i
TEKNIK PERMAINAN DAN STRUKTUR MUSIK HUSAPI SIMALUNGUN PADA
LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR YANG DISAJIKAN OLEH ARISDEN
PURBA DI HUTA MANIK SARIBU SAIT BUTTU, KECAMATAN PAMATANG
SIDAMANIK, KABUPATEN SIMALUNGUN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
MARULI PURBA
NIM: 090707022
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E DAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Simalungun memiliki alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel dan dimainkan secara tunggal/ solo instrument. Alat
musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel yaitu gonrang sidua-dua1 dan gonrang sipitu-pitu2. Gonrang sidua-dua dapat diiringi dengan dimainkan secara tunggal/ solo instrument antara lain sordam, saligung, sulim,
tulila, sarune, garattung, arbab, dan husapi. Alat musik tunggal ini pada
1
Gonrang sidua-dua t erdiri dari dua buah gendang, m asing-m asing gendang m em punyai dua buah kulit m em bran yait u pada bagian at as dan pada bagian baw ah gendang. Cara
m em ainkan gonrang ini dipalu dengan alat pem ukul at au stik dan t erkadang dipukul dengan t elapak t angan kanan dan t angan kiri.
2
Gonrang sipit u-pit u adalah seperangkat tujuh buah gendang yang dim ainkan dengan dipalu dengan alat pem ukul at au st ik
3
2
umumnya digunakan sebagai alat hiburan seperti pada saat menggembala kerbau, menjaga padi di ladang, dan hiburan pemuda-pemuda di malam hari.
Di antara alat musik tunggal tersebut, husapi merupakan salah satu alat musik yang keberadaannya sudah lama dikenal oleh masyarakat Simalungun. Menurut sejarahnya, alat musik husapi ini sudah lama dikenal di daerah
Simalungun semenjak dari kerajaan Nagur yaitu sekitar abad ke-X sesudah Masehi4. Alat musik husapi juga dikenal di etnis Sumatera Utara lainnya dengan
nama yang agak sedikit berbeda. Pada masyarakat karo disebut dengan kulcapi dan pada masyarakat Toba disebut hasapi. Alat musik husapi disebut juga boat
lute, disebabkan karena bentuknya seperti boat (kapal) dan memiliki dua buah senar yang dipetik. Alat musik husapi ini juga diklasifikasikan ke dalam alat musik chordophone5 karena suaranya berasal dari senar. Beberapa pendapat
mengklaim bahwa nenek moyang alat musik ini berasal dari alat musik kordofon dari India yang disebut kechapi vina(William P. Malm)6.
Di dalam sistem pelarasan (tuning) husapi dalam tradisi Simalungun telah memiliki ukuran tersendiri, senar satu adalah nada sol dan senar dua adalah nada
4
Dari buku sejarah mengenai daerah Sim alungun didapat catat an bahw a daerah Sim alungun dulunya adalah bent uk kerajaan yang dimulai dari kerajaan pert am a yait u kerajaan Nagur yang kem udian pecah m enjadi kerajaan M aropat (empat kerajaan) dan t erakhir kerajaan Napit u (t ujuh kerajaan). Dalam buku The Sim alungunese Tradit ional M usical Inst rum ent , Taralam syah Saragih (dalam sem inar kebudayaan Sim alungun, t ahun 1967) m engat akan bahw a alat m usik suku Sim alungun sudah lam a ada yang di dalam nya gondrang, ogung, sarunei, sordam , husapi, arbab, dsb. Lebih lanjut Tarlam syah m engem ukakan bahw a alat-alat m usik t ersebut dan t ari sudah digunakan dalam upacara religi sem asa kerajaan Nagur mengingat suku Sim alungun pada m asa lalu menganut paham anim ism e.
5
Chordophone adalah jenis alat m usik yang sum ber get arnya adalah chord at au senar/ daw ai/ kaw at / t ali.
6
3
do. Sistem pelarasan dalam alat musik ini tergantung dari perasaan si pemain walaupun dalam kenyataan yang penulis temukan bahwa interval nada antara
senar dua dengan senar satu adalah kwint murni7 dilihat dari kebudayaan musik barat, tetapi tidak memiliki ukuran standard menurut kebudayaan musik barat. Sistem pelarasan tergantung dari nilai rasa musikal si pemain. Dalam hal ini
maksudnya adalah pada saat melaras husapi yaitu dengan cara mengambil nada patokan dari senar dua kemudian melarasnya ke senar satu (kwint) tanpa
menggunakan ukuran/ patokan yang baku.
Husapi pada masyarakat Simalungun memiliki kelebihan tersendiri dalam
peranannya untuk kegiatan musikalnya yaitu untuk mengiringi doding (lagu tradisional). Husapi digunakan untuk menceritakan sekaligus mengenang kisah perjalanan hidup huda sitajur yang dibawakan dalam bentuk lagu yang disebut
lagu parenjak-enjak ni huda sitajur8. Proses penyajiannya dibawakan dengan membayangkan bagaimana saat-saat terakhir hidup huda sitajur sehingga tampak
jelas isi dari cerita yang dibawakan. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk
7
Kwint m urni adalah int erval nada yang berjarak 3 ½ laras dari nada dasar.
8
4
membahasnya dari segi etnomusikologi dengan melihat bagaimana teknik memainkan husapi tersebut dalam membawakan lagu tradisional Simalungun
tersebut. Dan lebih menarik lagi penulis ingin melihat struktur musik yang terdapat di dalam penyajian husapinya dalam lagu tersebut.
Husapi ini saat dimainkan dapat menghasilkan bunyi atau nada yang menjadi ciri khas musik Simalungun yang mereka sebut dengan inggou9. Inggou adalah gaya atau style musik Simalungun.. Istilah ini dikenal juga dalam musik Melayu
yang disebut dengan cengkok, grenek dan patah lagu, sedangkan pada masyarakat Karo disebut dengan rengget. Di dalam hal struktur musiknya, penulis melihat
ada beberapa frasa yang digunakan untuk menyesuaikannya dengan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang dibawakan. Setiap frasa dalam penyajiannya menggunakan melodi dan tempo yang berbeda, dan setiap perubahan pada melodi
dan tempo yang disajikan akan mendeskripsikan tahapan cerita yang berbeda. Setiap melodi yang dimainkan akan menjelaskan setiap kondisi yang terjadi pada
cerita lagu tersebut. Jadi penulis mengambil kesimpulan bahwa teknik permainan husapinya maupun struktur musik yang digunakan dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini bertujuan untuk dapat membayangkan bagaimana isi cerita pada
lagu tersebut.
Proses belajar husapi pada masyarakat Simalungun dilakukan dengan tradisi
lisan. Tradisi lisan adalah sebuah tradisi yang proses belajarnya dengan cara
9
5
melihat, mendengar, menghapal , dan meniru. Dengan cara menghapal sebuah melodi lagu yang dimainkan atau menyanyikannya kemudian memainkannnya ke
dalam alat musik husapi. Semakin sering mendengar lagunya dan semakin menghafal melodinya, maka secara otomatis dapat memainkannya dalam alat musik husapi.
Orang yang memainkan husapi disebut parhusapi10. Dalam kesempatan kali ini terkait pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur, saya berhubungan langsung
dengan seorang musisi yang memiliki kebudayaan tersebut yaitu Arisden Purba. Arisden Purba adalah salah satu parhusapi yang cukup diakui di daerahnya.
Penulis mengetahui keberadaan Bapak Arisden Purba setelah melihat jurnal yang membahas tentang program Revitalisasi Musik Simalungun. Program tersebut bertujuan untuk melestarikan kembali musik tradisional yang keberadaanya sudah
jarang ditampilkan terutama bagi kaum muda melalui proses regenerasi pemain musik. Di dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa Bapak Arisden Purba berperan
sebagai tenaga pengajar musik tradisional Simalungun.
Sejauh pengamatan penulis, pemain husapi Simalungun sudah jarang ditemukan apalagi yang mengetahui lagu parenjak-enjak ni huda sitajur dan
penulis baru berhasil menemui Bapak Arisden Purba yang dapat memainkan lagu tersebut. Hal ini mungkin disebabkan berkurangnya minat masyarakat
memainkan alat musik husapi dan mungkin tidak adanya suatu sistem yang efektif untuk mempelajari musik tradisi Simalungun. Di samping itu bapak Arisden
10
Kat a “ par” dalam hal ini menjadi aw alan pada kat a “ husapi” yang m enunjukkan orang yang m em ainkan. Berlaku juga unt uk alat m usik yang lain, cont oh parsulim, parsarune,
6
Purba menegaskan bahwa belum ia temui rekan seprofesinya yang dapat memainkan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur seperti yang dimainkannya. Dan
beliau juga mengaku bahwa hanya beliaulah yang mengetahui bagaimana teknik permainan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini di daerahnya11. Menurut pengalaman Bapak Arisden Purba, beliau sering memainkan husapi dengan
membawakan lagu parenjak-enjak ni huda sitajur setelah pulang bekerja dari ladang untuk hiburan pribadi. Di dalam upacara adat juga ia juga pernah
membawakan secara solo lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini meskipun makna pembawaan lagu ini hanya hiburan saja. Dan pada saat itu, lagu parenjak-enjak ni
huda sitajur ini hanya sebuah lagu permintaan dari pihak yang mengadakan upacara adat tersebut.
