BAB III
PROSEDUR PENGAJUAN DISPENSASI NIKAH DI PENGADILAN AGAMA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Dispensasi Nikah.
1. Pengertian Dispensasi Nikah.
Dispensasi adalah kelonggaran, pengecualian, memberikan keringanan,
memberikan kelonggaran dalam hal khusus dari ketentuan undang-undang83 Sedangkan kata nikah menurut Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja adalah menjalin
kehidupan baru dengan bersuami atau beristri, menikah, melakukan hubungan
seksual, bersetubuh.84Dapat disimpulkan bahwa dispensasi nikah adalah kelonggaran yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur
untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 (sembilan
belas) tahun dan wanita belum mencapai 16 (enam belas) tahun.
Sementara yang dimaksud dengan dispensasi Pengadilan Agama adalah
penetapan yang berupa dispensasi untuk calon suami yang belum mencapai umur 19
tahun dan atau calon isteri yang belum mencapai umur 16 tahun yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama.85Merujuk pada pengertian dispensasi, maka dapat diketahui
bahwa dispensasi perkawinan adalah penyimpangan atau pengecualian terhadap
ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974.
83
Zainal Bahry,Kamus Umum, (Bandung: Angkasa, 1996), hal. 55.
84Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Difa Publisher, 2005), hal 432.
2. Dasar Hukum Dispensasi Nikah
Mengenai dispensasi nikah, undang-undang telah mengaturnya seperti yang
tertera dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, yang terdapat dalam pasal 7 ayat (2) yang
isinya:
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. Penyimpangan dimaksud adalah terhadap ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Selanjutnya bagi yang beragama Islam tentang dispensasi ini diatur lebih
lanjut dalam Permenag Nomor 2 Tahun 1990 yang dalam Pasal 1 ayat (2) sub g
menentukan “Dispensasi Peradilan Agama ialah penetapan yang berupa dispensasi
untuk calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan atau calon istri yang
belum mencapai umur 16 tahun yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama”. Dalam
Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa “Apabila seorang calon suami belum mencapai
umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai umur 16 tahun hendak melangsungkan
pernikahan, maka harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama”.
Pengadilan Agama telah memeriksa dalam perundangan dan berkeyakinan
bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut,
maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan.
(Permenag Nomor 2 Tahun 1990 Pasal 13 ayat (3)). Dari bunyi ketentuan Pasal 13
ayat (1) sub g, maka dapat dipahamai bahwa dispensasi perkawinan itu hanya
diperuntukkan bagi calon suami istri yang belum mencapai umur 19 dan 16 tahun dan
B. Syarat-syarat Pengajuan Dispensasi Nikah.
Permohonan dispensasi nikah ini diajukan oleh orang tua Pemohon yang
anaknya masih di bawah batas minimal usia nikah, baik orang tua si pria mupun
orang tua si wanita kepada Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
Pemohon.86Setelah memeriksa dalam persidangan, dan berkeyakinan terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk diberikan dispensasi, maka Pengadilan Agama
memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan. Kemudian salinan penetapan
itu dibuat dan diberikan kepada Pemohon sebagai syarat untuk melangsungkan
pernikahan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan dispensasi
nikah adalah sebagai berikut:87 1. Surat permohonam
2. Surat Pengantar Desa/Lurah
3. Surat Penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA); bermaterai
Rp.6.000,-4. Fotocopy KTP Pemohon
5. Fotocopy Akte Kelahiran yang akan menikah bermaterai
Rp.6.000,-6. Fotocopy KTP yang akan menikah bermaterai Rp.
6.000,-7. Fotocopy Surat Nikah Ayah Pemohon bermaterai Rp.
6.000,-86
Wawancara dengan Abdul Halim Ibrahim, selaku Hakim pada Pengadilan Agama Medan tanggal 26 Agustus 2013.
Pengajuan permohonan dispensasi nikah dilakukan setelah terjadinya
penolakan untuk menikahkan para calon mempelai, maka surat penolakan dari Kantor
Urusan Agama (KUA) dijadikan sebagai dasar mengajukan. Permohonan dispensasi
kepada Pengadilan Agama, tahap pertama yang dilakukan adalah orang tua calon
mempelai membuat surat permohonan yang ditujukan ke Ketua Pengadilan Agama
setempat. Surat permohonan tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu identitas Pemohon
dengan menyebutkan kedua calon mempelai yang hendak menikah, kemudian
alasan-alasan (Posita) mengajukan permohonan dispensasi pernikahan dan menyebutkan inti
permohonan (Petitum) Setelah didaftarkan disertai dengan membayar biaya perkara
kemudian akan ada panggilan sidang ke alamat pemohon kemudian ketika
persidangan pemohon menghadirkan para calon mempelai, bukti surat dan saksi,
setelah menjalani persidangan maka oleh majelis hakim yang memeriksa perkara
akan dikeluarkan Penetapan izin pernikahan.
Pada dasarnya mengajukan dispensasi nikah sama persis dengan pengajuan
perkara gugatan biasa. Pertama-tama Pemohon harus membuat surat permohonan
dispensasi nikah yang ditujukan kepada Ketua PA. Permohonan ini bisa dibuat
sendiri, bisa juga dibuatkan oleh panitera PA. Lalu permohonan ditandatangani dan
didaftarkan di bagian kepaniteraan. Kemudian Panitera akan menaksir besarnya
panjar biaya perkara, baru setelah itu Pemohon membayar panjar perkara ke rekening
bank yang ditunjuk. Terakhir Pemohon menyerahkan kuitansi pembayaran kepada
Panitera. Setelah semua terpenuhi, Pemohon tinggal menunggu surat panggilan
C. Prosedur Pengajuan Permohonan Dispensasi Nikah.
Dispensasi nikah diperlukan bagi calon pengantin pria yang belum berumur
19 tahun dan calon pengantin wanita belum berumur 16 tahun. Sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (UU
No.1/1974 pasal 7(1)). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita (UU No.1/1974 pasal 7(2)).
