• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah menjadi fitrah manusia, sejak dilahirkan selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun bersifat rohani.bahwa dua orang yang berlainan jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan mempunyai keinginan yang sama untuk saling mengenal, mengamati, dan mencintai, bahkan mereka juga mempunyai keinginan yang sama untuk melangsungkan pernikahan.

Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karenanya perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga. Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih mengasihi antara kedua belah pihak suami dan istri, yang senantiasa diharapkan berjalan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Apabila mereka melangsungkan perkawinan, maka timbullah hak dan kewajiban antara suami istri secara timbal balik, demikian juga apabila dalam perkawinan itu dilahirkan anak, juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.

(2)

tangga. Pertalian nikah atauperkawinan juga merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidupdan kehidupan umat manusia. Hal ini tidak saja terbatas pada pergaulan antar suami-istri,melainkan ikatan kasih mengasihi pasangan hidup tersebut akan berpindah kebaikannya kepada semua keluarga dari kedua belahpihak.

Kedua keluarga dari masing-masing pihak menjadi satu dalam segalaurusan tolong menolong, menjalankan kebaikan, serta menjaga dari segalakejahatan, di samping itu, denganmelangsungkan perkawinan seorang dapat terpelihara daripada kebinasaan hawa nafsunya.

Perkawinan yang merupakan perbuatan mulia padaprinsipnya, dimaksudkan untuk menjalin ikatan lahir batin yang sifatnyaabadi dan bukan hanya untuk sementara waktu yang kemudian diputuskanlagi. Atas dasar sifat ikatan perkawinan tersebut, dimungkinkan dapatdidirikan rumah tangga yang damai dan teratur, serta memperoleh keturunanyang baik dalam masyarakat.Dengan demikian diharapkan dapatmencapai tujuan dari perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga bahagiadari pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan.

Sesuai dengan kodrat manusia, kepada suami dibebanikewajiban untuk melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatukeperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.Kewajiban seperti ini tidak dibebankan kepada suami saja, namun kepadaistri dibebani kewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya (Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).

(3)

antara suami istri yang padagilirannya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga (rumahtangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa akantercapai.

Berhubung dengan akibat yang sangat penting dari perkawinaninilah, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan yaitu syarat-syarat untuk perkawinan,pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya perkawinan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menegaskan bahwaperkawinan adalah “akad yang sangat kuat (mistqan ghalidhan)untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakanibadah”. Perkawinan menurut hukum adat bersangkutan denganurusan famili, keluarga masyarakat, martabat dan pribadi. Berbedadari perkawinan seperti pada masyarakat barat yang modern yanghanya merupakan urusan mereka yang kawin itu saja.1

Ditinjau dari aspek peraturan tentang perkawinan, makaperkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang pria denganseorang wanita yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalamperaturan, yaitu peraturan hidup bersama.

Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota masyarakat dan pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan didalam suatu negara. Di Indonesia aturan tata tertib perkawinan itu sudah ada sejak jaman kuno, sejak jaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja

1

(4)

menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing, karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia.2

Peraturan hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1974 bersifat pluralistik karena didasarkan pembedaan penduduk Indonesia, yaitu:3

1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam.

2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.

3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie ChristenIndonesia (HOCI) S. 1933 nomor 74.

4. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan asing lainnya berlaku hukum adat mereka.

6. Bagi orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Undang-undang Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman dalam penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu dengan menampung kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena

2Hilman Hadikusuma,

Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet. Ketiga, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 1.

(5)

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila. Maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalin ikatan lahir batin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.4

Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positip dalam mewujudkan tujuan perkawinan.5

Firman Allah SWT:

“Wahai manusia, Kami telah jadikan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan” (QS. Al-Hujuraat : 13)

Firman Allah SWT:

“Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dari satu diri, lalu Ia jadikan dari padanya jodohnya, kemudian Dia kembang-biakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali” (QS. An-Nisa’ : 1)

H. Sulaiman Rayid mendefinisikan pernikahan (perkawinan) sebagai berikut: “Aqad menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.”6

Iman Jauhari mengemukakan bahwa:

4Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hal. 15. 5

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Alih BahasaDrs. Moh. Thalib, Cetakan keempat PT. Alma’arif, Bandung, 1987, hal. 9

6H. Sulaiman Rayid dalam H.M. Hasballah Thaib dan H. Marahalim Harahap,Hukum

(6)

Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin antara suami istri. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak.7

Paul Scholten berpendapat bahwa:

“Perkawinan adalah hubungan abadi antara dua orang yang berlainan kelamin, yang diakui oleh Negara.”8

Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-pinsip sebagai berikut:9

1. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Perkawinan yang sah menurut masing-masing agamanya. 3. Pencatatan perkawinan

4. Perkawinan berasas monogami.

5. Prinsip calon suami istri sudah masak jiwa raganya. 6. Batas umur untuk melakukan perkawinan.

7. Perceraian dipersulit.

8. Kedudukan suami dan istri seimbang.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

7Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Penerbit Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 3.

