• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN TERHADAP ISTRI DALAM RUMAH TANGGA

MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2004 DAN HUKUM ISLAM

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga

No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum Islam

Disusun Oleh:

SRI MULYATI

21103006

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)

DAFTAR ISI

Judul ... i

Deklarasi ... ii

Nota Pembimbing ... iii

Pengesahan ... iv

Motto ... v

Persembahan ... vi

Kata Pengantar ... ...vii

Daftar Isi ... viii

BAB I PENDAHULUAN

A

Latar Belakang Masalah ... 1

B

Penegasan Istilah ... 5

C

Rumusan Masalah ... 7

D

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

E

Telaah Pustaka ... 8

F

Kerangka Teori ... 11

G

Metodologi Penelitian ... 15

H

Sistematika Pembahasan ... 17

BAB

II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA

A

Konsep Kekerasan Menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 20

1.

Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 20

2.

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 22

3.

Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya KDRT ... 29

(3)

B

Konsep Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam

... 34

1.

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 34

2.

Faktor-faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 43

3.

Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 44

BAB III PUTUSAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP

KDRT DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA

A

Gambaran Umum tentang Pengadilan Negeri Salatiga ... 46

1.

Sejarah Pengadilan Negeri Salatiga ... 46

2.

Kewenangan Pengadilan Negeri Salatiga ... 49

3.

Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Salatiga ... 52

B

Putusan Hakim Terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga di

Pengadilan Negeri Salatiga ... 53

1.

Putusan Nomor : 116/Pid.B/PN.Sal/2005 ... 53

2.

Putusan Nomor : 20/Pid.B/PN.Sal/2006 ... 63

C

Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara

Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga di Pengadilan

Negeri Salatiga ... 74

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KDRT DI

PENGADILAN NEGERI SALATIGA

A

Analisis Kekerasan dalam Rumah Tangga No.

116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No. 20/Pid.B/PN.Sal/2006 ... 78

B

Analisis Putusan dan Pertimbangan Hakim Terhadap Kekerasan

dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Salatiga ... 83

BAB V PENUTUP

A

Kesimpulan ... 89

(4)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

masyarakat, rumah tangga juga merupakan sendi dasar dalam membina dan

terwujudnya suatu negara. Indonesia sebagai negara yang berlandaskan

pancasila yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah

tangga tanpa perkawinan. Karena perkawinan tidak lain adalah permulaan dari

rumah tangga. Perkawinan merupakan aqad dengan upacara ijab qobul antara

calon suami dan istri untuk hidup bersama sebagai pertalian suci (sacral),

untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan tujuan

membentuk keluarga dalam memakmurkan bumi Allah SWT yang luas ini.

Dengan perkawinan terpeliharalah kehormatan, keturunan, kesehatan jasmani

dan rohani, jelasnya nasab seseorang.1

Ada tiga hal mengapa perkawinan itu menjadi penting. Petama:

perkawinan adalah cara untuk ikhtiyar manusia melestarikan dan

mengembangbiakan keturunanya dalam rangka melanjutkan kehidupan

manusia di muka bumi. Kedua: perkawinan menjadi cara manusia

menyalurkan hasrat seksual. Yang dimaksud di sini adalah lebih pada kondisi

terjaganya moralitas, dengan begitu perkawinan bukan semata-mata

menyalurkan kebutuhan biologis secara seenaknya, melainkan juga menjaga

alat reproduksi agar menjadi tetap sehat dan tidak disalurkan pada tempat

1

(5)

yang salah. Ketiga: perkawinan merupakan wahana rekreasi dan tempat orang

menumpahkan keresahan hati dan membebaskan diri dari kesulitan hidup

secara terbuka kepada pasanganya.2

Pada dasarnya tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal, dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa3. Dari pengertian

tersebut untuk mewujudkan keluarga yang bahagia landasan utama yang perlu

dibangun antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah adanya

hak dan kewajiban di antara keduanya.

Al-Qur’an sendiri menyebutkan tujuan perkawinan dalam Surat

Ar-Rum ayat 21:

ْﻢُﻜَﻨْﻴَﺑ

َﻞَﻌَﺟَو

ﺎَﻬْﻴَﻟِا

اْﻮُﻨُﻜْﺴَﺘِﻟ

ﺎًﺟاَوْزَأ

ْﻢُﻜِﺴُﻔْﻧَا

ْﻦِﻣ

ْﻢُﻜَﻟ

َﻖَﻠَﺧ

ْنَأ

ِﻪِﺘَﻳَأ

ْﻦِﻣَو

ًﺔَﻤْﺣَرَو

ًةﱠدَﻮَﻣ

,

َنْوُﺮﱠﻜَﻔَﺘَﻳ

ٍمْﻮَﻘِﻟ

ٍﺖَﻳَِﻷ

َﻚِﻟَذ

ْﻰِﻓ

ﱠنِإ

“Diantara tanda-tanda kebesaran Tuhan adalah bahwa dia telah menciptakan pasangan bagi kamu dari bahan yang sama agar kamu menjadi tenteram bersamanya. Dia menjadikan kamu berdua saling menjalin cinta (mawadah warohmah) pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang berfikir.” (Q.S. Al Rum: 21).4

Dalam ayat tersebut dikatakan sakinah, mawadah dan rahmah,

mempunyai arti antara lain: diam sesudah bergerak, tetap, menetap, bertempat

2

SuaraRahima, No. 14 Th. 15 April 2005, hlm. 19 3 UU RI No. 1 tahun 1974, tentang

Perkawinan, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, Cet. I, 2004, hlm. 8.

4

(6)

tinggal, tenang, dan tentram, ini menyebutkan bahwa perkawinan

dimaksudkan sebagai wahana atau tempat dimana orang-orang yang ada

didalamnya terlindungi dan dapat menjalani hidup dengan penuh kedamaian

dan aman. Dengan ketiga arti ini perkawinan merupakan ikatan yang dapat

melahirkan hubungan saling mencintai, saling menasehati, dan saling

mengharapkan satu sama lain, ungkapan al-Qur’an dengan bahasa bainakum

atau dengan kata lain satu sama lain. Tentu saja menunjukan bahwa cinta dan

kasih sayang bukan hanya dimiliki oleh salah satu pihak. Yakni suami istri

konsekuensi logisnya mereka tidak boleh saling menyakiti dan menghianati.5

Fenomena kadang berbicara lain, perkawinan yang diharapkan sakinah,

mawadah, warahmah, ternyata harus kandas ditengah jalan karena

permasalahan dalam keluarga, dan Islam menyikapi dengan memberi solusi

perceraian bagi keluarga yang memang sudah tidak dapat dipertahankan.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu permasalahan dalam

keluarga untuk mempertahankan sebuah keluarga. Kekerasan dalam rumah

tangga bisa menimpa siapa saja termasuk bapak, suami, istri, dan anak, namun

secara umum pengertian dalam KDRT di sini dipersempit artinya

penganiayaan terhadap istri oleh suami. Hal ini bisa dimengerti karena

kebanyakan korban dalam KDRT adalah istri.

Bila kita teliti lebih jauh banyak sekali keluarga yang tidak bahagia,

rumah tangga yang selalu ditiup oleh badai pertengkaran dan percekcokan.

