BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain
(KBBI 2008:725). 2.1.1 Leksikon
Leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa (KBBI, 2008: 805). Kajian terhadap leksikon mencakup apa yang dimaksud dengan kata, strukturisasi kosakata,
penggunaan dan penyimpanan kata, pembelajaran kata, sejarah dan evolusi kata (etimologi), hubungan antarkata, serta proses pembentukan kata pada suatu
bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari, leksikon dianggap sebagai sinonim kamus atau kosakata.
Leksikon juga berkaitan dengan konsep kata. Seperti yang didefinisikan
oleh Taylor dalam Gibbons (202:134-135), kata adalah tempat kita mengklasifikasikan benda ke dalam kelas-kelas. Kata adalah rumah baru bagi
gagasan unit verbal yang diperoleh dari yang nyata, dan kata-kata mempunyai makna karena kata-kata digunakan sebagai nama benda dan kata-kata disebut tanda karena merujuk pada sesuatu yang nyata.
Sibarani (1997:4) membedakan istilah leksikon dari perbendaharaan kata, yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang
fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa.
2.1.2 Kepadian
Kepadian adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan padi, baik itu menyangkut tentang alat-alat yang digunakan untuk menanam dan memanen padi
ataupun bagian dari padi itu sendiri. Tanaman yang menghasilkan beras ialah padi. Beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Dari perawakannya
dapat ditebak bahwa tanaman padi termasuk kelompok rerumputan (Sastrapradja, 2012:36). Seperti rumput pada umumnya, perbungaan padi berbentuk malai dengan jumlah buah yang banyak pada setiap malainya. Buah-buah tersebut berukuran kecil dan tergolong ke dalam “ buah kering” yang tidak dapat merekah
dengan sendirinya.
Jenis padi pada umumnya ditanam di sawah yang pada mulanya digenangi air. Jika buah padi sudah menguning, buah-buah yang kering dirontokkan dari malai dan kemudian biji-biji padi dipisahkan dari kulitnya. Dari buah padi yang
biasa disebut butiran padi atau gabah diperoleh beras, sekam, dedak, dan bekatul. 2.1.3 Kata Benda (Nomina)
Kata benda adalah kata-kata yang dapat diikuti dengan frase yang... atau yang sangat...(Chaer, 2006: 86). Misalnya kata-kata bunga (yang harum), anak (yang pintar), anak (yang sangat pintar). Ada tiga macam kata benda yaitu :
1. Kata benda yang jumlahnya dapat dihitung
Pada kata benda yang jumlahnya dapat dihitung, di depan kata benda
1) Orang (nama diri) seperti, Yuna, Tika, Danu, dan Reno.
2) Nama perkerabatan, seperti kakak, adik, ayah, ibu, dan saudara.
3) Nama pangkat, jabatan, atau pekerjaan, seperti jendral, camat, kanjeng, dan penulis.
4) Nama gelar, seperti insinyur, doktor, profesor, nelayan, dan petani.
5) Hewan, seperti ikan, ayam, kucing, dan rayap.
6) Tumbuhan atau pohon, seperti padi, sawit, kelapa, beringin, dan mahoni.
7) Benda alam, seperti desa, laut, gunung, dan sawah.
8) Alat, perkakas, atau perabot, seperti pisau, gunting, lemari, dan kursi. 2. Kata benda yang jumlahnya tak terhitung
Untuk dapat dihitung di depan kata benda itu harus ditambahkan atau diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti, gram, ons, kilometer, liter,
kubik, termasuk juga kata-kata yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti kaleng, karung, gelas, truk, serta kata-kata seperti (se)ikat, (se)tumpuk, (se)iris, dan (se)potong. Kelompok kata benda ini termasuk
kata-kata yang menyatakan bahan, seperti tepung, gula, pasir, beras, dan kayu, juga menyatakan zat, seperti udara, air, dan bensin.
