quantifiability dan tindakan manusia yang diselidiki Etika adalah realitas yang sungguh-sungguh ada. Apalagi, pengalaman akan kewajiban moral dan nilai baik-buruknya tindakan manusia adalah pengalaman manusia yang riil dan universal.

Tesis dasar positivisme: Realitas yang benar adalah yang bisa quantifiability dan dapat diverifikasi secara empiris. Tetapi tesis ini sendiri tidak pernah bisa

22 Perskriptif: berhubungan dengan kewajiban, sesuatu yang mewajibkan, atau kewajiban berdasarkan norma. Preskriptif: mewajibkan manusia untuk mengikuti norma-norma moral. 23 das Sein (apa yang ada, yang real, yang nyata), das Sollen (apa yang wajib, apa yang harus).

(13)

diverifikasi secara empiris (keyakinan dasar sebagai tesisnya). Oleh karena itu, maka, jika Positivisme benar, maka Positivisme salah. d/l Positivisme

mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri.

Tindakan Manusia:

Tindakan manusia (praksis) adalah objek material penyelidikan Etika. Tindakan adalah suatu pengertian yang sangat kaya. Biasayanya dalam kesadaran pra-reflektif kita semua tahu apa itu sebuah tindakan. Tetapi kalau diperiksa secara teliti, maka akan sulit sekali membatasi atau merumuskannya secara tepat.

Jika kita membuat analisis struktural atas sebuah tindakan, maka kita akan menemukan unsur-unsur konstitutif suatu tindakan, sebagai berikut:

Ada PELAKU Ada TUJUAN Ada MOTIF

Ada KEADAAN SEKITAR (Sirkumstansia)

Ada PELAKU SERTA (baik langsung maupun tidak langsung)

Ada AKIBAT (bisa sama dengan tujuan, tetapi bisa berbeda dari tujuan). Semua unsur di atas bersama-sama membentuk jalinan makna yang membedakan tindakan manusia dari peristiwa alam atau apa yang diperbuat binatang25.

Objek penelitian Etika adalah actus humanus. Actus hominis hanya disinggung sejauh menerangkan actus humanus.

Dipandang dari segi kewajiban moral:

Inilah aspek khusus yang membedakan Etika dari Sosiologi dan Antropologi Budaya. Sosiologi dan Antropologi Budaya bersifat empiris deskriptif, sedangkan Etika bersifat empiris deskriptif dan sekaligus perskriptif atau normatif. Bila kita memeriksa pelbagai aturan dan norma yang mengatur tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat, maka kita dapat membedakan tiga macam aturan umum yang memberi kewajiban kepada anggota masyarakat, yaitu: Norma Sopan-Santun, Norma Hukum, dan Norma Moral/Etis.

Norma Sopan-Santun: aturan dalam pergaulan antar manusia berdasarkan konvensi belaka. Karena itu gampang diubah. Aturan ini biasanya berlaku untuk masyarakat tertentu saja, bukan untuk semua manusia. Sedangkan Norma Moral mewajibkan manusia secara mutlak dan pada prinsipnya berlaku untuk semua manusia.

Norma Hukum: norma yang pelaksanaannya dituntut atau dipaksakan oleh penguasa yang sah dalam masyarakat dan pelanggarannya ditindak. Norma hukum biasanya berdasarkan aturan perundang-undangan. Norma moral tidak dipaksakan oleh penguasa dari luar, melainkan diwajibkan oleh HN manusia sendiri. Norma moral

(14)

belum tentu dapat dituntut pelaksanaannya ataupun ditindak pelanggarannya. Perlu dikatakan bahwa tidak semua norma hukum sekaligus mengikat secara moral dan tidak semua norma moral dijadikan norma hukum.

Norma Hukum mempunyai batas waktu dan wilayah / tempat. Waktunya: sejak hukum itu disahkan dan berakhir ketika hukum itu dicabut kembali oleh penguasa yang sah. Tempat: hukum hanya berlaku dalam wilayah di mana wewenang penguasa yang mewajibkannya diakui. Misalnya dalam batas Negara. Sedangkan norma moral pada prinsipnya berlaku secara universal untuk manusia di mana pun tanpa batas waktu dan tempat.

Baik-buruknya tindakan manusia

Penilaian baik-buruk ini tidak terbatas pada satu bidang kehidupan tertentu saja, tetapi menyangkut seluruh priadi manusia. Para filsuf analitis tidak mau menyebut istilah

baik—uruk untuk tindakan manusia. Mereka hanya menggunakan istilah salah dan

benar. Maksudnya, tindakan itu salah atau benar menurut norma moral. Sedangkan yang baik atau buruk itu: orangnya atau maksudnya atau motifnya.

Dalam definisi ini kita menggunakan istilah baik & buruk juga untuk tindakan manusia, karena dalam analisis struktural yang sudah kita buat di atas, sebuah tindakan konkret langsung melibatkan pelaku, tujuan, motif dan akibat.

• “…. sehubungan dengan penyempurnaan diri manusia sebagai manusia.” Penyempurnaan diri manusia adalah kriteria terakhir kewajiban moral serta baik-buruknya tindakan itu. Tetapi apa arti penyempurnaan itu ? Penyempurnaan diri manusia menyangkut semua dimensi manusia sebagai makhluk multi-dimensional26

(manusia sebagai substansi, manusia sebagai subjek, manusia sebagai makhluk unik-sosial, manusia sebagai makhluk menyejarah dan manusia sebagai makhluk jiwa-badan). Tetapi dalam Etika, semua dimensi tersebut harus dinilai dalam konteksnya yang paling konkret, berhubungan dengan tindakan manusia yang konkret.

IV. Pembagian Etika

4.1 Etika Dasar: membahas masalah-masalah pokok moral, seperti soal kesadaran moral, kebebasan dan tanggung jawab HN, dan norma-norma dasar yang berlaku bagi semua manusia.

4.2 Etika Khusus: membahas bagaimana prinsip-prinsip dasar moral diaplikasikan dalam pelbagai bidang hidup manusia:

• Etika Individual: membahas kewajiban manusia sebagai individu terhadap dirinya sendiri.

• Etika Sosial: membahas kewajiban moral terhadap sesama manusia. Etika Sosial dibagi lagi dalam banyak bidang khusus, seperti misalnya Etika Keluarga, Etika Politik, Etika Lingkungan Hidup, Etika Profesi, dst…

(15)

III. Metode Etika 3.1 Metode Umum

Secara paling umum ada dua pendekatan yang dipakai dalam ilmu-ilmu: pendekatan

deduksi dan pendekatan induksi.27 Lalu Etika ? Etika, di satu pihak sebagai disiplin

filsafat yang meneliti praksis / tindakan manusia mau tidak mau Etika harus menggunakan metode induktif, agar tidak terlepas dari situasi manusia konkret. Di pihak lain, sebagai disiplin normatif, Etika menggunakan metode deduktif, yakni bertolak dari prinsip-prinsip moral dan mengaplikasikannya terhadap tindakan konkret. Dengan demikian Etika menggabungkan dua pendekatan ini.

