• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Eksperimental Bata Beton (Paving Block) Menggunakan Abu Vulkanik Erupsi Gunung Sinabung Sesuai SNI 03-0691-1996

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Eksperimental Bata Beton (Paving Block) Menggunakan Abu Vulkanik Erupsi Gunung Sinabung Sesuai SNI 03-0691-1996"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Paving Block

Paving Block atau concrete block merupakan perkerasan block beton

yang merupakan versi modern block granit. Concrete Block umumnya digunakan

untuk jalan kecil atau jalan kendaraan dan apabila kegunaannya untuk pelayanan

yang banyak, masalah pecahan atau pemulihan permukaan dapat diminimumkan

(Wignal,1999).

Bata beton (paving block) menurut SNI 03-0691-1996 adalah suatu

komposisi suatu bahan bangunan yang dibuat dari campuran semen Portland atau

bahan perekat hidrolis sejenisnya, air dan agregat dengan atau tanpa bahan

tambahan lainnya yang tidak mengurangi mutu bata beton itu.

2.2Klasifikasi Paving Block

Berdasarkan klasifikasinya Paving Block dibedakan menjadi beberapa

klasifikasi diantaranya yaitu :

2.2.1 Klasifikasi Paving Block Berdasarkan Cara Pembuatannya

Berdasarkan cara pembuatannya Paving Block dapat digolongkan dalam

beberapa jenis yaitu :

a) Paving Block Press Manual / Tangan

Paving Block Press Manual/ Tangan yang diproduksi secara manual

dengan tangan. Paving Block jenis ini termasuk jenis beton kelas D (8.5 - 10

MPa). Sesuai dengan mutunya yang rendah, bata beton jenis ini memiliki nilai

jual rendah. Sedangkan untuk pemakaiannya, bata beton press manual umumnya

digunakan untuk perkerasaan non struktural, seperti halaman rumah, trotoar jalan,

dan perkerasaan lingkungan dengan daya beban rendah.

b) Paving Block Press Mesin Vibrasi / Getar

Paving Block jenis ini diproduksi dengan mesin press sistem getar dan

umumnya memiliki mutu beton kelas C-B (12.5-20 MPa). Dalam pemakaiannya

Paving Block Press Mesin Vibrasi ini banyak digunakan sebagai alternatif

perkerasan di pelataran garasi rumah dan lahan parkiran.

(2)

Paving Block jenis ini diproduksi dengan cara dipress menggunakan

mesin press hidrolik dengan kuat tekan diatas 300 kg/cm². Concrete Block press

hidrolik dapat dikategorikan sebagai paving block dengan mutu beton kelas B-A

(17-40 MPa).

Pemakaian Concrete Block jenis ini dapat digunakan untuk keperluan

non struktural maupun untuk keperluan struktural yang berfungsi untuk menahan

beban yang berat yang dilalui diatasnya, seperti: areal jalan lingkungan hingga

sebagai perkerasan lahan pelataran terminal peti kemas di pelabuhan (Wintoko,

2007).

d)Klasifikasi Concrete Block Berdasarkan Penggunaan Menurut

SNI SNI 03-0691-1996 ada 4 tipe mutu Concrete Block :

Mutu Concrete Block Tipe A : digunakan untuk jalan

Mutu Concrete Block Tipe B : digunakan untuk peralatan parkir

Mutu Concrete Block Tipe C : digunakan untuk pejalan kaki

Mutu Concrete Block Tipe D : digunakan untuk taman

Mutu

Kuat Tekan

(MPa)

Ketahanan aus

( mm/menit )

Penyerapan air rata-

rata maks.

