• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T2 752013005 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alat Musik Dalam Adat dan Gereja (Studi Terhadap Penggunaan Alat Musik di Jemaat GPM Soya Klasis Pulau Ambon) T2 752013005 BAB IV"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

64 BAB IV

ANALISA PENGGUNAAN ALAT MUSIK DI JEMAAT GPM SOYA KLASIS PULAU AMBON

A. Pendahuluan

Penggunaan alat musik dalam jemaat dan Negeri Soya merupakan bagian

dari keutuhan sebuah peribadahan maupun ritual adat. Terkait dengan persoalan

penggunaan alat musik dalam jemaat GPM Soya, maka hal yang ditemukan

berdasarkan hasil penelitian adalah bahwa penggunaan alat musik dalam adat

adalah alat musik tradisional seperti: tahuri, tifa, gong, totobuang dan suling

bambu. Dalam gereja, alat-alat musik tradisional tersebut mengalami perubahan

dan penambahan. Alat musik tradisional yang dipakai dalam gereja hanyalah

suling bambu, yang hanya dipakai pada saat tata-tata ibadah tertentu jika

diperlukan.. Sedangkan alat musik modern yang kini dipakai sebagai pengiring

proses ibadah maupun acara gereja lainnya adalah seperti berikut; keyboard,

gitar dan terompet. Hal ini dianggap sebagai satu kemajuan yang diharapkan

gereja sesuai dengan perkembangan zaman dan situasi pelayanan maupun jemaat

di Negeri Soya.

Perubahan alat musik dalam gereja telah dilakukan sejak lama dan

mendapat respons yang baik dari jemaat GPM Soya. Sedangkan dalam adat,

perubahan alat musik tidak terjadi sama sekali, masih tetap menggunakan

(2)

65

akan dilakukan proses identifikasi berdasarkan pikiran Emile Durkheim dan

Mircea Eliade tentang penggunaan alat musik dalam adat dan gereja.

Fenomena yang terjadi di Negeri Soya ini, seperti yang telah diuraikan

dalam bab III merupakan salah satu fenomena yang cukup diperhatikan oleh

pemerintah Negeri maupun pihak gereja di jemaat GPM Soya. Adat dan gereja

merupakan wadah di mana masyarakat melakukan aktivitas maupun ritual

sebagai perwujudan kesetiaan terhadap para leluhur maupun upaya untuk

melakukan pelayanan yang baik bagi masyarakat dan jemaat di Negeri Soya.

B. Analisa Alat Musik dalam Adat

Mengapa Alat Musik dalam Adat Tidak Berubah?

Alat musik tradisional merupakan bagian integral dari komunitas adat.

Adat tidak dapat dilepas pisahkan dengan alat musik, hal ini dikarenakan alat

musik tradisional ada hubungannya dengan adat istiadat dan penyembahan

kepada leluhur sebagai bentuk kesetiaan masyarakat karena alat-alat musik

tradisional tersebut yang dipakai oleh para leluhur sejak masa lampau. Alat

musik tradisional dalam adat di Negeri Soya, memiliki kaitan erat dengan para

leluhur. Alat musik yang dipakai yakni: tifa, totobuang, tahuri, gong dan suling

bambu awalnya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja atau yang profan, tetapi

karena alat-alat musik tradisional tersebut digunakan oleh masyarakat dan untuk

(3)

66

Bagi Emile Durkheim, Yang Sakral memiliki pengaruh luas, menentukan

kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat, sedangkan Yang

Profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar, hanya merefleksikan

keseharian tiap individu, baik itu menyangkut aktivitas pribadi atau pun

kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan setiap individu dan keluarga.1

Durkheim menjelaskan semua yang berhubungan dengan masyarakat serta

segala sesuatu yang menjadi sakral dengan sendirinya karena masyarakat

tersebut.

Dalam solidaritas mekanik pun, bagi masyarakat primitif atau masyarakat

yang tradisional, adat itu menguasai kehidupan mereka secara keseluruhannya.

Dengan demikian, maka alat musik tradisional digunakan karena ada aturan adat

sehingga masyarakat Negeri Soya meskipun sudah ada di era modern, akan

tetapi ketaatannya terhadap para leluhur masih tetap kuat sehingga mereka masih

tetap menggunakan alat musik tradisonal sebagai pelengkap sebuah ritual adat

dalam masyarakat Negeri Soya.

Lebih dari itu, alat musik tradisional yang dipakai tidak saja berhubungan

dengan masyarakat, tetapi juga dengan para leluhur. Dengan kata lain,

masyarakat sekarang setia dan hormat kepada para leluhur dengan cara

melestarikan alat-alat musik tradisional yang dipakai dalam adat. Alat musik

tradisional dipakai karena mengingatkan masyarakat Negeri Soya kepada

leluhur, di mana alat musik yang awalnya biasa saja tetapi ketika sudah ada

hierophany maka ia akan menjadi sakral dengan sendirinya. Alat musik

(4)

67

tradisonal selalu dipakai agar mereka selalu percaya bahwa ada hubungannya

dengan sesuatu yang mereka percaya atau supranatural.

