• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEOLOGI DAN GEOMETRI LAPISAN BATUBARA DA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GEOLOGI DAN GEOMETRI LAPISAN BATUBARA DA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

GEOLOGI DAN GEOMETRI LAPISAN BATUBARA DAERAH JAWERA,

DISTRIK TELUK ARGUNI BAWAH, KABUPATEN KAIMANA, PROVINSI PAPUA BARAT

OLEH:

Secara administratif, daerah penelitian terletak di daerah Jawera, Distrik Teluk Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. Letak geografis 02o53’ 43,66” - 03o57’ 43,6” LS dan 133o37’ 30.8” - 133o39’ 32,4” BT, atau 347209 mE - 350964 mE dan 9672500 mN – 9667862 mN zona UTM -53 dengan luas wilayahnya adalah 18,241Km2.

Metodologi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu: akuisisi, analisa, dan sintesa. Akuisisi merupakan tahapan perolehan data yang terdiri dari studi pustaka regional dan pemetaan geologi permukaan. Analisa merupakan tahapan pemrosesan data terhadap hal yang geometri lapisan batubara dan proses geologi di daerah penelitian, dan tahapan sintesa adalah menjelaskan proses –proses geologi yang mempengaruhi kondisi geometri lapisan batubara.

Berdasarkan aspek geomorfologi menurut Van Zuidam (1983), maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 bentukan asal dan 3 satuan bentuklahan, yaitu: a. Bentukan asal struktural (S) terdiri dari satuan bentuklahan perbukitan struktural bergelombang sedang-lemah (S1) dan satuan bentuklahan perbukitan struktural berombak (S2). b. Bentukan asal fluvial (F), yaitu satuan bentuklahan dataran rawa (F1). Pola pengaliran yang berkembang pada daerah penelitian yaitu trellis.

Stratigrafi daerah penelitian dari tua ke muda terdiri dari Satuan batulanau Steenkool, Satuan batupasir Steenkool, Satuan batulanau pembawa batubara Steenkool dan Satuan endapan aluvial. Daerah penelitian merupakan sayap barat antiklin. Lingkungan pengendapan Formasi Steenkool pada daerah penelitian adalah Tidal Flats dengan sub-lingkungan pengendapan supratidal-subtidalpada fasies salt marsh, mud flats dan mixed flats (Tucker, 1982).

Geometri lapisan batubara salah satu aspek yang diperhitungkan dalam penentuan kebijakan eksplorasi selanjutnya. Menurut kuncoro ( 2000), geometri lapisan batubara terdiri merupakan aspek dimensi atau ukuran dari suatu lapisan batubara meliputi tebal, kemenerusan, kemiringan, pola sebaran, bentuk, keteraturan, pelapukan, cleat, dan kondisi roof dan floor lapisan batubara. Secara umum, geometri lapisan batubara di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses geologi syn depositional post depositional.

ABSTRACK

Administratively, the study area is located in the area Jawera, District Arguni Down, Kaimana, West Papua Province. The geogr aphical position of 02o 53 '43.66 "- 03o 57' 43.6" S and 133o 37 '30.8 "- 133o 39' 32.4" E, or mE 347 209 - 350 964 mE and 9,672,500 mN - 9667862 mN UTM zone -53 the area is 18.241 km2.

The method I did in this study consists of three stages: acquisition, analysis, and synthesis. Data acquisition is an acquisition phase consisting of regional literature and surface geological mapping. Analysis of the data processing is a step towards the coal seam geometry and geological processes in the study area, while the synthesis stage is to explain the geological processes that affect the geometry of the coal seam.

Based on geomorphological aspects by Van Zuidam (1983), the study area can be divided into two formations origin and 3 units of landforms, namely: a. Formation of structural origin (S) consisting of structural units hills undulating landform moderate-weak (S1) and structural choppy hills landform unit (S2). b. Formed by fluvial origin (F), the marsh plain landform unit (F1). Drainage pattern that developed i n the area that is carefully situations trellis.

Stratigraphy of the study area consists of the young to the old Unit Steenkool siltstone, sandstone Steenkool Unit, Unit Steenkool siltstone and coal carrier Unit alluvial deposits. The research area is the west wing of the anticline . Steenkool Formation depositional environment in the study area is Tidal Flats with sub-environment-subtidalpada supratidal depositional facies salt marsh, mud flats and mixed flats (Tucker, 1982).

