• Tidak ada hasil yang ditemukan

D PU 0907862 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "D PU 0907862 Chapter1"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

1. Alasan Rasional Timbulnya Masalah

Eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah ke

masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Manusia berada dalam perjalanan

hidup, dalam perkembangan dan pengembangan diri. Manusia memang adalah

manusia, tetapi ia sekaligus "belum selesai" mewujudkan dirinya sebagai

manusia. Bersamaan dengan ini, dalam eksistensinya manusia mengemban

tugas untuk menjadi manusia ideal, adapun untuk itu ia perlu dididik dan perlu

mendidik diri. Hal ini sebagaimana disimpulkan oleh Kant dalam teori

pendidikannya bahwa: ‘Man can become man through education only’ (dalam Henderson, 1959, hal. 26). Sejalan dengan kesimpulan Kant, Langeveld

berdasarkan studi fenomenologinya menyatakan manusia sebagai ‘animal

educandum’ (Langeveld, 1980, hal. 100; Soelaeman, 1988, hal. 40; Syaripudin, 2010, hal. 18).

Manusia ditakdirkan memiliki kesamaan dengan sesamanya, tetapi juga

beragam karena keunikannya sebagai individu. Dalam kesamaannya, setiap

manusia harus menjadi manusia. Terdapat berbagai potensi yang bersifat esensial

dan perlu dikembangkan pada setiap orang dalam konteks seluruh dimensi

kehidupannya. Hal ini mengimplikasikan perlu diselenggarakannya pendidikan

umum (general education). Bersamaan dengan ini, ada pula berbagai potensi

yang perlu dikembangkan setiap orang sesuai dengan keunikannya sebagai

individu. Hal yang terakhir ini mengimplikasikan perlu diselenggarakannya

pendidikan spesialisasi. Sehubungan dengan hal di atas, dalam sistem pendidikan

nasional diselenggarakanlah berbagai jenis pendidikan, termasuk di dalamnya

pendidikan umum.

Pendidikan umum merupakan program pendidikan yang bersifat esensial

dan perlu didapat setiap orang. Ini berkenaan dengan pengembangan nilai-nilai,

sikap-sikap, pemahaman, dan kecakapan hidup yang harus dimiliki setiap orang

(2)

anggota keluarga, pekerja, sebagai warga negara dalam masyarakat yang

demokratis, dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Suatu masyarakat atau bangsa tentu memiliki kebudayaannya sendiri.

Dalam konteks ini, pendidikan umum merupakan suatu keniscayaan. Sebab,

dalam keragaman individu dan masyarakat, homogenitas dan konformitas di

dalam masyarakat yang bersangkutan hanya akan terbangun melalui pendidikan

umum. Pendidikan umum akan dapat mengintegrasikan masyarakat yang multi

etnis dan multi kultural. Walaupun masing-masing individu atau kelompok

masyarakat berbeda-beda, tetapi mereka tetap merasa satu dalam kesatuan

masyarakat atau bangsa (bhineka tunggal ika), memiliki nasionalisme,

patriotisme, dan jati diri bangsa. Lebih luas dari itu, pendidikan umum

diperlukan dalam rangka menjadikan manusia sebagai manusia secara universal.

Sebuah gedung akan berdiri tegak dan kuat apabila dibangun di atas

landasan yang kokoh. Sebagaimana halnya gedung tersebut, penyelenggaraan

pendidikan umum pun memerlukan landasan yang kokoh. Ada berbagai jenis

landasan pendidikan, salah satunya adalah landasan filosofis pendidikan

nasional. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan:

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan zaman.

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa landasan filosofis

pendidikan nasional adalah Pancasila. Implikasinya, maka landasan filosofis

pendidikan umum pun idealnya adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan

Pancasila. Dalam tataran yuridis, filsafat pendidikan umum dalam konteks

pendidikan nasional sudah ditetapkan. Namun demikian, implementasinya

masih menimbulkan tanda tanya dan diragukan. Jangankan pada tataran praksis,

bahkan dalam tataran teoretis pun masih belum lengkap atau masih banyak yang

bolong. (Sanusi, dalam Natawidjaja, dkk., 2008, hal. 52).

