• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L) Pada Profil Farmakokinetika Natrium Diklofenak Terhadap Hewan Uji Tikus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga L) Pada Profil Farmakokinetika Natrium Diklofenak Terhadap Hewan Uji Tikus"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia

galanga L) PADA PROFIL FARMAKOKINETIKA

NATRIUM DIKLOFENAK TERHADAP HEWAN UJI TIKUS

SKRIPSI

OLEH:

IRAWINATA SITUMORANG NIM 111524048

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

(2)

PENGARUH EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia

galanga L) PADA PROFIL FARMAKOKINETIKA

NATRIUM DIKLOFENAK TERHADAP HEWAN UJI TIKUS

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

IRAWINATA SITUMORANG NIM 111524048

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN

SKRIPSI

PENGARUH EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia

galanga L) PADA PROFIL FARMAKOKINETIKA

NATRIUM DIKLOFENAK TERHADAP HEWAN UJI TIKUS

OLEH:

IRAWINATA SITUMORANG NIM 111524048

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: Juli 2014

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Prof. Dr. Karsono, Apt.

NIP 130935857 NIP 195409091982011001

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Pembimbing II, NIP 130935857

Prof. Dr. M.T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. Poppy A.Z.H, S.Si., M.Si., Apt.

NIP 195212041980021001 NIP 197506102005012003

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. NIP 195107231982032001

Medan, Juli 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara\ Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penyusunan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Rimpang Kencur

(Kaempferia Galanga L) Pada Profil Farmakokinetika Natrium Diklofenak Terhadap Hewan Uji Tikus”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio

Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan

bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan. Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U.,

Apt., dan Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt., yang telah

membimbing penulis dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian

hingga selesainya penulisan skripsi ini. Ibu Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt.,

selaku dosen wali yang telah membimbing penulis selama masa pendidikan.

Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., Ibu Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, S.Si., M.Si.,

Apt., dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., sebagai dosen penguji yang telah

memberikan saran dan kritikan kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi

ini. Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., selaku kepala Laboratorium Farmakologi dan

Toksikologi, Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium

(5)

Koordinator Laboratorium Biofarmasetika dan Farmakokinetika yang telah

memberikan fasilitas dan bantuan selama penelitian.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus tiada terhingga kepada Ayahanda

J. Situmorang dan Ibunda D. Silalahi tercinta serta Abang Ebenezer Situmorang,

Abang Daniel Purba, Kakak Imeldawati Situmorang, Adik Ivalentina Situmorang

dan Adik Isaulina Situmorang atas doa, dorongan dan semangat baik moril

maupun materil kepada penulis selama perkuliahan hingga selesainya penyusunan

skripsi ini. Kepada seluruh Staf Pengajar, Pegawai Tata Usaha dan

sahabat-sahabat (Franky Sitorus, Bettika manik, Tri Ika Florida, Novalya Frisley, Juni

Bancin, Maria Susanti Manalu, Yolin Hartika Barus, Agnes Margaretta, Mutia

Mustika, Fusfita Arika Ningsih, dan Gustiani Syahfitri) yang telah membantu

selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki

banyak kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan kritikan dan saran yang

dapat menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Juli 2014

Penulis,

(6)

PENGARUH EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L) TERHADAP PROFIL FARMAKOKINETIKA NATRIUM DIKLOFENAK

TERHADAP HEWAN UJI TIKUS ABSTRAK

Natrium diklofenak termasuk Non-Steroid Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) yang mempunyai aktivitas antirematik, antiradang dan analgetik-antipiretik. Ekstrak rimpang kencur berkhasiat sebagai antiradang dimana semakin tinggi dosis ekstrak rimpang kencur yang diberikan maka semakin kecil persentase radang yang terjadi. Melihat efek sinergisme antara rimpang kencur dengan natrium diklofenak maka tujuan penelitian ini adalah pada pemberian EERK selama 7 hari berturut-turut dapat mempengaruhi proses metabolisme natrium diklofenak. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut etanol 96%, kemudian dibuat dosis 20 mg/kg bb, 40 mg/kg bb dan 80 mg/kg bb. Penelitian dilakukan dengan memberikan larutan berturut-turut selama 7 hari dan pada hari ke-7 setelah 4 jam kemudian diberikan larutan natrium diklofenak secara oral. Selanjutnya darah masing-masing tikus jantan diambil dengan berbagai interval waktu dan diukur dengan spektrofotometri UV panjang gelombang 276 nm.

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan antara perlakuan pada hewan tikus. Di mana nilai Cmaks meningkat dari EERK dosis 20 mg/kg bb (8,1203 ± 0,6907

mcg/ml), 40 mg/kg bb (10,5922 ± 0,8404 mcg/ml), 80 mg/kg bb (12,7621 ± 0,4303 mcg/ml), kontrol (7,4420 ± 0,2335 mcg/ml). Nilai AUC meningkat dari dosis 20 mg/kg bb (9669,2869 ± 978,3981 mcg/ml.menit), 40 mg/kg bb (14571,0840 ± 1376,9879 mcg/ml.menit), 80 mg/kg bb (21772,6671 ± 2073,7437 mcg/ml.menit), kontrol (8350,0142 ± 100,2482 mcg/ml.menit). Pemberian EERK menurunkan nilai CL, dosis 20 mg/kg bb (0,0491 ± 0,0066 ml/menit); 40 mg/kg bb (0,0321 ± 0,0047 ml/menit); 80 mg/kg bb (0,0209 ± 0,0045 ml/menit); kontrol (0,0573 ± 0,0075 ml/menit). Nilai Vd menurun dengan perlakuan EERK, dosis 20 mg/kg bb (49,4431 ± 7,0101 ml), 40 mg/kg bb (37,8919 ± 3,6637 ml), 80 mg/kg bb (31,6582 ± 6,4912 ml) dibandingkan kontrol (53,3887 ± 7,6580 ml). Nilai MRT meningkat pada EERK, kontrol (967,6589 ± 28,0171 menit); 20 mg/kg bb (1040,1964 ± 44,7328 menit); 40 mg/kg bb (1210,8529 ± 72,8713 menit); 80 mg/kg bb (1559,0302 ± 111,4972 menit).

Berdasarkan hasil di atas, disimpulkan bahwa EERK mempengaruhi profil farmakokinetika natrium diklofenak yang menunjukkan kemampuan EERK terhadap penghambatan metabolisme sebagai enzim inhibisi.

(7)

THE EFFECT OF EXTRACT Kaempferiae galangae L ON THE PHARMACOKINETIC PROFIL OF SODIUM DIKLOFENAC AT THE

EXPERIMENTAL WITH WHITE RATS ABSTRACT

Diclofenac sodium has antirheumatic activity, anti-inflammatory and analgesic – antipyretic. Rhizome extract as a potent anti-inflammatory

Kaempferiae galangae L where the higher dose given Kaempferiae galangae L extract the smaller the percentage of inflammation that occurs, Seeing the effect of synergism between Kaempferiae galangae L with diclofenac sodium, the purpose of this research is on EERK administration for 7 days in a row can affect the metabolism of diclofenac.

Extraction is done with 96 % ethanol, then made a dose of 20 mg / kg bw, 40 mg / kg bw and 80 mg / kg bw. Research done by providing a solution for 7 consecutive days and on day 7 after 4 hours and then given oral diclofenac sodium. Further blood each male rat was taken with various time intervals and measured by UV spectrophotometry wavelength 276 nm.

The results showed differences between treatments in mice. Where Cmax values increased in EERK administration of a of 20 mg/kg bw (8.1203 ± 0.6907 mcg/ml), 40 mg/kg bw (10.5922 ± 0.8404 mcg/ml), 80 mg/kg bw (12.7621 ± 0.4303 mcg/ml), controls (7.4420 ± 0.2335 mcg/ml). AUC values greater than EERK 20 mg/kg bw (9669.2869 ± 978.3981 mcg/ml.minute), 40 mg/kg bw (14571.0840 ± 1376.9879 mcg/ml.minute), 80 mg/kg bw (21772.6671 ± 2073.7437 mcg/ml.minute), control (8350.0142 ± 100.2482 mcg/ml. minute), EERK could decrease the value of CL, 20 mg/kg bw (0.0491 ± 0.0066 ml/minute), 40 mg/kg bw (0.0321 ± 0.0047 ml/minute), 80 mg/kg bw (0.0209 ± 0.0045 ml/minute), control (0.0573 ± 0.0075 ml/minute). Vd values decreased, EERK 20 mg/kg bw (49.4431 ± 7.0101 ml), 40 mg/kg bw (37.8919 ± 3.6637 ml), 80 mg/kg bw (31.6582 ± 6.4912 ml), controls (53.3887 ± 7.6580 ml). MRT values increased, control (967.6589 ± 28.0171 menit), 20 mg/kg bw (1040.1964 ± 44.7328 minute), 40 mg/kg bw (1210.8529 ± 72.8713 minute), 80 mg/kg bw (1559.0302 ± 111.4972 minute).

