Penerapan Perbankan Syariah di Indonesia
Alifia Annisaa
Program Studi Muamalah, STEI Tazkia, Sentul City, Bogor, Indonesia Alifiaannisa18@gmail.com
Abstrak
Gagasan untuk mendirikan bank syariah sudah muncul semenjak tahun 1934, diawal dengan gagasan haramnya bunga bank. Kemudian berdirinya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang menggunakan sistem bunga nol persen. Hingga akhirnya setelah Lokakarya MUI pada tahun 1992, dibentuklah Tim Perbankan MUI yang bertugas mengurusi pendirian bank syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada 1 November 1991.
Munculnya keberadaan sistem dual banking dimulai pada era Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, dan pengakuan secara jelas eksistensi tiga jenis bank syariah di Indonesia dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008.
Kata Kunci : Perbankan Syariah, Undang-Undang, Metode Sejarah
Pendahuluan
Dunia perbankan merupakan sektor
ekonomi yang menjadi salah satu industri
keuangan yang mendorong pertumbuhan
perekonomian Indonesia. Baik bagi
masyarakat kelas menengah ke bawah
maupun masyarakat kelas menengah ke atas.
Sektor perbankan merupakan lembaga
intermediari antara yang melakukan saving
dan pembiayaan. Sepak terjang perbankan
syariah di Indonesia dimulai dengan
berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada
tahun 1992. Setelah berdirinya Bank
Muamalat, pemerintah mulai mengakui
sistem perbankan syariah, terbukti dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998.
Undang-undang ini merupakan bukti
pengakuan pemerintah mengenai perbankan
syariah walau belum dijelaskan secara
spesifik. Dalam UU tersebut hanya
disebutkan prinsip operasional bank syariah
yang dibedakan menjadi dua, yakni bank
konvensional yang mendasarkan pada prinsip
bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah.
Setelah dikeluarkannya
Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 yang berperan
sebagai landasan perbankan syariah, muncul
Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
2 2 2 2 3 3 3 3 5 6
11 11 11 11 12
3 3 6
8 15
19 20
26
27 25
23 24 24 23 22
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
BUS UUS
Grafik 1. Perkembangan Lembaga Perbankan Syariah
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2003-2014
mayoritas penduduk Indonesia yang
menganut agama Islam, semakin besar minat
masyarakat terhadap perbankan syariah, yang
menciptakan peluang untuk membuka
bank-bank syariah yang lain. Hingga saat ini telah
terdapat 12 Bank Umum Syariah dan 22 Unit
Usaha Syariah.
Landasan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Dalam menjalankan operasionalnya,
bank syariah berpedoman pada
prinsip-prinsip yang sesuai syariah. Landasan syariah
meliputi Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad.
Perbankan syariah mulai
mendapatkan pengakuan setelah keluarnya
UU No. 7 tahun 1992 dilengkapi dengan
Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil. Dalam pasal 1 ayat 1 PP No. 72 tahun
1992 disebutkan bahwa, “Bank berdasarkan
prinsip bagi hasil adalah bank umum atau
bank perkreditan rakyat yang melakukan
kegiatan usaha semata-mata berdasarkan
prinsip bagi hasil.”
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992
tersebut, dimungkinkan bagi bank untuk
melakukan kegiatan usahanya bukan
berdasarkan bunga tetapi berdasarkan bagi
hasil.
Kemudian dalam UU No. 10 tahun
1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun
1992 disebutkan bahwa bank syariah adalah
bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
Dalam UU No. 10 tahun 1998 itu,
secara tegas disebutkan kemungkinan untuk
pendirian bank berdasarkan prinsip syariah
dan diperbolehkannya bank konvensional
untuk memiliki Islamic windows, dengan mendirikan unit usaha syariah.
Selanjutnya bank syariah baru diakui
secara nyata dan tegas melalui
Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah yang menjelaskan dan
menerangkan mengenai perihal perbankan
syariah secara spesifik. Hingga saat ini
seluruh akad dan transaksi yang berlangsung
di bank syariah diatur oleh Undang-Undang
No. 21 tahun 2008 dengan didukung oleh
fatwa DSN-MUI.
Bunga Bank di Indonesia
Pemikiran awal tentang syariah,
khususnya dalam perbankan syariah, tidak
bisa luput dari bunga bank. Terdapat dua
aliran pemikiran sehubungan dengan bunga
bank yang ada dalam lembaga keuangan di
Indonesia. Aliran pertama berpendapat
bahwa bunga bank tidak tergolong riba,
karena yang disebut riba adalah pembuangan
uang oleh lintah darat (mindering) yang bunganya sangat tinggi. Aliran ini antara lain
1 Khotibul Umam, Perbankan Syariah;
Dasar-Dasar dan Dinamika Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016, Hal. 19.