3. Kata benda yang menyatakan nama khas
Di awal kata ini tidak dapat diletakkan kata bilangan atau kata keterangan ukuran satuan. Kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan
tempat, seperti sawah, Bandung, dan Medan. 2.1.4 Kata Kerja (Verba)
Chaer (2006:100) mengatakan “kata-kata yang dapat diikuti oleh frase
penyerta disebut kata kerja. Misalnya kata-kata makan (dengan lahap), memotong (dengan pisau), berpakaian (dengan rapi). Menurut Kridalaksana (2008) verba
diklasifikasikan menjadi dua yaitu
1) verba transitif, yaitu verba yang harus didampingi oleh objek. Misalnya, Ani menanam padi. Verba menanam harus didampingi oleh objek padi. Karena,
jika hanya verba menanam saja maka kalimat tersebut menjadi tidak jelas. 2) Verba intransitif, yaitu verba yang tidak memerlukan objek. Misalnya, ayah
mencangkul. Verba mencangkul tidak memerlukan objek. Karena mencangkul sudah dapat menerangkan keadaan.
2.1.5 Kata Sifat (Ajektiva)
Chaer (2006: 103) menjelaskan bahwa ciri gramatikal kosakata bahasa Indonesia „asli‟ yang berkategori ajektiva memang tidak tampak. Hal ini berbeda
dengan kosakata yang berasal dari unsur serapan bahasa asing. Dari bentuknya ajektiva dapat dibedakan menjadi :
1) Ajektiva dasar
a. Yang dapat diuji dengan kata sangat, lebih, misalnya: kecil, bagus, banyak. b. Yang tidak dapat diuji dengan kata sangat, lebih, misalnya : tunggal,
langsung, cacat. c. Ajektiva turunan
a. Ajektiva turunan berafiks, misalnya termuda, tertua.
b. Ajektiva turunan bereduplikasi, misalnya: kuning-kuning, bagus-bagus. c. Ajektiva berafiks ke-an, misalnya : kehijau-hijauan, kekuning-kuningan.
d. Ajektiva majemuk
b. Koordinatif, misalnya : tawa riang, lemah lembut, suka duka. Dalam penelitian ini, kata sifat yang diteliti adalah kata sifat dasar.
2.1.6 Bahasa dan Lingkungan
Dalam tulisannya Language, Ecology and Environment, Mühlhäusler (2001:3 dalam Rizkyansah 2015, 12) menyebut, ada empat yang memungkinkan
hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang lain. Keempat
hubungan tersebut adalah (1) bahasa berdiri dan terbentuk sendiri, (2) bahasa dikontruksi alam, (3) alam dikontruksi bahasa, (4) bahasa saling berhubungan dengan alam-keduanya saling mengontruksi, tetapi jarang yang berdiri sendiri
(ekolinguistik).
Bahasa lingkungan (ecologycal language) adalah bentuk verbal yang
mengandung makna tentang lingkungan. Lingkungan bahasa (language ecology) adalah produk dan kondidi alam dan bersifat alamiah (Mbete, 2013:2).
Pada tahun 1970, Haugen untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah
ecology of language (1972 :325, dalam Tangkas, 2013:29-30). Haugen memaparkan “ecology of language may be defined as the study of interactions
between any given language and its environment”. Ekologi bahasa dalam petikan
di atas dapat didefinisikan sebagai sebuah studi tentang interaksi atau hubungan timbal balik antara bahasa tertentu dan lingkungan. Haugen menegaskan bahwa
bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi dalam hubungan antarpenggunanya satu sama lain dan lingkungan, yaitu lingkungan sosial dan
2.2 Landasan Teori
Ekolinguistik bisa dikatakan sebagai paradigma baru yang menghubungkan
bahasa dengan lingkungan. Ekolinguistik adalah studi hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua parameter yang hendak dihubungkan adalah bahasa dan lingkungan. Hal ini bergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi
bahasa maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik (Rizkyansah, 2015:6).
Kajian ini pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian
ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang mana para pakar bahasa dapat berkerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam
memahami interaksi antarbahasa (Haugan dalam Rizkyansyah, 2015:15).
Ekologi bahasa menurut Haugen adalah Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment
(ekologi bahasa dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara beberapa bahasa dan lingkungannya) (Haugen, 1972 dalam Tangkas,
2013:29-30). Berdasarkan hal itu bahasa sangat berkaitan erat dengan lingkungannya sendiri. Bahasa tersebut bisa hilang atau musnah apabila ekologi yang menunjangnya musnah pula. Dari ragam bahasa yang mengalami perubahan
di dalam ekologinya beberapa istilahnya akan menjadi tidak umum lagi dipergunakan oleh para penuturnya.
Ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis–reflecting the notion of ecology in biological studies–in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.
(Ekolinguistik (n.) dalam linguistik, suatu penekanan yang mencerminkan gagasan ekologi dalam studi biologis-dimana interaksi antara bahasa dan lingkungan budaya dipandang sebagai inti; juga disebut dengan ekologi bahasa, linguistik ekologi dan kadang-kadang linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan masyarakat, peranan dari sikap bahasa, kesadaran bahasa, ragam bahasa, dan perubahan bahasa dalam membina budaya perdamaian yang komunikatif).
Ekolinguistik disebut sebagai payung yang membawahi beragam pendekatan teoretis. Beberapa cabang linguistik seperti pragmatik, kajian wacana
kritis, linguistik antropologi, linguistik kebudayaan, sosiolinguistik terapan juga dipayungi oleh ekolinguistik (Mbete, 2013:4).
Adapun parameter ekolinguistik yang berdasarkan parameter ekologi yaitu lingkungan, keberagamaan, serta interaksi, interelasi, dan interpendensi (Muhlhausler, 2001 dalam Kesuma, 2014: 8). Lingkungan kebahasaan dan
penggunaan bahasa (bahasa lingkungan) yakni ekspresi verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya lingkungan. Baik alam
sebagai mitra kesejagatan yang makrokosmos, maupun manusia (dengan tatanan dan sumber daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos (jagat kecil), merupakan objek formal dan objek material kajian ekolinguistik.
Kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia
lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multibahasa inilah yang mendorong adanya interaksi
bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat mempengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (al-Gayoni, 2010:31).
Peneliti bidang ekolinguistik dapat juga membedah makna-makna sosial-ekologis di balik bahasa, khususnya leksikon, di atas konsep dan landasan teoretis
yaitu (1) bahasa yang hidup dan digunakan itu menggambarkan, mewakili, melukis (merepresentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya);
(2) dinamika dan perubahan bahasa pada tataran leksikon. Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan
Bundsgaard 2000: 10-11), antara lain:
1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat, misalnya ideologi kapitalisme yang disanggah pula dengan ideologi pasar sehingga perlu
dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti munculnya istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi, ada
upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakanjenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomis tinggi dan kuat. 2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial
untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktik sosial yang bermakna.
tingkat vitalitas spesies dan adanya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami.
2.3 Tinjauan Pustaka
Berikut ini adalah penelitian dengan objek beberapa bahasa etnis di
Indonesia yang menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini.
Mbete (2002) menulis artikel berjudul “ Ungkapan-ungkapan Verbal dalam
Bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan Lingkungan”. Mbete mengkaji bentuk, makna, dan fungsi yang terkandung dalam ungkapan verbal yang
berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan. Penelitian Mbete menggunakan kajian linguistik kebudayaan untuk menjawab permasalahan, khususnya etnografiberbahasa yang membedah bahasa dalam konteks sosial budaya tertentu.
Sumber data dalam penelitian Mbete berupa bahasa lisan seperti tuturan para tetua adat, para tetua kampung, para orang tua yang hadir dalam konteks adat Po‟o
(upacara menolak hama). Konteks budaya yang disasar dalam penelitian Mbete mencakup situasi pelaksanaan ritual Po‟o, situasi tuturan keseharian, dan situasi
pengolahan lahan garapan. Teknik yang digunakan adalah teknik wawancara
untuk mendapatkan data tentang makna harfiah dan makna per glos.Temuan dalam penelitian Mbete berupa ungkapan verbal yang berfungsi dalam pelestarian
berkaitan dengan pelestarian hutan lindung mini dan sumber air; (4) ungkapan yang berkaitan dengan pelestarian pantai dan laut; (5) ungkapan yang berkaitan
dengan pemeliharaan dan keserasian; (6) ungkapan yang berkaitan dengan hubungan antarsesama warga etnis Lio.
