• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Sosial sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi dalam Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi T2 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Sosial sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi dalam Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi T2 BAB II"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MEDIA SOSIAL SEBAGAI SARANA INTEGRASI

TERHADAP ANCAMAN SEGREGASI DI AMBON

Pengantar

Kehadiran media sebagai ruang publik menjadi salah satu bagian penting yang dapat memberikan manfaat bagi komunitas-komunitas di Ambon. Bagian kedua dari bab ini merupakan pembahasan mengenai beberapa literatur yang digunakan dalam menganalisis hasil data penelitian mengenai media sosial sebagai ruang publik komunitas muda-mudi pascakonflik di Ambon akibat segregasi. Untuk mencapai titik perdamaian, maka akan didukung dengan integrasi sosial dan etika dalam menggunakan media sosial sebagai ruang publik.

Segregasi Pengertian

Secara etimologis istilah segregasi berasal dari kata segregate (diartikan memisahkan, memencilkan) atau segregation (diartikan pemisahan). Ensiklopedi bebas menyebutkan segregasi terjadi melalui sebuah rezim kolonialisme dengan kebijakan politik “devide et impera” (politik pecah-belah). Rezim Segregasi ini dijalankan dengan membedakan masyarakat dalam tiga kelas sosial secara umum, yakni kelas pertama adalah "Europeanen" ("Eropa" kulit putih); ras kelas kedua adalah "Vreemde Oosterlingen" ("Timur Asing") yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain; dan ras kelas ketiga adalah "Inlander", yang kemudian diterjemahkan menjadi "Pribumi". Sistem ini sangat mirip dengan sistem politik apartheiddi Afrika Selatan yang melarang kesatuan lingkungan antar-ras ("wet van wijkenstelsel") dan interaksi antar-ras yang dibatasi oleh hukum "passenstelsel".1 Sementara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, segregasi adalah pemisahan (suatu golongan dari golongan lainnya); pengasingan; pengucilan2

Segregasi yaitu upaya untuk saling memisahkan diri dan saling menghindar di antara pihak-pihak yang bertikai dalam rangka mengurangi ketegangan dan menghilangkan konflik. Di mana masing- masing pihak

1 Muh, Saerozi, Politik Agama dalam Era Plualisme, (Yogyakarta : Tiara Wacana 2004), hlm 54 2 Evi Lavina Dwitang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Karisma Publishing Grup, 2012),

(2)

memisahkan diri dan saling menghindar dalam rangka mengurangi ketegangan. 3

Faktor-faktor Penyebab Segregasi

Segregasi terbentuk karena adanya enam faktor sebagai berikut:4

Pertama jumlah anggota di mana segregasi akan terbentuk jika didukung oleh adanya kesenjangan dalam jumlah anggota. Di satu sisi ada kelompok yang jumlah anggotanya lebih banyak, sedangkan di sisi lain ada juga kelompok yang jumlah anggotanya sedikit.

Kedua kondisi ekonomi, di mana segregasi spasial akan terbentuk jika terjadi kesenjangan dalam kondisi ekonomi. Di satu sisi ada kelompok miskin dan disisi lain ada kelompok yang kaya.

Ketiga penyimpangan kultur, di mana segregasi spasial akan terbentuk jika ada sekelompok orang yang melakukan penyimpangan kultur. Keempat pandangan terhadap kelompok minoritas, di mana segregasi sosial

akan terbentuk jika ada pandangan, bahwa kelompok mayoritas bisa menimbulkan segregasi terhadap minoritas.

Kelima status kelas, di mana segregasi spasial akan terbentuk pada kelas terbawah atau tertinggi.

Keenam konservatif, di mana segregasi sosial akan terbentuk jika ada kelompok yang menolak kelompok lain, sehingga mereka membatasi kontrak sosialnya

Segregasi Sebagai Warisan Sosial

Ruang segregasi yang terjadi pada masyarakat Maluku bukanlah sebuah kenyataan yang baru saja muncul, melainkan sudah hadir sebagai warisan sosial pada masa kolonial. Terkait hal ini, maka pola segregasi yang terbentuk pada masa kolonial akan dipetakan dalam tiga aspek, yakni: 1) segregasi pola Portugis. 2) segregasi pola VOC, 3) segregasi pola Pemerintah Hindia-Belanda. Tiga penguasa kolonial tersebut mempunyai kesamaan aspek dalam kebijaksanaan segregasinya, yaitu fisik kewilayahan, di mana masyarakat dipisah-pisahkan berdasarkan tempat tinggalnya menurut perbedaan warna kulit, agama, dan kultural. Berdasarkank salah satu dari tiga aspek itu pula, pemerintah kolonial mengondisikan masyarakat ke dalam dua varian kelompok, yaitu Kelompok Keyakinan Dominan (KKD) dan Kelompok Keyakinan Minoritas (KKM).5

3 Ibid.,

4 Muh, Saerozi, Politik Agama dalam Era Plualisme, (Yogyakarta : Tiara Wacana 2004), hlm 54

(3)

Agama sebagai salah satu aspek yang melekat dalam kehidupan masyarakat, menjadi pijakan penting bagi penguasa kolonial untuk melakukan kebijakasanaan segregasi fisik dan diskriminasi antarkelompok keyakinan dalam masyarakat.

Kebijaksanaan Segregasi Pola Portugis

Portugis adalah negara kecil di Eropa Barat Daya yang penduduknya menganut agama Katolik.6 Pada Tahun 1500 jumlah penduduknya tidak lebih dari satu juta atau satu seperempat jiwa.7 Negara tersebut pernah diduduki oleh orang-orang Arab dan Berber dari Afrika Utara yang beragama Islam. Akibat dari perang panjang yang pernah dialami, bangsa Portugis mengenggam bara semangat permusuhan dengan orang-orang Islam, yang

oleh Steenbrink diistilahkan sebagai kelanjutan dari “perang-salib”.8

Semangat Portugis kian besar setelah memperoleh legitimasi tanggung jawab penyiaran agama Katolik ke seberang laut. Kebijaksanaan segregasi yang dilakukan oleh Portugis adalah Padroado. Dalam arti kekuasaan yang dimiliki oleh Portugis bukan hanya dalam arti politis, melainkan juga menyangkut urusan yang berkaitan dengan agama(gereja). Di mana kolonialisme dan misi gereja berjalan secara beriringan. Diterimanya hak untuk memperoleh koloni oleh Portugis berarti pula bahwa Portugis harus

mengemban tugas meng‟katolik‟an bangsa-bangsa jajahan.9

Di Maluku, kedatangan Portugis awalnya disambut baik oleh Sultan Ternate. Sultan memberi kesempatan kepada protugis untuk membangun benteng yang kemudian dijadikan sebagai pangkalan tentara dan saudagar-saudagar Portugis di Indonesia Timur, serta menjadi pusat misi. Di kemudian hari para imam kemudian dihadirkan di benteng-benteng Portugis, akan tetapi mereka lebih terfokus pada aspek kerohanian dari para tentara dan para pedagang yang tinggal di dalam benteng. Proses penyiaran agama diluar benteng mulai dilakukan para misionaris Portugis, sejak datangnya Fransiskus Xaverius dan beberapa rekan penginjilnya. Situasi ini kemudian menunjukan proses segregasi yang dijalanakan oleh pihak Portugis melalui pemisahan ruang kehidupan dengan memetakan masyarakat menjadi tiga kelompok besar berdasarkan agama, yaitu: pemeluk Katolik, Islam, dan lainnya. Pemeluk Katolik berkulit putih bermarkas di dalam benteng.

