• Tidak ada hasil yang ditemukan

Internasionalisasi Pendidikan di Indones

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Internasionalisasi Pendidikan di Indones"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Internasionalisasi Pendidikan di Indonesia:

Telaah Terhadap Program RSBI

Moh. Mudzakkir1

Pengantar

Istilah globalisasidengan berbagai pengertian yang dikandung di dalamnya merupakan

wacana besar saat ini (Scholte, 2000)2. Kita menjalani kehidupan di dunia yang ditandai

dengan saling terhubungnya sistem ekonomi, politik, budaya, lingkungan sosial mondial,

inovasi teknologi yang cepat, dan kompleksitas konflik, kesenjangan, serta perubahan yang terus meningkat. Batasan antara ranah lokal dan global semakin kabur dan tidak jelas. Bila sesuatu hal terjadi di sebuah negara, maka akan cepat merembet dan berpengaruh ke negara lain bahkan ke seluruh penjuru dunia (Syukur, 2010).

Perdebatan tentang globalisasi sudah terjadi pada puluhan tahun yang lalu. Meskipun demikian, perdebatan tentang apa, bagaimana, siapa saja yang menjadi aktor utama atau yang terlibat hingga dampak yang disebabkan oleh globalisasi hingga kini masih mengemuka. Berbagai paradigma dan teori ilmu sosial memandang wacana ini dengan cara yang berbeda. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan manusia dikaitkan dengan proses globalisasi ini, misalnya ekonomi dan globalisasi, budaya dan globalisasi, agama dan globalisasi, politik dan globalisasi, masyarakat dan globalisasi, hingga pendidikan pun tidak luput dikaitkan dengan proses dandampak globalisasi.

Tulisan ini akan fokus pada kajian globalisasi dan pendidikan. Dalam perkembangannya, diskusi terkait globalisasi pendidikan tidak bisa lepas dari perbincangan tentang internasionalisasi pendidikan. Globalisasi dan Internasionalisasi merupakan dua istilah yang sering disamakan begitu saja, tanpa memperhatikan keunikan sekaligus perbedaan diantara keduanya. Terkadang banyak orang tanpa sadar menggunakan kedua istilah tersebut secara tidak tepat dan bahkan tertukar untuk menggambarkan sebuah realitas sosial dalam praktik pendidikan. Meskipun demikian keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat, bahwa internasionalisasi merupakan konsekuensi dari proses globalisasi (Beck, 2000).

Kedua konsep penting di atas menjadi sangat penting untuk mengawali tulisan ini sebagai sebuah perspektif untuk membaca praktik pendidikan di Indonesia. Dalam perkembanganya, kedua istilah tersebut menjadi mantra dalam pembuatan kebijakan

1Dosen Sosiologi Jurusan Ilmu Sosial FISH Universitas Negeri Surabaya. Artikel ini merupakan draft tulisan dalam buku bunga rampai yang akan diterbitkan oleh LIPI dan Yayasan Obor Indonesia dengan judul

Indonesia, Globalisasi, dan Global Village(2016).

(2)

pendidikan di Indonesia, baik di level pendidikan dasar dan menengah hingga pendidikan tinggi. Dalam dua dekade pasca reformasi hampir kebijakan pendidikan Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari wacana globalisasi dan interasionalisasi pendidikan. Hal ini merupakan konsekuensi dari perkembangan dunia global dengan keikutsertaan Indonesia dengan organisasi-organisasi regional maupun internasional dalam bidang pendidikan,

seperti SEAMEO(South East Asian Ministry of Education Organization), UNESCO dan PISA

(Progam for International Student Assesment). Bahkan selain itu, Indonesia telah

menandatangani kesepakatan terkait GATT (General Agreement on Trade Tarrif) yang di

dalamnya disebutkan bahwa pendidikan merupakan bagian dari komoditas perdagangan global.Berangkat dari realitas itulah, maka ketika membahas globalisasi pendidikan tidak dapat dipisahkan dari wacana globalisasi ekonomi. Bahkan oleh beberapa kalangan berpendapat bahwa globalisasi pendidikan merupakan turunan dari globalisasi ekonomi.

Lebih lanjut, tulisan ini akan mencoba menyoroti bagaimana globalisasi mempengaruhi kebijakan dan praktik pendidikan menengah di Indonesia. Beberapa kebijakan pendidikan yang mencerminkan respon terhadap globalisasi dan upaya internasionalisasi diterapkan. Misalnya saja kebijakan tentang pelajaran bahasa Inggris, sebelum tahun 2000-an mata pelajaran ini tidak diajarkan di tingkat dasar. Namun, setelah tahun 2000-an, bahasa Inggris menjadi pelajar wajib di sekolah-sekolah dasar sebagai upaya memberikan dasar siswa atau generasi muda menghadapi era globalisasi. Bukan hanya itu, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat Menteri Pendidikan Nasional dijabat oleh Bambang Sudibyo, pemerintah meluncurkan program Rintisan Sekolah Berstandar Internasional sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan menengah dihadapkan pada persaingan di tingkat regional dan internasional.

Globalisasi dan Pendidikan

Banyak ilmuwan sosial yang berusaha mendefinisikan dan memberikan pemaknaan terhadap globalisasi. Salah satunya adalah Anthony Giddens (2001), seorang sosiolog terkenal asal Inggris, memandang bahwa globalisasi merupakan realitas yang bersifat multidimensional dan tidak monolitik. Globalisasi berdimensi ekonomi, politik, teknologi, dan bidang-bidang kehidupan lainnya tidak termasuk di dalamnya pendidikan. Lebih lanjut, ia melihat perlunya upaya untuk merestrukturisasi lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat atau justru menciptakan sesuatu yang baru. Hal ini disebabkan karena globalisasi ini bukan hanya mempengaruhi pada level struktur sosial tapi juga dalam realitas kehidupan sehari-hari yang sangat privat sekalipun.

Shimon Peres mengambarkan kekuatan globalisasi seperti pengalaman seseorang yang bangun di pagi hari dan melihat sesuatu telah berubah dengan cepat. Banyak hal yang kita pikir biasa, banyak perspektif yang kita anggap suatu kebenaran tiba-tiba menghilang

begitu saja tanpa bekas (Tilaar, 2012). Itulah realitas globalisasi atau buananisasi yang

terjadi dalam kehidupan manusia kontemporer. Banyak pakar dari berbagai disiplin mengakui bahwa perubahan kehidupan masyarakat saat ini sangat cepat. Arus globalisasi

telah mengubah bukan hanya dalam bidang ekonomi an sich, akan tetapi juga dalam bidang

(3)

dengan istilah globapobhia, serta yang sangat mendukung atau memuja-mujanya sebagai globaphilia(Soesastro, 2000).

Bukan rahasia lagi, bila globalisasi dalam bidang ekonomi mendapatkan sorotan paling dominan serta banyak menjadi bahan pembicaran.Globalisasi di bidang ekonomi merupakan suatu bentuk transformasi ekonomi global. Bila jauh sebelumnya ekonomi didasarkan pada produksi pertanian dan industri, saat ini telah berubah menjadi perekonominan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan (Tilaar, 2005). Perubahan ini berimplikasi bahwa ekonomi harus memiliki tatanan baru, yaitu tatanan yang didasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, dalam jenis ekonomi baru ini bobot imu pengetahuan dan teknologi dalam menghasilkan suatu produk ekonomi menjadi sangat penting dan dominan. Kemudian, sektor jasa akan meningkat sera peran teknologi informatika akan semakin strategis untuk meningkatkan produktivitas yang

tinggi. Contoh paling jelas adalah e-commerce, praktik ekonomi yang berlandaskan iptek

(Pangestu dalam Tilaar, 2012).