2 Loc. Cit, Hal. 19.
diwakili oleh ulama terkemuka dari PERSIS,
A. Hassan, Muhammad Hatta, Kasman
Singodimedjo (Muhammadiyah) dan
Sjafrudidin Prawiranegara.1
Sedangkan aliran kedua berpendapat
bahwa bunga bank sama dengan riba. Aliran
kedua ini menghendaki adanya lembaga
keuangan yang berbasis sistem bagi hasil.2
Istilah bunga bank sendiri masuk ke
Indonesia sejak tahun 1934. Tokoh besar
Muhammadiyah pada tahun 1937, KH. Mas
Mansur juga mengeluarkan pendapatnya
mengenai penggunaan jasa bank
konvensional yang tidak dapat dihindari
praktek pelaksaanaan bunga banknya dengan
menerapkan prinsip darurat, karena umat
Islam belum mempunyai lembaga keuangan
sendiri yang bebas riba.3
Kemudian pada tahun 1970-an bunga
bank ini muncul kembali di kalangan umat
Islam Indonesia. Keputusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo,
menghasilkan fatwa tentang bunga bank
bahwa bank dengan sistem riba hukumnya
haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
dan bunga bank sendiri bersifat syubhat.4
3Cecep Maskanul Hakim, dalam
wawancaranya dengan penulis mengenai sejarah perbankan syariah pada 30 Mei 2016
Kemudian Nahdhatul Ulama (NU)
dalam Bahsul Masail pada tahun 1982 juga
memutuskan tentang bunga bank yang
menghasilkan tiga pendapat mengenai bunga
bank. Pertama, bunga bank berstatus haram,
karena disamakan dengan riba. Kedua, bunga
bank tersebut hukumnya syubhat. Pendapat ketiga menyatakan bahwa bunga bank halal
hukumnya, karena tidak sama dengan riba.5
Kemudian Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam Muktamar MUI mengeluarkan
fatwa bahwa bunga bank haram hukumnya
pada tahun 2003, yang kemudian disahkan
pada tahun 2004.6
Di mana sebelumnya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah
mengeluarkan fatwa tentang keharaman
bunga bank dan pada tanggal 21 Agustus
1990 merekomendasikan pembentukan
perbankan yang bebas bunga (perbankan
syariah).
Sistem bank tanpa bunga sebenarnya
telah tewujud sejak tahun 1983, sejak
dilakukannya deregulasi perbankan yang
5 Khotibul Umam, Op. Cit. Hal. 19-20 6 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah:
Lingkup, Peluang, dan Prospek, Jakarta: Azkia Publisher, 1999, Hal. 27. Fatwa MUI tahun 1990 yang telah direvisi pada tahun 2003 melalui Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang memfatwakan bahwa hukum bunga bank adalah haram. Fatwa tersebut kemudian dipertegas lagi dalam Keputusan Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest atau Faidah), yang memutuskan bahwa
diatur dalam paket kebijakan Juni 1983
berkaitan dengan pemberian keleluasaan
penentuan tingkat suku bunga, termasuk
bunga nol persen (zero interest). Pada tahun 1983 ini, Bank Indonesia tidak lagi mengatur
penentuan tingkat suku bunga pada
bank-bank yang ada saat itu. Di Bandung misalnya,
berdiri beberapa Bank Perkreditan Rakyat
yang memiliki tingkat suku bunga nol persen
(zero interest). Kemudian pada tahun 1980-an juga B1980-ank Susila Bakti (y1980-ang sekar1980-ang
bernama Bank Mandiri) mendirikan Islamic Counter dengan tingkat suku bunga nol persen.7
Perbankan Syariah Di Indonesia
Pendirian bank Islam di Indonesia,
pada awalnya, tidak disetujui, karena
dianggap memiliki kaitan dengan gerakan
kaum fundamentalis yang akan mendirikan
negara Islam. Selain itu, Undang-Undang
Perbankan Indonesia (UUPI) tidak mengenal
sistem atau tidak memberikan ruang bagi
beroperasinya bank tanpa bunga. UU tersebut
praktik pembungaan uang saat ini telah asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi dan lembaga keuangan lainnya maupun oleh individu.
7Cecep Maskanul Hakim, dalam
adalah UU Pokok Perbankan No. 14 tahun
1967 Bab I, yang mengharuskan setiap
transaksi kredit disertai dengan bunga.8
Pada tahun 1970, A.M. Saefuddin,
yang memiliki peran penting dalam kelahiran
pergerakan ekonomi Islam Indonesia di tahun
1980-an, mengikuti Konferensi Internasional
Ekonomi Islam yang pertama di Mekkah.
Dan pada awal tahun 1980-an A.M.
