• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum tentang Raperda Provinsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjauan Hukum tentang Raperda Provinsi"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Hukum tentang Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat tentang Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Hukum Adat1

Disusun oleh : Nurul Firmansyah, SH.,M.Si.

1. Pendahuluan

Tinjauan terhadap Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat rentang Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat (Kemudian disebut Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat) ini

adalah analisis hukum doktrinal atas muatan materi pengaturan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat

hukum adat. Dalam pendekatan tersebut, maka mengasumsikan hukum merupakan sebuah sistem, dan Raperda

pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat adalah satu produk hukum di level daerah sehingga harus

konsisten dan koheren dengan produk hukum lain, terutama yang bersifat hirarkis demi mendatangkan kepastian

hukum.

Analisis doktrinal dalam tinjuan ini juga menggunakan sumber hukum sekunder berupa literatur antropologi dan

sosiologi tentang masyarakat hukum adat. Literatur antropologi dan sosiologi tentang masyarakat hukum adat

membantu menjelaskan kerangka konseptual masyarakat hukum adat yang akan diatur dalam Raperda ini.

Penggunaan pendekatan ilmu antropologi dan sosiologi dalam kerangka regulasi masyarakat hukum adat telah lama

digunakan sejak masa kolonial Hindia Belanda sampai dengan sekarang.

Secara umum, Tinjauan hukum ini menggunakan metode kajian hukum normatif dengan menggunakan sumber data

hukum primer dan sekunder yang relevan dengan objek kajian. Tinjauan hukum ini diperuntukkan untuk masukan

terhadap penyempurnaan muatan materi Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai

bagian dari produk perundang-undangan. Sistematika penulisan tinjauan hukum ini dibagi atas lima (5) bagian, yaitu:

pertama, pendahuluan; menjelaskan latar belakang dan metodologi penulisan tinjauan hukum, kedua; konsep masyarakat hukum adat; menjelaskan kerangka konsep masyarakat hukum adat, Ketiga, Kerangka hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat; menjelaskan dasar yuridis pengaturan masyarakat hukum

adat, terutama terkait dengan kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dalam pengakuan dan perlindungan

masyarakat hukum adat keempat; Analisis muatan materi Raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat; berisi elaborasi normatif atas muatan materi raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,

kelima; Rekomendasi ; berisi masukan penyempurnaan isi raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.

(2)

2. Konsep Masyarakat Hukum Adat

Sarjana-sarjana Eropa pada masa Pemerintahan Hindia Belanda telah mengembangkan konsep masyarakat hukum

adat. Konsep masyarakat hukum adat sendiri terkait dengan keberadaan persekutuan -persekutuan hukum daripada

golongan masyarakat pribumi atau disebut juga dengan adat rechtsgemeenschappen.2 Van Vallenhoven adalah sarjana yang paling menonjol dalam menjelaskan konsep ini yang kemudian diteruskan oleh sarjana-sarjana lain,

terutama J.F. Holleman. Secara umum, Holleman menyebutkan bahwa adat rechtsgemeenschappen adalah; unit sosial yang terorganisir dari masyarakat pribumi yang mempunyai pengaturan yang khusus dan otonom terhadap

kehidupan masyarakatnya karena adanya dua faktor; (1) Representasi otoritas lokal (kepemimpinan adat) yang

khusus, (2) Kekayaan komunal, utamanya tanah, yang memungkinkan komunitas tersebut menjalankan

pengaturannya, (Savitri dan Uliyah, 2014).

Secara lebih detil, konsep Adat rechtsgemeenschappen sendiri menggunakan kacamata ilmu antropologi dan sosiologi tentang struktur sosial masyarakat adat. Adat rechtsgemeenshappen berakar dari konsep gemeinschaft untukpadanan lain dari community (komunitas) yang membedakannya dengan Gesellschaft , yaitu padanan lain untuk society. Gemeinschaft adalah bentuk alamiah dari sebuah kelompok yang tumbuh dari hubungan organis antara manusia dengan lingkungannya, dan mempunyai ikatan sukarela antar manusia dan kelompok. Sedangkan

Gesellschaft adalah kelompok artifisial yang terikat dengan kesadaran dan persamaan tujuan.(Sasmita, 2016). Gemeinschaft sendiri tidak otomatis menjadi persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen), apabila belum memenuhi kriteria sebagai entitas hukum. Kriteria sebagai persekutuan hukum sendiri oleh Ter Haar dijabarkan sebagai ―golongan-golongan yang mempunyai tata-susunan yang tetap dan kekal, dan orang yang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. tidak sekalipun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan harta benda, milik keduniaan dan alam gaib.‖ (Sasmita, 2016).

