• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi O. rhinoceros L.

Klasifikasi kumbang badak menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai

berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Ordo : Coleoptera

Family : Scarabaidae

Genus : Oryctes

Spesies : O. rhinoceros L.

Bentuk telur lonjong, warna putih, panjang 3-4 mm, lebar 2-3 mm.

Rata-rata lamanya telur 12 hari. Telur diletakan pada sampah membusuk, tumpukan

serbuk gergaji/sekam, pohon yang lapuk, kotoran hewan (Gambar 1)

(Lekahena, 2011).

(2)

Larva atau uret berwarna putih bersih, semakin tua warna berubah semakin

kekuningan dengan panjang 75-100 mm. uret mempunyai tiga pasang tungkai

pada dadanya, kepala berwarna coklat tua. Ujung perutnya membesar dan terdapat

susunan bulu yang khas (Gambar 2). Umur larva mencapai 99-121 hari

(BPTP Yogyakarta, 2005).

Gambar 2. Larva O. rhinoceros Sumber: Foto langsung

Larva instar terakhir masuk ke tanah sedalam ± 30 cm dan tidak aktif

selama 8-13 hari (masa prapupa). Pra pupa berada dalam kokon yang terbuat dari

tanah atau bagian tanaman. Warna pupa putih kekuningan dengan panjang 5-9 cm

(Gambar 3) (BPTP Yogyakarta, 2005).

(3)

Panjang kumbang dewasa 35-45 mm, dengan sayap berwarna hitam

mengkilat kumbang jantan mempunyai tanduk yang membengkok pada

pangkalnya sepanjang 8-10 mm. sedangkan kumbang betina bertanduk lebih

pendek atau hampir tidak bertanduk (Gambar 4). Kumbang dewasa aktif pada

malam hari yaitu pukul 18.00-21.00 dengan jarak terbang sejauh 9 km

(BPTP Yogyakarta, 2005).

Siklus hidup O. rhinoceros berlangsung selama 4-9 bulan, menghasilkan

lebih dari 1 generasi dalam setahun. Daya hidup imago sekitar 3 bulan

(Howard dkk, 2001).

Gambar 4. Imago O. rhinoceros Sumber: Foto Sendiri

Gejala Serangan

Kumbang dewasa biasanya terbang ke tajuk kelapa pada malam hari, dan

masuk melalui salah satu ketiak pada bagian atas tajuk. Pada dasarnya ketiak

pelepah ketiga, empat atau lima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling

di sukai. Jika tanaman kelapa baru berumur satu tahun atau kurang, maka titik

masuk pada pangkal batang di permukaan tanah. Setelah kumbang menggerek ke

(4)

berkembang. karena kumbang memakan daun yang masih terlipat, maka bekas

gigitn akan menyebabkan daun seperti tergunting dan jelas terlihat setelah pelepah

daun terbuka (Gambar 5) (Mawikere dkk, 2007).

Kumbang O. rhinoceros merupakan stadia yang merusak tanaman kelapa.

Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke

bagian dalam ketiak pelepah daun yang paling atas. Kumbang menyerang pucuk

dan pangkal daun muda yang belum membuka dengan cara menggerek dan

memakan helaian daun sehingga mengakibatkan daun terpotong-potong/

tergunting membentuk huruf “V” bila telah membuka. Gejala ini merupakan ciri

khas serangan hama O. rhinoceros (Wibawanti, 2011).

Pelepah daun putus

(5)

Metode Pengendalian O. rhinoceros

Pengendalian terhadap hama O. rhinoceros dapat dilakukan dengan

beberapa cara yaitu:

1. Sanitasi

Membersihkan tempat perkembangbiakan larva O. rhinoceros seperti

tanaman mati membusuk, tunggul kelapa dipotong-potong kemudian dibakar

agar tidak menjadi sarang O. rhinoceros

2. Mekanis

Mengumpulkan larva/pupa kemudian dimusnahkan dan menebang serta

memusnahkan pohon yang telah mati.

3. Kultur Teknis

Batang yang tidak dimanfaatkan ditutup dengan tanaman penutup tanah

seperti Centrosema pubescens atau Pueraria phaseoloides.

4. Biologi

Menggunakan jamur antagonis Metarhizium anisopliae. Jamur ini tidak

hanya efektif untuk mengendalikan larva namun juga dapat menginfeksi

kumbang. Selain itu juga bisa menggunakan Baculovirus oryctes.