Pemikiran Mircea Eliade dapat dipakai untuk menggambarkan situasi

adat di Negeri Soya. Bagi Eliade, di tengah-tengah masyarakat ada dua wilayah

yang terpisah; wilayah Yang Sakral dan wilayah Yang Profan. Yang Profan

adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara teratur,

acak dan sebenarnya tidak terlalu penting. Sementara Yang Sakral adalah

wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan

dan teramat penting. Bila Yang Profan itu mudah hilang dan terlupakan, hanya

bayangan, sebaliknya Yang Sakral itu abadi, penuh substansi dan realita. Yang

Profan adalah tempat di mana manusia berbuat salah, selalu mengalami

perubahan dan terkadang dipenuhi kekacauan. Yang Sakral adalah tempat

dimana segala keteraturan dan kesempurnaan berada, tempat berdiamnya roh

para dan leluhur.2

Berdasarkan uraian penggunaan alat musik tradisional dalam adat dalam

bab III yang menyatakan bahwa alat musik tradisional yang dipakai dalam adat

tidak dapat berubah dengan alat musik modern apapun, karen alat musik

tradisional sudah ada sejak para leluhur. Hal ini sebagai wujud kesetiaan

terhadap para leluhur yang telah mendahului masyarakat Negeri Soya. Adat

selalu berhubungan dengan para leluhur sehingga barang-barang yang dipakai

dalam ritual-ritual adat selalu mengingatkan masyarakat terhadap para leluhur,

2 Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, tr. Willard R.

(5)

68

sehingga alat-alat musik tradisional tersebut tidak pernah berubah. Sakral yang

dimaksudkan oleh Eliade ialah sesuatu yang ada di dalam tatanan kehidupan

masyarakat adat yang bersifat sakral bukan merupakan pembentukan masyarakat

adat itu sendiri melainkan leluhur yang mengsakralkan segala sesuatu yang

berkaitan dengan adat.

Ketika berbicara tentang sesuatu yang dibuat sakral oleh leluhur itu

berarti sampai kapanpun hal tersebut akan dianggap sakral. Masyarakat Negeri

Soya juga tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika prosesi atau

ritual adat sedang berlangsung. Hal-hal yang tidak diinginkan itu seperti:

kerasukan ataupun jatuh sakit secara tiba-tiba.

Bagi masyarakat Maluku terkhususnya masyarakat Negeri Soya, apapun

yang dipakai oleh leluhur ketika masa mereka juga harus dipakai oleh

masyarakat hingga sekarang ini sebagai wujud kesetiaan dan penghormatan

kepada leluhur. Kesakralan adat sudah mendarah daging bagi orang Maluku.

Oleh sebab itu, menjadi sebuah kewajiban bagi mereka untuk melestarikan

kebudayaan, kekayaan adat serta pemaknaannya bagi setiap generasi Maluku

dalam hal ini alat musik tradisional.

Berdasarkan hasil wawancara, adat juga mampu mendamaikan konflik

kemanusiaan di Maluu, seperti: ikatan pela maupun ikatan gandong yang sangat

kuat dan tidak dapat dipisahkan atau dihancurkan oleh apapun termasuk konflik

di Maluku. Adat dianggap sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Negeri Soya

(6)

69

tradisional dalam adat tidak dapat berubah dengan alat-alat musik lainnya seperti

alat-alat musik modern.

C. Analisa Alat Musik dalam Gereja

Mengapa Alat Musik dalam Gereja berubah?

Gereja merupakan salah satu sarana penting dalam kehidupan jemaat di

Negeri Soya. Gereja dan adat di Negeri Soya hidup berdampingan dan tidak ada

perselisihan di antaranya. Hal ini dikarenakan masyarakat Negeri Soya adalah

juga jemaat GPM Soya sehingga tidak heran jika gereja dipandang sebagai

identitas kekristenan mereka. Jika dalam adat penggunaan alat musik tradisional

tidak berubah, hal yang berbeda ditemukan dalam gereja, di mana alat musik

tradisional yang dulunya dipakai sebagai pelengkap ritual ibadah, kini telah

mengalami perubahan atau dengan kata lain telah di ganti dengan alat-alat musik

modern.

Hal ini dianggap baik-baik saja dan tidak punya masalah apapun

mengenai perubahan alat musik tradisional tersebut. Tidak dapat disangkal,

orang Maluku memiliki identitas ganda yakni sebagai masyarakat adat juga

sebagai masyarakat beragama. Orang Maluku dalam hal ini masyarakat Negeri

Soya tidak bisa dilepas pisahkan dari identitas mereka sebagai anak-anak adat

karena sebelum diperkenalkan kepada agama formal mereka terlahir dalam

(7)

70

Berbicara tentang agama suku berarti memiliki kaitan erat dengan

keberadaan adat dalam sebuah tatanan kehidupan masyarakat sekalipun mereka

yang ada di dalam masyarakat itu sendiri telah terkontaminasi bahkan

memberikan diri sepenuhnya terhadap apa yang mereka yakini dalam agama.

