BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat
Obat adalah senyawa kimia unik yang dapat berinteraksi secara selektif
dengan sistem biologi. Obat dapat memicu suatu sistem dan menghasilkan efek,
dapat menekan suatu sistem atau berinteraksi secara tidak langsung dengan suatu
sistem dengan memodulasi efek dari obat lain (Ikawati, 2006).
Proses penemuan dan perkembangan obat sangat kompleks, melibatkan
banyak ahli ilmuwan. Setelah substansi obat yang berkhasiat ditemukan dan telah
diketahui rumus kimia, sifat fisika dan kimianya, selanjutnya diperiksa dan
dicobakan pada binatang mengenai sifat farmakologi, cara kerja obat termasuk
toksikologinya yaitu sifat racunnya. Diteliti pula mengenai kecepatan obat diserap
serta distribusi obat di badan yaitu tersebarnya obat di badan dan lama aksi
obatnya serta waktu obat memberi efek. Setelah semua berjalan baik kemudian
dilakukan percobaan pada manusia sebagai sukarelawan. Kalau semuanya
berjalan dengan baik, baru obat itu boleh diproduksi dan beredar (Anief, 1991).
Menurut Siswandono (2000), berdasarkan sumbernya obat dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu:
1. Obat alami ialah obat yang terdapat di alam, yaitu pada tanaman, contoh:
kuinin dan atropine, pada hewan, contoh: minyak ikan, serta mineral, contoh:
belerang dan kalium bromida.
2. Obat semi sintetik ialah obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari
3. Obat sintetik murni ialah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah
disintetis akan mendapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu,
contoh: obat-obat golongan analgetika, antipiretika, antihistamin, dan
diuretika.
2.2 Bahan Baku
Bahan baku adalah semua bahan, baik yang berkhasiat (zat aktif) maupun
tidak berkhasiat (zat Nonaktif/eksipien), yang berubah maupun tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan obat walaupun tidak semua bahan tersebut
masih terdapat di dalam produk ruahan (Siregar, 2010).
Menurut Dirjen POM (2006), bahan (zat) aktif adalah tiap bahan atau
campuran bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi dan
apabila digunakan dalam pembuatan obat menjadi zat aktif obat tersebut. Dalam
arti lain, bahan (zat) aktif adalah bahan yang ditujukan untuk menciptakan khasiat
farmakologi atau efek langsung lain dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan,
pengobatan atau pencegahan penyakit, atau untuk mempengaruhi struktur dan
fungsi tubuh.
Semua bahan baku harus memenuhi persyaratan resmi farmakope atau
persyaratan-persyaratan lain yang disetujui oleh regulator atau oleh industri
farmasi yang bersangkutan. Selain itu, bahan-bahan yang dibeli harus sesuai
dengan spesifikasi hasil uji praformulasi agar diperoleh mutu obat yang konsisten
dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, stabilitas, dan ketersediaan hayati
2.3 Demam
Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas normal akibat dari perubahan
pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior. Suhu tubuh
normal dapat dipertahankan pada perubahan suhu lingkungan, karena adanya
kemampuan pada pusat termoregulasi untuk mengatur keseimbangan antara panas
yang diproduksi oleh jaringan, khususnya otot dan hati, dengan panas yang hilang.
Dalam keadaan demam, keseimbangan tersebut bergeser hingga terjadi
peningkatan suhu dalam tubuh (Isselbacher, 1999).
Substansi yang menyebabkan demam disebut pirogen dan berasal dari
eksogen ataupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar hospes (pejamu),
sementara pirogen endogen diproduksi oleh pejamu. Mayoritas pirogen eksogen
adalah mikroorganisme, produk mereka, atau toksin. Pirogen endogen adalah
polipeptida yang dihasilkan oleh jenis sel pejamu, terutama monosit/makrofag
(Isselbacher, 1999).