8

Paul Scholten dalam Rusli dan R. Tama,Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Cet. I, Shantika Dharma, Bandung, 1984, hal. 10.

(7)

akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”10

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami istri) dan atau juga bagi pihak lain/ketiga dengan siapa salah satu pihak atau kedua-duanya/suami istri itu mengadakan hubungan hukum.11

Sebuah perkawinan yang didasari ikatan lahir batin dapat dikatakan sah jika telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas, dapat dimengerti bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan keagamaan, oleh karena itu sah atau tidaknya suatu perkawinan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama, ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan hukum agama dengan sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yaitu syarat-syarat dan rukun perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang beragama

10Lihat KHI, Pasal 2.

11Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanannya Ditinjau dari

(8)

Nasrani, Hindu, Budha, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yan menentukan sahnya perkawinan.

Apabila dalam pelaksanaan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Syarat dalam arti luas menurut fiqih meliputi syarat materiil yang lazim dikatakan syarat (saja) dan syarat formil yang disebut sebagai rukun nikah. 12 Pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tidak mengatur mengenai pengertian pembatalan perkawinan, begitu juga PP No.9 tahun 1975 yang merupakan pelaksana dari Undang-Undang tersebut, sehingga tidak ada satupun peraturan yang mengatur mengenai pengertian pembatalan perkawinan. Pasal 22 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 hanya menyebutkan ”perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa pengertian ”dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dalam Pasal 37 PP No. 9 tahun 1975 dijelaskan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.Hal ini disebabkan mengingat pembatalan perkawinan dapat membawa akibat hukum, baik terhadap suami istri itu sendiri, anak-anak yangdilahirkan maupun terhadap pihak ketiga sehingga pembatalan perkawinan tidak diperkenankan terjadi oleh instansi di luar pengadilan.

(9)

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan, Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non-Islam, di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan (suami-istri), hal tersebut diatur pada Pasal 25 jo Pasal 63 Undang-Undang Perkawinan.

Pembatalan perkawinan bagi pasangan yang beragama Islam yang melaksanakan perkawinan di Kantor Urusan Agama maka pembatalan perkawinan dapat diajukan di Pengadilan Agama. Berdasarkan putusan Pengadilan Agama tentang pembatalan perkawinan, maka terdapat beberapa persoalan yang masih harus diselesaikan walaupun putusan Pengadilan Agama tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

(10)

II dengan menyatakan bahwa pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II harus dibatalkan.

Pembatalan perkawinan dengan putusan pengadilan itu dianggap seolah-olah sama sekali tidak pernah terjadi perkawinan, atau perkawinan yang dinyatakan batal itu harus disamakan dengan suatu perkawinan yang terputus secara talaq. Sehingga akibat hukum yang telah terjadi sebelum putusan itu tetap dipertahankan seperti misalnya kalau sudah ada anak dari perkawinan itu, maka anak tersebut tetap merupakan anak sah dari suami istri.13

Berdasarkan pemaparan di atas penulis ingin lebih mengetahui tentang pembatalan perkawinan, maka penulis membuat penelitian yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS ATAS PEMBATALAN PERKAWINAN SERTA AKIBAT HUKUMNYA(STUDI PUTUSAN No. 1009/Pdt. G/2009/PA. Mdn. Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktorapa yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan?

2. Bagaimana proses pembatalan perkawinan karena wali yang tidak sah pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?

3. Bagaimana akibat hukum dari pembatalan perkawinan karena wali nikah yang tidak sah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?

(11)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan. 2. Untuk mengetahui bagaimana proses pembatalan perkawinan karena wali yang

tidak sah pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari pembatalan perkawinan karena wali nikah yang tidak sah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan. 14 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.15Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangkaknow-howdi dalam hukum.

Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.16 Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum, yaitu:

14Bahder Johan Nasution,Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, Cetakan kesatu, 2008, hal. 10.

15

Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke -3, 2007, hal. 41.

(12)

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah kepustakaan di bidang keperdataan.