Rechtsgemeenschappen atau Persekutuan Hukum adalah konsep umum untuk membantu menjelaskan masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenscappen) secara khusus, yaitu persekutuan-persekutuan hukum yang berbasis pada adat.3 Salah satu ciri khusus paling menonjol daripada Masyarakat hukum adat adalah hubungannya dengan

2 Pemisahaan golongan penduduk ini terdiri dari golongan Pribumi, golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Istilah ‗Pribumi‘ identik dengan masyarakat asli yang membedakannya dari golongan Eropa dan Timur Asing. Pemisahaan golongan adalah implementasi politik Kolonial Eropa di Indonesia, Wignosoebroto, (2014)

3

(3)

kedaulatan atas wilayah adat atau beschikkingsrecht4 yang jamak dikenal dengan konsep hak ulayat yang merupakan sumber kekayaan yang hanya bisa dinikmati oleh anggota komunitasnya, (Sasmita ,2016 ; Warman,

2006).

Selain itu, Masyarakat hukum adat secara khusus juga mempunyai susunan dan corak yang terbagi dari tiga

kelompok; geneologis, territorial dan campuran (geneologis-teritorial), (Anwar dalam Firmansyah ,2012). Susunan

masyarakat hukum adat bersifat fungsional yang disebutkan oleh Mahmakah Konstitusi dalam Putusan MK

N0.35/PUU-X/2012 adalah golongan masyarakat hukum adat yang tidak digolongkan pada tiga golongan klasik

tersebut diatas. Masyarakat Hukum Adat bersifat fungsional belum mempunyai definisi baku dan detil namun di

analogikan seperti sistem irigasi subak di Bali oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu komunitas yang terikat pada

fungsi-fungsi khusus sekaligus tradisional.5 Fungsi-fungsi khusus tersebut menyangkut kepentingan bersama yang

mempersatukan dan tidak bergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah (Savitri dan Uliyah, 2014).

Masyarakat hukum adat adalah pengampu hukum adat, yaitu memproduksi dan menjalankan hukum adat tersebut

yang oleh Van Vallenhoven diklasifikasi dalam 19 wilayah berlakunya hukum (rechtskringen). Rechtskringen6 bukanlah wilayah persekutuan hukum masyarakat adat, namun adalah wilayah kebudayaan yang identik dengan

wilayah sebaran etnis. Oleh sebab itu, Rechtskrigen yang disebutkan oleh Van Vallenhoven tidak memiliki unsur sebagai adat rechtsgemeenscappen, sehingga Rechtskringen tidak mempunyai suatu sistem pengaturan yang memiliki otoritas di wilayah adat sehingga sulit dijadikan obyek pengakuan hukum. Contoh dari masyarakat hukum

adat atau adat rechtsgemeenschappen adalah nagari yang mempunyai hak ulayat bukan pada wilayah lingkaran hukum adat minangkabau (Zakaria, 2016).

lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara para anggota, memandang yang bukan anggota sebagai orang luar dan

menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayan yang hanya dapat dimanfaatkan oleh anggotanya. Lihat Kurniawarman (2006). 4 Soetandyo Wignosoebroto menyebutkan bahwa beschikking adalah hak penguasaan yang berada ditangan komunitas desa berdasarkan hukum adat atas suatu teritori tertentu. Orang-orang adat tidak menciptakan istilah khusus untuk menyebut hak semacam ini, sehingga pengkaji –pengkaji hukum adat harus menciptakan istilah khusus untuknya. Van Vallenhoven mengakui bahwa penggunaan istilah beschikkingrechts ini atau terjemahaannya the rights of disposal, yang dipakai sendiri olehnya dalam tulisan tentang ―The Study of Indonesia Customary Law, Illinois Law Review, Th.XIII (1918) adalah kurang tepat karena menurut hukum adat komunitas yang memegang hak ini dapat mengalihkan haknya atas objek yang berkenaan secara mutlak dan permanen kepada subjek hak lain (Holleman, 1981). Oleh Wignosoebroto padanan Hak Purba untuk menyebut jenis hak ini lebih tepat karena ―purba‖ dalam bahasa jawa lebih terbatas dalam maknanya sebagai ―penguasaan untuk mengurusi, mengatur dan atau menjaga agar semua berlangsung aman dan tertib. Sedangkan dalam pendekatan hukum agrarian, ‖Budi Harsono (2003) menjelaskan secara lebih detil bahwa Beschikkingsrechts mempunyai tiga aspek yaitu ; (1) hak ulayat masyarakat hukum adat yang beraspek perdata sekaligus publik, (2) hak kepala adat/tetua adat bersifat hak public, (3) hak – hak atas tanah individual baik langsung atau tidak langsung berasal dari hak ulayat. Kemudian Bakri (2007) mempertegas bahwa hak ulayat mempunyai dua aspek : (1) aspek keperdataan mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota atau warga komunitas adatnya, (2) yang berarti mengandung tugas kewajiban mengelola, mnagtur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaan tanah bersama. Secara umum, definisi Beschikkingsrechts atau Hak ulayat oleh westenenck disebut sebagai kekuasaan, hak untuk mengurus, mengawas dan juga menguasai atas wilayah adat.

5 Lihat misalnya Janiawati (2014) yang menyebutkan bahwa sistem Subak adalah ekspresi tradisi sekaligus fungsi-fungsi yang dibentuk oleh satu komunitas atau lintas komunitas untuk kebutuhan masyarakat secara lebih luas dalam menciptakan sistem distribusi air irigasi yang berfungsi sosial maupun lingkungan.

6

(4)

Dalam pendekatan Pluralisme hukum, pembentukan negara Bangsa Indonesia melahirkan interaksi antara hukum

negara dengan hukum adat dan bahkan hukum agama. Interaksi hukum ini menghasilkan konflik, akomodasi dan

adopsi. Interaksi yang berujung pada akomodasi dan adopsi muncul dari saling meminjam elemen-elemen

masing-masing hukum. Peminjaman masing-masing-masing-masing elemen-elemen hukum tidak melahirkan masalah hukum baru jika

elemen yang dipinjam diintegrasikan ke dalam falasafah sistem hukum yang meminjam dan peminjaman elemen

tersebut membuat sistem hukum yang meminjam berlaku efektif. Persoalan muncul jika interaksi antar hukum menghasilkan ―hukum baru‖ yang campuran (Hybrid).7

Interaksi antar elemen-elemen hukum adat dan negara dan juga bahkan hukum agama terjadi dalam dua arena,

yaitu; pertama, pembentukan hukum oleh komunitas adat yang membentuk norma baru, misalnya norma hibah tanah adat yang merupakan norma baru dari interaksi adat dan islam di Sumatera Barat kedua, pembentukan kelembagaan masyarakat hukum adat baru, misalnya struktur desa adat yang mengadopsi struktur adat dan negara

yang membentuk struktur baru yang khas, (Firmansyah, 2016; Vel dan Badner, 2016). Pendekatan pluralisme

hukum diatas diperlukan sebagai analisis untuk melihat situasi dan dinamika bekerjanya hukum adat dan

kelembagaan masyarakat hukum adat sebagai pengampu hukum adat pada konteks terkini dan dinamika

masyarakat hukum adat secara lebih luas terutama dalam interaksinya dengan Negara.