Dengan bahasa yang sederhana, masyarakat Negeri Soya ialah orang beragama

akan tetapi mereka tetap memikul identitas diri mereka sebagai komunitas

masyarakat adat yang sudah diwariskan oleh leluhur.

Namun seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teeknologi,

maka seolah penggunaan alat musik tradisional yang dulunya dipakai juga dalam

gereja sekarang telah mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksudkan ialah,

alat musik yang dipakai dalam ibadah di gereja ialah alat musik modern. Alat

musik dalam gereja mengalami perubahan karena alat musik dipahami sebagai

suatu hal yang tidak ada hubungannya dengan para leluhur melainkan dengan

Kristus yang bagi masyarakat Negeri Soya adalah sesuatu yang baru datang dan

baru dikenal setelah agama suku sehingga bagi mereka, alat musik bisa saja

berubah dan mengalami perubahan.

Alat musik dalam gereja bisa berubah, karena bagi penulis kekristenan

bukan menjadi milik khusus masyarakat Negeri Soya. Kekristenan belum

dimiliki oleh masyarakat Negeri Soya sebagaimana yang mereka miliki dalam

adat. Kekristenan belum menjadi jati diri masyarakat Negeri Soya dan

sewaktu-waktu bisa berubah karena tidak berkaitan dengan para leluhur, di mana alat

(8)

71

Kekristenan dianggap sebagai sesuatu yang diadopsi dari daerah luar atau

barat. Alat musik modern seperti organ, gitar dan terompet juga dianggap

sebagai alat musik yang tidak ada hubungannya dengan para leluhur. Tetapi,

berbeda dengan adat. Penggunaan alat tradisional dalam adat tidak pernah

berubah hingga kini. Sebab bagi masyarakat Maluku apa yang dipakai oleh

leluhur dahulu harus tetap dipakai dan tidak bisa dirubah sampai kapapun.

Masyarakat Negeri Soya ialah masyarakat adat juga beragama. Dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat Negeri Soya menjalankan tugas dan peran

mereka sebagai masyarakat adat bahkan juga masyarakat yang beragama.

Agama dalam hal ini komunitas Gereja, telah mengalami perubahan dalam hal

penggunaan alat musik tradisional. Jika dahulu alat musik yang dipakai oleh

Gereja juga merupakan alat musik yang dipakai oleh adat. Sekarang tidak lagi.

Misalnya: tahuri sudah digantikan dengan terompet, alat musik yang lebih

modern.

Penggunaan alat musik modern berdasarkan hasil penelitian yang

dituangkan dalam bab III yang dinyatakan dan didukung oleh salah seorang

narasumber yaitu bapak B.P bahwa Gereja harus terbuka terhadap

perkembangan zaman serta tidak menutup kemungkinan alat musik modern yang

dipakai saat ini akan digantikan oleh alat musik lainnya berdasarkan

perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Sehingga bagi Gereja, mereka

harus terbuka untuk setiap perkembangan dan perubahan tersebut. Berdasarkan

pola pemahaman seperti ini dapat dikatakan bahwa penggunaan alat musik

(9)

72

supranatural atau sesuatu yang dipercaya memiliki kekuatan karena tidak

berhubungan dengan para leluhur.

Akan tetapi, analisa ini lebih tepat terhadap penggunaan alat musik

tradsisonal di dalam Gereja yang telah mengalami perubahan tersebut penulis

identifikasikan ke dalam teori Emile Durkheim tentang konsep sakral dan profan

yang sudah dipaparkan sebelumnya dalam bab II. Mengapa Gereja harus

berubah dalam penggunaan alat musik? Berdasarkan konsep sakral, Durkheim

hanya merefleksikan keseharian tiap individu, baik itu menyangkut aktivitas

pribadi atau pun kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan setiap individu dan

keluarga.

Artinya juga bahwa alat-alat musik tradisional yang dipakai dalam

masyarakat akan menjadi sakral dengan sendirinya karena berhubungan dengan

masyarakat itu sendiri. Sehingga alat musik tradisional yang semula dianggap

yang profan oleh gereja, kini tetap dianggap sebagai hal yang profan karena

tidak bersentuhan atau disepakati oleh masyarakat untuk menjadikannya yang

sakral, juga seperti yang dikatakan oleh Eliade bahwa yang profan adalah

sesuatu yang mudah hilang, terlupakan dan yang tidak berhubungan langsung

dengan para leluhur sehingga tidak menjadi yang sakral dan dapat mengalami

perubahan sesuai perkembangan yang ada, maka alat musik yang digunakan oleh

(10)

73

Kesadaran kolektif akan mengalami perubahan perspektif sesuai dengan

perkembangan-perkembangan yang terjadi. Dengan kata lain, bahwa alat-alat

musik tradisional yang dulunya dipakai dalam gereja, kini mengalami perubahan

penggunaan karena terjadi pula perubahan kesadaran kolektif masyarakat

terhadap realitas penggunaan alat-alat musik tradisional dalam gereja di Negeri

Soya. Disini yang menjadi kata kunci adalah komunitas dan gereja. Yang Sakral

tersebut memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan

seluruh anggota masyarakat.3

Referensi

Dokumen terkait