• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM IN (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM IN (1)"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM

PENGELOLAAAN TERUMBU KARANG

Yoki Panoga

Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Jalan WR Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371 A, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-22105

ABSTRAK

Indonesia merupakan salah satu negala penyebaran terumbu karang yang cukup luas, namun hingga saat ini belum tersedia data dan informasi yang cukup sebagai acuan dalam usaha pengelolaan dan pengembangan terumbu karang. Untuk mengetahiu kawasan terumbu karang dapat dilakukan dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk memberikan gambaran tentang distribusi dan kondisi terumbu karang di perairan dangkal dengan cakupan wilayah yang luas. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan tentang pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dalam pemodelan erosi dan lahan kritis.

Kata Kunci : Distribusi dan kondisi, Penginderaan jauh, Terumbu karang

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17000 pulau besar dan kecil dengan garis pantai terpanjang ke dua didunia setelah Kanada, yaitu sepanjang 80.791 Kilometer (DISHIDROS, 2012 dalam KKP, 2013). Hal tersebut menyebabkan Indonesia memiliki wilayah pesisir yang sangat luas dengan konsentrasi penduduk tinggi karena 64% dari wilayah administrasi setingkat Kabupaten/Kota di Indonesia bersentuhan langsung dengan garis pantai.

Di wilayah pesisir terdapat 3 ekosistem tropika yang khas, yaitu terumbu karang, lamun dan mangrove dengan produktivitas yang tinggi. Ketiga ekosistem tersebut memberikan produk dan jasa lingkungan yang tinggi dan sangat penting karena dapat menunjang kehidupan masyarakat di sekitarnya melalui pemanfaatan sumberdaya hayati yang disumbangkan ekosistem tersebut. Perairan pesisir merupakan perairan dengan kedalaman kurang dari 30 meter (FGDC, 2010).

Salah satu lokasi yang mempunyai luasan ekosistem terumbu karang yang paling besar di Indonesia Tengah adalah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) dengan gugus kepulauan yang berjumlah 118 buah pulau (DKP Sulsel, 2008) dan selanjutnya di katakan bahwa khusus Kepuluan Spermonde ditemukan terumbu karang dengan kondisi sangat bagus 2%; kondisi bagus 19,24%; kondisi sedang 63,38% dan kondisi rusak 15,38 %.

Kerusakan terumbu karang dalam beberapa waktu terakhir semakin menunjukkan persentase yang semakin besar, fakta menunjukkan bahwa status terumbu karang di Indonesia yang berada dalam kondisi bagus hanya berkisar 21,03 – 24,10 persen. Umumnya kondisi terumbu karang yang bagus tersebut berada di wilayah Indonesia Tengah dan Indonesia Timur, dengan persentase sangat bagus 5,83 %; bagus 25,66 %; sedang 36,59 % dan rusak 31,92 % (Coremap, 2007). Selanjutnya di jelaskan bahwa khusus di Indonesia Tengah persentase tutupan karang dengan persentase sangat bagus 6,10 %; bagus 31,92 %; sedang 45,07 % dan rusak 16,90 %.

Kerusakan terumbu karang di Kepulauan Spermonde umumnya disebabkan oleh penangkapan tidak ramah lingkungan, akitivitas alami dan jangkar kapal

(DKP 2006) . Kondisi kerusakan demikian juga terjadi di TWAL Kapoposang, pada lokasi ini terdapat hamparan ekosisten terumbu karang yang kalau dilihat dari sudut estetika sangat menarik dengan keanekaragaman jenis karang yang sangat tinggi, namun kondisinya menurun yang disebabkan oleh aktivitas penangkapan dan pemangsa alami (Bappeda, 2006).

Informasi berupa sebaran habitat laut dangkal di wilayah pesisir masih sangat kurang, karena wilayahnya tersebar luas di Indonesia serta sebagian besar sulit dijangkau. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi yang mampu memberikan informasi tentang habitat laut dangkal secara efektif dan efisien serta relatif akurat dan menyeluruh. Penginderaan jauh merupakan teknologi yang mampu menjawab tantangan tersebut. Penginderaan jauh dapat merekam permukaan bumi pada wilayah yang luas serta sulit dijangkau dan juga menyediakan data citra terbaru dengan waktu perekaman yang berbeda, sehingga memungkinkan analisis secara multi-waktu (Lillesand dan Kiefer, 1999).