Saefuddin beserta tokoh lainnya mulai
menyuarakan pengIslaman ekonomi atau
ekonomi syariah.. Gerakan ekonomi syariah
ini semakin berkembang hingga diadakanlah
diskusi mengenai ekonomi syariah di
Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada
tahun 1983.9
Setelah konferensi di Bandung
tersebut, sebagai uji coba, masyarakat
bersama-sama dengan akademisi kemudian
mencoba mempraktikkan gagasan tentang
bank syariah tersebut dalam skala kecil,
seperti pendirian Bait Al- Tamwil Salman di Institut Teknologi Bandung oleh sekelompok
8 Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Bab I Pasal 1 huruf a, “Bank adalah Lembaga
Keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam
lalu-lintas pembayaran dan peredaran uang.” Dan
huruf c,” Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain fihak dalam hal mana fihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga
yang telah ditetapkan.”
mahasiswa ITB yang mulai beroperasi pada 4
Juli 1984 dan Koperasi Ridho Gusti di
Jakarta. Keberadaan badan usaha
pembiayaan non-bank yang mencoba
menerapkan konsep bagi hasil ini semakin
menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia
membutuhkan hadirnya alternatif lembaga
keuangan syariah untuk melengkapi
pelayanan oleh lembaga keuangan
konvensional yang sudah ada.10
Salah satu
prestasi yang diraih oleh koperasi Bait Al- Tamwil Salman ini berupa pencapaian aset sebesar 1,5 miliar rupiah dari modal awal 34
juta rupiah. Pada tahun 1989, koperasi ini
ditutup karena adanya pembiayaan
bermasalah.11
Perkembangan perbankan syariah di
Indonesia diawali dengan adanya Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) yang beroperasi
secara syariah. Pada tahun 1988, BPR Berkah
Amal Sejahtera pertama kali beroperasi
secara syariah. Di mana, pada tahun 1991
terdapat tiga BPR yang beroperasi
9 Shofwan Al Banna Choiruzzad, The Central
Bank’ in the Development of Islamic Economy Project in Indonesia: Role, Motivations and Moderating Effect, The Ritsumeikan Journal of International Studies, Vol. 25-2, 2012, Hal. 89
10 Loc. Cit, Hal. 89
11 Bank Indonesia, Perjalanan Perbankan
berdasarkan prinsip syariah yaitu BPR
Berkah Amal Sejahtera, BPR Dana
Mardhatillah, dan BPR Amanah
Rabbaniyah.12
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
akhirnya menyelenggarakan Lokakarya
Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18-20
Agustus 1990. Hasil dari lokakarya tersebut
kemudian dibahas lebih lanjut pada
Musyawarah Nasional Keempat MUI di
Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.13
Kemudian dari hasil Munas IV MUI ini
dibentuklah kelompok kerja yang diberi
nama “Panitia Persiapan dalam Usaha Berdirinya Bank Bebas Bunga,” serta dibentuk pula kelompok “Panitia Kecil Penyiapan Buku Panduan Bank Bebas
Bunga.” Kedua kelompok tersebut kemudian
menyatu yang kemudian terbentuklah Tim
Perbankan MUI yang terdiri dari seluruh
anggota panitia kecil buku panduan dan
sebagian anggota pantita besar. Tim
Perbankan MUI terus melakukan sosialisasi
serta lobi untuk mempersiapkan pendirian
bank syariah pertama di Indonesia kepada
menteri dan para pejabat tinggi, yang pada
akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim
12 Loc. Cit, Hal. xv
13 Shofwan Al Banna Choiruzzad, Op. Cit,
Hal. 90
14 Bank Indonesia, Op. Cit, Hal. xvi
ini berhasil menemui Presiden Soeharto
untuk menyampaikan ide pendirian bank
yang beroperasi sesuai dengan prinsip
syariah.14
Sebelum mendatangi Presiden
Soeharto, pendekatan dilakukan melalui dua
cara. Pertama dengan mendatangi pembantu
beliau (menteri-menteri), dipimpin oleh
Karnaen Perwataadmadja dan kedua melalui
putra putri., dipimpin oleh Yang melalui
putra putri dipimpin oleh alm. Nyoman
Moena dengan konsep bank syariah itu apa.
Dijelaskan mengenai bank syariah. Hingga
menghasilkan satu formula bahwasanya bank
syariah ini mirip dengan tradisi Indonesia,
matelu, baron. Hal ini yang sampai kepada Presiden Soeharto.15
Setelah melalui lika liku dalam
rangka merealisasikan ide pendirian bank
syariah di Indonesia, akhirnya pada tanggal 1
November 1991 diumumkan akta pendirian
bank syariah pertama yaitu Bank Muamalat
Indonesia di Hotel Sahid Jaya.