Artinya, untuk membantu melihat komunitas masyarakat hukum adat yang menjadi jantung subjek pengaturan dalam

Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ini, maka mempertimbangkan tiga hal : (1)

Masyarakat hukum adat memiliki kekhasan sebagai komunitas yang terikat secara alamiah dan memiliki hak ulayat

atas wilayah adat, (2) Masyarakat hukum adat bersifat dinamis, sehingga kemungkinan masyarakat hukum adat

bersifat fungsional bisa menjadi salah satu subjek pengaturan, (3) masyarakat hukum adat sebagai pemangku

hukum adat memiliki dinamika dalam relasinya dengan hukum negara dan hukum lain, baik dalam arena

pembentukan hukum maupun kelembagaan pencipta dan pelaksana hukum ditingkat komunitas masyarakat hukum

adat. Perubahan-perubahan akibat interaksi antar hukum tersebut belum tentu dengan serta merta merubah

eksistensi masyarakat hukum adat.

3. Kerangka Hukum Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Kerangka hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat8 dan hak-haknya dalam sistem hukum

Indonesia tercantum dalam UUD 1945. Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 i UUD 1945. Dua pasal tersebut adalah

7

Ricardo Simarmata menjelaskan hukum campuran digunakan untuk menjelaskan norma-norma yang tidak bisa lagi dikualifikasikan sebagai norma formal ataupun norma informal (Irianto, 2005) dan dari sisi sebab norma Hybrid tersebut lahir karena penetrasi antar sistem norma hanya berujung pada tumpang tindih yang tidak sampai pada hubungan saling meniadakan (Santos 2006, Michaels 2009).

(5)

pasal-pasal pokok tentang kedudukan hukum masyarakat hukum adat sebagai subjek penyandang hak9 dan

kewajiban, walaupun tidak menyebutkan definisi masyarakat hukum adat secara detil dan ketat.

Pasal 18 b ayat (2) menyebutkan bahwa; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Namun, pengakuan negara atas masyarakat adat ini bersyarat (conditionalities) yang terdiri dari ;

1. Masyarakat adatnya masih hidup;

2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat;

3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 28 i yang masuk dalam rumpun Hak Asasi Manusia mempertegas pasal 18 b ayat (2) dengan menyebutkan

bahwa ikatan masyarakat adat dengan tanah dan sumber-sumber alamnya adalah salah satu unsur pembentuk ‗identitas budaya‘ masyarakat hukum adat.10 Artinya, ikatan masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber-sumber alam adalah pembentuk identitas masyarakat adat dan merupakan hak asasi.11 Selanjutnya, Pasal 32 ayat

(1) dan (2) secara implisit menyebutkan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya dan bahasa masyarakat hukum

adat.

Masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum penyandang hak (hak-hak tradisional) menjadi isu sentral dalam

pelaksanaan pemenuhan dan perlindungan hukum masyarakat hukum adat terutama sejak lahirnya

Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Masyarakat Hukum Adat.12 Rumusan masyarakat hukum adat sebagai subjek

hak sendiri adalah13:

1. Pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat tidak bersifat individual, melainkan pengakuan atas suatu

“kolektiva”14

9 Hak-hak khusus masyarakat adat terkait dengan identitas dan kebutuhan khusus masyarakat hukum adat, yang juga disebut dengan hak tradisional dalam UUD 1945 paska perubahan atau hak asal usul dalam UUD 1945. Hak asal usul kemudian digunakan kembali untuk menjelaskan hak tradisional masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa. Hak tradisional atau hak asal usul adalah hak yang bersifat ―hak bawaan‖ yang melekat karena identitas khusus masyarakat adat tersebut.

10 Ikatan masyarakat adat dengan tanah dan sumber-sumber alamnya disebut juga dengan hak ulayat atau hak-hak atas wilayah adat 11 Ikatan (penguasaan) masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alamnya sebagai salah satu pilar identitas masyarakat hukum adat diperkuat lagi rumusan pasal 6 (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; ―Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.‖

12 Terdapat empat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Masyarakat Hukum Adat, yaitu : Pertama, Putusan No. 31/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku. Putusan ini menjelaskan kriteria masyarakat hukum adat. Kedua, Putusan No. 47-81/PHPU.A/VII/2009 mengenai pengakuan model noken di Papua, Ketiga, Putusan No. 55/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang menjelaskan bahwa penyelesaian konflik keperdataan harus diutamakan daripada kriminalisasi dan, Keempat, Putusan Perkara No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang konstitusionalitas Hutan adat

13 Secara lebih detil lihat Wirataman (2014).

(6)

2. Pengakuan terhadap hak-hak yang bersifat“kolektiva”tersebutterkait dengan : Pertama,unit sosial ‗kesatuan masyarakat hukum adat.‘ dan Kedua, Hak-hak tradisional dari unit sosial tersebut.