Faizal dan Jompa (2010) berhasil mengidentifikasi kedalaman dan tingkat kerusakan terumbu karang secara spasial dengan memanfaatkan Citra Satelit SPOT 5 resolusi 10 meter dan data kedalaman perairan untuk mengkelaskan obyek dasar menjadi 5 penutup dasar masing-masing karang hidup, pecahan karang, karang mati, lamun, dan pasir sehingga dapat lebih mudah dilakukan pelaksanaan conservasi di kemudian hari

Hasil dan Pembahasan

Terumbu karang merupakan rumah bagi ribuan hewan dan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, berbagai jenis hewan laut mencari makan dan berlindung di ekosistem tersebut. Pada kondisi yang sangat maksimal, terumbu karang menyediakan ikan-ikan dan molusca hingga mencapai jumlah sekitar 10 – 30 ton/km2 per tahunnya.

(2)

dapat menjadi sumber devisa pariwisata bagi pemerintah setempat, sehingga dapat menambah penghasilan manusia, terutama bagi masyarakat pesisir.

Secara umum pengetahuan masyarakat tentang terumbu karang sangat minim sehingga terumbu karang banyak digunakan destruktif misalnya sebagai pondasi bangunan. Kerusakan terumbu karang juga terjadi karena aktivitas pelayaran dan penangkapan. Perahu motor yang berlabuh sering melabuh jangkar di daerah terumbu karang, karena ada musim-musim tertentu yang membuat para pemilik perahu motor menjadikan areal terumbu karang sebagai pelabuhan sementara.

Peran terumbu karang sangat penting sebagai pelindung alami pantai dari hempasan gelombang dan arus laut, sebagai habitat, serta pembesaran bagi biota laut (Suharsono, 1996). Terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi terumbu karang dengan keberadaan, keragaman spesies dan kelimpahan ikan karang yang hidup di dalamnya (Kendall. 2009).

Bryant (1998) menerangkan bahwa untuk pengelolaan terumbu karang yang lestari diperlukan implementasi rencana pengelolaan yang dapat menggabungkan koleksi data dasar status terumbu karang, pemantauan yang terus menerus, perencanaan strategis, dan pengelolaan yang adaptif. Penelitian ini merupakan salah satu upaya guna mendukung perkembangan teknologi dan riset pemetaan ekosistem terumbu karang menggunakan citra penginderaan jauh satelit.

Upaya pemetaan ekosistem terumbu karang yang berada di dasar perairan dangkal tidaklah mudah dilakukan secara teristris. Penginderaan jauh satelit memberikan alternatif yang komprehensif untuk pemetaan ekositem perairan dangkal, seperti terumbu karang ini. Sensor penginderaan jauh dapat menembus perairan dangkal yang jernih dan mengenali karakteristik substrat dasar perairan tersebut. Liputan citra satelit yang sangat luas, akurat, Visible and Near Infrared) memiliki resolusi spasial 10m dan memiliki saluran spektral yang komprehensif untuk studi perairan dangkal, yaitu saluran biru, hijau dan merah. Resolusi spasial yang relatif tinggi dan kelengkapan jumlah spektral yang dimiliki citra Satelit ALOS AVNIR ini juga sangat menundukung untuk berbagai penelitian analisa citra digital dan respon spektral obyek di perairan dangkal. Kualitas air, variasi tingkat kecerahan substrat dasar dan kedalaman merupakan faktor pembatas utama dalam pemetaan terumbu karang. Resolusi spasial citra satelit yang semakin tinggi akan menghasilkan akurasi yang lebih sigifikan untuk mengatasi faktor pembatas tersebut (Holden. 1999).

Berdasarkan analisis data satelit, kondisi terumbu karang di TWAL Kapoposang telah mengalami kerusakan berat dengan persen penutupan hanya sebesar 25–40% dimana tingkat kerusakan terumbu karang sebagai besar berada di kedalaman 0-10 meter (Faizal dan Jompa (2010)

Helmi et al. (2011) menunjukkan bahwa penggunaan scattergram dan klasifikasi unsupervised memberikan akurasi yang tinggi untuk pemetaan ekosistem perairan dangkal. Metode ini juga dapat digunakan untuk perolehan informasi penting lain yang berupa luas area, pola sebaran dan morfometrik dari ekosistem terumbu karang pada suatu kawasan

Terumbu karang dapat diidentifikasi menggunakan citra Landsat komposit kanal 421 dan 543 dengan penajaman equalisation histogram dan autoclip. Identifikasi terumbu karang ini dapat memberikan informasi karakteristik fisik terumbu karang. Informasi ini merupakan data dasar untuk pengelolaan terumbu karang dan berguna untuk penetapan suatu pulau.