Penandatanganan akta tersebut agar
keberadaanya diakui secara formal oleh
pemerintah. Pada kesempatan ini pula
ditetapkan bahwa modal dasar pendirian
bank syariah pertama tersebut adalah sebesar
15
Rp 500 miliar. Penyelenggaraan acara
silaturahim antara Presiden Soeharto dengan
masyarakat Jawa Barat di Istana sebagaimana
yang telah direncanakan berlangsung pada
tanggal 3 November 1991. Dalam acara ini,
jumlah modal dasar berhasil ditingkatkan
dari Rp. 85 miliar menjadi Rp 110 miliar
yang dicapai dengan dukungan empat ribu
masyarakat Jawa Barat. Adapun
pengoperasian Bank Muamalat Indonesia
(BMI) sebagai bank syariah pertama di
Indonesia dimulai pada 1 Mei 1992.16
Pendirian BMI ini tak luput dari
usaha Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI). ICMI merupakan alat penggerak
yang kuat pengaruhnya bagi umat Islam
Indonesia, karena diketuai oleh Habibie yang
pada saat itu menjabat sebagai Menteri Ilmu
Pengetahuan dan Tekonologi. Habibie pada
saat itu juga dianggap sebagai orang
kepercayaan Soeharto sejak akhir 1980-an.
Habibie sendiri menetapkan pendirian bank
syariah sebagai salah satu agenda ICMI.17
Awalnya tim yang mendatangi
Presiden Soeharto mengajukan dua nama
untuk bank syariah pertama, yaitu Bank
Muamalat Islam Indonesia Dan Bank
Muamalat Indonesia. Kemudiah Presiden
Soeharto bertanya, “Muamalat itu artinya
Islam juga bukan?” Kalau memang sudah
Islam, ya sudah Bank Muamalat Indonesia
saja.” Akhirnya terpilihnya nama Bank
Muamalat Indonesia.18
Keterlibatan Bank Indonesia terhadap
pendirian bank syariah pertama (Bank
Mamalat Indonesia) pada awalnya relatif
sedikit. Dimulai dari tahun 1990-an, ketika
MUI mengadakan seminar tentang bank dan
bunga di Cisarua, beberapa pejabat di Bank
Indonesia diundang. Tidak ada keputusan
resmi dari Bank Indonesia setelah seminar
tersebut, mengenai tentang pendirian Bank
Islam di Indonesia. BI tidak menyetujui
maupun tidak menolak gagasan tersebut.
Situasi ini kemudian berubah ketika Soeharto
menyuarakan dukungannya terhadap
pendirian bank Islam secara terbuka,
walaupun Soeharto tidak menyetujui
penggunaan nama Islam di bank Islam.19
Terdapat dua faktor yang menjadi
penopang dalam pembentukan perbankan
syariah, antara lain:
16 Loc. Cit, Hal. xvi-xvii
17 Shofwan Al Banna Choiruzzad, Op. Cit,
Hal. 90
18 Karnaen Perwataadmadja, dalam
wawancaranya dengan penulis mengenai
1. Faktor internal, yang meliputi:
sejarah perbankan syariah pada 28 Agustus 2016.
19 Shofwan Al Banna Choiruzzad, Op. Cit.
a. Ideologi
b. Agama
c. Politik kekuasaan
d. Ekonomi
e. Sosial
f. Budaya
2. Faktor eksternal
a. Politik
b. Ekonomi
Kendala-Kendala Yang Muncul 20
Dalam hal pendirian Bank
Mualamalat Indonesia (BMI), tidak luput
dari masalah-masalah yang menghambat
perkembangannya. Berikut merupakan
beberapa kendala dalam pendirian dan
perkembangan Bank Muamalat Indonesia
(BMI) :
1. Pemahaman masyarakat
2. Sumber daya manusia
3. Dukungan operasional (dana)
4. Hukum yang mendasari
5. Dukungan pemerintah
6. Accountability
Era Undang-Undang Perbankan Tahun 1992
20 Cecep Maskanul Hakim, dalam
wawancaranya dengan penulis mengenai sejarah perbankan syariah pada 30 Mei 2016.