Dalam era globalisasi penetrasi kebudayaan dan penyebaran ilmu

(3)

kekhawatiran akan terjadinya penyelenggaraan pendidikan umum yang disadari

ataupun tidak disadari dilandasi oleh filsafat pendidikan yang berakar pada

budaya bangsa lain, yang tidak sesuai dengan filsafat dan budaya bangsa

Indonesia. Hal ini patut diwaspadai, sebab penyelenggaraan pendidikan umum

seperti ini akan mengakibatkan generasi muda kita tercerabut dari akar

budayanya, sehingga mereka kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.

Alasannya, karena pendidikan umum antara lain berkenaan dengan pendidikan

karakter, baik pendidikan karakter bagi manusia sebagai individu maupun

sebagai bangsa yang dikenal sebagai pendidikan kebangsaan. Sehubungan

dengan uraian di atas, dirasakan adanya kebutuhan kita yang sangat urgen (amat

mendesak) secara nasional, ialah keharusan menemukan dan mengembangkan

sendiri konsep ilmu pendidikan dan filsafat pendidikan yang kondusif untuk

Indonesia ...” (Waini, dalam Natawidjaja dkk., 2008, hal. 28).

2. Kesenjangan di Lapangan sebagai Dasar Timbulnya Masalah

Secara faktual, dewasa ini bangsa Indonesia menghadapi masalah yang

bersifat multi dimensi. Ini mengemuka antara lain dengan munculnya berbagai

fenomena seperti: pendidikan dalam prakteknya direduksi menjadi pengajaran

(Samho dan Yasunari, 2010; Kesuma, 2013; Wardhani, 2010); Pendidikan di

sekolah cenderung teoretis dan tidak terkait dengan kehidupan sosial budaya di

mana peserta didik berada (Tim Broad-Based Education Depdiknas, 2002);

Terjadinya pengeroposan nasionalisme di kalangan generasi muda, terjadi

konflik antar etnis dan keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI (Alwasilah,

dkk., 2009); Di samping itu, sebagaimana sering disiarkan dalam berbagai media

massa dan informasi merebak perilaku yang menyimpang dari akhlak mulia,

seperti: korupsi, seks bebas, tawuran antar kelompok, pemalsuan dan sebagainya.

“Indonesia ... menghadapi dua masalah sekaligus, masalah genting dengan

munculnya disintegrasi bangsa dan masalah penting yang berkaitan dengan

karakter bangsa” (Yamin, 2009, hal. 23). Di dalam fenomena tersebut tampaklah bahwa praktek pendidikan umum yang diselenggarakan belum mengembangkan

potensi anak didik secara menyeluruh dan utuh, serta tidak kontekstual dengan

(4)

Fenomena lain menunjukkan, banyak pendidik (guru) belum

menginternalisasi landasan filosofis pendidikan yang berdasarkan Pancasila.

Mereka kurang menyadari hal tersebut dan karena itu diragukan pula kalau

mereka menjadikannya sebagai titik tolak penyelenggaraan pendidikan. Di pihak

lain, tampak gejala bahwa pada umumnya fokus orientasi pendidikan masyarakat

kita adalah untuk mendapatkan credentials berupa ijazah dan sejenisnya. Sejalan

dengan ini, praktek pendidikan umum di sekolah bergeser menjadi pengajaran

dan berorientasi akademik, adapun perguruan tinggi menjadi lebih berorientasi

untuk menghasilkan tenaga kerja. Pada ujungnya, keberhasilan pendidikan dan

keberhasilan hidup cenderung diukur dari besarnya pendapatan finansial.

Orientasi ini memang perlu, tetapi keliru apabila menjadi satu-satunya fokus

orientasi dan tujuan akhir pendidikan.

Fenomena pendidikan sebagaimana dideskripsikan di atas pada

hakikatnya berpangkal pada aspek teoretis, yaitu berkenaan dengan

pengembangan teori pendidikan sebagai titik tolak praktek pendidikan. Ada

tuduhan, bahwa teori pendidikan yang dikembangkan di Indonesia berasal dari

teori pendidikan yang dikembangkan dari luar Indonesia, atau masih merupakan

campuran dari teori-teori yang diterima dari luar (Barat). Belum ada pemikiran

yang sistematik dan mendalam mengenai filsafat pendidikan nasional yang

sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Implikasinya, praktek

pendidikan kita pun cenderung mengacu kepada teori-teori tersebut

(Engkoswara, dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI, 2007, hal.

319).