Adisaputera (2010) mengadakan penelitian berjudul “ Ancaman terhadap
Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat: Studi pada Komunitas Remaja di Stabat Kabupaten Langkat”. Dalam kajian ekolinguistik, penelitian Adisaputera
menggunakan konsep yang diberikan Haugen berupa tiga konstituen dalam ekolinguistik dan teori dialektikal dalam ekolinguistik yang di dalamnya terkandung dimensi praksis sosial. Penelitian Adisaputera menggunakan teori
ekolinguistik untuk menjawab permasalahan perubahan ekologi komunitas Melayu dan perubahan konseptual penutur tentang entitas yang terkait dengan
ekologi Melayu tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian Adisaputera adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kuantitatif berkaitan erat dengan aspek penutur yang berfungsi untuk mengetahui kompetensi leksikal
responden terhadap bahasa Melayu Langkat, sedangkan metode kualitatif berkaitan erat dengan aspek linguistik. Temuan penelitian Adisaputera berupa
penyusutan konsepsi leksikal yang didapatkan dari hasil tes kompetensi leksikal yang rendah pada komunitas remaja di Stabat. Hal ini menunjukkan adanya penghilngan konsep ekologi Melayu dalam alam pikiran komunitas remaja
tersebut. Ketidakpahaman komunitas remaja terhadap beberapa leksikal diujikan disebabkan olen intensitas pemakaiannya yang kurang di masyaraka. Leksikal
dalam konseptual sebagian besar penutur remaja. Banyak hewan dan tumbuhan di sekitar lingkungan komunitas Melayu di Stabat hampir punah, bahkan sudah
punah, sehingga leksikon tentang entitas itu hilang. Tingginya mobilitas sosial remaja juga menyebabkan berkurangnya intensitas mereka dengan lingkungan alamiah yang tradisional. Hasil penyelidikan terhadap konsepsi leksikal remaja
tidak hanya mengungkap aspek kebahasaan, tetapi juga mengungkap pengetahuan mereka tentang dunia Melayu, tempat tinggal mereka. Hilangnya pemahaman
leksikal komunitas remaja tentang unsur-unsur tradisietnis menandai hilangnya konseptual mereka tentang lingkungan alamiah dan peradapan Melayu di Stabat.
Sukhrani (2010) mengadakan penelitian berjudul “ Leksikon Nomina
Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik”. Penelitian ini mengkaji pemahaman leksikon guyub tutur bahasa Gayo yang
berhubungan dengan lingkungan ragawi Danau Lut Tawar, perangkat leksikon nomina, verba, dan adjektiva menyangkut lingkungan ragawi Danau Lut Tawar, dan dinamika lingkungan budaya kedanauan, kebertahanan, dan pergeseran
leksikon bahasa Gayo di Lingkungan Danau Lut Tawar. Data dianalisis dengan menggunakan teori ekolinguistik dan teori pergeseran dan pemertahanan bahasa.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa berbagai pengetahuan lokal dan kearifan ekologi masyarakat Gayo di sekitar Danau Lut Tawar telah banyak hilang, terutama pada nama-nama
biota Danau Lut Tawar dan istialah-istilah dalam teknologi tradisional perikanan. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor cara pandang masyarakat yang
pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dari generasi tua kepada generasi selanjutnya. Hal tersebutlah yang mengakibatkan terjadinya erosi bahasa ibu,
kemudian berlanjut menjadi erosi pengetahuan lokal dan kearifan ekologi, pada akhirnya terjadi berbagai bencana ekologi.
Umiyati (2011) dalam artikel berjudul “ Ketahanan Khazanah LingualPertanian Tutur Bahasa Bima dalam Perspektif Ekolinguistik Kritis”.