21 Shofwan Al Banna Choiruzzad, Op. Cit.
Hal. 91
22 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
Berdirinya bank syariah pertama di
Indonesia, Bank Muamalat Indonesia, adalah
sebelum terbentuknya undang-undang yang
mengatur tentang perbankan syariah. Bank
Muamalat Indonesia berdiri pada tahun 1991
sebelum lahirnya undang-undang tentang
perbankan yang baru, yaitu Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992. Permasalahan yang terjadi
adalah belum tersedianya peraturan yang
mengatur tentang bank tanpa bunga. Pada
saat itu Soeharto, memerintahkan untuk
pembuatan undang-undang tentang
perbankan yang baru, sehingga pemerintah
dalam proses merevisi peraturan tentang
perbankan (seperti misalnya,
Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, Paket Kebijakan
Oktober 1988, dan Paket Kebijakan Januari
1990).21
Akhirnya terbitlah Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada 25
Maret 1992.22
Dalam undang-undang ini
hanya disebutkan dalam pasal 6 huruf m
secara singkat mengenai perizinan bank
untuk beroperasi dengan sistem bagi hasil,23
yang melandasi beroperasinya Bank
Muamalat Indonesia. Kemudian pada bulan
23 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan pasal 6 huruf m yang menyatakan
usaha bank meliputi, “Menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
Oktober di tahun yang sama, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72
Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil.24
Pada era undang-undang tahun 1992
di sini tidak diperbolehkannya bank
konvensional melaksanakan prinsip bagi
hasil, seperti tecantum dalam PP No. 72
Tahun 1992 pasal 6:25
a. Bank Umum atau bank Perkreditan
Rakyat yang kegiatan usahanya
semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil, tidak diperkenankan melakukan
kegiatan usaha yang tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil.
b. Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat yang kegiatan usahanya tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil tidak
diperkenankan melakukan kegiatan
usaha yang berdasarkan prinsip bagi
hasil.
24 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992
tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
25 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992
tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
26 Khotibul Umam, Op. Cit, Hal. 19 27 Pasal 5 :
1. Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syari'at yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari'at.
Sesuai dengan ketentuan di atas, Bank
Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat
dalam waktu bersamaan hanya dapat
melakukan satu jenis prinsip dalam
pengelolaan usahanya. Dengan demikian, di
era ini sebuah bank hanya dapat melakukan
kegiatan usahanya secara konvensional atau
berdasarkan prinsip bagi hasil.26
Dewan Pengawas Syariah (DPS)
pertama kali dikenal dalam Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil pasal 5 ayat
1-3.27
DPS berfungsi sebagai pengawas kegiatan
usaha bank bagi hasil. Dalam menjalankan
fungsinya DPS berkonsultasi dengan Majelis
Ulama Indonesia.28
Pada era ini bank syariah dikenal
dengan bagi hasil. Berdasarkan UU No. 7
Tahun 1992, mengingat pada UU tersebut
diperkenalkan istilah pembagian hasil
keuntungan.29
Sehingga dikenal aplikasi bank
syariah dalam UU tersebut sebagai bagi hasil.30
2. Pembentukan Dewan Pengawas Syari'at diiakukan oleh Bank yang bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia.
3. Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pengawas Syariat berkonsultasi dengan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
28 Bank Indonesia, Op. Cit, Hal. 98
29 UU No. 7 Tahun 1992 Bab I Ketentuan
Umum, pasal 1, no. 12 yang berbunyi,
“Kredit adalah ... imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
0 5 10 15 20 25 30
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
BUS UUS
Grafik 2. Perbankan Syariah 1992-2007
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Era Undang-Undang Perbankan Tahun
1998
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
dikeluarkan pada 10 November 1998 untuk
menggantikan Undang-Undang Tahun 1992
tentang Perbankan. Dalam undang-undang ini,
istilah bank syariah disebutkan dengan jelas.
Seperti pada pasal 1 ayat 3 dan 4 disebutkan
bahwa, (3) Bank Umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan
31 Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang
jasa dalam lalu lintas pembayaran; (4) Bank
Perkreditan Rakyat adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah
yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Selanjutnya
mengenai prinsip syariah juga dijelaskan
dalam pasal 1 ayat 13.31
Undang-Undang No.
10 Tahun 1998 memperbolehkan bank
konvensional melakukan kegiatan usaha
perbankan dengan prinsip syariah melalui
mekanisme (Islamic windows) dengan mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS).32
dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
32 Disebutkan dalam pasal 6 huruf m UU No.
Maksud dari UUS ini berfungsi sebagai
kantor pusat bagi kantor cabang atau kantor
cabang pembantu yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
dari bank konvensional.33
Ketentuan UU ini menunjukkan
dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) yang diharapkan akan mempecepat perkembangan perbankan
syariah di Indonesia. Di era ini bank
konvensional dapat memberikan layanan
syariah melalui pembentukan UUS,
sedangkan bagi Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) hanya boleh memberikan layanan
secara konvensional atau secara syariah.34
Pada UU ini disebutkan bahwa
masing-masing bank syariah wajib embentuk
Dewan Pengawas Syariah (DPS). Hal ini
tercantum dan dijelaskan dalam penjelasan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pada
pasal 6 ayat m.35
Setelah disahkannya Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, perbankan syariah nasional
mengalami pertumbuhan yang relatif cepat.