Lebih lanjut, Felipe Gonzalesdalam Ma’ruf dkk (2000) melihat bahwa dalam globalisasi

ekonomi ada beberapa kecenderungan yang terjadi. Yaitu pertama, bahwa ekonomi di era

globalisasi bukan lagi urusan suatu negara atau beberapa negara saja tetapi sudah menjadi

urusan global. Kedua, dalam proses globalisasi ekonomi arus modal menjadi sesuatu hal

yang sangat penting dibandingkan dengan problematika pertumbuhan dalam

perkembangan dan investasi di sektor riil. Ketiga, revolusi teknologi informasi dan

komunikasi sangat berpengaruh dalam proses perubahan ekonomi global. Revolusi teknologi telah menghasilkan homogenitas budaya saat ini dan bahkan di masa yang akan datang. Serta kemungkinan hegemoni dan dominasi nilai, norma budaya dan peradaban satu dengan yang lain, kondisi tersebut mendorong munculnya kecemasan serta reaksi dari kelompok-kelompok nasionalis di berbagai belahan dunia. Akhirnya, revolusi teknologi bukan hanya merubah proses produksi, distribusi, konsumsi, tapi juga relasi antarmanusia, masyarakat bahkan antarnegara di dunia ini.

Gelombang globalisasi bukan hanya menimbulkan tantangan tetapi juga ancaman bagi suatu bangsa atau negara tertentu. Dalam proses ini muncul kekhawatiran bahwa ada sebagian negara atau kelompok masyarakat yang diuntungkan, tapi juga ada sebagian yang dirugikan. Setiap masyarakat di penjuru dunia ini tidak dapat mengelakkan diri gelombang globalisasi ini, suka atau tidak suka akan menjadi kenyataan. Akhirnya, istilah-istilah seperti persaingan, pasar bebas, keunggulan sumberdaya manusia menjadi slogan yang sangat popular di era ini. Persaingan dimaknai, barang siapa yang unggul maka ia akan dapat bertahan,bahkan memang dalam persaingan bebas. Lebih lanjut, kualitas sumberdaya manusia suatu kelompok masyarakat atau negara akan sangat menentukan keunggulan individu dan atau masyarakat, bangsa dan negaranya.

(4)

melek teknologi, berjiwa kewiraswastaan, dan memiliki kreativias dalam beberapa hal. Perburuan atau pencarian terhadap orang-orang yang memiliki talenta tersebut meningkatkan mobilitas para eksekutif. Selain aspek-aspek di atas, jiwa kepemimpinan

juga menjadi salah satu softskill yang sangat penting untuk mendukung individu

membangun relasi dan jejaring sosial dalam menjalankan profesi atau kerja.

Kualifikasi-kualifikasi menuntut adanya suatu program pelatihan dan atau pendidikan yang unggul dalam rangka menghasilkan sumber daya yang unggul yang dinamis, kreatif serta inovatif. Maka sangat wajar untuk menghasilkan tenaga-tenaga bertalenta tersebut, negara-negara maju dan beberapa negara berkembang memposisikan pendidikan sebagai proritas utama. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Singapura, misalnya telah lama menjadikan bidang pendidikan sebagai prioritas untuk meningkatkan daya saing di level global. Hal tersebut bisa dipahami, karena pembangunan ekonomi berdasarkan iptek membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan kemampuan unggul dan berdaya saing, khususnya dalam penguasan teknologi. Bukan hanya itu saja, namun juga perlu dibarengi dengan kekuatan karakter dan moralitas yang baik. Tanpa karakter dan moralitas utama, maka persaingan di era global dapat menjadi kompetisi bebas seperti dalam hukum rimba.

Kekuatan globalisasi yang melanda seluruh dunia ini tentu sangat berpengaruh bagi dunia pendidikan di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Arus globalisasi tentu memberikan berbagai dampak pada praktik dunia pendidikan di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan sebagai objek perubahan sosial akan menanggung berbagai macam konsekuensi logis dari gelombang globalisasi tersebut. Pada hakikatnya, pendidikan di era globalisasi ini bertujuan akhir untuk menyediakan sumber daya manusia yang mempunyai daya saing di tingkat internasional. Untuk meraih hal tersebut, pemerintah atau negara membutuhkan inovasi yang cepat dalam dunia pendidikan. Singkatnya, pendidikan harus mampu menjadi jembatan untuk mengatasi segala macam kesenjangan antara proses, hasil, dan pengalaman belajar dalam masyarakat ketika menghadapi proses globalisasi (Suyanto, 2006).

Kalau dicermati lebih lanjut, perkembangan globalisasi membawa empat wacana besar

dalam dunia pendidikan di Indonesia (Lie dalam Martono, 2011). Pertama, delokasi dan

lokalisasi. Transfromasi budaya lokal dalam segala aspek sebagai interaksi dengan budaya luar (baca; asing) serta pengadopsian unsur-unsur budaya asing menjadi budaya lokal. Manifestasi dari wacana ini dalam praktik pendidikan di Indonesia bisa dilihat dari implementasi pengajaran bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dalam kurikulum pendidikan nasional, penggunaan buku-buku asing sebagai bahan ajar baik di sekolah maupun kampus. Bukan hanya itu, akan tetapi juga penggunaan kurikulum luar negeri serta pengadaptasian sistem pendidikan negara asing dalam pendidikan nasional. Pendidikan bahasa Inggris menjadi mata pelajar wajib sejak di tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan kemampuan bahasa Inggris pasif maupun aktif menjadi salah satu syarat utama yang dicatumkan oleh instansi pemerintah dan swasta ketika melakukan proses rekuitmen. Dalam konteks adopsi kurikulum asing misalnya, banyak sekolah favorit swasta maupun pemerintah menawarkan dua sistem, selain kurikulum nasional juga

(5)

Kedua, wacana revolusi teknologi informasi-komunikasi. Situasi ini dapat dilihat dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir belahan dunia. Teknologi informasi, internet misalnya, memberikan perubahan dalam segala aspek bidang kehidupan manusia, termasuk dunia pendidikan. Dulu pengelolaan dan aktivitas pendidikan mungkin banyak dilakukan secara manual dan harus tatap muka. Namun pada saat ini, proses administrative bisa dilakukan lebih cepat dan mudah melalui internet.

Dalam pembelajaran tidak lagi melalui tatap muka, akan tetapi dapat dijalankan melalui

e-learning dan jarak jauh. Kegiatan belajar bisa menggunakan media sosial baru, seperti

email, blog, skype, facebook, whatsapp, atau website sekolah.Meskipun demikian, teknologi

informasi baru bukan tanpa masalah, karena banyak masalah muncul yang disebabkan pemanfaatan teknologi yang tidak sesuai, misalnya melaui internet menyebarkan pornografi, penipuan, serta bahkan hingga menimbulkan perilaku kejahatan di dunia maya (cybercrime). Oleh karena itu,membangun media literasi menjadi penting dihadapkan dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat tersebut.