Rata-rata Min. Rata-rata Min ( % )

A 40 35 0.090 0.103 3

B 20 17.0 0.130 0.149 6

C 15 12.5 0.160 0.184 8

D 10 8.5 0.219 0.251 10

(3)

Paving block yang diproduksi secara manual biasanya termasuk dalam

mutu beton kelas D atau C yaitu untuk pemakaian non struktural seperti untuk

taman dan penggunaan lain yang tidak diperlukan untuk menahan beban

diatasnya. Mutu paving block yang pengerjaannya dengan menggunakan mesin

pres dapat dikategorikan ke dalam mutu beton kelas C sampai A dengan kuat

tekan diatas 12,5 MPa bergantung pada perbandingan campuran bahan yang

digunakan.

2.3. Semen Portland

Semen Portland adalah suatu bahan pengikat hidrolis (hydraulic binder)

yang dihasilkan dengan menggiling klinker yang terdiri dari kalsium silikat

hidrolik, yang umumnya mengandung satu atau lebih bentuk kalsium sulfat

sebagai bahan tambahan yang digiling bersama-sama dengan bahan utamanya.

2.3.1 Jenis Semen Portland

Jenis/tipe semen yang digunakan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kuat tekan beton, dalam hal ini perlu diketahui tipe semen yang

telah distandarardisasi di Indonesia. Menurut SNI 0031-81, semen Portland dibagi

menjadi lima tipe, yaitu :

Tipe I

Ordinary Portland Cement (OPC), semen untuk penggunaan umum,tidak

memerlukanpersyaratan khusus (panas hidrasi, ketahanan terhadap sulfat,

kekuatan awal)

Tipe II

Moderate Sulphate Cement, semen untuk beton yang tahan terhadap sulfat sedang

danmempunyai panas hidrasi sedang.

Tipe III

High Early Strength Cement, semen untuk beton dengan kekuatan awal tinggi

(cepatmengeras)

Tipe IV

Low Heat of Hydration Cement, semen untuk beton yang memerlukan panas

(4)

Tipe V

High Sulphate Resistance Cement, semen untuk beton yang tahan terhadap

kadar sulfat tinggi.

Semen yang digunakan dalam penelitian ini adalah semen jenis OPC

(OrdinaryPortland Cement) atau Tipe I, yaitu semen hidrolis yang dipergunakan

secara luas untukkonstruksi umum, seperti konstruksi bangunan yang tidak

memerlukan persyaratan khusus, antara lain bangunan perumahan, gedung-

gedung bertingkat, jembatan, landasan pacu dan jalan raya.

2.3.2. Bahan Penyusun Semen Portland

Bahan utama pembentuk semen portland adalah kapur (CaO), silica

(SiO3), alumina (Al2O3), sedikit magnesia (MgO), dan terkadang sedikit alkali.

Untuk mengontrol komposisinya, terkadang ditambahkan oksida besi, sedangkan

gipsum (CaSO4.2H2O) ditambahkan untuk mengatur waktu ikat semen. (Tri

Mulyono, 2004). Komposisi senyawa utama dan senyawa pembentuk dalam

semen portland dapat dilihat pada tabel 2.2 dan 2.3 berikut ini.

Tabel 2.2 Komposisi senyawa utama semen portland (Tri Mulyono, 2003)

Nama Kimia Rumus Kimia Notasi Persen Berat

Trikalsium Silikat 3CaO.SiO2 C3S 55

Dikalsium Silikat 2CaO.SiO2 C2S 18

Tirikalsium aluminat 3CaO.Al2O3 C3A 10

Tetrakalsium Aluminoferit 4CaO.Al2O3.Fe2O3 C4AF 8

Gipsum CaSO4.2H2O CSH2 6

(5)

2.4Agregat

Agregat adalah bahan-bahan campuran beton yang saling diikat oleh

perekat semen (CUR 2, 1993).Kandungan agregat dalam campuran beton

biasanya sangat tinggi, yaitu berkisar 60%-70% dari volume beton. Agregat ini

harus bergradasi sedemikian rupa sehingga seluruh massa beton dapat berfungsi

sebagai benda yang utuh, homogen, dan rapat, di mana agregat yang kecil

berfungsi sebagai pengisi celah yang ada di antara agregat berukuran besar

(Nawy, 1998).