Oleh karena itu, diperlukan cetak biru
“Menyediakan pembiayaan dan/atau
melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.”
33 Khotibul Umam, Op. Cit, Hal. 11
pengembangan perbankan syariah yang dapat
memberikan arahan serta tahapan-tahapan
dalam rangka mencapai
sasaran pengembangan jangka panjang.
Berkaitan dengan hal tersebut, sejak tahun
2001 Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia
telah melakukan kajian dan menyusun Cetak
Biru Pengembangan Perbankan Syariah
Nasional untuk periode 2002-2011.36
Namun, kelemahan dari UU ini
adalah UU ini mengatur ketentuan yang
berlaku untuk semua bank, baik bank
konvensional maupun bank syariah. Karena
itu, UU ini menciptakan kerancuan batasan
antara bank konvensional dengan bank
syariah sehingga seakan-akan semua
ketentuan yang mengatur bank konvensional
dapat pula mengatur bank syariah. Hal ini
terlihat dari minimnya pasal yang mengatur
secara khusus tentang perbankan syariah.
Dari 59 pasal yang ada dalam UU No. 10
Tahun 1998, hanya ada 8 asal yang mengulas
perbankan syariah, yaitu pasal 1 ayat (12),
pasal 6 huruf (m), pasal 7 huruf (c), pasal 8
ayat (1) dan (2), pasal 11 ayat (1), (2), dan
(4a), pasal 13 huruf (c), pasal 29 ayat (3), dan
pasal37 ayat (1) huruf (c).37
34 Loc. Cit
0 5 10 15 20 25 30
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
BUS UUS
Grafik 3. Perbankan Syariah 2006-2015
Sumber: Statistik Perbankan Syariah Era Undang-Undang Perbankan Tahun
2008
Perkembangan yang signifikan pada
perbankan syariah terjadi pada tahun ini,
setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
pada 16 Juli 2008. Dikeluarkannya UU ini
dimaksud sejalan dengan tujuan
pembangunan nasional Indonesia untuk
mencapai terciptanya masyarakat adil dan
makmur berdasarkan demokrasi ekonomi,
dengan mengembangkan sistem ekonomi
yang berlandaskan pada nilai keadilan,
kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan
yang sesuai dengan prinsip syariah. UU ini
juga dilatarbelakangi dengan adanya
kebutuhan masyarakat Indonesia akan
38 Khotibul Umam, Op. Cit. Hal. 11-20
jasa perbankan syariah yang semakin
meningkat.38
Keberadaan UU Perbankan Syariah
tidak hanya memberikan landasan hukum
yang kuat bagi industri perbankan syariah
nasional, tetapi jug memberikan lingkungan
bagi berkembangnya industri yang lebih
mapan dan kondusif. Undang-Undang
Perbankan Syariah secara umum juga
memberikan arah kebijakan dan bentuk
industri perbankan syariah ke depan, bahkan
juga menegaskan keberadaan beberapa
lembaga yang menjadi infrastruktur penting
bagi industri perbankan syariah seperti
Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI dan
Peradilan Agama.39
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 secara
jelas menyebutkan eksistensi tiga jenis bank
syariah yang beroperasi di Indonesia, yaitu
Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha
Syariah (UUS), dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS).40
Namun begitu UU
ini sudah mengarahkan sebuah kebijakan
kelembagaan perbankan syariah, di mana
UUS pada masa mendatang harus berubah
(berkembang) menjadi BUS.41
Ketentuan ini
tentu saja berpengaruh positif pada industri
karena akan mendorong pemiliknya untuk
serius mengembangkan perbankan syariah
khususnya yang masih berbentuk UUS.42
Undang-Undang Perbankan Syariah
ini juga mnegeaskan fungsi dari bank syariah,
yaitu selain melakukan fungsi penghimpunan
dan penyaluran dana, juga melakukan fungsi
sosial dalam bentuk:43
1. Lembaga baitul mãl yang menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah, dan
lainnya untuk disalurkan ke
organisasi pengelola zakat;
40 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pasal
1 ayat (8), (9), dan (10)
41 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pasal 68 ayat (1), “Dalam hal Bank Umum
Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi
Bank Umum Syariah.”