Selanjutnya dalam pelaksanaan teknis ketentuan UU itu, dalam permeneg
No.3 tahun 1975 ditentukan: Dispensasi Pengadilan Agama, adalah penetapan yang
berupa dispensasi untuk calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan atau
calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun yanag dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama. (Permeneg No.3/1975 pasal 1(2) sub g). Apabila seorang calon suami belum
mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai umur 16 tahun hendak
melangsungkan pernikahan harus harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama;
(Permeneg No.3/1975 pasal 13(1). Permohonan dispensasi nikah bagi mereka
tersebut pada ayat (1) pasal ini, diajukan oleh orang tua pria maupun wanita kepada
pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggalnya; (Permeneg No.3/1975 pasal
13(2).
Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan, dan berkeyakinan,
bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut,
(Permeneg No.3/1975 pasal 13 (3). Dalam hal permohonan dispensasi perkawinan ini
harus dari orang tua atau wali calon pengantin, jadi bukan calon pengantin itu seperti
pada permononan izin kawin bagi yang belum berumur.
Seseorang yang hendak menikah namun usianya belum mencukupi menurut
UU Perkawinan harus mendapatkan izin dari Pengadilan. Khusus yang beragama
Islam, pengajuan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama oleh orang tua
sebagai pemohon. Prosedur pengajuan perkara permohonan sama dengan prosedur
pengajuan perkara gugatan. Adapun prosedur pengajuan perkara permohonan di
Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:88
Pertama: Sebelum pemohon mengajukan permohonannya, pemohon ke
prameja terlebih dahulu untuk memperoleh penjelasan tentang bagaimana cara
berperkara, cara membuat surat permohonan, dan diprameja pemohon dapat minta
tolong untuk dibuatkan surat permohonan.
Kedua: Surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan pada
sub kepaniteraan permohonan, pemohon menghadap pada meja pertama yang akan
menaksir besarnya panjar biaya perkara dan menuliskanya pada Surat Kuasa untuk
Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah
mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, yang berdasarkan pasal 193 R.Bg
atau pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 ayat (1) UUPA.
Ketiga: Pemohon kemudian menghadap kepada kasir dengan menyerahkan
surat permohonan dan SKUM. Kasir kemudian menerima uang tersebut dan mencatat
dalam jurnal biaya perkara, menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda
lunas pada SKUM, dan mengembalikan surat permohonan dan SKUM kepada
Pemohon.
Keempat: Pemohon kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan
surat permohonan dan SKUM yang telah dibayar.
Proses penyelesaian perkara permohonan dispensasi kawin di Pengadilan
Agama, Ketua Majelis Hakim setelah menerima berkas perkara, bersama-sama hakim
anggotanya mempelajari berkas perkara. Kemudian menetapkan hari dan tanggal
serta jam kapan perkara itu disidangkan serta memerintahkan agar para pihak
dipanggil untuk datang menghadap pada hari, tanggal, dan jam yang telah ditentukan.
Kepada para pihak diberitahukan pula bahwa mereka dapat mempersiapkan
bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Namun, biasanya bukti-bukti sudah
dititipkan kepada panitera sebelum persidangan. Setelah persidangan dibuka dan
dinyatakan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis, maka para pihak berperkara
dipanggil ke ruang persidangan. Kemudian Ketua Majelis berusaha menasehati
pemohon, anak pemohon dan calon anak pemohon dengan memberikan penjelasan
tentang sebab akibatnya apabila pernikahan dilakukan belum cukup umur dan agar
menunda pernikahannya. Bila tidak berhasil dengan nasehat-nasehatnya, kemudian
Ketua Majelis membacakan surat permohonan pemohon yang telah didaftarkan di
Selanjutnya Ketua Majelis memulai pemeriksaan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pemohon, anak pemohon dan calon anak pemohon
secara bergantian. Kemudian Ketua Majelis melanjutkan pemeriksaan bukti surat, dan
pemohon menyerahkan bukti surat, seperti foto copy surat kelahiran atas nama anak
pemohon yang dikeluarkan oleh kepala desa atau kelurahan, oleh Ketua Majelis
diberi tanda P.1. Surat pemberitahuan penolakan melangsungkan pernikahan Model
N-9 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama. Selanjutnya Ketua Majelis
menyatakan sidang disekors untuk musyawarah. Pemohon, anak pemohon dan calon
anak pemohon diperintahkan ke luar dari ruang persidangan. Setelah musyawarah
selesai, skors dicabut dan pemohon dipanggil kembali masuk ke ruang persidangan,
kemudian dibacakan penetapan.
Adapun prosedur dispensasi nikah yang diatur dalam Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 1975, dalam pasal 13 mengatur tentang pemahaman
dispensasi bagi anak yang belum mencapai umum minimum, yakni:
1. Apabila seseorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon isteri
belum mencapai umur 16 tahun hendak melangsungkan pernikahan harus
mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama.
2. Permohonan dispensasi nikah bagi mereka tersebut pada ayat (1) pasal ini,
diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggalnya.
3. Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan
tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu
penetapan.
4. Salinan penetapan itu dibuat dan diberikan kepada pemohon untuk memenuhi
persyaratan melangsungkan pernikahan.
Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan, dan berkeyakinan,
bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut,
maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan;
(permeneg No.3/1975 pasal 13 (3). Prosedur perkara dispensasi perkawinan di
Pengadilan Agama Kota Medan bersifat mutlak, karena dengan adanya prosedur yang
dilalui dalam setiap pengajuan perkara maka akan terjalankan proses beracara di
BAB IV
PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MEDAN NOMOR: 110/Pdt.P/2011/PA-Mdn
A. Duduk Perkaranya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pengadilan Agama Medan, dapat
diketahui lebih dalam tentang Penetapan Dispensasi Nikah, Penetapan Pengadilan
Agama Medan Nomor: 110/Pdt.P/2011/PA.Mdn, dapat diuraikan sebagai berikut:
Pengadilan Agama Medan Kelas I A yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu pada tingkat pertama. Pemohon telah mengajukan permohonan dispensasi
nikah yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan tanggal 15 Nopember
2011 dengan register perkara nomor: 110/Pdt.P/2011/PA.Mdn, dengan dalil-dalil
bahwa Pemohon adalah ayah kandung dari AS hasil perkawinannya dengan Nyonya
Y. Anak kandung Pemohon tersebut bermaksud akan menikah dengan seorang
laki-laki bernama DA, umur 19 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak menetap, tempat
kediaman di Jalan Mekar Sari, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang.
Anak kandung Pemohon dengan DA tersebut sudah sangat akrab sehingga
Pemohon sangat merasa khawatir akan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan ditinjau dari hukum Islam atau kehidupan masyarakat pada umumnya,
oleh karena saat ini anak kandung Pemohon tersebut masih berusia 15 tahun dimana
menurut ketentuan hukum yang berlaku bahwa calon isteri yang belum mencapai usia
19 tahun harus terlebih dahulu mendapat dispensasi Pengadilan Agama untuk
calon suami anak Pemohon yang bernama DA tersebut ke persidangan apabila hakim
memerintahkan untuk itu
Pada hari yang sidang yang telah ditetapkan untuk memeriksa perkara ini,
Pemohon telah dipanggil secara resmi dan patut, terhadap panggilan tersebut
Pemohon telah hadir secara in-person di persidangan, kemudian Majelis Hakim telah
memberikan saran dan nasehat agar Pemohon mempertimbangkan kembali
permohonannya dan menunda perkawinan sampai batas usia yang ditentukan oleh
undang-undang, tetapi Pemohon tetap pada pendiriannya. Anak Pemohon dan yang
bernama AS dan calon suami anak Pemohon yang bernama DA hadir di persidangan.
Selanjutnya karena perkara ini adalah perkara permohonan dalam pengertian
voluntair (tanpa adanya pihak lawan) yang harus diputus dalam bentuk penetapan,
maka mediasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tidaklah dapat
dilaksanakan. Kemudian setelah surat permohonan tersebut dibacakan yang isinya
sebagaimana tersebut diatas dengan mempertegas secara lisan dalil-dalil
permohonannya yang keterangannya sebagaimana telah dicatat dalam berita acara
sidang, kemudian Pemohon menyatakan tetap mempertahankan permohonannya.
Majelis Hakim telah meminta keterangan pada anak Pemohon tersebut yang
bernama AS dan calon suaminya yang bernama DA, yang mana pada intinya mereka
tidak keberatan bahkan berkeinginan untuk segera menikah.
B. Pertimbangan Hukum Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor: 110/Pdt.P/2011/PA-Mdn.
Adapun maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana yang
hadir secara in-person menghadap di persidangan, demikian pula calon mempelai
wanita dan calon mempelai pria hadir dipersidangan. Majelis Hakim telah berusaha
secara optimal memberikan nasehat, saran, pandangan tentang hak dan kewajiban
suami isteri, kepada Pemohon supaya bersabar dan mengurungkan maksudnya dan
atau menunda sampai calon mempeai wanita tersebut mencapai batas umur yang
ditentukan undang-undang, tetapi Pemohon tetap pada permohonannya.
Adapun dasar hukum yang dijadikan alasan oleh Pemohon dalam
permohonannya adalah Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang secara tegas menentukan bahwa “dalam hal penyimpangan
dalam ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak wanita ...” junctis Pasal 6 ayat (2)
huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Pasal 15 Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia yang menentukan bahwa “Untuk kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 yakni calon wanita sekurang-kurangnya berumur 16 tahun...”.
Berdasarkan penjelasan pasal 49 huruf a angka 3 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, secara kompetensi absolut, Pengadilan
Agama berwenang memeriksa dan memutus perkara ini. Bahwa ternyata Pemohon
(orang tua calon mempelai wanita) bertempat tinggal dalam yurisdiksi Pengadilan
Untuk mempertahankan kebenaran dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah
mengajukan bukti tertulis serta menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang
keterangannya telah diuraikan pada bagian duduk perkara. Berdasarkan bukti-bukti
dan keterangan Pemohon, maka harus dinyatakan terbukti secara sah bahwa Pemohon
adalah orang tua/ayah kandung dari calon mempelai wanita (AS) berdasarkan Pasal 7
ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 harus dinyatakan terbukti bahwa
Pemohon adalah pihak yang berkapasitas dan berkepentingan mengajukan perkara ini
(persona standi in judicio).