Based on the above results, it was concluded that EERK affect the pharmacokinetics of diclofenac sodium profile, the ability EERK on the inhibition of metabolism as enzyme inhibitor.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ……… i

LEMBAR PENGESAHAN ……… iii

KATA PENGANTAR ……….... iv

ABSTRAK ……… vi

ABSTRACT ………... vii

DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR TABEL ………... xii

DAFTAR GAMBAR ………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 4

1.3 Hipotesis ………. 4

1.4 Tujuan Penelitian ……… 4

1.5 Manfaat Penelitian ……….. 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ……… 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

2.1 Natrium Diklofenak ……… 6

2.2 Uraian Tumbuhan ……… 6

2.2.1 Sistematika tumbuhan ……….…….………. 7

(9)

2.3.3 Kandungan kimia ……….. 8

2.3 Ekstrak .……….………... 8

2.3.1 Cara dingin ……….…….……….………….. 8

2.3.2 Cara panas ……….…………. 9

2.4 Farmakokinetik ……….………... 10

2.4.1 Absorbsi ……….…….……….….………….. 10

2.4.2 Distribusi ……….….……….. 11

2.3.3 Metabolisme ………... 12

2.4.1 Ekskresi ……….…….……….….…………... 13

2.5 Parameter Farmakokinetik ……… 13

BAB III METODE PENELITIAN ……….. 15

3.1 Alat ………... 15

3.2 Bahan ……… 15

3.3 Penyiapan Tumbuhan ……….………. 15

3.3.1 Pengambilan tumbuhan ……….…….……… 15

3.3.2 Identifikasi tumbuhan ………. 16

3.3.3 Pengolahan tumbuhan ………. 16

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ………... 16

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik ……….. 16

3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik ..………. 16

3.4.3 Penetapan kadar air simplisia ……….. 17

3.4.4 Penetapan kadar sari larut dalam air …..……….…… 17

(10)

3.4.6 Penetapan kadar abu total ……… 18

3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ………. 18

3.5 Pemeriksaan Skrining Fitokimia Simplisia ..……… 19

3.5.1 Pemeriksaan flavonoid ……… 19

3.5.2 Pemeriksaan alkaloida ……… 19

3.5.3 Pemeriksaan saponin …….………. 20

3.5.4 Pemeriksaan tanin ……….………. 20

3.5.5 Pemeriksaan glikosida ...………. 20

3.5.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida ……… 21

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (EERK) ……. 21

3.7 Pembuatan DiklofenakBaku ……….…… 22

3.7.1 Pembuatan larutan induk baku I natrium diklofenak ……….……...…… 22

3.7.2 Pembuatan larutan induk baku II natrium diklofenak .……….……...…… 22

3.7.3 Pengukuran panjang gelombang absorpsi maksimum di dalam larutan NaOH 0,1 N ……… 22

3.7.4 Pembuatan kurva baku natrium diklofenak pada panjang gelombang maksimum ……….. 22

3.8 Pembuatan Suspensi .………. 23

3.8.1 Pembuatan suspensi CMC 1% ……… 23

3.8.2 Pembuatan suspensi natrium diklofenak 0,05% ……. 23

3.8.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol rimpang kencur (EERK) ………... 23

3.9 Perlakuan Terhadap Hewan Percobaan ………. 23

(11)

3.9.2 Pemberian natrium diklofenak dengan pemberian EERK pada hewan tikus selama 7 hari

berturut-turut ……….…. 25

3.10 Analisis Data ……….. 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 26

4.1 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak ……….. 26

4.2 Skrining Simplisia dan Ekstrak ………. 20

4.3 Nilai Kadar Rata-rata Natrium diklofenak dalam Plasma …. 31 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 39

5.1 Kesimpulan ……… 39

5.2 Saran ……… 39

DAFTAR PUSTAKA………... 40

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil karakteristik simplisia rimpang kencur ……… 29

4.2 Hasil skrining simplisia rimpang kencur ………... 30

4.3 Nilai kadar rata-rata natrium diklofenak dalam plasma ……… 32

4.4 Data rata-rata parameter farmakokinetika natrium diklofenak

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema kerangka pikir penelitian ……….………. 4

4.1 Gambar Hasil Mikroskopik Serbuk Rimpang Kencur …………. 28

4.2 Nilaikadar rata-rata (Log C) vs Waktu (t) natrium diklofenak

dalam plasma ……….……….….….….….….…………. 32

4.3 Grafik peningkatan nilai Cmaks terhadap rata-rata tiap

perlakuan .……….……….….….….….….….….……… 34

4.4 Grafik peningkatan nilai AUC 0-∞ terhadap rata-rata tiap

perlakuan ……….……….….….….….….….……….. 35

4.5 Grafik peningkatan nilai MRT terhadap rata-rata tiap

perlakuan .……….……….….….….….….….………. 36

4.6 Grafik peningkatan nilai CL terhadap rata-rata tiap

perlakuan ……….….….….….….….………... 37

4.7 Grafik peningkatan nilai Vd terhadap rata-rata tiap

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil identifikasi tanaman ……… 42

Lampiran 2 Sertifikat analisis natrium diklofenak (PT. Dexa Medika) 43

Lampiran 3 Kerangka pikir penelitian ………..……… 44

Lampiran 4 Gambar hasil makroskopik ……… 45

Lampiran 5 Hasil karakterisasi serbuk simplisia rimpang kencur …… 47

Lampiran 6 Tabel maksimum larutan sediaan uji untuk hewan ……… 54

Lampiran 7 Tabel konversi dosis hewan dengan manusia ………. 55

Lampiran 8 Flowsheet ………..……….……… 56

Lampiran 9 Contoh perhitungan dosis ………..……… 60

Lampiran 10 Kurva dan data serapan natrium diklofenak baku Pembanding (PT. Dexa Medica) konsentrasi 12 μg/ml

dalam pelarut NaOH 0,1 N …...……….. 62

Lampiran 11 Hasil penentuan persamaan regresi dari kurva kalibrasi natrium diklofenak (PT. Dexa Medica) pada panjang

gelombang 276 nm dalam pelarut NaOH 0,1 N …... 63

Lampiran 12 Hasil Perhitungan Persamaan Regresi dari Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak (PT. Dexa Medica) pada Panjang gelombang 276 nm dalam pelarut NaOH 0,1 N ... 64

Lampiran 13 Contoh perhitungan parameter farmakokinetik

secara manual …...……… 65

Lampiran 14 Kadar natrium diklofenak dalam plasma tiap

waktu pengambilan sampel …...……….. 68

Lampiran 15 Data parameter farmakokinetika natrium diklofenak

dalam plasma …...………... 76

Lampiran 17 Hewan percobaan dan alat …...………... 80

(15)

PENGARUH EKSTRAK RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L) TERHADAP PROFIL FARMAKOKINETIKA NATRIUM DIKLOFENAK

TERHADAP HEWAN UJI TIKUS ABSTRAK

Natrium diklofenak termasuk Non-Steroid Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) yang mempunyai aktivitas antirematik, antiradang dan analgetik-antipiretik. Ekstrak rimpang kencur berkhasiat sebagai antiradang dimana semakin tinggi dosis ekstrak rimpang kencur yang diberikan maka semakin kecil persentase radang yang terjadi. Melihat efek sinergisme antara rimpang kencur dengan natrium diklofenak maka tujuan penelitian ini adalah pada pemberian EERK selama 7 hari berturut-turut dapat mempengaruhi proses metabolisme natrium diklofenak. Ekstraksi dilakukan dengan pelarut etanol 96%, kemudian dibuat dosis 20 mg/kg bb, 40 mg/kg bb dan 80 mg/kg bb. Penelitian dilakukan dengan memberikan larutan berturut-turut selama 7 hari dan pada hari ke-7 setelah 4 jam kemudian diberikan larutan natrium diklofenak secara oral. Selanjutnya darah masing-masing tikus jantan diambil dengan berbagai interval waktu dan diukur dengan spektrofotometri UV panjang gelombang 276 nm.