Pada masa kini alat musik modern sudah menjalar dalam kebudayaan
tradisional masyarakat Simalungun. Melihat peranan peralatan musik modern yang semakin berkembang juga seperti keyboard, drum, dan saxophone membuat
peranan alat musik tradisional semakin terdesak terutama alat musik yang dimainkan secara tunggal seperti husapi Simalungun ini. Apabila alat musik tradisional bisa dilenyapkan oleh alat musik modern, maka tidak kecil
kemungkinan lagu tradisional sebagai ciri khas Simalungun ini pun bisa ikut lenyap. Alasan ini jugalah yang mendorong penulis untuk membahas tentang
teknik permainan husapi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini. Selain itu secara etnis penulis juga adalah suku Simalungun, dan sudah menjadi tanggung
11
7
jawab saya sebagai salah satu masyarakat di dalamnya untuk tetap menjaga nilai-nilai budayanya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat apa yang terjadi di dalam lagu parenjak-enjak ni huda sitajur baik itu teknik permainan dalam membawakan
lagu ini ataupun melodi yang digunakan untuk membawakan lagu ini. Sehingga saya melihat masalah yang menjadi sasaran penelitian, yaitu apakah bunyi melodi atau teknik permainan husapi yang dimainkan dalam lagu tersebut berhubungan
dengan emosi-emosi khusus, melambangkan suatu bentuk aktivitas budaya, ataupun suatu bentuk tanda-tanda tertentu?
Teknik permainan husapi (parenjak-enjak ni huda sitajur) sangat menarik untuk dikaji oleh disiplin etnomusikologi, sebagaimana yang telah penulis pelajari selama kuliah. Salah satu kajian utama dalam etnomusikologi adalah kajian
musik dilihat dari segi aspek fisik musiknya, sebagaimana didefinisikan oleh Mantle Hood bahwa lahan penelitian dari aspek fisik musik etnis itu sendiri12.
Berkaitan dengan pembahasan ini, penulis akan membahas tentang teknik permainan husapi dan struktur musik yang ada pada lagu parenjak-enjak ni huda
sitajur yang penulis teliti.
Dari beberapa latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul: “TEKNIK
12
Dalam Dikt at Perkuliahan Et nom usikologi oleh A.M . Susilo Pradoko m enegaskan bahw a aspek fisik yang dim aksud sebagai salah sat u kajian ut am a et nom usikologi adalah m em pelajari, mengkaji, dan m eneliti sisi m at eri m usiknya itu sendiri. Dari sisi aspek m usik it u sendiri dapat dikaji t ent ang hal-hal yang merupakan sifat -sifat dasar dan proses terjadinya suat u m usik secara t eknik. Dalam hal ini dapat mengkaji tent ang ciri-ciri yang m endasari m at eri m usik yang sedang dikaji yang dapat m eliput i t eknik pem buat an inst rum en, t eknik perm ainan
8
PERMAINAN DAN STRUKTUR MUSIK HUSAPI SIMALUNGUN PADA
LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA SITAJUR YANG DISAJIKAN
OLEH ARISDEN PURBA DI HUTA MANIK SARIBU SAIT BUTTU KEC.
PAMATANG SIDAMANIK KAB. SIMALUNGUN”
1.2 Pokok Permasalahan
Tulisan ini akan membahas tentang permainan husapi pada masyarakat
Simalungun yang disajikan oleh Arisden Purba pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka permasalahan dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana teknik permainan husapi Simalungun pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur yang disajikan oleh Arisden Purba ?
2. Bagaimana struktur musik dalam permainan husapi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ?
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui teknik permainan husapi pada lagu
9
2. Untuk menganalisis struktur musik dalam permainan husapi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai:
1. Sebagai perbendaharaan dan dokumentasi musik Simalungun.
2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya di kemudian hari.
3. Sebagai bahan motivasi kepada pembaca terkhusus bagi masyarakat Simalungun untuk melestarikan musik tradisional.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Untuk memberikan pemahaman tentang tulisan ini maka penulis menguraikan kerangka konsep sebagai landasan berpikir dalam penulisan. Tulisan ini berisi suatu kajian tentang teknik permainan husapi Simalungun pada lagu
parenjak-enjak ni huda sitajur yang disajikan oleh Arisden Purba.
“Teknik” adalah cara membuat sesuatu atau melakukan sesuatu, sedangkan
“permainan” adalah suatu pertunjukan dan tontonan (Kamus Bahasa Indonesia 2008). Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa teknik permainan merupakan
10
dalamnya bagaimana cara memegang husapi, bagaimana cara memetik husapi, bagaimana memproduksi nada, dan bagaimana memainkan teknik tertentu dalam
membawakan lagu.
“Struktur” merupakan sesuatu yang disusun dengan pola tertentu dan dengan
menggunakan unsur tertentu. Struktur di sini maksudnya struktur musik yang menjelaskan bagaimana pembawaan melodi untuk menggambarkan susunan isi cerita lagu parenjak-enjak ni huda sitajur. Sehingga struktur musik dalam hal ini
akan mengamati setiap frasa yang dimainkan dalam lagu tersebut, bagaimana melodi yang dimainkan ataupun bagaimana tempo yang dimainkan di setiap
frasanya.
Husapi diklasifikasikan sebagai alat musik chordophone yang sumber suaranya berasal dari senar yang digetarkan. Sesuai dengan bentuknya, husapi
merupakan alat musik lutes yang memiliki badan seperti boat (kapal), sehingga disebut juga boat lutes. Berdasarkan karakteristiknya, husapi ini tergolong
fretless karena tidak terdapat pemisah pada papan jari (fret).
Lagu yang dimainkan adalah lagu tradisional Simalungun yang dimainkan dengan alat musik husapi dan yang menjadi pokok pembahasannya adalah lagu
parenjak-enjak ni huda sitajur. Lagu parenjak-enjak ni huda sitajur adalah salah satu nyanyian yang gaya menyanyikannya seperti orang yang bercerita. Adapun lagu parenjak-enjak ni huda sitajur ini merupakan sejarah yang menceritakan
11
kuda tersebut mati. Parenjak-enjak artinya “menginjak-injak”, dalam hal ini maksudnya bagaimana layaknya seekor kuda berkali-kali menginjak-injakkan
kakinya. Huda sitajur artinya “kuda sitajur”, disebut kuda sitajur karena kuda yang diceritakan dalam lagu tersebut berasal dari desa Sitajur yang berada di daerah Simalungun. Mengingat lagu parenjak-enjak ni huda sitajur adalah lagu
yang sifatnya bercerita, maka dalam penyajiannya si penyaji juga menceritakan setiap frasa isi cerita tersebut. Teknik permainan dan struktur musik yang
dimainkan melalui husapi akan membantu dalam mendeskripsikan ceritanya.
Adapun penyaji yang penulis maksud yang memainkan lagu
parenjak-enjak ni huda sitajur ini adalah Arisden Purba. Beliau berumur 60 tahun dan tinggal di Jl. Besar Manik Saribu, Simp. Tower Nagori Sait Buttu, Kecamatan Sidamanik. Bapak Arisden Purba pernah berperan sebagai tenaga pengajar dalam
revitalisasi budaya terkhusus dalam budaya Simalungun.
1.4.2 Teori
Secara umum, proses belajar musik tradisional merupakan oral tradition (tradisi lisan), begitu juga lagu parenjak-enjak ni huda sianjur yang merupakan
musik tradisional Simalungun. George List dalam “Discussion of K.P. Wachsman’s paper,” Journal of the Folkore Institue mengatakan: Apa yang
dimaksud dengan ‘musik tradisional’ ? Musik tradisional adalah musik yang
mempunyai dua ciri: musik tersebut diwariskan dan disajikan dengan hapalan
12
suatu pertunjukan selalu berbeda dengan pertunjukan sebelumnya. Di dalam musik tradisional, tradisi lisan (oral tradition) lebih menekankan pewarisan secara
oral. Mengacu dari teori di atas, tradisi lisan di sini maksudnya adalah salah satu proses belajar dengan cara melihat, mendengar, meniru, dan menghafal dalam proses mempelajari kebudayaan musik ini. Begitu juga teknik permainan husapi
pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur oleh Arisden Purba yang juga merupakan hasil proses belajar secara lisan. Dengan teori ini saya akan
berpatokan kepada penyajian yang dibawakan oleh Bapak Arisden Purba, di mana beliau mengetahui teknik permainan dan struktur musik pada husapi lagu
parenjak-enjak ni huda sitajur.