Munculnya fenomena praktek dan hasil pendidikan yang belum sesuai

dengan harapan sebagaimana dideskripsikan di atas, pada dasarnya bersumber

dari tidak relevannya asumsi-asumsi yang dijadikan titik tolak praktek

pendidikan dengan kebudayaan bangsa. Ini oleh Schumacher (1994, hal. 89-90)

disebut dengan istilah ”pusat” yang telah dibangun atau terbangun pada diri

individu, yaitu berupa sistem idea yang tertib mengenai manusia, dunia dan nilai

yang dijadikan acuan dan memberi arah kepada usaha-usaha individu. Apa yang

(5)

”pusat” atau asumsi yang dipandang paling mendasar adalah filsafat pendidikan. Mengingat filsafat pendidikan yang dikemukakan para filsuf manca negara

kemungkinannya ada yang relevan dan ada pula yang tidak relevan untuk

diaplikasikan dalam praktek pendidikan umum dalam konteks pendidikan

nasional, maka munculnya berbagai permasalahan pendidikan yang kita hadapi,

secara mendasar dipengaruhi oleh filsafat pendidikan yang diterima serta

diaplikasikan oleh para ahli dan praktisi pendidikan.

Pendidikan adalah usaha kultural, sebab itu antara pendidikan dan

kebudayaan tak dapat dipisahkan. Pendidikan diselenggarakan di dalam suatu

lingkungan sosial budaya, landasan dan tujuannya bersumber dari kebudayaan,

demikian juga isi pendidikan – termasuk di dalamnya kurikulum sekolah – dan

cara-cara pendidikannya. Apabila hal ini dihubungkan dengan konsep

pendidikan nasional, implikasinya bahwa landasan, tujuan, isi pendidikan

metode atau cara serta peranan pendidik dan peranan peserta didiknya pun

hendaknya terutama bersumber dari kebudayaan bangsa Indonesia. Secara

spesifik, landasan filosofis pendidikan umum pun seharusnya bersumber dari

kebudayaan bangsa Indonesia. Andai pun kita mengadopsi konsep filsafat

pendidikan umum dari kebudayaan bangsa lain, kita perlu memfilternya agar

tidak bertentangan dengan nilai-nilai filsafat dan budaya bangsa kita.

Ki Hadjar Dewantara yang pada masa kecilnya dan masa mudanya

bernama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (1889-1959) adalah salah seorang

pemikir sekaligus praktisi pendidikan, perintis pendidikan nasional dan pahlawan

nasional. Perguruan Nasional Taman Siswa yang dirikannya pada tanggal 3 Juli

1922 tetap eksis dan terus berkembang hingga dewasa ini. Beliau menggagas dan

mempraktekkan pendidikan secara terpadu di tiga alam, yaitu: alam keluarga,

alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda. Inilah yang disebut tripusat

pendidikan. Semboyannya – “tut wuri handayani” dijadikan semboyan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, “Ki Hadjar Dewantara

telah meninggalkan warisan karya keilmuan pendidikan yang tidak terlepas dari

kebudayaan dan kepemimpinan bangsa” (Kuswandi, dalam Edutech, 2007, hal.

(6)

Dalam perkembangan pendidikan nasional Indonesia, sangat disesalkan

bahwa warisan keilmuan dari Ki Hadjar Dewantara kurang diminati untuk dikaji

dan dijadikan asumsi praktek pendidikan. Fikiran dan ajarannya kini nyaris

hanya menjadi slogan-slogan tanpa dipahami maknanya. Kita tenggelam dalam

teori-teori asing. Padahal ajaran Ki Hadjar Dewantara mengandung

kebijakan-kebijakan pendidikan yang sangat dalam yang lahir dari budaya bangsa

Indonesia. Ironisnya, belakangan ini ajaran Ki Hadjar Dewantara nyaris tidak

diajarkan atau tidak dikaji dan dikembangkan di LPTK, apalagi diterapkan dalam

praksis pendidikan.(Tilaar, 1995, hal. 507).

Dalam hubungannya dengan permasalahan pendidikan yang dihadapi

sebagaimana dimaksud di atas, dan mengingat masih kurangnya kajian filsafat

pendidikan dari tokoh-tokoh nasional, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara relevansinya sebagai

teori pendidikan dan implikasinya terhadap praktek pendidikan umum dalam

konteks pendidikan nasional.