Bukti P. 1 membuktikan bahwa AS belum pernah menikah, dan didukung
dengan bukti P. 5 serta keterangan 2 (dua) orang saksi yang dihadirkan oleh Pemohon
di persidangan yang menyatakan bahwa Pemohon dan keluarganya telah ada
kesepakatan untuk menikahkan anak Pemohon tersebut, bahkan keluarga kedua belah
pihak telah menyetujui dan merestui serta telah menentukan hari pernikahannya. Hal
tersebut membuktikan kesungguhan AS sebagai calon isteri untuk menikah dengan
seorang laki-laki bernama DA. Saksi Pemohon menjelaskan bahwa AS dan DA telah
menjalin hubungan cinta selama lebih kurang 3 bulan lamanya, terlihat semakin akrab
bahkan telah melakukan hubungan intim, kemudian keluarga Pemohon telah
membicarakan kelanjutan hubungan akrab tersebt dengan orang tua calon suaminya
dan telah merencanakan hari pernikahan, dan tidak ada halangan untuk menikah baik
ditinjau dari hubungan kekeluargaan maupun halangan yang lainnya.
Kesaksian para saksi yang dihadirkan oleh Pemohon tersebut secara formil
intinya telah melihat dan mendengan langsung bahwa kasus posisi AS belum
mencapai usia yang ditentukan undang-undang untuk melangsungkan perkawinan
tetapi bermaksud akan segera menikah dan telah mendapat persetujuan kedua orang
tuanya sebagaimana telah diuraikan pada bagian duduk perkara, dan keterangan para
saksi tersebut tidak bertentangan antara yang satu dengan lainnya, dengan demikian
keterangan para saksi dinilai relevan dan obyektif dengan dalil-dalil permohonan
Pemohon, oleh karenanya keterangan saksi-saksi tersebut secara materil dapat
diterima sebagai alat bukti sebagaimana dikehendaki ketentuan Pasal 308 ayat (1) dan
Pasal 309 R.Bg.
Berdasarkan dali-dalil/posita permohonan Pemohon yang telah dibuktikan
secara sah sebagaimana tersebut diatas, maka Majelis Hakim mengkonstatir peristiwa
konkrit tersebut dan menemukan fakta-fakta/peristiwa hukum sebagai berikut:
1. Bahwa anak kandung Pemohon bernama AS masih berumur 15 tahun, sejak
lebih kurang 3 (tiga) bulan yang lalu telah menjlain hubungan cinta dengan
seorang laki-laki bernama DA dan AS sudah menunjukkan kesiapan mental
untuk membentuk rumah tangga bersama DA dengan menunjukkan
keseriusannya dengan mengajukan permohonan untuk segera menikah.
2. Bahwa anak kandung Pemohon tersebut beserta keluarganya tersebut telah
ada kesepakatan dengan pihak calon mempelai laki-laki untuk melakukan
pernikahan.
3. Bahwa keluarga dari masing-masing pihak khawatir akan terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan (melanggar norma hukum) jika AS dan DA tidak segera
4. Bahwa antara AS dengan calon suaminya tidak ada larangan untuk
melangsungkan pernikahan menurut Hukum Islam, kecuali karena yang
bersangkutan yakni belum mencapai batas usia minimal untuk menikah
sebagaimana ditentukan undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, maka telah terbukti bahwa anak
kandung Pemohon yang bernama AS dengan calon suaminya yang bernama
DA telah sepakat untuk melangsungkan pernikahan, namun rencana
pernikahan tersebut terhaang karena AS belum mencapai batas usia minimal
untuk menikah, sedangkan semua persyaratan pernikahan lainnya telah
terpenuhi, tetapi apabila dispensasi nikah tidak diberikan dikhawatirkan akan
menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan pada masa yang akan
datang bagi kedua belah pihak, maka Majelis Hakim berpendapat solusi
hukum yang terbaik adalah memberikan dispensasi nikah kepada AS.
Dispensasi nikah yang diberikan Pengadilan Agama kepada pencari
keadilan adalah untuk menghindari terjadinya mudharat yang lebih besar dari
pada mashlahatnya, sesuai dengan kaidah fiqih yang selanjutnya diambil alih
sebagai pertimbangan hukum yang artinya “mencegah yang membahayakan
itu lebih diprioritaskan dari pada meraih keuntungan”89 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim berpendapat
bahwa syarat-syarat untuk melakukan pernikahan telah terpenuhi, dan
permohonan Pemohon untuk diberikan dispensasi nikah telah beralasan
bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974. Oleh karena permohonan dispensasi nikah sudah beralasan dan
tidak melawan hukum dan juga telah sesuai dengan peraturan yang berlaku,
maka Majelis Hakim berkesimpulan permohonan Pemohon sudah sepatutnya
untuk dikabulkan dengan menetapkan memberikan dispensasi nikah kepada
AS untuk menikah dengan calon suaminya yang bernama DA.
C. Analisis Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor: 110/Pdt.P/2011/PA-Mdn.
Tujuan peradilan adalah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, bukan
menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.90 Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
khususnya bagi yang beragama Islam. Hakim Peradilan Agama adalah pejabat yang
diserahi tugas untu memimpin persidangan, oleh karena itu mutlak diperlakukan
sikap arif , ia harus menjadi pelayan yang mengabdi kepada keadilan (agent of sevice)
dan menjauhkan diri dari perilaku rogansi (arrogance of power), dan menghargai
harta orang berperkara, dan mendapatkan mereka pada kedudukan yang sama di
depan hukum.91
Salah satu bentuk negara demokrasi modern adalah susunan kekuasaan
negaranya terdiri dari tiga bagian yaitu, eksekutif, legislatif dan yudikatif, tak
terkecuali Indonesia. Dalam hal ini lembaga Peradilan Agama merupakan bagian dari
kekuasaan yudikatif yang tetap menginduk kepada Mahkamah Agung (kedudukannya
90 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam
sederajad dengan Pengadilan Negeri), seperti yang diatur dalam Undang-undang
nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan
Agama yang berbunyi “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata tertentu yang diatur tentang undang ini”.