5. Penggunaan Feromon

Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada

pasangan seksualnya, mangsanya, tanaman inang dan tempat

berkembangbiaknya. Komponen utama feromon sintetis O. rhinoceros adalah

etil-4 metil oktanoat. Penggunaan feromon akan optimal apabila dipadukan

dengan komponen pengendalian lainnya.

(6)

Biologi Steinernema spp.

Klasifikasi Steinernema spp. menurut Hunt (2007) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Nematoda

Class : Secermenteae

Ordo : Rhabditida

Family : Steinernematidae

Genus : Steinernema

Spesies : Steinernema spp.

Steinernematidae memiliki kutikula yang halus dibagian lateralnya,

esophagus memiliki tiga bagian termasuk metacorpus dan menyebabkan warna

karamel hingga coklat tua pada uji kutikula serangga inang. Panjang tubuhnya

berkisar antara 221-676 μm dengan lebar 19-28 μm. Lubang eksretori dan nerve

ring larva infektif di bagian anterior. Setelah dewasa jantan memiliki testis

tunggal, sepasang spikula dan terdapat gubernaculums (Erningtyas, 2006).

Menurut Tanada dan Kaya (1993) jenis kelamin nematoda biasanya

terpisah. Jantan memiliki sistem reproduksi yang berkembang masuk ke rektum

dan membentuk kloaka. Jantan dewasa dicirikan dengan keberadaan satu atau dua

testis dan spikula yang bergabung dengan kloaka, sedangkan betina sistem

reproduksinya tersusun atas satu atau dua ovari dan vulva yang terletak ventral

(Widianingsih dkk, 2009).

Steinernema jantan mempunyai panjang tubuh 1000 – 1900 μm, lebar

90 – 200 μm, panjang stoma 4,5 – 7 μm, lebar stoma 4 – 5 μm, panjang ekor

(7)

mucron 2,8 – 4,5 μm. Steinernema betina, panjang tubuh 3020 – 3972 μm, lebar

153 – 192 μm, panjang stoma 7 – 12 μm, lebar stoma 5,0 – 8,5 μm, panjang ekor

30 – 47 μm, lebar vulva 49 – 54 μm. Untuk stadia ‘Infective juvenile” : panjang

tubuh 500 – 570 μm, lebar 15 – 25 μm, panjang ekor 47 – 54 μm (Stock, 1993).

Nematoda entomopatogen terdiri atas 2 famili penting yaitu famili

Steinernematidae yang terdiri atas 2 genus yaitu Steinernema dan Neosteinernema

dan famili Heterorhabditidae yang mempunyai 1 genus yaitu Heterorhabditis.

Juvenil infektif (JI) dari genus Steinernema mempunyai panjang total tubuh

berkisar 700 μm dan terdiri atas 25 spesies (Adams dan Nguyen, 2002).

Menurut Tanada dan Kaya (1993) di dalam perkembangannya, nematoda

entomopatogen Steinernema spp. mempunyai siklus hidup sebagai berikut : telur,

juvenil dan dewasa. Sebelum mencapai dewasa, nematoda entomopatogen ini

akan mengalami empat kali ganti kulit, baik yang terjadi di dalam telur, dalam

lingkungan atau di dalam tubuh inangnya (Widianingsih dkk, 2009).

Siklus hidup Steinernema spp. ini dapat juga dibagi dalam siklus

reproduktif dan infektif. Stadium infektif nematoda dinamakan juvenil infektif

(JI). Juvenil nematoda yang infektif adalah J3, masuk ke dalam serangga lewat

lubang-lubang alami (mulut, spirakel dan anus) dan penetrasi ke dalam homocoel.

J3 ini dalam tubuhnya membawa simbion mutualistik bakteri Xenorhabdus spp.

Bakteri masuk dalam body cavity (lubang dalam tubuh) serangga, berbiak dan

mampu membunuh serangga dalam waktu 48 jam. Nematoda kemudian memakan

sisa-sisa tubuh serangga yang sudah mati (oleh bakteri) kemudian berbiak dan

(8)

Steinernema spp. dasarnya mempunyai stadia utama dari perkembangan

telur, juvenil dan dewasa. Secara morfologis larva infektif (Juvenil 3 atau J3)

teradaptasi untuk tetap hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan sambil

menunggu serangga inang. Pada umumnya mengalami empat kali pergantian kulit

sebelum mencapai dewasa dan pergantian kulit dapat saja terjadi di dalam telur, di

lingkungan dan di dalam tubuh serangga inangnya

(Kaya dan Gaugler, 1993 dalam Erningtyas, 2006).

