• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Terhadap Kredit Macet Atas Pemberian Kredit Untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pada PT.Bank Sumut Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Terhadap Kredit Macet Atas Pemberian Kredit Untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pada PT.Bank Sumut Medan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN DAN PERJANJIAN KREDIT

A. Pengertian Tentang Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang

dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang

yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian

perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau

ditulis.19

Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya sumber-sumber lain. Suatu

perjanjian juga di namakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk

melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan

persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena

ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.20

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang

perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaiman

sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan.

Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama-nama undang-undang. Jadi, ada

perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari

“undang”. Sumber-sumber yang tercakup dalam suatu nama, yaitu

19

Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa: Jakarta, 2005, hal 1.

(2)

undang,diperinci lagi. Dibedakan antara undang saja, dengan

undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang, sedangkan yang terakhir ini

diperinci pula, yaitu dibedakan antara perbuatan yang halal dan perbuatan yang

melanggar hukum.21

Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang

tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan

suatu nama tetentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam

Bab II dan Bab I KUHPerdata.

Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian sehingga sebelum

membahas secara khusus mengenai perjanjian kredit perlu dibahas secara teratur

garis besar tentang ketentuan umum atau ajaran umum hukum perikatan yang

terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) karena

ketentuan umum dalam KUHPerdata tersebut menjadi dasar atau asas umum yang

konkrit dalam membuat semua perjanjian apapun. KUHPerdata buku III Bab I s/d

Bab IV Pasal 1319 menetapkan:

22

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada

seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu.23Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan nama dua orang atau lebih

mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.24

Dengan demikian perjanjian disini diartikan sebagai suatu perhubungan

hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji

21Ibid

, hal.1-2.

22

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta: Bandung, 2005, hal 68.

23

Subekti, Op. Cit, hal 36.

24

(3)

untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan

pihak lain berhak untuk pelaksanaan janji itu25

Kemudian di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1313

juga ditegaskan bahwa ada yang dimaksud dengan perjanjian itu iala suatu

perbuatan yang menyebabkan seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

seorang lain atau lebih. Dengan demikian perjanjian disini diartikan sebagai suatu

perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal untuk tidak

melakukan suatu hal, dengan pihak lain berhak untuk pelaksanaan janji itu. .

26

Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang (pihak)

atau lebih, yakni pihak yang suatu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib

memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.27

1. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Perjanjian, (bahasa

Belanda: het verbintenissenrecht) jadi, verbintenissenrecht oleh Wirjono

diterjemahkan menjadi hukum perjanjian bukan hukum perikatan.

Perikatan dalam bahasa belanda disebut verbintenissenrecht. Namun,

terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah

hukum perikatan. Misalnya, Wirjono Prodjodikoro dan R. Subekti.

2. R. Subekti tidak menggunakan istilah hukum periktan, tetapi menggunakan

istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III KHUPerdata tentang perikatan.

Dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata, R, Subekti menulis perkataan

(4)

perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan

perjanjian, sebab didalam Buku III KUHPerdata memuat tentang perikatan

yang timbul dari

a. Persetujuan atau perjanjian

b.Perbuatan yang melanggar hukum

c. Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan

(zaakwaarnemiing).

Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hukum

perjanjian disebut overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih

luas dari perjanjian, perikatan dapat terjadi karena

1. Perjanjian (kontrak), dan

2. Bukan dari perjanjian (dari undang-undang).

Perjanjian adalah peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak lain

untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbul suatu peristiwa

berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang

dinamakan dengan perikatan.

Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian

yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang

paling banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistim

terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan

perjanjian.28

28

(5)

Perjanjian timbul, disebabkan oleh adanya hubungan kekayaan antara dua

orang atau lebih. Pendukung hubungan perjanjian sekurang-kurangnya harus ada

dua tertentu. Masing-masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu

orang menjadi pihak kreditur, dan seorang lagi sebagai pihak debitur. Kreditur

debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas

prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.29

Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya,

tidak mengurangi sahnya perjanjian. Atau jika pada mulanya kreditur terdiri dari

beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan

dengan debitur, juga tidak mengurangi nilai sahnya perjanjian. Hal seperti ini bisa

saja terjadi pada “percampuran hutang” (schuld vermeging) sebagaimana diatur

pada pasal 1436 BW. Demikian juga pada pasal 1437, mengenai percampuran

hutang atas diri seorang penanggung, yaitu penanggung yang berubah kedudukan

menjadi kreditur.30

1.Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtswerking). Perjanjian tanpa

kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak

mempunyai “akibat hukum” (rechtsgevolg) yang mengikat. Misalnya perjanjian

keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya. Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara :

2.Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum “tak sempurna” (onvolledige

rechtswerking), seperti natuurlijke verbintenis. Ketidaksempurnaan daya

hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur

29

M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni : Bandung, 1986, hal 15.

(6)

memenuhi kewajiban prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum

untuk memaksakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.

Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya (volledige

rechtswerking). Disini, pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika dia

ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Melalui tuntutan

eksekusi pelaksanaan dan eksekusi rel, ganti rugi (schade vergoeding) serta uang

paksa (dwangsom).31

B. Syarat-Syarat Sah Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan

empat syarat :32

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai

orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua

syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai

perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan

(canceling) oleh salah satu pihak yang tidak cakap. Dapat dibatalkan oleh salah

satu pihak dapat melakukan pembatalan atau tidak melakukan pembatalan.

Apabila salah satu pihak tidak membatalkan perjanjian itu maka perjanjian yang

31Ibid

, hal 9. 32

(7)

telah dibuat tetap sah. Yang dimaksud salah satu pihak yang membatalkan disini

adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum.33

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada

sasanya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya,

adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian :34

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang,

dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Persyaratan kecakapan seseorang yang membuat perjanjian sangat diperlukan

karena hanya orang yang cakap yang mampu memahami dan melaksanakan isi

perjanjian yang dibuat. Membuat perjanjian berarti terikat dan bertanggung jawab

untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan. Orang yang sakit ingatan berarti

tidak sehat pikirannya, orang yang seperti itu sudah tentu tidak mampu memahami

dan melaksanakan apa yang dijanjikan sehingga dianggap tidak cakap. Orang

yang ditaruh dibawah pengampuan tidak bebas berbuat terhadap harta kekayaan,

tetapi dibawah pengawasan pengampu. Orang seperti itu disamakan dengan orang

yang belum dewasa.35

33

Sutarno, Aspek aspek Hukum Perkreditan pada Bank,CV.Alfabeta: Bandung, hal 78. 34

Subekti, Op.Cit, hal 17.

35

(8)

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu

hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah

pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian

paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah

berada ditangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan

oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian

dapat dihitung atau ditetapkan.36

Syarat ke empat suatu sebab atau causa yang halal artinya suatu perjanjian

harus berdasarkan sebab yang halal atau yang diperolehkan oleh undang-undang.

Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah:37

1. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Misalnya perjanjian yang menyanggupi untuk melakukan pembunuhan

dengan imbalan tertentu. Ini perjanjian yang di dasarkan sebab atau causa

tidak halal bertentangan dengan undang-undang pidana pasal 338

KUHPidana. Sebab atau causa yang bertentangan dengan undang-undang

jelas dan mudah tampak Perjanjian seperti ini adalah batal demi hukum

artinya sejak semula perjanjian dianggap tidak pernah ada, para pihak tidak

terikat untuk melaksanakan isi perjanjian ini.

2. Perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan. Lebih mudah untuk

menentukan sebab atau causa yang bertentangan dengan undang-undang

karena sifat jelas dan nampak tetatpi sebab atau causa yang bertentangan

dengan kesusilaan adalah relatif tidak sama wujudnya diseluruh dunia,

36

Subekti, Op.Cit, hal 19. 37

(9)

mungkin di Indonesia suatu perbuatan tertentu bertentangan dengan

kesusilaan tetapi di negeri barat perbuatan tersebut dianggap tidak

bertentangan dengan kesusilaan. Jadi tergantung pada anggapan masyarakat

terhadap perbuatan itu. Perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan

misalnya perjanjian dengan seorang penyanyi berpakaian minim dan porno.

3. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak mudah

untuk menetapkan seuatu ukuran yang bertentangan dengan ketertiban

umum. Ketertiban umum sebagai lawan atau kebalikan dari kepentingan

orang-perorangan. Sebagian besar dari hal-hal yang berkaitan dengan

ketertiban umum terletak pada bagian ketatanegaraan dari hukum, dalam

hubungan lalu lintas pengangkutan, perjanjian perburuhan.

Perjanjian pengangkutan yang melebihi daya muat alat pengangkut dapat

membahayakan ketertiban umum. Demonstrasi yang dilakukan di tengah jalan

raya dapat dianggap menganggu ketertiban umum.38

Akhirnya oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di

atas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya

suatu sebab yang halal. Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin

causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus

dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu

yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itu

yang dimaksudkan oleh Undang-undang dengan sebab yang halal itu. Sesuatu

38

(10)

yang menyebabkan orang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk

membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang.

Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang

atau apa yang dicita-citakan oleh seorang.39

Harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat obyektif. Dalam hal

syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum.

Artinya: Dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah

ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut

untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka

tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa inggris

dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu null an void.40

Dalam suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi, perjanjiannya

bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta

supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu,

adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya

(perizinannya) secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat mengikat

juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak

meminta pembatalan tadi.41

Dalam setiap hubungan hukum harus ada subyek dan obyek, tetapi subyeklah

yang merupakan pndukung hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan atau

pembuatan hukum tersebut, dengan kata lain bahwa subyek hukum atau

(11)

mengenai hak dan kewajiban pihak tersebut dicantumkan di dalam surat

perjanjian pemborong. Dan juga disebut di dalam peraturan umum, yaitu dalam

KUHPerdata. Akan tetapi mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dalam

perjanjian pemborong bangunan hanya sedikit diatur dalam KUHPerdata.

Sebagian besar hak-hak kewajiban tersebut diatur dalam peraturan standar

pemborong bangunan (AV Tahun 1941), kemudian dimuat secara terperinci

dalam perjanjian pemborongan (rencana kerja dan syarat).42

Perjanjian bersyarat adalah perjanjian yang yang pelaksanaannya di

gantungkan (afhangen) kepada sesuatu pada masa yang akan datang yang belum

pasti terjadi. Dari pengertian diatas, kita melihat ada dua unsur yang melekat pada

perjanjian bersyarat :43

1. Perjanjian “digantungkan” (afhangen) pada sesuatu kejadian/perbuatan di

“masa akan datang” (toekomstig).

2. Dan kejadian itu “belum pasti terjadi” (onzekere gebeurtenis). Syarat itu itu

tidak boleh terhadap sesuatu kejadian “yang pasti” terjadi. Misalnya

digantungkan pada syarat kematian. Ini adalah hal yang pasti terjadi, karena

setiap orang pasti akan mati. Jika syarat itu digantungkan kepada sesuatu yang

diketahui pasti terjadi, syarat demikian dianggap tidak sah. Memang

kadang-kadang antara perjanjian bersyarat dengan perjanjian ketentuan waktu

(tijdsbepaling) terdapat pengertian dan keadaan yang hampir berdekatan.

Kalau dalam perjanjian bersyarat digantungkan pada kejadian dimasa datang

tentang sesuatu “yang belum pasti terjadi”, maka dalam perjanjian dengan

42

Sri Soedeli Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan, Yogjakarta: Liberty ,1998, hal 78. 43

(12)

ketetapan waktu, pelaksanaan perjanjian “tertunda” sampai batas waktu yang

ditentukan terjadi.