Coal seam geometry one of the aspects considered in determining policy further exploration. According kuncoro (2000), compris ing coal seam geometry is an aspect of the dimensions of a thick coal seam covers, forwarding, slope, distribution pattern, shape, regularity, weathering, cleats, and the condition of the coal seam roof and floor. In general, the geometry of coal seams in the study area is affected by sy n depositional geological process - post-depositional.

(2)

I. Pendahuluan

Geometri lapisan batubara dipengaruhi oleh proses-proses geologi yang mengendalikan daerah dimana lapisan batubara itu terdapat. Adapun yang dimaksud dengan proses – proses geologi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Proses – proses sebelum lapisan batubara tersebut terbentuk (Pre-depositional) 2. Proses – proses saat lapisan batubara itu terbentuk (Syn depositional)

3. Proses – proses setelah lapisan batubara itu terbentuk (Post – depositional).

II. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan demi mengetahui hal-hal yang terkait dengan judul dan target penelitian, diantaranya adalah :

1. Studi Pustaka

2. Tahap Pelaksanaan (lapangan) 3. Tahap Analisis

4. Tahap Sintesa

III. Geologi Regional Daerah Penelitian III.1. Geomorfologi Regional Daerah Penelitian

Menurut Nas Satria Dharma, 2009 dalam laporan proyek Bahan morfologi Kabupaten Kaimana meliputi wilayah datar hingga berbukit-bukit dan bahkan bergunung dengan kemiringan lereng bervariasi mulai dari < 2% hingga di atas 70% dan ketinggian tempat berkisar antara 0 – 2.800 m di atas permukaan laut. Sesuai dengan peta kondisi medan, morfologi Kabupaten Kaimana dapat dibedakan menjadi 5 kelompok, yaitu:

III.2 Stratigrafi Regional

Gambar 3.2 Stratigrafi Regional Papua Barat

(Modifikasi dari Edward Syafron dkk 2008 dan Thomas W Perkins & Andrew R.Livsey 1993 ) Dalam Julia, 2010.

Daerah penelitian seluruhnya berada di formasi Stenkool dan merupakan bagian dari perkembangan cekungan Bintuni. Cekungan Bintuni merekam semua aspek sejarah stratigrafi dan peristiwa tektonik Papua khususnya KB yang dimulai pada Paleozoikum-Resen.

Pada Pliosen Awal-Pleistosen, terjadi tektonik aktif sehingga membentuk Cekungan Bintuni dan Lengguru Fold Belt sehingga diendapkan

(3)

III. 3 Setting Tektonik Regional

Gambar 3.3 Peta Geologi Regional Kepala Burung (KB). (Dumex, dkk 2007, BP Indonesia) dalam Toisutta , 2009.

Pada Neogen telah terjadi pembalikan arah subduksi. Pada mulanya Lempeng Australia menunjam ke dalam Lempeng Pasifik ke arah utara, tetapi setelah terjadi tumbukan terjadi perubahan arah subduksi, dimana Lempeng Pasifik menunjam ke dalam Lempeng Australia ke arah selatan yang kini dikenal sebagai Palung New Guinea. Berdasarkan tektonik di daerah Kepala Burung , umur penunjaman Palung New Guinea ke arah selatan ini berumur Miosen. Hal ini diperkuat oleh kemunculan pertama sedimen klastik tebal setelah pengendapan BNG Formasi Kais, formasi silisiklastik ini dikenal dengan Formasi . Klasafet. Tahap tektonik tumbukan umur ini menghasilkan New Guinea Mobile Belt dan Lengguru Fold Belt, sesar-sesar aktif (Sesar Sorong, Terera dan sebagainya) dan cekungan-cekungan foreland seperti Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni di wilayah Kepala Burung. Pada Miosen Akhir-Pleistosen diendapkan sedimen klastik, disebut dengan Formasi Steenkool.

Gambar 3.4 Peta Geologi Lembar Steenkool by S.L Tobbing, A.Achdan ( GRDC ) dan G.P Robinson, R.J. Ryuburn ( BMR ), 1990

Peta Geologi Lembar Stenkool

(4)

BAB IV GEOLOGI DAERAH PENELITIAN IV. 1 Kelerengan

Berdasarkan klasifikasi tingkat kelerengan (Zuidam,1983),daerah penelitian terbagi atas tiga satuan relief yaitu:

1. Satuan berelief berbukit - bergelombang miring . 2. Satuan berelief berbukit bergelombang miring - landai . 3. Satuan berelief datar atau hampir datar dengan klas lereng 0-2%.