Ketiga, muncul dan berkembangnya korporasi multinasional. Banyak kelompok masyarakat atau lembaga yang menjadikan bidang pendidikan sebagai bagian dari komoditas. Kesadaran ini berkembang karena pendidikan dapat menjadi lahan mencari keuntungan finansial.Apalagi didukung kenyataan bahwa pendidikan menjadi bagian penting dalam investasi sumberdaya yang berkualitas, hal ini disadari oleh semua kalangan. Banyak kelompok masyarakat yang rela harus mengeluarkan banyak biaya demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas bagi keluarga mereka. Masyarakat sangat membutuhkan pendidikan dari segala tingkatan; pendidikan berubah menjadi symbol status sosial. Bangkitnya korporasi multinasional ini ditandai dengan berkembangnya industry pendidikan. Dengan kata lain, lembaga pendidikan telah berganti fungsi hanya sebagai komoditas bisnis.

Keempat, adanya perkembangan pasar bebas dan privatisasi pendidikan. Peran dan fungsi negara semakin berkurang dalam memberikan pelayanan publik. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Peran negara dibatasi hanya sebagai pembuat dan penjaga regulasi semata. Privatisasi pendidikan pun tak terelakkan, sebagai konsekuensi mengurangi peran negara dalam belanja publik. Praktik pendidikan akhirnya diserahkan kepada mekanisme pasar, negara tidak banyak terlibat, karena hanya sebagai wasit. Maka tidak heran, kemudian setiap lembaga pendidikan, baik itu sekolah berlomba-lomba menjadi yang berkualitas sekaligus juga berlomba untuk mendapatkan keuntungan dari proses pendidikan tersebut. Murid atau mahasiswa bukan hanya sekedar dipandang sebagai peserta didik, tapi juga lebih dilihat sebagai konsumen yang harus dilayani dengan baik, karena memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi lembaga pendidikan.

(6)

negara maju yang menggunakan bahasa Inggris pun dianggap sebagai bagian upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Maka tidak heran banyak sekolah swasta di berbagai kota besar secara terang-terangan mereduplikasi sistem pendidikan luar negeri. Dengan menggunakan label sekolah Internasional, mereka bukan hanya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, tapi juga mengadopsi kurikulum, buku referensi, tata kelola sekolah, hingga mengambil guru asli penutur bahasa Inggris. Tentu bukan rahasia kalau sekolah-sekolah seperti ini berbiaya mahal dan tidak semua lapisan masyarakat bisa mengakses.

Sekolah yang berkualitas sekaligus memiliki orientasi global menjadi sangat strategis untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia. Hal itu sangat disadari bukan hanya oleh lembaga swasta, namun juga pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meskipun sebenarnya kesadaran dan praktik sekolah internasional tersebut diawali oleh sekolah swasta di kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Pemerintah kemudian mengadopsi konsep sekolah internasional tersebut sebagai sebuah eksperimentasi untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang siap berkompetisi di era global. Program tersebut bernama Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).

Sekolah Berstandar Internasional

Sebelum pemerintah secara resmi mengeluarkan kebijakan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional. Sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri favorit di berbagai daerah telah berusaha membangun kesadaran tentang perlunya mempersiapkan peserta didik dengan kompetensi yang mampu menjawab tantang global. Mereka mencoba membangun komunikasi dan kerjasama dengan sekolah-sekolah di luar negeri. Bahkan sebagian dari sekolah-sekolah tersebut mereduplikasi sistem persekolahan dari negara maju yang

pernah mereka kunjungi atau yang mereka jadikan sebagai sister school.

Dalam perkembangannya ada beberapa modus operandi dalam membangun proses

internasionalisasi pendidikan di antara sekolah-sekolah tersebut. Pertama, ada sebagian

sekolah-sekolah swasta yang sejak awal berdiri membangun label sebagai sekolah internasional. Artinya mereka hampir secara keseluruhan, mengadopsi sistem pendidikan, kurikulum, buku-buku, serta sebagian pengajarnya bukan hanya berasal dari Indonesia tapi dari berbagai negara asing. Termasuk murid-muridnya pun bukan hanya berasal dari Indonesia, akan tetapi juga banyak berasal dari berbagai manca negara yang orang tua mereka bekerja di Indonesia. Sekolah-sekolah ini banyak berlokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan sekitar, Bandung, dan Surabaya.Bagi siswa yang berasal dari Indonesia tentu mereka berasal dari kalangan menengah atas. Tidak semua orang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah seperti ini. Mungkin mereka berfikir, dengan kualitas pengajaran, guru dan fasilitas yang mencukupi tidak perlu harus mengirimkan anak mereka sekolah di luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia, Australia atau negara-negara maju lainnya.

(7)

internasional. Salah satu sistem kurikulum internasional yang popular dan banyak

digunakan di sekolah-sekolah ialah International Cambridge Program. Untuk mengikuti

program ini sekolah memberikan proses seleksi kepada para siswa yang tertarik untuk mengikuti. Nilai mata pelajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika dan bahasa Inggris menjadi prasyarat masuk program internasional ini. Biaya untuk mengikuti kelas internasional ini tentu lebih mahal dibanding dengan kelas regular. Siswa akan mengikuti

kegiatan belajar dengan menggunakan buku-buku Cambridge, bahasa Inggris sebagai

pengantar, serta setelah lulus mendapatkan ijazah dari lembaga bergengsi tersebut. Sehingga, ketika mereka lulus bisa menggunakan ijazah tersebut untuk mendaftar di berbagai sekolah luar negeri.

Kedua bentuk proses pendidikan di atas sudah mulai berkembang dan dipraktikkan di berbagai sekolah negeri dan swasta sebelum munculnya kebijakanmembangun Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang dimulai oleh Pemerintahan SBY. Dalam rangka mempersiapkan Sekolah Berstandar Internasional tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional membentuk program Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang diberlakukan di seluruh Indonesia. Program ini bertujuan memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf internasional. Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasionalyang sering disingkat RSBI, adalah merupakan suatu program pendidikan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3, yang menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (Salim, 2011). Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan sekolah yang berkualitas di tengah persaingan global yang menempatkan Indonesia berada jauh di belakang dibanding dengan Singapura dan Malaysia misalnya.

Lebih lanjut, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) merupakan kelas standar nasional pendidikan yang ditujukan dengan penyelenggaraan pendidikan beserta segala aspek intensitas dan kualitas layanan yang ditata secara efektif, profesional untuk mencapai keunggulan mutu pendidikan baik nasional maupun internasional dengan karakteristik seperti penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagai bahasa pengantar

secara aktif dan penggunaan ICT (Information and Communication Technology) dalam

(8)

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat terobsesi untuk melahirkan sekolah-sekolah bartaraf Internasional. Banyak dana stimulan diberikan kepada sekolah-sekolah-sekolah-sekolah dberi label internasional. Sekolah yang mengikuti proyek RSBI mendapatkan kuncuran dana bantuan sebesar Rp. 600 juta per-lembaga. Selain itu, mereka juga mendapatkan privilege untuk melakukan pungutan tambahan, dengan alasan karena untuk membiaya operasional RSBI/ SBI dibutuhkan biaya yang cukup banyak. Hal itu membuka peluang bagi sekolah-sekolah berkompetisi untuk menjadi sekolah RSBI/SBI. Mereka termotivasi selain meningkatkan kualitas, juga menambah pemasukan baik dari bantuan pemerintah serta dana pungutan siswa secara mandiri.