3.2 Metode Khusus (yang hendak dipakai)

A. Fenomenologi : fenomenologi berusaha mendeskripsikan arti sesuatu sebagaimana ia muncul dalam kesadaran. Kesadaran manusia bersifat noetis – noematis. Itu berarti deskripsi fenomenologis sekaligus menyangkut aspek objektif dan aspek subjektif pengalaman manusia. Secara metodis, Husserl membedakan 3 langkah reduksi fenomenologis: Reduksi fenomenologis (zuruck zu dem Sachen Selbst), Reduksi Eidetis (untuk menemukan eudos – yg bersifat universal mengatasi ruang & waktu), Reduksi Transendental (menemukan suatu subjek transcendental). Dalam Etika, yang paling penting adalah Reduksi Eidetis dan Reduksi Fenomenologis.

B. Metode Kritis:

Metode ini dipakai ketika berbicara tentang norma-norma moral. Metode Kritis

menyelidiki paham-paham filsafat moral, meneliti system dan teori yang sekarang ada, selidiki asumsi dasarnya,28 dan menyelidiki konsistensi dan koherensi system tersebut.

C. Metode Metaetis

Metode Metaetis adalah penelitian terhadap bahasa etis. Metode ini merupakan aplikasi dari metode analitika bahasa ke dalam bidang Etika, dengan maksud, supaya pengertian-pengertian moral dapat diungkapkan dalam bahasa yang tepat dan jelas. Metode ini mau membersihkan bahasa-bahasa moral dari kerancuan dan kekaburan arti.

27 Metode deduktif: bertolak dari prinsip-prinsip, postula-postula atau aksioma-aksioma dan bergerak kea rah penerapan atau kepada peryataan yang lebih konkret dan rinci. Metode induktif: bertolak dari fakta yang konkret dan particular kepada kesimpulan yang lebih umum dan abstrak, atau dari yang individual kepada yang universal. Langkah-langkah induksi secara garis besar: 1. pengamatan - pengumpulan data secara teliti, 2. hipotesis, 3. eksperimen terhadap hipotesis (uji coba), 4. merumuskan hukum atau dalil berdasarkan apa yang diamati (bisa menjelaskan data-data yang diamati), 5. merumuskan suatu teori global yang

merangkum hukum-hukum yang berlaku dalam satu bidang ilmu.

(16)

BAB II

FENOMENOLOGI KESADARAN MORAL

2.1 FENOMENA KESADARAN MORAL

2.1.1 Persoalan

Dalam definisi Etika telah diuraikan perbedaan Norma Moral dari Norma Sopan-santun dan Norma Hukum. Tetapi, apakah yang menjadikan sesuatu itu norma moral ?

Kita hendak memeriksa apa yang khas dalam Norma Moral.

Larangan seperti: Jangan membunuh atau jangan mencuri atau jangan memfitna,

dapat sekaligus menjadi norma hukum, norma sopan-santun dan norma moral. Secara lahirian (dari luar/dari rumusan atau isi pernyataan), kita tidak dapat langsung menentukan apakah suatu norma itu termasuk norma hukum, norma moral atau norma sopan-santun. Maka kekhususan Norma Moral tidak terletak dalam isi pernyataannya, sebab harus lebih dahulu diperiksa pandangan suatu masyarakat tentang apa yang baik, apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah; dan pandangan itu berdasarkan norma moral, norma sopan-santun atau norma hukum.

Sebagai pendahuluan, boleh kita mengatakan bahwa sifat norma moral bukanlah lahiriah, melainkan sesuatu yang berasal dari kesadaran bantin dan kesadaran ini

mempunyai ciri khas. Etika harus bertolak dari fenomena kesadaran moral, karena itu kita menggunakan metode fenomenologi untuk mendeskripsikan pengalaman moral tersebut. 2.1.2 Sebuah Contoh Kesadaran Moral29

Kesadaran moral muncul, misalnya, apabila saya memutuskan sesuatu yang menyangkut hak dan kebahagiaan orang lain. Mendapat lebih dari yang semestinya menjadi hak kita atau mendapat lebih dari yang semestinya menjadi kewajiban orang lain terhadap kita – secara tidak sengaja, apakah mesti dikembalikan ?

2.1.3 Unsur Pokok Dalam Kesadaran Moral

a) Saya merasa wajib (bdk dengan contoh di atas)

b) Kewajiban yang dirasakan itu tidak dapat ditawar-tawar (bdk contoh di atas) c) Kewajiban itu berasal dari dalam diri saya, tetapi sekaligus mengatasi diri saya,

karena saya tidak mengarangnya dan/atau tidak merumuskannya pada saat itu. d) Kewajiban yang saya rasakan itu tidak bersifat sewenang-wenang, melainkan

sesuatu yang masuk akal (rasional).

e) Saya juga merasa, kalau saya melakukan perbuatan tersebut, “saya berbuat baik”, meskipun perbuatan saya tersebut bertentangan dengan keinginan saya

f) (Perbuatan) yang baik itu pada prinsipnya berlaku untuk semua orang dalam situasi yang sama.

29 meminjamkan uang kepada seorang ibu tua yang sudah mulai rabun matanya dan

(17)

g) Saya mengalami bahwa saya tetap bebas untuk mengikuti atau menentang kewajiban tersebut.

h) Saya menyadari bahwa dari keputusan saya itu, terkandung di dalamnya nilai pribadi saya, entah baik atau buruk.

2.1.4 Struktur Dasar Kesadaran Moral

Dari deskripsi panjang tentang kesadaran moral di atas, dapat disimpulkan struktur dasar kesadaran moral, sebagai berikut:

a) Kesadaran moral adalah kesadaran akan kewajiban yang bersifat mutlak (tanpa syarat).

b) Kesadaran moral itu bersifat rasional (masuk akal).

c) Kesadaran moral itu berhubungan dengan kebebasan dan tanggung jawab pribadi. d) Kesadaran moral itu menentukan nilai manusia sebagai manusia.

2.2 KEMUTLAKAN KESADARAN MORAL

2.2.1 Yang paling mencolok dari kesadaran moral adalah keinsafan bahwa saya berada di bawah kewajiban untuk melakukan sesuatu. Kewajiban ini tidak dipaksakan dari luar, sebagaimana hukum dipaksakan oleh otoritas penguasa yang sah, tetapi oleh batin saya sendiri. Kewajiban ini tidak bisa ditawar-tawar (d/l kewajiban moral bersifat mutlak).