Artinya, rumusan masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 terkait pada tiga hal, yaitu ; pertama, sifatnya yang khusus karena identitas budaya dan tradisi yang melekat dalam masyarakat hukum adat, dan kedua sifatnya yang kolektif sebagai suatu persekutuan masyarakat hukum, yang juga berkaitan dengan hak-haknya yang bersifat

kolektif, ketiga, sifat kolektif dari masyarakat hukum adat terkait dengan unit sosial kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan unit dari persekutuan hukum yang lebih luas.

Secara khusus, Kerangka hukum pengakuan masyarakat hukum adat dalam Peraturan Perundang-undangan dan

kemudian dipertegas lagi oleh Putusan MK No.35/PUU-X/2012 menjelaskan sebagai berikut; Pertama, Putusan MK

No.35/PUU-X/2012 mempertegas kembali Masyarakat adat sebagai subjek hukum penyandang hak dan pemangku

kewajiban. Mahkamah Konstitusi secara tegas menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan

hukum yang sama seperti subjek hukum lainnya; seperti individu dan badan hukum (Savitri dan Uliyah, 2014).

Kedua, Masyarakat hukum adat dinamis bukan statis. Mahkamah Konstitusi nampaknya merujuk pada pendapat

ilmuwan sosiologi klasik; Emile Durkheim tentang evolusi perkembangan masyarakat, yaitu perkembangan

masyarakat dari masyarakat mekanis menjadi organis, yang dalam proses perubahannya, bisa ―berubah‖ dan bahkan ―punah‖ (Savitri dan Uliyah, 2014). Perubahan masyarakat hukum adat tersebut kemudian diuji berdasarkan indikator keberadaannya secara hukum sebagai persyaratan pengakuan hukum. Adapun indikator keberadaan suatu

masyarakat hukum adat yang hidup secara de facto (actual existence) oleh Mahkamah Konstitusi, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional, setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

pertama, adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group feeling), kedua, adanya pranata pemerintahan adat, Ketiga, adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, Keempat, adanya perangkat norma hukum adat dan, Kelima, terdapat unsur adanya wilayah tertentu. Indikator masyarakat adat ini tidak bersifat kumulatif, sehingga pembuktian keberadaan masyarakat adat bisa menggunakan salah satu unsur atau beberapa

unsur dari lima unsur tersebut (Zakaria, 2014),

Ketiga, Pengakuan masyarakat hukum adat cukup melalui Peraturan Daerah. UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) secara

nyata mengatakan bahwa pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat akan diatur oleh undang-undang.

Namun, sebagaimana kita ketahui, sampai hari ini undang-undang yang dimaksud belumlah tersedia. Menghadapi

(7)

pelayanan dasar,‖ khususnya pada bidang pertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat dan desa (Savitri dan Uliyah, 2014).15 Kewenangan pengakuan masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Daerah dalam sistem

pemerintahan dan peraturan perundang-undangan yang ada16 dalam bentuk : pertama, pengakuan masyarakat hukum adat bisa dalam bentuk model kelembagaan desa adat dan atau komunitas masyarakat hukum adat, (Andiko

dan Firmansyah, 2014), kedua, jenis produk hukum daerah pengakuan masyarakat hukum adat adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersifat Penetapan untuk masyarakat hukum adat yang berada di wilayah

Kabupaten/kota dan Perda Provinsi untuk masyarakat hukum adat yang berada melampaui batas administrasi

kabupaten/kota.17ketiga, Pemerintah Daerah berwenang untuk melaksanakan identifikasi, verivikasi dan validasi keberadaan masyarakat hukum adat.