Dalam perkembangannya, menurut Darmaningtyas dan Edi Subkahan (2012) program RSBI ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam

pelaksanaannya RSBI memunculkan sejumlah persoalan. Pertama, biaya RSBI yang mahal,

jadi tidak semua siswa yang cerdas dan berpotensi dapat mengikuti kelas RSBI karena mereka dibebani biaya tambahan. Akhirnya,hanya mereka yang mampu membayar biaya RSBI-lah yang bisa berpartisipasi. Sehingga meskipun ada siswa yang potensial dan pintar, namun tidak memiliki biaya, maka dia tidak bisa bergabung. Konsekuensinya RSBI menciptakan pendidikan bias kelas sosial atau dengan bahasa lain ada yang menyebut

sebagai bentuk kastanisasi pendidikan. Berdasarkan data ICW, dana sumbangan

pembangunan yang harus dibayar di RSBI/SBI SD dan SMP rata-rata mencapai Rp. 6 juta, sedangkan untuk SMA mencapai Rp. 15 juta.

Kedua, sekolah yang menjadi RSBI/SBI mendapatkan subsidi lebih dibandingkan yang lainnya. Kondisi ini menimbulkan kastanisasi dalam pendidikan, karena sekolah yang berlabel RSBI akan mendapatkan jatah lebih besar dibandingkan yang hanya mempunyai status Sekolah Standar Nasional (SSN). Apalagi mereka yang tidak mempunyai status keduanya, tentu tidak mendapatkan seperti keduanya. Menurut Tilaar (2010), legalisasi RSBI oleh pemerintah seperti pengelolaan pendidikan di era colonial, saat itu dibedakan sekolah untuk kulit putih, China, dan pribumi. Akan tetapi sekarang dibedakan menjadi sekolah bagi orang kaya dan orang miskin.

Ketiga, ambiguitas referensi sistem pendidikan dalam RSBI dan SBI. Realitas di lapangan justru menunjukkan bahwa RSBI banyak merujuk pada konsep pendidikan dan kurikulum Cambridge, Inggris. Pemerintah Indonesia secara terbuka tertarik untuk membeli lisensi sistem tersebut. Menurut Mudjito, di beberapa daerah, seperti (DKI Jakarta dan DIY, pengadopsian sistem luar negeri tersebut, menjadikan siswa yang mengikuti program tersebut secara bersamaan harus belajar dengan menggunakan tiga kurikulum sekaligus,

yaitu International General Certificate of Secondary Education (IGCSE), Cambridge, dan

(9)

Keempat, ideologi dan budaya yang melatarbelakangi gagasan RSBI dan praksis pembelajaran. Paradigma yang mendasari kemunculan RSBI dalam dunia pendidikan Indonesia adalah ideology NeoLiberalisme. Hal ini dapat dirujuk pada konsepsi dan kategorisasi yang dibangun oleh Dave Hill (2007) terkait tiga model dasar praksis

pendidikan neoliberalisme. Ketiga model tersebut antara lain; (i) Capitalist plan for

educationyang mengarahkan agar RSBI untuk menciptakan lulusan yang mempunyai kompetensi internasional, mampu memenangkan kompetisi dalam pasar kerja di level global. Singkatnya RSBI menjadi penyedia buruh berkualitas dalam sistem kapitalisme

global. (ii) Capitalist plan in education yang mengorientasikan RSBI dikelola seperti

korporasi dalam rangka mencari keuntungan melalui lembaga pendidikan. Dengan menggunakan logika korporasi, sekolah menjadi penjual jasa pendidikan, murid dan orang

tua sebagai konsumen yang akan memberikan keuntungan secara financial. (iii)Capitalist

plan for education corporation globally memahami pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan secara global. Contoh paling mudah adalah adanya jasa jual beli lisensi, seperti sertifikat Cambridge, TOEFL, IELTS dan lainnya.

Kalau kita melihat tiga model neoliberalisme pendidikan di atas, maka ketiganya telah dikontektualisasikan melalui program RSBI dan SBI. Bagi para pendukung program ini, internasionalisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari era globalisasi, maka modus operandi di atas tidak bisa dielakkan, bila pendidikan Indonesia ingin mengikuti perkembangan pendidikan di tingkat global. Sistem pendidikan yang dominan dianut oleh dunia internasional, yang tentunya bersifat neoliberal harus diterima. Tanpa menautkan diri dengan sistem pendidikan yang berkembang, maka Indonesia akan semakin jauh tertinggal.

Sebaliknya, kelompok yang tidak sepakat dengan proyek sekolah internasional justru melihat bahwa RSBI adalah wujud keminderan bangsa Indonesia dihadapkan dunia Internasional. Seakan-akan hal-hal yang berbau internasional dianggap pasti berkualitas

dan berkelas tentutnya. Padahal pemberian label taraf internasional merupakan hasil

dorongan dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and

Development) yang bertujuan memberikan legitimasi kepada mereka untuk memasarkan

produk hard ware dan soft ware ke negara-negara berkembang, Indonesia termasuk di

dalamnya. Produk-produk tersebut misalnya seperti sistem kurikulum, mata pelajaran, soal dan pelaksanaan ujian, hingga tenaga kerja dari negara maju ke Indonesia. Namun, alasan lainnya yang tak kalah penting bagi kelompok ini adalah, adanya infiltrasi nilai, ideologi, dan budaya neoliberalisme melalui sekolah-sekolah bertarif internasional.

RSBI Belum Berhasil

(10)

elemen masyarakat, juga tetap mempersoalkan kebijakan pendidikan yang menurut mereka bias ideologi neoliberal.

Walaupun sudah berjalan selama hampir dua periode kepemimpinan SBY saat itu, polemik tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) banyak menyita perhatian publik.

Bahkan salah satu media nasional menjadikan tema ini sebagai headline, Program RSB)

Gagal Total (Jawa Pos, 4/01/2012). Program yang telah diimplemetasikan oleh Pemerintah

sejak tahun 2005 ini dinilai gagal atau dianggap belum memenuhi harapan pembuat kebijakan. Dari evaluasi Kemendikbud, program RSBI hingga awal 2012 belum ada satu pun RSBI yang lolos menjadi Sekolah Berstandar internasional (SBI). Hal ini disebabkan karena belum terpenuhinya keberadaan staff pengajar RSBI yang berijazah S2 (20% guru SMA dan 30% guru SMK), disamping juga masih minimnya kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki para guru yang berlabel RSBI.

Akan tetapi, Muhammad Nuh sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasionalmasih tetap optimis bahwa program RSBI belum berhasil bukan berarti gagal total karena memang program ini masih dalam proses. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ke depan program ini tetap dilaksanakan tentu dengan berbagai peningkatan dan perbaikan yang didasarkan pada evaluasi Kemendikbud. Wujud konkretnya pemerintah tetap akan memberikan subsidi sekolah-sekolah yang berlabel RSBI serta memberikan pendanaan bagi guru-guru RSBI yang belum menempuh S2. Pemerintah juga akan menghentikan sementara permohonan usulan RSBI baru di setiap jenjang pendidikan.

Dalam kasus ini, perlu diapresiasi keberanian Kemendikbud dalam merilis kegagalan

Program RSBI yang didasarkan pada evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan-nya di awal tahun 2012 saat itu. Jarang sekali sebuah instansi yang secara jujur mengakui ketidakberhasilan program kerjanya. Tentu ini menunjukkan sebuah

budaya good governance secara prosedural (akuntabilitas dan transparansi), meskipun

secara subtansial bisa jadi kebijakan yang dibuat bertentangan dengan filosofi negara (baca; Pancasila dan UUD) bila dikaitkan dengan hak dasar warga negara, yaitu persamaan hak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama bagi setiap warga negara.