Agregat dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu agregat alam dan agregat

buatan (pecahan).Agregat alam dan pecahan inipun dapat dibedakan berdasarkan

beratnya, asalnya, diameter butirnya (gradasi), dan tekstur permukaannya.

2.4.1 Agregat Halus

Agregat halus adalah agregat berupa pasir alam sebagai hasil disintegrasi

alami daribatu-batuan atau berupa pasir buatan yang dihailkan oleh alat-alat

pemecah batu, dan mempunyai ukuran butir terbesar 5 mm atau lolos saringan

no.4 dan tertahan pada saringan no.200.

Agregat halus yang digunakan pada campuran beton harus memenuhi

persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

1. Susunan Butiran ( Gradasi )

Modulus kehalusan (fineness modulus), menurut hasil penelitian (larrard,

1990)menunjukan bahwa pasir dengan modulus kehalusan 2,5 s/d 3,0 pada

umumnya akan menghasilkan beton mutu tinggi (dengan fas yang rendah) yang

mempunyai kuat tekan dan workability yang optimal. Agregat halus yang

digunakan harus mempunyai gradasi yang baik, karena akan mengisi ruang-ruang

kosong yang tidak dapat diisi oleh material lain sehingga menghasilkan beton

(6)

akan memperlihatkan jenis dari agregat halus tersebut. Melalui analisa saringan

maka akan diperoleh angka Fine Modulus. Melalui Fine Modulus ini dapat

digolongkan 3 jenis pasir yaitu :

 Pasir kasar : 2.9 < FM < 3.2

 Pasir Sedang : 2.6 < FM < 2.9

 Pasir Halus : 2.2 < FM < 2.6

Selain itu ada juga batasan gradasi untuk agregat halus, sesuai dengan ASTM

C33– 74a.

Batasan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.3 Batasan gradasi untuk agregat halus menurut ASTM C33-74a

Ukuran Saringan ASTM Persentase berat yang lolos pada tiap Saringan (%)

9.5 mm (3/8 in) 100

4.76 mm (No. 4) 95 – 100

2.36 mm ( No.8) 80 – 100

1.19 mm (No.16) 50 – 85

0.595 mm ( No.30 ) 25 – 60

0.300 mm (No.50) 10 – 30

0.150 mm (No.100) 2 – 10

2. Kadar Lumpur atau bagian yang lebih kecil dari 75 mikron ( ayakan no.200 ),

tidak boleh melebihi 5 % ( ternadap berat kering ). Apabila kadar Lumpur

melampaui 5 % maka agragat harus dicuci.

3. Kadar Liat tidak boleh melebihi 1 % ( terhadap berat kering )

4. Agregat halus harus bebas dari pengotoran zat organic yang akan merugikan

beton, atau kadar organic jika diuji di laboratorium tidak menghasilkan warna

yang lebih tua dari standart percobaan Abrams – Harder dengan batas standarnya

pada acuan No 3.

Agregat halus yang digunakan untuk pembuatan beton dan akan mengalami

basah danlembab terus menerus atau yang berhubungan dengan tanah basah, tidak boleh

(7)

cukup dapat menimbulkan pemuaian yang berlebihan di dalam mortar atau beton

dengan semen kadar alkalinya tidak lebih dari 0,60% atau dengan penambahan yang

bahannya dapat mencegah pemuaian.

Sifat kekal (keawetan) diuji dengan larutan garam sulfat :

a. Jika dipakai Natrium – Sulfat, bagian yang hancur maksimum 10 %.

b. Jika dipakai Magnesium – Sulfat, bagiam yang hancur maksimum 15%.