(9)

Dalam rangka untuk menyergap mangsa, beberapa spesies Steinernema

mengejapkan mata, atau mengangkat tubuh mereka dari permukaan tanah

sehingga mereka lebih siap untuk memparasit serangga lewat, yang ukurannya

jauh lebih besar (Campbell dan Lewis, 2002 )

Ada beberapa strategi NEP dalam mencari inangnya (foraging behaviour)

antara lain :

1) Teknik Ambushers, contohnya Steinernema carpocapsae dan S. scapterisci

yang menggunakan strategi "diam dan menunggu". Strategi ini adalah untuk

menyerang serangga sangat mobile sehingga akan mudah terinfeksi oleh

jenis NEP ini. Strategi ambushers umumnya efektif dalam menginfeksi

serangga yang berada di permukaan tanah.

2) Teknik Cruiser, contohnya nematoda Steinernema glaseri dan S. kraussei .

Strategi ini adalah dengan cara NEP bergerak aktif dalam mencari inang

yang mempunyai kecenderungan diam atau tidak bergerak aktif dan NEP

akan cenderung menyebar ke seluruh tanah. Strategi Cruiser biasanya lebih

merespon karbon dioksida yang dilepaskan oleh serangga inang sebagai

isyarat.

3) Strategi Intermediate atau strategi gabungan antara Ambusher dan Cruiser,

contohnya Steinernema feltiae dan S.riobrave. NEP yang menggunakan

strategi ini akan menyerang inang baik yang bergerak aktif atau

diam/kurang aktif bergerak, dan yang berada dipermukaan tanah maupun

yang ada jauh di dalam tanah.

(10)

Gejala Serangan Steinernema spp.

Patogenitas nematoda entomopatogen Steinernema spp. terjadi karena

adanya simbiosis mutualistik dengan bakteri Xenorhabdus spp. Kompleks

simbion bakteri-nematoda entomopatogen dapat menghancurkan sistem kekebalan

serangga inang dengan toksin yang di hasilkannya, dimana bakteri berbiak dengan

cepat menghasilkan toksin dalam hemolimfa serangga hingga fase stasioner.

Jaringan serangga akan terurai oleh toksin, hingga menyebabkan kematian

serangga dalam kurun waktu 24-48 jam (Burnell dan Stock, 1999).

Setelah nematoda melakukan penetrasi ke dalam tubuh larva, sistem

pencernaan nematoda yang semula tertutup mulai aktif membuka dan

mengeluarkan bakteri simbion ke dalam haemolympa yang mengakibatkan

kematian pada serangga hama akibat toksin intraseluler dan ekstraseluler yang

dihasilkan oleh bakteri simbion dalam waktu 24–48 jam

(Chaerani dan Nurbaeti,1996).

Setelah masuk tubuh serangga, Steinernema spp. akan melepaskan bakteri

Xenorhabdus spp yang dapat membunuh serangga dengan cepat dan membuat

kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi nematoda di dalam tubuh

serangga yang mati (Korlina, 2011).

Bakteri simbion mampu memproduksi senyawa antimikroba seperti

antibiotik, bakteriosin, dan fages yang dapat menghambat perkembangan

mikroorganisme sekunder yang ada di dalam tubuh serangga inang

(Boemare et al., 1996). Menurut Ehlers (1996) selama perbanyakan nematoda,

(11)

juvenil, kemudian bakteri disimpan kembali oleh dauer juvenil

(Widianingsih dkk, 2009).

Senyawa antimikroba ini mampu menghasilkan lingkungan yang sesuai

untuk reproduksi nematoda dan bakteri simbionnya sehingga mampu menurunkan

dan mengeliminasi populasi mikroorganisme lain yang berkompetisi mendapatkan

sumber makanan di dalam serangga mati. Keadaan demikian memungkinkan

nematoda entomopatogen menyelesaikan siklus perkembangannya dan

meminimalkan terjadinya pembusukan serangga inangnya

(Burnell dan Stock, 2000).

Menurut Sulistyanto (1999) meskipun toksin yang dikeluarkan bakteri

simbion memiliki peranan penting dalam meracuni serangga inang namun

simbiosis antara bakteri dan nematoda merupakan syarat mutlak yang hampir

tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Dalam hal ini bakteri tidak pernah dapat

masuk ke dalam tubuh serangga inang tanpa nematoda. Sehingga antara bakteri

simbion dan nematoda saling menguntungkan satu dengan lainnya

(Erningtyas, 2006).