Lebih lanjut, bagi kelompok yang tidak sepakat dengan kebijakan RSBI beragurgmen bahwa program ini bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD, karena secara sadar Pemerintah telah melakukan diskriminasi pelayanan pendidikan, mengedepankan nilai-nilai internasionalisme daripada nasionalisme dan membiarkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Pemerintah juga tak kalah argumentasi, bahwa program RSBI ini merupakan derivasi dari amanat Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Sisdiknas . Dalam aturan tersebut dinyatakan; Pemerintah dan atau pemerintah

(11)

melayangkan gugatan (judicial review) pada tanggal 28 Desember 2011, terhadap regulasi tersebut yang dianggap menjadi dasar penyelenggaraan RSBI.

Selain perdebatan dasar hukum yang dijadikan titik berangkat, yang lebih menarik dalam perspektif penulis adalah argumentasi yang berkaitan dengan peningkatan prestasi siswa dan persaingan global. Hal ini seperti yang seringkali disampaikan oleh Mendikbud (saat itu) Muhammad Nuh, bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya RSBI adalah untuk menampung pelajar-pelajar Indonesia yang berprestasi. Menurutnya, diperlukan perlakukan khusus bagi siswa yang mempunyai keunggulan prestasi agar mereka dapat berkembang dan mampu bersaing di tingkat global. Maka, selain siswa memiliki nilai mata pelajaran yang memuaskan (dibuktikan dengan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tinggi), mereka juga mempunyai penguasaan bahasa Inggris yang mumpuni. Memperkuat argumentasi Muhammad Nuh, Suyanto, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah saat itu, juga pernah menyampaikan bahwa selain meningkatkankan kualitas pendidikan untuk bersaing di era global, RSBI diharapkan bisa menghemat pengeluaran devisa negara. Sebab, RSBI bisa menekan jumlah orang-orang (kelas menengah ke atas) menyekolahkan anaknya

ke luar negeri (Jawa Pos, 8/01/2012).

Sadar atau tidak argumentasi yang dikemukan oleh pemerintah menunjukkan standpoint

dalam wacana globalisasi. Pemerintah menerima globalisasi sebagai diskursus yang

nyata dan bahkan kalau perlu mengimplementasikan globalisasi pra-syarat bagi kemajuan bangsa. Kalau dalam persoalan ekonomi politik pemerintah kita sudah menganut doktrin globalisasi yang diboncengi neoliberalisme, pelan tapi pasti kebijakan di sektor pendidikan juga akan atau bahkan telah menganut paradigma neoliberal. Ambil contoh kasus UU Sisdiknas, bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan dikurangi, atas dalih mengajak partisipasi masyarakat agar lebih merasa memiliki. Justru sebaliknya, hal ini membawa konsekuensi pada terjadinya privatisasi dan komodifikasi di kalangan masyarakat.

Kemunculan RSBI pun tidak bisa lepas dari diskursus persaingan bebas di era globalisasi. Pemerintah dengan mendasarkan diri pada UU Sisdiknas mempunyai kewajiban untuk membentuk SBI (Sekolah Berstandar Internasional) yang sebelumnya dimulai dengan pembetukan RSBI. Dana khusus pun diberikan dalam rangka mengenjot program ini, untuk SD yang berlabel RSBI diberikan subsidi 500 juta/tahun, SMP subsidi 400 juta/tahun, SMA subsidi 600 juta/tahun dan SMK 950 juta/tahun. Belum lagi ditambah dengan beasiswa bagi guru yang mengajar di sekolah yang ber-label RSBI (Jawa Pos, 4/01/2012). Tentu sekolah yang berlabel RSBI adalah sekolah yang memang sudah cukup dan memang berkualitas di daerah masing-masing yang didukung dengan SDM dan finansial mencukupi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana nasib sekolah yang dianggap tidak favorit, pinggiran atau bahkan di daerah terpencil?

(12)

memprihatinkan. Kasus sekolah seperti kandang ayam, sekolah roboh, dan sekolah tidak mempunyai guru yang mencukupi sudah jamak kita dengar. Belum lagi ditambah dengan kasus bocornya anggaran pendidikan di berbagai daerah akibat perilaku korup birokrasi.

Kalau dilihat dari perspektifkritis, RSBI jelas diperuntukan bagi masyarakat kelas menengah atas. Argumentasi bahwa RSBI dimaksudkan untuk menampung siswa yang berprestasi dan alasan menghemat devisa negara, karena meminimalisir orang-orang kaya menyekolahkan anak mereka ke luar negeri, jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah atas. Dan memang secara faktual, siswa yang masuk ke RSBI

adalah mereka yang berasal dari kasta sosial menengah atas. Tidak ada argumentasi

khusus pemerintah tentang RSBI yang dikaitkan dengan kepentingan kelompok mayoritas masyarakat yang tidak beruntung. Padahal pemerataan kualitas pendidikan bagi kelas sosial yang tidak beruntung inilah yang seharusnya diutamakan.

Sebagai program internasional RSB) tentu membutuhkan pendanaan yang juga bertarif internasional untuk mengembangkan kualitas suprastruktur, struktur dan infrastruktur pendidikan. Meskipun pemerintah memberikan subsidi di masing-masing jenjang

pendidikan, masih saja banyak ditemui sekolah yang ber- merk RSB) memungut

tambahan biaya. Seakan-akan dengan label RSBI sekolah mendapatkan legitimasi untuk menarik biaya kepada siswa, dan bagi sekolah yang nakal menjadikan media menambah pemasukan tambahan. Bagi orang tua (kaya) yang terobsesi agar anaknya bisa

menyandang siswa berkelas internasional tentu dana bukan halangan. Kalau perlu,

meskipun sebenarnya anaknya tidak terseleksi masuk sekolah/kelas internasional, mereka

akan berusaha merayu atau bahkan menyuap pihak sekolah demi social prestige

(terjemahan).

Meskipun belum ada penelitian secara resmi tentang kelas sosial siswa yang masuk di

RSB), tetapi saya berasumsi bahwa mayoritas berasal dari kelas sosial menengah atas.