Seluruh substansi pirogen eksogen menyebabkan sel-sel fagosit mononuklear
–monosit, makrofag jaringan, atau sel kupffer– membuat pirogen endogen (EP =
endogenous pyrogen). EP adalah suatu protein kecil yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. Contoh EP adalah interleukin 1 dan
TNF (Walsh, 1997).
Hipotalamus merupakan pusat pengatur suhu tubuh. Neuron-neuron pada
hipotalamus anterior praoptik dan hipotalamus posterior menerima dua jenis
sinyal, satu dari saraf perifer yang mencerminkan reseptor-reseptor untuk hangat
itu terdapat kelompok neuron pada hipotalamus preoptik/anterior yang disuplai
oleh suatu jaringan kaya vaskuler dan sangat permeabel, yang disebut organum vasculorum laminae terminalis (OVLT) (Isselbacher, 1999).
Ketika terpapar pada pirogen endogen dari sirkulasi, sel-sel endotel OVLT
melepaskan metabolit asam arakidonat yang sebagian besar berupa prostaglandin
E2. Metabolit asam arakidonat yang diyakini memperantarai kenaikan pada titik
termoregulasi yang sudah ditetapkan, kemudian diduga berdifusi ke dalam daerah
hipotalamus preoptik/anterior dan mencetuskan demam (Isselbacher, 1999).
2.4 Analgetik-Antipiretik
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu
tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa
nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi (Anief, 2000).
Mekanisme kerja analgetik dan antipiretik adalah sebagai berikut:
1. Analgetik
Efek analgetik ditimbulkan dengan cara menghambat secara langsung dan
selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalis biosintesis
prostaglandin seperti siklooksigenase, yang dapat merangsang rasa sakit
secara mekanis atau kimiawi (Siswandono, 2000).
2. Antipiretik
Kerja antipiretik ditimbulkan dengan meningkatkan eliminasi panas pada
pembuluh darah perifer dan mobilisasi air sehingga terjadi pengenceran darah
dan pengeluaran keringat. Penurunan suhu adalah hasil kerja obat pada sistem
saraf pusat yang melibatkan pusat kontrol di hipotalamus (Siswandono, 2000).
2.5 Parasetamol Rumus bangun :
OH
NHCOCH3
Rumus Molekul : C8H9NO2
BeratMolekul : 151, 16
Nama Kimia : 4’-hidroksiasetanilida
Pemerian : Serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1N,
mudah larut dalam etanol
Sinonim : Asetaminofen (Ditjen POM, 1995).
Parasetamol merupakan derivat anilin yang masih berkaitan dengan fanaseti n.
Parasetamol adalah suatu analgesik dan antipiretik, namun tidak memiliki kerja
inflamasi. Obat ini hanya menghambat sintesis prostaglandin di jaringan syaraf, dan
2.5.1 Farmakokinetik
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh
plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma,
25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim
mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam
glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga
dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan
methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal,
sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi (Setiabudy, 2007).
2.5.2 Farmakodinamik
Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri
ringan sampai sedang. Obat ini menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang
diduga juga berdasarkan efek sentral. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh
karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol
merupakan penghambat biosintetis prostaglandin yang lemah. Efek iritasi dan
perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini (Setiabudy, 2007).
2.5.3 Efek Samping
Efek samping yang terjadi antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan
dosis diatas 6 g mengakibatkan necrosis hati irreversibel. Hepatotoksisitas ini
disebabkan oleh metabolitnya yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh
glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g persedian peptide
tersebut habis dan metabolitnya mengikat diri pada protein dengan gugusan –SH
di sel-sel hati dan terjadilah kerusakan irreversible (Tjay, 2007).
Overdose dapat menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anoreksia.
Penanggulangnya dengan cuci lambung, disamping perlu pemberian zat penawar
(asam amino n-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin. Sebaiknya dalam 8-10
jam setelah intoksinasi (Tjay, 2007).
2.5.4 Dosis
Oral: Dewasa 2-3 dd 0,5-1 g, maks. 4 g/hari.