Perkembangan terakhir yang menarik untuk dicermati terkait dengan
pengaruh modernitas terhadap hukum Islam adalah amandemen terhadap
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan telah diundangkan dengan Undang-Undang-Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006.
Sebagaimana diketahui bahwa DPR RI pada tanggal 21 Februari 2006 sudah
menyetujui Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Fenomena ini merupakan awal yang baik bagi Peradilan Agama pasca satu atap (one
roof system) setelah munculnya Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah memunculkan dampak
yang sangat luas di lingkungan Peradilan Agama baik menyangkut penyiapan sumber
daya manusianya maupun penyiapan materi hukum yang siap pakai di lingkungan
Peradilan Agama khususnya terkait dengan pengangkatan anak. Bahwa Peradilan
Agama berwenang dalam hal menetapkan pengangkatan anak berdasarkan Hukum
Islam (penjelasan pada Pasal 49 huruf a angka 20 Undang-undang RI Nomor 3 Tahun
Agama ke depan mengingat selama ini masih ada kecenderungan pemahaman bahwa
dispensasi nikah harus melalui Peradilan Negeri.
Berdasarkan kasus diatas, maka dapat dianalisis sebagai berikut:
Permohonan dispensasi nikah yang telah didaftar sebagai perkara permohon
karena dalam perkara ini tidak mengandung sengketa dan oleh hakim akan diterima
dan diputus dengan membuat penetapan yang mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut. Untuk penetapan mengabulkan atau menolak permohonan
dispensasi nikah, hakim dengan kemerdekaan dan otoritas yang dimiliknya akan
melakukan penggalian hukum terhadap alasan permohonan sekaligus melakukan
penerjemahan, penafsiran, memilih dan memilah aturan yang paling tepat dan relevan
dengan dispensasi nikah yang sedang dihadapi.
Terhadap penetapan tersebut Majelis Hakim mengabulkan permohonan orang
tua AS, dengan pertimbangan bahwa permohonan dispensasi nikah tersebut
merupakan jalan keluar yang tepat untuk menghindari hal-hal negatif yang bisa
terjadi dikemudian hari. Bahwa Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon
dengan pertimbangan bahwa semua persyaratan pernikahan telah terpenuhi dan
apabila dispensasi nikah tidak diberikan dikhawatirkan akan menimbulkan dampak
negatif yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak.
Pertimbangan Hakim tersebut sudah tepat, mengabulkan permohonan
Pemohon yaitu memberikan Dispensasi Kawin kepada Pemohon untuk menikahkan
anaknya. Dengan pertimbangan bahwa akan menimbulkan mudharat yang lebih besar
tersebut tidak menyimpang dari ketentuan UU Perkawinan yang mana tidak
membahas secara khusus tentang dispensasi kawin demikian juga dalam Kompilasi
Hukum Islam.
Penetapan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang isinya “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat
(1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita” dan dalam ayat (1)
disebutkan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun. Dalam pasal 15 Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa “Untuk
kemashlahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya beromur 16 tahun”.
Berdasarkan keterangan diatas memberikan petunjuk bahwa pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menjelaskan arti dispensasi atau
batasan umur dapat dilihat dari:
1. Bahwa usia 19 tahun bagi pria adalah batas usia pada masa SLTA, sedangkan
untuk wanita batas usia 16 tahun adalah pada masa SLTP, dimana pada masa
tersebut kedua pasangan masih sangat muda. Oleh karena itu peran orang tua
sangatlah penting disini, untuk membimbing dan memberi arahan bagi masa
2. Izin orang tua sangat diperlukan. Perkawinan tidak dapat dilaksanakan tanpa
izin orang tua, khusus bagi calon wanita wali orang tua harus ada sebagai
syarat yang telah ditentukan oleh aturan hukum dalam syarat perkawinan.
Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dijelaskan bahwa prinsip undang-undang ini bahwa calon (suami-isteri)
ini harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Dari sisi lain perkawinan juga
mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Terbukti bahwa batas umur
yang rendah bagi seorang wanita untuk menikah, mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur sesorang yang menikah pada usia
yang lebih matang atau usia yang lebih tinggi.92
Penetapan dalam perkara ini lebih dilihat kepada faktor kekhawatiran orang
tua terhadap pergaulan anaknya, dimana dalam kesaksian para saksi diketahui bahwa
anak Pemohon telah terlanjur berhubungan intim dengan pasangannya, yang
dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan pada masa
yang akan datang bagi kedua belah pihak, sehingga Majelis Hakim berpendapat
solusi hukum yang terbaik adalah memberikan dispensasi nikah kepada anak
Pemohon.
92 K. Wancik Sa
Sejalan dengan pertimbangan hukum hakim diatas, menurut Hasdina Hasan,
permohonan penetapan dalam perkara ini dilakukan karena faktor kekhawatiran orang
tua yang melihat anaknya telah berhubungan terlalu dekat dengan pasangannya
bahkan telah pernah melakukan hubungan seksual. Sehingga dikhawatirkan akan
berdampak buruk apabila dibiarkan terus berlanjut dan tidak segera dinikahkan.
Kekhawatiran tersebut datang dari pihak yang akan menikah maupun dari pihak
kedua orang tua calon mempelai tersebut.93
Adanya pengaruh agama pada isi dan perkembangan suatu peraturan hukum,
maka layak apabila pengaruh agama menonjol dalam hukum perkawinan94sehingga setiap putusan dalam suatu perkara yang disidangkan diputuskan berdasarkan hukum
Islam yang berlaku.