Ada beberapa argumentasi yang perlu dibuktikan; pertama; siswa yang siap masuk RSBI

adalah mereka anak-anak yang secara asupan gizi tercukupi atau bahkan lebih, sehingga

mempengaruhi kesehatan dan kecerdasan anak secara biologis. Kedua; anak-anak secara

akademik cukup baik, terutama dalam mata pelajaran matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), dan bahasa Inggris. Untuk menguasai mata pelajaran ini biasanya orang tua memberikan les tambahan atau kalau perlu les privat untuk menguasai mata pelajaran

yang menjadi syarat utama masuk kelas Internasional. Ketiga, diperlukan tambahan dana

khusus untuk mengikuti kelas internasional; mulai dari buku billingual, laptop, ujian

internasional dan kebutuhan lainnya yang berbeda dengan sekolah/kelas reguler. Ketiga,

budaya sekolah/kelas. Bagi siswa RSBI; misalnya siswa SMA Negeri Favorit, mereka seperti pindah kelas dari sekolah elit/favorit sebelumnya yang juga berlabel RSBI, yang juga mayoritas berasal dari kelas menengah atas, mereka akan sangat mudah menyesuaikan budaya belajar dengan sekolah/kelas internasional. Meskipun ada siswa dari kelas menengah bawah yang berprestasi ,jumlahnya relatif kecil yang dapat masuk RSBI. Kalau

pun mereka bisa masuk ke kelas internasional, mereka akan mengalami shock culture

ketika berinteraksi dengan teman-teman mereka yang berasal dari kelas menengah atas

(13)

Siswa-siswa alumni RSBI (nantinya SBI) akan dengan mudah masuk PTN favorit atau bahkan Perguruan Tinggi di luar negeri. Dengan label alumnus RSBI atau SBI tentu sangat mudah bagi mereka mengikuti pelajaran di perguruan tinggi. Di kampus-kampus ternama itulah mereka memperkuat modal budaya, sosial dan simbolik baik bergabung dengan organisasi intra kampus, organisasi ekstra, atau pun profesi, sehingga ketika mereka lulus

kampus mereka sudah sangat siap untuk bersaing di dunia nyata. Dengan ilmu, skill dan

social networking yang mereka miliki tentu sangat gampang kalau hanya sekedar untuk bekerja atau membangun bisnis. Hal itu pun akan dilakukan oleh anak-anak mereka, sehingga ketika anak mereka masuk sekolah/perguruan tinggi favorit, sebenarnya mereka hanya menjaga tradisi keluarga kelas menengah atas. Dan kalau pun mereka berprestasi, itu merupakan suatu hal yang wajar, dan bukan hal yang luar biasa karena mereka telah memiliki prasyarat untuk meraihnya. Kondisi ini akan sangat berbeda apabila terjadi pada

anak kelas menengah bawah, mereka bukan menjaga tradisi tetapi melakukan “perjuangan

kelas atau mobilitas vertikal .

Internasionalisasi yang Gagal

Upaya pemerintah Indonesia untuk mempercepat proses internasionalisasi pendidikan melalui kebijakan RSBI ternyata tidak semulus seperti yang dibayangkan. Meskipun mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk yayasan atau lembaga pendidikan swasta yang menyelenggarakan RSBI, suara mereka tidak senyaring kelompok yang menolak. Berbagai kelompok masyarakat yang menolak kebijakan ini, khususnya yang dimotori oleh lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyakarat, akademisi dan

anggota Parlemen tetap bergerilya menghentikan kebijakan tersebut3. Hingga pada

akhirnya kelompok ini mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi terkait

Undang-undang yang menjadi dasar diberlakukannya RSBI.

Gerakan penolakan terhadap pemberlakukan RSBI mengalami puncaknya ketika

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengabulkan tuntutan Judicial Reviewyang

diajukan oleh beberapa elemen masyarakat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan

tersebut dengan mendasarkan diri pada beberapa argumentasi yuridis maupun sosiologis4.

Pertama, status-status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional tersebut memunculkan diskriminasi dalam pendidikan dan membuat sekat antara lembaga pendidikan.Penggolongan kasta dalam sekolah seperti SBI, RSBI dan Sekolah Reguler itu bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan

konstitusi.Kedua, biaya tambahan karena sistem RSBI merupakan bentuk ketidakadilan

3 Kelompok masyarakat yang secara fokal menyerukan pembubaran RSBI mereka antara lain FSGI, LBH Pendidikan, Koalisi Pendidikan, ICW, YLBHI, ElSAM. Mereka secara kolektif mengajukan judicial review

terhadap landasan yuridis program unggulan ini. Sedangkan anggota parlemen yang juga ikut menolak adalah Fayakhun Andriadi, anggota Fraksi Partai Golkar di DPR RI. Ia mengingatkan pemerintah Indonesia tidak membuat `kastanisasi pendidikan` melalui RSBI karena mencederai keadilan masyarakat, terutama mereka yang kurang beruntung. (ANTARA News, 30/03/2010).

(14)

terhadap hak untuk memperoleh pendidikan yang setara. Hanya siswa dari keluarga kaya atau mampu yang mendapatkan kesempatan sekolah di RSBI atau SBI yang merupakan sekolah kaya atau elit. Sedangkan siswa dari keluarga sederhana atau tidak mampu hanya memiliki kesempatan diterima di sekolah umum (sekolah miskin).

Lebih lanjut, ketiga, penekanan bahasa Inggris bagi siswa di sekolah RSBI atau SBI dinilai

sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda tahun 1928. Sumpah pemuda tersebut dalam salah satu ikrarnya menyatakan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Sebab itu, lanjutnya, seluruh sekolah di Indonesia seharusnya menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Adanya aturan bahwa bahasa Indonesia hanya dipergunakan sebagai pengantar untuk di beberapa mata pelajaran seperti pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal di RSBI/SBI, maka sesungguhnya keberadaan RSBI atau SBI secara sengaja mengabaikan peranan bahasa Indonesia dan bertentangan dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia.

Dengan dibatalkannya pasal 50 ayat 3 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka berdampak pula bagi kelanjutan program internasionalisasi pendidikan menengah di Indonesia, yaitu RSBI dan SBI. Padahal pasal tersebut telah menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan 1300-an sekolah berlabel RSBI. Dengan keputusan MK ini, berarti status RSBI harus dihapus dan penyelenggaraan satuan

pendidikan berkurikulum internasional tidak diperbolehkan lagi. Sebagai

konsekuennyaturunannya, pemerintah harus segera mencabut Permendiknas No 78/2009 tentang Penyelenggaraan RSBI. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus melakukan revisi terhadap undang-undang sistem pendidikan nasional yang isi pasalnya sudah tidak lagi relevan (Kompas, 8/01/2013).

Pada lain ada kelompok yang tetap melihat RSBI memiliki dimensi positif dalam meningkatkan sekaligus melakukan akselerasi kualitas pendidikan Indonesia di tingkat regional maupun Internasional. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Nugroho (2013), bahwa sisi positif yang selama ini dikembangkan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) harus terus dilanjutkan.

"Meski RSB) sudah ’almarhum’ dengan keputusan Mahkamah Konstitusi MK , sisi

positif yang ada di RSBI harus dilanjutkan. Kan tidak semua yang ada di RSBI jelek," kata Nugroho di Semarang, Selasa (Kompas, 8/1/2013).

Hal itu diungkapkannya ketika meresponkeputusan MK yang membatalkan Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur penyelenggaraan RSBI dan sekolah bertaraf internasional.Secara objektif, harus diakui bahwa ada beberapa aspek-aspek positif yang selama ini dikembangkan RSBI, terutama menyangkut manajemen tata kelola, budaya mutu, kedisplinan. membangun jejaring dan kemitraan sekolah yang berkontribusi baik untuk penyelenggaraan

pembelajaran.Program sister school di RSBI misalnya, merupakan upaya membangun

(15)

pengetahuan, pengalaman, serta budaya unggul sekolah di berbagai lembaga pendidikan di negara-negara maju.

Akan tetapi, ada hal lain yang juga harus diakui munculnya unsurnegatif keberadaan RSBI, di antaranya potensi liberalisme pendidikan dengan memberi kebebasan RSBI menarik pungutan pada orang tua siswa, berbeda dengan sekolah non-RSBI.Keberadaan RSBI bisa menimbulkan jarak sosial yang sangat mencolok antara siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu, sebab yang kemudian mengenyam pendidikan RSBI dari kalangan berada.Dengan kata lain, kebijakan RSBI hanya menguntungkan golongan kelas sosial tertentu, dalam hal ini kelompok kelas menengah. Dan sebaliknya, mempersempit ruang mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas bagi kelas bawah.