2.2.2 Imanuel Kant (1724 – 1804) membahas sifat mutlak kewajiban moral, dengan membedakan antara imperative hypotetis (perintah bersyarat),30 dan imperative

kategoris (perintah yang bersifat mutlak, tanpa syarat).31 Kewajiban moral selalu

merupakan imperatif kategoris.

2.2.3 Kesadaran moral itu begitu tegas, sehingga orang mengalaminya sebagai suatu “suara” yang memerintah dari dalam batinnya sendiri. Dalam bahasa sehari-hari, kesadaran akan kewajiban itu disebut Suara Hati / Suara Batin. “Suara” itu sekaligus berasal dari dalam diriku dan mengatasi diriku.

2.2.4 Kesadaran moral itu merupakan pangkal otonomi32 manusia, karena pada akhirnya

pemenuhan kewajiban itu tergantung pada aku sendiri dan bukan pada perintah dari luar atau pada instansi tertentu.

2.3 RASIONALITAS KESADARAN MORAL

2.3.1 Kesadaran Moral Mengandung Pernyataan Tentang Realitas Ada dua kelompok filsuf yang berpendapat tentang hal ini:

a) Kelompok yang berpendapat bahwa yang disebut kesadaran moral itu merupakan

perasaan belaka, dan perasaan seseorang tidak membutuhkan pembenaran atau pendasaran rasional dan ilmiah33. para filsuf kelompok ini pada akhirnya

30 misalnya: “belajarlah kalau mau lulus ujian 31 misalnya: “jangan membunuh !”

32 Otonomi berarti bertindak sedemikian sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional

(18)

berpendapat bahwa baik atau buruk secara moral tergantung pada perasaan orang dan tidak perlu diperdebatkan.34

b) Kelompok filsuf yang berpendapat bahwa kesadaran moral mengadung pernyataan tentang realitas, yang bisa diteliti kebenarannya dan dipersoalkan dalam suatu argumenasi rasional. Jika diandaikan bahwa sesuatu itu benar atau salah, maka pernyataan itu bersifat universal.35 Jadi, dengan istilah rasionalitas kesadaran

moral dimaksudkan bahwa kesadaran moral itu pada hakekatnya bukan sekedar perasaan, melainkan pernyataan objektif.

Persoalannya: bagaimana kita dapat memastikan bahwa kesadaran moral itu sungguh-sungguh suatu pernyataan objektif ?

Caranya: dengan memeriksa apakah isi kesadaran tersebut berlaku umum atau tidak36; dan, apakah pernyataan itu bisa diuji melalui verifikasi dan falsifikasi37 atau

tidak.38

2.3.2 Kesadaran Akan Nilai Yang Luhur Dalam Kesadaran Moral

Nilai adalah suatu kualitas yang menjadikan sesuatu itu baik atau berharga di dalam dirinya39. Tinjauan fenomenologis di depan sedah menunjukkan bahwa kesadaran

moral bersifat rasional. Karena itu, bertindak menurut kesadaran moral berarti bertingkah laku menurut tuntunan yang benar dari akal budi. Akan tetapi kesadaran moral

mempunyai nilai yang lebih dalam lagi. dari pengalaman pribadi, kita tahu bahwa

kewajiban moral itu sering terasa berat, menuntut pengorbanan kepentingan, keinginan dan perasaan pribadi. Namun (anehnya), jika kita melakukan kewajiban tersebut, kita merasakan kegembiraan atau kebahagiaan yang mendalam.40

Jadi, paradox nilai moral adalah bahwa saya menjadi bahagia justru pada saat saya melakukan kewajiban moral, tanpa mencari kesenangan atau kebahagiaanku sendiri.

34 catatan untuk kelompok ini: perasaan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang subjektif dan tidak ada hubungannya dengan kenyataan objektif. Sebetulnya anggapan ini keliru, sebab perasaan selalu menunjukkan realitas (keadaan sekitar). Bahwa perasaan bisa berbeda berarti mengalami perasaan secara berbeda.

35 artinya berlaku bagi semua orang yang bisa mengerti.

36 berlaku untuk semua orang tanpa kecuali, dalam situasi yang sama

37 salah satu dari pernyataan yang benar dan langsung berargumentasi untuk membela pernyataan yang diterima sebagai benar tersebut.

38 Hipotesis I. Kant terhadap persoalan: “mengapa antara kenyataan dan harapan (universal, verifikasi & falsifikasi) begitu berbeda ? Menurut Kant: pada prinsipnya, norma moral harus bisa mengalami universalisasi (stilah Kant: universalizability of moral norms).

39 Spinoza mengatakan sesuatu yang bernilai itu sulit dan jarang diperoleh. Kant mengatakan

virtue is its own reward (kebaikan itu adalah ganjaran bagi dirinya sendiri (d/l kebaikan karena kebaikan itu sendiri, bukan karena pamrih, dll).

(19)

2.3.3 Menaati Suara Batin

Sehubungan dengan kewajiban moral, di satu pihak, suara batin harus ditaati dalam keadaan apa pun; dan di pihak lain, kita pun mengatakan bahwa kewajiban moral harus dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional. Itu berarti bahwa dalam keadaan tertentu, suara batin pun dapat disangkal/diperbaiki oleh pertimbangan akal-budi.41 Persoalannya:

apakah antara kewajiban mengikuti suara batin dan pertanggungjawaban rasional ada pertentangan ?

Dari cara dan proses dalam menyelesaikan persoalan yang melibatkan suara hati dan pertanggungjawaban rasional, maka pedomaan dalam menaati suara batin, sbb:

a) setiap keputusan moral harus diambil menurut apa yang diperintahkan batin saat itu b) suara batin harus terus-menerus disesuaikan dengan pertimbangan rasional yang

relevan42.

c) suara batin dapat keliru: saya dapat meyakini sesuatu secara jujur sebagai kewajiban saya, yang sebetulnya bukan merupakan kewajiban moral saya. Atau sebaliknya, apa yang sebenarnya merupakan kewajiban moral, tetapi tidak saya sadari. Misalnya karena salah pendidikan atau indoktrinasi paham tertentu.43

d) jika suara batin bisa keliru, apakah saya bersalah secara moral ? Dapat dikatakan bahwa “saya tidak bersalah”, kalau saya memang bertindak menurut suara batin saya saat itu. Meskipun kemudian ternyata suara batin saya keliru (secara objektif). Namun, saya dapat bersalah bila saya lalai mencari informasi yang relevan

sebelum mengambil keputusan. Sesudah menyadari kekeliruan. saya wajib mengubah pandangan dan sikap saya sejauh mungkin.