6 End, Ragi Cerita Sejarah Gereja di Indoensia (Jakarta : BPK Gunung Mulia), Hlm 27 7 Ibid, Hlm 28

8 Karel.A. Steenbrink, Mencari Tuhan Dengan Kacamata Barat (Yogyakarta : Sunan Kalijaga Press,1988) Hlm 238

(4)

Kelompok masyarakat animisme sebagai sasaran penyebaran Katolik diupayakan hidup terpisah dengan kelompok masyarakat Islam yang berada di wilayah-wilayah kerajaan tersendiri. Sekali pun demikian, ruang lingkup pemisahan masyarakat yang dilakukan Portugis masih terbatas di wilayah sekitar benteng. Konsentrasi kekuasaannya berada di wilayah Maluku.10

Iman Katolik diberitakan di kampung-kampung dan di Ambon, misalnya di wilayah Maluku Tengah 1522-1799,11 selanjutnya pada wilayah-wilayah Ambon lebih banyak dilakukan pada wilayah-wilayah-wilayah-wilayah yang masih menggunakan kepercayaan nenek moyang, yaitu: Leitimor di Ambon, Kepuluan Uliase, Buru, Seram dan beberapa pulau lainnya. Dalam perkembangannya, misi penyiaran agama ini juga meliputi, Hatiwi, Mantelu, dan Nusatiwi, sehinga wilayah-wilayah tersebut menganut agama Kristen Katolik.12

Kebijaksanaan Segregasi Pola VOC

Setelah masa kolonialisme Portugis berakhir, masuklah VOC sebagai pihak kolonialisme baru. VOC adalah badan perdagangan swasta Belanda yang memiliki tujuan hampir mirip dengan maksud orang-orang Portugis, yaitu memperoleh monopoli jual beli rempah-rempah.13 Kemiripan antara keduanya, juga tampak dalam perspektif agama. Di samping itu, dalam bidang politik, aliran Kristen Protestan ini berbeda secara diamental dengan ajaran Katolik. Kristen Protestan berkeberatan terhadap konsep penyatuan gereja dan negara. Menurut aliran ini, negara ditempatkan bukan di bawah gereja atau di atas gereja, tetapi berdampingan. Antara gereja dan negara diharuskan bekerja sama demi kemajuan kerajaan Allah.14

Dengan perspektif agama seperti itu, VOC yang bergerak di bidang perdagangan, mengakui adanya kewajiban negara untuk mendukung gereja dan memelihara kehidupan rohani para pendatang dari Belanda. Namun demikian, sikap dan perilaku yang merendahkan para pemeluk Katolik juga sangat menonjol. Hal itu merupakan efek dari reformasi Kristen yang berlangsung selama ratusan tahun di Belanda. Pada masa itu para pemeluk Katolik dikategorikan sebagai masyarakat kelas-dua dan sering diremehkan dengan sebutan papen (anjing-anjing Paus).15

10Ibid.,

11 M. Sareozi, Politik ,hlm 83 12 Ibid, Hlm 84

13 End, Ragi, hlm 65

(5)

Terlihat ada ambiguitas dalam politik agama yang dilakukan VOC. Di satu sisi, VOC memaksa orang-orang Katolik untuk pindah agama, tetapi di pihak lain VOC tidak melakukan pengabaran Injil di daerah-daerah lain, khususnya di daerah Islam. Secara politis langkah-langkah tersebut ditujukan untuk beberapa maksud, yaitu (1) menghindari konflik dengan sejumlah pemeluk agama besar; (2) mencari simpati para penguasa lokal (Sultan); dan (3) para pemeluk Islam lebih tepat untuk dibiarkan agar tetap tertinggal. 16

Keterbatasan sumber daya manusia menjadikan VOC amat tergantung kepada penduduk setempat dalam penguasaan wilayah. Di samping itu, dengan lingkup kegiatan komersial yang sangat luas memaksakan VOC untuk berhubungan intensif dengan penduduk non-Eropa. Pada 30 Mei 1691 hubungan tersebut menjadi „sangat majemuk, tetapi terpisah‟, sebagaimana diistilahkan oleh Mona Lohanda.17 Gambaran Lohanda tersebut adalah implikasi dari diterapkannya kebijaksanaan pemilahan penduduk (segregation) oleh VOC. Menurut kebijaksanaan ini, penduduk dipilah dan diperlakukan secara berbeda menurut warna kulit dan agama yang dianutnya. Melalui kebijaksanaan segregasi berdasar atas warna kulit, maka penduduk dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni bangsa Eropa, bangsa Timur Asing dan bangsa Pribumi. 18

Pada tahun 1663, misalnya, kelompok Ambon dipilah menjadi Ambon Islam dan Ambon Kristen, dan keduanya diperlakukan secara berbeda. Masing-masing kelompok dilarang bertempat tinggal di luar lokasi yang telah ditetapkan. Sementara itu, pemimpin kelompok Islam tidak diberi tunjangan bulanan, sebagaimana pemimpin kelompok yang lain, melainkan justru masih ditempatkan di bawah pengawasan langsung bekas Gubernur Amboina, yaitu William van der Beeck. Kelompok Ambon Islam tidak hanya diperlukan secara berbeda, tetapi dibatasi dengan aturan-aturan tertentu, seperti: larangan keluar dari tempat khusus di malam hari, diancam 50 cambukan pada pelanggaran pertama; denda 100 ringgit pada pelanggaran kedua; dan denda 400 ringgit pada pelanggaran ketiga. Mereka juga dilarang berbicara dengan wanita bergama Kristen. Di samping itu, meskipun tidak dilarang, pelaksanaan rukun Islam tidak boleh dilakukan di depan mata penduduk beragama lain.

Seorang budak yang memeluk agama Kristen dapat dimerdekakan dan mendapat perlakuan berbeda dari seorang prajurit pribumi. Ordonansi tahun

16Ibid.,

(6)

1642 yang dinilai diskriminatif adalah menyatakan bahwa seorang non-Kristen yang terhutang dan dijual sebagai budak, harus dibayar dengan harga jauh lebih rendah dan nilai untungnya. Jika ada warga Kristen yang harus menjalani hukuman penjara karena tidak mampu membayar hutang, maka mereka tdak boleh diborgol atau dirantai. Perlakuan penjara pun dibedakan antara penganut Kristen dan penganut non-Kristen.

Tahap pengkristenan berlanjut dengan keluarnya peraturan, bahwa budak Kristen tidak boleh dijual dan orang Kristen tidak boleh dijadikan budak. Puncak dari peraturan ini adalah terjadinya pengkristenan tanpa penginjilan dan dilakukan secara paksa. Budak-budak yang beralih ke agama Kristen dan dimerdekakan beserta keturunannya, lambat laun menjadi suatu kelompok tersendiri yang disebut Mardijkers (budak-budak yang dimerdekakan). Karena agama dijadikan sebagai dasar pemilahan yang utama, maka berbagai kelompok menurut daerah asal, pekerjaan, dan daerah tempat tinggal sering disatukan dengan simbol masing-masing.19

Kebijaksanaan Segregasi Pola Hindia-Belanda

Kebijakan politik segregasi (pemisahan) diberlakukan oleh pemerintah Belanda dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kebijakan ini menjadi pendukung utama implementasi politik pecah belah (divide et impera) yang digunakan kolonial Belanda untuk mengamputasi gerakan-gerakan perlawanan masyarakat bumiputra. Dengan politik segregasi, maka masyarakat bumiputra menjadi terkotak-kotak (segregatif). Menurut studi Budi Rajab, masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda secara garis besar terdiri atas elemen-elemen yang saling terpisah. Tiap-tiap elemen lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada sebagai suatu kesatuan politik organis.20

Sebagaimana yang terjadi pada imperium Inggris, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga menjadikan warna kulit sebagai dasar dari struktur sosial masyarakat kolonial. Meskipun demikian, menurut Werteheim, di Hindia Belanda ada karakteristik yang berbeda. Orang-orang yang seagama dengan penguasa, atau setidaknya bukan penganut Islam, diposisikan secara istimewa atau diberi kepercayaan tertentu. Atas dasar faktor agama itu pula, keadilan dan kehidupan sosial didiskriminasikan dalam tingkatan yang sangat relatif.21

19Ibid.,

20Budi Rajab, “Pluralitas Masyarakat Indonesia Suatu Tinjauan Umum”, dalam Prisma. 6 Juni 1993, hlm 3.

(7)

Dalam hal agama, kebijaksanaan pemerintah kolonial Hindia Belanda sama sekali berbeda dengan kebijaksanaan VOC yang anggaran dasarnya mengakui peranan agama Kristen Protestan secara formal. Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga berbeda dari Portugis yang secara resmi

menjadikan aktivitas kolonialnya sebagai „kolonialisme negara‟ dengan

identitas agama Katolik. Pemerintah kolonial Hindia Belanda lebih memilih

„netral terhadap negara‟. Meskipun demikian, menurut Aqib Suminto yang tergambar dalam tulisan Muh Saerozi, dalam praktiknya Pemerintah Hindia Belanda bersifat diskriminatif sehingga sangat menguntungkan pihak Kristen.22 Demikian pun Steenbrink berpandangan, bahwa bahwa sering terjadi perbedaan pendapat antara pihak zending dengan pemerintah kolonial. Secara yuridis, semua orang Belanda memang diperbolehkan berjalan di bumi Hindia Belanda, akan tetapi aktivitas misi dan zending harus tetap mendapatkan ijin khusus sebab tidak semua daerah terbuka untuknya.23

Pemerintah Kolonial juga berpegang pada prinsip, bahwa “banyak yang dapat diperbuat dan banyak juga yang dibiarkan demi mendukung

penyebaran Kristen di tanah Maluku”. Penerapan prinsip itu terlihat dalam kebijaksanaan penyekatan (wedge policy), yaitu strategi untuk mempertahankan pemisahan daerah Kristen dari daerah-daerah penyekat.