Alasan dibenarkannya penetapan dispensasi nikah dalam penetapan ini adalah
untuk menghindari terjadinya mudharat yang lebih besar dari pada mashlahatnya,
sesuai dengan kaidah fiqih yang diambil sebagai pertimbangan hukum yaitu:
“mencegah yang membahayakan itu lebih diprioritaskan dari pada meraih
keuntungan”. Menurut persepsi hakim, madharatnya adalah ditakutkan bila tidak
dinikahkan akan menambah dosa dan terjadi perkawinan di bawah tangan yang akan
mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi. Majelis hakim juga
berpendapat bahwa syarat-syarat untuk melakukan pernikahan telah terpenuhi dan
93Wawancara dengan Hasdina Hasan, selaku Hakim pada Pengadilan Agama Medan, tanggal 26 Agustus 2013
94Arso Sastroat
permohonan dispensasi nikah sudah beralasan dan tidak melawan hukum, sehingga
Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan tersebut patut untuk dikabulkan.
Hasdina Hasan juga menyatakan bahwa alasan Majelis Hakim mengabulkan
permohonan dari pemohonan Pemohon adalah agar tidak terjadinya perbuatan yang
dilarang oleh agama. Landasan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi
perkawinan adalah apabila tidak ada terdapat halangan perkawinan. Majelis juga
melihat calon suami dari pemohon yang akan menjadi suaminya dari segi pekerjaan.
Apabila calon suami dari pemohon telah mempunyai pekerjaan atau pengahasilan
yang tetap dan dapat memenuhi kebutuhan hidup setelah berumah tangga nantinya,
maka majelis dapat mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan bagi
pemohon.95
Ketentuan batas umur ini, seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 7
ayat (1) Undang-undang Perkawinan didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga perkawinan.96 Adanya ketentuan ini jelas menimbulkan
pro dan kontra karena dalam hukum Islam tidak memberikan ketetapan yang tegas
dan jelas dalam batas minimal perkawinan.
Menurut keterangan Panitera Muda Pengadilan Agama Kota Medan yaitu
Abdul Khalik, beliau mengatakan bahwa nikah adalah fitrah Allah SWT dan sunnah
95Wawancara dengan Hasdina Hasan, selaku Hakim pada Pengadilan Agama Medan, tanggal 26 Agustus 2013
Rasul yang harus diperoleh dengan jalan kemudahan dan kebaikan, dengan kata lain
beliau tidak akan mempersulit jalannya persidangan, namun tidak dipungkiri adanya
kriteria khusus bagi para hakim ketika mengabulkan sebuah penetapan nikah dibawah
umur, harus ada beberapa temuan dan fakta persidangan, seperti:97
1. Melihat jalannya proses persidangan dari awal sampai pada titik
menghadirkan para saksi;
2. Menganalisa berkas-berkas yang sah sebagai suatu pembuktian seperti adanya
surat penolakan nikah dibawah umur oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat, surat keterangan dari orang tua yang mengijinkan anaknya nikah
dibawah umur;
3. Melihat sebab utama pelaku nikah dibawah umur, seperti apakah sudah cukup
dewasa dalam berpikir, atau sudah pernah berbuat zina.
Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya
dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan
berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan
rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan
tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan
perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Jadi tujuan dari undang-undang memberikan dispensasi perkawinan ini
dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal yang dilarang oleh syari’at Islam dan
bertujuan untuk mengahindari kemudaratan. Dispensasi dimaksudkan agar tidak ada
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh agama. Undang-undang perkawinan
membatasi usia melakukan pernikahan, yakni minimal 19 tahun bagi calon mempelai
laki-laki dan 16 tahun bagi calon mempelai wanita. Apabila usia dari calon mempelai
tesebut belum mencapai batas minimum yang ditetapkan oleh undang-undang, maka
haruslah mendapatkan dispensasi perkawinan dari Pengadilan Agama setempat.98
Maksud perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh
pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan wanita yang belum mencapai usia 16
tahun. Perkawinan semacam ini dalam kehidupan sehari-hari dapat terjadi karena
berbagai masalah seperti kehamilan pihak wanita sebagai akibat pergaulan bebas,
kekhawatiran orang tua atas kemungkinan anaknya melakukan perbuatan yang
dilarang agama dan sebagainya. Namun dispensasi kawin ini juga memberi peluang
untuk terus meningkatnya perkawinan dibawah umur.
Zaman yang sudah modern seperti sekarang ini, terlihat masih ada yang
melangsungkan perkawinan pada usia muda, padahal masyarakat sedang dituntut
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dan yang menarik lagi yaitu
perkawinan usia muda justru terjadi di kalangan masyarakat muslim, baik yang hidup
di pedesaan maupun di kota. Tingginya tingkat pernikahan dibawah umur tidak
terlepas dari faktor hukum, sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat,
menyangkut ;
1. Norma agama (khususnya Islam) tidak mengharamkan atau menentang
pernikahan di bawah umur dan tidak ada kriminalisasi terhadap pernikahan
dibawah umur;
2. Kebiasaan dan tradisi yang telah membudaya dalam masyarakat;
3. Pernikahan atau perkawinan sebagai jalan untuk keluar dari belenggu
kertepurukan ekonomi dan beban hidup;
4. Kecenderungan berkembangnya pergaulan bebas remaja dan anak-anak.
Undang-undang perkawinan tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan
dibawah umur, agar suami istri yang dalam masa perkawinan dapat menjaga
kesehatannya dan keterunannya, untuk itu perlu ditetetapkan batas-batas umur bagi
calon suami dan istri yang akan melangsungkan perkawinan. Untuk dapat
melangsungkan perkawinan ada syarat-sayarat yang harus dipenuhi, salah satunya
adalah batas minimal usia. Tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa
dilakukan karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan
penyimpangannya. Dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu dengan
adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal
tersebut.