Mantle Hood juga memberikan sebuah pemahaman untuk mempermudah penulis dalam meneliti melalui pendapatnya,
“the concept of bimusicality as a way of scholary presentation of the music of other cultures, and active performance and even composition idiom of another culture as a way of learning the essentials of its musical style and behavior.”
Dengan pendapat yang dikemukakan Hood akan menekankan pada pengajaran dalam hal praktik bagi jenis pertunjukan yang diteliti oleh penulis. Dalam hal ini bimusicality adalah agar peneliti mempelajari dan memainkan musik dari
kebudayaan yang sedang diteliti. Begitu juga yang sedang penulis terapkan untuk mempelajari husapi kepada bapak Arisden Purba (kebudayaan yang diteliti)
13
memudahkan saya untuk melihat teknik permainan dan struktur musik yang terdapat pada lagu tersebut.
Khusus untuk menganalisis teknik permainan husapi yang dilakukan oleh Bapak Arisden Purba, penulis menggunakan teori etnosains. Menurut Ihromi
(1987) teori etnosains adalah teori yang lazim digunakan di dalam disiplin antropologi. Pada dasarnya teori ini menitikberatkan kepada pandangan dan aktivitas yang dilakukan oleh informan yang dilatarbelakangi budaya tertentu.
Jadi peneliti hanya menginterpretasi data berdasarkan latar belakang budaya itu hidup. Dalam kaitan dengan penelitian ini, teori etnosains yang penulis
pergunakan adalah untuk mengungkap aspek teknik permainan husapi, dengan peristilahan atau terminologi khas Simalungun yang digunakan oleh Bapak Arisden Purba, seperti: mamiltik, teknik tak, inggou, dan lainnya. Selain itu tentu
peneliti harus mengkaji lebih jauh apa makna-makna di sebalik permainan husapi ini, baik itu makna perlambangan, makna budaya, makna harmoni sosial, dan
lain-lain.
Husapi merupakan alat musik yang berperan sebagai melodi, dan nada-nada yang digunakan pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur menggunakan
nada-nada yang ada pada sistem tangga nada barat. Jadi dalam tulisan ini, penulis menggunakan teori yang sesuai dengan disiplin ilmu etnomusikologi. Dalam
14
terdapat pada musik yang diteliti (Nettl, 1964). Dalam hal ini penulis akan menggunakan transkripsi yang bernotasi deskriptif.
Untuk menganalisis melodi pada lagu parenjak-enjak ni huda sitajur, penulis menggunakan pendekatan analisis yang dikemukakan oleh Bruno Nettl
dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology (1964), bahwa untuk menganalisis seluruh bentuk musikal dilakukan analisis terhadap tangga nada, melodi, ritem, warna suara, dinamik, dan tempo.
1.5 Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian terhadap bahan tulisan ini, penulis melakukan beberapa tahapan kerja yang terdiri dari studi kepustakaan, pengumpulan data di lapangan, bimbingan secara formal ataupun nonformal dengan dosen pembimbing
dan juga mahasiswa etnomusikologi, dan kerja laboratorium. Pada dasarnya studi kepustakaan, studi lapangan, dan bimbingan terus dikerjakan secara bersamaan
hingga penulis mulai mengerjakan tulisan ini.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Dalam melakukan penelitian terhadap objek ini, penulis melakukan studi
15
itu juga untuk mengumpulkan bahan-bahan berupa teori yang berkaitan dengan penganalisisan musik dan teknik permainan pada lagu parenjak-enjak ni huda
sitajur dan untuk mencari metode pengumpulan data di lapangan. Semua ini diperlukan sebagai bahan acuan dan kerangka berpikir penulis dalam mengumpulkan data dan menganalisisnya.
Beberapa bahan tertulis yang penting yang penulis gunakan sebagai sumber adalah:
1. Department of Education and Culture Directorate General of Culture North Sumatera Government Museum, “The Simalungunese
Traditional Musical Instruments”. Tulisan ini membahas tentang alat-alat musik yang ada pada masyarakat Simalungun dengan spesifikasi yang membahas tentang organologi alat musiknya dan juga peranannya
bagi masyarakat Simalungun.
2. Skripsi Daniel Limbong yang berjudul “Deskripsi Analitis Gaya
Permainan Hasapi Sarikawan Sihotang dalam Konteks Tradisi Gondang Hasapi”. Skripsi sarjana ini menjelaskan tentang teknik permainan hasapi seorang musisi Batak Toba yang bernama Sarikawan
Sihotang secara khusus dalam permainannya dalam gondang hasapi (ansambel musik) dalam bentuk teknik pengayaan si pemain dalam
memainkan sebuah komposisi.
3. Bruno Nettl, “Theory and Method in Ethnomusicology”. Tulisan ini membahas tentang apa itu etnomusikologi baik itu kajian
16
etnomusikologi, pemahaman tentang etnomusikologi, maupun pembahasan tentang etnomusikologi. Di dalam buku ini juga
memberikan contoh-contoh pengalaman para etnomusikolog selama pengalamannya di lapangan penelitian.
4. Diktat perkuliahan Etnomusikologi oleh A.M. Susilo Pradoko, Msi.
Diktat ini menjelaskan tentang pembahasan tentang etnomusikologi baik itu dari materi kajian etnomusikologi maupun
pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalamnya.
Selain itu penulis juga mendapat informasi dari informan penulis bapak
Arisden Purba dan juga musisi Simalungun seperti Badu Purba yang memiliki pengetahuan mengenai musik Simalungun. Djasa Tarigan sebagai musisi Karo juga turut serta dalam memberikan informasi terhadap
tulisan ini.
1.5.2 Pengumpulan Data
Pengumpulan data di lapangan meliputi observasi, wawancara, merekam bahan-bahan musikal yang akan dianalisis, dan mengambil foto. Penulis memulai
penelitian ini pada bulan September 2012, dengan melakukan observasi yang meliputi peninjauan dan pengamatan lokasi penelitian serta melihat pertunjukan
seni itu (lagu parenjak-enjak ni huda sitajur) secara langsung.
17
beberapa informan pangkal seperti Bapak Badu Purba. Selain itu wawancara juga penulis lakukan terhadap anak kandung informan kunci yang turut mendukung
dalam pembahasan tulisan ini. Dan untuk menambah bahan tulisan ini, penulis juga mewawancarai Djasa Tarigan selaku musisi Karo yang turut membantu pembahasan tulisan ini. Untuk mendapatkan data yang lengkap, memakan waktu
yang cukup lama terutama saat penulis langsung berbicara langsung dengan infoman. Hal-hal yang penulis anggap sulit saat informan tidak dapat
menjelaskannya dengan kata-kata (maksudnya hanya bisa diamati saja), maka penulis memperoleh data sebanyak yang diketahui informan.
Dalam melakukan wawancara, penulis sebelumnya sudah menyiapkan daftar pertanyaan yang berhubungan seputar tulisan ini, penulis mencatat dan merekam semua hal yang dibicarakan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data
yang lengkap dan akurat. Penulis juga merekam dan mengambil foto dokumentasi pertunjukan seni (husapi parenjak-enjak ni huda sitajur) yang disajikan informan.
Dengan demikian penulis dapat memperhatikan dan melengkapi data-data yang diperlukan dalam tulisan ini.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Seluruh data yang diperoleh di lapangan akan diolah dalam kerja
18
terlebih dahulu menghapal lagu parenjak-enjak ni huda sitajur sesuai dengan rekaman aslinya, kemudian baru mencari nada-nada yang terdapat pada lagu
tersebut. Sebelumnya penulis akan terlebih dahulu menentukan nada dasar dari lagu tersebut, sehingga mempermudah penulis dalam mencari tangga nada lagu tersebut.
Dalam kerja laboratorium ini, penulis juga akan memisahkan data-data agar tidak terjadi masalah dalam pengerjaannya. Data-data yang penulis anggap
sudah cocok akan disimpan terlebih dahulu, apabila masih ada data yang penulis dapatkan di lapangan, akan penulis cari nantinya di penelitian selanjutnya.