Gejala serangan terhadap inang yang mati karena serangan

Steinernema spp. dengan bakteri simbionnya Xenorhabdus spp., dapat dikenali

dengan adanya perubahan warna menjadi hitam kecoklatan/karamel, karena

pigmen yang dihasilkan oleh bakteri pada serangga inangnya. (Zahro’in, 2010).

Tubuh larva yang mati berwarna coklat karamel, lunak, tidak berbau busuk

dan apabila dibedah didalamnya terdapat nematoda. Warna coklat karamel pada

tubuh serangga menunjukkan ciri khas serangan dari nematoda entomopatogen

(12)

Menurut Boemare dkk (1996), gejala hama yang terinfeksi

Steinernema spp. berwarna kecoklatan/karamel karena bakteri Xenorhabdus spp.

yang bersimbiosis dengan nematoda Steinernema spp. menghasilkan enzim

lekitinase, protease serta entomotoksin (eksotoksin dan endotoksin) yang

mempengaruhi proses kematian pada hama. Bakteri Xenorhabdus spp. termasuk

bakteri gram negatif, katalase negatif dan bioluminenscens negatif sehingga gejala

larva yang terinfeksi nematoda Steinernema spp. berwarna kecoklatan/karamel.

Menurut Jarozs (1996) tidak adanya bau busuk pada larva yang terserang

nematoda Steinernema spp. diduga karena adanya aktifitas antibiotik yang

dihasilkan bakteri Xenorhabdus spp. dan dapat menghambat aktifitas

mikroorganisme lain (Nugrohorini, dkk, 2009).

Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan

nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk nematoda

menghasilkan 2-3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi

di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan

cara keluar dari tubuh larva dan mencari inang lain (Wibawanti, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi patogenitas Steinernema spp.

Faktor penentu patogenitas nematoda entomopatogen terletak pada bakteri

mutualistiknya, yaitu dengan diproduksinya toksin intraseluler dan ekstraseluler

yang dihasilkan bakteri dalam waktu 24-48 jam (Kaya dan Gaugler, 1993),

sedangkan menurut Akhrust dan Boemere (1990) patogenitas Xenorhabdus

(13)

juga kemampuan bakteri memperbanyak diri di haemolimpa serta kemampuannya

untuk melawan mekanisme pertahanan serangga inang (Uhan, 2008).

Patogenitas nematoda secara umum melalui beberapa tahap antara lain

invasi, evasi dan toksikogenitas. Tahapan tersebut di atas akan dilalui secara

berurutan, mulai saat nematoda berhasil mempenetrasi serangga inang hingga

bakteri simbion nematoda keluar menuju bagian dalam tubuh serangga.

Masing-masing tahapan tersebut sangat di pengaruhi oleh enzim, pH, suhu dalam tubuh

serangga, dan suhu lingkungan (Erningtyas, 2006).

Nematoda tidak tahan terhadap faktor luar (kekeringan dan ultraviolet).

Untuk dapat berkembang dengan baik nematoda entomopatogen memerlukan

lingkungan fisik dan biotik yang mendukung kehidupannya. Nematoda ini

memiliki ketahanan yang rendah terhadap lingkungan fisik yang ekstrim,

khususnya kelembaban, kekeringan, cahaya matahari, dan suhu. Menurut

Molyneux (1985) umumnya batas suhu terendah untuk Steinernema masih tetap

aktif berkisar antara 4-14o C (Uhan, 2008).

Suhu lingkungan yang kurang menguntungkan akan menggagalkan proses

penetrasi nematoda ke dalam tubuh serangga, dan akan menyebabkan nematoda

mengalami kematian (Griffin, 1996). Demikian pula dengan pH dalam tubuh

serangga yang tidak mendukung perkembangbiakan bakteri simbion nematoda

akan menghambat perkembangbiakan bakteri simbion nematoda dalam tubuh

serangga inang (Schiroki dan Hague, 1997). Menurut Strauch dan Ehlers (1998)

perkembangbiakan bakteri simbion yang lambat juga akan memperlambat

(14)

Kematian larva lebih banyak di tentukan oleh aktivitas bakteri simbion

sehingga sejumlah kecil nematoda yang masuk sudah dapat menyebabkan

kematian larva (Uhan, 2008).

Shannag dan Capinera (1995) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat

kepadatan populasi nematoda menyebabkan semakin tinggi pula efektivitas

nematoda entomopatogen dalam mengendalikan serangga hama.

Potensi Steinernema spp. Sebagai Agens Pengendali Hayati

Menurut Gaugler dan Kaya (1990) komplek simbiosis nematoda

entomopatogen-bakteri simbion sangat ideal dikembangkan sebagai agensia

pengendalian hayati serangga hama, karena beberapa faktor yang menguntungkan,

antara lain : aktif mencari mangsa, memiliki virulensi tinggi, kisaran inang luas,

mudah dibiakkan di media buatan, mudah diaplikasikan, tidak bersifat racun

terhadap lingkungan, dan bersifat kompatibel dengan beberapa jenis pestisida

sintetik (Suryadi, dkk, 2008).

Weiser (1991) juga mengemukakan bahwa nematoda entomopatogen

merupakan parasit yang potensial bagi serangga-serangga yang hidup di dalam

tanah atau di atas permukaan tanah. Kelebihan lain menurut Ehlers (1996) yaitu

nematoda entomopatogen dapat membunuh inangnya dengan cepat (24–72 jam),

mempunyai kisaran inang yang luas, tidak berbahaya bagi organisme bukan

sasaran, dapat diproduksi secara masal baik dalam media in vitro maupun in vivo

dengan biaya yang relatif murah, dapat diaplikasikan dengan mudah, serta

(15)

Poinar (1979) melaporkan bahwa nematoda entomopathogenik dari

kelompok Steinernematidae dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai

hama. Serangga yang terserang oleh nematoda akan mati dua sampai tiga hari

setelah terjadi infestasi (Subagya, 2005).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shannag dan Capinera (1995)

diketahui bahwa nematoda Steinernema spp. dapat menyebabkan mortalitas pada

ulat melon (Diaphania hyalinata L.). Uhan dan Sastrosiswojo (1996) melaporkan

bahwa di sentra produksi tanaman sayuran dataran tinggi ditemukan nematoda

yang dapat membunuh hama-hama dari golongan Lepidoptera, yaitu

Crocidolomia pavonana, Plutella xylostella L., Helicoverpa armigera,

Spodoptera sp., dan Agrotis ipsilon (Uhan, 2005).

Pengujian di laboratorium yang dilakukan dengan metode kertas saring

dalam cawan petri, memberikan hasil bahwa nematoda entomopatogen

Steinernema feltiae dapat mematikan serangga Otiorhynchus sulcatus dengan

LD50 = 40 juvenil infektif (JI), sedangkan nematoda S. rudividae dapat

mematikan serangga yang sama dengan LD50 = 250 JI. Steinernema spp. lebih

efektif untuk mengendalikan larva dari ordo Lepidoptera (LD50 = 50 JI)

(Uhan, 2005).

Nematoda entomopatogen sangan potensial mengendalikan serangga hama

ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera (Nugrohorini dan Windriyanti, 2009).

Klein (1990) melaporkan bahwa pada kepadatan populasi 250 JI/ml,

S. carpocapsae dapat menyebabkan mortalitas C. borealis sebesar 48%. Menurut

Poinar (1979), S. anomali pada kepadatan 200–400 JI/ml dapat menyebabkan

(16)

menyatakan bahwa Steinernema spp. pada kepadatan populasi 800 JI/ml dengan

media tanah pasir dalam cawan petri dapat menyebabkan mortalitas larva

Gambar

Gambar 1. Telur O. rhinoceros Sumber: Foto langsung
Gambar 2. Larva O. rhinoceros Sumber: Foto langsung
Gambar 4. Imago           O. rhinoceros
Gambar 5. Gejala Serangan O. rhinoceros Sumber: www.google.com
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada intinya budidaya pada tanaman anggrek dengan cara persilangan atau hibrida mudah dilakukan oleh siapa saja, asalkan kita sabar dalam

Perhitungan indeks harga adalah usaha untuk memberikan informasi kemajuan atau merosotnya harga produksi berdasarkan perbandingan dari tahun ke tahun suatu perusahaan, sehingga

Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Pesisir Selatan pada tahun anggaran 2011 akan melelangkan Paket Pekerjaan Jasa Konsultansi dengan Metode

Memanipulasi atau re-engineering traffic sebuah web adalah salah satu cara untuk menaikkan ranking sebuah web site menjadi paling teratas atau berada di halaman pertama di sebuah

[r]

Terkadang apabila kita ingin membeli sebuah handphone, kita hanya dapat melihat handphone tersebut tanpa mengetahui fitur-fitur apa saja yang terdapat pada handphone yang ingin

Bagian yang brerfungsi melindungi bunga pada saat bunga masih kuncup adalah ….. Ulat daun digolongkan dalam hewan herbivora karena …

Dengan adanya warnet yang murah dan memiliki kualitas yang terjamin mutunya sehingga diharapkan masyarakat dapat lebih mudah dalam mencari informasi yang ingin dicari dan