Di dalam fiqh usia perkawinan tidak dibatasi, namun merumus kepada
kematangan jasmani dan rohani dari calon suami istri tersebut. Undang-undang
manfaat untuk mengatur kehidupan dan kemaslahatan manusia. Pembatasan umur
minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang
yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan
jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan rumah tangga yang
berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki
kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang
menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Kehancuran suatu keluarga terjadi karena ketidak pedulian suami istri atas
tugas masing-masing, dan juga akibat ketidaksiapan mereka memasuki pintu
pernikahan99 untuk mewujudkan keluarga sakinah, suami istri sangat besar peranannya orang tua dibebani kewajiban untuk membimbing kehidupan keluarganya
menuju terwujudnya keluarga sakinah, keteladanan orang tua sangat menentukan
keberhasilannya.
Banyak alasan seseorang menikah di bawah umur, misalnya karena wanita
hamil akibat perilaku sex bebas, solusinya adalah orang tua mereka harus
menikahkan mereka pada usia muda, karena hal tersebut dianggap jalan keluar yang
terbaik. Dan pada akhirnya banyak anggota masyarakat meminta Surat Dispensasi
Kawin dengan alasan hamil diluar nikah akibat pergaulan bebas. Situasi semacam itu
mengilustrasikan relevansi meningkatnya pernikahan dibawah umur karena
banyaknya kehamilan pra-nikah pada usia anak-anak akibat berkembangnya budaya
sex bebas.
Islam bersikap keras tak mengenal kompromi dalam memberantas
kemaksiatan (penyakit masyarakat), karena apabila kemaksiatan itu dibiarkan
merajalela berarti kita menjerumuskan kelembah kehinaan, sedangkan kemaksiatan
itu ibarat penyakit yang apabila tidak segera diobati akan mengrogoti tubuh manusia
sampai mati oleh karena itu pencegahan bersikap prioaktif dan preventif
(pencegahan) dalam memerangi kemaksiatan tersebut dalam menghilangkan
kemadharatan itu tidak boleh sampai menimbulkan kemadharatan lain baik ringan
apalagi lebih berat. Namun bila kemadharatan itu tidak dapat dihilangkan kecuali
dengan menimbulkan kemadharatan yang lain maka haruslah memilih kemadharatan
yang relatif lebih ringan dari yang telah terjadi. Menurut persepsi hakim,
madharatnya adalah ditakutkan bila tidak dinikahkan akan menambah dosa dan
terjadi perkawinan di bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum
yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang
dilahirkannya menurut Undang-undang.
Oleh karenanya permohonan dispensasi nikah juga tidak mudah, harus
melalui prosedur yang berlaku dan mengajukan permohonan dispensasi nikah ke
Pengadilan yang kemudian Pengadilan akan menyetujui hal tersebut, dengan
demikian dispensasi perkawinan hanya dapat dilaksanakan melalui
pertimbangan-pertimbangan yang memenuhi semua alasan-alasan untuk memberikan dispensasi
Pengadilan dapat memberikan dispensasi. Hal itu dapat diberikan apabila ternyata
mempunyai alasan yang memungkinkan untuk dilakukannya perkawinan.
Perkara dispensasi perkawinan yang telah diputus di Pengadilan Agama
berbentuk suatu penetapan. Kalau putusan hanya untuk perkara yang bersifat
contentius, kalau dalam perkara dispensasi perkawinan, adalah untuk menetapkan hak
dari pemohon. Dalam perkara seperti ini tidak banyak kendala yang dihadapi oleh
hakim dalam menyelesaikan perkara dispensasi perkawinan, kendala tersebut hanya
terdapat pada pemohon itu sendiri jika prosedur yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan Agama tidak dapat dipenuhi demi kelancaran proses beracara. Apabila
prosedur tersebut tidak dipenuhi, maka pemohon tidak akan bisa mendapatkan
haknya.
Hakim sebagai pelaksana kehakiman mempunyai kemerdekaan dan otoritas
dalam menjalankan tugasnya, dalam menjalankan tugasnya hakim tidak dipengaruhi
oleh suatu instansi manapun karena hakim hanya tunduk kepada hukum dan keadilan
disamping itu juga, dalam membuat putusan hakim harus mempertimbangkan segala
temuan yang ditemukan didalam persidangan dan semua temuan tersebut harus
dipertimbangkan untuk selanjutnya dijadikan pertimbangan untuk menentukan
hukum.
Perkara ini merupakan perkara permohonan dalam pengertian voluntair (tanpa
adanya pihak lawan) sehingga terdapat pengecualian sebagaimana dimaksud dalam
Mediasi di Pengadilan. Dalam hal ini Pemohon memohon agar diberikan dispensasi
kawin dari Pengadilan Agama kepada anak kandungnya supaya dapat menikah,
dengan alasan telah lama menjalin cinta dan ingin segera menikah tetapi terkendala
dikarenakan umur anak kandungnya belum mencapai batas usia yang dibenarkan oleh
undang-undang yakni belum mencapai 16 (enam belas) tahun.