IV.2 Pola Pengaliran

Berdasarkan hasil pengamatan peta topografi dan keadaan di lapangan yang melihat bentuk dan arah aliran sungai, kemiringan lereng, kontrol litologi serta struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian ditemukan sungai utama yang mengalir relatif searah jurus perlapisan (subsekuen) dengan sungai – sungai kecil dan alur liar mengalir searah dip perlapisan dan membentuk sudut relatif tegak lurus (90o) dengan sungai utama. Dari hasil analisa tersebut maka penulis mengklasifikasikan pola aliran daerah penelitian merupakan pola pengaliran Trellis.

Gambar 4.1 Peta pola pengaliran Trellis daerah penelitian

IV.3 Stadia

Berdasarkan hasil pengamatan peta topografi dan keadaan di lapangan yang mendasarkan pada relief daratan, bentuk lembah sungai , alas sungai, serta sebaran material di daerah penelitian ditemukan relief yang relatif bergelombang, dengan bentuk lembah sungai antara V-U dengan alas sungai yang mengalir diatas permukaan lapisan batuan (bedstream) maka penulis mengklasifikasikan stadia daerah penelitian masuk ke dalam stadia dewasa.

IV.4 Bentuk Lahan

Berdasarkan aspek pola pengaliran, morfologi, litologi, dan struktur yang ada di daerah penelitian, maka daerah penelitian dapat diklasifikasikan ke dalam 2 bentukan asal dengan 3 satuan bentuklahan, yaitu:

a) Bentukan asal struktural terdiri dari satuan bentuklahan perbukitan struktural bergelombang sedang (S1), satuan bentuklahan perbukitan struktural bergelombang lemah (S2).

b) Bentukan asal fluvial yang terdiri dari satuan bentuklahan satuan bentuklahan dataran rawa (F1).

1. Perbukitan Struktural Bergelombang Sedang (S1)

Satuan perbukitan struktural bergelombang sedang-lemah menempati ± 39% dari luas daerah. Dicirikan dengan relief landai-agak curam dengan kelerengan (8%-20%) tersusun oleh Satuan batupasir Steenkooldengan litologi perselingan batupasir dan batulanau, resistensi batuan sedang sampai dengan lemah, pola aliran yang berkembang adalah trellis,

(5)

elevasi antara 50 –130 mdpl dengan lembah berbentuk “V”. Struktur geologi pada satuan ini dikontrol oleh adanya sesar naik Arguni dan lapisan batuan dengan arah kemiringan relatif ke barat.

2. Perbukitan Struktural Bergelombang Lemah (S2)

Satuan perbukitan struktural berombak mencangkup ± 54% dari luas daerah penelitian. Dicirikan dengan relief landai (3% - 7%) menempati bagian barat dan ujung timur daerah penelitian yang disusun oleh Satuan batulanau Steenkool di bagian paling timur daerah penelitian dan Satuan batulanau pembawa batubara Steenkool menempati bagian barat dari daerah penelitian yang disusun oleh litologi perselingan batulanau dengan batulanau kaya cangkang dengan batulanau dengan sisipan tipis batupasir kaya cangkang dan perselingan batupasir dan batulempung, resistensi batuan lemah sampai dengan sedang, pola aliran yang berkembang adalah pola aliran trellis, elevasi antara 50 - 80 mdpl

dengan lembah berbentuk “V-U”. Struktur geologi pada satuan ini dikontrol oleh lapisan batuan dengan arah kemiringan yang homoklin ( relatif ke arah barat ).

3. Dataran Rawa (F2)

Satuan dataran rawa menempati ±7% dari luas daerah penelitian. Satuan dataran rawa dicirikan dengan dataran yang digenangi dan jenuh air, material pengisi merupakan material organik atau sisa-sisa tumbuhan yang tumbang dan terakumulasi hingga menumpuk dan membusuk.