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan antara perlakuan pada hewan tikus. Di mana nilai Cmaks meningkat dari EERK dosis 20 mg/kg bb (8,1203 ± 0,6907

mcg/ml), 40 mg/kg bb (10,5922 ± 0,8404 mcg/ml), 80 mg/kg bb (12,7621 ± 0,4303 mcg/ml), kontrol (7,4420 ± 0,2335 mcg/ml). Nilai AUC meningkat dari dosis 20 mg/kg bb (9669,2869 ± 978,3981 mcg/ml.menit), 40 mg/kg bb (14571,0840 ± 1376,9879 mcg/ml.menit), 80 mg/kg bb (21772,6671 ± 2073,7437 mcg/ml.menit), kontrol (8350,0142 ± 100,2482 mcg/ml.menit). Pemberian EERK menurunkan nilai CL, dosis 20 mg/kg bb (0,0491 ± 0,0066 ml/menit); 40 mg/kg bb (0,0321 ± 0,0047 ml/menit); 80 mg/kg bb (0,0209 ± 0,0045 ml/menit); kontrol (0,0573 ± 0,0075 ml/menit). Nilai Vd menurun dengan perlakuan EERK, dosis 20 mg/kg bb (49,4431 ± 7,0101 ml), 40 mg/kg bb (37,8919 ± 3,6637 ml), 80 mg/kg bb (31,6582 ± 6,4912 ml) dibandingkan kontrol (53,3887 ± 7,6580 ml). Nilai MRT meningkat pada EERK, kontrol (967,6589 ± 28,0171 menit); 20 mg/kg bb (1040,1964 ± 44,7328 menit); 40 mg/kg bb (1210,8529 ± 72,8713 menit); 80 mg/kg bb (1559,0302 ± 111,4972 menit).

Berdasarkan hasil di atas, disimpulkan bahwa EERK mempengaruhi profil farmakokinetika natrium diklofenak yang menunjukkan kemampuan EERK terhadap penghambatan metabolisme sebagai enzim inhibisi.

(16)

THE EFFECT OF EXTRACT Kaempferiae galangae L ON THE PHARMACOKINETIC PROFIL OF SODIUM DIKLOFENAC AT THE

EXPERIMENTAL WITH WHITE RATS ABSTRACT

Diclofenac sodium has antirheumatic activity, anti-inflammatory and analgesic – antipyretic. Rhizome extract as a potent anti-inflammatory

Kaempferiae galangae L where the higher dose given Kaempferiae galangae L extract the smaller the percentage of inflammation that occurs, Seeing the effect of synergism between Kaempferiae galangae L with diclofenac sodium, the purpose of this research is on EERK administration for 7 days in a row can affect the metabolism of diclofenac.

Extraction is done with 96 % ethanol, then made a dose of 20 mg / kg bw, 40 mg / kg bw and 80 mg / kg bw. Research done by providing a solution for 7 consecutive days and on day 7 after 4 hours and then given oral diclofenac sodium. Further blood each male rat was taken with various time intervals and measured by UV spectrophotometry wavelength 276 nm.

The results showed differences between treatments in mice. Where Cmax values increased in EERK administration of a of 20 mg/kg bw (8.1203 ± 0.6907 mcg/ml), 40 mg/kg bw (10.5922 ± 0.8404 mcg/ml), 80 mg/kg bw (12.7621 ± 0.4303 mcg/ml), controls (7.4420 ± 0.2335 mcg/ml). AUC values greater than EERK 20 mg/kg bw (9669.2869 ± 978.3981 mcg/ml.minute), 40 mg/kg bw (14571.0840 ± 1376.9879 mcg/ml.minute), 80 mg/kg bw (21772.6671 ± 2073.7437 mcg/ml.minute), control (8350.0142 ± 100.2482 mcg/ml. minute), EERK could decrease the value of CL, 20 mg/kg bw (0.0491 ± 0.0066 ml/minute), 40 mg/kg bw (0.0321 ± 0.0047 ml/minute), 80 mg/kg bw (0.0209 ± 0.0045 ml/minute), control (0.0573 ± 0.0075 ml/minute). Vd values decreased, EERK 20 mg/kg bw (49.4431 ± 7.0101 ml), 40 mg/kg bw (37.8919 ± 3.6637 ml), 80 mg/kg bw (31.6582 ± 6.4912 ml), controls (53.3887 ± 7.6580 ml). MRT values increased, control (967.6589 ± 28.0171 menit), 20 mg/kg bw (1040.1964 ± 44.7328 minute), 40 mg/kg bw (1210.8529 ± 72.8713 minute), 80 mg/kg bw (1559.0302 ± 111.4972 minute).

Based on the above results, it was concluded that EERK affect the pharmacokinetics of diclofenac sodium profile, the ability EERK on the inhibition of metabolism as enzyme inhibitor.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Fase farmakokinetika berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam

tubuh dan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil

keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan aktivitas

terapeutik obat (Aiache, 1993).

Dalam praktek terapeutik, suatu obat harus mencapai tempat kerja yang

diinginkan setelah masuk ke dalam tubuh dengan jalur tertentu. Obat harus

diabsorpsi ke dalam darah dari tempat pemberiannya dan didistribusikan

ketempat kerjanya, sesudah memberikan efek harus dikeluarkan dengan

kecepatan tertentu melalui inaktivasi metabolik, melalui ekskresi dari tubuh

atau gabungan kedua proses ini yang dikenal dengan nama eliminasi (Katzung,

1998).

Tanaman merupakan sumber kekayaan alam yang potensial di

Indonesia. Pendayagunaan obat asal tanaman akan memberikan keuntungan

yang besar bagi masyarakat dibandingkan dengan obat-obat sintetis, karena

biaya pengobatan akan lebih murah (Gholib, 2009).

Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tumbuhan yang dikembangkan sebagai tanaman obat asli Indonesia. Rimpang kencur

(18)

bisul. Tanaman ini termasuk kelas Monocotyledoneae, bangsa Zingiberales,

suku Zingiberaceae, dan marga Kaempferia(Winarto, 2007).

Sulaiman, dkk., (2007), menyatakan bahwa rimpang kencur dapat

digunakan untuk hipertensi, rematik, dan asma. Menurut Hasanah, dkk.,

(2011), bahwa ekstrak rimpang kencur berkhasiat sebagai antiradang dimana

semakin tinggi dosis ekstrak rimpang kencur yang diberikan maka semakin

kecil persentase radang yang terjadi dan semakin tinggi pula persentase inhibisi

radangnya atau semakin tinggi dosis ekstrak maka semakin baik efeknya

sebagai antiinflamasi.

Natrium diklofenak mempunyai aktivitas antirematik, antiradang dan

analgetik-antipiretik. Digunakan terutama untuk mengurangi rasa nyeri akibat

peradangan pada berbagai rematik dan kelainan degeneratif pada sistem otot

rangka. Diklofenak diserap secara cepat dan sempurna di dalam lambung,

kadar plasma tertinggi dicapai 2 jam setelah pemberian oral, dengan waktu

paruh antara 1 - 3 jam (Anonim, 2007).

Natrium diklofenak merupakan derivat sederhana fenil asetat yang

termasuk Non-Steroid Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) yang terkuat antiradangnya, tetapi mempunyai efek samping pada pemakaian sediaan obat

konvensional dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan pendarahan pada

saluran cerna (Insel, 1996).