Ada berbagai penelitian tentang fikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara

dan praksis pendidikannya. Hasil penelitian tersebut dapat dibedakan menjadi

dua kelompok kajian. Kelompok kajian pertama yakni penelitian tentang aplikasi

fikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam praktek pendidikan, sedangkan

kelompok kajian kedua yakni penelitian tentang fikiran Ki Hadjar Dewantara

mengenai pendidikan. Beberapa penelitian telah berhasil mengidentifikasi dan

menggambarkan teori dan grand theory pendidikan Ki Hadjar Dewantara

(Kuswandi, dalam Edutech, 2007; Samho dan Yasunari, 2010). Namun

demikian, karena penelitian tersebut bersifat saintifik, maka hasil penelitiannya

masih membedakan atau memisahkan antara teori kepemimpinan, teori

kebudayaan dengan teori pendidikannya. Sehubungan dengan itu, dalam konteks

penelitian tentang fikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara, masih ada ruang

yang perlu diisi, yaitu penelitian yang memandang objeknya dari sudut pandang

filsafat. Dengan demikian, maka akan terdeskripsikan hubungan implikasi antar

konsepnya, sehingga membangun satu kesatuan teori pendidikan yang

(7)

3. Pentingnya Penelitian

Ada beberapa alasan mengenai pentingnya penelitian tentang filsafat

pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai teori pendidikan dan implikasinya

terhadap praktek pendidikan umum dalam konteks pendidikan nasional.

Alasan-alasan tersebut berkenaan dengan kerugian-kerugian dan

keuntungan-keuntungan yang mungkin timbul atau didapatkan.

Kerugian. Kurangnya minat ilmuwan pendidikan untuk mengkaji dan

mengembangkan landasan filosofis pendidikan dari tokoh-tokoh bangsa

Indonesia – sebagaimana halnya dari Ki Hadjar Dewantara – yang merupakan

perwujudan dari kearifan lokal (local wisdom) akan menimbulkan berbagai

kerugian. Pertama, kita tidak akan mempunyai landasan filosofis pendidikan

yang kokoh sebagai titik tolak praktek dan studi pendidikan umum sebagaimana

diamanatkan Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ini akan berimplikasi terhadap

isi kurikulum lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), khususnya bagi

mata kuliah landasan pendidikan atau mata kuliah filsafat pendidikan. Kedua,

sekalipun dilakukan berbagai perubahan atau inovasi dalam bidang kurikulum,

permasalahan pendidikan yang selama ini dihadapi tidak akan terselesaikan

dengan baik apabila pemecahan tersebut tidak menyentuh akar permasalahannya,

yaitu mengenai landasan filosofis pendidikannnya. Ketiga, praktek pendidikan

umum tidak akan sesuai dengan konteks lingkungan sosial dan budaya bangsa,

sehingga generasi muda kita akan kehilangan jati dirinya sebagai bangsa

Indonesia. Keempat, kita akan kehilangan warisan budaya dari tokoh pendidikan

nasional.

Keuntungan. Keuntungan yang dapat diraih dari penelitian ini antara lain:

Pertama, diperoleh perluasan wawasan mengenai relevansi filsafat pendidikan

Ki Hadjar Dewantara sebagai teori pendidikan dan implikasinya terhadap

praktek pendidikan umum. Ini dapat dijadikan asumsi bagi praktek pendidikan

dan studi pendidikan umum lebih lanjut, yang akan berimplikasi bagi pemecahan

secara mendasar atas berbagai permasalahan penyelenggaraan pendidikan

(8)

Kedua, hasil penelitian ini akan menjadi masukan bagi pengembangan

kurikulum mata kuliah dasar profesi (MKDP) dan mata kuliah keahlian fakultas

(MKKF) pada fakultas ilmu pendidikan (FIP) di LPTK. Ketiga, penelitian ini

merupakan upaya pelestarian dan pengembangan filsafat pendidikan berbasis

kearifan lokal sebagai wujud upaya pengembangan etnopedagogik.