Memang benar ada ketentuan RSBI harus menyediakan kuota 20 persen bagi siswa tidak mampu. Persoalannya, apakah kemudian siswa tidak mampu mau bersekolah di RSBI?

Pasti ada beban secara psikologis yang diakibatkan oleh perbedaan habitus kelas sosial

yang berbeda. Secara empirik, kuota 20 persen yang disediakan RSBI bagi siswa kurang mampu selama ini belum pernah terpenuhi. Hal inidisebakankarena pelajar dari keluarga tidak mampu, secara psikologis akan berpikir ulang untuk masuk ke RSBI. Kalau terus-menerus seperti itu, pendidikan bermutu hanya bisa diakses kalangan mampu, hanya dari kelas sosial menengah ke atas)tertentu saja yang nanti dapat mengakses pendidikan berkualitas. Sedangkan mereka yang tidak mampu membayar biaya RSBI, hanya mampu menuntut ilmu di sekolah yang secara kualitas biasa saja.

Berangkat dari realitas tersebut, seakan-akan program RSBI mempunyai tujuan objektif kepada masyarakat Indonesia secara luas. Namun kalau ditelusuri secara mendalam, ternyata kebijakan ini memiliki bias kelas sosial dan lokasi, karena hanya mereka yang secara kelas ekonomi mampu membayar uang tambahan-lah yang bisa mengakses program interasionalisasi pendidikan. Sehingga bagi siswa yang mempunyai kemampuan akademik namun tidak memiliki kekuatan financial dalam praktiknya memilih untuk tidak masuk kelas RSBI tersebut karena masalah biaya. Akan teapi sebaliknya, di lapangan banyak dijumpai, pelajar yang secara objektif tidak memiliki kualifikasi masuk RSBI, namun dpat membayar uang lebih bisa masuk dalam program ini.

Melalui program RSBI ini harapannya pendidikan mampu melakukan perubahan sosial

serta mampu melahirkan praktik sosial baru di Indonesia, yaitu dalam

rangkamempersiapkan generasi muda yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang relevan untuk menghadapi tantangan di era global. Sebaliknya, dalam kasus RSBI ini,

pendidikan justru hanya mampu me-reproduksi sistem sosial status quo. Sehingga

pendidikan belum mampu menjadi kekuatan untuk melakukan transformasi sosial, tapi hanya melegitimasi sistem sosial yang dominan.

Nasib Internasionalisasi Pendidikan

(16)

kompetitif serta dapat memenuhi tuntutan masyarakat global. Secara global, Knight (2003) mendefinisikan internasionalisasi sebagai sebuah proses mengintegrasikan dimensi internasional, interkultural, atau global ke dalam tujuan, fungsi dan layanan pendidikan.

Lebih lanjut, Verhoeven (2004) melihat internasionalisasi dari empat macam pendekatan. Pertama pendekatan kegiatan, internasionalisasi mengacu pada mobilitas lembaga dan

siswa, serta perekrutan siswa. Kedua pendekatan kompetensi, yaitu hasil dan sasaran

siswa dan guru sebagai produk dari interaksi dengan dunia internasional. Ketiga

pendekatan budaya, hadirnya akademisi berkebangsaan asing di sebuah sekolah yang

mempengaruhi budaya lokal. Dan keempat, pendekatan proses dan strategi, yaitu

memisahkan tiga pendekatan di atas ketika mereka menyatu dalam sebuah perencanaan dalam rangka memberikan nuansa internasional dalam sebuah kebijakan pendidikan sebuah negara.

Menurut Altbach dan Knight (2006), upaya internasionalisasi sesungguhnya bukanlah sesuatu fenomena baru dalam dunia pendidikan di dunia. Sudah banyak negara-negara di dunia yang mengimplementasikan, termasuk negara-negara yang berada di kawasan Asia. Beberapa negara tersebut, seperti Jepang, China, India, Singapura, Thailand, dan Malaysia telah lama membangun jaringan dan kerjasama dengan berbagai negara Barat dan Timur Tengah dalam rangka memajukan pendidikan mereka. Serta perlu diketahui bahwa China merupakan negara eksportir utama bagi sesama negara Asia.

Program RSBI merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia melakukan upaya mengintegrasikan dengan dunia global dalam ranah pendidikan. Pemerintah melalui RSBI mengimajinasikan agar kualitas pendidikan Indonesia bisa bersanding dengan negara-negara maju. Program internasional ini secara umum bertujuan meningkatkan mutu kinerja sekolah. Agar dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara optimal serta meiliki daya saing di level global. Secara khusus RSBI bertujuan meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dalam rangka menyiapkan siswa dengan standar kompetensi lulusan yang memiliki daya saing internasional, yaitu dengan 14 karakter yang telah

ditetapkan5 (Abdul Syukur, 2010). Singkatnya, program RSBI secara ideal akan berdampak

langsung pada kemajuan sekolah bila secara nyata diimplementasikan.

Secara serentak kebijakan RSBI ini telah dimulai sejak tahun 2005 sebagai penerjemahan dari UU Sisdiknas tahun 2003. Program RSBI bukan hanya dibebankan kepada pemerintah

(17)

pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja tetapi juga Pemerintah Propinsi dan Daerah. Bahkan, secara yuridis (siapa) mewajibkan kepada setiap pemerintah daerah menyelenggarakan RSBI sebagai program unggulan untuk menghadapi era global.

Sehingga hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki minimal satu sekolah sebagai pilot

project RSBI.

Dalam perkembangannya, banyak sekolah negeri maupun swasta juga berlomba-lomba untuk mendapatkan label RSBI. Hal ini disebabkan karena label tersebut bukan hanya bisa

mendatangkan prestise tapi juga sebagai strategi untuk mendapatkan bantuan dana

sekaligus juga cara memperoleh pendapatan tambahan di luar biaya regular. Sehingga sangat wajar bila label RSBI ini memiliki daya tarik tersendiri bagi sekolah. Bagi orang tua yang menjadi wali murid, tentu akan menjadi kebanggaan sosial, bahwa anak mereka masuk kelas atau sekolah program internasional.

Terlepas dari persoalan di atas, harus diakui bahwa program RSBI ini merupakan upaya

pemerintah melakukan internasionalization at home, yaitu upaya mengintegrasikan

pendidikan nasional di level sekolah dengan sistem pendidikan luar negeri. Proses pengintegrasian ini dilakukan agar para siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan seperti yang diberikan pada sekolah-sekolah luar negeri, khususnya di negara-negara maju. Maka, upaya secara objektif harus didukung dengan berbagai dukungan bukan hanya dari segi regulasi, tapi juga dari ketersediaan SDM dan siswa tetapi juga dari sarana dan prasaran proses pembelajaran program internasional ini. Sehingga, sangat wajar bila untuk menjalankan program ini pemerintah harus mengalokasikan anggaran secara khusus.