Berdasarkan uraian di atas, melihat efek dari ekstrak rimpang kencur

sebagai antiradang, diharapkan efek sinergisme dengan natrium diklofenak

(19)

dapat diketahui berapa dosis ekstrak rimpang kencur yang diberikan sebagai

dosis natrium diklofenak tunggal dan mengurangi efek samping dari natrium

diklofenak tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

a. apakah ada pengaruh pemberian ekstrak rimpang kencur terhadap

perubahan parameter farmakokinetik natrium diklofenak?

b. apakah pemberian ekstrak rimpang kencur dapat mempengaruhi proses

metabolisme natrium diklofenak?

c. apakah ekstrak rimpang kencur dapat mengurangi efek samping

natrium diklofenak?

1.3 Hipotesis

a. ekstrak rimpang kencur mempengaruhi parameter farmakokinetik

natrium diklofenak pada hewan tikus.

b. ekstrak rimpang kencur mempengaruhi proses metabolisme natrium

diklofenak pada hewan tikus.

c. ekstrak rimpang kencur dapat mengurangi efek samping dari natrium

diklofenak?

1.4 Tujuan Penelitian

a. melihat pengaruh pemberian ekstrak rimpang kencur selama 7 hari

berturut-turut terhadap profil farmakokinetik natrium diklofenak pada

(20)

b. mengetahui apakah pemberian ekstrak rimpang kencur dapat

mempengaruhi proses metabolisme natrium diklofenak pada hewan

tikus.

c. mengetahui apakah pemberian ekstrak rimpang kencur dapat

mengurangi efek samping natrium diklofenak

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

terhadap penggunaan ekstrak rimpang kencur selama 7 hari berturut-turut akan

mempengaruhi aktivitas enzim pemetabolisme di dalam tubuh sehingga efek

(21)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Simplisia

1. Pemeriksaan makroskopik 2. Pemeriksaan mikroskopik 3. Penetapan kadar air 4. Penetapan kadar abu total 5. Penetapan kadar abu tidak

larut dalam asam

6. Penetapan kadar sari larut dalam air

7. Penetapan kadar sari larut dalam etanol

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Natrium diklofenak

Menurut USP XXX (2007), sifat fisikokimia dari Natrium diklofenak adalah:

Gambar 2.1 Rumus struktur Natrium diklofenak Rumus molekul : C14H10Cl2NO2Na

Nama Kimia : (2- (2,6-diklorophenyl) amino benzeneacetic acid)

Berat Molekul : 318,13

Pemerian : Serbuk hablur, berwarna putih, tidak berasa

Diklofenak merupakan derivat fenil asetat dan termasuk NSAID yang

terkuat daya anti-radangnya dengan efek samping yang lebih kecil

dibandingkan dengan obat lainnya. Obat ini sering digunakan untuk segala

macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Lagi pula secara parenteral sangat

efektif untuk menanggulangi rasa nyeri hebat (Tjay dan Rahardja, 2002).

NSAID berkhasiat analgetis, antipiretik serta anti radang, dan sering

sekali digunakan untuk menghalau gejala penyakit rematik, seperti artrosis dan

spondylosis. Obat ini efektif untuk peradangan lain akibat trauma (pukulan,

benturan, kecelakaan), juga misalnya setelah pembedahan atau pada memar

(23)

minum sedini mungkin dalam dosis yang cikup tinggi (Tjay dan Rahardja,

2002).

Cara kerja NSAID untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintetis

prostaglandin, dimana kedua jenis cyclo-oxygenase (COX) di blokir. NSAID

ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1

(perlindungan mukosa lambung), lagipula menghambat lipo-oxygenase

(pembentukan leukotrien) (Tjay dan Rahardja, 2002). Diklofenak adalah

inhibitor COX yang memiliki afinitas lebih besar untuk COX-2 dibanding

COX-1. Diklofenak menghambat sintesa prostaglandin, dan juga mengurangi

pembentukan leukotrien, yang dapat memberikan kontribusi kepada aktivitas

anti-inflamasi. Obat ini waktu paruhnya pendek pada sebagian besar spesies,

termasuk manusia, tetapi terakumulasi di situs peradangan, dimana mencapai

konsentrasi yang lebih tinggi di non-peradangan jaringan, dan sama dengan

yang dicapai dalam plasma (Veterinaria, 2006).

Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit

kepala sama seperti semua obat NSAID. Pemakaian obat ini harus berhati-hati

pada penderita tukak lambung. Peningkatan enzim transaminase dapat terjadi

pada 15% pasien dan umumnya kembali ke normal. Pemakaian selama

kehamilan tidak dianjurkan (Wilmana, 2005).

2.2Uraian Tumbuhan

Kencur merupakan terna kecil yang tumbuh subur di daerah dataran

rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur (Armando, 2009). Kencur

(24)

digolongkan sebagai salah satu jenis temu – temuan yang mempunyai daging

buah paling lunak dan tidak berserat.

2.2.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan kencur menurut Depkes (2001) adalah sebagai

berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Kaempferia

Jenis : Kaempferia galanga L. 2.2.2 Morfologi Tumbuhan

Terna yang hampir menutupi tanah, tidak berbatang, rimpang

bercabang-cabang, berdesak-desakan, akar-akar berbentuk gelendong,

kadang-kadang berumbi, panjang 1 cm sampai 1,5 cm. Setiap tanaman berdaun

sebanyak 1 sampai 3 (umumnya 2 ) helai, lebar merata, dan hampir menutupi

tanah, daun berbentuk jorong lebar sampai hampir bundar, pangkal hampir

berbentuk jantung, ujung mendadak lancip, bagian atas tidak berambut, bagian

bawah berambut halus, pinggir bergelombang berwarna merah kecoklatan,

bagian tengah berwarna hijau, pelepah terbenam dalam tanah, warna putih.

Memiliki bunga dengan panjang 4 cm dan mengandung 4 sampai 12 bunga

(25)

2.2.3 Kandungan Kimia

Rimpang tumbuhan kencur (Kaempferia galanga L.) mengandung saponin, flavonoida, polifenol, dan minyak atsiri (Depkes, 2001).

Kandungan minyak atsiri dari rimpang tumbuhan kencur terdiri dari borneol,

metil p-coumaric acid, cinnamid ethyl ester, pentadecane, cinnamal dehyde,

dan camphene (Muhlisah, 1999).

2.3 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi

zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang

sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang

telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

Metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) dan Syamsuni (2006)

ada beberapa cara, yaitu: cara dingin dan cara panas.

2.3.1 Cara dingin a. Maserasi

Maserasi merupakan suatu proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada

temperatur ruangan (kamar).

(26)

Perkolasi merupakan suatu cara penyarian simplisia dengan menggunakan

perkolator di mana simplisianya terendam dalam pelarut yang selalu baru dan

umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Prosesnya terdiri dari tahapan

pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan dan penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak

(perkolat).

2.3.2 Cara panas a. Refluks

Refluks merupakan suatu cara ekstraksi dengan pelarut pada temperatur

titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi merupakan suatu cara ekstraksi kontinu dengan menggunakan

alat soklet, di mana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin,

kemudian jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat soklet.

Tabung sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika mencapai bagian

atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu.

c. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, umumnya dilakukan pada

suhu 40-50oC.

(27)

Infus merupakan suatu cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90oC selama 15 menit.

e. Dekok

Dekok merupakan suatu cara ekstraksi pada suhu 90oC dengan

menggunakan pelarut air selama 30 menit.

2.4 Farmakokinetik

Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu

menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase

disposisinya. Selain itu, profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di

dalam tubuh. Oleh karena fenomena penyerapan zat aktif dari darah menuju

jaringan dapat terjadi secara bolak-balik (reversible), maka selalu terjadi

hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi

zat aktif dalam darah (Aiache, 1993).

2.4.1 Absorbsi

Obat-obat yang diberikan peroral akan di absorpsi bila molekul obat

berada dalam bentuk terlarut. Molekul obat mula-mula berikatan dengan

mukosa lambung atau usus, kemudian obat mencapai lapisan yang lebih dalam

dari membran sel tapi belum sampai ke pembuluh darah. Penyerapan obat

dapat terjadi di lambung atau usus halus. Penyerapan obat di lambung

tergantung pada keadaan lambung yang penuh dan kosong. Saat saluran

(28)

di usus halus. Selanjutnya obat akan menembus dinding pembuluh darah dan

masuk ke dalam sirkulasi darah (Aiache, 1993).