Anak-anak 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata:
a. 3-12 bulan 60 mg.
b. 1-4 tahun 120-180 mg.
c. 4-6 tahun 180 mg.
d. 7-12 tahun 240-360 mg.
Rectal: Dewasa 4 dd 0,5-1 g.
Anak-anak:
a. 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg.
b. 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg.
c. 4-6 tahun 4 dd 240 mg.
2.6 Spektrofotometri Ultraviolet
Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang
sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan ultraviolet,
cahaya tampak, inframerah dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang
untuk daerah ultraviolet adalah 190 380 nm, daerah cahaya tampak 380
nm-780 nm, daerah inframerah dekat nm-780 nm-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5 m
hingga 40 m atau 4000 cm-1
hingga 250 cm-1 (Ditjen POM, 1995).
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang
diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion
anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis hanya memberikan
sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat
berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak
memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke
tingkat energi yang lebih tinggi (Dachriyanus, 2004).
Proses penyerapan energi ultraviolet dan sinar tampak dapat terjadi karena
adanya transisi elektron ikatan dan elektron anti ikatan (elektron sigma, ,
elektron phi, , dan elektron yang tidak berikatan atau nonbonding elektron, n).
Transisi-transisi elektron yang terjadi diantara tingkat-tingkat energi di dalam
suatu molekul ada 4, yaitu transisi sigma-sigma star (*
180 nm) sehingga kurang begitu bermanfaat untuk analisis dengan cara
spektrofotometri UV-Vis. Energi yang diperlukan untuk transisi n-sigma star
(n*
) lebih kecil dibanding transisi * sehingga sinar yang diserap
mempunyai panjang gelombang yang lebih panjang, yakni sekitar 150-250 nm.
Transisi n*
dan transisi * dapat terjadi jika molekul organik mempunyai
gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut
memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi
yang paling cocok untuk analisis sebab sesuai dengan panjang gelombang antara
200-700 nm (Rohman, 2007).
Spektra Uv-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus
dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Data spektra Uv-Vis secara tersendiri
tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan
tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektroskopi inframerah dan
spektrofotometri massa maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/analisis
kualitatif suatu senyawa tersebut (Rohman, 2007).
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan
(larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya.
Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas
sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap (Rohman, 2007).
Instrumen Spektroskopi UV pada dasarnya terdiri atas :
1. Sumber cahaya
Sumber cahaya yang biasa digunakan untuk daerah UV pada panjang
pada panjang gelombang antara 350-900 nm digunakan lampu tungsten
(Rohman, 2007).
2. ... Mo
nokromator
Digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. Alatnya
dapat berupa prisma. Untuk mengarahkan sinar monokromatis yang
diinginkan dari hasil penguraian ini dapat digunakan celah. Jika celah
posisinya tetap, maka prisma yang dirotasikan untuk mendapatkan panjang
gelombang yang diinginkan (Khopkar, 1990).
3. ... Sel/
Kuvet
Sel haruslah meneruskan energi radiasi dalam daerah spektral yang
diminati. Untuk daerah ultraviolet digunakan sel kuarsa, sedangkan untuk
daerah tampak digunakan sel kaca (Day, 2002).
Umumnya tebal kuvet adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang
lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi,
tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan. (Khopkar, 1990).
4. ... Det
ektor
Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya
pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1990). Secara umum, detektor
yang paling sederhana adalah tabung foto, ini berupa tabung hampa udara,
dengan jendela yang tembus cahaya, yang berisi sepasang elektroda. Tersedia
aneka ragam tabung foto, yang berbeda bahan permukaan katodenya dan juga
berbeda jendela tembus cahayanya. Selain tabung foto, terdapat juga tabung
pengganda foto (Photomultiplier). Tabung pengganda foto lebih peka dari
pada tabung foto biasa karena penggandaan yang tinggi dapat dicapai dengan