41 Contoh kasus: ada seorang dokter diminta oleh seorang wanita Bosnia untuk menggugurkan kandungannya yang merupakan hasil perkosaan tentara Serbia. Suami perempuan tersebut adalah seorang tentara Bosnia yang sedang menunaikan tugas membela bangsanya di medan perang. Menghadapi kasus tersebut, sang dokter mengalami dilemma. Di satu pihak, dokter sadar bahwa pengguguran yang disengaja adalah sama dengan pembunuhan. Namun di pihak lain, dokter itu pun dapat merasakan kesulitan dan penderitaan lahir-batin perempuan itu, yang mengandung anak terlarang. Dan situasi lainnya, ibu tersebut juga sangat cemas dan ketakutan dengan sikap dan tindakan suaminya (yang dia tahu aslinya adalah seorang pencemburu berat) ketika nanti pulang dari medan perang. Mengenai kasus seperti ini, kita tidak bisa memberikan jawaban yang siap pakai. Yang perlu dijawab adalah bagaimana seharus-nya sikap dokter itu supaya keputusannya dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Maka dalam hal ini, kita perlu membedakan 3 (tiga) hal: 1. keadaan sebelum

mengambil keputusan (dokter wajib mencari semua informasi yang relevan untuk mengambil keputusan moral yang tepat. Ia tidak boleh mengandalkan suara batinnya sendiri). 2. Keadaan pada saat mengambil keputusan (bila keputusan tidak bisa ditunda lagi, maka dokter berhak dan berwajib melakukan apa yang terbaik menurut suara hatinya pada saat itu). 3. Keadaan sesudah mengambil keputusan (sesudah keputusan itu, dokter tetap mempunyai tanggung jawab moral untuk mencari informasi yang lebih luas dan menolong perempuan yang dalam kesulitan itu.

42 Dalam contoh kasus di atas: misalnya, memberi peneguhan bahwa suara batinnya keliru, karena tidak sesuai dengan pertimbangan moral dan dia sebenarnya sedang mengalami rasa bersalah yang berlebihan

(20)

e) sering kali, kita harus mengambil keputusan dalam situasi dilematis, di mana saya belum mencapai kepastian. Maka dalam kondisi seperti ini, apa pun risikonya, harus ikut suara hati.

2.3.4 Beberapa Sikap Moral Yang Tidak Mencukupi

a) Legalisme: sikap taat kepada aturan karena aturan atau hukum karena hukum, tanpa mengetahui tujuan dan maksudnya (taat buta).44 Legalisme adalah sikap

moral karena takut atau karena rasa aman dalam aturan umum tanpa berpikir kritis tentang tanggung jawab personal. Sikap ini secara moral tidak cukup karena orang hanya melakukannya secara lahir, tetapi secara batin tidak.

b) Memberi penilaian moral terhadap orang lain dari luar saja. Kita sering menilai orang menurut kelakuan lahiriah seseorang. Jika seseorang mengikuti norma umum, maka orang tersebut dianggap baik, dan sebaliknya, jika seseorang tidak mengikuti norma umum, maka dia dianggap jahat atau buruk. Suatu penilain dari luar saja (lahiriah saja) tidak pernah cukup secara moral, jikalau kita tidak pernah tahu motivasi dan maksud pelaku tindakan tersebut.

c) Maksud baik tanpa pelaksanaan. Ada orang yang berpendapat bahwa asal maksudnya baik secara moral, pelaksanaan lahiriah tidak penting. Semboyan ini adalah semboyan yang lemah dan kurang jujur. Kalau orang sungguh mempunyai maksud baik, maka ia pasti juga berusaha melaksanakannya. Bila sama sekali tidak ada usaha, maka tak dapat dikatakan bahwa dia mempunyai maksud yang baik

atau maksud yang buruk/jahat, melainkan hanya suatu keinginan yang lemah.

2.4 NILAI MORAL DAN SUARA BATIN 45

Dari Husserl kita belajar bahwa kesadaran manusia bersifat noetis-noematis.46

Pertanyaannya sekarang adalah, manakah kutub noetis dan kutub noematis dalam kesadaran moral. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kutub noetis adalah suara batin,

dan kutub noematis adalah nilai moral.

2.4.1 Kutub Noetis: Nilai Moral

Bila membandingkan nilai moral dengan nilai-nilai lain, maka apakah ciri khas yang menandai nilai moral itu ?

a) Nilai moral secara istimewa berhubungan dengan martabat manusia. Proposisi ini mengandung dua hal:

44 Misalnya dalam semboyan kuno Jerman: Befehl ist Befehl (perintah adalah perintah)

45 Ingat prinsip intensionalitas dalam metode fenomenologi (intensional: bahwa kesadaran manusia itu pertama: keluar, kedua: kembali kepadanya, ketiga: sadar bahwa sesuatu itu ada).

46 Menurut Husserl, pertama, semua perspektif selalu terbatas- ketika kita melihat,

mendengar, merasa, dll (mis. lihat rumah, yang dilihat hanya bagian tertentu dari rumah itu, tidak bisa dilihat semua) – noetis. Kedua, karena kesadaran manusia itu bersifat kreatif, maka kesadaran itu membuat konstruksi. Meskipun pengelihatan, pendengaran, perasaan, dll

(21)

1. Nilai moral tidak hanya menyangkut satu dimensi pribadi, melainkan melibatkan seluruh “persona humana” seutuhnya.

2. Nilai moral tidak hanya menentukan baik-buruknya suatu tindakan, tetapi sekaligus menentukan baik-buruknya pribadi itu. Sebab perwujudan nilai moral menyempurnakan pribadi manusia.

b) Nilai moral adalah nilai yang mewajibkan dan memerdekakan manusia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Nilai moral mewajibkan manusia secara mutlak tanpa syarat, dan karena itu Kant menyebutnya sebagai imperatif kategoris.

2. Kewajiban moral itu sekaligus bersifat universal dan personal. Universal berarti bahwa pada prinsipnya hal itu berlaku untuk semua manusia. Personal berarti bahwa hal itu mengikat saya sebagai pribadi dalam situasi konkret saat ini. 3. Kewajiban itu mutlak, tetapi tidak bersifat buta, melainkan rasional.

4. Kewajiban moral tidak dipaksakan dari luar, melainkan diperintahkan oleh Hati Nurani-ku sendiri. Maka oleh karena itu, kewajiban moral itu menjadi pangkal otonomi-ku. Kewajiban itu hanya bisa dipenuhi dalam kemerdekaan, artinya:

saya tetap bebas melaksanakannya atau tidak. Tetapi bila saya laksanakan, saya menjadi lebih merdeka sebab saya menyempurnakan otonomi-ku sendiri. c) Nilai moral meresapi semua nilai dan sekaligus mengatasinya:

1. Nilai moral tidak memiliki bidang tersendiri, spt olah-raga, teknik, tukang, dll,47

tetapi hadir dalam seluruh aktivitas manusiawi dan meresapi seluruh nilai yang terkandung dalam bidang aktivitas manusia itu.