Akan tetapi sayang, dalam perjalanannya, belum genap enam tahun program ini mendapatkan tantangan dan penolakan yang sangat luar biasa dari sebagian elemen masyarakat. Mereka menolak dengan berbagai alasan dan argumentasi yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Paling tidak secara umum mereka menolak didasarkan pada dua ranah, yaitu subtansial dan prosedural. Pada ranah prosedural, mereka menggangap RSBI bertentangan dengan semangat nasionalisme, bias kelas sosial, diskriminatif bagi kelompok masyarakat tertentu, dan bertentangan dengan prinsip pendidikan yang tertuang dalam UUD 1945. Secara prosedural, mereka melihat RSBI menghabiskan dana yang cukup banyak tetapi belum mampu memenuhi target yang sesuai yang diharapkan sesuai aturan. Lebih lanjut, mereka juga menggunakan hasil evaluasi Kemendikbud ternyata banyak guru yang mengajar di RSBI belum memenuhi kualifikasi, khususnya dalam penguasaan bahasa Inggris.

(18)

kegiatan akademik, pertukaran guru dan murid dan lainnya. Meskipun secara sederhana oleh publik, RSBI hanya dipahami sebagai kelas atau sekolah berbahasa Inggris, tidak kurang dan tidak lebih. Padahal program ini bertujuan lebih luas lagi, yaitu untuk melakukan akselerasi kualitas pendidikan Indonesia di tingkat regional bahkan internasional.

Salah satu kritikan tajam terhadap RSBI adalah penggunaan kurikulum, buku, dan bahasa pengantar dalam bahasa Inggris, yang dianggap bisa melunturkan nasionalisme. Dalam konteks tertentu kritikan ini ada benarnya, namun pada sisi lain juga bentuk ketakutan yang berlebihan dengan setiap sesuatu yang berbau asing. Di sinilah seharusnya baik itu pemerintah, pengamat pendidikan, serta pegiat pendidikan mencari solusi dalam proses mencari bentuk sekolah berwawasan global dengan mengabungkan keunggulan lokal, nasional,dan internasional.

Dalam kasus penggunaan bahasa asing, jauh sebelum RSBI telah banyak pondok pesantren yang juga menerapkan bahasa asing sebagai bahasa pembelajaran. Bahkan lembaga-lembaga pendidikan tersebut mewajibkan para santri berkomunikasi baik di sekolah maupun asrama dengan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Arab. Namun, tidak membuat guru dan siswa yang mempraktikan bahasa asing tersebut luntur jiwa nasionalisme. Ini yang juga menarik menjadi catatan bagi kelompok yang menolak penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran RSBI.

Meski program RSBI tidak lagi ada tetapi banyak sekolah negeri dan swasta melakukan proses internasionalisasi melalui program kelas internasional yang dibiayai mandiri dan tidak menggunakan pembiayaan dari pemerintah. Misalnya, banyak sekolah yang

mengikuti Cambridge International Class baik dari sekolah swasta dan sedikit sekolah

negeri. Meskipun demikian, hal ini tidak menjadi polemik di kalangan masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena program ini tidak diatur di dalam undang-undang secara ketat serta didanai melalui anggaran negara, layaknya RSBI. Meski program internasionalisasi melalui RSBI dan SBI dibubarkan oleh Pemerintah atas perintah Mahkamah Konstitusi, tapi program pendidikan kelas internasional masih terus diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan dasar dan menengah, meskipun jumlahnya tidak sebanyak dan semassif ketika RSBI diselenggarakan.

(19)

Bentuk dan praktik RSBI yang telah dibatalkan oleh MK tidak ideal tetapi sebagai sebuah semangat membangun pendidikan berkualitas sangat dibutuhkan.Tentu dengan berbagai perubahan dan perbaikan perlu membangun program internasionalisasi dalam bentuk dan modus operandi lainnya. Program pendidikan yang mampu mempersiapkan serta membekali pelajar Indonesia yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia global harus diberikan. Agar mereka siap berkiprah dan bersanding sejajar dengan berbagai pelajar dari negara lain dengan percaya diri. Eksperimentasi internasionalisasi pendidikan pasca RSBI tentu perlu dilakukan di masa akan datang sebagai respon produktif terhadap globalisasi.

PUSTAKA ACUAN

Altbach, P. G.& Jane Knight. (2006). The Internationalization of Higher Education:

Motivations and Realities. The NEA Almanac of Higher Education: hlm. 4-5.

Beck, U. (2000).What is Globalization?. Cambridge: Polity Press.

Darmaningtyas. & Subhan, E. (2012). Manipulasi Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Resist

Book.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Panduan Penyelenggaraan Program Rintisan

SMA Berstaraf Internasional. Dirjen Dikdasmen

Giddens, A. (2001). Runaway World; Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita.

Jakarta: Gramedia.

Hill, Dave. (2007). Critical Teacher Education, New Labour, and The Global Project of

Neoliberal Capital , Policy Futures in Education, Vo. 5, No. 2, hlm. 204-225.

Knight, Jane. (2003). Updated Defintion of )nternationalization , )nternational (igher

Education. The Boston College Center For International Education.

Lie, Anita. 6 . Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi , dalam Pendidikan Manusia

Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.

Martono, Nanang.(2011). Sosiologi Perubahan Sosial; Perspektif Klasik, Modern, Posmodern,

dan Poskolonial. Jakarta; Rajawali Press.

Ma'ruf, Ade dan Alimi, Anas Syahrul. (2000). Shaping Globalization . Yogyakarta: Jendela.

Mudzakkir, Moh. . RSB) dan Reproduksi Kesenjangan Sosial. Suara Muhammadiyah

Edisi Februari, 2012.

Soesastro, H. (2000). "Setelah Muncul Globaphobia, Harus Bagaimana Hadapi Globalisasi?".

Dalam N. Leksono, Indonesia Abad XXI, di Tengah Kepungan Perubahan Global

(hlm. 33-43). Jakarta: Kompas.

Scholte, Jan Aart. (2000). Globalization: A Critical Introduction. New York: Saint Martin

Press

Suyanto, (2006). Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global. Jakarta;

PSAP Muhammadiyah.

Syukur, Abdul. (2010). Internasionalisasi Pendidikan di Indonesia, Thesis S2. Jakarta:

Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Tilaar, H.A.R. (2005). Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Buku Kompas..

………… . Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk

Indonesia. Jakarta; Rineka Cipta.

Verhoeven, Jef C. (2004). )nternationalization and Commercialization of Higher Education

(20)

Astika, Gusti. http://gurupembaharu.com/home/model-kelas-bilingual-di-sekolah-bertaraf-internasional-sebuah-pemikiran-konseptual/, didownload pada 15/11/2015. www. antaranews, 30/03/2010, diunduh pada 15/11/2015

Referensi

Dokumen terkait

Penulis tertarik untuk membahas masalah apa yang terjadi dalam novel The Cuckoo’s Calling dan bagaimana cara sang detektif mengungkap kasus tersebut. Dalam

1) Pengolahan tanah sawah sehat adalah pengolahan tanah yang dilakukan secara konvensional, dengan memberikan asupan bahan organik seperti kotoran hewan, hijauan, limbah

[r]

To Contribute for REDD+ and carbon stock enhancement through community empowerment in conservation and Meru Betiri National Park

Lebih jauh lagi dengan pengukuran kelistrikan ini tidak hanya menghindari denda beban energi reaktif (kVARh) yang diterapkan oleh PT PLN apabila factor daya listrik gedung lebih

Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat

[r]

Libur Smt 2 2014/2015 dan MOPDB Libur sebelum Idul Fitri 1436 H Libur setelah Idul Fitri 1436 H Ulangan Tengah Semester Kegiatan Tengah Semester Ulangan Akhir Semester 1