Dengan keadaan yang semacam ini istri manapun tidak akan nyaman dalam

(7)

mejalani kehidupanya. Kasus seperti ini sangat banyak sekali terjadi dalam

masyarakat. Akan tetapi mengapa masyarakat enggan melaporkan kasusnya

pada pihak yang berwenang? Bahkan dari hasil observasi yang penulis

lakukan di Pengadilan Negeri Salatiga, selama adanya Undang-undang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga baru ada dua kasus yang

diputuskan oleh Pengadilan yang diajukan oleh istri. Hal ini disebabkan

karena dari pihak korban takut kasus dalam keluarganya diproses di

Pengadilan karena itu merupakan aib dalam keluarganya ataukah kurang

sadarnya dari pihak korban akan perlindungan hukum yang telah diberikan

oleh negara.

Majlis Hakim dalam menetapkan sebuah keputusan tidak hanya

berpedoman pada UU PKDRT saja, tetapi hakim juga mempertimbangkan

dari beberapa keterangan saksi yang berbeda-beda dalam memutuskan suatu

perkara.

Dalam dua putusan kekerasan dalam rumah tangga yang diputuskan

oleh Pengadilan Negeri Salatiga terdapat beberapa hal-hal yang meringankan

dan hal-hal yang memberatkan, yang diantara keduanya juga berbeda, putusan

No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 yang diajukan pada tanggal: 21 Desember 2005

dan diputus pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2006 terdapat hal-hal yang

memberatkan diantaranya Terdakwa main hakim sendiri dan Terdakwa

sebagai suami tidak melindungi istri. Sedangkan hal-hal yang meringankan

Terdakwa mengaku bersalah dan minta maaf pada istrinya, Terdakwa dan

(8)

Pengadilan, dan belum pernah dihukum. Sedangkan dalam putusan No:

20/Pid.B/PN.Sal/2006 yang diajukan pada 5 April 2006 dan diputus pada hari

Senin Tanggal 5 Juni 2006, terdapat hal-hal yang memberatkan yaitu

Terdakwa main hakim sendiri, Terdakwa sebagai suami tidak melindungi, dan

Terdakwa tidak minta maaf pada korban, sedangkan hal-hal yang

meringankan yaitu Terdakwa belum pernah dihukum, dan terdakwa mengaku

bersalah dan menyesalinya. Akan tetapi putusan yang dijatuhkan dalam

perkara tersebut sangatlah jauh perbedaanya, untuk putusan No:

116/Pid.B/PN.Sal/2005 dijatuhkan pidana 1 tahun dengan masa percobaan 2

tahun serta dibebankan biaya sebesar 1000 rupiah, sedangkan putusan No:

20/Pid.B/PN.Sal/2006 dijatuhkan pidana 6 bulan dan harus dijalani serta di

bebankan biaya sebesar 500 rupiah.

Dari paparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan menelitian

terhadap putusan-putusan hakim mengenai “KEKERASAN TERHADAP

ISTRI DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan Pengadilan Negeri

Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006)”.

B. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan pembahasan mengenai judul skripsi ini, terlebih

dahulu penulis akan mengemukakan arti istilah yang terkandung dalam judul

tersebut, sehingga tidak akan terjadi kerancauan pemahaman mengenai judul

(9)

TANGGA” (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No.

116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006).

1. Kekerasan : Serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun

integritas mental psikologis seseorang.6

2. Istri : Wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang

bersuami7

3. Rumah Tangga : Sering juga disebut dengan keluarga yang berasal dari

bahasa sansekerta, yakni kula yang berarti famili dan

warga yang berarti anggota. Jadi, keluarga adalah

anggota famili yang dalam hal ini adalah terdiri dari

ibu (istri), bapak (suami), dan anak.8

4. Studi : Pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan.9

5. Putusan : Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan

dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum.10

6. PN Salatiga : Pengadilan tingkat pertama bagi perkara perdata

maupun pidana, Pengadilan Negeri dibentuk oleh

6

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 17.

7

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 341.

8

Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, Lembaga Kajian Agama dan Gender, Jakarta, Cet. I, 1999, hlm. 2.

9 W.J.S. Poerwadarminta,

Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm. 965.

10

(10)

Menteri Kehakiman Agung. Daerah hukumnya

meliputi satu daerah tingkat dua.11

C. Rumusan Masalah

Dari beberapa permasalahan tersebut, dapat ditarik beberapa rumusan

masalah yang merupakan central pembahasan ini:

1. Bagaimana konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut

Undang-undang No. 23 tahun 2004 dan fiqh?

2. Bagaimana putusan hakim dalam perkara kekerasan terhadap istri dalam

rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.?

3. Bagaimana petimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara kekerasan

terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga ditinjau

dari UU No. 23 tahun 2004 dan hukum Islam?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut

peraturan perundang-undangan dan (fiqh)

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara

kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri

Salatiga.

(11)

3. Untuk mengetahui putusan hakim mengenai perkara kekerasan terhadap

istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

Adapun kegunaan dari penyusunan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk

menambah wawasan dan pengetahuan di bidang hukum khususnya

pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kekerasan

terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

2. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana

dalam bidang Hukum Islam (syari’ah)

E. Telaah Pustaka

Kekerasan dalam sebuah rumah tangga akan dianggap tabu

dipublikasikan atau diceritakan kepada orang lain, wajar jika kemudian

masalah-masalah KDRT jarang sekali yang muncul ke muka persidangan.

Farha Ciciek dalam bukunya Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam

Rumah Tangga Belajar dari Kehidupan Rasulullah SAW. Mengemukakan

panjang lebar tentang kekerasan domestik yang menimpa kaum perempuan.

Dalam bahasanya yang singkat dan padat, dia menulis latar belakang dan

segala sesuatu yang menyangkut masalah kekerasan dalam rumah tangga. Dia

juga menyebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah salah

satu permasalahan yang menjadi tanggung jawab masyarakat dan

(12)

menanggulanginya. Akan tetapi tidak menulis tentang bagaimana bentuk

perlindungan yang diberikan oleh negara melalui Undang-undang No. 23

tahun 2004 dan pandangan hukum Islam mengenai kekerasan.

Faqihuddin Abdul Kodir dkk dalam bukunya Fiqh Anti Trafiking

(Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam

Perspektif Hukum Islam) menjelaskan pandangan keagamaan yang timbul dari

teks-teks al Quran, Hadits Nabi, dan pendapat para Ulama’ mengenai berbagai

persoalan menyangkut trafiking seperti persoalan buruh migran, penjualan

organ tubuh, penjualan bayi, aborsi korban perkosaan dan bentuk-bentuk

kekerasaan lain yang berbasis gender termasuk juga KDRT. Jawaban yang

diberikan dalam buku tersebut tidak hanya terhenti pada penguatan etis moral

dalam al Quran dan Hadits tetapi juga dikaitkan dengan potensi yuridis formal

dari Undang-undang yang berlaku.

Sebenarnya sudah banyak peneliti yang mengkaji tentang kekerasan

dalam rumah tangga seperti halnya Perlindungan Hukum Terhadap

Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT

(Studi Kasus di Polres Salatiga tahun 2004-2006), Kekerasan Terhadap Istri

Sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun

1999-2001), dan Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga (Studi

Komparatif Terhadap Hukum Islam dengan UU No. 23 tahun 2004).

Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan dalam

Rumah Tangga Menurut UU KDRT (Studi Kasus di Polres Salatiga tahun

(13)

ini diuraikan bentuk perlindungan Polres Salatiga terhadap korban kekerasan

diantaranya yaitu:

a. Menerima laporan atau pengaduan;

b. Penyidikan terhadap pelaku tindak pidana;

c. Membuatkan surat keterangan atau pengantar untuk visum ke RSU

sebagai bukti;

d. Mengamankan korban jika ada ancaman dari pelaku kekerasan;

e. Menerima konseling untuk menguatkan korban;

f. Melakukan penangkapan terhadap tersangka.12

Kekerasan Terhadap Istri Sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus di

Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001) merupakan skripsi yang

dibahas oleh Siti Nakiyah yang secara spesifik tidak ada kasus perceraian yang

dikarenakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga. Sebetulnya ada

perceraian yang dikarenakan tindak kekerasan dalam rumah tangga, akan

tetapi setelah perkara dibawa kemuka Pengadilan kontek kekerasan dimasukan

dalam koridor hukum yang lain, misalnya perceraian itu karena tidak ada

keharmonisan, ada pihak ketiga, penelantaran, penganiayaan, cemburu, krisis

akhlak dan sebagainya.13

Sedangkan Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga (Studi

Komparatif Terhadap Hukum Islam dengan UU No. 23 tahun 2004) yang

12

Eni Kusrini, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga MenurutUU KDRT (Studi Kasus di Polres Salatiga), Skripsi untuk memperoleh gelar S-1 pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2006, hlm. 52.

(14)

diteliti oleh Fithri Awwalin menjelaskan tentang Hukum Islam serta UU No.

23 tahun 2004 dalam memandang hukum yang terjadi dalam rumah tangga

yang meliputi bentuk-bentuk kekerasan dilihat dari perspektif Islam dan UU

No. 23 tahun 2004, dan akibat hukum dari tindak kekerasan yang dilakukan

serta permasalahan lainya yang menyangkut KDRT dalam perspektif lainya.14

Dari paparan di atas maka penulis berupaya untuk seobyektif mungkin

menampilkan pembahasan yang berbeda dalam meneliti dan menganalisa

putusan yang masih berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga dengan

mengambil judul “KEKERASAN TERHADAP ISTRI DALAM RUMAH

TANGGA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No.

116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No. 20/Pid.B/PN.Sal/2006)”.

F. Kerangka Teori

Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan ini

adalah salah satu bentuk ketidak adilan gender yang biasa terjadi. Kekerasan

terhadap perempuan merupakan tindakan yang merugikan perempuan baik

secara fisik dan nonfisik. Kebanyakan orang memahami kekerasan itu hanya

sebagai tindakan fisik yang kasar saja, sehubungan bentuk perilaku menekan

tidak pernah diperhitungkan sebagai kekerasan. Padahal yang disebut dengan

(15)

kekerasan itu mencakup keseluruhanya15, termasuk kekerasan fisik, psikis,

seksual atau penelantaran rumah tangga.

Kebanyakan orang beranggapan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh

suami adalah kekhilafan sesaat dan tidak banyak para pihak yang menyadari

bahwa kekerasan terhadap rumah tangga itu merupakan suatu perilaku yang

berulang, dan yang menjadi permasalahan di sini, banyak korban yang takut

melaporkan kekerasan tersebut kepada pihak-pihak yang berwenang.

Di dalam rumah tangga, konflik merupakan hal yang biasa, perselisihan

pendapat, perdebatan, pertengkaran, tapi semua itu tidak serta merta disebut

sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah

setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau

penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,

rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang16.

Undang-undang ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk

mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku

Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan melindungi korban Kekerasan dalam

Rumah Tangga. Undang-undang PKDRT ini juga tidak bertujuan untuk

15“Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”

, Peket Informasi, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Jogyakarta, t.t, hlm 2.

16

(16)

mendorong perceraian, sebagaimana sering dituduhkan orang. Undang-undang

PKDRT ini justru bertujuan untuk memelihara keutuhan Rumah Tangga yang

benar-benar harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk

kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku Kekerasan

dalam Rumah Tangga.

Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung persoalan kekerasan terhadap

perempuan menyangkut kekerasan fisik. Al-Qur’an berbicara mengenai

pemukulan suami yang nunyuz hal ini dijelaskan dalam Q.S. An Nisa’ ayat 34.

ﺎ َﻤِﺑَو

ٍﺾ ْﻌَﺑ

ﻰ َﻠَﻋ

ْﻢُﻬَﻀ ْﻌَﺑ

ُﷲا

َﻞﱠﻀ َﻓﺎَﻤِﺑ

ِءﺎَﺴ ﱢﻨﻟا

ﻰ َﻠَﻋ

َنْﻮ ُﻣاﱠﻮَﻗ

ُلﺎ َﺟﱢﺮﻟا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka ( laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah taat kepada Allah lagi memelihara diri. Ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Q.S. Surat an Nisa’Ayat 34).17

Surat An-Nisa ayat 34 di atas merupakan salah satu ayat yang

membahas kelebihan derajat pria dari wanita dalam hal kepemimpinan. Jadi

kemudian beranggapan bahwa dengan dasar tersebut, kaum laki-laki berhak

berbuat seenak hati terhadap kaum wanita. Sebab sebuah himbauan yang

17

(17)

tersurat maupun tersirat dalam ayat itu adalah bahwa kaum pria harus menjadi

pemimpin bagi kaum wanita dengan memberikan perlindungan dan

pemeliharaan terhadap mereka bukanya untuk menguasai ataupun

memenopoli.18

Di antara tugas kaum laki-laki adalah melindungi kaum perempuan. Ini

sebabnya mengapa hanya diwajibkan kepada laki-laki, tidak kepada

perempuan, begitu juga menafkahi keluarga. Inilah yang lebih banyak dalam

harta warisan, tetapi di luar hak-hak yang disebutkan (hak mengendalikan,

menuntut dan memimpin) maka dalam masalah hak ataupun kewajiban adalah

sama.19

Ayat ini sebagai landasan bahwa kaum laki-laki berkewajiban

memelihara dan menjaga perempuan karena laki-laki diberi kelabihan jasmani,

ayat ini juga sebagai pijakan bagi suami untuk membari pendidikan kepada

istri mereka yang membangkang dengan cara menasehati. Dan jika dengan

nasehat dia masih membangkang maka pukulah mereka. Akan tetapi pukulan

itu tidak boleh terlalu menyakitkan dan melukai.

Selain al Qur’an yang jelas sudah melarang tindakan kekerasan juga ada

hadits yang menjelaskan tentang larangan ini.

ﻦﺑ

ﺰﻳﺰﻌﻟا

ﺪﺒﻋ

ﻦﻋ

ﻰﺴﻟﺎﻴﻄﻟا

دواد

ﻮﺑأ

ﺎﻧﺮﺒﺧأ

ىﺮﺒﻨﻌﻟا

سﺎﺒﻋ

ﺎﻨﺛﺪﺣ

Salim Bahreisy, Tafsir Ibnu Kasir, Jilid II, PT, Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm. 387. 19

(18)

ﻦﺴﺣ

ﺚﻴﺣ

اﺬه

ةﺮﻳﺮه

ﻰﺑأو

ﻰﺳﻮﻣ

ﻰﺑأو

ﺔﺸﺋﺎﻋو

ﺮﻤﻋ

ﻦﺑ

ﷲا

ﺪﺒﻋ

ا

ﺚﻳﺪﺣ

ﻦﻣ

ﺐﻳﺮﻏ

ﺮﻤﻋ

ﻦﺑ

.