4. Kedudukan Masalah Penelitian dalam Bidang Studi Pendidikan Umum

Penelitian filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai teori

pendidikan dan implikasinya terhadap praktek pendidikan umum dalam konteks

pendidikan nasional merupakan penelitian yang berkenaan dengan landasan

filosofis pendidikan, khususnya landasan filosofis pendidikan umum. Masalah

penelitian ini tergolong ke dalam kajian pedagogik teoretis, yaitu filsafat

pendidikan sebagai salah satu konsentrasi kajian pada program studi pendidikan

umum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

B. Rumusan Masalah Penelitian

1. Identifikasi Masalah

Pendidikan dipandang sangat penting bagi kelangsungan eksistensi

manusia, baik dalam kedudukannya sebagai individu, anggota masyarakat, warga

negara, warga dunia dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sehubungan

dengan itu, selain di dalam keluarga dan masyarakat, pendidikan

diselenggarakan pula di sekolah. Dalam perjalanan sejarah bangsa kita,

pemerintah pun turut bertanggung jawab mengurusi pendidikan bagi warga

negaranya. Memang ada perbedaan orientasi dan tujuan penyelenggaraan

pendidikan bagi setiap pemerintahan pada setiap zamannya. Bahkan pernah

terjadi juga penyelenggaraan pendidikan tersebut justru bertentangan atau tidak

sesuai dengan harapan bangsa kita. Ini terjadi seperti pada pendidikan yang

diselenggarakan pemerintahan kolonial Belanda dan pemerintahan pendudukan

militerisme Jepang. Respon atas keadaan ini, maka diselenggarakanlah

pendidikan oleh kaum pergerakan yang berupaya mewujudkan harapan bangsa.

Dalam konteks ini antara lain kita mengenal Ki Hadjar Dewantara dengan

Perguruan Nasional Taman Siswa-nya, Mohammad Syafei dengan INS

(9)

pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai ormas seperti Muhammadiyah,

Nahdlatul Ulama, dll. Deskripsi ini menunjukkan bahwa berbagai pihak

memandang pendidikan sebagai sesuatu yang penting.

Mengingat begitu pentingnya pendidikan, sejak kemerdekaannya, bangsa

Indonesia terus berupaya membangun sistem pendidikan nasionalnya. Berbagai

perubahan yang dimaksudkan sebagai inovasi telah diupayakan – baik

berkenaan dengan peraturan perundang-undangan, kurikulum, anggaran belanja

pendidikan, dsb. – yang ditujukan demi peningkatan pemerataan pendidikan,

relevansi pendidikan, efisiensi pendidikan dan mutu pendidikan. Tetapi dibalik

itu semua, belakangan dan hingga sekarang bangsa kita masih mengalami krisis

dalam berbagai aspek kehidupan (multi dimensi). Sehubungan dengan ini, boleh

jadi ada sesuatu yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional kita,

khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan umum di sekolah. Apakah akar

penyebab permasalahan yang kita hadapi ini, dan bagaimana upaya untuk

mengatasinya?

Menyimak kesenjangan-kesenjangan faktual sebagaimana telah

dideskripsikan pada latar belakang penelitian, permasalahan yang kita hadapi

meliputi aspek teoretis dan aspek praksis. Aspek teoretis meliputi pengembangan

ilmu pendidikan termasuk landasan filosofis pendidikannya, sedangkan aspek

praksis meliputi kebijakan-kebijakan pendidikan yang diambil dan

praktek-praktek pendidikan yang diselenggarakan. Dengan asumsi bahwa teori

pendidikan seharusnya melandasi praktek pendidikan, maka akar pernyebab

permasalahan dalam bidang pendidikan umum yang kita hadapi ini hakikatnya

bersumber dari aspek teoretis. Adapun aspek teoretis yang paling mendasar

adalah mengenai landasan filosofis pendidikan.

Dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan pendidikan, perubahan

atau “pembaruan” berupa kebijakan dan praktek-praktek pendidikan telah banyak dilakukan, demikian juga upaya pengembangan keilmuan pendidikan.

Sampai saat ini pemerintah telah beberapa kali mengambil kebijakan untuk

melakukan perubahan atau penyesuaian kurikulum. “Penyesuaian kurikulum di

(10)