2. Nilai moral sekaligus mengatasi nilai-nilai lain, sebab nilai moral

mengintegrasikan semua nilai yang ada ke arah penyempurnaan diri manusia. 2.4.2 Kutub Noetis: Hati Nurani / Suara Batin

Suara batin selalu harus diikuti pada saat orang mengambil keputusan moral. Suara Batin adalah norma moral subjektif yang paling tinggi. Kalau ditinjau dari intesionalitas kesadaran moral, maka suara batin inilah kutub noetis-nya. Lalu, apa itu suara batin ? a) Suara Batin dalam arti luas: “pengetahuan praktis yang habitual akan nilai moral”

1. Suara batin adalah suatu bentuk pengetahuan, tetapi pengetahuan ini bukanlah pengetahuan teoretis, tetapi pengetahuan praktis, yang dihayati langsung dalam perbuatan. Pengetahuan ini disebut habitual karena pengetahuan itu

bergantung dari pembiasaan. Semakin seseorag menaati kewajiban moral, semakin ia peka dalam kesadarannya akan nilai moral tersebut.

2. Pengetahuan praktis berbeda dari pengetahuan teoretis:

i. Dalam pengetahuan teoretis, subjek mengambil jarak dengan objek yang bisa diperiksa, diteliti dan dianalisis. Sebaliknya, pengetahuan praktis lebih

merupakan pengenalan yang dicapai melalui keterlibatan langsung.

ii. Dalam pengetahuan teoretis, yang berperan utama adalah intelek. Sedangkan pengetahuan praktis melibatkan pikiran, perasaan dan kehendak manusia.48

iii. Hubungan pengetahuan praktis dan pengetahuan teoretis dalam kesadaran moral dapat dijelaskan sebagai berikut: pengetahuan teoretis mengenai moral

47 Max Scheler mengatakan bahwa nilai moral hadir dalam semua actus humanus yang dilaksanakan dalam pelbagai bidang kehidupan, dan meresapi semua nilai dalam bidang tersebut.

(22)

harus bertolak dari pengetahuan praktis, jika tidak, pengetahuan teoretis tersebut bersifat kosong belaka. Sebaliknya, pengetahuan praktis itu dijelaskan, dieksplisitasi, diberi pertanggungjawaban rasional oleh pengetahuan teoretis.

3. Kebutaan Moral (kebutaan akan nilai moral):

Bertentangan dengan keadaan normal, ada orang yang sama sekali tidak peka lagi terhadap nilai moral; dikatakan dia buta terhadap nilai moral. Ada macam-macam kebutaan moral :

i. Menurut tingkatannya:

- Kebutaan separuh: bisa terjadi bahwa orang menghargai banyak nilai moral, tetapi ia buta terhadap nilai tertentu. Misal: orang sangat murah hati dan rela menolong, tetapi ia buta terhadap nilai keadilan atau kejujuran. - Kebutaan total: orang yang sama sekali tidak tahu nilai moral.49

ii. Menurut motifnya:

- Immoralisme: kebutaan moral karena orang secara sengaja memusuhi nilai-nilai moral dan menghancurkannya. Misal: pembantaian di kamp konsentrasi oleh Nazi, pembantaian dan pemerkosaan manusia di Serbia-Bosnia)

- Amoralisme: ketiadaan perasaan nilai moral dalam hal tertentu tanpa niat jahat yang disengaja untuk melawan nilai moral tersebut.

iii. Sebab-sebab kebutaan moral:

- Pendidikan yang salah / salah didik (anak yang dididik secara salah dalam lingkungan yang bejat secara moral, cenderung menderita kebutaan akan nilai moral.50

- Sebab patologis: cacat fisik dan/atau mental51

- Orang yang secara sengaja mengabaikan nilai moral dalam hidupnya.52

b) Suara Batin dalam arti sempit (arti sebenarnya): “kesadaran moral yang paling pribadi dan spontan dalam sitasi konkret mengenai baik atau buruknya perbuatan yang sudah dilakukan atau yang hendak dilakukan.” Sifat paradox (mengherankan) dari HN adalah bahwa ia muncul secara spontan dalam diri-ku, namun sekaligus melampaui diri-ku. HN/SB merupakan suatu instansi yang mengadakan evaluasi, mengadili, dan memerintahkan saya dalam setiap situasi konkret dalam hubungan dengan tindakan yang saya lakukan. Menurut fungsinya, SB dibedakan dalam dua

49 Kebutaan total tidak mungkin ada, kecuali orang yang dalam keadaan tidak waras

50 Misalnya: anak yang dibesarkan dalam lingkungan maling, akan menganggap perbuatan mencuri itu baik.

51 Misalnya seorang psikopat yang memiliki kecenderungan merasa puas jika membunuh orang lain.

(23)

bentuk: conscientia consequens53 dan conscientia antecedens54. Keduanya

bukanlah dua instansi yang berbeda, melainkan satu SB/HN yang sama, yang memainkan peran sebelum dan sesudah melakukan actus humanus.

2.5 RELATIVISME DAN IRASIONALITAS MORAL

Nilai moral bersifat rasional karena bisa diverifikasi dan di-falsifikasi; dan juga pada prinsipnya bersifat universal. Namun ada aliran-aliran filsafat yang menolak sifat rasional nilai moral tersebut.

2.5.1 Relativisme Moral

Relativisme moral berpendapat bahwa norma moral tidak bersifat universal, melain-kan bersifat semata-mata relatif. Norma-norma tersebut tidak sama dan berbeda-beda menurut budaya dan komunitas masyarakatnya. Ada dua bentuk relativisme moral:

a) Relativisme Deskriptif

Relativisme deskriptif sering kali ditemukan di kalangan para anthropology, etnolog dan sosiolog. Mereka menyelidiki pelbagai kebudayaan dan masyarakat dan

menemukan bahwa system moral dalam pelbagai kebudayaan dan masyarakat itu sangat berlainan. Maka, apa gunanya berbicara tentang kemutlakan dan

universalitas norma moral, jika dalam kenyataannya, orang hidup menurut norma moral yang berlainan. Bagaimana argumentasi ini dijawab ?

1. Terhadap pendapat di atas, pertama-tama harus dikemukakan bahwa keaneka-ragaman pandangan moral belum membuktikan bahwa semua pandangan itu sama benarnya. Mungkin sekali ada banyak pandangan yang keliru dan hanya ada sebagian yang baik secara moral. Akan tetapi sulit sekali menyelidiki semua pandangan moral yang hidup dalam masyarakat di seluruh muka bumi ini, mem-bandingkannya lalu memutuskan manakah norma moral yang benar.