Umiyati mengkaji tentang bentuk metafora dan pandangan kajian green grammar
dalam ungkapan-ungkapan pelestarian alam guyub tutur bahasa Bima. Penelitian Umiyati menggunakan teori ekolinguistik untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Sumber data penelitian ini dihimpun melalui penelitian lapangan
yang terdiri atas leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan hidup, wacana-wacana, serta hasil interview yang terkait dengan lingkungan dan bahasa. Temuan
dalam Penelitian Umiyati berupa metafora guyub tutur bahasa Bima yang dibagi menjadi 6, yaitu (1) metafora terkait hewan-hewan pertanian; (2) metafora berkaitan dengan tumbuhan pertanian; (3) metafora berkaitan dengan gejala alam;
(4) metafora berkaitan dengan peralatan pertanian; (5) metafora berkaitan dengan kegiatan pertanian; (6) metafora berkaitan dengan hasil pertanian. Selain itu, hasil
penelitian ini juga berupa ungkapan untuk menjaga kelestarian alam bahasa Bima dalam pandangan ekolinguistik, yaitu (1) aina ngoho, ngupa kai ngaha ( jangan berladang untuk mencari makan); (2) lao tanasi e Mila ina male, woja ma dula
mpoa( jika pergi memotong padi Mila mak Male, jangan pulang dengan tangan hampa) ; (3) mboto si unamu Mila ina Male, skolapu anamu Mila ina Male ( jika
Laza (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “ Khazanah Leksikon dan
Budaya Keladangan Masyarakat Tolaki: Kajian Ekolinguistik”. Penelitian Laza mengkaji leksikon bahasa Tolaki dialek Konawe yang berhubungan dengan lingkungan ladang, perangkat leksikon nomina, verba, adjektiva, ungkapan yang berhubungan dengan lingkungan ladang Konawe, dan dinamika budaya dan
pelestarian leksikon bahasa Tolaki dalam lingkungan ladang Konawe. Teori yang digunakan dalam penelitian Laza adalah teori ekolinguistik dan teori
sosiolinguistik, tepatnya pergeseran dan pemertahanan bahasa. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian Laza memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan terletak pada teori yang digunakan.
Penelitian ini dan penelitian Laza sama-sama menggunakan teori ekolinguistik. Perbedaan mendasar pada penelitian ini dengan penelitian Laza adalah penelitian
Laza meneliti bahasa Tolaki dialek Konawe dengan mengkaji khazanah leksikon dan budaya keladangan, sedangkan penelitian ini meneliti leksikon bahasa Jawa dalam lingkungan kepadian.
Erawati (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “ Erosi Leksikon Bidang Persawahan di Bali: Suatu Kajian Ekolinguistik” mengkaji tentang penguasaan
dan pengetahuan leksikon yang berkaitan dengan bidang persawahan di Bali. Penelitian ini menggunakan teori ekolinguistik dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Leksikon dalam bidang persawahan di Bali diklarifikasikan menjadi
dua, yaitu kelompok nominal dan kelompok verbal. Kelompok nominal dibagi lagi menjadi nomina konkret, nomina magis, dan nomina bilangan. Selain itu,
leksikon persawahan yang cenderung tidak pernah digunakan dan akhirnya hilang. Hal itu lebih dipertegas lagi dengan keterangan generasi muda yang
memilikikadar ketidaktahuan leksikon persawahan sebesar 80% ke atas.
Badara (2014) dalam sebuah jurnal yang berjudul “ Kajian Ekolinguistik
terhadap Ketergusuran Leksikon Kesaguan pada Masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe”. Badara mengkaji tentang penyebab ketergusuran leksikon
kesaguan pada masyarakat Tolaki. Penelitian ini dilakukan diempat kecamatan
Kabupaten Konawe, yaitu (1) Kecamatan Konawe; (2) Kecamatan Pohara; (3) Kecamatan Meluhu dan (4) Kecamatan Lambuya. Hasil temuan penelitian Badara menunjukkan bahwa ketergerusan pemahaman ekoleksikon kesaguan di
Kabupaten Konawe disebabkan oleh faktor penuturnya. Selain itu, disebabkan pula oleh perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, migrasi penduduk, dan seni
membawa para penutur bahasa Tolaki selalu berinteraksi dengan penutur bahasa lain, seperti bahasa Bugis, Selayar, Jawa, dan bahasa Bali yang hidup berdampingan dalam wilayah yang sama.
Penelitian-penelitian di atas memberikan konstribusi dalam penelitian ini dalam hal kajian ekolinguistik, dapat dijadikan sebagai referen tambahan, menjadi