C. Dasar-Dasar Hukum Perbankan di Indonesia

Secara sederhana hukum perbankan (banking law) adalah hukum yang

mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, baik

kelembagaan,kegiatan usaha,serta cara dan proses dalam melaksanakan usaha

bank. Bank merupakan salah satu lembaga keungan yang fungsi utamanya sebagai

penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Ini berarti, kita akan membicarakan

peraturan hukum (norma hukum) dan asas-asas hukum, struktur hukum, dan

budaya hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank.44

Menurut Muhammad Djumhana, hukum perbankan adalah “sebagai kumpulan

praturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi

segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya

dengan bidang kehidupan yang lain”.45

Sementara itu menurut Munir Fuady menyatakan, bahwa hukum yang

mengatur masalah perbankan disebut hukum perbankan (banking law), yakni

seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur

masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek kegiatan sehari-haei,

rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak,

kewajiban, tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis

44

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan,Sinar Grafika Cetakan kedua: Jakarta, 2012, hal 1.

45

(13)

perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi

perbankan dan lain-lain yang berkenaan dengan dunia perbankan.46

Sedangkan Hermansyah menyatakan, bahwa bertitik tolak dari pengertian

perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup

kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan prosese melaksanaankan kegiatan

usahanya, maka pada prinsipnya hukum perbankan adalah keseluruhan

norma-norma tertulis maupun norma-norma-norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang bank,

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan

kegiatan usahanya. Norma-norma tertulis dimaksud adalah seluruh peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai bank, sedangkan norma-norma

yang tidak tertulis adalah hal-hal atau kebiasaan yang timbul dalam praktik

perbankan.47

Sebelum membahas ketentuan hukum perbankan maka harus mengetahui

terlebih dahulu tentang sejarah perbankan. Di dalam sejarah perbankan ini ada

dasar-dasar hukum perbankan di indonesia.

Dari pendapat-pendapat di atas, kiranya dapat dirumuskan pengertian hukum

perbankan itu, yaitu kumpulan ketentuan hukum, yang meliputi peraturan hukum

(norma) dan asas-asas hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang mengatur

segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan

usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

48

46

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1999, hal 14.

47

Hermansyah, Op.Cit, hal 39-40.

48

Putri Arini, Analisis Hukum Terhadap Kredit Macet atas Pemberian Kredit untuk

(14)

Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat

perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa, merkantilisme telah

berkembang menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan

dagang Eropa. Pada saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti

Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh

bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa

pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank

Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang

lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada

24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan

nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut

beroperasi dan beekembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa kerajaan

Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.

Masa pendukung Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan

Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudia masa revolusi tiba, Hindia

Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan

Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua,

DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan “Jajasan Poesat Bank

Indonesia” dan Bank Negara Indonesia di Wilayah RI. Konferensi Meja Bundar

(KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian

DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus

bertahan hinga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai

(15)

bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka

sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bnak Indonesia, bank sentral bagi

Republik Indonesia.49

Periode 1988- sekarang, pemerintah telah mengeluarkan serangkaian

kebijakan paket deregulasi di bidang keuangan, moneter, dan perbankan. Sejak

saat itu dunia perbankan semakin semarak, karena dimana-mana bank-bank baru

bermunculan. Pada sisi lain, dunia perbankan tertimpa tragedi yang membuatnya

kelam, dengan timbulnya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi

sebelumnya. Ternyata undang-undang nomor 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok

perbankan lainnya yang berlaku sudah tidak memadai dan tidak dapat mengikuti

perkembangan perekonomian nasional maupun internasional. Oleh sebab itu,

tatanan hukumnya perlu diperbarui dengan menyusun suatu undang-undang baru

tentang perbankan. Dan undang-undang baru tersebut pada tanggal 25 maret 1992

disahkan oleh presiden menjadi undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang

perbankan. Dengan demikian, maka sejak saat itu, hukum perbankan telah

mengalami perubahan yang sangat mendasar.50

Setelah enam tahun mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

mengalami perubahan untuk pertama kalinya. Perubahan tersebut merupakan

salah satu program pelaksanaan reformasi perbankan, yakni menyempurnakan

perangkat hukum di bidang perbankan dan pendirian lembaga dana penyangga

simpanan, yang ada gilirannya akan memulihkan kepercayaan masyarakat

49

Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, Bank Indonesia: Jakarta, 2007, hal 1. 50