2.5 Air

Fungsi dari air disini antara lain adalah sebagai bahan pencampur antara

semen dan agregat. Air harus bebas dari bahan yang bersifat asam, alkali, dan

minyak.Air yang mengandung tumbuh-tumbuhan busuk harus benar-benar

dihindari karena dapat mengganggu pengikatan semen.Pada umumnya air yang

memenuhi persyaratan sebagai air minum juga memenuhi syarat bila dipakai

untuk membuat beton, dengan pengecualian pada air minum yang banyak

mengandung sulfat (Oglesby, 1996).

Air yang mengandung kotoran yang cukup banyak akan mengganggu

proses pengerasan atau ketahanan beton. Kotoran secara umum dapat

menyebabkan :

1. Gangguan pada hidrasi dan pengikatan

2. Gangguan pada kekuatan dan ketahanan

3. Perubahan volume yang dapat menyebabkan keretakan

4. Korosi pada tulangan baja maupun kehancuran beton

5. Bercak-bercak pada permukaan beton.

Untuk air perawatan, dapat dipakai juga air yang dipakai untuk

pengadukan, tetapi harus yang tidak menimbulkan noda atau endapan yang

merusak warna permukaan beton. Besi dan zat organis dalam air umumnya

sebagai penyebab utama pengotoran atau perubahan warna, terutama jika

perawatan cukup lama.

Menurut PBI 1971 persyaratan dari air yang digunakan sebagai campuran

(8)

1. Air untuk pembuatan dan perawatan beton tidak boleh mengandung

minyak, asam alkali, garam-garam, bahan-bahan organik atau bahan lain

yang dapat merusak daripada beton.

2. Apabila dipandang perlu maka contoh air dapat dibawa ke Laboratorium

Penyelidikan Bahan untuk mendapatkan pengujian sebagaimana yang

dipersyaratkan.

3. Jumlah air yang digunakan adukan beton dapat ditentukan dengan ukuran

berat dan harus dilakukan setepat-tepatnya.

Air yang berlebihan akan menyebabkan banyaknya gelembung air setelah

proses hidrasi selesai, sedangkan air yang terlalu sedikit akan menyebabkan proses hidrasi tidak seluruhnya selesai. Sebagai akibatnya batako yang dihasilkan akan kurang kekuatannya.

Adapun hukum perbandingan air semen dari Abrams, sebagai berikut :

“Pada bahan-bahan beton dan keadaan pengujian tertentu, jumlah air campuran yang dipakai menentukan kekuatan beton, selama campuran cukup plastis dan dapat dikerjakan” (Murdock,L.J.,1991).

Hukum ini memberikan arti, bahwa beton yang dipadatkan sempurna dengan agregat yang baik dan pada kadar semen tertentu, kekuatannya tergantung pada perbandingan air semen. Maka bukan perbandingan jumlah air terhadap total (semen + agregat halus) material yang menentukan, melainkan hanya perbandingan antara air dan semen pada campuran yang menentukan.

2.6 Debu Vulkanik

Debu vulkanik merupakan mineral batuan vulkanik termasuk material glass yang memiliki ukuran sebesar pasir dan kerikil dengan diameter kurang lebih 2 mm (1/2 inchi) yang merupakan hasil erupsi gunung berapi.Partikel abu sangat kecil tersebut dapat memiliki penampang lebih kecil dari 0,001 mm (1/25,000th of an inch).

(9)

Gambar 2.1 Debu Vulkanik

Dari hasil pengujian di lab karakteristik debu vulkanik mengandung unsur:

Tabel 2.4. Kandungan kimia debu vulkanik erupsi gunung sinabung

No. Parameter Hasil Satuan Metode

1 Silika sebagai SIO2 85,6 % Gravimetri

2 Aluminium sebagai AL2O3 0,95 % Perhitungan

3 Kalsium sebagai CAO 4,78 % Gravimetri

4 Magnesium sebagai MgO 4,48 % Gravimetri

5 Kadar Air 1,43 % Gravimetri

(Sumber : Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan, Laboraturium Penguji, Kementrian Perindustrian)

Dari hasil pemeriksaan kandungan kimia diatas maka sangat dimungkinkan dilakukannya pemanfaatan abu tersebut sebagai bahan pasir dan semen yang dapat digunakan pada pembuatan paving block.