Natrium diklofenak di absorpsi melalui saluran cerna yang berlangsung

cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami

efek metabolisme lintas pertama (first pass effect = FPE). Walaupun waktu paruhnya singkat yakni sekitar 1-3 jam, Natrium diklofenak diakumulasi di

cairan synovial yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari

waktu paruh obat tersebut (Altaher, 2005).

2.4.2 Distribusi

Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditransfer lebih

lanjut bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat perubahan

konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat meninggalkan pembuluh darah

dan terdistribusi ke dalam jaringan (Mutscler, 1985).

Obat setelah masuk ke dalam peredaran darah akan disebarkan ke

seluruh bagian tubuh melalui aliran darah. Pada tahap ini sebagian obat dapat

berikatan dengan protein darah dan membentuk kompleks obat protein yang

reversible dan umumnya melibatkan albumin. Obat yang terikat dengan protein

merupakan suatu kompleks besar yang tidak dapat melewati membran sel

dengan mudah sehingga tidak aktif secara farmakologik. Sebaliknya obat

bentuk bebas atau tidak terikat dapat melewati membran sel dan didistribusikan

ke semua jaringan, dimana obat dapat berinteraksi dengan reseptor uuntuk

(29)

2.4.3 Metabolisme

Dalam hati, seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi

secara enzimatis dan hasil perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang

aktif (Tjay dan Rahardja, 2002). Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat

yaitu induksi enzim yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi.

Selain itu inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim,

biotranformasi obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat,

menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi

obat) juga berpengaruh terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang

dimetabolisir oleh sistem enzim yang sama (Hinz, 2005).

Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum

masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak,

jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di dalam lever terdapat enzim khusus

yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya.

Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan

cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan lain-lain. Hal ini

akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat

yang mengalami first pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di hasilkan juga berkurang (Hinz, 2005).

Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air

dibandingkan molekul awal. Perubahan sifat fisiko kimia ini paling sering

dikaitkan dengan penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda

(30)

mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik berupa peningkatan

maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993).

2.4.4 Ekskresi

Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh

ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat diekskresi berupa

metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh. Tapi

adapula beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-paru

melalui pernafasan dan melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.5Parameter Farmakokinetika

a. T maksimum (tmaks) yaitu waktu konsentrasi plasma mencapai puncak

dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi

obat maksimum setelah pemberian obat. Pada tmaks absorpsi obat adalah

terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi

masih berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat.

Harga tmaks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk

mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih

cepat (Shargel, 2005).

b. Konsentrasi plasma puncak (Cmaks) menunjukkan konsentrasi obat

maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa

obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan

konsentrasi obat dalam plasma. Konsentrasi plasma puncak memberi suatu

petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu

(31)

c. Menurut Holford (1998), Volume Distribusi (Vd) adalah volume yang

didapatkan pada saat obat didistribusikan. Volume distribusi yang diperoleh

mencerminkan suatu keseimbangan antara ikatan pada protein plasma yang

meningkatkan konsentrasi plasma dan membuat volume distribusi menjadi

lebih kecil.

d. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang

menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu.

e. MRT merupakan waktu keberadaan obat dalam tubuh

f. Tetapan Laju Eliminasi dan Waktu Paruh dalam Plasma

Waktu paruh dalam plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam

darah (plasma) menurun hingga separuh dari nilai seharusnya.

g. Klirens

Klirens suatu obat adalah faktor yang memprediksi laju eliminasi obat dari

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan terhadap rimpang kencur (Kaempferia galangal L)berdasarkan metode eksperimental dengan tahapan penelitian yaitu penyiapan tumbuhan, pemeriksaan karakteristik simplisia, pemeriksaan

skrining fitokimia simplisia, pembuatan ekstrak, pemberian obat kepada

hewan, pengambilan darah, pengukuran dengan spektrofotometer ultraviolet.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas laboratorium, blender

(National), lemari pengering, perkolator, oven, cawan penguap, Rotary evaporator (Heidolph VV-300), oral sonde, timbangan hewan (GW-1500), pisau cukur, neraca analitik (Mettler Toledo), tabung sentrifug, rak tabung, alat vortex, alat sentrifuge (Velocity 18R), spuit, labu tentukur, pipet tetes, spektrofotometer UV (Shimadzu UV 1800), stamfer dan mortir, stopwatch. 3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades,

natrium diklofenak (PT. Dexa Medica), ekstrak kencur, natrium klorida

(E-merck), etanol 96%, trikloroacid, heparin, karboksi metil selulosa (CMC).

3.3 Penyiapan Tumbuhan 3.3.1 Pengambilan tumbuhan

Pengambilan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rimpang kencur yang masih segar yang diperoleh dari pasar pagi Tanjung Sari,

(33)

3.3.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense

Laboratorium Penelitian Biologi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara,

Medan.

3.3.3 Pengolahan tumbuhan

Rimpang kencur yang masih segar dibersihkan dari kotoran atau bahan

asing lainnya kemudian dicuci dengan air bersih lalu ditiriskan dan ditimbang

sebagai berat basah. Lalu dirajang ± 1-4 mm dan dikeringkan dalam lemari

pengering hingga kering ditandai dengan rimpang mudah dipatahkan dan

ditimbang sebagai berat kering. Irisan rimpang kencur kering diblender hingga

menjadi serbuk dan ditimbang sebagai berat serbuk simplisia. Lalu disimpan

dalam wadah plastik, diberi etiket dan disimpan ditempat kering.

3.4 Pemeriksaan karakteristik simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik,

mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air,

penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, dan

penetapan kadar abu tidak larut dalam asam (Ditjen POM, 1995).

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik

Pemeriksaan makroskopik dan organoleptik dilakukan dengan

mengamati bentuk, rasa, bau, dan warna dari simplisia rimpang kencur.

3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia rimpang

(34)

telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup,

selanjutnya diamati di bawah mikroskop.

3.4.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung

penyambung dan tabung penerima 10 ml.

Caranya: Sebanyak 200 ml toluena dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam

labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi

selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit,

kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml

(WHO, 1992). Kemudian sebanyak 5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam

labu lalu dipanaskan selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan

tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi,

kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah

semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi

dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan dingin pada

suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca

dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan

kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung

dalam persen (Ditjen POM, 1995).

3.4.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air

(35)

bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan

selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai

kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan

dalam oven pada suhu 105ºC sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang

larut di dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen

POM, 1995).

3.4.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml

etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam

pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml

filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata

yang telah ditara. Sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105ºC sampai

diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut di dalam air dihitung terhadap

bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).

3.4.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam kurs porselen yang

telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Kurs dipijarkan hingga arang

habis, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap.

Kadar abu total dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM,

1995).

3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan

(36)

asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan hingga bobot

tetap kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam

asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).

3.5 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa

golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.

3.5.1 Pemeriksaan flavanoid

Sebanyak 10 g simplisia ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan

selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat

ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml

amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika warna

merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.5.2 Pemeriksaan alkaloid

Simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam

klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2

menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk uji

alkaloida: diambil 3 tabung reaksi, lalu kedalamannya dimasukkan 0,5 ml

filtrat.

Pada masing-masing tabung reaksi:

1. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer

2. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

(37)

Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua

dari tiga percobaan diatas (Ditjen POM, 1995).

3.5.3 Pemeriksaan saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian

dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang

stabil tidak kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1

tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995).

3.5.4 Pemeriksaan tanin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dididihkan selama 30 menit

dalam 100 ml air suling lalu didinginkan dan disaring. Pada filtrat ditambahkan

1 - 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau

hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.5.5 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml

campuran etanol 96%-air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama

30 menit, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml

air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5

menit, lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran

kloroform-isopropanol (3:2) sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan pada

temperatur tidak lebih dari 500C, sisanya dilarutkan dengan 2 ml metanol.

Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut, yaitu 0,1 ml larutan

(38)

Sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish, kemudian ditambahkan perlahan

2 ml asam sulfat, terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan,

menunjukkan adanya ikatan gula (Ditjen POM, 1995).

3.5.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml

nheksan selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan

pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding

cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru

ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne,

1987).