menengah bahkan kurikulum di Indonesia dianggap yang paling sering diubah

dibandingkan dengan negara manapun” (Suryadi, 2012, hal. 84). Proyek

pengadaan buku pelajaran dan peningkatan kualifikasi pendidikan guru telah dan

sedang terus dilaksanakan. Demikian pula telah banyak penelitian pendidikan

dilakukan di berbagai LPTK. Namun demikian, semua ini belum menyentuh

akar penyebab permasalahan yang kita hadapi, karena upaya pemecahan masalah

tersebut lebih cenderung berkenaan dengan aspek praksis. Sekalipun riset ilmu

pendidikan telah banyak dilakukan, namun riset ini pun lebih berkenaan dengan

pedagogik praktis, sebaliknya kurang menyentuh pedagogik teoretis dan bahkan

sangat-sangat kurang menyentuh bidang filsafat pendidikan sebagai landasannya

yang ideal. Keadaan demikian merupakan fenomena yang umum terjadi,

sebagaimana dinyatakan O’neil bahwa: “Ironisnya, kapan saja seseorang

menghadapi problema pendidikan yang mendesak dan harus segera ditemukan

pemecahannya, cenderung untuk bergerak menjauhi yang ideal … dan berganti arah ke yang praktis …” (2008, hal. xxxiii) .

Hasil deduksi dari Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 disimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan umum dalam

konteks pendidikan nasional idealnya berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada

nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan

zaman. Namun demikian, para ahli dan praktisi pendidikan – secara langsung

atau pun tidak langsung serta disadari maupun tidak disadari – dalam tataran

teoretis maupun praksisnya, turut dipengaruhi oleh filsafat pendidikan dengan

latar belakang budaya tertentu yang dikemukakan oleh berbagai filsuf dari mana

pun asalnya. Aplikasi secara membabibuta metode dan hasil riset kuantitatif

dalam bidang pendidikan, merupakan contoh “penerimaan” filsafat Positivisme

dalam pendidikan yang cukup fenomenal terjadi belakangan ini. Hal ini

sebagaimana dinyatakan Sanusi bahwa: “apabila di banyak lingkungan elit

politik dan elit pengusaha lebih signifikan berkumandangnya sekularisme, ...

sedang di banyak elit terpelajar lebih banyak tafsiran yang

(11)

Fenomena di atas menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan umum

belum sepenuhnya mengacu kepada landasan sebagaimana diamanatkan dalam

Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Adapun

hal ini terjadi atas dasar dua kemungkinan sebagai penyebabnya. Pertama, kita

belum memiliki kejelasan tentang landasan pendidikan umum yang seharusnya

dianut, sehingga terombang-ambing ditengah-tengah pengaruh berbagai aliran

filsafat pendidikan yang ada. Kedua, sesungguhnya kita sudah diwarisi tentang

landasan pendidikan umum tersebut sebagaimana telah dirumuskan dan

dipraktekkan oleh para pemikir dan praktisi pendidikan terdahulu, tetapi kita

belum memiliki kejelasan tentang hal tersebut dan belum menginternalisasinya,

akhirnya kita terombang-ambing pula karena tidak berfungsinya landasan

pendidikan tersebut dalam praktek.

Penulis berasumsi bahwa kemungkinan yang kedua itulah yang dialami

oleh bangsa ini. Argumentasinya, bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa kita,

telah banyak pemikir dan praktisi yang memperjuangkan pendidikan secara

kontekstual agar sesuai dengan eksistensi kita sebagai bangsa Indonesia, salah

seorang dari mereka adalah Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara telah

berpikir dan menyelenggarakan pendidikan yang bersifat kultural nasional. Ini

dapat kita pahami dari fakta-fakta yang dikemukakan para ahli sejarah dalam

konteks perjuangan beliau dalam upaya merebut kembali kemerdekaan bangsa

Indonesia dari kaum penjajah dan dalam perjuangannya untuk mengisi

kemerdekaan. Ki Hadjar Dewantara adalah salah seorang tokoh yang telah

mewariskan hasil pemikirannya tentang pendidikan serta memberikan teladan

pengaplikasiannya dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

2. Rumusan Masalah

Mengacu kepada uraian di atas, secara umum masalah penelitian ini

adalah: Bagaimanakah deskripsi filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara,

relevansinya sebagai teori pendidikan dan implikasinya terhadap praktek

pendidikan umum dalam konteks pendidikan nasional? Masalah tersebut dirinci

ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(12)

2) Apakah filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara relevan sebagai teori

pendidikan dalam konteks pendidikan nasional ?

3) Apa sajakah implikasi filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara terhadap

praktek pendidikan umum?

Ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan sehubungan dengan masalah

penelitian di atas, yaitu: filsafat pendidikan, relevansi, implikasi, teori

pendidikan, praktek pendidikan umum, pendidikan nasional.