Dalam stretegi ini, yang dimaksud dengan „daerah penyekat‟ adalah daerah

yang secara geografis berbeda di antara kepentingan Hindia-Belanda dan Kristen Protestan.24

Dalam protes politik menuju penguasaan wilayah Hindia Belanda secara damai, pemeluk Islam yang merupakan penduduk terbesar menjadi objek penting dari kebijaksanaan kolonial. Seiring dengan hal tersebut, kebijaksanaan diskriminatif yang dijalankan pemerintah kolonial terus berlangsung dalam berbagai bentuk ketidakadilan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Akibatnya, umat Islam senantiasa tertinggal di dalam percaturan budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik. Diposisikannya pribumi sebagai warga negara kelas tiga, secara tidak langsung menjadikan umat Islam kalah bersaing dalam bidang-bidang tersebut. Begitu pula porsi subsidi pendidikan untuk umat Islam jumlahnya lebih kecil dibandingkan subsidi untuk umat Kristiani. Logika sederhana yang sering dikemukakan untuk menanggapi hal ini adalah (lebih) kecilnya bantuan yang diberikan kepada umat Islam bertujuan sebagai wahana „penjinakan‟. Sementara itu,

22 Muh, Zaerozi, Politik Pendidikan Agama, .. Hlm. 87 23 Ibid, Hlm 88

(8)

bantuan lebih besar diberikan kepada kaum Kristen bermaksud untuk memperkuat „daya saing‟.25

Keterhubungan Masyarakat Maluku Yang Tersegregasi

Pascakonflik Maluku, ruang-ruang segregasi semakin kuat ketika komunitas Islam dan Kristen yang bertikai dipetakan secara langsung dalam ruang-ruang yang terpisah. Terjadinya pengelompokan masyarakat berdasarkan komunitas agama ini, sekaligus menyertakan sarana-sarana publik dan sarana-sarana individu sebagai hak masing-masing yang bersifat terbatas. Di tengah-tengah situasi demikian, butuh sebuah titik keterhubungan sebagai ruang alternatif dalam menjawab kuatnya pengaruh segregasi di tengah masyarakat Maluku. Berkaitan dengan hal ini, gagasan yang disampaikan oleh seorang Profesor dari Cornell University, Amerika Serikat yang bernama Benedict Anderson, dalam bukunya berjudul Imagined Communities,26 penting untuk diperhatikan, yakni tentang nasionalisme sebagai suatu konsep yang dihidupkan lewat sebuah ruang bayangan. Di mana, ruang bayangan ini hadir karena kuatnya rentang kendali, dan tidak semua individu dalam bangsa Indonesia saling mengenal atau terhubung sehingga dibutuhkan ruang kendali untuk menjawab keterhubungan di tengah-tengah kuatnya ruang kendali tersebut. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa ruang kendali tersebut hadir dalam sebuah ruang bayangan, di mana satu individu membayangkan individu yang lain dan diposisikan sama dan setara dengan dirinya. Gambaran ini dicontohkan oleh Anderson dalam ungkapan keberadaan penduduk pesisir timur pulau Sumatera dalam hubuganya dengan penduduk sebelah barat semenanjung Malaka.27 Mereka bukan hanya dekat karena terpisah oleh selat Malaka, tetapi juga berkaitan dengan identitas kesukuan mereka, bahkan juga kesamaan agama secara umum. Akan tetapi, bagi Anderson bila orang Sumatera diperhadapkan dengan orang-orang Ambon yang hidup jauh ribuan mil jauhnya di Timur, tidak ada kesamaan bahasa-ibu di antara mereka apalagi kesukuan bahkan konteks agama yang relatif berbeda, namun orang-orang Sumatera harus lebih dekat dengan orang Ambon ketimbang orang-orang di Malaka.28

25Ibid., hlm. 32-35

26 Anderson, Benedict, 1996. Imagined communities: Reflections on the Origin and Spread of

Nationalism. 180 Varick Street, New York, P:5 27Ibid.,

(9)

Media Sosial Sebagai Ruang Publik

Media sosial (medsos) telah menjadi sebuah fenomena yang makin mengglobal dan mengakar dalam dunia masa kini. Keberadaan media sosial makin tidak bisa dipisahkan dari cara berkomunikasi antarmanusia, karena media sosial menjadi sebuah media penghubung yang mampu menjawab keterbatasan ruang dan waktu, dengan jalan menyediakan sebuah ruang bersama yang tidak dibatasi oleh kedua hal tersebut. Situasi ini membuat peran media sosial menjadi penting dalam pembentukan ruang bersama, termasuk dalam proses Perdamaian Bagi Maluku.

Ruang Publik

Bagi Habermas, ruang publik adalah satu wilayah yang muncul pada

ruang spesifik dalam “masyarakat borjuis”. Ini adalah ruang yang

memperantarai masyarakat sipil dengan Negara, di mana publik

mengorganisasi dirinya sendiri dan di mana “opini publik” dibangun. Di

dalam ruang ini individu mampu mengembangkan dirinya sendiri dan terlibat dalam debat tentang arah dan tujuan masyarakat.29

ANT Actor Network Teory

Actor-Network-Theory (ANT) dipelopori oleh Latour, Teori ini mengatakan bahwa dalam suatu jaringan ada unsur manusia dan non manusia yang terus berevolusi membentuk sebuah sistem. Dalam pemahamannya, konsep jaringan tidak hanya berfokus pada hubungan sosial aktor manusia tapi mencakup aktor-aktor non manusia. Aktor disini didefinisikan sebagai sesuatu yang ikut beraksi bukan hanya manusia tapi juga merupakan objek teknis.. ANT mengembangkan konsep mengenai aktor, jaringan, translasi, dan intermediari.30

a) Aktor

Aktor adalah pelaku, pelaku/aktor dalam melakukan aksinya membutuhkan aktor-aktor lain. Aktivis maupun pendiri komunitas muda mudi di Ambon memerlukan partisipasi masyarakat Ambon untuk menjalankan aksinya.

29 Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publicatin Ltd, 380

(10)

b) Jaringan Aktor/pelaku

Jaringan (network) adalah jejala, atau yang terangkai atau terhubung. Jaringan aktor terdiri dari jaringan bersama-sama baik elemen teknis dan non-teknis. Komunitas muda-mudi di Ambon menggunakan konsep jaringan sebagai solusi untuk mencapai titik perdamaian, oleh karena itu ANT berbicara tentang sifat heterogenitas jaringan aktor.

c) Aktan = Aktor Pengendali

Dalam teori jaringan (ANT) telah mengembangkan suatu kosa kata yang tidak mengambil perbedaan antara subyek dan obyek, subjektif dan objektif, ke dalam pertimbangan sebagai aktor. Aktor mungkin terdaftar sebagai sekutu untuk memberi kekuatan untuk suatu posisi. Sebuah aktor ada yang berdaya dan ada yang tidak berdaya dalam mengendalikan sistem jaringan. Dalam teori ini disebutkan terdapat aktor dan jaringan. Aktor adalah semua elemen yang terhubung dalam sistem yang nantinya akan membentuk jaringan secara alamiah.

Aktor yang mampu mengontrol aktor lain disebut sebagai aktan. Aktan memiliki kemampuan untuk bergerak masuk dan keluar suatu jaringan berdasarkan kemauan dan kepentingannya. Saat aktan memasuki suatu jaringan, maka jaringan tersebut akan memberi nama atau julukan, aktifitas, perhatian, serta peranan dalam jaringan tersebut. Dengan kata lain, aktan inilah elemen utama dan menjadi penggerak dalam jaringan. Sebagai contoh, pada komunitas muda-mudi di Ambon, yang disebut aktor adalah Komunitas Provokator Damai, Cofi Badati, Molluca Hip-Hop Community, Kanvas Alifuru, Bengkel Sastra, dan Non Violence. Konsep ANT, yang disebut sebagai aktan adalah Provokator Damai dan Coffe Badati yang mampu melahirkan komunitas muda-mudi yang bergerak dalam profesi seni, bakat, dll.

d) Intermediary

Intermediary merupakan sebuah layer, perantara, seorang perunding yang bertindak sebagai penghubung antara pihak aktor, atau sekumpulan aktor, seseorang yang, atau hal yang akan menengaruhi, antar inter-agent, atau perantara.

Pengertian Media Sosial

(11)

media adalah alat, sarana komunikasi, perantara, atau penghubung, sedangkan sosial artinya "berkenaan dengan masyarakat" atau suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma, dsb).31

Dari sisi bahasa tadi, media sosial bisa dimaknai sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi. Makanya, dalam dunia internet seperti blogging atau Facebook, dikenal istilah share (berbagi). Bahkan, setiap blog atau situs selalu menyediakan fasilitas social share, terutama facebook, twitter, dan youtobe.