Putri Arini, Analisis Hukum Terhadap Kredit Macet atas Pemberian Kredit untuk

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada PT. Bank Danamon Cabang Sukaramai, Skripsi,Dikutip

dar

(16)

domestik maupun internasional terhadap sistem perbankan kita. Perubahan

Undang Nomor 10 Tahun 1992 tersebut dituangkan di dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang disahkan oleh Presiden pada

tanggal 10 November 1998. 51

Dasar hukum perbankan ini terdiri dari dua sumber hukum perbankan, yaitu

sumber hukum dalam arti formil dan sumber hukum dalam arti material. Sumber

hukum dalam arti material adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu

sendiri dan itutergantung dari sudut mana dilakukan peninjauannya, apakah dari

sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain sebagainya,

sedangkan sumber hukum dalam arti formil adalah tempat ditemukannya

ketentuan hukum dang perundang-undangan, baik yang tertulis maupun tidak

tertulis.52

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (disebut

Unang-Undang Perbankan yang Diubah)

Di bawah ini disebutkan berbagai peraturan perundang-undangan yang secara

khusus mengatur atau berkaitan dengan masalah perbankan dan kebanksentralan,

yang menjadi sumber hukum perbankan yang berlaku dewasa ini, diantaranya

yaitu:

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana

telah diubah pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan

51

Ibid, hal 20.

52

(17)

terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undanng-Undang Nomor 6

Tahun 2009

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan

Sistem Nilai Tukar

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang Nomor 3 tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah

6. Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), terutama

ketentuan dalam Buku II dan Buku III mengenai jaminan kebendaan dan

perjanjian

7. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), terutama

ketentuan dalam Buku I mengenai surat-surat berharga

8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah

9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

10. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang

kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

11. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beseta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

12. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

(18)

Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang membantu pembentukan hukum

perbankan, di antaranya perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan

nasabah, ajaran hukum melalui peradilan yang termuat dalam putusan hakim

(yurisprudensi), doktrin-doktrin hukum dan kebiasaan dan kelaziman yang

berlaku dalam industri perbankan.53

1. StaatsbladTahun 1929 Nomor 257 tanggal 14 September 1929 tentang

Aturan-Aturan Mengenai Badan-Badan Kredit Desa dalam Provinsi-Provinsi

di Jawa dan Madura di Luar Wilayah Kotapraja-Kotapraja

Undang-Undang Perbankan yang diubah merupakan sumber pokok dari

hukum perbankan nasional di Indonesia. Oleh karena itu, segala ketentuan

perbankan nasional di Indonesia harus disesuaikan dengan Undang-Undang

Perbankan yang Diubah tersebut. Dengan berlakunya Undang-Undang Perbankan

yang Diubah, selain menyatakan tidak berlaku lagi Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, juga menyatakan tidak berlaku lagi

peraturan lainnya, yaitu:

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank Pembangunan Swasta

(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 2489)

3. Peraturan tentang Usaha Perkreditan yang Diselenggarakan oleh Kelurahan di

Daerah Kadipaten Paku Alaman (rijksblaad dar Daerah Paku Alaman Tahun

1937 Nomor 9).

53

(19)

Peraturan-peraturan perbankan di atas, dinilai sudah tidak dapat mengikuti

perkembangan perekonomian nasional maupun internasional, karenanya perlu

diganti dan disusun undang-undang yang baru mengatur masalah perbankan, yang

kemudian mengalami perubahan dan penambahan sebagaimana dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.54

D. Asas-Asas Yang Berlaku Dalam Praktek Perbankan

Untuk mempelajari norma hukum, maka kita harus mengetahui asas-asas

hukum yang menyertainya. Karena norma hukum itu lahir tidak dengan sendiri.

Norma hukum lahir dilatarbelakangi oleh dasar-dasar yuridis filosofi tertentu.