Tabel 4.2 Kolom pembagian satuan geomorfik daerah penelitian

IV.5 Stratigrafi

Berdasarkan hasil pemetaan di daerah penelitian, dapat dibagi menjadi 4 satuan batuan dari tua ke muda, yaitu: 1. Satuan batulanau1 Steenkool

(6)

Tabel 4.3 Kolom stratigrafi daerah penelitian (Penulis, 2012 )

Penamaan satuan batuan tersebut didasarkan pada dominasi litologi yang penyebarannya secara horizontal dapat dilihat pada peta lintasan dan penyebaran secara vertikat dapat dilihat pada penampang terukur. Hubungan stratigrafi antar satuan batuan ditentukan berdasarkan pengamatan langsung dilapangan dengan mengamati gejala – gejala stratigrafi yang dijumpai selama di lapangan. Kandungan fosil digunakan untuk menentukan umur relatif dari tiap – tiap satuan batuan yang diambil dari contoh batuan berdasarkan posisi stratigrafi dan ciri litologi. Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada ciri fisik (struktur dan tekstur), kimiawi (komposisi litologi), dan biologi (kandungan fosil).

IV.5.1. Satuan batulanau1 Steenkool

Satuan batulanau1 Steenkool terdiri dari batulanau dengan sisipan batupasir, batulempung dengan struktur yang berkembang adalah flaser bedding, lenticular bedding dan perlapisan yang mengindikasikan lingkungan pengendapan di tidal flat dengan fasies intertidal dan subfasies roofed muds.

Tersebar di bagian paling timur dari daerah penelitian seluas 35% dari luas seluruh daerah penelitian dengan morfologi berbukit dengan lereng yang landai. Pola kedudukan pada satuan ini berarah relatif utara – selatan dengan kemiringan lapisan ke arah barat dengan besaran kemiringan hingga 29°-35° dengan umur satuan batuan Miosen Tengah – Miosen Akhir (N9-16).

IV.5.2. Satuan batupasir Steenkool

Satuan batupasir Steenkool batupasir karbonatan,batupasir karbonatan mengandung cangkang moluska,batupasir karbonatan mengandung fragmen batubara terdiri dari batulanau karbonatan, batulanau karbonatan mengandung cangkang moluska. Struktur sedimen yang berkembang diantaranya, perlapisan, cross bedding lenticular bedding dan flaser bedding yang mengindikasikan lingkungan pengendapan zona neritik dengan lingkungan pengendapan tidal flat dengan fasies intertidal dan subfasies sand flat mud flat.

Tersebar di bagian tengah daerah penelitian dengan morfologi berbukit. Umur satuan ini Miosen Awa - Miosen Akhir (N9-N16 ).

IV.5.3. Satuan batulanau2 Steenkool

Satuan batulanau2 Steenkool terdiri dari batulanau, batulanau karbonatan,batulanau karbonatan mengandung

cangkang moluska, dengan sisipan batubara,batupasir karbonatan,batupasir karbonatan mengandung cangkang moluska,batupasir karbonatan mengandung fragmen batubara.dengan struktur perlapisan, flaser, dan lenticular bedding yang mengindikasikan dengan lingkungan pengendapan tidal flat dengan fasies intertidal dan subfasies sand flat – mud

flat.

(7)

IV.5.4. Satuan Endapan Aluvial

Satuan ini adalah satuan termuda merupakan hasil dari erosi batuan yang lebih tua dan tertranspotkan oleh media air ke dalam morfologi yang membentuk cekungan yang berasosiasi dengan endapan-endapan rawa berumur resen. Menempati sekitar 7% dari total daerah penelitian. Penamaan satuan ini didasarkan pada kehadiran material aluvial berupa material lepas berukuran lempung hingga kerakal yang merupakan material hasil erosi batuan yang lebih tua yang mengalami proses transportasi sedimen oleh media air.

IV. PEMBAHASAN IV.1 Lapisan Batubara

Dari hasil pengamatan lapangan, terdapat tiga singkapan yang diasumsikan merupakan satu lapisan batubara berdasarkan roof dan floor batubara, kedudukan lapisan batubara, dan kenampakan sifat fisik. Adapun singkapan tersebut adalah sebagai berikut :

Gambar 4.1 Singkapan lapisan batubara di lokasi 1

Gambar 4.2 Singkapan lapisan batubara di lokasi 2

Gambar 4.3 Singkapan lapisan batubara di lokasi

Lokasi 1

Deskripsi : Hitam mengkilap, kilap cemerlang, gores hitam, pecahan konkoidal, kekerasan mudah pecah, ringan, pengotor berupa pirit,material lepas lanau, cleat N 185o E/ 76o, dengan spasi 3 cm s/d 4,5 cm (>> 2 cm), kondisi kontak roof dan floor tegas, lapisan, Batubara. Ketebalan 45 cm.

Kedudukan : N 190° E/ 16° Azimuth foto : N 214° E

Floor batulanau silikaan dan roof berupa batulanau karbonatan

.