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (EERK)

Pembuatan ekstrak etanol rimpang kencur dilakukan dengan metode

perkolasi. Caranya 350 g serbuk simplisia dimaserasi dengan etanol 96%

selama 3 jam. Selanjutnya dipindahkan massa tersebut sedikit demi sedikit ke

dalam perkolator, tambahkan etanol 96% secukupnya hingga simplisia

terendam dan terdapat cairan penyari di atasnya, perkolator ditutup dengan

aluminium foil dan dibiarkan selama 24 jam. Kemudian kran perkolator dibuka

dan dibiarkan cairan ekstrak menetes dengan kecepatan 20 tetes per menit dan

ditambahkan etanol 96% berulang-ulang secukupnya sehingga selalu terdapat

selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi dihentikan jika 500 mg

perkolat yang keluar terakhir diuapkan, tidak meninggalkan sisa. Perkolat

(39)

dari 50oC menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental

sebanyak 56,87 g (Ditjen POM, 1995).

3.7. Pembuatan Diklofenak Baku

3.7.1 Pembuatan larutan induk baku I natrium diklofenak

Timbang seksama sejumlah 50 mg Natrium diklofenak baku,

dimasukan kedalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan dengan NaOH 0,1 N

hingga garis tanda. Dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan

dengan konsentrasi 500 mcg/ml.

3.7.2 Pembuatan larutan induk baku II natrium diklofenak

Pipet dari LIB I sebanyak 10 ml, dimasukan kedalam labu tentukur 50

ml, dicukupkan dengan NaOH 0,1 N hingga garis tanda. Dikocok sampai

homogen sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 100 mcg/ml.

3.7.3 Pengukuran panjang gelombang absorpsi maksimum di dalam larutan NaOH 0,1 N

Larutan natrium diklofenak dibuat dengan konsentrasi 13 mcg/mL

dengan memipet 6,5 ml dari LIB II dimasukan kedalam labu tentukur 50 ml,

lalu di tambahkan larutan NaOH 0,1 N. Serapan larutan tersebut diukur pada

panjang gelombang 200 - 400 nm dengan alat spektrofotometer ultraviolet.

3.7.4 Pembuatan kurva baku natrium diklofenak pada panjang gelombang maksimum

Pembuatan kurva baku natrium diklofenak pada panjang gelombang

maksimum dilakukan dengan cara:

Dipipet larutan dari LIB II berturut-turut 2,0; 2,5; 3; 3,5; dan 4 ml larutan

(40)

14; dan 16 mcg/ml. Larutan diukur serapan nya pada panjang gelombang yang

sesuai dengan hasil pengukuran panjang gelombang maksimum.

3.8 Pembuatan Suspensi

3.8.1 Pembuatan suspensi Na-CMC 1%

Ditimbang sebanyak 1 gram Na-CMC lalu ditaburkan dalam lumpang

yang berisi 20 ml akuades panas. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh

massa yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan

aquadest dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian

dicukupkan volumenya dengan akuades hingga 100 ml.

3.8.2 Pembuatan suspensi natrium diklofenak 0,05%

Ditimbang sebanyak 50 mg Natrium diklofenak baku, masukan dalam

lumpang kemudian ditambahkan suspensi Na-CMC 1 % digerus sampai

homogen. Dituang kedalam labu tentukur 100 ml, ditambah Na-CMC 1 %

sampai batas tanda, kocok hingga homogen.

3.8.3 Penyiapan suspensi ekstrak etanol rimpang kencur (EERK) 1% Ditimbang sebanyak 250 mg ekstrak etanol rimpang kencur,

dimasukkan ke dalam lumpang, ditambahkan sedikit suspensi Na-CMC 1%

digerus kemudian dihomogenkan. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml,

ditambah suspensi Na-CMC 1% sampai batas tanda.

3.9 Perlakuan Terhadap Hewan Tikus

Tikus jantan sebanyak 20 ekor dengan berat badan 150-300 g

dikelompokkan secara acak menjadi 4 kelompok, yang masing-masing

(41)

Kelompok I : Diberikan suspensi natrium diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb

Kelompok II : Diberikan suspensi EERK dosis 20 mg/kg bb dan natrium

diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb

Kelompok III : Diberikan suspensi EERK dosis 40 mg/kg bb dan natrium

diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb

Kelompok IV : Diberikan suspensi EERK dosis 80 mg/kg bb dan natrium

diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb

3.9.1 Pemberian natrium diklofenak tanpa EERK pada hewan tikus 1. Sebelum digunakan tikus dipuasakan selama 14 jam.

2. Hewan uji diberikan larutan natrium diklofenak secara peroral

dengan menggunakan oral sonde dengan dosis 2,25 mg/kg bb.

3. Rambut pada ekor tikus dicukur terlebih dahulu.

4. Masing-masing hewan uji diambil darahnya sebanyak 0,5 ml dari

vena bagian ekor tikus secara venaseksi dengan spuit yang terisi

heparin dengan interval waktu 15 menit; 30 menit; 45 menit; 75

menit; 105 menit; 135 menit; 195 menit; 255 menit; 315 menit; 435

menit; 555 menit; 675 menit. Kemudian divorteks dan disentrifug.

Hasil sentrifug ditambahkan TCA 20% sebanyak 1 ml lalu divorteks

dan disentrifug pada 3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan

plasmanya dan diambil supernatan kemudian ukur absorbansi

(42)

3.9.2 Pemberian natrium diklofenak dan EERK pada hewan tikus selama 7 hari berturut-turut

1. Pada kelompok perlakuan masing-masing hewan diberi ekstrak

kencur dengan dosis 20 mg/kg bb, 40 mg/kg bb, 80 mg/kg bb selama

7 hari berturut-turut secara peroral dengan menggunakan oral sonde.

2. Sebelum digunakan tikus dipuasakan selama 14 jam

3. Kemudian pada hari ke-7 setelah 4 jam pemberian ekstrak kencur

diberi larutan obat natrium diklofenak dosis 2,25 mg/kg bb secara

oral.

4. Selanjutnya dilakukan sama seperti sub point 2.9.1 nomor 3 dan 4.

3.10 Analisis Data

Data hasil penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan metode

ANAVA (analisis variansi) dengan tingkat kepercayaan 95%, dilanjutkan

dengan uji Duncan untuk mengetahui kelompok mana yang mempunyai

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak

Berdasarkan identifikasi yang dilakukan di Herbarium Medanense

Laboratorium Penelitian Biologi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara,

Medan identitas sampel tumbuhan yang diteliti adalah Kaempferia galanga L suku Zingiberaceae yang dikenal masyarakat dengan nama Kencur. (Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1).

Hasil pemeriksaan makroskopik dan organoleptik simplisia rimpang

kencur yaitu, bentuk pipih, memiliki bau khas aromatik, rasa pedas dan hangat,

bagian luar berwarna coklat kemerahan, bagian dalam berwarna putih

kekuningan sampai kecoklatan, bagian tepi berombak dan berkeriput (Hasil

dapat dilihat pada lampiran 4).

Hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia tumbuhan

rimpang kencur mempunyai warna putih kecoklatan sampai coklat dan terdapat

parenkim, parenkim yang berisi sel minyak, pembuluh kayu dengan penebalan

spiral, terdapat periderm, periderm dengan parenkim, serta pembuluh kayu

dengan penebalan spiral, dan butir pati yang mempunyai bentuk bulat seperti

(44)

Keterangan: 1. Periderm

2. Pembuluh kayu dengan penebalan spiral 3. Sel minyak

4. Parenkim dengan sel minyak 5. Periderm dengan parenkim

Keterangan: 1. Butir pati

Gambar 4.1 Hasil Mikroskopik Serbuk Rimpang Kencur

1

1 2

3

4

(45)

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia rimpang kencur dapat dilihat

pada Tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia rimpang kencur

No Parameter

Hasil karakterisasi rimpang kencur dan ekstrak rimpang kencur

memenuhi persyaratan yang tercantum pada Materia Medika Indonesia dan

Farmakope Herbal Indonesia. Persyaratan kadar air pada simplisia rimpang

kencur yaitu < 10 dan kadar air pada simplisia rimpang kencur sebesar 5,99%

dan kadar air pada ekstrak rimpang kencur sebesar 7,9%. Penetapan kadar air

ini bertujuan untuk melindungi simplisia dari cemaran mikroorganisme.

