BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan manusia dalam kehidupan ini begitu banyak seperti, kebutuhan untuk makan dan minum, kebutuhan pakaian, kebutuhan untuk tempat tinggal atau perumahan, kebutuhan transportasi dan lain sebagainya. Kebutuhan manusia akan tempat tinggal atau perumahan tersebut sudah merupakan suatu hal yang pokok dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah dan salah satunya adalah program pembangunan perumahan untuk rakyat. Berdasarkan program tersebut maka pihak pemerintah maupun swasta berlomba-lomba untuk mengadakan pembangunan perumahan untuk rakyat dengan memanfaatkan lahan yang ada. Alvi Syahrin mengatakan bahwa, “pembangunan perumahan dan pemukiman akan terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk, dinamika kependudukan dan tuntutan ekonomi, sosial budaya yang berkembang”.1
Dengan berkembangnya pembangunan perumahan seiring dengan pertumbuhan penduduk maka pihak swasta atau pengembang melaksanakan program pembangunan perumahan dan pemukiman bagi semua pihak, terutama untuk golongan ekonomi menengah ke bawah dengan pengadaan Rumah Sangat Sederhana (selanjutnya disebut RSS). Program pembangunan Rumah Sangat Sederhana (RSS)
adalah “program yang ditetapkan untuk memperluas kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan rumah dan mengurangi kesenjangan sosial, karena harganya disesuaikan dengan daya beli sebagian masyarakat golongan berpenghasilan rendah”. Pasal 1 huruf d., Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS)menentukan :
1. “Harga perolehan tanah dan rumah, dan apabila atas bidang tanah tersebut sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan Tanah dan rumah tersebut tidak lebih daripada Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah);
2. Luasnya tidak lebih daripada 200 m2; dan
3. Di atasnya dibangun rumah dalam rangka pembangunan perumahan massal atau kompleks perumahan”.
Pasal 2 ayat (1)Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tersebut, menentukan bahwa :
Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah untuk RSS dan RS di atas tanah negara termasuk di atas tanah pengelolaan, kepunyaan perseorangan Warga Negara Indonesia, atas permohonan pemegang hak atau kuasanya bisa diubah menjadi Hak Milik. Sedangkan tanah RSS dan RS di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) kepunyaan perseorangan WNI yang belum dimiliki dengan HGB, diberikan kepadanya Sertifikat Hak Milik (SHM).2
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (2), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 ditetapkan pula bahwa : Untuk permohonan pendaftaran perubahan HGB menjadi SHM dan perolehannya, dikenai kewajiban pembayaran administrasi kepada negara sebesar Rp. 10.000,- dan sumbangan landreform sebesar Rp. 5.000,- dan biaya
2 Kian Goenawan, Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, Cetakan Pertama,Pustaka
pendaftaran sesuai dengan ketentuan Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 1992 tentang Biaya Pendaftaran Tanah.3
Permohonan pendaftaran perubahan HGB menjadi Hak Milik diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan dokumen sebagai berikut :
1) Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dimohon untuk diubah menjadi Hak Milik;
2) Akta jual beli atau surat perolehan mengenai rumah beserta tanah yang bersangkutan;
3) SPT Pajak Bumi dan Bangunan terakhir, apabila atas bidang tanah tersebut sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan tersendiri; dan
4) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila tanah tersebut dibebani Hak Tanggungan.4
Akta jual beli inilah (angka 2 di atas) yang harus disertakan untuk mendaftarkan perubahan HGB menjadi Hak Milik. Akta Jual Beli didapatkan dengan mengisi Formulir Akta Jual Beli yang diperoleh oleh PPAT dari Kantor Wilayah BPN setempat. Namun, Akta Jual Beli dari BPN itu sangat sulit didapat dikarenakan sering kekurangan stok dan proses pengadaan yang tidak transparan.