Selain itu, Asriningrum et al. (2004) juga telah melakukan penelitian tentang penetuan kondisi terumbu karang dengan menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Terumbu karang dapat diidentifikasi menggunakan citra Landsat komposit kanal 421 dan 543 dengan penajaman equalisation histogram dan autoclip. Identifikasi terumbu karang ini dapat memberikan informasi karakteristik fisik terumbu karang. Informasi ini merupakan data dasar untuk pengelolaan terumbu karang dan berguna untuk penetapan suatu pulau.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kondisi terumbu karang suatu wilayah dapat dilakukan dengan cara membuat pemodelan pemanfaatan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG).

2. Terapan GIS telah banyak digunakan untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang berbasiskan wilayah geografi.

Daftar Pustaka

Asriningrum, W., A. Dault., dan P. Arifin. 2004. Studi Identifikasi Karakteristik Terumbu Karang Untuk Pengelolaan dan Penentuan Pulau Kecil Menggunakan Data Landsat. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bappeda. 2006. Survey Detil Kawasan terpilih. Taman Wisata Alam Laut Nasional, Laporan Penelitian. Provinsi Sulawesi Selatan.

Bryant, D., Burke, L., Manus, M. J and Spalding M. 1998. Reef at Risk: A Map Based Indicator of Threats to the World’s Coral Reef. World Resources Institute (WRI). United States of America.

(3)

Selatan. Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. 24 Juli.

Federal Geographic Data Committee. 2012. Coastal and Marine Ecological Classifi cation Standard. Marine and Coastal Spatial Data Subcommittee. Federal Geographic Data Committee.

Helmi, M., A. Hartoko, Herkiki S, Munasik S., dan Wouthuyzen. 2011. Analisis Respon Spektral dan Ekstraksi Nilai Spektral Terumbu Karang Pada Citra Digital Multispektral Satelit ALOS-AVNIR di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Buletin Oseanografi Marina. 1 : 120 – 136. Holden, H and LeDrew, E. 1999. Hyperspectral

Identification of Coral Reef Features. International Journal of Remote Sensing. 20 (13), 2545-2563. Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan

Perikanan. 2012. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2013. Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Kendall, M.S., Miller, T.J. 2009. Relationships among Map Resolution, Fish Assemblages and Habitat Variables in a Coral Ecosystem. Springer Science and Business Media. Int. Journal. 637:101-119.

Lillesand, dan Kiefer, 1999. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pemenuhan kebutuhan ini, ibu hendaknya memberi kesempatan bagi anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya.Kebutuhan spiritual, adalah pendidikan yang

Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh modal, tenaga kerja, pengalaman, teknologi, dan harga jual terhadap pendapatan nelayan di

Biji chia ( Salvia hispanica /PHPLOLNLNDUDNWHULVWLN¿VLN\DQJNKDV\DLWXPDPSXPHPEHQWXNJXP melalui proses hidrasi. Gum ini dapat mengabsorpsi air hingga 12-27 kali dari berat

1) Perjalanan yang bertanggungjawab, dimana seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ekowisata harus berupaya melakukan perlindungan alam atau setidak-tidaknya

ANALISIS DAN INTERPRETASI MODEL Berdasarkan hasil pengolahan yang didapatkan faktor yang paling mempengaruhi pengelompokkan apakah pengunjung akan sering atau jarang

Hasil penelitian menjunjukan, pelaksanaan progam prodamas sudah berjalan dengan cukup baik di wilayah RT se-kota kediri karena penerapan sistem prodamas tidak serta merta

18 Although there are quite many fishermen settlements in the area, this report includes only three villages in the district of Sape that are adjacent to Komodo National Park,

Surya Persindo (Media Indonesia Grup) miliknya Surya Paloh. Ketika itu, redaksional dan perwajahan “GALA” berubah total, Tampil Full color sehingga menarik. Sementara