Abbas Al- Anbari menceritakan kepada kami, Abu Dawud Ath Thayalisi memberitahukan kepada kami dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Abi Salamah dari Abdillah bin Dinar dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW bersabda: “perbuatan aniaya adalah merupakan kegelapan-kegelapan di hari qiyamat” dalam bab ini terdapat dari Badillah bin Umar bin Amir, Aisyah, Musa dan Abu Hurairah. Hadis ini adalah hadis hasan gharib dari hadis ibnu umar.20

Demikianlah seharusnya hubungan suami istri dalam rumah tangga

Islam, namun dalam kenyataan pasangan suami istri itu kadang-kadang lupa

menerapkan petunjuk-petunjuk Allah tersebut, dan tergelincir dalam

pertengkaran di antara mereka dan terjadilah apa yang tidak dikehendaki serta

yang paling dibenci Allah SWT yaitu putusnya hubungan pernikahan.

G. Metode Penelitian

Untuk memperolah data yang akurat penulis menggunakan Metode

penelitian yang diantaranyan adalah:

1. Pengumpulan Data

a. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan

dan pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap

fenomena-fenomena yang diselidiki21;

b. Wawancara yaitu:“Sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

(interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(interviewer)”22;

20 Muh Zuhri Dipl. Talf dkk,

Tarjamah Sunan at-Tirmidzi, Jilid III, CV. Asy Syifa, Semarang, tt, hal. 533.

21

(19)

c. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal yang variable yang

berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, agenda dan sebagainya.23 Dokumentasi yang dimaksud di sini

adalah mengambil sejumlah data mengenai putusan kekerasan terhadap

istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga yaitu putusan

Nomor 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan Nomor 20/Pid.B/PN.Sal/2006.

d. Studi Pustaka yaitu penelitian yang mengambil data dari bahan-bahan

tertulis (khususnya berupa teori-teori).24

e. Subyek Penelitian dalam mengumpulkan data Penulis wawancara

dengan Hakim Pengadilan Negeri Salatiga yaitu Edi Pengaribuan,

SH.MH., Viktor Togi Rumahorbo, SH.MH., Hariyadi, SH. Dan

Sutiyono, SH. untuk memberikan informasi khususnya berupa

pertimbangan dan dasar putusan Hakim mengenai kasus kekerasan

dalam rumah tangga.

2. Metode Analisis data

Analisis data yaitu analisis pada teknik pengolahan datanya dan

melakukan uraian dan penafsiran pada suatu dokumen.25 Analisis yang

dimaksud disini adalah menganalisis informasi yang menitik beratkan

pada penelitian dokumen, menganalisis peraturan dan putusan-putusan

hakim. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan:

22

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktrek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm.145.

23

Ibid, hlm. 236. 24 Tatang M. Amirin

, Menyusun Rencana Penelitian, Rajawali, Jakarta, Cet. III, 1990, hlm. 135.

25

(20)

a. Pendekatan Analisis (Analicical Appoach) yaitu mengetahui makna

yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan

perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui

penerapanya dalam praktik dan putusan-putusan hukum26.

b. Pendekatan kasus yaitu mempelajari pendekatan norma-norma atau

kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum27. Terutama

mengenai kasus-kasus yang telah diputus yang dapat dilihat dalam

yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.

H. Sistematika Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belekang Masalah

B. Penegasan Istilah

C. Rumusan Masalah

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

E. Telaah Pustaka

F. Kerangka Teori

G. Metodologi Penelitian

H. Sistematika Pembahasan

26

(21)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA

A. Konsep Kekerasan Menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya KDRT

4. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

B. Konsep Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Hukum

Islam

1. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

2. Faktor-faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga

3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB III PUTUSAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP KDRT

DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA

A. Gambaran Umum tentang Pengadilan Negeri Salatiga. 1. Sejarah Pengadilan Negeri Salatiga

2. Kewenangan Pengadilan Negeri Salatiga.

3. Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Salatiga

B. Putusan Hakim Terhadap Kekerasan DALAM Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

1. Putusan Nomor : 116/Pid.B/PN.Sal/2005.

(22)

C. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KDRT DI

PENGADILAN NEGERI SALATIGA

A. Analisis Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No. 20/Pid.B/PN.Sal/2006.

B. Analisis Putusan dan Pertimbangan Hakim Terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

BAB V PENUTUP

(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMA TANGGA A. Konsep Kekerasan Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan terhadap wanita telah tumbuh sejalan dengan

pertumbuhan kebudayaan manusia. Namun hal tersebut baru menjadi

perhatian dunia internasional sejak 1975.

Kekerasan terhadap perempuan menurut perserikatan bangsa-bangsa

dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan pasal 1

kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan

yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa

sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik, seksual,

psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan, baik yang

terjadi di area publik atau domestik28.

Menurut Herkutanto, kekerasan terhadap perempuan adalah

tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat

merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikis.

Hal penting lainnya ialah bahwa suatu kejadian yang bersifat

kebetulan (eccidental) tidak dikategorikan sebagai kekerasan walaupun

menimbulkan kerugian pada perempuan.

28

(24)

Pengertian di atas tidak menunjukkan bahwa pelaku kekerasan

terhadap perempuan hanya kaum pria saja, sehingga kaum perempuanpun

dapat dikategorikan sebagai pelaku kekerasan29.

Kekerasa dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan terhadap

istri, merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat.

Berbagai penemuan penelitian masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak

berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya saja, rentetan

penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan

selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita30.

Menurut Mansour Fakih, Kekerasan adalah serangan atau invasi

terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang31.

Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya terhadap istri

sering didapati, bahkan tidak sedikit jumlahnya. Dari banyaknya kekerasan

yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara adil, hal ini

terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa

kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah

tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak

layak di konsumsi oleh publik.

Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah

29

Herkutanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku

Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, PT. Alumni, Bandung, 2000, hlm. 267-268. 30

Ciciek Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga belajar dari kehidupan Rasulullah SAW , PT. Lembaga Kajian Agama dan Jender, Jakarta, Cet. I, Desember 1999, hlm. 22

31

(25)

setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi,

atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang

mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis

berat pada seseorang32.

Dua tahun setelah diterbitkanya UU No 23 tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), jumlah kasus

kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi. LBH Asosiasi

Perempuan Indonesia untuk keadilan (APIK) Semarang mencatat

sepanjang Januari – Juni 2007 terjadi 44 kasus kekerasan dalam rumah

tangga.

Akan tetapi dari 44 kasus itu hanya sembilan korban yang

menempuh upaya hukum. Lima korban lapor ke Polisi, tiga korban

mengajukan gugatan cerai, dan seorang melapor kepada instansi dimana

pelaku bekerja.33

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Istri A. Bentuk-bentuk Kekeraan Terhadap Istri

Bentuk-bentuk kekeraan terhadap istri dapat berupa fisik, atau

psikis, hal ini dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan)

atau pasif (menelantarkan) dan pelanggaran seksual.

32

UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pustaka fokusmedia, Bandung, Cet. II, Desember, 2006, hlm. 5

33

(26)

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan menurut

undang-undang PKDRT untuk lebih jelasnya penulis akan mencantumkan

pasal demi pasal yang tertuang dalam pasal 5-9.