42 Bank Indonesia, Op. Cit, Hal. 104
43 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 pasal
4 ayat (2), “Bank Syariah dan UUS dapat
2. Lembaga keuangan syariah penerima
wakaf uang yang menerima wakaf
uang dan menyalurkannya ke
pengelola (nazhir) yang ditunjuk. Fungsi sosial ini telah menempatkan
perbankan syariah dalam posisi istimewa
sekaligus menguntungkan, bukan hanya
dalam sistem jejaring sosial.44
Perbankan Syariah dalam Peraturan Pemerintah
Empat peraturan pemerintah yang
mengatur tentang perbankan syariah, yaitu:45
Pertama, PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum. Mengenai peraturan
untuk modal, “Modal disetor untuk
mendirikan Bank Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a
dan/atau huruf b ditetapkan
sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh
milyar rupiah).”46 Mengenai anggaran dasar
dan rencana kegiatan usaha bank, “Bank
Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip
menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mãl, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola
zakat.” Dan ayat (3), ” Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wãkif).”
44 Bank Indonesia, Op. Cit, Hal. 105 45 Djawahir Hejazziey, Op. Cit, Hal. 127 46Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992
bagi hasil, dalam rancangan anggaran dasar
dan rencana kerja harus secara tegas
mencantumkan kegiatan usaha bank yang
semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil.”47
Kedua, Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan
Rakyat. Disebutkan dalam pasal 6 ayat 2,
“Bank Perkreditan Rakyat yang akan
melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil, harus secara tegas
mencantumkan kegiatan usaha bank yang
semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil
dalam rancangan anggaran dasar dan rencana
kerjanya.”
Ketiga, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil. Inti dari PP ini adalah
bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi
hasil harus memperhatikan prinsip-prinsip
syariah48 dan penetapan besarnya bagi hasil
sesuai dengan kesepakatan tertulis49, selain
itu bank yang melaksanakan prinsip bagi
47Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1992
tentang Bank Umum pasal 5 ayat 3
48 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
pasal 2 ayat 1, “Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil berdasarkan
Syari'at ...”
49 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
pasal 3, “Penetapan besarnya bagi hasil
antara bank berdasarkan prinsip bagi hasil
hasil harus memiliki dewan pengawas
syariah.50
Kesimpulan
Pendirian bank Islam di Indonesia,
pasa awalnya, tidak disetujui, karena
dianggap memiliki kaitan dengan gerakan
kaum fundamentalis yang akan mendirikan
negara Islam. Selain itu, Undang-Undang
Perbankan Indonesia (UUPI) tidak mengenal
sistem atau tidak memberikan ruang bagi
beroperasinya bank tanpa bunga. UU tersebut
adalah UU Pokok Perbankan No. 14 tahun
1967 Bab I, yang mengharuskan setiap
transaksi kredit disertai dengan bunga.
Perkembangan perbankan syariah di
Indonesia diawali dengan adanya Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) yang beroperasi
secara syariah. Pada tahun 1988, BPR Berkah
Amal Sejahtera pertama kali beroperasi
secara syariah. Di mana, pada tahun 1991
terdapat tiga BPR yang beroperasi
berdasarkan prinsip syariah yaitu BPR
dengan nasabahnya didasarkan pada kesepakatan yang dituangkan dalam
perjanjian tertulis antara kedua belah pihak.” 50 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
pasal 5 ayat 1, “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syari'at yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar
Berkah Amal Sejahtera, BPR Dana
Mardhatillah, dan BPR Amanah Rabbaniyah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
akhirnya menyelenggarakan Lokakarya
Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18-20
Agustus 1990. Hasil dari lokakarya tersebut
kemudian dibahas lebih lanjut pada
Musyawarah Nasional Keempat MUI di
Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
Kemudian dari hasil Munas IV MUI ini
dibentuklah kelompok kerja yang diberi
nama Panitia Persiapan dalam Usaha
Berdirinya Bank Bebas Bunga,” serta dibentuk pula kelompok “Panitia Kecil
Penyiapan Buku Panduan Bank Bebas
Bunga.” Kedua kelompok tersebut kemudian
menyatu yang kemudian terbentuklah Tim
Perbankan MUI yang terdiri dari seluruh
anggota panitia kecil buku panduan dan
sebagian anggota pantita besar. Tim
Perbankan MUI terus melakukan sosialisasi
serta lobi untuk mempersiapkan pendirian
bank syariah pertama di Indonesia kepada
menteri dan para pejabat tinggi, yang pada
akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim
ini berhasil menemui Presiden Soeharto
untuk menyampaikan ide pendirian bank
yang beroperasi sesuai dengan prinsip
syariah.