19
BAB II
DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Bab II ini merupakan gambaran umum bagian dari wilayah objek penelitian penulis. Namun wilayah dalam hal ini bukan hanya lokasi penelitian
yang terfokus terhadap objek penelitian saja. Penulis dalam bab ini akan lebih terfokus terhadap gambaran masyarakat Simalungun pada umumnya karena
mengingat pokok permasalahan tulisan merupakan suatu cerita rakyat atau foklor pada masyarakat Simalungun dulunya. Untuk itu sebagai dasar dari tulisan ini, penulis akan menerangkan bagaimana masyarakat Simalungun pada umumnya
dengan didukung lokasi penelitian yang berada di Sidamanik pada khususnya.
2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam tulisan ini berada di rumah informan penulis yaitu bapak Arisden Purba yang berada di Huta Manik Saribu, Nagori Sait Buttu,
kecamatan Pamatang Sidamanik, kabupaten Simalungun. Menurut data yang didapat dari Kantor Lurah Nagori Sait Buttu, secara geografis Nagori Sait Buttu
terletak terletak antara 02,58°LU – 80,05°BT. Adapun luas wilayah Nagori Sait
Buttu adalah± 1347 Ha, atau sekitar 30 % bagian dari luas kecamatan Pematang
Sidamanaik yaitu 13.465 Ha.
20
1. Sebelah timur berbatasan dengan Nagori Sarimattim yang meliputi perkebunan PTPN IV Kebun Toba Sari.
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Nagori Bandar Manik. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean. 4. Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Dolok Pardamaean.
Sedangkan Huta Manik Saribu merupakan salah satu huta dari tujuh huta yang
berada di wilayah Nagori Sait Buttu. Wilayah Huta Manik Saribu berkisar ± 203 Ha atau sekitar 15% dari wilayah Nagori Sait Buttu. Berikut ini daftar luas tanah
yang terdapat di desa Nagori Sait Buttu:
NO HUTA LUAS (Ha)
1. Afdeling D. Toba Sari 287
2. Afdeling B. Toba Sari 280
3. Manik Saribu 203
4. Manik Huluan 198
5. Gunung Mulia 167
6. Sait Buttu 108
7. Garbus 104
21
2.2 Kependudukan dan Sistem Bahasa
Asal usul kependudukan masyarakat Simalungun banyak dipengaruhi oleh
berbagai aspek dan juga berbagai pendapat atau teori yang berbeda untuk memberikan pembuktian terhadap kebenarannya. Sama halnya dengan
kebudayaan tradisi Simalungun di zaman kerajaannya yang memiliki seribu cerita dengan beragam versi dan mitos. Hanya ada beberapa data tertulis13 yang menjelaskan marga-marga pada masyarakat Simalungun, dan itupun kebanyakan
mencakup sejarah keturunan-keturunan raja saja.
Sistem kependudukan dan bahasa merupakan suatu bentuk sinkronisasi
untuk membentuk suatu sistem kemasyarakatan. Bahasa berperan sebagai media komunikasi antar penduduk yang tinggal di daerah tersebut sesuai dengan tradisi yang berlaku.
2.2.1 Kependudukan
Masyarakat yang mendiami desa Nagori Sait Buttu Saribu merupakan masyarakat yang heterogen karena terdiri dari berbagai suku yang di dalamnya seperti Simalungun, Toba, Jawa, Minangkabau, dan Cina. Keberagaman suku ini
tidak menjadi perbedaan di dalam masyarakat untuk melakukan segala tindak aktivitas yang ada masyarakatnya. Seperti dari hasil wawancara dengan informan
13
22
bapak Arisden Purba, bahwa banyaknya suku yang ada di daerahnya bukan membawa tradisi suku masing-masing melainkan menggunakan tradisi yang
berlaku di daerah itu yaitu tradisi Simalungun. Dalam hal ini maksudnya setiap orang yang berada di daerah tersebut baik itu di dalam maupun di luar suku Simalungun apabila menempati daerah tersebut dianggap juga sebagai suku
Simalungun.
Menurut keterangan Jasasman Purba selaku kepala desa di daerah
setempat menyatakan bahwa adanya keragaman suku di daerah tersebut disebabkan oleh tradisi sodduk hela yang diberlakukan dalam norma masyarakat
tersebut. Sodduk hela merupakan sebuah tradisi dimana seorang menantu dari pihak laki-laki dari luar daerh tersebut tinggal dengan mertu perempuan yang bertempt inggal tetap di daerah itu juga. Sebagai contoh, ada seorang pria yang
bersuku batak Toba yang berasal dari daerah Tapanuli yang ingin menikahi seorang wanita di daerah Sait Buttu Sribu. Setelah dilaksankannya acara
pernikahan, si pria dan wanita tersebut bertempat tinggal di drumah si pihak perempuan yang mungkin disebabkan oleh beberapa alasan seperti kekurangan ekonomi ataupun juga karena keinginan oleh pihak perempuan. Secara langsung
hal ini menjadi alasan adanyaa suku lain di daerah tersebut dengan berlanjutnya keturunan marga Toba di daerah tersebut. Tidak hanya itu saja yang menjadi
23
Banyak argumen-argumen yang menerangkan tentang kesejarahan suku Simalungun ini, baik itu data secara lisan maupun tulisan. Kebanyakan masyrakt
Simalungun itu sendiri yang menjelaskan secara lisan dengan memberikan suatu cerita kesejarahan tentang Simalungun. Adapun menurut beberapa ahli menyatakan bahwa orang Simalungun termasuk rumpun Proto Melayu yang
berasal dari Hindia Belakang14. Keberadaan masyaraakat Simalungun itu sendiri merupakan identitas sebagai penduduknya dengan keturunan empat marga induk
yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba. Ditegaskan lagi oleh M.D Purba bahwa keempat marga tersebut merupakan marga asli Simalungun. Dengan beberapa bentuk literatur-literatur yang menjelaskan bagaimana pada masa
kerajaan dulu sudah menggunakan keempat marga tersebut. Adapun marga-marga di luar keempat marga-marga tersebut yang mengaku sebagai suku Simalungun
merupakan suatu bentuk asimilasi dan hasil integrasi dengan marga yang ada pada masyrakat Simalungun dengan mengikuti tradisi norma-nornma tertentu.
Banyaknya asumsi-asumsi yang dituturkan oleh para ahli tentang bagaimana sistem kependudukan pada masyarakat Simalungun justru menimbulkan banyak misteri dengan seluk-beluk kesejarahaannya yang rumit.
Apalagi melihat asumsi zaman dulu mengenai raja-raja Simalungun yang
14
24
menduduki daerahnya dengan system di luar akal pikiran manusia sekarang.. Adanya aspek-aspek yang mempengaruhi system kependudukan masyaarakat
Simalungun dulunya juga turut membantu perkembangan yang terjadi di dalam masyarakatnya.
2.2.2 Bahasa
Sistem kemasyarakatan dalam suatu daerah tentu didasari oleh bahasa
sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di dalamnya. Hal ini dapat dilihat bagaimana system komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dalam melakukan akivitasnya. Begitu juga yang dijelaskan oleh Arisden Purba terkait
lokasi penelitian penulis bahwa keragaman suku yang berada di daerah tersebut menggunakan bahasa Simalungun untuk komunikasi sehari-harinya. Hal tersebut
juga yang menyebabkan ada asumsi untuk setiap orang yang tinggal di daerah tersebut sudah dianggap sebagai suku Simaalungun.
Di desa Nagori Sait Buttu Saribu itu sendiri dengan keberagaman suku tetap menggunakan system tradisi Simalungun seperti aktivitas kebudayaan yang dilaksanakan di daerah tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Huta
Manik Saribu menggunakan bahasa Simalungun, tetapi tidak menutup kemungkinan mereka menggunakan bahasa di luar masyarakat Simalungun.
25
batak Toba juga. Ada dua asumsi yang menyebabkan hal ini terjadi yang dapat dilihat dari eksternal dan internal. Dengan didukung oleh teori Shin Nakagawa
yang menyatakan bahwa adanya pengaruh terhadap suatu kebudayaan yang didasari oleh factor yang datang dari dalam dan juga dari luar. Pengaruh yang datang dari dalam maksudnya adalah pengaruh yang disebabkan oleh masyarakat
yang di dalam itu sendiri, di mana yang menjadi objek yang mempengaruhi adalah manusia yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Sebagai contoh bahwa
tidak semua masyarakat Simalungun yang ada di dalamnya menikah dengan orang Simalungun juga, pasti ada kemungkinan menikah dengan orang di luar Simalungun, apalagi mengingat beragamnya suku di dalamnya. Untuk itu tidak
menutup kemungkinan masyarakat asli di daerah tersebut mengetahui bahasa di luar bahasa tradisinya. Sedangkan pengaruh dari luar maksudnya bahwa dengan
melihat letak geografis daerah tersebut yang dikelilingi oleh daerah suku batak Toba, sehingga kemungkinan besar masyarakat Simalungun di derah tersebut mengerti akan bahasa btak Toba tersebut. Hal ini sering juga disebut dengan
kebudayaan yang “bertetangga”, di mana ada suatu kebudayaan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya yang berdekatan.