2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui seberapa jauh masalah pembatalan perkawinan diatur di dalam undang-undang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERKAWINAN SERTA AKIBAT HUKUMNYA, (Studi Putusan No.1009/Pdt. G/2009/PA. Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan). belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan judul topik dalam tesis ini antara lain:

1. Penelitian dengan judul “Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin dan Kaitannya Dengan Status Anak Menurut Undang-Undang

(13)

izin, (c) kedudukan anak dan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan poligami yang dibatalkan.

2. Penelitian dengan judul “Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dikaitkan Dengan Ketentuan Perkawinan

Berdasarkan Fiqh Islam” oleh Tengku Erwinsyahbana NIM 002105022. Rumusan masalah yang dibahas adalah (a) Alasan-alasan yang digunakan untuk membatalkan perkawinan, (b) akibat hukum pembatalan perkawinan.

3. Penelitian dengan judul “Putusnya Perkawinan Akibat Murtadnya Pasangan (Studi Pada Pengadilan Agama Kelas IA Medan)” oleh Mikayani Putri NIM 090011080. Rumusan masalah yang dibahas adalah (a) Pengaturan hukum bila salah satu pasangan yang terikat perkawinan berpindah agama (murtad), (b) akibat hukum yang timbul dari perceraian yang disebabkan perpindahan agama atau murtadnya salah satu pihak, (c) Pertimbangan hukum yang dipakai oleh Hakim Pengadilan Agama Medan sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Dari judul penelitian di atas terlihat tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya, sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

(14)

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.17 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18

Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori fasakh. Kata fasakhberarti merusak atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.19

Menurut Amir Syarifuddin:

“Fasakh ini pada dasarnya terjadi atas inisiatif pihak ketiga, yaitu hakim setelah hakim mengetahui bahwa perkawinan itu tidak dapat dilanjutkan, baik karena pada perkawinan yang telah berlangsung ternyata terdapat kesalahan, seperti tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan maupun pada diri suami atau istri terdapat kekurangan yang tidak mungkin dipertahankan untuk kelangsungan perkawinan itu.”20

Perkawinan menurut UU Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di dalam masyarakat adat, perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang merubah status laki-laki menjadi suami dan dari seorang perempuan menjadi istri. Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya berdasarkan ikatan

17M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

18M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 19

A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Yayasan Pena, Banda Aceh, 2010, hal. 143.

20Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

(15)

keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Di samping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh atau retak, atau merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kerabat.21

Perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah pertalian yang sah antara seorang pria dan wanita untuk waktu yang lama atau suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui negara.

Suatu perkawinan dapat dilaksanakan jika memenuhi beberapa persyaratan yang berupa syarat material dan formal, Syarat materil/subyektif yaitu syarat-syarat yang melekat pada pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UU Perkawinan, terdiri dari:

a. Harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.

b. Harus mendapat ijin orang tua, apabila calon pengantin belum berumur 21 tahun.

c. Harus sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun bagi pria dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.

d. Tidak adanya larangan perkawinan.

e. Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan kecuali bagi mereka yang agamanya mengijinkan untuk berpoligami.

(16)

f. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau istri yang hendak dikawini.

g. Harus telah lewat masa tunggu/masa iddah bagi janda.

Syarat-syarat formal/obyektif adalah syarat tentang tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang. Tata cara melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Ketentuan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam perkawinan Islam ada rukun perkawinan yang merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan, yaitu:

a. Harus ada calon suami dan istri, atau wakilnya. b. Harus ada wali dan calon istri, atau wakilnya.

c. Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat-syarat. d. Adanya ijab-qabul.

Pelaksanaan akad nikah muslim di Indonesia dilakukan oleh mempelai laki-laki dan wali mempelai perempuan atau wakilnya. Di antara ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya wali adalah sebagai berikut:

Surat al-Baqarah (2) ayat 232, yang artinya:

(17)

Surat al-Baqarah (2) ayat 221, yang artinya:

Janganlah kamu mengawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik. Sesungguhnya hamba sahaya mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa perempuan tidak boleh mengawinkan dirinya atau mengawinkan wanita lain.22

Alasan pendapat ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits Nabi riwayat Abu Hurairah yang mengatakan: “Tidak boleh seorang perempuan menikahkan perempuan yang lain dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.”23