Istilah lain media sosial adalah "jejaring sosial" (social network), yakni jaringan dan jalinan hubungan secara online di internet. Oleh karena itu, menurut Wikipedia, media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya (user) bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi (sharing), dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan dunia virtual.32

Menurut Chris Garrett, media sosial adalah alat, jasa, dan komunikasi yang memfasilitasi hubungan antara orang dengan satu sama lain dan memiliki kepentingan atau kepentingan yang sama. Demikian pun, Sam Decker mengungkapkan, bahwa media sosial adalah konten digital dan interaksi yang dibuat oleh dan antara satu sama lain. Selain itu, Antony Mayfield dari iCrossing mengemukakan, media sosial adalah tentang orang-orang. Orang biasa yang berbagi ide, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menciptakan kreasi, pemikiran, berdebat, menemukan orang yang bisa menjadi teman baik, menemukan pasangan dan membangun sebuah komunitas.33

Jenis, Peran dan Fungsi Media Sosial

Dalam buku Panduan Optimalisasi Media Sosial yang dikeluarkan oleh Humas Kementrian Perdangangan, termuat enam jenis media sosial, yaitu:

Pertama, proyek kolaborasi website, di mana user-nya diizinkan untuk dapat mengubah, menambah, atau punmembuang konten-konten yang termuat di website tersebut, seperti wikipedia.

Kedua, blog dan microblog, di mana user mendapatkebebasan dalam mengungkapkan suatu hal di blog itu,seperti perasaan, pengalaman, pernyataan, sampai kritikan terhadap suatu hal, seperti Twitter.

31 Evi Lavina Dwitang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Karisma Publishing Grup, 2012) 32 Kementrian Perdangangan RI, Panduan Optimalisasi Media Sosial, (Jakarta : Pusat Humas

(12)

Ketiga, konten atau isi, di mana para user di websiteini saling membagikan konten-konten multimedia, sepertie-book, video, foto, gambar, dan lain-lain seperti Youtube.

Keempat, situs jejaring sosial, di mana user memperolehizin untuk terkoneksidengan cara membuat informasiyang bersifat pribadi, kelompok atau sosial sehingga dapatterhubung atau diakses oleh orang lain, seperti misalnyaFacebook.

Kelima, virtual game world, di mana pengguna melaluiaplikasi 3D dapat muncul dalam wujud avatar-avatar sesuaikeinginan dan kemudian berinteraksi dengan orang lainyang mengambil wujud avatar juga layaknya di dunia nyata,sepertionline game.

Keenam, virtual social world, merupakan aplikasiberwujud dunia virtual yang memberi kesempatan padapenggunanya berada danhidup di dunia virtual untukberinteraksi dengan yang lain. Virtual social world ini tidakjauh berbeda dengan virtual game world, namun lebih bebasterkait dengan berbagai aspek kehidupan, seperti SecondLife. 34

Dengan muatan seperti itu, maka medsos tidak jauh dari ciri-ciri berikut ini:

1. Konten yang disampaikan, dibagikan kepada banyak orang dan tidak terbatas pada satu orang tertentu.

2. Isi pesan muncul tanpa melalui suatu gatekeeper dan tidak ada gerbang penghambat.

3. Isi disampaikan secara online dan langsung.

4. Konten dapat diterima secara online dalam waktu lebih cepat dan bisa juga tertunda penerimaannya tergantung pada waktu interaksi yang ditentukan sendiri oleh pengguna.

5. Media sosial menjadikan penggunanya sebagai kreator dan aktor yang memungkinkan dirinya untukberaktualisasi diri.

6. Dalam konten medsos terdapat sejumlah aspek fungsional seperti identitas, percakapan (interaksi), berbagi (sharing), kehadiran (eksis), hubungan(relasi), reputasi (status) dan kelompok (group). 35

Tidak bisa dipungkiri, bahwa medsos dalam perkembangan media telah mengambil bentuk yang menandingi, bahkan unggul dari media-media konvensional atau tradisional, seperti: televisi, radio dan media cetak. Keunggulan itu terjadi, karena medsos tidak membutuhkan tenaga kerja yang

(13)

banyak, modal yang besar, dan tidak terikat oleh fasilitas infrastruktur produksi yang massif seperti kantor, gedung dan perangkat peliputan yang lain. Pengguna medsos bahkan bisa aktif, mengambil peran dan independen dalam menentukan konten-konten medsos kapan pun dan di mana pun. User medsos bebas untuk mengedit seperti mengurangi dan menambahkan, menyebarkan, serta memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, maupun berbagai bentuk konten yang lain. Dengan demikian, kelebihan peran media sosial bila dibandingkan media konvensional adalah:

1. Cepat, ringkas, padat dan sederhana. Jika diamati, setiap produksi media konvensional membutuhkan keterampilan khusus, standar yang baku dan kemampuan marketing yang unggul. Sebaliknya, medsos begitu mudah digunakan (user friendly), bahkan pengguna tanpa basis pengetahuan Teknologi Informasi (TI) pun dapat menggunakannya, karena yang diperlukan hanya komputer, tablet, smartphone yang dikoneksikan dengan internet.

2. Menciptakan hubungan lebih intens. Media-media konvensional hanya melakukan komunikasi satu arah. Untuk mengatasi keterbatasan itu, media konvensional mencoba membangun hubungan dengan model interaksi atau koneksi secara live melalui telepon, sms atau twitter. Sementara itu, medsos memberikan kesempatan yang lebih luas kepada user untuk berinteraksi dengan mitra, pelanggan, dan relasi, serta membangun hubungan timbal balik secara langsung dengan mereka.

3. Jangkauan luas dan global. Media-media konvensional memiliki daya jangkau secara global, tetapi untuk menopang itu perlu biaya besar dan membutuhkan waktu lebih lama, sedangkan melalui medsos, siapa pun bisa mengkomunikasikan informasi secara cepat tanpa hambatan geografis. Pengguna medsos juga diberi peluang yang besar untuk mendesain konten, sesuai dengan target dan keinginan kepada banyak pengguna.

4. Kendali dan terukur. Dalam medsos dengan sistem tracking yang tersedia, pengguna dapat mengendalikan dan mengukur efektivitas informasi yang diberikan melalui respons balik serta reaksi yang muncul, sedangkan pada media-media konvensional, masih membutuhkan waktu yang lama.36

(14)

Medsos merupakan bagian dari sistem relasi, koneksi dan komunikasi. Karena itu, kita harus menyikapinya sehubungan dengan fungsi-fungsi yang terkandung dalam teori relasi, koneksi dan komunikasi masyarakat. Berikut ini, merupakan peran dan fungsi medsos, yakni:

1. Sarana belajar, mendengarkan, dan menyampaikan. Berbagai aplikasi medsos dapat dimanfaatkan untuk belajar beragam informasi, data dan isu yang termuat di dalamnya. Pada aspek lain, medsos juga menjadi sarana untuk menyampaikanberbagai informasi kepada pihak lain. Kontenkonten di dalam medsos berasal dari berbagai belahan dunia dengan beragam latar belakang budaya, sosial, ekonomi, keyakinan, tradisi dan tendensi. Oleh karena itu, benar jika dalam arti positif, medsos adalah sebuah ensiklopedi global yang tumbuh dengan cepat. Dalam konteks ini, pengguna medsos perlu sekali membekali diri dengan kekritisan, pisau analisa yang tajam, perenungan yang mendalam, kebijaksanaan dalam penggunaan dan emosi yang terkontrol.

2. Sarana dokumentasi, administrasi dan integrasi. Beragam aplikasi medsos pada dasarnya merupakan gudang dan dokumentasi jenis-jenis konten, seperti: profil, informasi, reportase kejadian, rekaman peristiwa, sampai pada hasi-hasil riset kajian.

3. Sarana perencanaan, strategi dan manajemen. Akan diarahkan dan dibawa ke mana medsos, merupakan domain dari penggunanya. Oleh sebab itu, medsos di tangan para pakar manajemen dan marketing dapat menjadi senjata yang dahsyat untuk melancarkan perencanaan dan strateginya. Misalnya, untuk melakukan promosi, menggaet pelanggan setia, menghimpun loyalitas customer, menjajaki market, mendidik publik, dan menghimpun respons masyarakat.