2. Untuk menilai relativisme deskriptif, lebih baik dibuat distingsi antara norma moral konkret dan norma moral dasariah55. Contoh:

Norma Moral Konkret Norma Moral Yg LbhMendasar Norma Moral Dasariah56

Anak yang baik: mengunjungi ORTU,

53 Conscientia consequens: suara batin yang menyusuli sebuah tindakan. Secara positif SB membenarkan tindakan saya dan menyebabkan kegembiraan dan rasa bahagia yang

mendalam; secara negatif SB mencela dan mempersalahkan tindakan saya yang melanggar kewajiban moral. Terhadap kesalahan moral, SB/HN dapat menimbulkan rasa sedih dan sesal yang merupakan suatu himbauan ke arah tobat.

54 Conscientia antecedens: suara batin yang timbul dalam situasi yang amat konkret, mendahului suatu tindakan, tepat pada saat suatu tindakan mau dilakukan. Secara moral, orang tidak pernah boleh bertindak menentang conscientia antecedens. Conscientia antecedens adalah norma moral subjektif paling tinggi.

55 Norma moral konkret adalah kaidah yang menuntun tindakan empiris tertentu. Sedangkan norma moral dasariah adalah prinsip yang mendasari banyak norma moral konkret.

(24)

“Apa yang kaukehendaki orang

jangan mencela dia di depan umum Hormatilah perasaan orang lain

Dari contoh di atas, kita melihat bahwa di belakang norma konkret terdapat norma yang lebih mendasar, yang akhirnya bisa dikembalikan kepada norma yang paling dasariah.

Kesalahan relativisme deskriptif adalah: tidak membuat distingsi antara norma moral konkret dan norma moral dasariah.57

b) Relativisme Normatif

Relativisme normatif berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak ada norma moral yang berlaku mutlak dan umum bagi manusia. Jadi, bukan hanya norma moral konkret,

melainkan juga norma moral dasariah bersifat relatif. Hal ini berarti bahwa dua orang yang berada pada situasi dan kondisi yang persis sama, bertindak menurut norma yang sama sekali berbeda.

Contoh yang terkenal tentang relativisme normatif adalah Ajaran Nietzsche tentang manusia tuan dan manusia budak. Manusia tuan adalah orang yang sama sekali otonom, penuh keberanian dan daya hidup, dan mengatur dirinya sendiri tanpa suatu aturan apa pun dari luar. Sedangkan manusia budak adalah manusia berjiwa lemah yang bersifat pengecut, selalu tunduk dan menghamba kepada manusia tuan. Menurut Nietzsche, manusia tuan berhak memperbudak manusia berjiwa hamba atau berjiwa lemah.58

Relativisme normatif ditolak dengan dua alasan:

i. Ajaran ini bisa dikemukakan secara sangat abstrak, tetapi dalam kenyataannya sulit dan berbahaya sekali jika dipraktekkan baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Jika dipraktekkan oleh individu, maka orang tersebut dianggap “atau tidak bertanggung jawab atau gila”. Jika ajaran ini dipraktekkan oleh masyarakat, maka hasilnya adalah keadaan yag paling brutal dan tidak manusiawi, seperti yang ditunjukkan oleh Nazi di Jerman. ii. Secara teoretis pun ajaran ini harus ditolak, karena tidak mengakui bahwa semua

manusia memiliki hak azasi yang sama. Moralitas hanya mungkin pada saat kita mengakui bahwa semua manusia pada hakekatnya sama.

2.5.2 Irasionalisme Moral

Aliran ini berpendapat bahwa norma moral atau semua pernyataan moral tidak bersifat rasional. Norma atau pernyataan moral hanyalah sebagai ungkapan perasaan

57 Bisa ditemukan norma tertentu yang sangat bertentangan dengan nilai moral. Suku Cukcen di Siberia, contohnya: ada norma/peraturan yang mengatur bahwa seorang anak berkewajiban membunuh orang tuanya sebelum mereka jompo. Ternyata keyakinan mereka adalah bahwa hidup dunia “seberang” itu sama dan merupakan kelanjutan dari kehidupan sekarang. Jadi, kalau mati jompo, maka di dunia “seberang” juga akan menjadi jompo kekal. Jadi lebih baik hidup diakhiri sebelum jadi jompo. Maka tindakan ini dasarnya adalah cinta kasih kepada orang-tua. Diteliti lebih jauh, ternyata kondisi fisik di Siberia, suhu dinginnya bisa mencapai (-) 50”. Kondisi ini sangat membuat sengsara untuk orang jompo. Lalu dibuatlah mitologisasi untuk mengukuhkan tindakan itu. Sehingga menjadi kewajiban moral setiap anak untuk

membunuh orang-tuanya sebelum jadi jompo, sebagai tanda cinta. Dan juga orang-tua merasa senang jika dibunuh oleh anaknya sendiri.

(25)

belaka.59 Secara garis besar, aliran ini berpendapat bahwa apa yang rasional harus

mengacu pada realitas. Dan realitas yang benar adalah hanya yang bisa diverifikasi secara empiris. Akan tetapi, pernyataan moral tentang nilai baik dan buruk tidak pernah bisa diverifikasi secara empiris. Jadi pernyataan moral bersifat irasional.

Contoh: P1 : Brutus membunuh Caesar (P1 bisa diverifikasi secara empiris)

P2 : Brutus bersalah (bgm bisa diverifikasi ? Benar/salah tergantung perasaan).

Pandangan Irasionalisme moral ditolak dengan dua alasan:

a) Rasionalisme moral sesungguhnya mengacu pada pandangan positivisme, yaitu realitas yang benar hanyalah yang dapat diverifikasi secara empiris. Tetapi tesis dasar ini sendiri pun tidak pernah diverifikasi secara empiris. Jadi jika positivisme benar, maka posivisme salah. Positivisme memiliki kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Maka irasionalisme moral yang berdasarkan pandangan positivisme harus ditolak.

b) Di atas sudah dibuktikan bahwa norma moral dasariah bersifat rasional, itu berarti, bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. dank arena itu pada prinsipnya berlaku universal untuk semua manusia.

2.6 KEWAJIBAN MORAL DAN KEBEBASAN

Kewajiban moral mengandaikan kebebasan. Pada binatang tidak ada kewajiban moral, karena binatang tidak memiliki kebebasan. Binatang berbuat menurut dorongan nalurinya. Pada manusia ditemukan kenyataan bahwa kewajiban moral memerintahkan setiap pribadi secara mutlak, tetapi setiap pribadi itu tetap sanggup untuk melaksanakan atau mengingkarinya. d/l : saya tetap bebas untuk memenuhi kewajiban moral saya. Atau secara lebih tegas, dapat dikatakan: sebuah kewajiban menjadi kewajiban moral bagi saya justru karena saya merasa bebas untuk melaksanakan atau tidak melaksanakannya.

Tetapi, apakah kebebasan itu ? Secara negatif, kebebasan adalah tidak adanya paksaan atau tekanan yang secara sengaja mendesak seseorang untuk bertindak melawan kehendaknya sendiri. Secara positif, kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.60

Sehubungan dengan pengertian tentang kebebasan di atas, perlu dibedakan dua macam kebebasan, yaitu, kebebasan individual dan kebebasan sosial.