Itulah yang dinamakan dengan asas hukum. Semakin tinggi tingkatannya, maka

asas hukum itu semakin abstrak dan umum sifatnya serta mempunyai jangkauan

kerja yang lebih luas untuk memayungi norma hukumnya. Dengan demikian asas

hukum itu merupakan dasar atau ratio legis dari dibentuknya suatu norma hukum,

demikiam pula sebaliknya, norma hukum itu harus dapat dikembalikan kepada

asas hukumnya. Jangan sampai lahir norma hukum yang bertentangan dengan

asas hukumnya. Norma hukum tidak lain perwujudan dari asas hukumnya.55

Berdasarkan dasar Negara Pancasila dan UUD Tahun 1945, perbankan harus

memerhatikan kesejahteraan nasabah dan tidak merugikan nasabah. Dengan cara

kerja seperti itu dapat meningkatkan pemasukan bank itu sendiri, karena minat

nasabah untuk menyimpan dana di bank kan terus meningkat.56

Putri Arini, Analisis Hukum Terhadap Kredit Macet atas Pemberian Kredit untuk

(20)

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menetapkan Perbankan

Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan

menggunakan prinsip kehati-hatian. Untuk mempertegaskan makna asas

demokrasi ekonomi ini penjelasan umum dan penjelasan pasal 2 berbunyi : yang

dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan

Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Demokrasi ekonomi ini tersimpul

dalam pasal 33 UUD 1945, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasarkan asas kekeluargaan.

Pembangunan di bidang ekonomi yang didasarkan pada demokrasi ekonomi

menentukan masyarakat harus memegang peran aktif dalam kegiatan

pembangunan, memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan

dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang

sehat bagi perkembangan dunia usaha.57

Hukum perbankan mengenal beberapa prinsip, yaitu asas kepercayaan, asas

kehati-hatian,asas kerahasiaan, dan asas mengenal nasabah58

1. Asas kepercayaan (fiduciary relation principle)

:

Asas kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank

dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan

berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya

dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Asas

dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37130/3/Chapter%20II.pdf ,[Diakses Pada tanggal 28 januari 2017, pukul:11.55WIB].

57

Kuliahade, Hukum Perbankan Asas dan Prinsip Perbankan, Artikel, Dikutip dari

58Ibid

(21)

kepercayaan diatur dalam pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998.

2. Asas kehati-hatian (prudential principle)

Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menegaskan bahwa bank dalam

menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpauan terutama dalam

penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan

dilakukannya asas kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat

menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan

norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Asas kehati-hatian tertera

dalam pasal 2 dan pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

3. Asas kerahasian (secrecy principle)

Asas kerahasian bank diatur dalam pasal 40 sampai dengan pasal 47 A

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut pasal 40 bank wajib

merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa

pengecualian. Kewajiban merahasikan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk

kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan

kepada badan Urusan Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan

pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah,

dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank.

4. Asas Mengenal Nasabah (know how costumer principle)

Asas mengenal nasabah adalah asas yang diterapkan oleh bank untuk

(22)

nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Asas

mengenal nasabah-nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/1

0/PBI/2001 tentang Penerapan Asas Mengenal Nasabah. Tujuan yang hendak

dicapai dalam penerapan asas mengenal nasabah adalah meningkatkan peran

lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga

keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang

tindak kejahatan dan aktivitas ilegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan tindakan. pembelajaran sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam

[r]

Percepatan pembangunan pertanian provinsi Papua Barat mutlak dilakukan atas dasar Inpres nomor 05/2007, dan mengingat provinsi ini termasuk yang termiskin di

S|RUP adalah aplikasi Slstem lntormasi Rencana Umum Pengadaan berbasis web yang funqsinya sebagai gaEna atau alat untuk mengumumkan RUP.. SiRUP bgrtujuan untu

[r]

Hasil analisis dan identi fi kasi sistem pencatatan dan pelaporan program UKS pada tim pelaksana UKS Sekolah Dasar Negeri I/240 Sutorejo Surabaya yang didukung dengan hasil

Kota Banjarbaru sebagai salah satu Kota di Kalimantan Selatan yang banyak memiliki potensi kepariwisataan seperti pendulangan intan tradisional di Kecamatan Cempaka,

FREQUENCIES VARIABLES=umur kelompokumur jeniskelamin tipeSKA kolesteroltotal LDL HDL Trigliserida