(15)

sebagai sarana preventif yang ampuh dalam memblok atau memengaruhi pemahaman publik. 37

Facebook

Facebook merupakan situs jaringan sosial di internet yang dibuat oleh Mark Zuckenberg dan resmi diluncurkan 4 Februari 2004.38 Pada dasarnya, facebook memiliki kesamaan dengan friendster. Perbedaan di antara keduanya adalah layanan serta fasilitas aplikasi yang diberikan oleh pihak pengembang. Facebook memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan friendster. Pengguna facebook dapat membuat profil dilengkapi foto, daftar ketertarikan pribadi, informasi kontak, dan informasi pribadi lainnya. Pengguna dapat berkomunikasi dengan teman dan pengguna lain melalui pesan pribadi dan fitur obrolan (chatting). Pengguna diizinkan untuk mengatur privasi akun pribadi mereka dan memilih siapa saja yang dapat melihat bagian-bagian tertentu dari profil.39

Facebook adalah media sosial untuk membantu orang berkomunikasi lebih efisien dengan teman lama, keluarga, maupun orang-orang yang baru dikenal. Facebook menawarkan navigasi yang mudah bagi para penggunanya. Setiap pemilik account dapat menampilkan foto dan melakukan hal lainnya, seperti bisa mengirim pesan dan lain sebagainya. Dalam hal ini, facebook bersifat real time. Hampir setiap detik, ribuan bahkan jutaan informasi disebarkan. Facebook dapat diakses setiap waktu, bisa setiap waktu sesuai kehendak pengguna akun. Mengembangkan sebuah jaringan yang tidak terbatas, dapat menyebarkan ide dan gagasan, sebagai sarana aktualisasi diri. Berbeda dengan situs jejaring sosial lainnya, facebook memiliki kekuatan sebagai berikut:

a) Home (beranda) adalah halaman utama, di mana segala aktivitas setiap akun dapat terlihat; tempat untuk mendapatkan kabar terbaru dari setiap teman-teman yang dimiliki.

b) Wall adalah berisi tentang informasi pribadi sebuah akun, seperti: semua yang telah dilakukan seseorang selama menjadi member facebook maupun berkaitan dengan apa yang dilakukan teman-temannya.

c) Status (posting) adalah kumpulan teks, gambar dan video yang diunggah dalam situs jejaring sosial.

d) Message (pesan) adalah halaman khusus pesan pribadi antar akun.

37 Ibid, Hlm 33-35

(16)

e) Inbox adalah sebuah kotak surat virtual dengan fungsinya sebagai wadah message yang masuk ke akun pribadi.

f) Friend adalah akun atau member facebook yang menjadi teman anda.

g) Komentar adalah memberi tanggapan atas sebuah status. h) Like adalah menyukai sebuah kiriman atau status.

i) Tag adalah mencantumkan atau menandai akun lain dalam sebuah posting atau kiriman.

j) Group adalah sebuah kumpulan akun yang tergabung dalam komunitas virtual.

k) Fans Page adalah halaman khusus untuk akun dari sebuah produk, brand, maupun tokoh. 40

Dalam penelitian ini, peneliti lebih terfokus pada penggunaan beberapa fitur saja, yakni fitur-fitur yang menonjol atau sering digunakan untuk mengunggah konten ke dalam jaringan facebook. Fitur yang berisikan berbagai macam informasi dan konten-konten yang digunakan untuk berinteraksi antar sesama pengguna facebook. Dengan hadirnya facebook sebagai media atau perantara antara komunikator dengan komunikan, konsep pertukaran informasi bisa lebih kuat. Media yang digunakan untuk menyampaikan pesan sudah ditentukan dengan tujuan agar lebih fokus.

Mengutamakan fokus pada facebook disertai dengan fitur-fiturnya, akan memudahkan peneliti untuk mendapatkan data yang diinginkan dan memaksimalkan proses penelitian ini. Pemanfaatan fitur juga dipandang sebagai salah satu cara untuk bertukar informasi antar pengguna facebook. Sebagai contoh, apabila bergabung dalam sebuah grup facebook, maka ruang lingkup dari interaksi yang dilakukan adalah terbatas pada grup tersebut. Demikian pun, sebuah akun bisa berinteraksi dengan friends atau fans page yang telah diikutinya. Hadirnya fitur-fitur tersebut mempermudah peneliti untuk mengkategorikan data yang dibutuhkan, sehingga dapat menghindari data-data yang tidak berkaitan dengan tujuan dari penelitian ini.

Penelitian ini cenderung melakukan pembahasan kepada penggunaan fitur Komunitas, status, upload, document, komentar, photo, dan video. Untuk fitur-fitur lainnya tetap akan mendapat pembahasan. Fitur-fitur yang disebutkan mendapat pembahasan lebih banyak karena peneliti menganggap fitur-fitur tersebut memiliki intensitas tinggi dalam penggunaan interaksi. Dalam hal ini interaksi yang memiliki potensi pertukaran informasi

(17)

Komunitas Muda-Mudi dan Pemanfaatan Facebook sebagai ruang Bersama Dengan munculnya new media communication, khususnya jejaring sosial facebook, telah menciptakan sebuah pergeseran pola komunikasi. Umumnya komunikasi dalam sebuah komunitas dilakukan dengan tatap muka. Komunikasi tercipta dengan adanya kedekatan fisik antara komunikator dan komunikan. Misalnya, komunikasi dalam suatu badan yang berisikan kumpulan orang-orang dengan tujuan dan latar belakang yang sama. Berbeda dengan komunikasi demikian, komunikasi melalui facebook tidak membutuhkan suatu badan secara fisik dan tindakan untuk mengubah pola interaksi lama dengan pola interaksi baru dapat terjadi dengan mudah. Komunikasi dalam facebook dapat dilakukan, meski pemisah seperti bentang jarak dan waktu hadir di antara komunikator dan komunikan. Hadirnya new media communication ini sekaligus mengatasi berbagai macam hambatan dalam komunikasi secara langsung, sehingga komunikasi antara komunikator dan komunikan tidak lagi memerlukan kedekatan fisik. Hal tersebut berlaku juga untuk interaksi pada komunitas virtual (cyber society).

Kelompok atau komunitas tersebut tak ubahnya sebuah kelompok atau komunitas pada umumnya. Perbedaan secara mendasar dari komunitas facebook dengan komunitas umum adalah kegiatan interaksi lebih sering dilakukan melalui medsos, sehingga menjadi media interaksi utama bagi sebuah cyber society. Salah satunya adalah komunitas muda-mudi di Maluku yang menyuarakan perdamaian bagi Maluku. Sebagai salah satu bagian dari cyber society, kegiatan interaksi mereka hampir lebih banyak dilakukan melalui media sosial daripada interaksi konvensional, tatap muka. Melalui penggunaan facebook, komunitas muda-mudi tersebut saling terhubung dalam group yang tidak terbatas bagi satu komunitas agama, melainkan saling berbaur antarkomunitas Islam maupun Kristen untuk menyatakan per-damaian bagi Maluku.

(18)

Integrasi Sosial Pengertian

Istilah integrasi berasal dari kata Latin “Integrare” artinya memberi tempat dalam suatu keseluruhan. Dari kata kerja itu dibentuk kata benda

“Integritas” artinya keutuhan atau kebulatan dan kata sifat “Integer” artinya

utuh. Jadi istilah integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Mengacu pada pengertian integrasi tersebut, maka integrasi sosial diartikan sebagai upaya membuat masyarakat menjadi satu keseluruhan yang bulat.41 Konsep mengenai integrasi sosial sering disejajarkan dengan konsep kohesi sosial, solidaritas sosial, keharmonisan sosial, kesatuan sosial. 42

Ensiklopedi bebas menyebutkan integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat. Namun, masih tetap mem-pertahankan kebudayaan mereka masing-masing.43

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi adalah pembauran sesuatu tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Istilah pembauran tersebut mengandung arti masuk ke dalam, menyesuaikan, menyatu atau melebur sehingga menjadi seperti satu. Dengan demikian, integrasi merujuk pada masuk, menyesuaikan atau meleburnya dua hal atau lebih yang berbeda sehingga menjadi seperti satu.44 Integrasi pun dapat diartikan sebagai proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut dapat meliputi perbedaan kedudukan sosial, ras, etnis, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan norma.45

Pengertian integrasi seperti yang dikemukakan di atas, penting untuk diimplementasikan dalam konteks masyarakat Ambon yang majemuk, baik suku, bahasa, ras, maupun agama. Dalam konteks perbedaan agama sebagai suatu realitas masyarakat di Maluku, khususnya Ambon, tidak bisa dihindari persoalan yang muncul sehingga menimbulkan gesekan, kesenjangan, hingga konflik yang meluas antar pribadi, kelompok dan masyarakat. Hal seperti ini tampak pada konflik antar masyarakat Islam dan Kristen di Ambon. Dengan demikian upaya untuk meminimalisir dan mengantisipasi konflik

41 D. Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 374. 42

Ibid.,

43

Ibid.,

44 Evi Lavina Dwitang, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Karisma Publishing Grup, 2012), 228

(19)

antarmasyarakat karena perbedaan agama di Ambon adalah memperkuat proses integrasi sosial dalam masyarakat di Ambon, melalui pemanfaatan kearifan lokal, budaya pela-gandong, sebagai modal sosial dalam membangun integrasi sosial dalam masyarakat Ambon.