Pasal 5.

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga

terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik

b. Kerasan psikis

c. Kekerasan seksual, atau

d. Penelantaran rumah tangga”

Pasal 6

“Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah

perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”

Pasal 7

“Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah

perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,

hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau

penderitaan psikis berat pada seseorang.

Pasal 8

“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c

meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang

(27)

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan

komersial dan/atau tujuan tertentu”

Pasal 9

(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau

karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,

perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi

setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan

cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di

dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali

orang tersebut.34

B. Ketentuan Pidananya diatur dalam Pasal 44 sampai dengan pasal 53.

Pasal 44

(1) Setiap orang yang malakukan perbuatan kekerasan fisik dalam

lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf

a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

denda paling banyak Rp 15. 000.000,00 (lima belas juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

34

(28)

atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta

rupiah)

(3) Dalam Hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp

45.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)

(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan

penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau

mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling

banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)

Pasal 45

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam

lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf b

dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda

paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)

(2) Dalam hal perbuatan sebagimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan

jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana

penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp

(29)

Pasal 46

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual

sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf a dipidana penjara paling

lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00

(tiga puluh enam juta rupiah)”

Pasal 47

“Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah

tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 huruf b dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling

sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling

banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”

Pasal 48

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksdud dalam Pasal 46 dan

Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi

harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir

atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus

menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya

janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat

reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)

tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta

(30)

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda

paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang

yang:

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya

sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1).

b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2)

Pasal 50

Selain dipidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat

menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan

pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun

pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku

b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah

pengawasan lembaga tertentu

Pasal 51

“Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44

ayat (4) merupakan delik aduan”.

Pasal 52

“Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal

46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya

(31)

Pasal 53

“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal

46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya

merupakan delik aduan”35.

Kekerasan dalam Rumah Tangga bukanlah persoalan domestik

(privat) yang tidak boleh diketahui orang lain. KDRT merupakan

pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. UU ini

merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku KDRT, dan melindungi

korban KDRT

Undang-undang ini juga tidak bertujuan untuk mendorong

perceraian, sebagaimana sering dituduhkan orang. UU PKDRT ini justru

bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang (benar-benar)

harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk kekerasan

sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam

rumah tangga.

Menurut Harkutanto bentuk-bentuk kekerasan dapat berupa

Kekerasan Psikis, bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya

karena sensifitas emosi seseorang sangat berfariasi. Dalam suatu rumah

tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada

istri agar terpenuhi kebutuhan emosionalnya. Hal ini penting untuk

35

(32)

perkembangan jiwa seseorang identifikasi yang timbul pada kekerasan

psikis lebih sulit diukur dari pada kekerasan fisik.

Kekerasan Fisik, bila didapati perlakuan bukan karena kecelakaan

pada perempuan. Perlakuan itu dapat diakibatkan oleh suatu episode

kekerasan yang tunggal atau berulang, dari yang ringan hingga yang fatal.

Penelantaran perempuan, penelantaran adalah kelalaian dalam

memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki

ketergantungan pada pihak lain khususnya pada lingkungan rumah tangga.

Pelanggaran seksual, setiap aktifitas seksual yang dilakukan oleh

orang dewasa atau perempuan. Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan

dengan pemaksaan atau dengan tanpa pemaksaan. Pelanggaran seksual

dengan unsur pemaksaan akan mengakibatkan perlukaan yang berkaitan

dengan trauma yang dalam bagi perempuan36.

3. Faktor Terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan

Secara garis besar faktor-faktor yang menjadikan kekerasan dalam

rumah tangga dapat dirumuskan menjadi dua, yakni faktor eksternal dan

faktor internal. Faktor ekternal ini berkaitan erat hubunganya dengan

kekuasaan suami dan diskriminasi dikalangan masyarakat. Di antaranya:

a. Budaya patriarkhi yang menempatkan pada posisi laki-laki dianggap

lebih unggul dari pada perempuan dan berlaku tanpa perubahan,

seolah-olah itulah kodrati.

(33)

b. Interpretasi agama, yang tidak sesuai dengan universal agama,

misalnya seperti Nusyuz, yakni suami boleh memukul istri dengan

alasan mendidik atau istri tidak mau melayani kebutuhan seksual

suami, maka suami berhak memukul dan istri dilaknat malaikat.

c. Kekerasan berlangsung justru tumpang tindih dengan legitimasi dan

menjadi bagian dari budaya, keluarga, negara dan praktik di

masyarakat sehingga menjadi bagian kehidupan.

Faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam

rumah tangga antara lain:

a. Labelisasi perempuan dengan kondisi fisik yang lemah cenderung

menjadi anggapan objek pelaku kekerasan sehingga pengkondisian

lemah ini dianggap sebagai pihak yang kalah dan dikalahkan. Hal ini

sering kali dimanfaatkan laki-laki untuk mendiskriminasikan

perempuan sehingga perempuan tidak dilibatkan dalam berbagai peran

strategis. Akibat dari labeling ini, sering kali laki-laki memanfaatkan

kekuatannya untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan baik

secara fisik, psikis, maupun seksual.

b. Kekuasaan yang berlindung dibawah kekuatan jabatan juga menjadi

sarana untuk melakukan kekerasan. Jika hakekat kekuasaan

sesungguhnya merupakan kewajiban untuk mengatur, bertanggung

jawab dan melindungi pihak yang lemah, namun sering kali

kebalikannya bahwa dengan sarana kekuasaan yang legitimate,

(34)

bawahannya. Dalam kontek ini misalnya negara terhadap rakyat dalam

berbagai bentuk kebijakan yang tidak sensitif pada kebutuhan rakyat

kecil.

c. Sistem Ekonomi kapitalis juga menjadi sebab terjadinya kekerasan

terhadap perempuan. Dalam sistem ekonomi kapitalis dengan prinsip

ekonomi cara mengeluarkan modal sedikit untuk mencapai keuntungan

sebanyak-banyaknya, maka memanfaatkan perempuan sebagai alat dan

tujuan ekonomi akan menciptakan pola eksploitasi terhadap

perempuan dan berbagai perangkat tubuhnya. Oleh karena itu

perempuan menjadi komoditas yang dapat diberi gaji rendah atau

murah37.

Sedangkan faktor internal timbulnya kekerasan terhadap istri adalah

kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan

yaitu: a) sakit mental, b) pecandu alkohol, c) penerimaan masyarakat

terhadap kekerasan, d) kurangnya komunikasi, e) penyelewengan seks, f)

citra diri yang rendah, g), frustasi, h) perubahan situasi dan kondisi, i)

kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah (pola

kebiasaan keturunan dari keluarga atau orang tua)38

Salah satu indikasi permasalahan sosial yang berdampak negatif

pada keluarga adalah kekerasan yang terjadi dalam lembaga keluarga,

hampir semua bentuk kekerasan dalam keluarga oleh laki-laki misalnya

37

Mufidah et al, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula Untuk Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, PT. PSG dan Pilar Media, 2006, hlm. 8-10.

38

(35)

pemukulan terhadap istri pemerkosaan dalam keluarga dan lain sebagainya

semua itu jarang menjadi bahan pemberitaan masyarakat karena dianggap

tidak ada masalah, sesuatu yang tabu atau tidak pantas dibicarakan korban,

dari berbagai bentuk kekerasan yang umumnya adalah perempuan lebih

khususnya lagi adalah istri cenderung diam karena merasa sia-sia. Para

korban biasanya malu bahkan tidak berani menceritakan keadaanya

kepada orang lain

4. Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan

Dampak kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan

akibat secara kejiwaan seperti kecemasan, murung, setres, minder,

kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri dan

sebagainya. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik,

ganggungan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit

menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian.

Dampak psikologis lainya akibat kekerasan yang berulang dan

dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban

adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat diri

negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk

gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan

kemarahan yang tidak dapat diungkapkan39.

Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas

pada istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa

39

Kristi Poerwandari, Kekerasan Terdahap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam buku

(36)

mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan

akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak

setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang

didalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian

besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional

maupun seksual.

Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak

menganiaya istrinya. Bahkan banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa

anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan

perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina

pasangannya.

Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat

traumatis bagi anak-anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan

tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya sebagian

berusaha menghetikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang

lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang

sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak

bisa membantu ibunya yang diperlakan kejam.

Selain terjadi dampak pada istri, bisa juga kekerasan yang terjadi

dalam rumah tangga dialami oleh anak. Diantara ciri-ciri anak yang

menyaksikan atau mengalami KDRT adalah:

a. Sering gugup

(37)

c. Cemas

d. Sering ngompol

e. Gelisah

f. Gagap

g. Sering menderita gangguan perut

h. Sakit kepala dan asma

i. Kejam pada binatang

j. Ketika bermain meniru bahasa dan prilaku kejam

k. Suka memukul teman40.

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan pelajaran pada anak

bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar

dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan

adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk

menyelesaikan persoalan anak sesuatu yang biasa dan baik-baik saja.

KDRT memberikan pelajaran pada anak laki-laki untuk tidak

menghormati kaum perempuan.

B. Konsep Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam. 1. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan menurut hukum Islam ini paling sulit dideteksi karena

umumya terjadi di lingkungan domestik yang mencakup hubungan

perkawinan seperti poligami, kekerasan seksual, wali mujbir, belanja

keluarga (ekonomi) talak, dan lain sebagainya.

40

(38)

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam memang tidak mencakup

seluruh persoalan kekerasan terhadap perempuan, namun banyaknya ayat

yang berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan sudah cukup

menjadi bukti bahwa Islam sangat memberi perhatian terhadap kekerasan

dalam rumah tangga.

Adapun kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga perspektif

hukum Islam sebagai berikut:

1. Kekerasan Fisik

Al-Qur’an dan hadits diyakini semua umat Islam sebagai sumber

acuan utama dalam semua tindakan. Kedua sumber tersebut dipelajari

dan dikaji di lembaga pendidikan dan lapisan masyarakat, sehingga

lumrah jika terjadi banyak penafsiran.

Al-Qur’an memberi perhatian bagi istri yang Nusyuz hal ini

dijadikan dasar pemikiran Surat an-Nisa’ ayat 34. Dalam ayat ini yang

dijadikan dasar memberi pelajaran bagi istri yang Nusyuz yaitu

terdapat pada ayat

...

ْﻲِﻓ

ﱠﻦُهْوُﺮُﺠْهاَو

ﱠﻦُهﻮُﻈِﻌَﻓ

ﱠﻦُهَزْﻮُﺸُﻧ

َنْﻮُﻓﺎْﺨَﺗ

ْﻲِﺗﱠﻼﻟاَو

ﱠﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ

اْﻮُﻐْﺒَﺗَﻼَﻓ

ْﻢُﻜَﻨْﻌَﻃَا

نِﺎّﻓ

ﱠﻦُهْﻮُﺑِﺮْﺿاَو

ِﻊِﺟﺎَﻀَﻤﻟا

ﻼْﻴِﺒَﺳ

...

ً

“wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya”.

Dalam tafsif al Azhar dijelaskan tindakan-tindakan yang patut

(39)

ajarilah mereka” beri mereka petunjuk dan pengajaran, ajarilah

mereka dengan baik, sadarkan mereka akan kesalahanya. Suami

hendaklah menunjukan pimpinan yang tegas dan bijaksana, cara yang

kedua yaitu dengan cara “pisahkanlah mereka dari tempat tidur’

kerapkali istri menjadi hilang kesombonganya karena pengajaran

demikian. Tetapi ada pula perempuan yang harus dihadapi dengan cara

yang lebih kasar, maka pakailah cara yang ketiga “dan pukulah

mereka” tentu saja cara yang ketiga ini hanya dilakukan kepada

perempuan yang sudah memang patut dipukul41. Dari pemahaman

surat an Nisa’ inilah banyak suami yang melakukan kekerasan

terhadap istri dalam segala bentuknya.

Sebagian Ulama’ menafsirkan al-Qur’an tentang pemukulan ini,

pertama, pemukulan tidak boleh di arahkan ke wajah, kedua,

pemukulan tidak boleh sampai melukai, dianjurkan dengan benda yang

paling ringan, seperti sapu tangan. Ketiga pemukulan dilakukan dalam

rangka mendidik. Keempat, pemukulan dilakukan dalam rangka

sepanjang memberikan efek manfaat bagi keutuhan dan keharmonisan

kembali relasi suami istri42.

Nabi Muhammad melarang seseorang melakukan kekejaman

dan penyiksaan. Beliau bersabda, “ tidak seorangpun boleh di jatuhi

hukuman dengan api” dan juga memperingatkan agar tidak memukul

siapapun pada wajahnya. Dalam hukum pidana, beberapa hukuman

41

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz V, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983. hlm. 48-49. 42

Husen Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, LKiS,

(40)

mungkin terlihat berat atau bahkan keras. Hukuman berat di ancam

bagi beberapa kejahatan seperti perzinaan. Islam memandang

kejahatan tersebut adalah perbuatan yang keji dan konsekuensinya

sangat menyakitkan. Contoh lainnya adalah pencurian yang

dikategorikan dalam hukuman hudud, Hukuman bagi kejahatan ini

adalah potong tangan.43

2. Kekerasan Psikis

Selain kekerasan fisik Islam juga memperhatikan kekerasan

psikis, sebagaimana kisah Khaulah binti Tsalabah mengadu kepada

Rasulullah karena selalu dicaci maki oleh suaminya Aus bin Samit,

Khaulah seorang muslimah yang taat beribadah dan taat pada suami.

Sehingga walaupun dicaci ia tetap bersabar, tetapi pada suatu hari

hilanglah kesabaranya karena dizhihar suaminya, lantaran marah

hanya karena pulang tidak ada makanan. Malam harinya Khaulah

menolak dicampuri suaminya. Peristiwa ini diajukan pada Rasulullah

lalu turunlah surat al Mujadalah ayat 1-6 tentang zhihar ayat ini

mengandung makna agar para suami tidak mudah menzhihar

istrinya44.

Ada sebuah hadits yang menjelaskan apabila seseorang telah

mengilla’ istrinya, mereka harus membayar kafarah ketika ia akan

mengauli istrinya.

43

(41)

ْﺖَﻟﺎَﻗ

ﺎَﻬْﻨَﻋ

ُﷲا

َﻰِﺿَر

َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ

ْﻦَﻋ

Artinya: dari Aisyah ra. Mengatakan “Rasulullah saw bersumpah illa’ terhadap istri-istrinya dan mengharamkan mereka, kemudian menjadikan yang haram menjadi halal dan menyebar kafarah tebusan sumpahnya”. (HR. Tirmidzi)

Dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa illa’ itu merupakan

sumpah untuk suami terhadap istrinya untuk tidak menggauli istrinya

hingga waktu yang ditentukan.