2.6.1 Kebebasan Individual (kebebasan eksistensial)

Kebebasan individual (kebebasan eksistensial) adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Dalam kenyataan manusia selalu dibatasi oleh macam-macam faktor, baik kondisi alam maupun kondisi sosial. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu setiap manusia sanggup menentukan dirinya sendiri dalam situasi konkret. Kemampuan ini bersumber pada pikiran dan kehendak, yang terjelma dalam tindakan (actus humanus). Kebebasan individual dapat dirinci lebih lanjut menjadi kebebasan rohani dan kebebasan jasmani.

59 Pendapat seperti ini kebanyakan filsuf dari Inggris spt. Hume, Carnap, Ayer, Stevenson, Hare, …

(26)

a) Kebebasan jasmani adalah kemampuan manusia untuk bergerak dan melakukan sesuatu secara fisik. Kebebasan jasmani ini dikekang atau diperkosa secara langsung hanya oleh paksaan fisik yang disengaja oleh orang lain.

b) Kebebasan rohani adalah kemampuan manusia untuk menentukan apa yang dipikirkan dan dikehendaki. Kebebasan rohani secara langsung tidak dapat

dibelenggu oleh paksaan fisik dari luar oleh orang lain. Orang tidak dapat memaksa apa yang harus saya pikirkan atau apa yang harus saya kehendaki. Pikiran dan kehendak adalah wilayah rohani di mana setiap orang otonom (menjadi tuan atas dirinya sendiri). Akan tetapi, secara tidak langsung kebebasan rohani ini dapat dimanipulasi dan dirusakkan dari luar.61

c) Hubungan antara kebesasan jasmani dan kebebasan rohani

Kebebasan jasmani dan kebebasan rohani dapat dibedakan tetapi sama sekali tidak dapat dipisahkan. Kebebasan jasmani sebenarnya bersumber pada kebesan rohani, yakni pada kemampuan berpikir dan berkehendak. Sebaliknya, pikiran dan kehendak baru menjadi nyata kalau terjelma dalam tindakan. Singkatnya,

kebebasan rohani terjelma dalam kebebasan jasmani, sedangkan kebebasan jasmani selalu bersumber pada kebebasan rohani. Jadi, ada identitas realis dan

distingsi rationalis antara keduanya.62

2.6.2 Kebebasan Sosial

Manusia adalah sekaligus makhluk individual dan makhluk sosial. Demikian pun kebebasan individual tidak pernah dihayati dalam satu ruang kosong, melainkan selalu dalam hubungan dengan sesama dalam suatu masyarakat (komunitas). Jadi, yang disebut kebebasan sosial, secara negatif dipahami sebagai keadaan di mana kemampuan pribadi untuk bertindak tanpa dibatasi secara sengaja oleh orang lain. Dan secara positif, kekebasan sosial dipahami sebagai keadaan di mana orang lain memungkinkan saya untuk menentukan diri saya sendiri.

Kebebasan sosial dibedakan atas tiga macam:

a) Kebebasan sosial dilihat dari aspek jasmani, yaitu, keadaan di mana seseorang tidak mengalami paksaan fisik dari orang lain untuk mewujudkan dirinya sendiri di tengah masyarakat (komunitas).

b) Kebebasan sosial dilihat dari aspek rohani, yaitu, keadaan di mana seseorang tidak mengalami tekanan psikis dari orang lain, yang secara tidak langsung mengganggu atau merusak pikiran dan kehendak orang tersebut.

c) Kebebasan sosial sebagai kebebasan normatif adalah keadaan di mana seseorang tidak terikat oleh kewajiban sosial atau larangan yang ditetapkan oleh masyarakat.

Masyarakat hanya bisa hidup oleh sejumlah norma yang mangaturnya, baik berupa

pewajiban maupun berupa larangan. Tetapi norma-norma itu harus dibuat demi kepentingan seluruh masyarakat dan semua anggotanya. Maka, semua norma sosial harus dipertanggungjawabkan secara terbuka terhadap semua anggota.

61 Misalnya melalui brain washing, hipnotis, obat bius, atau melalui indoktrinasi yang terus-menerus sampai orang tersebut tidak sanggup lagi bertanggung-jawab atas apa yang dipikirkan dan dikehendakinya.

62 identitas realis adalah bahwa dari kenyataan keduanya adalah satu. Distinctio rationalis

(27)

Setiap anggota masyarakat bagaimanapun juga terikat oleh norma tertentu.

Sehubungan dengan ini, kebebasan normatif adalah kebebasan sosial yang dimiliki seseorang sejauh ia tidak terikat oleh pewajiban dan larangan.

2.6.3 Hubungan antara Kebebasan Sosial dan Kebebasan Individual

Dari penjelasan sebelumnya, kita melihat bahwa kebebasan sosial lebih banyak dirumuskan secara negatif, yaitu bebas dari paksaan dan tekanan serta bebas dari

pewajiban dan larangan. Kebebasan sosial merupakan lingkup hidup yang masih kosong, yang harus diisi dengan sesuatu yang positif. Yang mengisinya adalah kebebasan

individual atau kebebasan eksistensial. a) Menentukan batas kebebasan sosial

Bahwa kebebasan sosial saya terbatas, itu sudah jelas ! karena saya hidup bersama dengan orang lain dalam ruang dan waktu yang sama dengan sumber alam terbatas. Pertanyaannya adalah sejauh mana dan dengan cara apa

kebebasan sosial saya dibatasi ?

i. Sejauh mana ? (dalam hal ini adalah legitimasi pembatasan kebebasan sosial). 1) Pembatasan Pertama: hak setiap orang terhadap kebebasan yang sama.

Prinsip keadilan menuntut bahwa apa yang saya tuntut bagi saya sendiri, harus saya akui bagi orang lain.

2) Pembatasan Kedua: kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.

Saya sebagai pribadi tidak saja membutuhkan orang lain, tetapi juga pranata-pranata sosial yang menolong saya untuk berkembang.63 Demi kepentingan

bersama, masyarakat berhak membatasi kebebasan saya, tetapi hal ini harus bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka.

ii. Dengan cara apa ?

1) Paksaan fisik. Misal: diborgol, dipukul, ditangkap, dipenjara, dst…

2) Tekanan psikis64, di mana pikiran seseorang dimanipulasi atau dirusakkan.

Misal: dengan brain washing, peng-kambing-hitam-an, dst…

3) Cara normatif: melalui pewajiban dan larangan. Cara ini yang paling wajar dan paling manusiawi. Bila dengan paksaan fisik dan tekanan psikis mengurangi kemampuan saya untuk menentukan diri, maka dengan cara normatif

kebebasan saya tetap dihormati.65 Cara normatif memberlakukan hukum

dengan sanksi bagi yang melanggar. Sanksi tersebut adalah sanksi fisik. Sanksi fisik di sini tidak dimaksudkan untuk memperkosa otonomi seseorang, tetapi hanya untuk mencegah yang bersangkutan bertindak merugikan

kepentingan umum.