2.7 Pengujian Benda Uji

Pengujian benda uji paving block menurut SNI 031-0691-1996 yaitu :

2.7.1 Pengujian Sifat Tampak

bata beton harus mempunyai permukaan yang rata, tidak terdapat retak-

retak dan cacat, bagian sudut dan rusuknya tidak mudah direpihkan dengan

kekuatan jari tangan. Semua hal itu diperiksa dengan pengamatan yang teliti yaitu

dengan cara bata disusun diatas permukaan yang rata sebagaimana pada

pemasangan yang sebenarnya.

2.7.2 Pengujian Ukuran

Bata beton harus memiliki tebal nominal 60 minimum 60 mm dengan

toleransi +8%. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan pipa kapiler atau

(10)

tempat yang berbeda dan diambil nilai rata-rata. Pengujian dilakukan terhadap 10

buah contoh uji.

2.7.3 Pengujian Kuat Tekan

1) Ambil 10 buah contoh uji masing-masing dipotong berbentuk kubus dan

rusuk-rusuknya disesuaikan dengan ukuran contoh uji.

2) Contoh uji yang telah siap, ditekan hingga hancur dengan mesin penekan

yang dapat diatur kecepatannya. Kecepatan penekanan dari mulai

pemberian beban sampai contoh uji hancur diatur dalam waktu 1 sampai 2

menit arah penekanan pada contoh uji disesuaikan dengan arah tekanan

beban didalam pemakaiannya.

3) Kuat tekan dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Dimana : P = beban tekan, N

L = luas bidang tekan

Kuat tekan rata-rata dari contoh bata beton dihitung dari jumlah kuat tekan

dibagi jumlah contoh uji.

2.7.4 Pengujian Ketahanan aus

1) Ambil lima buah contoh uji dipotong berbentuk bujur sangkar dengan

ukuran 50 mm x 50 mm dan tebal 20 mm (untuk pengujian ketahanan

aus).

1) Sisa dari pemotongan dibuat benda uji persegi dengan ukuran kurang dari

20 mm (untuk penentuan berat jenis)

2) Mesin aus yang dipergunakan, cara-cara mengaus dan mencari berat jenis

dikerjakan sesuai SNI 03-0028-1987, cara uji ubin semen.

3) Benda uji yang telah diukur dan telah ditimbang, diletakkan pada

tempatnya pada mesin pengaus, dibebani dengan beban tambahan sebesar

3 1/3 kg.

4) Mesin pengaus dijalankan dan setelah pengaus pertama berlangsung 1

menit, benda uji diputar 90°, dan pengausan dilanjutkan.

5) Setiap setelah pengausan berlangsung 1 menit benda uji diputar 90°, dan

(11)

pengausan, permukaan yang diaus harus selalu diamati setiap menit

apakah lapisan kepala ini telah ada yang habis.

6) Benda uji yang lapisan kepalanya tidak habis setelah pengausan selama 5

menit, dibersihkan dari debu dan serpihan kemudian ditimbang ampai

ketelitian 10 mg.

7) Jika sebelum pengausan berlangsung 5 menit lapisan kepala telah ada yang

habis, pengausan dihentikan pada menit terakhir habisnya lapisan kepala,

lalu benda uji dibersihkan dari debu dan ditimbang.

8) Catat hasil penimbangan ini dan hitung selisih berat benda uji sebelum dan

sesudah diaus. Bagi benda uji yang belum habis lapisan kepalanya,

pengausan dapat dilanjutkan sampai pada menit-menit habisnya lapisan

kepala atau sampai menit ke 15.

9) Benda uji untuk berat jenis lapisan kepala, setelah kering ditimbang lalu

ditentukan volumenya. Hitung berat jenis masing-masing benda uji dengan

ketelitian sampai 2 desimal, dan hitung nilai rata-rata dari 10 benda uji.