Para ulama sepakat ketika suami mengilla’ istrinya selama 4

bulan berturut-turut maka tidak boleh menjima’nya. Suami ketika akan

menjima’ istrinya lagi ia harus membayar kifarat yaitu memerdekakan

budak jika ada. Apabila tidak menemukan budak, maka puasa dua

bulan berturut-turut, apabila tidak mampu, maka memberi makan 60

orang miskin.45

Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukan bahwa antara

perempuan dan laki-laki itu sama atau setara misalnya tentang

kesempatan mendapatkan pahala, hubungan perempuan dengan

laki-laki dan juga kerabatnya. Dalam hal kepemilihan, Islam memberi hak

bagi perempuan untuk memilih jodoh. Semula hak itu ditentukan oleh

wali, setelah Islam datang tuntutan Islam anak gadis yang akan

dinikahkan, diajak bicara dan ikut menentukan pilihanya.

3. Kekerasan Seksual

45

(42)

Yang dimaksud kekerasan ini adalah pemaksaan aktivitas

seksual oleh satu pihak terhadap pihak lain; suami terhadap istri, atau

sebaliknya yang biasa disebut dengan marital rape, akan tetapi

pemahaman ini lebih dipahami berbagai kalangan marital rape adalah

istri yang beroleh tindak kekerasan seksual suami dalam sebuah

perkawinan atau rumah tangga. Dengan demikian marital rape

merupakan tindak kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh

suami terhadap istri untuk melakukan aktifitas seksual tanpa

pertimbangan kondisi istri46.

Berdasarkan pada beberapa pengertian marital rape di atas,

dapat dirumuskan bentuk-bentuk marital rape sebagai berikut: (1)

Hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidak siapan

istri dalam bentuk fisik dan psikis. (2) Hubungan seksual yang tidak

dikehendaki istri misalnya dengan oral atau anal .(3) Hubungan

seksual disertai ancaman kekerasan atau dengan kekerasan yang

mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat47.

Terkait dengan masalah seksualitas suami istri, ada beberapa

statemen al-Qur’an yang bisa dikemukakan diantaranya dalam surat al

Baqarah ayat 187 yaitu:

...

ﻦﻬﻟ

سﺎﺒﻟ

ﻢﺘﻧاو

ﻢﻜﻟ

سﺎﺒﻟ

ﻦه

...

“Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”

46

(43)

Ayat lain juga menyatakan bahwa suami harus menggauli

istrinya dengan ma’ruf ini tentunya tidak diperbolehkan adanya

kekerasan baik pemukulan, penganiayaan dan lain sebagainya.

Al Syirazi mengatakan meskipun pada dasarnya istri wajib

melayani permintaan suami, akan tetapi jika memang tidak terangsang

untuk melayaninya, ia boleh menawarnya atau menangguhkannya, dan

bagi istri yang sedang sakit atau tidak enak badan, maka tidak wajib

baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang. Jika

suami tetap memaksa pada hakekatnya ia telah melanggar prinsip

muasyaroh bil ma’ruf dengan berbuat aniaya kepada pihak yang justru

seharusnya ia lindungi.48

Ulama’ Madzhab memandang ‘azl (coitus interruptus) yakni

menarik dzakar (penis) keluar dari farji (vagina) pada saat-saat mau

keluar mani. Tiga dari empat madzhab yaitu: Imam Hanafi, Imam

Maliki, dan Hambali sepakat bahwa ‘azl tidak boleh dilakukan begitu

saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak

kenikmatan istri. Umar berkata:

ﺎَﻬِﻧْذِﺈِﺑ

ﱠﻻِإ

ِةَأْﺮَﻤﻟْا

ِﻦَﻋ

َلِﺰْﻌَﻳ

ْنَا

ﷲا

ُلْﻮُﺳَر

ﻰَﻬَﻧ

.

Rasulullah melarang seseorang malakukan ‘azl tanpa seizin istrinya. (HR. Ibnu Majah)

Sejalan dengan prinsip melindungi hak istri untuk menikmati

hubungan seksnya. Dengan merujuk pada hadits di atas jelas bagi kita

48

(44)

bahwa dalam hubungan seks dan justru pada detik-detik

kenikmatannya istri sama sekali bukan hanya objek tapi juga menjadi

subjek.49

Dari sini jelaslah perspektif al-Qur’an melarang adanya

pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri atau

marital rape, ia bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam

tentang seksualitas dalam perkawinan.

4. Kekerasan Ekonomis

Yang dimaksud kekerasan ekonomi ialah apabila suami tidak

memberikan nafkah, perawatan atau pemeliharaan sesuai dengan

hukum yang berlaku atau perjanjian antara suami dan istri tersebut.

Selain itu juga yang termasuk dalam kategori penelantaran ekonomi

adalah membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam

atau di luar rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut.

Islam mengatur secara jelas melalui pengalaman-pengalaman

masa kenabian Muhammad, jelaslah bahwa Islam tidak menoleransi

penelantaran dan kekerasan dari segi ekonomi.

Islam menetapkan kewajiban memberi nafkah kepada istri, oleh

karena itu seorang suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya

telah berdosa kapada istrinya dan Tuhan.

Dan para istri yang menuntut suami untuk membelikan sesuatu

selain keperluan-keperluan pokok yang menjadi tanggung jawab suami

(45)

harus benar-benar dipertimbangkan apakah menurut ajaran agama

sesuatu yang dimintanya itu merupakan pemborosan ataukah

benar-benar menjadi kebutuhan hidup, sedangkan keperluan istri yang

menjadi tanggung jawab suami adalah:

a. Keperluan makan dan minum

b. Keperluan pakaian

c. Keperluan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan

d. Seorang istri juga hendaknya mempertimbangkan hal-hal yang

akan diminta kepada suaminya, sehingga tidak membebani suami

dengan tuntutan diluar kewajibanya50

Adapaun dasar kewajiban suami menafkahi istri tersebut dalam

firman Allah Q.S. Al Baqarah ayat 233.

ß

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf”.

Dari beberapa paparan di atas jelas sekali bahwa Islam

benar-benar telah melarang bertindak kekerasan terhadap istri, termasuk juga

penelantaran pemberian nafkah. Bahkan ketika terjadi cerai pun Islam

masih memberi perhatian terhadap perempuan, salah satunya adalah

50

(46)

dengan adanya Iddah, dan larangan mengambil kembali sesuatu yang

telah diberikan kepadanya, hal ini dijelaskan dalam surat al-Baqoroh

ayat 229:

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah.51

2. Faktor-faktor Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap istri

antara lain:

a. Istri melakukan Nusyuz, suami boleh memukul bagian badan istri

kecuali wajah istri, sebab hal ini merupakan hak istri manakala istri

melakukan kesalahan. Hal ini boleh dilakukan jika memang membawa

faedah, jika tidak maka tidak perlu malakukan pemukulan52.

b. Istri tidak mengindahkan kehendak suami untuk berhias dan bersolek.