Penetapan kadar sari larut larut dalam air pada simplisia rimpang

kencur juga memenuhi persyaratan Materia Medika Indonesia yaitu > 14

dimana kadar sari larut air sebesar 15,8% dan kadar dari ekstrak rimpang

kencur sebesar 69,6%. Kadar sari larut dalam etanol pada simplisia rimpang

kencur sebesar 7,03% dan syarat pada Meteria Medika Indonesia yaitu > 4.

Sementara pada ekstrak rimpang kencur sebesar 40,77%. Syarat kadar sari larut

(46)

diharapkan untuk hasil karakterisasi ini dapat digunakan sebagai pembanding

dalam pembuatan ekstrak.

Kadar abu total pada simplisia rimpang kencur sebesar 6,98% dan

ekstrak rimpang kencur sebesar 0,42% . Tujuan dari penetapan kadar abu total

untuk mengetahui kadar mineral, kalium dan magnesium yang tidak larut

(Diharmi, dkk., 2011). Kadar abu larut asam pada simplisia rimpang kencur

sebesar 1,36%, pada ekstrak rimpang kencur sebesar 0,12%. Sementara kadar

abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang

sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika (Diharmi, dkk., 2011).

4.2 Skrining Fitokimia

Tujuan dilakukannya skrining fitokimia adalah untuk mengetahui

senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia (Harborne, 1996).

Hasil skrining fitokimia dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia Rimpang Kencur

Ket: + = Memberikan hasil - = Tidak Memberikan hasil

Berdasarkan hasil skrining fitokomia serbuk simplisia rimpang kencur

(47)

Menurut Kurniawati, (1995) flavonoid bekerja menghambat fase

penting dalam biosintesis prostaglandin, yaitu pada lintasan siklooksigenase.

Flavonoid juga menghambat fosfodiesterase, aldoreduktase, monoamine

oksidase, protein kinase, DNA polymerase dan lipooksigenase. Mekanisme

flavonoid dalam menghambat proses terjadinya inflamasi melalui dua cara,

yaitu dengan menghambat permeabilitas kapiler dan menghambat metabolisme

asam arakidonat dan sekresi enzim lisosom dari sel neutrofil dan sel

endothelial (Kurniawati, 2005).

Rimpang kencur yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 8 kg,

yang selanjutnya dikeringkan dalam lemari pengering dengan temperatur ±

40oC sampai kering dan diperoleh berat simplisia sebesar 750 g.

Hasil penyarian 350 g serbuk simplisia rimpang dengan pelarut etanol

96% diperoleh ekstrak kental yang kemudian diuapkan dengan menggunakan

rotary evaporator dan kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer diperoleh 56,87 g ekstrak (rendemen 16,24%).

4.3 Nilai Kadar Rata-rata Natrium Diklofenak dalam plasma

Penentuan kadar natrium diklofenak dilakukan dengan menggunakan

darah tikus. Dari hasil pengukuran kadar rata-rata untuk perlakuan natrium

diklofenak dalam plasma tanpa EERK dan perlakuan natrium diklofenak

dengan pemberian EERK dosis 20 mg/kg bb, 40 mg/kg bb, 80 mg/kg bb

selama 7 hari berturut-turut yang menggunakan spektrofotometri ultraviolet

(48)

Tabel 4.3 Nilai kadar rata-rata ±sd terhadap waktu natrium diklofenak dalam plasma tikus putih jantan

Tabel 4.3 dapat digambarkan kadar rata-rata (Log C) vs Waktu (t)

natrium diklofenak dalam plasma tanpa eerk dan perlakuan natrium diklofenak

dengan pemberian EERK dosis 20 mg/kg bb, 40 mg/kg bb, 80 mg/kg bb

selama 7 hari berturut-turut seperti yang terlihat pada Gambar 4.2 di bawah ini.

Gambar 4.2 Nilai kadar rata-rata (Log C) vs waktu (t) natrium diklofenak dalam plasma tikus putih jantan

1

EERK dosis 20 mg/kg bb

EERK dosis 40 mg/kg bb

EERK dosis 80 mg/kg bb No Waktu

Rata-rata kadar (mcg/ml) ± SD Kontrol (Na.

diklofenak tanpa EERK)

Na. diklofenak + EERK dosis 20

mg/kg bb

Na. diklofenak + EERK dosis 40

mg/kg bb

(49)

Hasil dari rata-rata kadar natrium diklofenak kemudian digunakan

untuk menghitung nilai parameter farmakokinetika natriun diklofenak dalam

plasma tanpa EERK dan perlakuan natrium diklofenak dengan pemberian

EERK dosis 20 mg/kg bb, 40 mg/kg bb, 80 mg/kg bb selama 7 hari

berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4 Data rata-rata parameter farmakokinetika natrium diklofenak dalam plasma tikus putih jantan untuk setiap perlakuan

No Parameter Farmakokinetika

Kontrol (Na. Diklofenak tanpa EERK)

(50)

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat adanya perbedaan dari masing-masing

perlakuan. Konsentrasi obat maksimum dalam plasma (Cmaks) merupakan

petunjuk bahwa obat diabsorpsi secara sistemik untuk memberikan suatu

respon terapeutik dan menunjukan kemungkinan adanya kadar toksik obat

dalam tubuh. Nilai Cmaks tergantung oleh dosis (D0), volume distribusi (Vd),

tetapan laju eliminasi obat (Kel), dan tmaks. Nilai Cmaks dari natrium diklofenak

dalam plasma mengalami peningkatan secara bermakna (p<0,05) pada

perlakuan dengan ekstrak rimpang kencur. Peningkatan nilai Cmaks dapat dilihat

pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Peningkatan nilai Cmaks (mcg/ml) terhadap rata-rata tiap

perlakuan pada tikus putih jantan

Nilai Cmaks pada kontrol adalah 7,4420 ± 0,2335 mcg/ml, perlakuan

dengan pemberian ekstrak kencur dosis 20 mg/kg bb sebesar 8,1203 ± 0,6907

mcg/ml, dosis 40 mg/kg bb meningkat menjadi 10,5922 ± 0,8404 mcg/ml, dan

dosis 80 mg/kg bb mengalami peningkatan menjadi 12,7621 ± 0,4303 mcg/ml.

Hasil penelitian menunjukan jumlah Cmaks meningkat diakibatkan jumlah

absorpsi yang meningkat. 0

2 4 6 8 10 12 14

C

mak

s

Perlakuan

kontrol

EERK dosis 20 mg/kg bb

EERK dosis 40 mg/kg bb

(51)

Luas area di bawah kurva (AUC) merupakan salah satu parameter

bioavaibilitas obat, dimana AUC 0-∞ menunjukan jumlah obat aktif yang berada

pada sirkulasi sistemik. Nilai AUC 0-∞ dipengaruhi oleh jumlah total obat yang

tersedia dan klirens (CL). Bila nilai AUC 0-∞ meningkat maka nilai CL

menurun (Shargel dan Yu, 1998).

Pada hasil penelitian menunjukan nilai AUC 0-∞ pada pemberian ekstrak

kencur dari dosis 20 mg/kg bb, 40 mg/kg bb, dan 80 mg/kg bb menyebabkan

peningkatan nilai AUC 0-∞ secara bermakna (P < 0,05)dari natrium diklofenak

dalam plasma. Nilai AUC 0-∞ kontrol sebesar 8350,0142 ± 100,2482

mcg/ml.menit, pada perlakuan EERK dosis 20 mg/kg bb sebesar 9669,2869 ±

978,3981 mcg/ml.menit, perlakuan EERK dosis 40 mg/kg bb sebesar

14571,0840 ± 1376,9879 mcg/ml.menit dan nilai AUC 0-∞ pada perlakuan

EERK dosis 80 mg/kg bb lebih meningkat dari perlakuan dosis 40 mg/kg bb

dan 20 mg/kg bb yaitu 21772,6671 ± 2073,7437 mcg/ml.menit. Peningkatan

nilai AUCdapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Peningkatan nilai AUC (mcg/ml.menit) terhadap rata-rata tiap 0

EERK dosis 20 mg/kg bb

EERK dosis 40 mg/kg bb

(52)

Nilai MRT juga mengalami perbedaan bermakna (p<0,05) antara

kontrol dengan perlakuan pemberian EERK. Nilai MRT pada kontrol adalah

967,6589 ± 28,0171 menit, sedangkan perlakuan dengan pemberian EERK

dosis 20 mg/kg bb meningkat 1040,1964 ± 44,7328 menit, EERK dosis 40

mg/kg bb 1210,8529 ± 72,8713 menit, dan perlakuan EERK dosis 80 mg/kg bb

1559,0302 ± 111,4972 menit.