Singkapan berada di alur liar dengan arah aliran relatif searah jurus perlapisan

Lokasi 2

Deskripsi : Hitam pekat, cemerlang, mudah pecah, uneven, ringan, pengotor pirit, clayballs, fresh, cleat N 181° E/ 81°, spasi cleat 2-6 cm (>>2-4 cm), bukaan <<0,5 mm, perlapisan, Batubara, tebal 10,8 cm. Kontak dengan roof dan floor tegas.

Kedudukan : N 195° E/ 14° Azimuth foto : N 291° E

Floor batulanau silikaan dan roof berupa batulanau karbonatan

.

Singkapan berada di alur liar dengan arah aliran relatif memotong jurus perlapisan

LP 97

Batubara ; Hitam mengkilap, Kilap cemerlang, gores hitam,pecahan konkoidal, kekerasan mudah pecah, sangat ringan, pengotor berupa pirit dan sedikit clay ball, cleat N 179° E/ 80° spasi 1 cm s/d 4,5 cm (>>2,5 cm), kondisi kontak dengan roof dan floor tegas.

Kedudukan : N 184° E/ 15° Azimuth foto : N 171° E

Floor batulanau silikaan dan roof berupa batulanau karbonatan

.

(8)

Tabel 5. 1 Geometri lapisan batubara dengan proses geologi yang mempengaruhinya

VI. Penutup Dan Kesimpulan

Berdasarkan data lapangan kemudian diolah serta dilakukan analisa dan rekontruksi dapat disimpulkan bahwa : 1. Lapisan batubara yang tersingkap sekarang ini dipengaruhi oleh proses – proses geologi berupa sebelum batubara

itu terbentuk (Pre-depositional), syn-depositional, (saat pembentukan lapisan batubara) dan post-depositional.

2. Respon pengaruh proses – proses geologi baik syn-depositional dan post depositional di semua tempat tidak sama sekalipun dalam satu lapisan yang sama. Hal ini tergantung dari posisi , jenis , intensitas, arah dari proses geologi yang mempengaruhi lapisan batubara tersebut.

Geometri Lapisan Batubara Keterangan Proses Geologi

Ketebalan 10 cm – 45 cm Mempunya variasi ketebalan dalam satu

lapisan yang sama.

Kemenerusan Mengikuti pola umum

kedudukan lapisan batuan

Menerus dari utara – selatan pada daerah penelitian sepanjang + 4,5km.

Pola Sebaran Berupa garis meliuk Pola sebaran lapisan batubara mengikuti

geomorfologi berupa kontrol relief dan kelerengan, erosional dan kedudukan lapisan batubara.

Kemiringan Dip 14o-16o Mempunyai kemiringan relatif landai.

Mengikuti kedukan batuan di sayap antiklin menunjam berarah utara – selatan.

Bentuk Melembar Bentuk melembar dan meluas dengan

satuan batuan yang terendapkan pada lingkungan tidal flat (Tucker, 1982).

Cleat Cleat : N 292°E / 89°, N

281° E/ 81°, N 279°E /80° Jarak 2-6 cm

Berupa rekahan yang kedudukannya relatif tegak lurus dengan bidang lapisan batubara.

Pelapukan Lemah Di beberapa tempat singkapan sudah

mengalami pelapukan diakibatkan tetapi secara umum lapisan batubara dalam kondisi segar.

Kondisi Roof dan Floor Floor : Batulanau silikaan

Roof : Batulanau karbonatan

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina B.2012, Ilusitrasi Kenampakan Bentang Alam, Gambar. Blogspot.com (Online:

http://blog.ub.ac.id/net/bettyagustina/files/2012/02/landform.jpg) Badan Standarisasi Nasional., 1998, Penyusunan Peta Geologi, SNI

Blow W.H.,1969, Late Middle Eocene to Recent planktonic foraminiferal biostratigraphy. In Bronnimann P., & Renz, H.H., eds., 1st. Conf. on planktonic microfossils, Proc. (Geneva, 1967). E.J. Brill, Leiden, v. 1, h. 199-412, 43 gbr., 54 pl.

Compton R.C.,1968, Manual of Field Geology,Text Book,Wiley Eastern Private

Dow D.B, Robinson G.P., Hartono U & Ratman N., 2006, Geology of Irian Jaya, Pusat Penelitain dan Pengembangan Geologi.

Davis G.H dan Reynold S.J.,1996, Structural Geology of Rock & Regions.