Di samping itu, suku Simalungun memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa suku-suku lainnya, walaupun menurut pendapat orang bahwa bahasa
Simalungun ini seperti bahasa batak Toba juga. Dalam penelitian yang dilakukan oleh P. Voorhoeve selaku pejabat pemerintah di Simalungun sejak tahun 1937 mengungkapkan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa austronesia yang
26
di nusantara. Beliau menyebutkan relasi bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta melalui kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sehari-harinya.
Dari hasil penelitian tersebut juga beliau menyimpulkan bahasa Simalungun merupakan bahasa yang lebih tua umurnya dibandingkan dengan bahasa batak lainnya.
Dalam buku Tole Den Timorlan den Das Evangelium (2003:16-19) dijelaskan bahwa bahasa Simalungun dikenal ragam jenis pemakaian bahasa
menurut penggunaannya,
1. Bahasa Tingkatan
Bahasa tingkatan adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi kepada orang lain, di mana dalam hal ini bahasa yang digunakan memiliki posisi sendiri untuk disampaikan kepada orang lain. Orang yang
dimaksud dalam komunikasi ini dilihat dari bentuk strata yang digunakan dalam sistem tradisi masyarakat Simalungun. Bahasa tingkatan dalam
masyarakat Simalungun yaitu:
Bahasa Simalungun yang digunakan khusus untuk raja maupun
keluarga kerajaan seperti paramba (hamba), dongan (baginda),
modom (mangkat), dll.
Bahasa Simalungun yang digunakan dengan melihat tingkatan usia,
dimana dalam hal ini bahasa yang digunakan juga melihat bagaimana menggunakan bahasa komunikasi dengan posisi usia, bahasa yang digunakan dengan usianya lebih muda, usianya lebih
27
partuturan (hubungan kekerabatan). Misalnya kata yang digunakan untuk penyebutan tunggal ataupun jamak seperti kata ho
dipakai untuk orang yang lebih muda usianya, kata ham digunakan untuk orang yang lebih tua usianya. Sedangkan untuk partuturan digunakan kata hanima untuk sebutan sekumpulan orng dalam
posisi yang rendah derajatnya dan kata nasiam ditujukan kepada sekolompok orang yang lebih tua.
2. Bahasa Simbol
Bahasa simbol merupakan bahasa yang digunakan sebagai media untuk mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan medium ataupun
benda-benda dengan tujuan untuk menyampaika maksud-maksud tertentu. Bahasa yang digunakan dalam hal ini bukan semata-mata dengan
menggunakan olahan kata yang diucap dari mulut secara langsung, melainkan menunjukkan suatu pergerakan, mimik, dan bahkan suatu benda yang pada umumnya masyarakat tersebut sudah mengerti arti dan
maksudnya. Misalnya dalam permainan onja-onja di mana seorang pemuda memakai benang merah untuk menyatakan maksud bahwa sampai
mati akan teap berjuang untuk mendapatkan cinta gadis idamannya. 3. Bahasa Simalungun Ratap Tangis
Bahasa Simalungun ratap tangis merupakan bahasa yang digunakan untuk
mengungkapkan perasaan sedih dalam bentuk sebuah ratapan tangis dan pada umumnya bahasa ini sering dipakai ketika ada yang meninggal dunia
28
sebagai guruni hata karena bahasa yang digunakan untuk mengucapkan sesuatu yang dianggap lebih halus. Misalnya, inang na umbalos artinya
bibi, si humoyon artinya perut, simanuhot artinya mata, dan lain-lain. 4. Bahasa Simalungun Kasar
Bahasa Simalungun kasar ini sebenarnya merupakan suatu bentuk
penyampaian bahasa yang berbeda dengan penggunaan bahasa yang lainnya. Bahasa ini sering juga disebut sebagai sait ni hata yaitu karena
bahasa ini digunakan ketika seseorang sedang marah ataupun sedang menghina seseorang, dan pada umumnya bahasa ini digunakan karena sedang tersinggung oleh sesuatu. Misalnya kata panjamah (tangan)
bahasa kassarnya tipput, mulut (babah) bahasa kasarnya tursik, dan masih banyak lagi.
5. Bahasa datu
Bahasa datu adalah bahasa yang digunakan oleh dukun dengan menggunakan bahasa tabas-tabas yang merupakan campuran dari
berbagai bahasa dengan maksud-maksud tertentu seperti untuk mengobati orang, mencelakai orang, dan untuk persyaratan ritual tertentu. Bahasa
yang digunakan oleh datu ini bukan secara umum diketahui oleh masyarakat Simalungun karena hanya sebagian orang yang terpilih untuk menjadi seorang datu.
Dengan demikian perbedaan penyampaian suatu bahasa akan memberikan makna yang berbeda dan disesuaikan kondisi, waktu, dan tempat tertentu. Adanya
29
bukan menjadi suatu asumsi bahwa bahasa Simalungun hanya dibedakan dengan dialeknya saja dengan bahasa batak Toba. Masyarakat Simalungun sendiri
memiliki kebudayaan, adat istiadat , dan bahasa sendiri untuk melaksanakan segala aktivitasnya.
2.3 Kesenian
Kesenian adalah bagian dari kebudayaan dan merupakan sarana yang
digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Kesenian sangat dekat dengan kebudayaan suatu masyarakat, dan hal ini juga dapat digunakan sebagai identitas diri suatu masyarakat dimana keberadaan suatu
bentuk kesenian menjadi pengenal diri dalam wujud ciri dan karakter yang terdapat dalam kesenian tersebut yang disesuaikan dengan kebudayaan
masyarakat tersebut. Penulis memberikan gambaran berdasarkan tulisan ini yang berbicara tentang foklor dalam konsep musikal. Dalam hal ini foklor memberikan peran tertentu untuk masyarakatnya bahwa sebuah cerita dapat menentukan norma
untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan yang ada pada masyarakat tersebut.
Kesenian merupakan suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan di mana kompleks aktivitas dan tindakan berpola
30
digunakan oleh masyarakatnya. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian Simalungun dibagi
atas seni musik (gual), seni tari (tor-tor), dan seni suara (doding). Pembagian wujud kesenian dalam masyarakat Simalungun ini dikembangkan dalam bentuk aktivitas kebudayaan yang terdapat dalam tradisi Simalungun. Berikut akan
dideskripsikan bentuk kesenian masyarakat Simalungun.
2.3.1 Seni Musik (Gual)
Seni musik (gual) dalam masyarakat Simalungun pada umumnya digunakan untuk acara-acara hiburan, upacara adat, dan bahkan untuk bentuk
persyaratan dalam upacara ritual tertentu. Untuk melengkapi upacara-upacara tersebut harus menggunakan alat-alat musik tradisional Simalungun yang sudah
memiliki konsep penggunaan tertentu yang sesuai dengan fungsinya. Dalam Setia Dermawan Purba jurnal Seni Musik Vol. 5 No.1 (2009:54), beliau menjelaskan alat-alat musik Simalungun, upacara-upacara, dan bahkan nyanyian rakyat
Simalungun. Sehingga menekankan bahwa masyarakat Simalungun memiliki alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel dan dimainkan
secara tunggal/ solo instrument. Alat musik yang bentuk penyajiannya dimainkan secara ansambel yaitu gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu. Gonrang
31
sitalasayak. Ansambel ini dimainkan dalam upacara adat Simalungun, baik upacara suka cita (malas ni uhur) maupun upacara duka cita (pusok ni uhur).
Sedangkan alat musik yang dimainkan secara tunggal/ solo instrument antara lain sordam, saligung, sulim, tulila, sarune, garattung, arbab, dan husapi. Alat musik tunggal ini pada umumnya digunakan sebagai alat hiburan seperti pada saat
menggembala kerbau, menjaga padi di ladang, dan hiburan pemuda-pemuda di malam hari. Berikut akan ditampilkan tabel instrumen musik Simalungun yang
dilihat dari bentuk penyajiannya.