1)Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan adalah sistem konsep pendidikan yang bersifat

komprehensif mendasar sebagai hasil berfikir reflektif sistematis dan kritis

kontemplatif. Adapun sistem konsep pendidikan yang dimaksud adalah hasil

pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang telah dipublikasikan dalam bentuk tulisan

berupa artikel, brosur dan surat, serta pernyataan dalam pidato yang telah

didokumentasikan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

2)Relevansi

Relevansi adalah hubungan sesuatu hal terhadap hal lainnya. Hubungan ini

menggambarkan tentang kesesuaian antara dua hal atau beberapa hal. Dalam

penelitian ini yang dimaksud relevansi adalah kesesuaian konsep filsafat

pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai teori pendidikan dengan Pancasila,

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan

relevansinya dengan keadaan zaman.

3) Implikasi

Implikasi adalah suatu pernyataan yang menunjukkan keterlibatan sesuatu

hal terhadap hal lainnya; atau hal yang dapat dipahami sekalipun – sepanjang

belum tersingkap – belum terekspresikan di dalam sesuatu yang tersurat, namun

di dalamnya telah tersirat karena sesuatu yang dapat dipahami itu pada dasarnya

berada dalam sesuatu yang tersurat. Di dalam logika, implikasi dinotasikan

dengan lambang: p q (jika p maka q). Ada dua jenis operasi implikasi,

yaitu: (1) operasi implikasi dalam arti logika formal, dan (2) operasi implikasi

(13)

ini, jenis operasi implikasi nomor (2) itulah yang digunakan. Kriteria

kebenarannya dideskripsikan pada tabel 1.1.

Tabel 1.1

Kriteria Kebenaran Implikasi

P q lalu P q

i i

i o

i o

Keterangan: i = pernyataan benar; o = pernyataan salah.

Mengacu kepada uraian di atas, implikasi dalam penelitian ini

dimaksudkan sebagai makna tersurat maupun tersirat tentang praktek pendidikan

umum yang ideal dalam konteks pendidikan nasional yang diturunkan dari

filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara.

4. Teori Pendidikan

Dalam penelitian ini definisi teori pendidikan mengacu kepada pendapat

Kneller tentang teori, yaitu sebagai ”a set of coherent thought” (1971, hal. 41).

Kebenaran teori bukan didasarkan atas kesesuaiannya dengan realitas, melainkan

dengan asumsi-asumsi yang berlaku atau asumsi-asumsi yang dianut. Teori

demikian diperoleh dengan berpikir deduktif dari filsafat yang telah ada. Dalam

hal ini, maka teori pendidikan merupakan seperangkat fikiran yang berkaitan

erat sebagai petunjuk praktis. Teori pendidikan bukan sekedar penjelasan tentang

fenomena pendidikan, melainkan merupakan petunjuk untuk menyelenggarakan

dan/atau mengontrol praktek pendidikan.

5. Pendidikan Umum

Pendidikan umum adalah program pendidikan bagi semua orang (generasi

muda), dalam rangka mengembangkan nilai-nilai, sikap-sikap,

pemahaman-pemahaman dan keterampilan-keterampilan yang esensial berkenaan dengan

masalah pribadi, sosial, dan keagamaan secara terintegrasi agar dapat hidup

secara memuaskan dalam kedudukannya sebagai pribadi, anggota keluarga,

(14)

hakikatnya adalah program pendidikan untuk semua orang dalam rangka

memanusiakan manusia.

6. Pendidikan Nasional

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar

pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap

tuntutan perubahan zaman (Pasal 1 ayat 2 UU RI No. 20 Tahun 2003).

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan mendeskripsikan filsafat pendidikan

Ki Hadjar Dewantara, relevansinya sebagai teori pendidikan dan implikasinya

terhadap praktek pendidikan umum dalam konteks pendidikan nasional.

Secara khusus penelitian ini bertujuan mendeskripsikan:

1. Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara, meliputi konsep hakikat: realitas,

manusia, pengetahuan, nilai, tujuan pendidikan, kurikulum (isi pendidikan),

metode, serta peranan pendidik dan anak didik.

2. Relevansi filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai teori pendidikan

dalam konteks pendidikan nasional, meliputi relevansinya dengan: Pancasila,

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional, dan relevansinya dengan keadaan zaman.