Asas terang dan tunai pada hukum agraria yang berlaku bersumber dari hukum adat. Ini berarti jual beli harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang (PPAT atau Camat) dan harus ada pembayaran atas jual beli tersebut. Bila kedua syarat telah dipenuhi, jual beli dikatakan sah menurut hukum. Setelah transaksi dibuktikan dengan adanya AJB, PPAT wajib mendaftarkan jual beli sekaligus balik nama ke atas nama pembeli ke kantor pertanahan setempat.5
Pelaksanaan program pembangunan perumahan dan pemukiman yang dilakukan oleh pihak swasta atau pengembang dengan berbagai cara seperti melalui
sistem Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR) yang dilakukan oleh pengembang atau developer sendiri ataupun KPR melalui suatu bank atau lembaga pembiayaan yang ada di daerah. Selain pemilikan rumah melalui KPR, pihak pengembang atau developer juga memberikan cara pemilikan rumah melalui pembelian secara tunai dengan sistem jual beli kepada para konsumen. Sistem jual beli perumahan yang dilakukan pengembang atau developer kepada para konsumen didasarkan pada perjanjian jual beli menurut Undang-Undang. Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) bahwa, “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Sementara itu R. Subekti memberikan definisi tentang perjanjian jual beli yang tidak jauh berbeda dengan definisi dari Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian jual beli adalah, “suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya”.6 Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata dan pernyataan dari R. Subekti tersebut maka ada beberapa unsur dari perjanjian jual beli, yaitu :
1. Ada pihak penjual dan pembeli.
2. Ada objek barang atau benda yang diperjanjikan.
4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual.
Sesuai dengan definisi dan unsur-unsur dari perjanjian jual beli tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli terjadi jika kedua belah pihak mencapai suatu kata sepakat tentang barang atau benda dan harga. Hal ini sesuai dengan Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Selain dari hal tersebut, R. Subekti menyatakan bahwa dalam perjanjian jual beli, penjual mempunyai dua kewajiban pokok antara lain :
1. “Menyerahkan barang serta menjamin dapat memiliki barang tersebut dengan tentram; dan
2. Bertanggungjawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi”.7
Sementara kewajiban pembeli menurut R. Subekti adalah, “membayar harga pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan dan disepakati kedua belah pihak”.8 Terhadap pernyataan dari R. Subekti tersebut tentang kewajiban penjual dan pembeli dari perjanjian jual beli secara umum, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya banyak hal yang terjadi dan perlu diuraikan secara lebih mendalam lagi tentang perjanjian jual beli, seperti : mengenai penyerahan barang atau benda, risiko dan lain sebagainya. Unsur-unsur yang ada dalam perjanjian jual beli yang telah diuraikan
sebelumnya jika dihubungkan dengan perjanjian jual beli kapling perumahan oleh pengembang kepada para konsumen, maka dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Ada pihak penjual yaitu pengembang dan pihak pembeli;
2. Ada objek barang atau benda yang diperjanjikan yaitu perumahan;
3. Ada penyerahan oleh penjual kepada pembeli yaitu adanya penyerahan perumahan oleh pengembang kepada konsumen; dan
4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual yaitu adanya pembayaran uang sebagai harga oleh konsumen kepada pengembang.
Berdasarkan unsur-unsur perjanjian jual beli perumahan yang dilakukan oleh pihak pengembang kepada para konsumen sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa jual beli perumahan untuk konsumen yang ekonominya menengah ke atas ataupun menengah ke bawah (RSS) selalu berhubungan dengan tanah sebagai tempat berdirinya rumah tersebut. Sehingga jual beli perumahan tersebut identik dengan jual beli tanah, karena rumah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan tanah. Menurut Urip Sutanto, “Pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan Hak Milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan sejumlah harganya kepada penjual”.9Berdasarkan pernyataan dari Urip Sutanto tersebut, maka jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada pihak konsumen merupakan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk
9Urip Sutanto,Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group,
memindahkan hak atas tanah perumahan beserta rumahnya dari pemegang hak (penjual atau pengembang) kepada pihak lain (pembeli atau konsumen) dengan pembayaran sejumlah uang secara tunai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Peralihan hak atas tanah atau perumahan tersebut yang dilakukan oleh pihak pengembang kepada konsumen pada kenyataannya adalah menggunakan formulir Akta Jual Beli. Sementara untuk suatu peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli adalah merupakan bagian dari kewenangan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dan hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
1. Jual beli. 2. Tukar menukar.
3. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng). 4. Pembagian hak bersama.
5. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik. 6. Pemberian Hak Tanggungan.
7. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Nelly Sriwahyuni mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie,yang mengatakan bahwa :
tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.10
Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah haruslah di hadapan seorang Notaris atau PPAT yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan Akta Otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli atau pengalihan hak ini dilakukan di hadapan PPAT, tetapi ada kalanya pelaksanaan jual beli ini dilakukan di hadapan Notaris yang dinamakan Perjanjian Jual Beli/Perikatan Jual Beli.11
Kewenangan PPAT yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan kepada PPAT untuk membuat (to make) akta jual beli perumahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyatakan bahwa “seorang PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di daerah kerjanya”.