Dalam membangun integrasi sosial masyarakat Ambon, perlu untuk membangun kesadaran masyarakat, bahwa perbedaan agama merupakan sebuah realitas yang harus diakui sebagai anugerah Tuhan. Perbedaan tersebut merupakan kekayaan yang dimiliki masyarakat untuk saling membangun dan saling menghargai bukan menjadi sumber konflik. Integrasi seperti demikian sebagaimana yang didefinisikan oleh Banton, yakni sebagai suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras, agama, dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan fungsi penting pada perbedaan tersebut. Hak dan kewajiban, serta ras maupun agama seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan bidang pekerjaan atau status.46 Demikian pun ditegaskan oleh Abu Ahmadi, bahwa dalam integrasi masyarakat terdapat kerja sama dari seluruh anggota masyarakat mulai dari tingkat individu, keluarga, lembaga dan masyarakat sehingga menghasilkan konsensus (kesepakatan) nilai yang sama-sama dijunjung tinggi. Namun menurut Abdul Syani, integrasi sosial tidak cukup diukur dari kriteria berkumpul atau bersatunya anggota masyarakat dalam arti fisik. Konsensus juga merupakan pengembangan sikap solidaritas dan perasaan manusiawi. Pengembangan sikap dan perasaan manusia tersebut merupakan dasar dari keselarasan suatu kelompok atau masyarakat.47 Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang dibangun termasuk nilai-nilai, norma-norma dan pranata-pranata sosialnya.

Wolfgang Bosswick dan Friedrich Heckmann mendefinisikan integrasi sebagai“the stability of relations among parts within a system-like whole, the borders of which clearly separate it from its environment; in such a state, the

system is said to be integrated”.48 Tiga arti lain yang mengacu pada proses

integrasi adalah (1) The process of relating single elements to one another and, out of these, forming a new structure; (2) Adding single elements or

46 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembanga Penerbit FE-UI,2000) , 154. 47 Ibid.,

48 Wolfgang Bosswick, Friedrich Heckmann, Journal Integration of Migrants: Contribution of Local

(20)

partial structures to an existing structure, to form an interconnected whole; (3) Maintaining or improving relations within a system or structure.49

Definisi-definisi yang dikemukakan oleh Wolfgang Bosswick dan Friedrich Heckmann berlaku untuk semua bidang. Integrasi dalam konteks sosiologis, mengacu pada stabilitas, hubungan kerja sama dalam sistem sosial yang jelas. Integrasi juga dapat dilihat sebagai suatu proses yang memperkuat hubungan dalam suatu sistem sosial, dan memperkenalkan aktor baru dan kelompok ke dalam sistem dan lembaga-lembaganya. Integrasi pada dasarnya merupakan suatu proses. Jika proses integrasi berhasil, masyarakat dikatakan terintegrasi.50

Menurut Lockwood, teori sosiologis sistem sosial telah mengembang-kan konsep integrasi sistem dan integrasi sosial. Integrasi sistem adalah hasil dari fungsi anonim lembaga, organisasi dan mekanisme - negara, sistem hukum, pasar, aktor korporasi atau keuangan. Integrasi sosial, ditegaskan Lockwood, mengacu pada masuknya individu dalam suatu sistem, pembentukan hubungan antar individu dan sikap mereka terhadap masyarakat. Hal ini merupakan hasil dari suatu interaksi yang berlangsung dengan sadar dan termotivasi untuk membangun kerjasama antara individu dan kelompok.51

Talcot Parson berpendapat, bahwa integrasi merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interaksi antara para anggota dalam sistem sosial. Supaya sistem sosial berfungsi secara efektif sebagai satu satuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin terbangunnya ikatan emosional dengan cukup, sehingga dapat menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk saling bekerjasama, dikembangkan dan dipertahankan.52

Syarat-Syarat Integrasi

Agar dapat menjalankan proses integrasi dalam masyarakat yang majemuk, seperti kemajemukan berdasarkan agama yang dimiliki oleh masyarakat Ambon, maka perlu diperhatikan syarat-syarat integrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff dalam Kamanto Sunarto, di bawah ini:

49 Ibid.,

50 Ibid., 51 Ibid., 3.

(21)

Pertama, anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka telah berhasil untuk saling mengisi kebutuhan-kebutuhan mereka. Hal itu berarti, kebutuhan fisik dan sosial mereka dapat dipenuhi oleh sistem sosial yang ada. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut menyebabkan setiap anggota masyarakat saling menjaga keterikatan antara satu dengan yang lainnya.

Kedua, masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (consensus) mengenai norma dan nilai-nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam berinteraksi antara satu dan lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang dilarang menurut kebudayaannya.

Ketiga, norma-norma dan nilai sosial itu berlaku cukup lama, tidak mudah berubah dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh anggota masyarakat.53

Dengan memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat integrasi tersebut, niscaya sebuah proses ingrasi dapat berlangsung dalam masyarakat Ambon yang majemuk. Selain memperhatikan syarat-syarat yang dikemukakan oleh William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff di atas, penting juga untuk memperhatikan faktor-faktor pendukung integrasi dalam masyarakat, sebagaimana dikemukakan di bawah ini:

Faktor-Faktor Pendukung Integrasi

Suatu integrasi sosial dapat berlangsung cepat atau lambat, tergantung pada faktor-faktor pendukungnya, yakni: homogenitas kelompok, besar kecilnya kelompok, mobilitas geografis dan efektifitas komunikasi.

Pertama, homogenitas kelompok. Dalam kelompok atau masyarakat yang tingkat homogenitasnya rendah, integrasi sosial akan mudah dicapai. Sebaliknya, dalam kelompok atau masyarakat majemuk, integrasi sosial akan sulit dicapai dan memakan waktu yang sangat lama. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa semakin homogen suatu kelompok atau masyarakat, semakin mudah pula proses integrasi antara anggota di dalam kelompok atau masyarakat tersebut. Contoh kelompok atau masyarakat yang homogen adalah kelompok atau masyarakat dengan satu suku bangsa.

Kedua, besar kecilnya kelompok. Umumnya, dalam kelompok yang kecil, tingkat kemajemukan anggotanya relatif rendah sehingga integrasi sosialnya akan lebih mudah dicapai. Hal tersebut dapat disebabkan, dalam

(22)

kelompok kecil hubungan sosial antara anggotanya terjadi secara intensif, sehingga komunikasi dan tukar-menukar budaya akan semakin cepat. Dengan demikian, penyesuaian antara perbedaan-perbedaan dapat lebih cepat dilakukan. Sebaliknya, dalam kelompok besar, yang tingkat kemajemukannya relatif tinggi, integrasi sosial akan lebih sulit dicapai

Ketiga, mobilitas geografis. Anggota kelompok yang baru datang, harus menyesuaikan diri dengan identitas masyarakat yang ditujunya. Namun, semakin sering anggota masyarakat datang dan pergi, semakin sulit pula proses integrasi sosial. Sementara itu, dalam masyarakat yang mobilitasnya rendah, seperti daerah atau suku terisolasi, integrasi sosial dapat cepat terjadi.

Keempat, efektivitas komunikasi. Efektifitas komunikasi dalam masyarakat juga akan mempercepat integrasi sosial. Semakin efektif komunikasi berlangsung, semakin cepat integrasi antara anggota-anggota masyarakat tercapai. Sebaliknya, semakin tidak efektif komunikasi yang berlangsung antara anggota masyarakat, semakin lambat dan sulit integrasi sosial tercapai.

(23)

Fase-Fase Integrasi

Integrasi sebagai suatu proses memerlukan waktu lama sehingga individu atau kelompok yang berbeda dapat memiliki kesamaan. Untuk tercapainya integrasi sosial di dalam masyarakat, terdapat empat tahapan penting, yakni: akomodasi, koperatif, koordinasi dan asimilasi.

Pertama, akomodasi (accommodation). Akomodasi merupakan langkah pertama menuju integrasi sosial, dengan mengurangi pertentangan dan mencegah terjadinya disintegrasi. Pada tahap akomodasi ini mencerminkan taraf tercapainya kompromi dan toleransi. Situasi kompromi dan toleransi dapat dicapai dalam keadaan dimana dua lawan atau lebih sama kuatnya. Menurut Ogburn dan Nimkoff, akomodasi adalah “actual working together of individual or groups inspite of differences or latent hostility.” Dengan kata lain, akomodasi merupakan kerja sama secara individual atau kelompok, karena adanya faktor kepentingan yang sama meskipun mungkin terdapat perbedaan pendapat atau pemahaman. Jadi kerja sama dalam konteks akomodasi ini dilandasi oleh tujuan yang sama di antara individu atau kelompok. Dalam hal ini, akomodasi lebih bersifat pragmatis. Artinya kedua belah pihak yang melakukan kerja sama lebih mengedepankan tercapainya tujuan bersama.