Alat musik yang yang dimainkan secara ansambel
Gonrang Sidua-dua Gonrang Sipitu-pitu
Satu buah sarune Bolon (pembawa melodi)
Dua buah gonrang (pembawa ritem) Dua buah mongmongan (pembawa
ritem)
Dua buah ogung (pembawa ritem)
Satu buah sarune bolon (pembawa melodi)
Tujuh buah gonrang (pembawa ritem) Dua buah mongmongan (pembawa
ritem)
Dua buah ogung (pembawa ritem)
Alat musik yang dimainkan secara tunggal/ solo intrumen
Alat Musik
Surdam Sejenis flute yang dimainkan dengan
miring (oblique flute)
32
dari bambu yang ditiup dengan hidung (nose flute)
Sulim Sejenis alat musik flute yang dimainkan
dengan tiupan ke samping (side blow)
Tulila Sejenis alat musik recorder yang terbuat
dari bambu dan dimainkan secara
vertikal.
Sarune Sejenis alat musik berlidah ganda yang
ditiup secara vertikal
Garattung Sejenis alat musik yang terbuat dari
kayu yang memiliki tujuh bilah kayu dengan nada yang berbeda
Arbab Sejenis alat musik yang badannya
terbuat dari tempurung kelapa yang memiliki senar sejajar dengan badannya
yang dimainkan dengan cara digesek menggunakan penggesek ijuk
Husapi Sejenis alat musik lute yang memiliki
leher yang dimainkan dengan memetik
33
Alat-alat musik tradisional Simalungun ini pada umumnya digunakan untuk upacara-upacara tertentu yang disesuaikan berdasarkan perannya. Dalam hal ini
penulis memberikan sub-kategori peran alat musik ansambel untuk aktivitas budaya masyarakat Simalungun sehingga dapat dilihat tradisi apa saja yang ada pada masyarakat Simalungun. Adapun alat musik ansambel ini dapat digunakan
dalam suatu upacara-upacara tertentu yaitu upacara religi, upacara adat, dan upacara ataupun acara hiburan.
Upacara religi merupakan upacara yang dilakukan dalam bentuk sistem keperrcayaan masyarakat Simalungun yang sudah diyakini sejak zaman dahulu dan bahkan mungkin sampai sekarang. Adapun upacara yang digunakan untuk
upacara religi antara lain:
1) Manombah, yaitu suatu upacara yang dilakukan untuk mendekatkan diri
terhadap sembahannya. Berdasarkan keyakinannya masyarakat Simalungun dulu percaya bahwa kehidupannya di dunia ini diberikan oleh Tuhannya dan oleh sebab itu mereka juga yakin akan keselamatan dengan
melakukan upacara ini. Begitu juga dengan agama sekarang yang sudah diyakini dengan kebenaran mutlak shingga dituntut untuk dekat kepada
Tuhannya.
2) Marranggir, yaitu upacara yang dilakukan untuk membersihkan badan dari perbutan-perbuatan yang tidak baik atauoun dari bentuk gangguan
roh-roh jahat. Kegitan ini merupakan semacam ritual yang digunakan untuk menhindarkan diri dari bentuk-bentuk kejahatan dan kesialan diri
34
menganut paham animisme, bahwa kekuatan roh selalu ada baik itu roh baik maupun roh jahat. Jadi untuk menghindari kekuatan yang datang dari
roh jahat maka dilkukanlh ritual marranggir ini. Adapun property-properti utama yang umumnya dipakai untuk upacara ini adalah jeruk purut, bunga, tujuh rupa, dan air. Upacara ini dilakukan dengan cara memandikan diri
menggunakan campuran property tersebut dan bahkan dapat diminum. 3) Ondos Hosah, yaitu upacara khusus yang dilakukan oleh suatu desa
ataupun keluarga agar terhindar dari marabahaya. Upacara ini dilakukan karena keluarga atau desa tersebut mengalami musibah ataupun masalah, sehingga diperlukan ritual ini untuk menggenapi keinginan mereka.
Upacara adat adalah upacara yang dilkukan oleh masyrakat Simalungun
terkhusus dalam system tradisinya untuk melengkapi suatu bentuk sistem kemasyarakatan yang berlaku. Adapun upacara-upacara yang dilkukan dengan menggunakan ansambel tersebut adalah:
1) Marhajabuan, yaitu acara yang dilakukan untuk pemberkatan pernikahan. Acara ini merupakan suatu bentuk persyaraatn sacral yang
harus dipenuhi seseorang untuk melangsungkan pernikhan, dan dalam hal ini dinyatakan bahwa pernikahan dinyatakan resmi apabila upacara ini dilakukan.
2) Mangiliki, yaitu acara yang diadakan untuk menghormati seseorang yang meninggal dunia yang usianya sudah tua dan sudah memilki
35
terhadap orang yang meninggal tersebut dan hal ini dijadikan untuk melihat keberadaan kelurga tersebut di tengah-tengah masyarakatnya.
3) Bagah-bagah Ni Sahalak, yaitu acara yang dilaksanakan oleh seseorang karena adanya keinginan ataupun niatnya untuk melkukan pesta. Acara ini merupakan acara pra-pesta yang dilakukan untuk
perencanaan pesta yang akan dilakukan di hari ke depan sehingga periapan-persiapan yang dibutuhkan untk hari selanjutnya sudah dapat
dipersiapkan.
4) Mamongkot Ruma Bayu, yaitu acara memasuki rumah baru agar orang yang menempati rumah tersebut mendapatkan rejeki dan terhindar dari
segala bentuk masalah. Dan acara ini sekaligus menjadi suatu bentuk partisipasi orang yang menempati rumh tersebut terhadap warga di
lingkungan setempat dan menjadin salah satu bentuk silahturami. 5) Patuekkon, yaitu acara untuk memberi nama seseorang dengan cara
memandikannya dengan air. Hal ini dilakukan untuk pemberin nama
yang cocok untuk orang tersebut karena masyarakat Simalungun meyakini bahwa nama memberikan makna terhadap orang tersebut
sehingga dibutuhkan acara ini untuk pembuatan namanya.
Acara hiburan maksudnya adalah acara yang dilakukan untuk menghibur diri maupun orang lain tanpa ada aturan yang harus diikuti seperti upacara-upacara
adat dan religi. Adapun ansambel tersebut digunakan dalam acara:
1) Rondang Bittang, pada awalnya merupakan acara tahunan yang diadakan
36
Dan di sini menjadi kesempatan para muda-mudi untuk mendapatkn jodoh. Tapi sekarang rondang bittang digunakan dalam bentuk pesta
tahunan dengan rangka silahturahmi antar desa di Simalungun sekaligus suatu bentuk pelestarian kebudayaan Simalungun karena dalam acara ini diadakan juga pentas kesenian tradisional Simalungun.
2) Marilah, yaitu acara muda-mudi yang bernyanyi bersama di suatu desa. Kegiatan ini dilakukan untuk mempererat hubungan antar muda-mudi
sehingga keakraban yang ada di desa membentuk kemakmuran di desa tersebut.
3) Mangalo-alo tamu, yaitu acara yang digunakan untuk menyambut tamu
dari luar daerah. Acara ini digunakan sekedar hiburan ramah tamah kepada tamu yang datang dari luar daerah sehingga menunjukkan suatu
bentuk silahturahmi. 4)
2.3.2 Seni Tari (Tor-tor)
Seni tari (tor-tor) dalam masyarakat Simalungun merupakan suatu bentuk identitas khas yang menunjukkan cirri Simalungun. Hal ini dapat dilihat dari
pergerakan-pergerakan yang dilakukan saat melakukan tor-tor yang berbeda dengan tari yang yang dilakukan oleh kebudayan lain. Tor-tor pada umumnya digunakan dalam upacara-upacara adat maupun ritual dengan diiringi oleh music
37
1) Tor-tor Huda-huda/ Toping-toping, yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur keluarga maupun orang yang melayat di mana orang yang
meninggal tersebut sudah sayurmatua atau sudah berusia uzur (lanjut usia). Tarian ini dulunya digunakan untuk menghibur keluarga raja karena anaknya meninggal agar tidak larut dalam kesedihan. Dan sekarang juga
tarian ini sudah digunakan dalam konteks pertunjukan seperti yang diadakan dalam pestaa Rondang Bittang. Tarian ini menggunakan media
topeng dengan sepasang pemain toping-toping dan satu orang pemain huda-huda yang menirukan gerakan kuda.
2) Tor-tor Turahan, yaitu tor-tor yang dilakukan untuk menarik batang
pohon ataupun kayu yang ada di hutan yang digunakan untuk membangun istana kerajaaan. Salah seorang dari penari tersebut akan mengambil
dedaunan dengan rantingnya dan kemudian mengibaskannya ke batang kayu dan ke badan orang-orang yang menariknya untuk memberi semangat. Kegiatan ini dilakukan sambil menari agar para pekerja
tersebut tidak mudah lelah dan akan lebih semangat lagi.