PPAT berwenang membuat akta jual beli, tukar menukar, akta pemasukan dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek perbuatan hukum. Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, pembuatan akta PPAT tidak pernah sekalipun dilimpahkan kepada instansi lain yaitu kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam aturan hukum yang mengatur keberadaan BPN tidak satu pasal pun yang menegaskan bahwa BPN mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau PPAT lahir secara atributif atau delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi, dalam hal ini PPAT lahir sebagaibelesregelataupolicy rulesdari Pemerintah langsung.
Kewenangan PPAT membuat akta (to make) adalah menciptakan, melakukan, mengerjakan sendiri akta PPAT, bukan mengisi (to fill) formulir/blanko. Oleh
10Nelly Sriwahyuni Siregar, “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”,Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008, hal. 2-3.
karena itu, mengisi formulir bukan berarti membuat akta PPAT. Pada kenyataannya, selama ini PPAT masih mengisi formulir/blanko, maka hal ini membuktikan telah terjadi kesalahkaprahan dan penyesatan (misleading) dalam memahami dan menerapkan kewenangan PPAT sesuai dengan tataran hukum yang benar. Akta PPAT yang digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum tertentu menangani hak atas tanah dan hak milik atas rumah, bentuk dan jenisnya ditentukan oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pengaturan ini tentunya membawa akibat hukum terhadap kekuatan pembuktian akta PPAT itu sendiri.12
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 38 ayat (2) menyebutkan bahwa : “bentuk, isi, dan cara pembuatan akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur oleh Menteri”. Ketentuan ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, bahkan kemudian dipertegas dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah pada Pasal 53 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Akta PPAT dibuat dengan mengisi blangko akta yang tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk pengisiannya”. PPAT dilahirkan bukanlah untuk mengisi blangko kosong melainkan membuat Akta Otentik. Hal ini bertentangan dengan kewenangan PPAT itu sendiri.13
Dengan format formulir yang baku tersebut, maka formulir atau formulir yang telah disediakan tersebut tinggal diisi saja. Memang hal ini menjadikan lebih mudah, cepat dan memiliki standar keseragaman. Pembuatan dan penerbitan dari formulir akta tersebut dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) seperti yang tercantum pada Pasal 51 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
12Anita Budiman, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Mengisi Blanko Akta Tanah”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2010, hal. 2.
bahwa : “Formulir akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan hanya dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”.14 Hal tersebut kemudian menjadi masalah ketika terjadi kelangkaan yang berujung pada kekosongan formulir atau formulir akta tersebut sampai saat ini. Bahkan beberapa media telah mengupas hal ini, sebagai berikut :
Forum Kepala Desa dan Lurah Kota Tangerang Selatan, Banten, mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tangerang mempertanyakan blanko akte jual beli tanah yang kosong selama enam bulan. Sudah enam bulan blanko akte jual beli tanah kosong, sedangkan permintaan saat ini sudah banyak. Bila ketersediaan blanko akta jual beli tanah tidak disediakan secepatnya, maka akan menghambat sistem pelayanan bagi masyarakat. Tak hanya itu saja, kekosongan blanko akta jual beli tanah juga mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah.15
Benar bahwa adanya kekosongan Formulir Akta Jual Beli di Badan Pertanahan Nasional. Begitu juga di BPN Kota Medan. Kemudian BPN mengeluarkan kebijakan dengan memperbolehkan PPAT menggunakan blanko akta yang difotokopi, dilegalisir, dan diberi nomor registrasi oleh Badan Pertanahan Nasional Wilayah masing-masing daerah sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang Blanko Akta PPAT.
Namun kebijakan ini kemudian menimbulkan perdebatan panjang di kalangan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Perdebatan itu pada intinya dalam hal pembuktian. Apalagi untuk transaksi jual beli atas tanah yang bernilai milyaran rupiah, para pihak ragu apabila menggunakan blangko akta tersebut. Bahkan beberapa praktisi dan akademisi saling berbeda pendapat ketika ada
14Ibid., hal. 22.
15Robert Adhi Kusumaputra, “Astaga, Blanko Akte Jual Beli Tanah Kosong Enam Bulan”,
yang berargumen bahwa PPAT sebenarnya memiliki kewenangan untuk membuat akta pertanahan tanpa menggunakan blangko akta tersebut.16
Sehubungan dengan uraian latar belakang di atas maka judul penelitian tesis ini adalah “Tinjauan Yuridis Penggunaan Formulir Akta Jual Beli Kapling Perumahan Oleh PPAT di Kota Medan”.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang sudah dipaparkan maka rumusan masalah dalam tulisan ilmiah ini, antara lain :
1. Bagaimana pelaksanaan jual beli kapling perumahan dengan menggunakan formulir akta jual beli di Kota Medan?
2. Bagaimana keabsahan penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di Kota Medan?
3. Bagaimana hambatan-hambatan yang terjadi pada saat penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di Kota Medan?