Penetapan ini kalau dilihat dari segi kemashlahatannya sudah tepat karena
dalam pandangan Islam nikah adalah fitrah manusia dan sangat dianjurkan bagi umat
Islam. Karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan) yang
harus dipenuhi dengan jalan yang sah agar tidak mencari jalan yang sesat yang
menjerumuskan dalam hubungan zina. Pernikahan usia muda merupakan suatu
antisipasi dari orang tua untuk mencegah akibat-akibat negatif yang dapat
mencemarkan nama baik dan dapat merusak martabat orang tua dan keluarga.100
Meskipun hal tersebut belum pasti terjadi, namun para orang tua senantiasa berusaha
untuk mencegah anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam perbuatan zina. Perintah
dan anjuran melakukan pernikahan tidak memberikan batasan umur seseorang untuk
melakukan pernikahan namun ditekankan perlunya kedewasaan seseorang melakukan
pernikahan untuk mencegah kemudharatan dan hal-hal buruk.
Namun demikian Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkandung
beberapa azas demi menjamin cita-cita luhur dari pada perkawinan, yaitu asas suka
rela, partisipasi keluarga, poligami diatur secara ketat, dan kematangan calon
mempelai. Sebagai realisasi dari pada asas suka rela maka perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu setiap
perkawinan harus mendapat persetujuan kedua calon suami-isteri, tanpa adanya
paksaan dari pihak manapun. Dengan demikian dapat menghindari kawin paksa.
Dalam hal ini salah satu dari asas perkawinan belum terpenuhi, sehingga
diperlukan dispensasi untuk melaksanakn pernikahan. Salah satu calon mempelai
masih dibawah umur dan dianggap belum matang atau belum dewasa. Pembatasan
umur minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar
orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki daya berpikir yang matang dan
juga kematangan jiwa serta kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan
perceraianpun dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan
pengertian yang lebih baik mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada
aspek kebahagiaan lahir dan batin.
Penetapan adalah putusan pengadilan atas perkara ”permohonan”. Jadi,
bentuk putusan penetapan berkaitan erat dengan sifat atau corak gugat. Putusan
penetapan menyesuaikan diri dengan sifat gugat permohonan. Cirinya merupakan
gugat secara ”sepihak”. Pihaknya hanya terdiri dari pemohon. Tidak ada pihak lain
yang ditarik sebagai tergugat. Sekalipun terkadang dalam permohonan ada
dibawa-bawa nama orang lain, tapi orang lain itu bukan berkedudukan sebagai pihak dan
subjek. Kedudukan pihak lain dalam gugat permohonan hanya sebagai objek. Ciri
Tujuannya hanya untuk menetapkan suatu keadaan atau status tertentu bagi
diri pemohon. Ciri selanjutnya, petitum dan amar gugat permohonan bersifat
declaratoir.Oleh karena itu,amaryang dijatuhkan pun harus bersifatdeclaratoir.101
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Alasan yang membenarkan dispensasi nikah bagi perkawinan anak di bawah
umur disebabkan beberapa faktor seperti faktor kekhawatiran orang tua yang
melihat hubungan anak-anak mereka yang sudah terlalu dekat, sehingga
membuat orang tua merasa khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
seperti terjadi kehamilan sebelum perkawinan, faktor ekonomi atau kemiskinan
dan faktor pendidikan yaitu rendahnya pendidikan masyarakat sehingga tidak
memiliki keinginan untuk memotivasi anak-anaknya agar berpendidikan tinggi.
Dasar hukum yang dijadikan alasan dalam permohonan dispensasi nikah adalah
pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pasal 6 ayat (2) huruf e
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 15 Kompilasi Hukum
Islam. Pemberian dispensasi nikah dalam perkawinan tersebut diharapkan dapat
bermanfaat bagi pasangan yang akan melakukan perkawinan dibawah umur.
2. Prosedur pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama diajukan oleh orang
tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggalnya, Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan
berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan
dengan suatu penetapan. Salinan penetapan itu dibuat dan diberikan kepada
pemohon untuk memenuhi persyaratan melangsungkan pernikahan. Prosedur
perkara dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama Kota Medan bersifat
mutlak, karena dengan adanya prosedur yang dilalui dalam setiap pengajuan
perkara maka akan terjalankan proses beracara di Pengadilan Agama Kota
Medan.
3. Adapun dasar hukum yang digunakan hakim dalam pertimbangannya adalah
pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Dispensasi
Nikah. Hal ini sudah tepat, karena Penetapan Majelis Hakim tersebut tidak
menyimpang dari ketentuan UU Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 serta
Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, dalam pertimbangannya hakim juga
memandang bahwa alasan kekhawatiran orang tua yang melihat hubungan
anaknya terlalu dekat dengan pasangannya padahal belum terikat perkawinan
yang sah akan menimbulkan dampak buruk apabila dibiarkan terus berlanjut,
seperti terjadinya perzinahan, kehamilan diluar nikah, perkawinan dibawah
tangan.
B. Saran
1. Hendaknya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dicantumkan
alasan-alasan yang jelas mengenai izin dispensasi nikah yang secara tidak langsung
mengizinkan pernikahan di bawah umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat
2. Pengadilan Agama diharapkan lebih selektif dalam memberikan dispensasi umur
perkawinan kepada pasangan di bawah umur yang akan melangsungkan
perkawinan di Pengadilan Agama, sehingga dapat menekan tingkat perkawinan
di bawah umur yang terjadi di masyarakat.
3. Hendaknya ada sosialisasi dari pemerintah tentang UU Perkawinan agar
masyarakat lebih sadar dan mengerti akan adanya hukum yang berlaku di
Indonesia, khususnya mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, serta
mematuhi Undang-undang tersebut. Agar dapat terwujud suatu perkawinan yang
bahagia dan sejahtera. Selain itu diharapkan agar orang tua lebih mengontrol dan