Beberapa kendala yang dihadapi oleh
bank syariah pertama:
1. Pemahaman masyarakat
2. Sumber daya manusia
3. Dukungan operasional (dana)
4. Hukum yang mendasari
5. Dukungan pemerintah
6. Accountability
Rekomendasi
Beberapa saran yang dapat penulis berikan
adalah:
1. Walaupun telah meiliki hukum yang
pasti untuk mengatur kelembagaan
hukum bank syariah, pertumbuhan
profit bank syariah yang semakin
menurun di tahun 2015.. Kondisi
seperti ini menjadi pekerjaan besar bagi
berbagai pihak terutama bagi
pemerintah selaku penentu kebijakan,
Bank Indonesia selaku otoritas
moneter, Dewan Syariah Nasional
selaku pengawas dan pemberi fatwa,
cendekiawan-cendekiawan muslim
selaku pengawas dan pemberi masukan
untuk berkolaburasi dan berkoordinasi
menyelesaikan masalah ini, sehingga
bisa meningkatkan profit perbankan
syariah dan industri perbankan syariah
bisa menjadi lembaga ekonomi umat
perekonomian ke arah yang lebih baik
lagi.
2. Dengan adanya penelitian ini
diharapkan bisa menjadi bukti bahwa
perbankan syariah bisa berkembang
disebabkan adanya landasan hukum
yang jelas (UU No. 21 Tahun 2008),
terlihat dari semenjak dikeluarkannya
undang-undang tersebut meningkatnya
jumlah Bank Umum Syariah yang
semula hanya tiga babnk menjadi dua
belas bank hingga saat ini. Ini bisa
menjadi masukan bagi pemerintah
bahwa untuk segala hal yang berwujud
syariah seperti asuransi syariah, reksa
dana syariah, pasar modal syariah, dan
lainnya perlu diciptakannya
undang-undang khusus yang mengatur tentang
hal-hal tersebut sehingga bisa
mengembangkan ekonomi syariah di
Indonesia.
3. Penelitian yang saat ini dilakukan lebih
menitikberatkan kepada hukum nasional
Indonesia, dan hanya mencantumkan
dalil-dalil tentang riba sebagai acuan
untuk hukum syariah. Maka, saran untuk
penelitian selanjutnya membahas hukum
syariah suatu bank syariah secara lebih
mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
Anshori, A. Ghofur. 2010. Pembentukan Bank Syariah Melaui Akuisisi dan Konversi (Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam). Yogyakarta: UII Press.
Antonio, M. Syafii. 2000. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Institute.
_____. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.
Bank Indonesia. 2016. Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia; Kelembagaan dan Kebijakan Serta Tantangan ke Depan. Jakarta: Departemen Riset Kebanksentralan.
Bni Syariah. 2005. Prospek Bank Syariah Pasca Fatwa MUI. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Choiruzzad, Shofwan Al Banna. 2012. The
Central Bank’ in the Development of
Islamic Economy Project in Indonesia: Role, Motivations and Moderating Effect. The Ritsumeikan Journal of International Studies, Vol. 25-2.
Fatwa Dewan Syariah Nasional, DSN-MUI, 2000, Jakarta.
Hejazziey, Djawahir. 2013. Perbankan Syariah; Ditinjau dari Aspek Hukum dan Politik. Bandung: Fajar Media.
Laporan Perekonomian Indonesia. 2014. Jakarta: Bank Indonesia.
Mufti, dkk. 2011. Amanah Bagi Bangsa; Konsep Sistem Ekonomi Syariah.
Jakarta: Masyarakat Ekonomi Syariah.
Noor, ZainulBahar. 2006. Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan dan Kenyataan. Jakarta: Bening Publishing. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992
Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil
Perwataatmadja, Karnaen dan Tanjung
Hendri. 2011. Bank Syariah, Jakarta: Senayan Abadi.
Sakti, Ali. 11 Juli 2003. Implikasi Bunga Bank Dalam Perekonomian, Republika,
29 Februari 2012.
Sjahdeini, S. Remy. 2014. Perbankan Syariah; Produk-Produk dan Aspek-Aspek Hukumnya. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Statistik Perbankan Syariah. 2014. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.
Sumitro, Warkum. 1996. Asas-Asas Perbankan Syariah dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Syukron, Ali. 2015. Dinamika
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Makalah untuk kuliah mata kuliah Manajemen Investasi Syariah
STAI Darul Ulum.
The Blueprint of Islamic Banking Development in Indonesia. 2002. Jakarta: Bank Indonesia.
Umam, Khotibul. 2016. Perbankan Syariah: Dasar-Dasar dan Dinamika Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
_______. Legislasi Fikih Ekonomi Perbankan: Sinkronisasi Peran Dewan Syariah Nasional dan Komite Perbankan Syariah, Mimbar Hukum, Vol. 24 No. 2, 2012, Hal. 360
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah
Outlook Perbankan Syariah 2012. 2012. Jakarta: Bank Indonesia.
Widjanarto. 2003. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta.
Zuhri, Muhammad. 1996. Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
https://stats.oecd.org/index.aspx?queryid=35
0#
AUTOBIOGRAFI
Alifia Annisaa adalah mahasiswa
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam, Bogor, Jawa
Barat, Indonesa, yang mengmbil program