Juga karena istri menolak diajak ke tempat tidur.

c. Istri keluar dari rumah tanpa izin, istri memukul anaknya menangis.

d. Istri menghina suami dengan kata-kata yang tidak enak didengar.

e. Istri berbincang-bincang dengan laki-laki lain bukan muhrimnya.

51Depertemen Agama RI,

Al Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al Qur’an, 1997. hlm. 37.

52

(47)

f. Istri tidak mandi haid ketika sudah memasuki waktu suci.53 Hal ini

menyebabkan suami tidak bisa menggauli istrinya.

3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

Korban kekerasan bisa mengenali fakta kekerasan psikis sementara

waktu, sebagai pengenalan awal untuk menyadari seseorang diketahui

menjadi korban atau sedang menderita gangguan psikologis sebagai

variasi dan tanda-tanda terganggunya kondisi psikologis

a. Ketakutan (fear). Diantara gejala yang muncul seperti jika seseorang

berada dalam keadaan kecemasan berkelanjutan karena relasi dirasa

tidak berimbang. Seseorang merasa sama sekali tidak bisa mengambil

keputusan terutama dalam situasi mendesak. Selalu khawatir bersikap

karena ketergantungan permanen.

b. Rasa tidak percaya diri (PD). Rasa tidak PD dapat berarti orang tidak

bisa membuat konsep diri positif orang kemudian terjangkiti dan

didominasi oleh konsep diri negatif hingga tidak menemukan cara

menghargai dirinya. Gejala ini ditandai dengan oleh sikap merendah

terus menerus atau minder (inferior), selalu menyerahkan urusan

kepada orang lain, dan merosotnya eksistensi diri hingga tidak lagi

memiliki harapan untuk membuat nilai positif dalam hidupnya.

c. Hilangnya kemampuan untuk bertindak. Orang dengan situasi trauma

atau mengalami kejenuhan permanen akibat harga dirinya lemah akan

jatuh pada situasi pesimis dalam memandang hidup dan hingga enggan

53

(48)

melakukan tindakan yang sesuai dengan apa yang diharapkanya. Efek

kekerasan psikis menimbulkan trauma degenetatif (mematahkan

semangat berkembang generasi)

d. Adanya situasi tidak berdaya (helplessness) situasi ini juga merupakan

gangguan pribadi dan dikatakan orang sakit secara psikologis. Ciri-ciri

helplessness antara lain putus asa, menyerah sebelum berbuat,

fatalistic, dan selalu menggantung diri, pada otoritas. Orang yang tidak

berdaya akan sulit melakukan komunikasi54

(49)

BAB III

PUTUSAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP KDRT DI

PENGADILAN NEGERI SALATIGA

D. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Negeri Salatiga

1. Sejarah Pengadilan Negeri Salatiga

Pengadilan Negeri Salatiga dibentuk pada abad ke-19 yaitu tahun

1896 berupa Landraad untuk keperluan Warga Negara Asing dan Belanda,

Pemerintah Daerah pada masa itu berupa Kabupaten Semarang dan

Kawedanan Salatiga yang berpusat di Salatiga berbentuk Gamanto yang

pada perubahannya setelah kemerdekaan menjadi kota Pbebek dan kini

berbentuk Kotamadya. Pada waktu berbentuk Landraad hakim-hakim di

Salatiga terdiri atas tokoh Ahli Hukum pada jaman itu yaitu:

1) Mr. Whirlmink

2) Mr. Carnalis

3) Mr. Peter

4) Mr. Ter Haar

5) Mr. Lekkerkarkar

6) Mr. Sebeeler

7) Mr. Rykee

8) Mr. Cayauk

9) Mr. Dr. Gondo Koesoemo

10)Mr. Shoot

(50)

12)Mr. R. Soeprapto

Pada masa Pendudukan Jepang (Tihoo-Ho-in)

1) Mr. Lio Oen Hok

2) P. Salamoon

Pada Jaman ReVolusi kemerdekaan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga

adalah:

1) Mr. Trank

2) Mr. Kresno

Setelah Indonesia Merdeka, yang pernah menjadi Ketua Pengadilan

Negeri Salatiga adalah:

1) Mr. Soebiyono

2) Mr. Woeryanto

3) Soehono Soedjo, SH.

4) Soenarso, SH.

5) Soeharto, SH.

6) Acmadi, SH.

7) Imam Soetikno, SH.

8) H. Mohammad Hatta, SH.

9) Soetopo, SH.

10)Djautan Purba, SH.

11)Agus Air Guliga, SH.

12)Sarwono Soekardi, SH.

(51)

14)Suhartatik, SH.

15)Tewer Nussa Steven, SH.

16)Winaryo, SH.MH. (Sekarang).

Dalam perkembanganya Wilayah daerah Pemerintahan mengalami

perubahan demikian juga daerah Hukum Pengadilan Negeri Salatiga.

Untuk mengatur Wilayah Kabupaten Semarang yang begitu luas, pada

tahun 1963 Pengadilan Negeri Salatiga terpecah menjadi dua yaitu:

1) Pengadilan Negeri Salatiga dengan wilayah Hukum Kabupaten

Semarang bagian Selatan dan Kotamadya Salatiga.

2) Pengadilan Negeri Ambarawa dengan wilayah Kabupaten Semarang

bagian Utara.

Setelah pembagian wilayah Hukum tersebut, maka pada tahun 1983

berdasarkan proses pengurangan Wilayah Hukum maka kejaksaan Negeri

Salatiga mempunyai 2 (dua) wilayah hukum, yaitu:

1) Kejaksaan Negeri Salatiga sebagai penuntut umum di Wilayah

Kotamadya Salatiga yang terdiri atas satu kecamatan.

2) Kejaksaan Ambarawa dengan wilayah Hukum Kabupaten Semarang

bagian Selatan, namun setelah Pengadilan Negeri Kabupaten Ungaran

diresmikan, Wilayah Pengadilan Negeri Salatiga yang tadinya meliputi

Kabupaten Semarang bagian Selatan, maka Wilayah Hukum

Pengadilan Negeri Salatiga tinggal 1 (satu) Kecamatan terdiri dari 9

Referensi

Dokumen terkait

untuk menetapkan model inovasi implementasi kebijakan dengan pendekatan budaya, peneliti akan menyelidik dalam studi kasus program gerakan serentak membangun kampung

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel daun sirsak (Annona muricata L.) yang berasal dari daerah Makassar

Strategi pengembangan ekowisata yaitu pengembangan ekowisata dengan konsep pelestarian ekosistem serta melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah; peningkatan pemberdayaan

Pada hemat penulis, keteladanan, bermain, bercerita, pujian, hukuman dan sebagainya merupakan metode atau cara yang dilakukan dalam melaksanakan model tertentu yang digunakan

Bentuk kekerasan seksual yang paling banyak dialami oleh responden SMA adalah pelecehan seksual berupa kata-kata tidak senonoh, sedangkan bentuk kekerasan seksual pada

Sesuai dengan data hasil belajar serta keaktifan siswa yang meningkat dari kondisi awal ke siklus I kemudian ke siklus II maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran materi

17.3 Mana - mana pemain yang melakukan kesalahan samada didalam atau diluar gelanggang terhadap pihak lawan, pemain, Pengadil, Pembantu Pengadil atau mana-mana orang

Dalam praktek pembiayaan murabahah dana tambahan pembelian rumah di BPR Syari'ah Artha Surya Barokah nasabah datang untuk mengajukan permohonan pembiayaan