Hugget J.R., 2007, Fundamental Of Geomorphology, Second Edition. Textbook, Routledge. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia.,1996, Sandi Stratigarfi Indonesia, IAGI

Kuncoro BP., 2000, Geometri Lapisan Batubara, UPN “Veteran” Yogyakarta, Press, tidak dipublikasikan.

Kuncoro BP., 2000, Notosiswoyo S, Komang A., 2007, Karakteristik cleat pada lapisan batubara yang terlipat dan tersesarkan di daerah Palaran dan Busui, Kalimantan Timur, Jurnal Geoaplika Vol 2, Nomor 2, hal. 053-066. Laubach S.E, Elson J.E, Scott A.R., 1996, Characteristics and Origins of Coal Cleat : A Review.

Nas Dharma Satria, 2009, Laporan Akhir Inventarisasi Sumberdaya Mineral, Energi dan Bahan Galian Kabupaten

Kaimana, Papua Barat, BAPPEDA Kabupaten Kaimana.

Peta Geomorfologi Papua Barat,2005 (Online:http://pssdal.bakosurtanal.go.id/katalog/

DataNasional.php?doc=meta.php&iddata=722)

Petocs R.G., 1987, Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya, Strategi

Ryan Barry, 2003, Cleat Development in Some British Columbia Coals, New Ventures Geological Fieldwork 2002, Paper 2003-1, British Columbia Geological Survey

Sugono Dendy.,2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta Sukandarrumidi,2011, Pemetaan Geologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta.

Tobing S.L, Achdan A ( GRDC ) dan Robinson G.P, Ryuburn R.J ( BMR )., 1990, Peta Geologi Lembar Stenkool skala 1 : 250.000.

Toisuta Julia.,2009, Pemetaan Bawah Permukaan dan Perhitungan Cadangan Pada Formasi Kais Berdasarkan Data

Log dan Data Seismik di Lapangan “Julia” Cekungan Bintuni.Skripsi, UPN “Veteran” Yogyakarta.

Tucker M.E, 1982.,Sedimentary Petrology, Textbook, Wiley

United Nations., 1987. Coal exploration, evaluation and exploitation, Economic and Social Commission for Asia and the Pacific . Text Book

Van Zuidam, R.A dan Cancelado, 1979, Terrain Analysis And Classification Using Aerial Photographs, ITC 350, Boulevard 1945, 7511 AL Enchede, The Netherlands.

Gambar

Gambar 3.2 Stratigrafi Regional Papua Barat (Modifikasi dari Edward Syafron dkk 2008 dan Thomas W Perkins & Andrew R.Livsey   1993 )
Gambar 3.4 Peta Geologi Lembar Steenkool by S.L Tobbing, A.Achdan ( GRDC ) dan G.P Robinson, R.J
Gambar 4.1 Peta pola pengaliran Trellis daerah penelitian
Tabel 4.2 Kolom pembagian satuan geomorfik daerah penelitian
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kawasan perbatasan bagian barat berupa dataran aluvial dengan lereng datar hingga landai, sementara di bagian timur yang berupa perbukitan denudasional kelas

Bagian utara Pulau Jawa ini merupakan geosinklin yang memanjang dari barat ke timur (Bemmelen,1970). METODOLOGI Pembuatan paper ini didasarkan pada ketentuan dari

Satuan ini menempati bagian tenggara daerah penelitian, menempati luas sekitar 4,6 % dari daerah penelitian dan ditandai dengan warna merah gelap pada peta geologi (Lampiran

Satuan ini berada di bagian utara daerah penelitian, terdiri dari dua bukit yang memanjang dari barat ke timur yang dipisahkan oleh lekukan lereng curam berarah

Satuan geomorfologi ini berada pada bagian timur dan barat, menunjukkan relief permukaan sedang dengan kemiringan 30%-45% atau lebih dan elevasi dari 100m s/d 150m di

Sesar ini berada di bagian barat daya daerah penyelidikan berarah arah barat laut-tenggara berupa sesar normal dengan bagian sebelah timur laut relatif turun. Indikasi di

Pada Kepulauan Maluku khususnya Halmahera yang dapat dibagi jadi dua provinsi yaitu Halmahera bagian barat yang berupa busur vulkanik Ternate dan Halmahera bagian timur laut

besar jumlah cadangan migas di Indonesia berasal dari wilayah Indonesia bagian barat padahal seperti data yang ada potensi migas di Indonesia bagian timur masih