3. Implikasi filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara terhadap praktek

pendidikan umum dalam konteks pendidikan nasional. Hal ini meliputi: dasar

praktek pendidikan umum, tujuan praktek pendidikan umum, makna dan

penyelenggaraan pendidikan umum, kurikulum, metode serta peranan

pendidik dan anak didik.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoretis. Penelitian ini merupakan salah satu upaya

pengembangan ilmu pendidikan teoretis, khususnya filsafat pendidikan. Hasil

penelitian ini bermanfaat dalam rangka memperluas cakrawala dan kualitas

wawasan kependidikan, sehingga pemahaman terhadap pendidikan yang

(15)

simbol-simbolnya saja, melainkan sampai kepada akarnya. Selain itu, penelitian

ini bermanfaat dalam upaya meningkatkan apresiasi terhadap pemikir dan fikiran

tentang pendidikan nasional.

Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini memiliki manfaat praktis sebagai

berikut:

1. Turut membangun konsep landasan filosofis pendidikan sebagai titik tolak

studi maupun praktek pendidikan – khususnya praktek pendidikan umum –

dalam konteks pendidikan nasional. Ini merupakan salah satu upaya dalam

rangka mewujudkan amanat Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Republik

Indonesia tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Memberikan masukan dalam rangka pengembangan kurikulum lembaga

pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), yaitu berkenaan dengan mata kuliah

dasar profesi (MKDP) dan/atau mata kuliah keahlian (MKKF) Fakultas Ilmu

Pendidikan, khususnya mata kuliah landasan pendidikan dan mata kuliah

filsafat pendidikan.

3. Memberikan masukan dalam upaya penanganan masalah pendidikan umum,

khususnya masalah pendidikan karakter.

E. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini disusun menjadi lima bab, yaitu: bab I pendahuluan, bab II

kajian pustaka, bab III metode penelitian, bab IV temuan dan pembahasan, serta

bab V simpulan dan rekomendasi.

Bab I Pendahuluan menyajikan tentang latar belakang penelitian, rumusan

masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat teoritis dan manfaat praktis dari

hasil penelitian serta organisasi penulisan disertasi.

Bab II Kajian Pustaka mendeskripsikan empat hal pokok hasil kajian

pustaka. Pertama, tentang hakikat teori pendidikan dan praktek pendidikan.

Kedua, filsafat pendidikan sebagai teori pendidikan yang bersifat preskriptif.

Ketiga, filsafat pendidikan umum. Keempat, filsafat pendidikan Ki Hadjar

(16)

Bab III Metode Penelitian menjelaskan pendekatan dalam penelitian ini,

metode penelitian yang digunakan, instrumen penelitan yang digunakan, teknik

pengumpulan data, dan teknik analisis data penelitian.

Bab IV Temuan dan Pembahasan mendeskripsikan temuan-temuan

sebagai hasil penelitian sebagai jawaban atas masalah penelitian yang telah

dirumuskan. Selanjutnya, bab ini mendeskripsikan pembahasan atas

temuan-temuan penelitian yang dihasilkan.

Bab V Simpulan dan Rekomendasi, bab ini menyajikan simpulan-simpulan

dari hasil penelitian dan mengajukan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait

Gambar

Tabel 1.1 Kriteria Kebenaran Implikasi

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

perhitungan risiko dan lain sebagainya (Tim Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, 2009). Oleh karena itu, maka diperlukan suatu kajian tentang kesiap-

Dalam teknik ini, dilakukan percobaan menggunakan eksplan yang berasal dari stek mikro tanaman mabai yang kemudian diinduksi untuk membentuk kalus pada media

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Kapolri serta disahkan oleh Direktur Jenderal

HUBUNGAN TINGKAT KEPERCAYAAN DIRI ATLET SEPAKBOLA PERSIB U21 DENGAN PERFORMA TIM PADA KOMPETISI LIGA SUPER INDONESIA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

siswa tentang pembelajaran IPS serta instrumen yang mengukur modal sosial.. Kepercayaan, pendapat (Kognisi) mengenai

Selanjutnya disebutkan pada pasal 1 angka 2 bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat

Observasi lingkungan sekolah pertama dilaksanakan pada tanggal 25 Februari 2015. Kegiatan observasi lingkungan bertujuan untuk mengetahui keadaan sarana prasarana sekolah maupun

Jadi penulis mengambil kesimpulan bahwa teknik permainan husapi nya maupun struktur musik yang digunakan dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini bertujuan untuk dapat