Menurut Abu Hanifah, wali harus ada dalam akad nikah, hanyalah apabila mempelai perempuan belum baligh atau tidak sehat akal. Perempuan baligh dan berakal sehat diperbolehkan mengawinkan diri sendiri dengan laki-laki yang disukai tanpa wali, dengan syarat kufu. Jika mempelai laki-laki tidak kufu, wali berhak minta kepada hakim untuk membatalkan perkawinan perempuan tersebut.24

Sabda Rasulullah SAW dari Aisyah r.a.,25

“Perempuan mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal, pernikahannya batal.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan at-Tarmidzi)

22Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Fauzil Adhim,Janda, Cet. 1, Gema Insani Press, Jakarta, 1999 hal. 142

23

A. Hamid Sarong,Op. Cit., hal. 73. 24Ibid.

(18)

Ayat (1) Pasal 26 UUP berbunyi:

Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatatperkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

Perkawinan secara Islam maupun berdasarkan UU Perkawinan mewajibkan adanya wali nikah dalam hal ini yang mempunyai hubungan nasab (kekerabatan) dengan mempelai wanita agar perkawinan tersebut memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan.

2. Konsepsi

Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.26Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar hukum.27

Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konspesi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operasional (operational

26Satjipto Raharjo,

Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397.

(19)

definition). Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut:

1. Perkawinan adalah ikatan lahir dan bantin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).

2. Pembatalan perkawinan adalah suatu perbuatan yang menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai suatu peristiwa yang tidak sah atau dianggap tidak pernah ada. Pembatalan perkawinan dapat dilakukan bila para pihak tidak memenuhi syarat dalam melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UU Perkawinan).

3. Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan dengan adanya suatu peristiwa atau perbuatan yang dikaitkan dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam ruang lingkup peristiwa atau perbuatan hukum tersebut.

G. Metode Penelitian

Kata Metode yang berarti “jalan ke”.28namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan sebagai suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, sebagai suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan dan sebagai cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

(20)

Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dan menjawab masalah penelitian atau membuktikan kebenaran hipotesis atau kerangka teoritisnya (konsepsional)adalah studi dokumen/literatur, pengamatan dan wawancara.

1. Sifat Penelitian

Penelitian tesis ini bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karaktaristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan) dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.29Dikatakandeskriptif karena dengan penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Putusan No. 1009/Pdt.G/2009/PA. Mdn. (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, bersifatanalitiskarena dilakukan analisis dari segi Undang-Undang, KHI dan Fiqih.

2. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan adalah metode penelitianYuridis Empiris, yakni suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum melalui studi kepustakaan dan akan dihubungkan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, KHI dan Fiqih serta kebiasaan pada masyarakat sesuai dengan penelitian dilapangan yang dilakukan dengan pengamatan (observasi)dan wawancara.

Wawancara yang akan dilakukan untuk memperoleh segala informasi yang dibutuhkan secara lengkap dan akurat yaitu dengan Hakim Ketua, hakim Anggota, serta Panitera Pengganti pada Pengadilan Agama kelas I-A medan,

(21)

Oleh karena itu dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini yakni, Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Putusan No. 1009/Pdt.G/2009/PA. Mdn. (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan).

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research). data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, sedangkan data sekunder didapat dari penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, artikel-artikel, media massa dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

3. Analisis Data.

Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis secara kualitatif sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh terhadap permasalahan penelitian yang akan dilakukan dalam tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi data. analisis secarakualitatif dilakukan untuk menarik kesimpulan data yang telah diolah sehingga hasil analisa yang diperoleh tidak berbentuk angka.

Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

(22)

berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti unsur struktural dan konflik sosial yang terdapat pada video wayang orang Balai Sigala-gala serta mencari tahu apakah relevan

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui bagaimana mekanisme pemberian kredit kepada anggota Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) Subak Guama, di Desa Belayu,

MoOon banPuan B apak/Ibu unPuk menyeba rkan informas i ini kepada para dos en dan Penag a kependidikan yang berminaP aPau melalui media publikas i fakulPas.. UnPuk informas i

berdasarkan hasil penelitian dalam hal penyampaian/transmisi dilakukan oleh dinas sosial kepada pihak puskesmas yaitu dengan cara seminar atau juga bimbingan teknik oleh

[r]

Penulisan ilmiah ini berguna untuk lebih mengenalkan bahasa Ingris sejak dini dan untuk lebih mengenalkan teknologi komputer secara visual, interaktif dan

Membahas mengenai kebudayaan DKI Jakarta khususnya Seni Tari yang disusun dengan menggunakan Macromedia Dreamweaver MX dan diharapkan dapat mempermudah dalam mendapatkan

[r]