3) Tor-tor Sombah, yaitu tor-tor yang digunakan untuk menyambut tanu
38
2.3.3 Seni Suara (doding)
Seni suara atau masyarakat Simalungun sebutkan dengan doding
merupakan seni vokal yang melantunkan rasa Simalungun. Rasa dalam hal ini maksud penulis merupakan sebuah teknik yang dapat menghasilkan suara khas Simalungun yang disebut dengan inggou (lihat Bab I hal.4). Hal ini juga dapat
disebut sebagai identitas musikal Simalungun yang membedakannya dengan gaya tradisi kebudayaan daerah lainnya.
Seni suara/ doding dalam masyarakat Simalungun memiliki jenis yang berbeda dengan peran yang berbeda pula yang disesuaikan berdasarkan penggunaanya (Dermawan Purba 2009:61). Adapun jenis doding tersebut antara
lain:
1) Taur-taur, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sepasang muda-mudi
untuk mengungkapkann perasaan mereka satu sama lain. Dalam melakukan taur-taur, sepasang muda-mudi tersebut akan melakukan dialog musikal yang membicarakan tentang perasaan mereka (asmara) dan
mereka melakukannya secara bergantian.
2) Ilah, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda-pemudi
untuk menunjukkan suatu bentuk keakraban dalam komunitas tersebut. Nyanyian ini dilakukan dengan bertepuk tangan bersama dalam posisi membentuk lingkaran.
3) Doding-doding, yaitu nyanyian yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang untuk menyampaikan sesuatu baik itu dalam bentuk
39
dinyanyikan untuk mengungkapkan sesuatu baik itu perasaan sedih, sepi, dan juga untuk menyampaikan pesan. Terkait tulisan ini yang membahas
tentang sebuah lagu yang sifatnya bercerita dengan judul parenjak-enjak ni huda sitajur akan menambah pemahaman tentang doding tersebut.
4) Urdo-urdo, yaitu nyanyian yang digunakan untuk menidurkan seorang
anak. Hal ini biasanya dilakukan oleh seorang ibu kepada anaknya maupun seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdp-urdo ini
merupakan suatu bentuk kebiasaan yang dilkukan oleh masyarakat Simalungun untuk menidurkan anaknya karena hal itu diyakini akan membuat si anak dapat tidur lebih nyenyak dan bahkan membantu si anak
untuk lebih merespon kepada orang tuanya.
5) Tihtah, yaitu nyanyian yang digunakan untuk mengajak seorang anak
untuk bermain. Tihtah hampis sama dengan urdo, bedanya urdo-urdo untuk menidurkan anak sementara tihtah untuk bermain.
6) Tangis-tangis, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang istri karena
suaminya telah meninggal. Nyanyian ini digunakan untuk meratapi kesedihannya atas meninggalnya suaminya. Tangis-tangis ini juga
digunakan oleh seorang gadis yang akan menikah yang ditujukan kepada keluarga yang akan ditinggalkannya untuk mengungkapkan kesedihannya. 7) Manalunda/ Mangmang, yaitu mantra yang dinyanyikan oleh seorang datu
40
menobatkan seorang raja agar diberi berkat dalam menjalani tahtanya sebagai seorang raja.
Di luar dari ketiga bentuk kesenian yang diungkapkan oleh Taralamsyah Saragih, masih ada bentuk kesenian lain Simalungun yang sampai saat ini masih dapat dilihat. Berdasarkan pengalaman penulis dalam pesta rondang bittang15 di Saribu
Dolok, masih ada kesenian-kesenian Simalungun yang perlu dilestarikan seperti 1) Dihar, yaitu seni bela diri yang dipelajari untuk melindungi dirinya dari
ancaman orang lain.
2) Gorga, yaitu seni ukir yang terdapat di dinding-dinding rumah dengan motif-moif khas Simalungun. Dan untuk menambahi estetikanya rumah
tersebut juga dihiasi dengan seni patung yang terbuat dari batu maupun kayu.
3) Hiou, yaitu seni tenun yang dibentuk dari benang-benang untuk membuat sebuah selendang dengan motif-motif khas Simalungun. Seni dilakukan dengan tradisional ataupun buatan tangan dan bukan buatan pabrik. Seni
ini massih dipertahankan hingga saat ini melihat mutu buatan tangan tersebut lebih bagus daripada buatan pabrik.
Bentuk-bentuk kesenian Simalungun tersebut merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Melihat eksistensi sebuah tradisi yang sudah melemah dalam ruang lingkup perkembangan zaman sekarang ini membuat keberadaanya susah
15
41
dijangkau bahkan oleh masyarakatnya sendiri. Melihat bahan pembahasan tulisan ini (tradisi parenjak-enjak ni huda sitajur) yang membahas tentang suatu bentuk
kesenian yang sudah hampir tidak terlihat keberadaannya. Kesenian tradisi seperti ini baik di luar kebudayaan Simalungun akan segera hilang apabila tidak didukung oleh masyarakatnya sendiri. Mengingat kesenian tradisional sekarang
42
BAB III
HUSAPI SIMALUNGUN DALAM LAGU PARENJAK-ENJAK NI HUDA
SITAJUR
Masyarakat Simalungun memiliki tradisi lisan dalam bentuk nyanyian
yang sifatnya bercerita yaitu parenjak-enjak ni huda sitajur. Dalam Setia Dermawan Purba kemudian dijelaskan bahwa nyanyian seperti ini dikategorikan
dalam nyanyian rakyat yang bergenre atau berbentuk foklor yang disampaikan secara lisan dan berbentuk tradisional. Foklor yang dimaksud adalah cerita rakyat yang disampaikan secara tradisional. Dalam masyarakat Simalungun masih
dikenal cerita-cerita rakyat atau dapat disebut sebagai foklor yang diyakini sebagai fakta maupun sebagai mitos. Ada banyak foklor yang diyakini oleh
masyarakat Simalungun dengan berbagai jenis kategori pengaplikasian dalam ceritanya khususnya untuk keseniannya seperi foklor yang diceritakan untuk menciptakan sesuatu seperti membuat alat musik, foklor yang diceritakan
semata-mata sebagai cerita yang harus dikenang, dan juga foklor yang diceritakaan kemudian diaplikasikan dalam sebuah konsep musikal.
Dalam tulisan ini penulis lebih terfokus terhadap foklor yang diceritakan kemudian diaplikasikan ke dalam bentuk konsep musikal. Dalam konsep musikal
43
pengaplikasian yang dimaksud sebagai foklor yang diceritakan dalam sebuah konsep musikal.
3.1 Parenjak-enjak Ni Huda Sitajur
Ada begitu banyak cerita foklor yang ditradisikan oleh masyarakat
Simalungun, dan salah satunya adalah parenjak-enjak ni huda sitajur. Parenjak-enjak ni huda sitajur adalah sebuah cerita rakyat yang berasal dari kecamatan
Sidamanik Simalungun yang menceritakan tentang sebuah perang saudara antar kerajaan. Sebuah peperangan yang terjadi di zaman kerajaan Simalungun dulu telah memberikan sebuah cerita yang menjadi salah satu bagian kebudayaannya
terkhusus menjadi bagian dari keseniannya.
Adapun kebudayaan ini diyakini sebagai tradisi yang sakral, dan tidak
sembarangan orang yang dapat menuturkan ceritanya. Penulis berani beranggapan seperti itu karena pada saat pertama kali penulis melakukan
penelitian ke daerah Sidamanik tepatnya di rumah bapak Arisden Purba, penulis sempat dibingungkan tentang kebenaran dari cerita tersebut. Informan penulis pada awalnya tidak mau menceritakan bagaimana cerita sejarah parenjak-enjak ni
huda sitajur tersebut karena takut memberikan informasi yang salah. Dan menurut keterangan beliau bahwa cerita tersebut lebih layak diceritakan oleh
44
dengan peran yang terlibat dalam cerita tersebut yang dapat dilihat dengan kondisi sekarang.
Walaupun penulis mendapat cerita ini bukan dari keturunan marga Sidamanik, tidak menjamin bahwa cerita ini tidak dinyatakan benar. Karena
informan penulis bapak Arisden Purba mendapatkan sejarah cerita ini dari ayah beliau dan ayahnya tersebut mendapatkan informasinya dari seorang keturunan raja Sidamanik juga. Informasi tentang sejarah parenjak-enjak ni huda sitajur ini
didapat beliau secara oral dari ayahnya. Dalam hal ini penulis tidak akan melihat titik kebenaran dari sejarah yang membentuk kebudayaan tersebut sebagaimana
konsep dan sifat kebudayaan. Sehingga saat ini yang penulis utamakan bukan siapa melainkan mengapa dan bagaimana kebudayaan ini bisa lahir dalam tradisi masyarakat Simalungun. Berikut penulis akan menceritakan sejarah terjadinya
kebudayaan parenjak-enjak ni huda sitajur berdasarkan informasi dari wawancara dengan informan pangkal.