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya maka tujuan dari penelitian ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli kapling perumahan dengan menggunakan formulir akta jual beli di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui keabsahan penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di Kota Medan.
3. Untuk menganalisis hambatan-hambatan yang terjadi pada saat penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.
b. Memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal literatur mengenai Blanko Akta Jual Beli yang masih sedikit.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi Badan Pertanahan Nasional dalam menerapkan peraturan.
b. Sebagai bahan masukan bagi Notaris/PPAT dalam melakukan perikatan antara Developer dengan Masyarakat sebagai pembeli.
c. Sebagai bahan masukan bagi Developer dalam melakukan penjualan kapling perumahan.
d. Sebagai bahan masukan bagi Masyarakat dalam melakukan pembelian kapling perumahan yang dikembangkan oleh Developer.
E. Keaslian Penelitian
Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Penggunaan Formulir Akta Jual Beli Kapling Perumahan oleh PPAT di Kota Medan”, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya.
Namun ada penelitian yang menyangkut masalah formulir akta jual beli, antara lain :
1. Tesis atas nama Chairani Bustami dengan judul ”Aspek-Aspek Hukum yang Terkait Dalam Akta Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan”, Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tahun 2002;
2. Tesis atas nama Alvin Hidayat dengan judul ”Aspek Hukum Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Yang Diperbuat Dihadapan Notaris/PPAT”, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada tahun 2008;
3. Tesis atas nama Pantas Situmorang dengan judul ”Problematika Keotentikan Akta PPAT”, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, di Medan pada tahun 2008.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Suatu penelitian hukum dengan kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teori merupakan suatu hal yang penting. Pada kerangka konsepsional menurut Soerjono Soekanto, “diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam landasan/kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai sistem atau ajaran”.17
Kerangka teori adalah, “suatu kerangka berfikir lebih lanjut terhadap masalah-masalah yang diteliti”18. Berbicara tentang teori yang digunakan pada penelitian penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di kota Medan adalah didasarkan pada teori Asas Kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat dilihat bahwa ada kata “semua” dalam kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah”. Kata “semua” menurut Sutarno, “memberitahukan kepada setiap orang boleh membuat perjanjian yang syarat dan ketentuan dalam perjanjian ditentukan atau diatur sendiri oleh para pihak dan perjanjian yang dibuat tersebut mengikat bagi para pihak seperti undang-undang”.19
17Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 6.
18Ibid., hal. 6-7.
Sementara itu untuk kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah” mengandung arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, sehingga baru dapat dikatakan perjanjian tersebut mengikat bagi para pihak yang membuatnya seperti undang-undang. Syarat sah suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain :
1. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal.
Setelah Akta Jual Beli dibuat berdasarkan perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, barulah selanjutnya didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional. Akta Jual Beli yang didaftarkan di BPN berguna untuk bukti kepemilikan sertifikat tanah. Selanjutnya sertifikat tanah yang menjadi objek dalam Akta Jual Beli, dibalik namakan menjadi nama Pembeli.
Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Kedudukan PPAT termasuk akta-aktanya, bentuk akta dan blangko aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan secara historis embrio kelahiran PPAT dimulai pada tahun 1961 melalui Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada waktu itu dikenal dengan istilah Pejabat yang berwenang membuat Akta (bukan akta otentik) mengenai perbuatan-perbuatan hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah.20
Dalam menjalankan jabatannya PPAT wajib menggunakan blangko akta (formulir) yang telah dicetak. Secara historis penggunaan blangko diawali
dengan Peraturan Kepala BPN No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta, kemudian setelah berlaku Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, penggunaan blangko akta diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.21
Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Badan Pertanahan Nasional terkenal arogan dalam kebijakan yang dibuat berupa Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006, yang mewajibkan PPAT untuk membeli dan memakai blangko akta PPAT yang dibuat oleh BPN. Padahal berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT dalam jabatannya memiliki kewenangan untuk membuat akta sendiri.22
Pengaturan penggunaan formulir-formulir akta (blangko akta) dilatar belakangi karena pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, yang sebagian besar tidak bergelar Sarjana Hukum sehingga untuk memudahkan pelaksanaan jabatannya itu dibuatlah formulir-formulir akta dan buku petunjuk pengisian formulir (blangko akta) itu. Blangko yang dibuat oleh BPN adalah yang berkaitan dengan pertanahan, blangko tersebut berwujud form isian dan PPAT hanya mengisi form isian tersebut. Blangko tersebut dicetak oleh yayasan yang dimiliki oleh BPN. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyebutkan bahwa pendirian Yayasan tidak boleh berbisnis, melainkan untuk kepentingan sosial (nirlaba). Saat ini yayasan tersebut sedang diaudit serta diperiksa oleh tim Kejaksaan Agung.23
Berdasarkan isi aturan hukum yang mengatur eksistensi PPAT sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kewenangan PPAT yaitu diberi kewenangan membuat Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah otentik.MenurutKamus Besar BahasaIndonesiabahwa : ”membuat adalah menciptakan, melakukan, atau mengerjakan”.
21Ibid., hal. 29. 22Ibid., hal. 29-30.
23Hukum Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
Dengan demikian PPAT mempunyai kewenangan untuk menciptakan, membuat, dan mengerjakan akta, yang berarti mengerjakan, melakukan, dan membuatnya sendiri akta (PPAT) yang menjadi kewenangannya sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 Keputusan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (2) Keputusan Kepala BPN No. 37 Tahun 1998, yaitu akta : Jual Beli; Tukar-Menukar; Hibah; Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); pembagian hak bersama; pemberian hak tanggungan; pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik; pemberian hak pakai atas tanah hak milik; dan surat kuasa membebankan hak tanggungan.24
Oleh karena itu, bagaimana mungkin PPAT sebagai Pejabat Umum dalam mengimplementasikan kewenangannya hanya mengisi blangko atau formulir yang bentuk dan isinya ditentukan oleh BPN, tetapi blangko/formulir tersebut dicetak oleh pihak lain. Padahal, kewenangan PPAT tersebut bukan berasal dari kewenangan BPN atau BPN memberikan kewenangannya kepada PPAT. Dalam aturan hukum yang mengatur kewenangannya kepada BPN, yaitu Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 tidak ada satu pasal pun dalam Keppres tersebut yang menegaskan bahwa BPN mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau PPAT lahir secara atributif ataupun delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi dalam hal ini PPAT lahir sebagaibeleidsregel
atau policyrules dari Pemerintah langsung. Dengan kata lain, PPAT bukan lahir dari kewenangan BPN dan juga bukan subordinasi BPN atau bukan pelimpahan dari kewenangan BPN. Sejak semula dibuat lembaga PPAT dengan kewenangan yang melekat pada jabatan PPAT, bahwa kewenangan PPAT tersebut tidak pernah menjadi kewenangan BPN.25
Dengan demikian, sudah saatnya PPAT untuk kembali melakukan kewenangannya sebagaimana pengertian membuat akta tersebut di atas. Selain itu, BPN ataupun pihak lainnya agar segera menghentikan kegiatannya melakukan pencetakan formulir akta-akta PPAT yang hanya meraih dan mengeruk keuntungan dari kegiatan menjual formulir-formulir akta PPAT, yang telah dilakukannya sejak keberadaan PPAT tahun 1961.26
Sebagai sarana penting untuk dokumen otentik perbuatan hukum dalam peralihan hak atas tanah, maka formulir akta tanah seharusnya selalu tersedia di Kantor PPAT. Namun, para PPAT yang diberi tugas oleh BPN untuk membuat akta
24Reza Febriantina,Loc.cit., hal. 30-31. 25Ibid., hal. 32-33.
26 Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hak atas tanah ini sempat kesulitan karena ketersediaan akta terganggu menunggu penetapan tata cara pengelolaannya oleh Pemerintah.Selain daripada teori Asas Kebebasan berkontrak yang telah disebutkan di atas, maka teori yang juga berhubungan dengan penelitian penggunaan formulir akta jual beli oleh pengembang di kota Medan adalah teori tentang akta. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini ada hubungannya dengan akta jual beli dan oleh sebab itu teori tentang akta harus digunakan sesuai dengan penelitian ini.
Menurut R. Subekti dan Tjitrosoebadio, “akta berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat dan kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berarti perbuatan-perbuatan”.27 Selain itu menurut R. Subekti sebagaimana dikutip Sutarno mengatakan bahwa, “akta diartikan sebagai surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak untuk dijadikan alat bukti”.28
Sedangkan menurut Pitlo dalam buku yang diterjemahkan oleh M. Isa Arief mengartikan akta itu sebagai “suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti dan dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu diperbuat”.29 Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo bahwa : “akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
27R. Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hal. 9. 28Sutarno,Op.cit., hal. 101.
daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”.30
Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli hukum tersebut di atas tentang pengertian akta, maka ada beberapa unsur dari pengertian akta tersebut antara lain :
1. Surat yang sengaja dibuat. 2. Ditandatangani para pihak.
3. Diperuntukkan atau dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa.
Setelah melihat beberapa pengertian dan unsur-unsur pengertian dari akta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua surat disebut sebagai akta kalau tidak memenuhi unsur-unsur tersebut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Victor Situmorang yang menyatakan bahwa, “tidaklah semua surat dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru dapat disebut akta”.31
Berdasarkan pernyataan dari Victor Situmorang di atas maka unsur-unsur dari akta tersebut, harus memenuhi kriteria bahwa dibuat dengan sengaja dan ditandatangani yang bertujuan sebagai alat bukti terhadap suatu peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak tertentu. Dengan demikian, suatu surat dikatakan sebagai akta harus dapat menjadi alat bukti dipersidangan.
Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata alat-alat bukti tersebut terdiri atas :
30Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 121. 31 Victor Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996,
1. Bukti tulisan.
2. Bukti dengan saksi-saksi. 3. Persangkaan-persangkaan. 4. Pengakuan dan sumpah.
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1866 KUHPerdata di atas, maka akta merupakan alat bukti tulisan. Pembuktian dengan tulisan tersebut menurut Pasal 1867 KUHPerdata adalah, “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”, dan hal yang sama juga disebutkan oleh Sutarno yang mengatakan bahwa : “ada dua bentuk akta yaitu : Akta Otentik; dan Akta di Bawah Tangan”.32
Mengenai akta otentik tersebut diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “suatu akta otentik ialah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa : “Suatu akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan”.33
32Sutarno,Op.cit., hal. 101.
Berdasarkan pengertian dari akta otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata dan definisi akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo, maka yang disebut akta otentik yang memenuhi syarat-syarat antara lain34:
1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai-pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-undang.
2. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuatnya akta harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.
3. Di tempat di mana pejabat berwenang membuat akta tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang akta otentik, bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum, namun apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang ataupun bentuknya cacad maka menurut M. Yahya Harahap “akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil akta otentik oleh karena itu tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun akta demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta di bawah tangan dengan syarat apabila akta itu ditandatangani oleh para pihak”.35
Pernyataan M. Yahya Harahap tersebut sama halnya seperti yang disebutkan dalam Pasal 1869 KUHPerdata yaitu bahwa, “suatu akta yang karena tidak kuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya,
34Ibid., hal. 125.
tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak”.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh M. Yahya Harahap dan Pasal 1869 KUHPerdata di atas, maka dapat dikatakan bahwa otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat saja, akan tetapi caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu, suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan akta tersebut.
Sementara itu, Pejabat yang dimaksud dalam KUHPerdata sebagaimana disebutkan di atas antara lain “Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim dan sebagainya”.36 Sedangkan menurut Sutarno tentang pejabat yang dimaksud dalam KUHPerdata tersebut juga tidak jauh berbeda yaitu, “Notaris, Hakim, Juru Sita pada Pengadilan, Pegawai Catatan Sipil dan dalam perkembangannya seorang Camat karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Camat (selanjutnya disebut PPAT)”.37 Dengan demikian sebagaimana yang disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo dan Sutarno, maka dapat dikatakan bahwa suatu Akta Notaris, Putusan ataupun Penetapan Hakim, Berita Acara yang dibuat oleh
juru sita Pengadilan atau Panitera Pengadilan, Akta Perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil/Kantor Urusan Agama, Akta Kelahiran yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, Akta-Akta yang dibuat oleh PPAT seperti akta jual beli tanah/rumah merupakan akta-akta otentik.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa, “pada umumnya akta otentik yang menyangkut bidang perdata dibuat oleh Notaris”.38Dan hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Akan tetapi dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang akta otentik, hanya menerangkan tentang yang dinamakan akta otentik, sedangkan tentang pejabat umum dalam pasal tersebut tidak diberikan penjelasan ataupun pengertian sedikitpun. Namun dalam pasal-pasal yang lain dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lain ditegaskan adanya pejabat lain yang diberi tugas atau wewenang untuk membuat akta otentik.
Menurut Ahmad Sanusi, ada pejabat lain yang ditugaskan dapat membuat akta-akta otentik berdasarkan pasal-pasal yang lain dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lainnya yang dikecualikan dari kewenangan dari Notaris antara lain :
1. Akta Catatan Sipil yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan berdasarkan Pasal 4 KUHPerdata.
2. Akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
3. Akta wasiat dalam daerah pertempuran yang dibuat di hadapan perwira minimal berpangkat letnan dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, berdasarkan Pasal 946 KUHPerdata.
4. Kapten Kapal atau Nahkoda atau Mua’lim boleh membuat akta wasiat bagi penumpang yang sedang menghadapi kematiaan dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi berdasarkan Pasal 947 KUHPerdata.
5. Bila terjadi penyakit menular di suatu tempat dan orang luar tidak boleh masuk, Notaris tidak ada, Pegawai Umum (Bupati atau Camat) boleh membuat surat wasiat dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi berdasarkan Pasal 948 ayat (1) KUHPerdata, demikian juga apabila terjadi gempa bumi, sakit atau kecelakaan yang mengakibatkan kematian, pemberontakan atau bencana alam lainnya yang hebat dalam keadaan yang sungguh-sungguh terancam kematian, sedangkan dalam jarak 9 (sembilan) kilometer disekitar itu tidak ada Notaris.39
Namun demikian menurut Victor Situmorang, ada beberapa akta yang menjadi kewenangan Notaris bersama-sama dengan pejabat lain untuk membuatnya, yaitu :
1. Akta pengangkatan anak di luar kawin berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata. 2. Berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik berdasarkan Pasal
1227 KUHPerdata.
3. Berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi berdasarkan Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHPerdata.
4. Akta protes wessel dan cek berdasarkan Pasal 143 KUHPerdata.40
Kekosongan formulir Akta PPAT tersebut dimanfaatkan oleh Kantor Wilayah BPN, yaitu dengan menentukan dan mewajibkan formulir akta PPAT tersebut difotocopy dan fotocopynya harus diketahui/dilegalisasi oleh salah satu Kepala Seksi
39 Ahmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Tarsito,
Bandung, 1999, hal. 89.
pada Kanwil BPN tersebut.41Apabila tidak ada orang yang meleges maka PPAT dapat menunggu atau menitipkan kepada Pegawai BPN yang sedang bertugas pada saat itu untuk dilakukannya legalisasi Formulir Akta Jual Beli. Tentunya legalisasi tersebut tidak gratis, setidaknya harus ada biaya yang sama dengan biaya membeli formulir akta PPAT di kantor pos setempat. Sudah tentu hal ini menyuburkan pungutan liar (transaction cost) dan penyalahgunaan wewenang oleh BPN, dalam arti tidak ada aturan hukum yang bersumber dari kewenangan BPN untuk melegalisasi fotokopi akta PPAT tersebut.
2. Konsep
Konsepsi adalah, “salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan, sedangkan konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstrasi yang disebut definisi operasional”.42 Kegunaan dari adanya konsepsi agar ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini dikemukakan beberapa konsep dasar sebagai berikut :
41 Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tentang Blanko Akta PPAT, tertanggal 13 Juli
2003, yang menyatakan bahwa : “apabila di daerah Saudara terdapat kelangkaan blanko akta PPAT tertentu agar Saudara segera menerbitkan fotocopy akta yang disahkan sebagaimana surat kami tersebut di atas. Pada halaman pertama akta sebelah kiri atas ditulis Disahkan Penggunaannya dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas setiap halaman”.
42Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998,
1. “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”;43
2. “Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT”;44
3. “Akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”;45
4. “Akta PPAT adalah akta tanah yang diuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”;46
5. Formulir Akta Jual Beli Perumahan adalah formulir kosong (belum diisi) yang didapat dari Kantor Wilayah BPN setempat;
6. “Fotocopy Formulir Akta Jual Beli Perumahan adalah rekaman formulir kosong Formulir Akta Jual Beli yang didapat dari Kantor Wilayah BPN setempat”;47
43Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
44 Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
45Sudikno Mertokusumo,Op.cit., hal. 121.
46 Pasal 1 angka 4, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
7. “Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”;48
8. “Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga”;49
9. “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”;50
10. Pengembang adalah orang atau perusahaan (badan hukum – legal entity) yang melakukan pembangunan untuk perumahan.
G. Metode Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah. Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.51
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.52
48Pasal 1457, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
49Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 50Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 51 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, Universitas Balikpapan, Balikpapan, 2010, hal. 2.
Kejujuran ilmiah adalah kode etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :
1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat;
3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan;
4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan penghubung dengan pembaca;
5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan sebagainya;
6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting;
7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak menutupi kelemahan diri;
8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri;
9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain.53
“Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan juridis normatif”.54 Dengan demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang terkait secara langsung dengan formulir akta jual beli perumahan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam
53
Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 11 Juni 2011.
54
menggunakan pengkajian terhadap penggunaan formulir akta jual beli kapling perumahan di Kota Medan.
Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.55
Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait dengan studi terhadap penggunaan formulir akta jual beli di Kota Medan.
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang dapat digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel); c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
55 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan
d. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman; e. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
f. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
g. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
h. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; i. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah;
j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
k. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.
2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang relevan seperti :
b. Keputusan Kepala BPN No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS); c. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang
Formulir Akta PPAT.
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer, seperti :
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia; b. Black’s Law Dictionary.56
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah menggunakan teknik studi kepustakaan (library research) dan studi dokumen yang dipandang relevan. Instrumen yang digunakan ada 2 (dua) hal yaitu : a. Kepustakaan; dan b. Pengumpulan Data melalui Badan Pertanahan Nasional Kota Medan dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain bahan hukum yang dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan para pegawai Badan Pertanahan Nasional di Medan, antara lain : Bagian Legalisasi, Bagian Pendaftaran Tanah, dan Bagian Balik Nama.
56 Richard A. Garner (Editor), Black’s Law Dictionary, Edisi Kedelapan, Minnesota, West
Pengumpulan data akan dapat dilakukan dengan baik, jika tahap sebelumnya sudah dilakukan persiapan secara matang. Sebelum melakukan pengumpulan data ke lapangan, maka hal-hal yang perlu dipersiapkan atau disediakan adalah :“Surat izin untuk melakukan penelitian, pedoman untuk melakukan wawancara dengan pihak responden atau informan, alat tulis menulis dan lain-lain yang dianggap penting dalam melakukan suatu penelitian di lapangan untuk memperoleh data yang diinginkan”.57Metode wawancara yang digunakan adalah in-dept interview atau wawancara mendalam.
Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.58
Sedangkan teknik sampel yang digunakan adalah sampling purposive. Dalam
sampling purposive, pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Keuntungan menggunakan metode ini adalah dapat meminimalkan biaya penelitian. Responden yang dipilih adalah yang terlibat langsung dalam penggunaan formulir akta jual beli yaitu masyarakat yang berada di wilayah kantor Badan Pertanahan Nasional yang sedang melakukan pengajuan permohonan.“Berkenaan dengan tujuan penelitian kualitatif,
57Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Pratek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 49.
maka dalam prosedur sampling yang terpenting adalah informan yang diwawancarai haruslah sarat akan informasi yang berkaitan dengan bahasan penelitian. Sampling purposiveadalah unsur-unsur yang diteliti masuk ke dalam sampel yang dituju”.59
4. Analisis Data
Data-data tersebut di atas berupa bahan-bahan hukum dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.
Dilihat dari tujuan analisis, maka ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena.60
Analisis dilakukan secara holistik integral untuk menemukan hubungan logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan kerangka teoritis yang relevan. Menurut Dilthey, “Holistik adalah hubungan melingkar antara
part (bagian) dan whole (keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas atau keseluruhan”.61Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya antara lain meliputi penggunaan formulir akta jual beli, peran notaris dalam mengakomodir penggunaan formulir akta jual beli, penyediaan formulir akta jual beli oleh Badan Pertanahan
59
Satjipto Rahardjo,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal. 196.
60
Burhan Bungin,Loc.cit., hal. 153.
61Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”,
Nasional, perlindungan hukum terhadap konsumen, dan lain-lain yang ditemukan dalam penelitian.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.62
Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi seluruh bagian dari penggunaan formulir akta jual beli kapling perumahan di Kota Medan agar menjadikan sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai “kacamata kuda”-nya dalam melihat masalah dalam penggunaan formulir akta jual beli kapling perumahan di Kota Medan. “Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan”.63
62 Satjipto Rahardjo, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 11 Juni 2011.
Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut apakah :
1. Hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada;
2. Apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda, atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori yang digunakan tadi; dan
3. Apakah membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu, lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak kebenarannya dengan menggunakan teori baru.64