10) Ketahanan aus masing-masing benda uji dapat dihitung sebagai berikut :

Dimana :

A = selisih berat benda uji sebelum dan sesudah diaus, dalam g

BJ= berat jenis rata-rata lapisan kepala

I = Luas permukaan bidang aus, dalam

w = Lamanya pengausan, dalam menit.

2.7.5 Ketahanan Terhadap Natrium Sulfat

a. Peralatan pengujian :

1) Larutan jenuh garam natrium sulfat yang jernih dengan berat jenis antara

1,151-1,174.

2) Bejana tempat merendam contoh dalam larutan natrium sulfat

b. Prosedur Pengujian :

1) Dua buah benda uji utuh (bekas pengujian ukuran) dibersihkan dari

kotoran yang melekat, kemudian dikeringkan dalam dapur pengering

(12)

2) Setelah dingin ditimbang sampai ketelitian 0,1 gram, kemudian direndam

dalam larutan jenuh garam natrium sulfat selama 16 sampai dengan 18

jam, setelah itu diangkat dan didiamkan dulu agar cairan yang berlebih

meniris.

3) Selanjutnya masukkan benda uji kedalam dapur pengering pada suhu

(105+2) °C selama kurang lebih 2 jam, kemudian didinginkan sampai

suhu kamar.

4) Ulangi pernedaman dan pengeringan ini sampai 5 kali berturut-turut.

5) Pada pengeringan yang terakhir, benda uji dicuci sampai tidak ada lagi

sisa sisa garam sulfat yang tertinggal.

6) Untuk mengetahui bahwa tidak ada lagi garam sulfat yang tertinggal,

larutan pencucinya dapat diuji dengan larutan ��2.

7) Untuk mempercepat pencucian dapat dilakukan pencucian dengan air panas bersuhu kurang lebih 40-50 °C.

8) Setelah pencucian sampai bersih, benda uji dikeringkan dalam dapur

pengering sampai berat tetap (± 2-4 jam), didinginkan dalam eksikator.

Kemudian ditimbang lagi sampai ketelitian 0,1 gram.

9) Disamping itu diamati keadaan benda uji apakah setelah perendaman

dalam larutan garam natrium sulfat terjadi atau Nampak adanya retakan,

gugusan atau cacat-cacat lainnya.

10) Laporkan keadaan setelah perendaman itu dengan kata-kata :

- Baik/ tidak cacat, bila tidak Nampak adanya retak-retak atau perubahan

lainnya

- Cacat/ retak-retak, bila Nampak adanya retak-retak (meskipun kecil),

rapuh, gugus dan lain- lain.

11) Apabila selisih penimbangan sebelum perendaman dan setelah

perendaman tidak lebih dari 1 % dan benda uji tidak cacat nyatakan

benda-benda uji tadi baik. Bila selisih penimbangan dari 2 diantara 3

benda uji tadi lebih besar dari 1 %, sedang benda ujinya baik (tidak cacat)

(13)

19 2.7.6 Pengujian Penyerapan Air

1) Lima buah benda uji dalam keadaan utuh direndam dalam air hingga jenuh

(24jam), ditimbang beratnya dalam keadaan basah

2) Kemudian dikeringkan dalam dapur pengering selama kurang lebih 24

jam, pada suhu kurang lebih 105°C sampai beratnya pada dua kali

penimbangan berselisih tidak lebih dari 0,2% penimbangan yang

terdahulu.

3) Penyerapan air dihitung sebagai berikut

Penyerapan air = A−B x 100%

B

Dimana : A = berat beton basah

Gambar

Tabel 2.1  Mutu Paving Block
Tabel 2.2 Komposisi senyawa utama semen portland (Tri Mulyono, 2003)
Gambar 2.1 Debu Vulkanik

Referensi

Dokumen terkait

Teknologi Beton dan Material, Pembuatan Beton Kinerja Tinggi.. Yogyakarta: