• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kekuatan Hukum atas Sertipikat Rumah Susun Hunian atau Campuran Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 (Studi di Kota Medan )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Kekuatan Hukum atas Sertipikat Rumah Susun Hunian atau Campuran Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 (Studi di Kota Medan )"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERATURAN YANG MENGATUR STATUS KEPEMILIKAN SERTIPIKAT HAK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN HUNIAN ATAU CAMPURAN

A. Tinjauan Tentang Rumah Susun

1. Pengertian Rumah Susun

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun diundangkan

pada tanggal 31 Desember 1985 dalam Lembaran Negara RI nomor 75/1985.

Undang-undang ini dapat disebut dengan undang-undang kondominium Indonesia

yang menjadi landasan hukum untuk mengatur rumah susun. Peraturan pelaksanaan

dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dimuat dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 4 Tahun 1988. Mulai tanggal tersebutlah masalah hukum mengenai rumah

susun mendapat jawaban yang pasti. Namun menimbang bahwa Undang Undang

Nomor 16 Tahun 1965 tentang Rumah Susun sudah tidak sesuai dengan

perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta

tanggung jawab dan kewajiban Negara dalam penyelenggaraan rumah susun sehingga

perlu diganti.40

Untuk menjawab perkembangan hukum serta kebutuhan masyarakat yang

belum terakomodir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut maka pada

tanggal 10 Nopember 2011 melalui sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat

resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

(2)

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah

Susun merumuskan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang

dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang

distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan

merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara

terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,

benda bersama, dan tanah bersama.

Pengertian mengenai rumah susun tersebut dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2011 sama seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun

1985 tentang Rumah Susun. Dengan demikian tidak ada perubahan mengenai

pengertian tentang makna dari rumah susun itu baik yang dijelaskan dalam UURS

yang lama maupun yang baru.

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

menegaskan bahwa rumah susun yang dimaksudkan dalam UURS ini adalah istilah

yang memberikan pengertian hukum bagi bangunan bertingkat yang senantiasa

mengandung sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya

untuk hunian atau bukan hunian, secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu

(3)

Dengan demikian berarti tidak semua bangunan bertingkat itu dapat disebut

rumah susun menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011, tetapi setiap rumah

susun adalah selalu bangunan bertingkat.41

Jika rumusan rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 dan penjelasannya itu

dicermati, diperoleh pemahaman sebagai berikut :42

a. Rumah susun merupakan terminologi hukum Indonesia untuk mengekspresikan bangunan gedung bertingkat yang mengandung pemilikan perseorangan dan hak bersama. Dalam pengertian inilah, maka rumah susun merupakan terjemahan dari kata-katacondominium, flatatauapartment

b. Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat “yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal” (Pasal 1 angka 1 UURS). Dalam Penjelasan UURS di atas menyatakan “yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal”. Kata “maupun” serta “dan” perlu dicermati oleh karena membawa konsekuensi pada ruang lingkup UURS. Apakah pengaturan pemilikan satuan ruang dalam bangunan bertingkat selain rumah susun dapat tunduk pada UURS. Urgensi telaah kata “maupun” serta “dan” tersebut semakin berarti, terutama jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 79 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 yang mencontohkan “rumah toko, rumah sarana industri dan lain-lain” yang dibangun di atas tanah bersama sebagai bangunan bertingkat yang tidak termasuk dalam pengertian rumah susun. Selanjutnya, Penjelasan pasal 79 PP Nomor 4 Tahun 1988 tersebut menyebutkan bahwa contoh bangunan gedung tidak bertingkat yang dibangun di atas tanah bersama dalam suatu lingkungan adalah rumah-rumah peristirahatan, rumah kota (town house), dan lain-lain . Ahmad Chairudin dalam Surat Kabar Harian Suara Pembaruan tanggal 13 April 1994, menyatakan bahwa bangunan gedung bertingkat pada sistem ruko (rumah toko) dan rukan (rumah kantor) bagian- bagiannya terbagi dalam bagian- bagian yang distrukturkan dalam arah horizontal saja, tidak dalam arah vertikal. Tetapi karena dalam kata-kata kalimat Pasal 1 angka 1 UURS menyebut : “yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal”, maka yang diartikan bangunan gedung bertingkat yang bagian-bagiannya hanya distrukturkan secara horizontal pun dapat disebut rumah susun, asal memenuhi ketentuan-ketentuan lainnya tentang rumah susun.43

41Oloan Sitorus & Balans Sebayang,Kondominium…. Op. Cit., hlm. 16. 42Ibid, hlm. 16

(4)

Selanjutnya Menteri Negara Agraria/Kepala BPN menyatakan bahwa sebagai akibat pesatnya kemajuan sektor ekonomi yang ditunjang kemajuan teknologi dalam pembangunan perumahan dan pemukiman serta lahirnya bentuk sertifikat baru yang berupa Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, maka seharusnya bentuk kepemilikan rumah dan toko (ruko) atau town house

dapat menggunakan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagai alat untuk kepemilikannya. Hal ini mengingat bahwa bentuk bangunan dan penataan lingkungannya sesuai dengan ketentuan yang ada pada rumah susun yang bangunannya berupa bangunan yang tersusun secara horizontal dan memiliki jenis kepemilikan perseorangan dan pemilikan bersama.44

Kedua pendapat Pejabat Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional tersebut setuju bahwa kepemilikan satuan bangunan pada bangunan yang hanya distrukturkan secara horizontal pun dapat tunduk pada pengaturan UURS. Kiranya kedua pendapat tersebut dapat diterima logika hukum. Ketentuan pasal 1 UURS merupakan ketentuan yang berisi definisi/ rumusan konsep-konsep yang menjadi kata-kata kunci atau terminologi teknis yuridis dalam keseluruhan ketentuan UURS. Oleh karena itu jika terdapat perbedaan pengertian rumah susun di dalam ketentuan pasal 1 angka 1 UURS dengan Penjelasan Umum UURS serta Penjelasan Pasal 79 PP No. 4 Tahun 1988 sebagai peraturan pelaksana UURS, maka yang dijadikan pegangan adalah rumusan Pasal 1 angka 1 UURS.45

c. Rumah susun mengandung sistem pemilikan perseorangan (individual) dan hak bersama. Kita mengenal ada 3 (tiga) bentuk sistem pemilikan, yaitu : 1) sistem pemilikan perseorangan

2) sistem pemilikan bersama yang terikat

3) sistem pemilikan perseorangan yang sekaligus dilengkapi dengan sistem pemilikan bersama yang bebas (condominium)

Rumah susun merupakan kategori sistem pemilikan yang ketiga. Di dalam rumah susun secara simultan terkandung sistem pemilikan perseorangan dengan hak bersama yang bebas. Oleh karena itulah, maka hak pemilikan perseorangan atas satuan (unit) rumah susun meliputi pula hak bersama atas bangunan, benda dan tanahnya.

44Ibid

(5)

Sebagaimana telah disebutkan bahwa hak milik (individual) atas satuan rumah

susun juga meliputi hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah

bersama.

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah

Susun merumuskan bahwa bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki

secara terpisah tidak untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan

satuan-satuan rumah susun. Penjelasan Pasal 25 ayat 1 undang-undang tersebut memberi

contoh bagian bersama adalah antara lain : pondasi, kolom, balok, dinding, lantai,

atap, talang air, tangga, lift, selasar, saluran-saluran, pipa-pipa, jaringan- jaringan

listrik, gas dan telekomunikasi.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 mendefinisikan

bahwa benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun

melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian

bersama. Selanjutnya Penjelasan Pasal 25 ayat 1 mencontohkan benda bersama

adalah ; ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial,

tempat ibadah, tempat bermain, dan tempat parkir yang terpisah atau menyatu dengan

struktur bangunan rumah susun.

Menurut A.P Parlindungan, sebenarnya rumah susun itu adalah suatu istilah

yang dibuat oleh perundangan kita yang berwujud sebagai suatu perumahan yang

dimiliki oleh beberapa orang/badan hukum secara terpisah dengan segala

kelengkapan sebagai suatu tempat hunian ataupun bukan hunian, untuk perkantoran,

(6)

dengan segala hak dan kewajibannya dan mempunyai bukti-bukti tentang haknya

tersebut, dengan berdimensi horizontal dan vertikal.46

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 menganut asas kondominium dalam

pemilikan atas rumah susun. Masalah paling penting dalam asas kondominium adalah

pemilikan dan penghunian secara terpisah bagian-bagian dari suatu bangunan

bertingkat, di samping bangian-bagian lainnya serta tanah di atas mana bangunan

yang bersangkutan berdiri, yang karena fungsinya harus digunakan bersama.

Soni Harsono dalam bukunya “Aspek Pertanahan Dalam Pembangunan

Rumah Susun,” berpendapat bahwa inti sistem kondominium adalah pengaturan

pemilikan bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik di atasnya, karena itu

pemecahan masalahnya selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur tanah.47

Menurut Arie S. Hutagalung dalam bukunya “Membangun Condominium

(Rumah Susun), Masalah-Masalah Yuridis Praktis Dalam Penjualan, Pemilikan,

Pembebanan serta Pengelolaannya”, bahwa rumah susun merupakan terjemahan dari

kata-kata condominium, flat, atau apartment. Kondominium berasal dari kata

condominium, jika dipenggal, co berarti bersama-sama, dominium berarti pemilikan.

Istilah yang dipakai berbeda menurut sistem hukum yang bersangkutan, misalnya di

Inggris disebut joint property, di Amerika menggunakan istilah condominium,

sedangkan di Singapura dan Australia menggunakan istilah strata title. Di antara

istilah-istilah tersebut di atas, istilah strata title yang lebih memungkinkan adanya

(7)

pemilikan bersama secara horizontal, di samping pemilikan secara vertikal. Walaupun

di Indonesia digunakan istilah seperti: rumah susun, apartemen, flat, maupun

kondominium, namun bahasa hukum semuanya disebut rumah susun, karena

mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang kini diganti menjadi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.48

2. Asas-Asas Pembangunan Rumah Susun

Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 dan penjelasannya menyatakan

bahwa asas penyelenggaraan rumah susun adalah sebagai berikut:

a. asas kesejahteraan

Yang dimaksud dengan asas kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya

kebutuhan rumah susun yang layak bagi masyarakat agar mampu

mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

b. asas keadilan dan pemerataan

Yang dimaksud dengan asas keadilan dan pemerataan adalah memberikan

hasil pembangunan di bidang rumah susun agar dapat dinikmati secara

proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.

c. asas kenasionalan

Yang dimaksud dengan asas kenasionalan adalah memberikan landasan agar

kepemilikan sarusun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan

nasional.

(8)

d. asas keterjangkauan dan kemudahan

Yang dimaksud dengan asas keterjangkauan dan kemudahan adalah

memberikan landasan agar hasil pembangunan rumah susun dapat dijangkau

oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif

dengan memberikan kemudahan bagi MBR.

e. asas keefisienan dan kemanfaatan

Yang dimaksud dengan asas keefisienan dan kemanfaatan adalah memberikan

landasan penyelenggaraan rumah susun yang dilakukan dengan

memaksimalkan potensi sumber daya tanah, teknologi rancang bangun, dan

industri bahan bangunan yang sehat serta memberikan kemanfaatan

sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

f. asas kemandirian dan kebersamaan

Yang dimaksud dengan asas kemandirian dan kebersamaan adalah

memberikan landasan penyelenggaraan rumah susun bertumpu pada prakarsa,

swadaya, dan peran serta masyarakat sehingga mampu membangun

kepercayaan, kemampuan, dan kekuatan sendiri serta terciptanya kerja sama

antarpemangku kepentingan.

g. asas kemitraan

Yang dimaksud dengan asas kemitraan adalah memberikan landasan agar

penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah

daerah dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat dengan prinsip saling

(9)

h. asas keserasian dan keseimbangan

Yang dimaksud dengan asas keserasian dan keseimbangan adalah

memberikan landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan dengan

mewujudkan keserasian dan keseimbangan pola pemanfaatan ruang.

i. asas keterpaduan

Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah memberikan landasan agar

rumah susun diselenggarakan secara terpadu dalam hal kebijakan dalam

perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian.

j. asas kesehatan

Yang dimaksud dengan asas kesehatan adalah memberikan landasan agar

pembangunan rumah susun memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan

lingkungan, dan perilaku hidup sehat.

k. asas kelestarian dan keberlanjutan

Yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah memberikan

landasan agar rumah susun diselenggarakan dengan menjaga keseimbangan

lingkungan hidup dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat

sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan.

l. asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan

Yang dimaksud dengan asas keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan

adalah memberikan landasan agar bangunan rumah susun memenuhi

persyaratan keselamatan, yaitu kemampuan bangunan rumah susun

(10)

persyaratan kenyamanan ruang dan gerak antar ruang, pengkondisian udara,

pandangan, getaran, dan kebisingan; serta persyaratan kemudahan hubungan

ke, dari, dan di dalam bangunan, kelengkapan prasarana, dan sarana rumah

susun termasuk fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut

usia.

m. Asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan

Yang dimaksud dengan asas keamanan, ketertiban, dan keteraturan adalah

memberikan landasan agar pengelolaan dan pemanfaatan rumah susun dapat

menjamin bangunan, lingkungan, dan penghuni dari segala gangguan dan

ancaman keamanan; ketertiban dalam melaksanakan kehidupan bertempat

tinggal dan kehidupan sosialnya; serta keteraturan dalam pemenuhan

ketentuan administratif.

3. Tujuan Pembangunan Rumah Susun

Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan lahir

dan batin seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata, sebagai salah satu usaha

untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat

adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu

unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan

yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga Negara Indonesia dan

keluarganya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Di samping itu,

(11)

pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang

kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan

sosial dalam rangka pemantapan Ketahanan Nasional.49

Dari hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah

nasional, yang dampaknya sangat dirasakan di seluruh wilayah tanah air, terutama di

daerah perkotaan yang berkembang pesat. Oleh karena itu, sebagaimana diamanatkan

dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, pembangunan perumahan untuk memenuhi

kebutuhan yang terus meningkat perlu ditangani secara mendasar, menyeluruh,

terarah, dan terpadu, oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dengan

keikutsertaan secara aktif usaha swasta dan swadaya masyarakat. Pembangunan

perumahan yang telah dirintis sejak Pelita I perlu ditingkatkan dan dikembangkan,

khususnya perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli golongan

masyarakat yang berpenghasilan rendah.50

Sehubungan dengan uraian tersebut, maka kebijaksanaan umum pembangunan

perumahan diarahkan untuk:51

a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, secara adil, dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.

b. Mewujudkan permukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.

49Adrian Sutedi,Hukum Rumah Susun & Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 157 50Ibid, hlm 158

(12)

Sejalan dengan arah kebijaksanaan umum tersebut, maka di daerah perkotaan

yang berpenduduk padat, sedangkan tanah yang tersedia sangat terbatas, perlu

dikembangkam pembangunan perumahan dan pemukiman dalam bentuk rumah susun

yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkungannya.52

Pengertian rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang

distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan arah vertikal yang terbagi

dalam satu-satuan yang masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan

dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain satuan-satuan yang penggunaannya

terpisah, ada bagian bersama dari bangunan tersebut serta benda bersama dan tanah

bersama yang di atasnya didirikan rumah susun, yang karena sifat dan fungsinya

harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan.

Hak pemilikan atas satuan rumah susun merupakan kelembagaan hukum baru, yang

perlu diatur dengan undang-undang, dengan memberikan jaminan kepastian hukum

kepada masyarakat Indonesia. Dengan undang-undang ini diciptakan dasar hukum

hak milik atas satuan rumah susun, yang meliputi:

a. Hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah

b. Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun c. Hak bersama atas benda-benda

d. Hak bersama atas tanah yang semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.

Pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian,

khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian,

(13)

pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan permukiman yang lengkap dan

fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung bertingkat lainnya untuk

keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan

masyarakat ekonomi lemah. Oleh karena itu, dalam pembangunan rumah susun yang

digunakan bukan untuk hunian yang fungsinya memberikan lapangan kehidupan

masyarakat, misalnya untuk tempat usaha, pertokoan, perkantoran, dan sebagainya,

ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 ini diberlakukan

dengan penyesuaian menurut kepentingannya.53

Adapun tujuan pembangunan rumah susun seperti yang tercantum dalam

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011:

a. menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya;

b. meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;

c. mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh;

d. mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan produktif;

e. memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi MBR; f. memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah

susun;

g. menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi MBR dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan

(14)

berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu; dan

h. memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.

4. Penerapan Asas Dalam Hukum Tanah Pada Konsep Rumah Susun

Di Indonesia ada dua asas hukum pertanahan, yaitu sebagai berikut:

a. AsasAccesi(Asas Perlekatan) atauAccessie Schelding Beginsel

b. Asas pemisahan horizontal atauHorizontale Beginsel

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya Beberapa Analisa Tentang Hukum

Agraria, di dalam asas asas perlekatan, bangunan menjadi bagian dari tanahnya.

Oleh karena itu, dengan sendirinya bangunan itu tunduk pada ketentuan-ketentuan

hukum yang berlaku terhadap tanahnya (hukum tanah). Atas asas itu pula, maka hak

pemilikan atas tanah hak barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di

atasnya (Pasal 571 ayat (1) KUHPerdata). Bangunan yang didirikan di atas tanah

kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah.54

Asas perlekatan yang dikenal di dalam KUHPerdata terdiri atas perlekatan

secara mendatar dan perlekatan secara tegak lurus (vertikal). Perlekatan secara

horizontal (mendatar) meletakkan suatu benda sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari benda pokoknya atau balkon pada rumah induknya (Pasal 588 KUHPerdata).

Berdasarkan asas perlekatan ini, pemilik benda pokok merupakan pemilik benda

ikutan dan secara hukum benda ikutan tersebut mengikuti benda pokoknya.

Sebaliknya, perlekatan vertikal adalah perlekatan secara tegak lurus yang melekatkan

(15)

semua benda yang ada di atasnya maupun di dalam tanah dengan tanah sebagai benda

pokoknya (Pasal 571 KUHPerdata).55

Sebagai kebalikan dari asas perlekatan vertikal adalah asas pemisahan

horizontal. Asas pemisahan horizontal adalah asas yang dianut dalam hukum adat

yang menjadi dasar dari UUPA. Berdasarkan asas pemisahan horizontal ini pemilikan

atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah.

Asas pemisahan horizontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada

tanah itu.56

Menurut A. Ridwan Halim dalam bukunya “Hak Milik Kondominium dan

Rumah Susun”, asas pemisahan horizontal adalah asas yang membagi, membatasi,

dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang

berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal. Di dalam hukum adat Indonesia,

asas pemisahan horizontal terejawantah dalam bentuk magersari yaitu hak

menumpang dari seseorang yang mendirikan bangunan tempat tinggal di atas tanah

milik orang lain yang diperbolehkan oleh si pemilik selama si pemilik tersebut belum

merasa perlu untuk menggunakan tanahnya itu sendiri, serta sistem tumpang sari

tanaman bagi hasil (sistem usaha bagi hasil).57

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa kedua asas tersebut mempunyai

karakteristik dan konsekuensi yang berbeda. Seperti dikatakan oleh Masjchoen

Sofwan, di dalam salah satu bukunya sebagai berikut.58

55Masnari Darnisa, Status Tanah Bersama Pada Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Dikaitkan Dengan Penetapan Keringanan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi: Rumah Susun Sukaramai Yang Diadakan Oleh Perum Perumnas).2007. hlm 24

56M. Rizal Arif,Analisis…Op.Cit.,hlm. 64.

(16)

“yang menjadi persoalan ialah bagaimana pengaturan lembaga jaminan atas tanah yang akan datang untuk tidak bertentangan dengan Asas Accessi yang tidak dikenal (digarisbawahi oleh penulis) dalam UUPA, sedangkan dalam Hukum Adat mengenal asasPemisahan Horizontal”.

Pendapat ini dikuatkan oleh Saleh Adiwinata dalam bukunya “Hukum Adat”,

yang menyatakan:

“Bahkan justru pada masa sekarang ini ada lebih lagi alasan dan rasio untuk memperlakukan asas pemisahan Horizontal ini secara lebih integral, lebih konsekuen dan terang-terangan lagi dari sebelum lahirnya UUPA sebab:…Ketiga: Di mana Pasal 5 menegaskan bahwa hukum agrarian baru: ialah hukum adat (namun oleh Boedi Harsono diperingatkan bahwa yang dimaksudkan adalah hukum adat yang telah disaneer), maka dengan sendirinya untuk asasi dari hukum adat yaitu Pemisahan Horizontal, turut meresap dalam seluruh tubuh hukum agrarian baru kita”.

Berdasarkan dua pendapat tersebut, berarti asas hukum tanah (hukum agraria

sempit) adalah asas pemisahan horizontal yakni pemilikan atas benda di atas tanah

tidak berarti atau dapat terpisah dengan pemilikan atas tanah tempat terletaknya

benda-benda tadi. Sebagai kebalikannya adalah asas perlekatan yang berlaku pada

kurun waktu sebelum diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria.

Menurut Boedi Harsono dalam bukunya “Beberapa Analisa Tentang Hukum

Agraria”, bahwa di dalam hukum adat berlaku asas pemisahan horizontal antara

tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. Tanah tunduk pada hukum tanah,

sedangkan bangunan tunduk pada hukum perutangan yang mempunyai sifat lain dari

(17)

bangunan yang ada di atasnya. Dalam hukum adat berlaku asas bahwa pihak yang

membangun dialah pemilik yang dibangunnya itu.59

Jadi, adanya konsep rumah susun (kondominium) sebagai fenomena baru

yang dibutuhkan masyarakat modern, justru sudah sesuai dengan asas hukum tanah

yang ditetapkan oleh UUPA.

5. Hak Milik Atas Tanah Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok

Agraria membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk :

a. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer

b. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder

Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak-hak atas tanah

yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang

mempunyai waktu lama dan dapat dipindah tangankan kepada orang lain atau ahli

warisnya. Dalam UUPA terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer yaitu :60

a. Hak Milik atas tanah (HM)

b. Hak Guna Usaha (HGU)

c. Hak Guna Bangunan (HGB)

d. Hak Pakai (HP)

Selain hak primer atas tanah di atas terdapat pula hak atas tanah yang bersifat

sekunder. Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak-hak atas

(18)

tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat sementara karena hak-hak tersebut

dinikmati dalam waktu terbatas, dan dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang

bersifat sementara yaitu :

a. Hak gadai

b. Hak usaha bagi hasil

c. Hak menumpang

d. Hak menyewa atas tanah pertanian

Menurut Pasal 17 UURS Nomor 20 Tahun 2011, rumah susun hanya dapat

dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara

atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya menurut Pasal 19 ayat (1) UURS Nomor 20 Tahun 2011 dinyatakan

bahwa penyelenggaraan pembangunan yang membangun rumah susun di atas tanah

yang dikuasai dengan hak pengelolaan dilakukan ddengan cara sewa atau kerja sama

pemanfaatan.

Salah satu aspek yang penting dalam hukum tanah menurut UUPA adalah

hubungan antara tanah dengan benda yang melekat padanya. Kepastian akan

kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena

menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala hubungan hukum yang

berkenaan dengan tanah dan benda yang melekat padanya. Sedangkan konsep

kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun tidaklah sepenuhnya menganut

(19)

merupakan kepemilikan bersama dari seluruh pemegang hak milik atas satuan

bangunan rumah susun, bukan merupakan kepemilikan perorangan sebagaimana yang

dianut dalam asas pemisahan horizontal dalam UUPA tersebut.

B. Sertipikat Satuan Rumah Susun

Secara etimologi sertipikat berasal dari bahasa Belanda ”Certifikat” yang

artinya surat bukti atau surat keterangan yang memberikan tentang sesuatu.61 Dasar

hukum yang dipakai dalam proses pelaksanaan sertifikasi rumah susun (strata title,

apatemen,condominium, mal) adalah:62

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011

4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun

5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

6. Peraturan Menteri Negara Agraria/kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

pendaftaran tanah.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002, telah diganti dengan Peraturan

pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang tarif atas jenis penerimaan pajak

yang berlaku pada badan pertanahan nasional.

61 M. Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008. hal 204.

(20)

8. SE. Ka. BPN-600-1900, Tanggal 31 Juli 2003 Jenis layanan layanan badan

pertanahan nasional kepada masyarakat menyangkut segala sesuatu

pendaftaran tanah

9. Perda Tentang Rumah Susun (belum semua daerah mempunyai Perda).

Perbedaan hak milik (sertifikat hak milik) pada rumah biasa (landed house)

dengan strata title yaitu apabila seseorang membeli rumah biasa dikomplek

perumahan, kepemilikannya biasanya berupa sertifikat hak milik. Orang yang

memiliki sertifikat hak milik berdasarkan sistem hukum Indonesia (UUPA) sangat

kuat dan bersifat selamanya yang kepemilikannya meliputi bangunan di atas tanah,

tanah dihalaman rumahnya, tanah yang berada di bawahnya serta apa yang ada di atas

bangunan tersebut.

M. Yamin Lubis dalam bukunya berjudul “Hukum Pendaftaran Tanah”

menyebutkan bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak, oleh karena sertifikat

berfungsi sebagai alat bukti yang menyatakan bahwa tanah tersebut telah

diadministrasi oleh Negara.63

Hak milik pada Pasal 20 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), disebutkan

mengenai pengertian hak milik secara normatif yaitu:

1. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6.64

2. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

63M.Yamin Lubis dan Abdul Rahim,Op.Cit, hal 204.

64UUPA Pasal 6 menyebutkan bahwa:1. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 2.

(21)

Sedangkan apabila seseorang membeli apartemen atau rumah susun, rumah

susunstrata title maka sertifikat hak miliknya bukan satuan hak milik seperti rumah

biasa namun konsep kepemilikannya bersifatstrata title.

Kepemilikan strata title atas apartemen atau rumah susun hanya atas

bangunan unit apartemen/rumah susun tersebut saja dan tidak termasuk atas seluruh

bangunan apartemen yang di luar unit yang seseorang beli, tidak termasuk tanah di

dalam lingkungan apartement dan apa yang ada di bawahnya serta apa yang ada di

atasnya.

Sertifikat adalah hasil dari tujuan pendaftaran tanah, seperti yang dimuat

dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, adalah:

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain

yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan. Tujuan memberikan jaminan kepastian

hukum merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang

ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA.65Maka memperoleh sertifikat, bukan sekedar

65 UUPA Pasal 19 menyebutkan bahwa ayat (1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh

(22)

fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin

oleh undang-undang.

Jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah, meliputi:

a. Kepastian status hak yang didaftar. Artinya dengan pendaftaran tanah

akan dapat diketahui dengan pasti status hak yang didaftar, misalnya Hak

Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak

Tanggungan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atau tanah wakaf.

b. Kepastian subjek hak Pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan

pasti pemegang haknya, apakah perseorangan (warga negara Indonesia

atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok orang

secara bersama sama, atau badan hukum (badan hukum privat dan badan

hukum publik).

c. Kepastian objek hak Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat

diketahui dengan pasti letak tanah, batas-batas tanah dan ukuran (luas)

tanah. Letak tanah berada dijalan, Kelurahan/Desa, Kecamatan,

Kabupaten/Kota, dan Provinsi. Batas-batas tanah meliputi sebelah Utara,

Selatan Timur, dan Barat berbatasan dengan tanah siapa atau tanah apa.

Ukuran (luas) tanah dalam bentuk meter persegi. Untuk memberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam pendaftran tanah,

kepada pemegang yang bersangkutan diberikan sertifikat sebagai tanda

(23)

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Dengan

terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu

pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang

berkepentingan termasuk pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data

yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai

bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Untuk

melaksanakan fungsi informasi, data fisik dan data yuridis dari bidang tanah

dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar dan terbuka untuk umum.

Dengan pendaftaran tanah, pemerintah maupun masyarakat dapat dengan

mudah memperoleh informasi tentang data fisik dan data yuridis di Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota apabila mau mengadakan suatu perbuatan hukum

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar,

misalnya mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah atau

perusahaan swasta, jual-beli, lelang, pembebanan hak tanggungan.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan . Program pemerintah

dibidang pertanahan dikenal dengan catur tertib pertanahan, yaitu: tertib

hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib penggunaan tanah

dan tertib pemeliharaan tanah dan kelestarian lingkungan hidup. Untuk

(24)

menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat Recht Cadaster.

Terselenggaranya pendaftran tanah secara baik merupakan dasar dan

perwujudan tertib adaministrasi di bidang pertanahan.Untuk mewujudkan

tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun

termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak

milik atas satuan rumah susun wajib didaftar.

Sertifikat hak milik satuan rumah susun, maupun rumah susun yang dikuasai

dengan sistem strata title, diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota

setempat. Sertifikat ini harus sudah ada sebelum satuan-satuan rumah susun yang

bersangkutan dijual oleh penyelenggara pembangunan rumah susun.

Menurut Pasal 4 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1989, sertifikat Hak

Milik Satuan Rumah Susun terdiri atas 4 halaman, yaitu:

1. Halaman pertama, berisi nama kantor pertanahan dan nomor daftar isian.

2. Halaman kedua, berisi bagian pendaftaran pertama yang dibagi dalam ruang a

sampai dengan l.

3. Halaman ketiga dan keempat, disediakan untuk pendaftaran peralihan hak,

pembebanan dan pencatatan lainnya, tiap halaman terbagi dalam 5 ruang.

Berkenaan dengan tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun, Boedi

Harsono menyatakan bahwa ”Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”

merupakan suatu kreasi baru dalam perundang-undangan pertanahan. Dia terdiri dari

salinan buku tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, surat ukur dari tanah

(25)

menjadi satu dalam sampul dokumen, yang dengan jelas menunjukkan tingkat rumah

susun, letak satuan rumah susun, dan lokasinya ditingkat yang bersangkutan.

Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan bahwa sertifikat hak milik atas

satuan rumah susun tersebut selain merupakan alat bukti pemilikan satuan rumah

susunnya, juga merupakan alat bukti pemilikan bersama atas tanah bersama, bagian

bersama dan tanah bersama yang bersangkutan sebesar nilai perbandingan

proporsionalnya.

Sertifikat hak milik satuan rumah susun mempunyai karakteristik khusus bila

dibandingkan dengan sertifikat hak atas tanah pada umumnya. Pada sertifikat hak atas

tanah pada umumnya nama sertifikatnya tergantung pada macam status hak atas

tanahnya, misalnya sertifikat hak milik, sertifikat hak guna usaha, sertifikat hak guna

bangunan, sertifikat hak pakai.

Karakteristik khusus sertifikat hak milik atas satuan rumah susun dinyatakan

oleh R. Soerapto, yaitu sertifikat tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun ini

tidak terikat pada macam hak atas satuan rumah susun.

Meskipun rumah susun itu terdiri atas tanah hak milik, hak guna bangunan,

atau hak pakai atas tanah negara, sertifikatnya tetap menggunakan nama sertifikat hak

milik atas satuan rumah susun. Jadi nama sertifikatnya tidak tergantung pada status

hak atas tanah yang di atasnya berdiri bangunan rumah susun.

Pihak-pihak yang memperoleh manfaat dengan diselenggarakan pendaftaran

tanah adalah:66

(26)

1. Manfaat bagi pemegang hak. a. Memberikan rasa aman.

b. Dapat mengetahui dengan jelas data fisik dan data yuridisnya. c. Memudahkan dalam pelaksanaan peralihan hak.

d. Harga tanah menjadi lebih tinggi.

e. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan. f. Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak mudah keliru. 2. Manfaat bagi pemerintah

a. Akan terwujud tertib administrasi pertanahan sebagai salah satu program Catur Tertib Pertanahan.

b. Dapat memperlancar kegiatan pemerintahan yang berkaitan dengan tanah dengan pembangunan.

c. Dapat mengurangi sengketa dibidang pertanahan, misalnya sengketa batas-batas tanah, pendudukan tanah secara liar.

3. Manfaat bagi calon pembeli atau kreditor. Bagi calon pembeli atau calon kreditor dapat dengan mudah memperoleh keterangan yang jelas mengenai data fisik dan data yuridis tanah yang akan menjadi objek perbuatan hukum mengenai tanah.

C. SistemStrata Title

Strata title adalah terminologi populer tentang suatu kepemilikan terhadap

sebagian ruang dalam suatu gedung bertingkat seperti apartement atau rumah susun.67

Selain apartemen dan rumah susun sitemstrata titlejuga dikenal dalam kepemilikan

condominium, flat. Pembangunan rumah susun dengan sistem strata titlemerupakan

salah satu alternatif pemecahan kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama

didaerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan

rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka

kota yang lebih lega dan dapat dipergunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan

kota bagi daerah-daerah kumuh.68

67Forum Komunikasi Pertanahan, Media Komunikasi di Bidang Pertanahan, http://erestajaya.blogspot.com/ diakses tanggal 21 Januari 2017.

68rie Sukanti Hutagalung, et.al/dkk,Condominium dan Permasalahannya, Suatu Rangkuman

(27)

Arie Sukanti Hutagalung berpendapat bahwa “Dengan demikian dikota-kota

besar perlu diarahkan pembangunan perumahan dan pemukiman yang terutama

sepenuhnya pada pembangunan rumah susun”.69

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan

masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama didaerah perkotaan terutama

yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat

mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega

dan dapat dipergunakan sebagai suatu cara peremajaan kota bagi daerah-daerah

kumuh. Dalam rangka memberikan landasan hukum dalam pembangunan rumah

susun, pada tanggal 31 Desember 1985, pemerintah telah mengundangkan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (LN 1985 75; TLN 3317),

disingkat dengan UU No. 16 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun

1988 Tentang Rumah Susun (LNRI 1988-7; Penjelasannya dalam TLNRI Nomor

3372) disingkat dengan PP No. 4 Tahun 1988 sebagai peraturan pelaksanaannya,

yang mulai berlaku sejak tanggal 26 April 1988.

Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 dinyatakan

bahwa kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:

1. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat,

secara adil dan merata serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat

yang berkepribadian Indonesia.

(28)

2. Mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata

ruang dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil

guna.

Sebelum lebih jauh menelaah apa dan bagaimana cara kita menjalani

kehidupan kita dilingkungan rumah susun, apartement, dan condominium ada

baiknya kita mendalami dahulu pemahaman kita mengenai apa itu rumah susun

dengan kosep kepemilikanstrata titledan dasar hukum yang mengatur pembangunan

rumah susun itu sendiri.

Strata title sebenarnya merujuk pada konsep kepemilikan atas hunian yang

dibangun secara verikal, entah itu condominium, apartement, atau rumah susun.

Istilah strata title sendiri pertama kali diperkenalkan di Australia pada Tahun 1967

melalui undang-undang yang dikenal dengan namaStrata Title Act.70

Dalam kaitan ini, konsep strata title merujuk pada pemisahan akan hak

seseorang terhadap beberapa strata (tingkatan), yakni terhadap hak atas permukaan

tanah, atas bumi di bawah tanah dan udara di atasnya.

Konsep strata title itu sendiri dikenal dinegara-negara yang menganut sistem

hukum Anglo Saxon (Inggris beserta negara-negara jajahannya, serta Amerika

Serikat) dan berakar pada jenistenancy in common.

Indonesia sebagai negara jajahan Belanda yang menganut sistem hukum

Eropa Kontinental hingga kini tidak mencantumkan konsep strata title dalam

(29)

peraturan undang-undangnya. Oleh karena itu, dalam Undang-undang Nomor 20

Tahun 2011 tentang Rumah Susun, terminologi strata title secara spesifik belum

mendapat penjelasan utuh karena istilah rumah susun yang digunakan dalam

undang-undang tersebut lebih mengacu kepada struktur bangunannya bukan pada konstruksi

yuridisnya sebagaimana istilah condominium (Francis) yang berarti kepemilikan

bersama, rumah susun (Amerika) kepemilikan yang terpisah.

Menurut Arie Sukanti Hutagalung dalam seminar liberalisasi hukum tanah

Indonesia: studi kasus kepemilikan warga asing atas satuan rumah susun, di Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, kamis 5 Mei 2010 menyatakan: konsep rumah susun

(rusun) yang dianut di Indonesia berbeda dengan konsep rusun pada umumnya yang

dikenal dengan strata title. Strata title memungkinkan seseorang memiliki satuan

rumah susun tanpa memiliki tanah bersama (tanah di bawah bangunan rusun).

Sedangkan Indonesia memandang pemilik satuan rumah susun adalah juga pemilik

tanah bersama.

Pasal 1 Undang-undang No. 20 Tahun 2011 menyebutkan pengertian rumah

susun:71

”Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian distrukturnya secara fungsional dalam arah horizontal dan vertical yang merupakan satu-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama ”.

(30)

Lebih detail, dalam penjelasan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 20

Tahun 2011 tersebut dikemukakan pengertian yuridis dari rumah susun, yaitu:72

“Rumah Susun yang dimaksud dalam undang-undang ini, adalah istilah yang diberikan pengertian hukum bagi bangunan gedung bertingkat yang senantiasa mengandung sistem kepemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian Apartment, atau untuk bukan hunian Apartment, atau untuk bukan hunian Office dan Rentail Mall, secara mandiri ataupun secara terpadu sebagai suatu kesatuan sistem pembangunan”.

Dari definisi yang tertuang di dalam Pasal 1 Undang-undang No. 20 Tahun

2011 maupun penjelasan undang-undang tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan

rumah susun (rusun) merupakan suatu pengertian hukum bagi suatu bangunan gedung

bertingkat yang senantiasa mengandung sistem pemilikan perseorangan dan hak

bersama yang penggunaannya untuk kebutuhan hunian atau bukan hunian secara

sendiri maupun terpadu.

Menurut Imam Koeswahyono mengatakan ada delapan konsep dasar yang

perlu dipahami dengan benar dalam sistem rumah susun yang merupakan fenomena

dalam pembangunan perumahan dengan sistem yang konvensional (horizontal)

yakni:73

1. Bagian bersama, yaitu bagian rusun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan sarusun itu. Bagian bersama ini merupakan suatu struktur bangunan rusun yang terdiri atas:

a. Pondasi, b. Sloof,

c. Dinding struktur utama,

d. Pintu masuk dan tangga darurat, e. Jalan masuk dan tangga darurat, f. Koridor, dan

72Ibid, hal 16.

(31)

g. Selasar.

2. Benda bersama, yakni benda yang bukan bagian rusun untuk pemakaian bersama dan dimiliki bersama secara tak terpisah. Bagian ini melengkapi rusun agar berfungsi secara optimal yang terdiri atas:

a. Jaringan air bersih, b. Jaringan listrik,

c. Jaringan gas (bagi hunian) d. Saluran buang air limbah, e. Lift dan atau eskalator f. Taman, dan

g. Pelataran parkir.

3. Tanah bersama, yakni tanah yang digunakan atas hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rusun.

4. Pertelaan, yakni rincian batas yang tegas dan jelas masing-masing sarusun, bagian, benda dan tanah bersama yang diwujudkan dalam uraian tertulis dan gambar. Pertelaan dalam hal ini mempunyai arti yang amat penting dalam sistem rusun karena titik awal dimulainya proses hak milik atas satuan rumah susun. Nantinya dari pertelaan ini akan timbul satuan-satuan rumah susun rumah yang secara hukum terpisah melalui proses pembuatan akta pemisahan. 5. Nilai perbandinggan proporsional (NPP) yakni angka yang menunjukkan

perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang dihitung berdasarkan luas dan nilai satuan rumah susun yang bersangkutan, terhadap luas atau nilai banggunan rumah susun. Nilai perbandingan proporsional selain menentukan besarnya hak masing-masing pemilik satuan rumah susun juga menentukan besarnya kewajiban masing-masing pemilik satuan rumah susun dalam membiayai bersama pengelolaan dan pengoperasian semua benda yang menjadi milik bersama. Biaya tersebut merupakan beban bersama semua pemilik satuan rumah susun. Di samping lima hal tersebut diatas, hal-hal yang terkait dengan sistem rumah susun dan perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:

6. Akta pemisahan rumah Akta pemisahan rumah adalah suatu bentuk akta yang di dalamnya memuat pertelaan yang jelas memisahkan rumah susun ke dalam satuan satuan rumah susun yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Tata cara pengisian dan bentuknya ditentukan oleh peraturan Ka BPN No. 2 Tahun 1989. Akta ini harus disahkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Isi akta pemisahan yang telah disahkan mengikat semua pihak dan didaftarkan kekantor pertanahan setempat dan menjadi dasar utama timbulnya hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS).

(32)

penghuninya. Demikian pula halnya untuk rumah susun non hunian syaratnya juga sama.

8. Perhimpunan penghuni Untuk memamfaatkan rumah susun terutama bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, maka sesuai dengan undang-undang para penghuni harus menghimpun diri. Perhimpunan ini dinilai sangat penting karena akan banyak berperan di dalam pengurus kepentingan bersama. Lembaga yang dimaksud oleh undang-undang itu harus berbentuk suatu badan hukum (rech person). Konsekuensinya harus memiliki Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD dan ART) yang harus disahkan oleh pemerintah daerah setempat. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga wajib disertakan bersama akta peralihan haknya pada saat mendaftarkan kekantor pertanahan kabupaten/kota setempat. Jadi rumah susun secara yuridis merupakan bangunan gedung bertingkat, yang senantiasa mengandung sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya untuk hunian atau bukan hunian, secara mandiri ataupun secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan. Dengan demikian berarti tidak semua bangunan gedung bertingkat itu dapat disebut sebagai rumah susun menurut pengertian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011, tetapi setiap rumah susun adalah selalu bangunan gedung bertingkat.74

Selanjutnya dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4

Tahun 1988, Tentang Rumah Susun, Pasal 1 dan Pasal 7, menguatkan landasan bagi

definisi rumah susun, rumah susun yakni rumah susun hunian, dan rumah susun

campuran hunian dan non hunian, hal ini diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah

Nomor 4 Tahun 1988 yaitu:75

“Rumah susun yang digunakan untuk hunian atau non hunian secara mandiri atau secara terpadu sebagai kesatuan sistem pembangunan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5”.

74

Badan Pertanahan Nasional,Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, 1989, hal 61.

75Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Pasal 5 berbunyi:Pengaturan dan pembinaan

(33)

Lebih jauh Budi Harsono, menjelaskan mengenai pengertian pembangunan

secara mandiri dan pembangunan secara terpadu, yaitu:76

“Maka dalam hubungan ini ada pengertian “pembanguna secara mandiri”, bagi pembangunan rumah susun dalam satu lingkungan yang digunakan semata-mata untuk tempat hunian. Dan “pembangunan secara terpadu”, bagi pembangunan rumah susun dalam satu lingkungan dengan peruntukan campuran. Satuan atau blok mana untuk keperluan lain. Bahkan dimungkinkan juga satu bangunan untuk penggunaan campuran. Demikian juga ketentuan-ketentuan Undang-undang Nomor. 16 Tahun 1985 tersebut dapat diberlakukan bagi pembangunan rumah susun yang terdiri atas rumah susun sederhana dan rumah susun mewah”.

Berkaitan dengan pembangunan rumah susun mewah sebagai mana yang

dikemukakan oleh Budi Harsono di atas, mengemukakan bahwa pada saat ini

pembangunan rumah susun telah mengalami perkembangan mengenai bentuk dan

penggunaannya dan lebih jelas dikutipkan pendapat itu:77

“Konsep usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan dengan peningkatan usaha-usaha penyediaan perumaham yang layak, dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah menjadi bergeser karena ternyata pembangunan rumah susun yang kemudian berkembang adalah bukan untuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah akan tetapi lebih banyak dibangun adalah rumah susun mewah untuk golongan masyarakat berpenghasilan ekonomi menengah ke atas. Bahkan akhir-akhir ini juga banyak pengembang yang membangun rumah susun dengan peruntukan campuran (hunian-non hunian), karena banyak diminati oleh masyarakat dan lebih praktis, dimana lantai 1-5 untuk non hunian/kios-kios (komersial) sedangkan lantai selanjutnya digunakan untuk hunian atau yang disebut apartemen atau untuk hotel dan harga jual (nilai komersial) pada rumah susun campuran ditentukan oleh:

1. Untuk non hunian harga jual lebih mahal jika dibandingkan dengan hunian.

2. Harga jual juga ditentukan oleh letak lantai:

76 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, jilid 1, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hal 41.

(34)

a. Untuk hunian makin tinggi letak lantai, makin mahal harga jualnya/nilai komersialnya,

b. Untuk non hunian makin rendah letak lantai makin mahal harga jualnya/nilai komersialnnya.

Peraturan Pemerintah Nomor. 4 Tahun 1988 dinyatakan bahwa pengaturan

dan pembinaan rumah susun tersebut diarahkan untuk meningkatkan usaha

pembangunan perumahan dan pemukiman yang fungsional bagi kepentingan rakyat

banyak, dengan maksud untuk:78

1. mendukung konsepsi tata ruang yang dikaitkan dengan pengembangan daerah perkotaan kearah vertikal dan untuk meremajakan daerah-daerah kumuh. 2. Meningkatkan optimasi penggunaan sumber daya tanah perkotaan.

3. Mendorong pembangunan pemukiman berkepadatan tinggi. (Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988).

Berdasarkan uraian di atas, maka arti rumah susun menurut aspek hukum

lebih pada kepemilikan yang melekat pada konsep hunian bertingkat. Dengan kata

lain, dengan adanya kepemilikan atas unit satuan unit rumah susun (sarusun), perlu

dilakukan pemisahan kepemilikan agar masing-masing penghuni atau pembeli bisa

memiliki unit secara terpisah dengan orang lain termasuk kepemilikan terhadap benda

bersama, bagian bersama, tanah bersama yang dimiliki secara proporsional

berdasarkan nilai perbandingan proporsional (NPP).

78

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, perkembangan tekstur kristalografi dipelajari pada baja lembaran bebas interstisi setelah baja bebas interstisi mengalami proses pencanaian panas,

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Aktivitas siswa dalam belajar pasca erupsi Merapi dapat dengan baik jika lingkungan belajar kondusif,

Pengawasan atas pelayanan publik di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM sebagai unit kerja pengawasan

Bapak H Mohammad Subekti, BE, MSc selaku Ketua Jurusan Teknik Informatika dan dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan ide, saran, kritikan, dorongan dan banyak meluangkan

Dari hasil pengamatan dengan petani dikelompok tani semuanya telah menerapkan 12 Paket teknologi yang disampaikan oleh penyuluh pertanian meskipun belum sepenuhnya 100

Pasien dengan curah jatung yang rendah dapat mempertahankan tekanan darah normalnya melaui vasokontriksi, sedangkan pasien dengan vasodilatasi mungkin mengalami hipotensi

Dipabrik minyak sawit PT. AEK MILL memiliki standar mutu untuk kadar air inti sawit adalah maksimal 8 %. Dari hasil analisa ternyata inti yang diproduksi dengan kadar

Saya Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Panjang Stek Dan Pemberian Berbagai Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Stek Tanaman Buah Naga