Menurut Sumner, akomodasi adalah antagonistis cooperation yakni kerja sama yang antagonis. Sebagai ilustrasi mengenai akomodasi sebagai kerja sama anatagonis adalah adanya kerja sama antara dua belah pihak yang bertikai untuk menyelesaikan pertentangan tersebut. Dengan demikian, akomodasi merupakan kondisi yang dapat menggalang kerja sama dan percampuran kebudayaan, yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya akomodasi tersebut dapat tercipta kehidupan sosial yang sesuai dengan kaidah-kaidah sosial. Hasil-hasil yang dapat diperoleh dari proses akomodasi adalah menghindarkan masyarakat dari benih-benih pertentangan, menekan oposisi, melahirkan kerja sama, menyelaraskan dengan perubahan dan memungkinkan terjadinya pergantian dalam posisi tertentu serta terjadinya asimilasi.

(24)

kita, kerja sama bukan hal yang baru karena sejak dulu telah dikenal dengan sebutan gotong royong dan pada setiap keluarga selalu ditanamkan pola perilaku untuk hidup rukun serta menjalin kerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kerja sama dapat bersifat positif jika dilakukan berdasarkan kaidah yang berlaku di masyarakat, juga bersifat negatif apabila bertentangan dengan norma. Misalnya, kerja sama untuk melakukan tindakan kejahatan.

Sehubungan dengan pelaksanaannya, kerja sama dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk, yaitu:

1. Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong. 2. Bargaining yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran

barang dan jasa antar dua organisasi atau lebih.

3. Kooptasi (cooptation) yaitu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

4. Koalisi (coalition) yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Pada awalnya, koalisi sering mengalami kegoncangan karena adanya perbedaan dari organisasi-organisasi yang melakukan koalisi tersebut, tetapi dengan adanya persamaan tujuan, maka langkah-langkah yang diambil bersifat kooperatif.

5. Joint-venture yaitu bentuk kerja sama yang bergerak dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu dengan berbagi keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama. Kerja sama model ini, dapat dibedakan menjadi empat yakni:

a. Kerjasama spontan (spontaneous cooperation) yang secara otomatis ada dalam masyarakat. Misalnya gotong royong. b. Kerja sama langsung (directed cooperation) yang terbentuk

karena adanya perintah dari atasan atau penguasa.

c. Kerja sama kontrak (contractual cooporation) yang terbentuk atas dasar perjanjian.

d. Kerja sama tradisional (traditional cooperation) yang merupakan bagian dari sistem sosial.

(25)

bertentangan berusaha untuk tidak memperuncingnya lagi. Masing-masing pihak berusaha ataupun tidak menyadari adanya penyesuaian mental dalam diri masing-masing terhadap situasi sosial yang objektif. Mereka menyadari dan berusaha untuk mengadakan penyesuaian terhadap faktor-faktor yang telah menyebabkan pertentangan. Akhirnya, mereka bersedia untuk bekerja sama dan mengharapkan adanya kerja sama. Setiap pihak mengharapkan dan mempunyai kesediaan untuk bekerja sama. Hal ini akan terjadi manakala kerja sama memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Perbedaan antar individu atau kelompok tersebut disadari oleh masing-masing. Namun, mereka tidak mempermasalahkannya, sehingga kehidupan bermasyarakat berlangsung tenang .

Keempat, asimilasi. Asimilasi merupakan tahap yang paling mendekati integrasi sosial dalam bentuk ideal. Proses asimilasi merupakan proses dua arah (two way process), karena menyangkut pihak yang diintegrasikan (proses pengakuan) dan pihak yang mengintegrasikan diri (proses penetrasi). Pada fase ini terjadi proses identifikasi kepentingan dan pandangan kelompok. Asimilasi terjadi melalui dua tahapan, yaitu:

a. Pertama, terjadinya perubahan nilai-nilai dan kebudayaan pada kelompok asal atau kelompok masing-masing.

b. Kedua, adanya penerimaan cara hidup yang baru, misalnya penggunaan bahasa. Dengan kata lain, asimilasi merupakan proses mengakhiri kebiasaan lama dan sekaligus mempelajari dan menerima cara kehidupan yang baru.

Apabila setiap individu atau kelompok telah menyesuaikan diri, maka antara individu atau kelompok yang semula bertentangan (berbeda) telah tercapai suatu situasi tentang pengalaman bersama, termasuk tradisi bersama yang belum terbentuk atau belum ada sebelum terjadinya asimilasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pencerminan dari tercapainya asimilasi adalah kebudayaan dan tradisi yang sama. Asimilasi merupakan kulminasi dari kehidupan bermasyarakat yang dapat merefleksikan adanya integrasi sosial. Dengan demikian, terwujudnya integrasi sosial sangat penting bagi kelangsungan hidup individu dan kelompok dalam tatanan hidup bermasyarakat54.

Bentuk-Bentuk Integrasi

Menurut Esser, integrasi sosial dapat terjadi dalam tiga bentuk yakni akulturasi, placement, interaksi dan identifikasi:

(26)

Pertama, akulturasi (acculturation). Akulturasi atau proses sosialisasi adalah proses dimana seorang individu memperoleh pengetahuan, standar budaya dan kompetensi yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan sukses dalam masyarakat.

Kedua, penempatan (placement). Penempatan berarti seorang individu mendapatkan posisi dalam masyarakat - dalam sistem pendidikan atau ekonomi, dalam profesi, atau sebagai warga negara. Penempatan juga menyiratkan perolehan hak yang berhubungan dengan posisi tertentu dan kesempatan untuk membangun hubungan sosial dan untuk memenangkan modal budaya, sosial dan ekonomi. Akulturasi merupakan prasyarat untuk penempatan.

Ketiga, interaksi (interaction). Interaksi adalah pembentukan hubungan dan jaringan, oleh individu yang berbagi orientasi bersama. Ini termasuk persahabatan, hubungan romantis atau pernikahan, atau keanggotaan yang lebih umum dari kelompok sosial.

Keempat, identifikasi (identification). Identifikasi mengacu pada identifikasi individu dengan sistem sosial: orang melihat dirinya sebagai bagian dari tubuh kolektif. Identifikasi memiliki aspek kognitif dan emosional.55

Etika

Etika dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni: etika tertulis dan tidak tertulis. Etika tertulis sendiri bisa terbagi menjadi dua, yaitu: etika tertulis berdasar kesepakatan dan etika tertulis berdasarkan legal formal atau peraturan perundangan. Etika tertulis berdasar kesepakatan terbentuk karena adanya kesepakatan antar pihak yang terkait atau terlibat dan bersifat mengikat para penggunanya, seperti peraturan kesepakatan dalam penggunaan Kaskus, sedangkan etika tertulis legal formal adalah etika yang telah dirumuskan dan disahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Sementara etika tidak tertulis merupakan kumpulan etiket, sopan-santun, nilai-nilai, norma dan kaidah yang lahir dari proses interaksi antarsesama, yang harus dihormati dan dipatuhi bersama-sama.56 Dengan demikian, etika sosial berkomunikasi pada prinsipnya merupakan

55 Wolfgang Bosswick, Friedrich Heckmann, Ibid.,

(27)

panduan berperilaku dan bertindak yang mengacu pada apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Dalam lingkup medsos sebagai kategori ruang publik, berikut ini berapa nilai, acuan, dan pedoman yang bisa menjadi dasar pertimbangan untuk bertindak bijaksana, saat menggunakan akun-akun medsos:

1. Sebaiknya memberikan informasi pribadi dan keluarga secara bijak atau tidak mengumbar informasi yang mengandung privasi. Data atau informasi yang bersifat privasi dan penting harus dirahasiakan. Hal itu dilakukan agar tidak menjadi sasaran orang yang berniat jahat atau kriminal. Informasi-informasi yang sebaiknya tidak diumbar karena sekadar ingin eksis di medsos antara lain: nomor-nomor penting seperti nomor rekening dan nomor telepon, alamat rumah, email, link, permasalahan dalam keluarga, rumitnya hubungan percintaan, hingga foto seluk-beluk dan kondisi rumah. Meskipun di facebook pada kolom update status ada tulisan “What‟s on your mind” bukan berarti kita bebas mengungkapkan segala hal yang kita rasakan di medsos. Berbeda pertimbangannya, apabila medsos menjadi kanal untuk kepentingan bisnis, sosialisasi dan pemasaran, maka sejumlah info penting sesuai tujuannya di-publish ke medsos.

2. Sebaiknya berkomunikasi secara santun dan tidak mengumbar kata-kata kasar. Gunakan kaidah-kaidah bahasa dengan baik dan benar. Misalnya, menggunakan huruf kapital semua dan banyak menggunakan singkatan yang sulit dimengerti. Hindari kata-kata atau idiom yang artinya kotor, menghujat dan tidak sopan dalam bermedia sosial. Hal ini terkait dengan aspek diksi atau pemilihan kata-kata dalam berbahasa. Contoh paling gamblang adalah no twitwar dalam penggunaan microblogging ini, di mana pengguna Twitter berkicau dalam pembatasan 140 karakter saja dengan baik. Hindari mem-posting, sekadar retweet (RT), apalagi masuk dan ikut-ikutan memanasi kancah permasalahan orang lain, karena bisa saja hal itu justru merugikan dan mengganggu diri sendiri dan pihak lain yang tidak berkenan.