Di sisi lain, Permendagri No.52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

mengatur bentuk baru Penetapan masyarakat hukum adat melalui Keputusan Kepala Daerah dan atau Keputusan

bersama kepala daerah. Muatan materi pengaturan dalam Permendagri 52 tahun 2014 ini masih diperdebatkan

secara isi muatan pengaturan dan potensi bertentangan dengan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (UU Pemda) dan UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3)

karena ; Pertama, Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan masyarakat hukum adat dan Putusan MK No.35/PUU-X/2012 tidak mengenal jenis penetapan masyarakat hukum adat dalam bentuk keputusan

Kepala Daerah, Kedua, Keputusan bersama kepala daerah tidak dikenal sebagai jenis peraturan perundang-undangan dalam UU P3. Oleh sebab itu disarankan untuk tidak menggunakan penetapan masyarakat hukum adat

melalui Keputusan Kepala Daerah dan atau Keputusan Bersama Kepala Daerah.

Khusus pada kedudukan Peraturan Daerah Provinsi dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat

adalah sebagai berikut : Pertama, Peraturan Daerah Provinsi bisa berisi muatan materi tentang penetapan

masyarakat hukum adat yang berada di lintas administrasi kabupaten kota berdasarkan cakupan kewenangan dalam

UU Pemda, Kedua, Peraturan Daerah Provinsi bisa berisi muatan materi tentang pengaturan pedoman umum

penetapan masyarakat hukum adat, susunan kelembagaan masyarakat hukum adat dan masa jabatan kepala desa

adat (khusus untuk desa adat) yang menjadi norma panduan bagi Pemda Kabupaten/kota untuk pengaturan dan

penetapan masyarakat hukum adat yang berada di wilayah administrasi kabupaten/kota bersangkutan berdasarkan

karakteristik sosial-budaya yang ada. Ketiga, Peraturan Daerah Provinsi bersifat hirarkis terhadap Peraturan Daerah

15 Dasar kewenangan Pemerintah Daerah dalam sistem Pemerintahan adalah kewenangan menurut UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), Lihat Savitri dan Uliyah (2014).

16 Selain kewenangan yang diberikan oleh UU Pemda, Pemerintah daerah juga diberi kewenangan untuk melaksanakan pengakuan masyarakat hukum adat yang terdapat dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Permendagri No.52 Tahun 2014 tentang Pedoman pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

17

(8)

Kabupaten/kota, termasuk dalam ruang lingkup pengaturan pengakuan masyarakat hukum adat berdasarkan UU P3

sehingga bersifat mengikat.

4. Analisis Muatan Materi Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Analisis terhadap muatan materi Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat akan dibahas

secara detil dalam matrik dibawah ini :

Pasal Ketentuan Elaborasi

Pasal 1 angka 13

Pengertian Masyarakat Hukum Adat :

Masyarakat Hukum Adat adalah warga negara indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun

 Pengertian Masyarakat Hukum Adat tidak sinkron dengan kriteria (ciri) Masyarakat Hukum Adat dalam Raperda ini Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, sehingga melahirkan pertanyaan apakah Raperda ini mengatur masyarakat hukum adat sebagai kelompok (komunitas) atau individu

 Hal ini berakibat pada ketidakjelasan subjek yang diatur, yaitu terkait dengan Masyarakat Hukum Adat sebagai warga negara atau kelompok masyarakat. Dalam hukum, perlindungan Masyarakat Hukum Adat bersifat kolektiva (kelompok masyarakat/komunitas).  Perlindungan atas individu MHA sebaiknya

terkait dengan perlindungan ―identitas dan hak-haknya sebagai Masyarakat Hukum Adat‖ yang merupakan bagian dari anggota komunitas yang otomatis juga melindungi masyarakat hukum adat secara individual.

(9)

pengakuan. Pasal 1

angka 10 dan 11

Pengertian Pengakuan dan Perlindungan :

 Definisi Pengakuan adalah pernyataan, tindakan secara de facto dan de jure atas keberadaan MHA beserta hak-haknya yang diberikan pemerintah atau pihak lain

 Definisi Perlindungan adalah suatu bentuk

pelayanan yang wajib diberikan oleh negara kepada MHA dalam menjamin terpenuhi hak-hak mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang sebagai suatu kelompok masyarakat, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi

 Definisi pengakuan perlu diklarifikasi terkait : (1) pengakuan tidak perlu de facto, (2) klausul ―diberikan ‖ bias makna antara pengakuan dan berian. (3) Kata pemerintah sebaiknya diubah menjadi Pemda Prov dan atau Pemda Kab/kota (terkait ketepatan kelembagaan Pemerintahan yang berwenang melaksanakan pengakuan (penetapan) dan Perlindungan masyarakat hukum adat).