63 Contohnya, system pendidikan, system ekonomi, peraturan lalu-lintas, persekutuan agama, group kesenian, group olah-raga, kelompok diskusi, dst…

64 Manipulasi psikis yang merusakkan pikiran dan kehendak seseorang, tidak pernah dibenarkan secara moral, karena merusakkan kepribadian seseorang dari dalam.

(28)

b) Kebebasan Individual dan Tanggung Jawab Moral

Kebebasan sosial menyiapkan ruang lingkup, tetapi ruang lingkup itu hanya diisi oleh kebebasan individual. Kebebasan individual ini secara konkret dilaksanakan oleh melalui tindakan yang disadari (actus humanus). Setiap hari kita melaksana-kan hal tersebut melalui rangkaian tindamelaksana-kan, misalnya: belajar, berdoa, bekerja dan berbagai aktivitas individual & sosial lainnya.

Maka, berkaitan dengan hal ini, harus dikatakan bahwa semakin seseorang bertanggung-jawab dalam tindakannya, semakin ia bebas. Sebaliknya, semakin seseorang tidak bertanggungjawab dalam tindakannya, semakin ia menjadi lemah dan terbelenggu.

i. “semakin bertanggung-jawab, semakin bebas…” alasannya:

- bebas adalah sanggup menentukan diri sendiri. Bertanggung-jawab secara moral berarti bertindak menurut tuntunan akal budi dan Hati Nurani sebagai kemampuan paling pribadi untuk menentukan diri. Itu berarti, dalam tindakan yang bertanggung-jawab seseorang menunjukkan otonomi atau kebebasan. - nilai moral yang diwujutkan dengan melakukan kewajiban moral adalah nilai

yang menyempurnakan pribadi manusia dalam keutuhannya. Itu berarti,

melaksanakan kewajiban moral adalah menyempurnakan otonomi atau kebebasan manusia itu sendiri.66

ii. “semakin tidak bertanggung-jawab, semakin lemah dan terbelenggu”, alasannya: Tidak bertanggung-jawab atau menolak tanggung jawab, berarti: tahu apa yang seharusnya dibuat tetapi tidak mau melakukannya; atau tahu bahwa sesuatu itu baik dan bahwa ia sanggup melaksanakannya, tetapi ia tidak melakukannya.67

Ada dua alasan mengapa semakin tidak bertanggung-jawab itu semakin orang merasa lemah dan terbelenggu.

- Orang yang tidak bertanggung-jawab sebenarnya tidak dituntun oleh akal budi dan Hati Nurani dalam melakukan tindakannya, tetapi sebaliknya membiarkan diri dikuasai oleh faktor-faktor lain dari luar atau dibelenggu oleh unsur

irrasional dari dalam diri (misalnya oleh nafsu).

- Dengan mengabaikan kewajiban moral, seseorang merendahkan martabat pribadinya dan merusak otominya sendiri.

66 Kebebasan yang sejati pada tingkat afektif dirasakan sebagai kebahagiaan atau kegembiraan yang mendalam.

(29)

2.7 STRUKTUR PSIKIS MENURUT PSIKOANALISA FREUD DAN KESADARAN MORAL

Psikoanalisa Freud adalah salah satu teori berpengaruh pada abad yang lalu sampai pada abad ini, terlepas dari orang setuju atau tidak dengan teori psikoanalisa tersebut. Revolusi pemikiran yang dibawa oleh Psikoanalisa Freud bagi pemahaman diri manusia adalah penemuan ketaksadaran.

Jika Filsafat sejak zaman klasik bertumpu pada pandangan bahwa manusia adalah

makhluk berakal budi, maka Psikoanalisa Freud menjelaskan bahwa hidup psikis manusia sebagian terbesar dikuasai oleh faktor tak sadar.

2.7.1 Catatan Awal: Tentang Peristilahan

a) Psikoanalisa : istilah ini sejak Freud dipakai untuk menunjukkan tiga hal: 1) Metode Penelitian tentang proses-proses psikis, yang sebelumnya tidak

terjangkau oleh psikologi empiris.68

2) Suatu Tekni untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh pasien yang sakit jiwa.

3) Teori Global , yang mencakup seluruh pengetahuan psikologis, yang diperoleh baik melalui penelitian khusus a la Freud maupun melalui teknik pengobatan yang dirintis Freud.

b) Libido : mula-mula Freud menggunakan istilah ini secara sempit dalam pengertian naluri seksual tak sadar. Kemudian istilah ini digunakan dalam pengertian lebih luas, yaitu seluruh energy psikis tak sadar yang merupakan lapisan terdalam yang menggerakkan kegiatan serta proses hidup manusia.

c) Eros dan Thanatos : dalam periode yang kemudian, Freud menyadari bahwa hidup psikis manusia dikuasai oleh dua kekuatan yang saling bertentangan. Eros adalah naluri hidup yang mendorong semua perkembangan positif, seperti cinta,

pemeliharaan dan pengembangan hidup. Thanatos adalah naluri kematian, yang cenderung membinasakan proses hidup itu sendiri; yang tampak misalnya dalam

agresivitas, sadism dan masokhisme, dll.

Referensi

Dokumen terkait

Program Kuadrat dapat digunakan untuk meminimalkan risiko suatu saham yang diinvestasikan pada pasar modal dengan kendala jumlah dana yang diinvestasikan dengan acuan nilai

Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa kelompok bakteri denitrifikasi lebih dominan dalam melakukan reduksi nitrat di sedimen mangrove Pulau Dua yang didukung oleh

Target khusus dalam penelitian ini adalah memberikan informasi khusus bagi guru pendidikan jasmani “bagaimana tingkat Kemampuan Motorik Kasar Siswa Sekolah Dasar

yang dimaksud dengan golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketetapan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri

Salah satu komoditas yang mempunyai peluang besar untuk diolah menjadi bahan pakan ternak dengan jumlah yang melimpah di DKI Jakarta yaitu limbah organik pasar.. Berikut

Bank BNI Syari’ah Kantor Cabang Yogyakarta yang menggunakan akad murabahah karena pihak bank (sebagai penanggung hutang/kreditur kedua) membeli jaminan nasabah pada

Tugas Pokok Membantu Sekretaris Daerah dalam penyusunan kebijakan daerah di bidang pemerintahan, hukum dan kerjasama, dan pengoordinasian penyusunan kebiajakan daerah

Berdasarkan hasil analisis daya dukung ultimit tiang tunggal pada Metode Reese & Wright yaitu 563,64 ton, Metode Mazurkiewicz (1972) yaitu 325 ton, Metode Butler &