(28)

yang berasal dari beragam latar belakang, tingkat pendidikan, umur, kepercayaan, dan agama. Saling menghargai dalam perbedaan adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam menggunakan medsos. 4. Mengecek kebenaran konten dan informasi suatu berita atau kejadian

sebelum menyebarkannya kembali di medsos. Apabila kita hendak ikut menyebarkan suatu informasi, ada baiknya mengecek kebenaran informasi itu melalui tautan akun-akun berita dan informasi yang tersedia. Cara terbaik yang dilakukan adalah kritis terhadap konten yang diterima. Apakah informasi itu masuk akal, ilmiah, ataukah hasil rekayasa yang dipenuhi muatan kebencian dan kebohongan. Apabila ragu akan nilai kebenaran suatu konten, lebih baik kita tidak meneruskan atau menyebar-luaskannya melalui medsos. Nilai-nilai kepantasan agar tidak melukai perasaan pihak lain juga bisa menjadi pertimbangan saat akan menyebarkan suatu konten, misalnya menggambarkan atau memuat konten yang justru membuat orang lain makin berduka atau jatuh mentalnya.

5. Terkait dengan hak pemilikan intelektual orang lain, sebaiknya hasil karya mereka dihargai dengan menyebutkan sumbernya. Hal ini dilakukan agar nilai-nilai orisinalitas juga dijunjung tinggi di antara pengguna medsos, terutama dalam konteks ilmiah, seni dan budaya. Perbuatan meniru memang sulit dihindarkan, tetapi jika sudah menyangkut atau mendatangkan nilai ekonomi ada baiknya menyebutkan sumber pembuat atau penciptanya. Hal ini biasanya terkait dengan hasil lukisan, gambar, foto, lagu dan video.

6. Sebaiknya mengomentari sesuatu hal, topik, dan masalah dengan memahami dulu isinya secara komprehensif dan tidak parsial. Kebiasaan untuk memberi komentar dan memposting kembali suatu berita dari judulnya, paragraf pertama, kesimpulan atau bagian akhir tulisan saja sebaiknya dihindari. Salah komentar atau terjadinya kesesatan logika sering terjadi apabila pengguna atau user medsos ceroboh dan tergesa-gesa menilai tanpa melihat konteks isinya dan gegabah karena diliputi oleh emosi.

(29)

yang kita sampaikan tidak memicu perselisihan hukum, karena memuat konten yang tidak sesuai fakta dan tidak valid datanya.

8. Jangan menuduh, menyerang, beropini negatif dan memberikan informasi tidak benar melalui medsos. Apabila ada individu, entitas bisnis, dan lembaga yang merasa dirugikan dan tidak dapat menerima konten itu, maka bisa berujung pada somasi, permintaan maaf hingga pengguna medsos dilaporkan ke aparat kepolisian karena telah melanggar Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE. Ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh pengguna medsos, sebagaimana bunyi Pasal 45, ayat (1) UU ITE bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Bahkan apabila pernyataan pengguna medsos dinilai telah membuat kerugian secara bisnis, karena telah mencemarkan merek, brand dan nama besar, maka pihak-pihak yang dirugikan akan melayangkan gugatan perdata disertai dengan tuntutan ganti rugi.

9. Jangan menggunakan medsos saat hati dalam kondisi emosi, pikiran jenuh dan kondisi kejiwaan yang labil. Misalnya, saat sedih, marah, sakit, stress, mabuk dan tidak mampu berpikir secara jernih. Sering kali kondisi internal individual tersebut memengaruhi isi dari pendapat yang diunduh atau di-update ke forum, jejaring sosial dan blog, sehingga kontennya menjadi kabur, keliru, dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh pengguna medsos yang lain. Just be nice.

10.Jangan terpengaruh, sekadar ikut-ikutan, demi solidaritas buta saat berkomentar atau beropini di medsos. Paling tidak ada dasar-dasar yang masuk akal apabila hendak berpendapat, sehingga kita memiliki dasar alasan yang kuat mengapa kita menyetujui atau tidak menyetujui konten yang tengah hangat menjadi perbincangan. Sedapat mungkin kita menunjukkan independensi dan integritas yang kuat dalam komentar dan opini-opini yang keluar.

(30)

dikonsumsi oleh orang lain dan di antara mereka mungkin saja ada yang bermaksud jelek kepada kita. Aksi penipuan dan kejahatan bisa terjadi, karena pelaku kejahatan mengetahui dengan persis seluk-beluk seseorang yang menjadi target kejahatan. Contohnya, dalam penggunaan aplikasi check in place seperti Foursquare. Pengguna akun medsos gemar check in place untuk memberitahu keberadaannya dan sedang melakukan apa. Hati-hati, hal itu bisa memancing orang yang hendak53 berbuat jahat secara mulus, karena mengetahui seluk-beluk kita.

12.Jangan menggunakan nama samaran, nama orang lain atau membuat akun samaran dengan tujuan apa pun. Hal itu bisa menjadi awal dari bentuk penipuan karena menyembunyikan identitas aslinya. Biasanya, penggunaan nama samaran ini oleh orang yang tidak bertanggung jawab dikombinasikan dengan perbuatan tidak baik, seperti menyebarkan atau memberikan forward informasi bohong, menyesatkan, fitnah, mengadu domba, Memperkeruh suasana, memanipulasi informasi, dan membunuh karakter pihak lain.

13.Pergunakan medsos untuk hal-hal positif, baik dari segi konten maupun cara menyampaikannya. Sebaiknya memilih konten-konten yang bermanfaat demi produktivitas dan menunjang kehidupan yang lebih baik. Cara menyampaikan isinya pun jangan menyakiti atau mengecewakan orang lain. Pergunakan bahasa yang sopan, efektif dan efisien. Hindari kata-kata kasar dan jorok. Pakailah kalimat yang baik dan benar. Jika berkomentar, sebaiknya mengetahui tentang permasalahan yang ada. Jangan sekadar ikut-ikutan berkomentar. Jadikan medsos sebagai sarana untuk berbagi kebaikan, optimisme, kebahagiaan, saling tolong-menolong, dan saling menghargai. Kaidah dan nilai-nilai yang terdapat dalam etika tidak tertulis pada umumnya tidak mengikat secara hukum. Oleh sebab itu, apabila terjadi pelanggaran atau tidak ditaati, maka tidak ada sanksi yang bisa diberlakukan. Sanksi yang muncul pada umumnya adalah sanksi sosial, seperti dikeluarkan dari grup, mendapat unfollow, dislike, mendapat kritikan, teguran, atau masukan dari orang lain, atau bisa juga dikucilkan (ekskomunikasi) oleh pengguna medsos yang lain 57

57

(31)

Kesimpulan

(32)

KERANGKA BERPIKIR

MALUKU SEBAGAI MASYARAKAT RENTAN KONFLIK

MENGUATNYA POLA SEGREGASI BERBASIS AGAMA PASCA KONFLIK

TERBATASNYA RUANG BERSAMA KARENA AKSES YANG TERPISAH

MEDIA SOSIAL SEBAGAI AKSES RUANG PUBLIK

FACEBOOK

STATUS /UPLOAD : PESAN, DOCUMENT, ARSIP

KOMENTAR

KARYA : PHOTO, GAMBAR, VIDEO, LAGU

KARYA KOMUNITAS

MUDA-MUDI BAGI PERDAMIAN

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang ini maka penulis akan mengajukan penelitian yang dapat mengetahui lokasi parkir mana saja yang kosong ataupun yang sedang terisi mobil

2) Hal yang sama juga diatur dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan DAK di Daerah pasal 9 ayat (2) Penganggaran program dan kegiatan

selisih perbandingan dari hitungan, Bahwa kenyataan dilapangan dump truk memiliki antrian yang cukup lama mungkin karena pemakaian yang berlebihan, dan factor yang mempengaruhi

Kepemimpinan adalah suatu proses pengarahan perilaku seseorang kearah pencapaian suatu tujuan tertentu. Pengertian pengarahan dalam hal ini untuk menyebabkan

Untuk pencapaian tujuan kedua, analisis dilakukan berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahap pertama, pendekatan analisis yang digunakan berdasarkan pendekatan

Rencana pengembangan ini telah selaras dengan rencana strategis Universitas dan secara rinci akan dijabarkan dalam rencana operasional oleh program studi yang ada di lingkungan

Kajian yang dilakukan oleh Lauer dan Lauer (1986) dalam Parker, 2002), mendapati bahawa daripada 351 responden yang telah berkahwin seramai 300 orang pasangan yang kedua-

Sultan Agung pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Pemilihan Langsung dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara elektronik