Awal ceritanya dimulai pada zaman kerajaan Simalungun terdahulu yang memiliki dua orang keturunan yang juga akan memilki tahta dan bagian kekuasaan wilayah masing-masing. Anak pertama namanya raja Siattar dan anak
kedua namanya raja Manik Hasian (menurut informan hal inilah yang diyakini dengan posisi wilayah kabupaten Simalungun yaitu daerah Siantar untuk raja
Siattar dan daerah Sidamanik untuk raja Manik Hasian) dan singkat cerita mereka sudah mempunyai daerah kekuasaan masing-masing. Pada saat itu ada seekor kuda perang yang terkenal dengan kegesitan dan kehebatannya dalam berlari, dan
45
tersebut berasal dari sebuah desa yaitu desa Sitajur yang dulunya berlokasi di daerah kerajaan Simalungun tersebut, sehingga kuda tersebut dipanggil dengan
kuda Sitajur. Inilah yang menjadi awal timbulnya sebuah pertengkaran antar saudara karena raja Siattar tidak terima karena raja Manik Hasian memiliki kuda Sitajur tersebut, sehingga timbullah sikap iri raja Siattar untuk memiliki kuda
Sitajur tersebut. Pada awalnya raja Siattar sudah meminta kuda Sitajur tersebut kepada adiknya raja Manik Hasian, tetapi raja Manik Hasian tidak mau
memberikannya karena menurutnya saudaranya itu tidak pantas memilki kuda tersebut. Pernyataan ini membuat raja Siattar marah hingga menantang raja Manik Hasian dengan menunggangi kudanya itu untuk berperang. Untuk itu raja
Siattar membuat sebuah taktik untuk menjebak raja manik Hasian, sehingga raja Siattar menentukan lokasi perangnya di daerah yang memiliki tumbuhan
bersemak untuk dapat bersembunyi. Tiba saatnya untuk berperang, raja Siattar sudah melaksanakan rencananya dengan bersembunyi di balik semak-semak. Setibanya raja Manik Hasian di lokasi perang yang sudah diatur oleh raja Siattar,
raja Manik Hasian bingung karena lokasinya kosong. Di selang waktu tersebut, raja Siattar tiba-tiba keluar dari semak-semak dan menyergap raja Siattar yang
dalam posisi lengah dari belakang yang langsung menancapkan tombaknya ke badan sauaranya itu yang menembus ke leher kuda sitajur tersebut. Sehingga raja Manik Hasian dengan kudanya berakhir kematian di tangan saudaranya raja
46
Banyak juga versi cerita yang menggunakan judul parenjak-enjak ni huda sitajur, walaupun dengan menggunakan bahasa yang berbeda dan bahkan dengan
versi dari kebudayaan yang lain. Dalam hal ini kenyataan tentang kebudayaan ini masih misteri dengan diyakini oleh kebudayaan yang berbeda. Sejauh pengamatan penulis selain masyarakat Simalungun yang memiliki kebudayaan
ini, masyarakat Karo juga memiliki kebudayaan ini dengan cerita yang berbeda yang mereka sebut dengan parinjak-injak kuda sitajur. Dengan pemahaman antar
kebudayaan yang berbeda tidak akan membenarkan kebudayaaan yang sepihak di mana setiap kebudayaan memilki tradisi masing-masing berarti tidak menutup kemungkinan suatu kebudayaan akan memiliki persamaan mengingat kebudayaan
itu sifatnya dinamis,
Adapun bentuk pengaplikasian cerita parenjak-enjak ni huda sitajur ini
bukan hanya penalaran akan sebuah foklor Simalungun, melainkan penceritaan yang disampaikan secara musikal. Konsep musikal dalam hal ini dikategorikan
maksudnya secara fisik melainkan secara fungsional husapi tersebut yang dianggap melantunkan doding.
Penyajian alat musik husapi ini dalam memainkan lagu parenjak-enjak ni
47
lagu ini dilakukan dengan bercerita (secara oral) sambil memainkan alat musik husapi. Husapi di sini mengiringi cerita terlebih turut serta mendeskripsikan
cerita yang disampaikan sehingga terdapat bentuk penyajian musikal yang akan membuat pendengar mengikuti dan turut mendeskripsikan ceritanya.
3.2 Husapi Simalungun
Untuk membantu dan mendukung proses mengamati teknik permainan
husapi pada objek penelitian maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu kostruksi husapi tersebut. Mengingat studi ini akan melihat sebuah instrumen musik dengan konsep musikal, begitu juga dilihat susunan alat musik ataupun
organologi dari husapi tersebut sebagai penghasil bunyi.
Berikut akan ditunjukkan bagian-bagian dari husapi Simalungun.
Ulu/ kepala
borgok/ leher
boltok/ badan
Pinggol-pinggol/
kupingan
t ali/ senar
ihur/ ekor
panggal-panggal/
48
Husapi adalah alat musik tradisional Simalungun yang sumber bunyinya berasal dari getaran senarnya. Sehingga alat musik ini diklasifikasikan
sebagai alat musik chordopone sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1914) dalam pengklaisifikasian alat musik bahwa sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utam bunyi. Sistem
pengklasifikasian ini dibagi menjadi empat bagian yang terdiri dari idiophone (alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi), aerophone (udara
sebagai sumber penggetar utama bunyinya), membranophone (kulit membran sebagai penggetar utama bunyinya), dan chordophone (senar sebagai sumber penggetar utamanya).
Husapi ini dulunya terbuat dari bahan kayu arang dan dapat pula dibuat dari kayu ingul dan tambalahut. Dan saat ini husapi ini sudah banyak terbuat dari kayu Jior
(Cassia- Siamea Lamk) dan juga kayu Pinasa (Arto Carpus Integramer). Husapi ini terdiri dari empat bagian besar sesuai dengan konstruksinya yaitu ulu (bagian
kepala), bargok (bagian leher), boltok (bagian perut), dan ihur (bagian ekor). Dari masing-masing bagian tersebut masih terdapat lagi bagian yang ada di dalamnya yaitu
a. Pada bagian ulu terdapat dua pinggol-pinggol yang digunakan untuk mengatur nada atau sebagai perenggang tali/ senarnya.
49
c. Pada bagian boltok terdapat bagian-bagian seperti resonator (sebagai penguat suara) dengan adanya papan penutup resonator sebagai alat
pnggetar suaranya. Dan pada bagian penutup badan husapi terdapat bantalan yang disebut dengan panggol-panggol sebagai ganjal sekaligus tempat penyanggah tali. Husapi memiliki dua senar dan dimainkan
dengan cara memetik senar tersebut. Dulunya senar yang digunakan terbuat dari akar enau dan riman, sedangkan sekarang sudah menggunakan
kawat halus atau senar gitar.
d. Pada bagian ihur husapi merupakan bagian dari ujung bagian husapi sehingga lebih tampak bentuk badan husapi dari ujung kepala sampai
ujung ekornya.
Selain dari karakteristik yang menyatakan bahwa alat musik husapi ini dikategorikan ke dalam chordophone saja, maka penulis akan melihat dari fisik
alat musik tersebut sehingga husapi ini dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Chordophone one or more strings are stretched between fixed points
Kordopon yang memiliki satu senar atau lebih yang direnggangkan
antara dua bidang batas yang sudah ditentukan.
2. Composite chordophone a string bearer and a resonator are
organically united and can not be separted without destroying the
50
Kordopon gabungan yang memiliki sebuah tempat senar dan sebuah resonator yang secara organologis disatukan dan tidak dapat
dipisahkan tanpa merusak alat musiknya.
3. Lutes, yaitu rancangan senarnya paralel ataupun sejajar dengan kotak suaranya.
4. Handle lute, yaitu lute yang dipegang. Husapi ini dimainkan dengan menggunakan tangan.
5. Necked lute, yaitu lute yang berleher. Secara fisik husapi ini memiliki leher dengan letak senarnya sejajar dengan kotak resonatornya.
6. Plucked instrument, yaitu alat musik yang dimainkan dengan cara
dipetik dan secara teknis dipetik dengan menggunakan jari tangan kanan dan terkadang menggunakan claver.
7. Fretless, yaitu alat musik husapi ini tidak memiliki batas pemisah pada papan jari penghasil nadanya (fret).
Konstruksi bagian-bagian husapi ini merupakan satu keutuhan dari alat musik yang memberikan deskripsi alat itu sendiri dalam bentuk karakteristiknya.