Nilai MRT menggambarkan waktu rata-rata obat berada dalam tubuh.

Nilai MRT yang meningkat terhadap perlakuan ekstrak kencur menyebabkan

obat tidak berubah dan lebih lama berada di dalam tubuh sehingga nilai AUC

0-∞ dan C

maks meningkat sedangkan laju eliminasi dan klirens menurun (Shargel

dan yu, 1988). Hal ini dapat dilihat dari penurunan nilai Kel dari 0,0011 ±

0,000028 menit-1 untuk kontrol sampai 0,0217 ± 0,0056 menit-1 pada perlakuan

eerk dosis 80 mg/kg bb. Peningkatan nilai MRTdapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Peningkatan nilai MRT (Mean Recidence Time) (menit) terhadap rata-rata tiap perlakuan pada tikus putih jantan

Pada kontrol menunjukan nilai kel yang besar yaitu 0,0011 ± 0,000029

menit-1 sedangkan pada perlakuan EERK dosis 20 mg/kg bb (0,00099 ± 0

EERK dosis 20 mg/kg bb

EERK dosis 40 mg/kg bb

(53)

0,000036 menit-1)dosis 40 mg/kg bb (0,00084 ± 0,00005 menit-1) dan dosis 80

mg/kg bb terlihat nilai kel yang semakin kecil yaitu (0,00066 ± 0,000047 menit

-1

), sehingga obat tersebut akan lebih lama untuk di eliminasi oleh tubuh.

Penurunan nilai kel ini diperjelas dengan penurunan nilai CL secara bermakna

(P < 0,05) antara kontrol dengan ekstrak rimpang kencur.

Klirens adalah ukuran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat

yang dipengaruhi oleh laju eliminasi dan kadar obat didalam plasma. Nilai CL

dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Penurunan nilai CL (Klirens) (ml/menit) terhadap rata-rata tiap perlakuan pada tikus putih jantan

Perlakuan ekstrak kencur dosis 20 mg/kg bb (0,0491 ± 0,0066

ml/menit), 40 mg/kg bb (0,0321 ± 0,0047 ml/menit) dan EERK dosis dosis 80

mg/kg bb (0,0209 ± 0,0045 ml/menit) berpengaruh secara bermakna terhadap

penurunan CL terhadap kontrol (0,0573 ± 0,0075 ml/menit). Eliminasi obat

meliputi proses metabolisme dan ekskresi, penurunan nilai klirens

menggambarkan penurunan laju eliminasi obat. Penurunan kedua parameter ini

menyebabkan proses metabolisme dan eksresi obat menjadi terhambat 0

(54)

sehingga obat bebas akan berada lebih lama didalam tubuh dan dalam jumlah

yang tinggi (Shargel dan Yu, 1998).

Volume distribusi adalah volume yang dibutuhkan untuk memuat

jumlah obat secara homogen pada konsentrasi yang ditemukan dalam darah

atau plasma. Vd dipengaruhi oleh tetapan laju eliminasi (Kel) dan klirens (CL).

Semakin kecil nilai Kel dan CL maka nilai Vd juga semakin kecil. Nilai Vd

dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Peningkatan nilai Vd (Volume distribusi) (ml) terhadap rata-rata tiap perlakuan pada tikus putih jantan

Nilai Vd menurun secara bermakna (p < 0,05) antara kontrol dan EERK

dosis 20 mg/kg bb, 40 mg/kg bb, dan 80 mg/kg bb. Hal ini menyebabkan

terjadi penurunan distribusi obat bebas ke jaringan karena obat terikat oleh

protein dalam jumlah yang besar atau tinggal dalam jaringan perifer sehingga

nilai Cmaks menjadi lebih tinggi (Shargel dan Yu, 1998). 0

10 20 30 40 50 60

V

d

(

ml

) kontrol

EERK dosis 20 mg/kg bb

EERK dosis 40 mg/kg bb

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. pemberian ekstrak rimpang kencur mempengaruhi profil

farmakokinetika natrium diklofenak yang ditandai dengan peningkatan

nilai Cmaks, AUC0-∞, MRT dan penurunan nilai Vd dan CL.

b. peningkatan nilai Cmaks pada perlakuan EERK menunjukkan

kemampuan ekstrak rimpang kencur terhadap pengaruh penghambatan

metabolisme sebagai enzim inhibisi.

c. dengan adanya kemampuan ekstrak rimpang kencur terhadap pengaruh

penghambatan metabolisme sebagai enzim inhibisi sehingga pemberian

ekstrak rimpang kencur dapat mengurangi efek samping dari narium

diklofenak.

5.2 Saran

disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menguji profil

farmakokinetik ekstrak rimpang kencur terhadap farmakokinetika obat

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M. (1993). Farmasetika 2-Biofarmasi. Edisi Kedua. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. Hal. 7-11, 39.

Altaher, A.Y. (2005). Pharmacokinetics Of Diclofenac In Sheep Following Intra Venous and Intramuscular Administration. Saudi Pharmaceutical Journal. 13(2-3): 107-108.

Anonim. (2007). Diklofenak. Maret

Armando, R. (2009). Memproduksi Minyak Atsiri Berkualitas. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 51.

Depkes, RI. (2001). Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.

Diharmi, A., Fardiaz, D., Andarwulan, N., dan Heruwati., S.E. (2011). Karakterisasi Karagenan Hasil Isolasi Euchema spinosum (Alga merah) dari Perairan Sumenep Madura. Jurnal perikanan dan kelautan, 16(1): 120.

Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 300-304, 306.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departmen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 512.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 1-5, 10-11.

Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screenning of Plants.

Journal of Pharmaceutical Science. 55(3): 257.

Gholib, D. (2009). Daya Hambat Ekstrak Kencur (Kaempferia galanga L.)

terhadap Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans

Jamur Penyebab Penyakit Kurap pada Kulit dan Penyakit Paru. Bul. Littro. 20(1): 59 – 67.

Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB Press. Hal. 147.

Gambar

Gambar Halaman
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2.1 Rumus struktur Natrium diklofenak
Gambar 4.1 Hasil Mikroskopik Serbuk Rimpang Kencur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Uji Kruskal-Wallis Test dan Man-Whitney Test pengaruh pemberian aquadest 2,5 ml/200 g BB, Na diklofenak 15 mg/kg BB, ekstrak etanol rimpang temulawak 100 mg/kg BB

Dari hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa Na diklofenak dengan kombinasi ekstrak etanol rimpang temulawak 100 mg/kg BB dan Na diklofenak 15 mg/kgBB tidak terdapat perbedaan

Data kadar dan kurva natrium diklofenak dalam plasma tiap waktu pengambilan dengan perlakuan ekstrak Bunga Pepaya Jantan 20 mg / kg

Obat ini waktu paruhnya pendek pada sebagian besar spesies, termasuk manusia, tetapi terakumulasi di situs peradangan, dimana mencapai konsentrasi yang lebih tinggi di

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang

Untuk 6 kelinci pertama dilakukan dengan memberikan larutan Natrium diklofenak baku dan 6 kelinci lainnya dilakukan pemberian vitamin C 50 mg/kg BB selama 7 hari berturut-turut

Kadar trigliserida dan HDL serum darah tikus yang mendapatkan perlakuan ekstrak etanol rimpang kencur (500 dan 1.000) mg/kg BB selama 30 hari tidak berbeda

15.2 Data parameter farmakokinetika natrium diklofenak dalam plasma dengan perlakuan ekstrak etanol rimpang kencur (EERK) dosis 20 mg/kg