 Sebaiknya difinisi pengakuan diubah dengan ―penetapan‖ yang dalam nomenklatur hukum lebih dikenal dibandingkan dengan klausul ―pernyataan dan tindakan‖ dan memiliki konsekunsi yuridis penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum.

 Definisi perlindungan perlu dijelaskan terkait : kata negara yang bisa bermakna Pemerintah (nasional), sebaiknya diubah dengan Pemda Provinsi dan Pemda kab/kota

Pasal 4 dan 5

Kriteria Masyarakat Hukum Adat :

Keberadaan masyarakat adat dapat didasarkan pada ikatan kekerabatan turun-temurun (genealogis), ikatan kekerabatan wilayah (teritorial), dan ikatan keturunan-wilayah (genealogis-teritorial).

Kriteria /ciri keberadaan masyarakat adat :

 terdiri dari sekelompok orang yang bersifat teratur yang membentuk kesatuan masyarakat hukum  Menempati secara tetap wilayah/daerah tertentu

atau berada dalam kesatuan wilayah

 Memiliki penguasa/pemimpin dalam komunitas  Memiliki hubungan berdasarkan ikatan geneologis,

teritorial dan geneologis-teritorial

 Memiliki harta kekayaan materil dan immaterial  Mempunyai kesatuan hukum (hukum adat) dan  Memiliki sistem kepercayaan

 Selain kriteria Berbasis pada pengertian adat rechtsgemeenschappen (persekutuan hukum

masyarakat adat), perlu juga memasukkan golongan masyarakat hukum adat yang bersifat fungsional untuk menghindari batasan kriteria unsur syarat pengakuan pada komunitas-komunitas masyarakat hukum adat yang dinamis.

 Pengertian ini masih generik yang sebenarnya telah ada dalam undang-undang yang mengatur Masyarakat Hukum Adat. Perlu mendetilkan ciri yang lebih spesifik terkait dengan keberadaan masyarakat hukum adat di Provinsi Kalimantan Barat, baik yang bersifat geneologis, territorial, territorial-geneologis maupun fungsional.  Ciri dengan definisi masyarakat hukum adat

(10)

unit sosial (komunitas) atau juga pada cakupan pengaturan individu masyarakat hukum adat. Hal ini berakibat pada ketidakjelasan subjek yang akan diatur (lihat pembahasan tentang definisi masyarakat hukum adat diatas).

 Sebaiknya menjelaskan ciri kategori Masyarakat Hukum Adat yang bersifat geneologis, teritorial dan fungsional berdasarkan kondisi empirik di Kalbar untuk pedoman penetapan Masyarakat Hukum Adat oleh Pemda kabupaten/kota atau Provinsi (jika masyarakat hukum adat berada lintas wilayah administrasi kabupaten/kota. Jika perlu menyebutkan contoh unit sosial

masyarakat hukum adat berdasarkan

penggolongan masyarakat hukum adat tersebut diatas.

Pasal 8 dan 9

Mekanisme Pengakuan dan Perlindungan :

 Pengakuan dilaksanakan bupati/walikota  Melalui panitia pengakuan dan perlindungan  Secara implisit melalui surat keputusan kepala

daerah kab/kota

 Sebaiknya penetapan (pengakuan hukum) dilaksanakan melalui Perda Kabupaten/kota pada masyarakat hukum adat yang berada di wilayah administrasi kabupaten kota yang didelegasikan oleh Perda Provinsi ini.  Untuk penetapan perkomunitas (unit sosial)

masyarakat hukum adat bisa menggunakan pendelegasian kepada Bupati/walikota melalui Keputusan Kepala Daerah daripada Perda penetapan yang akan disusun oleh masing kabupaten/kota. Perumusan norma ini untuk menghindari kelemahan dasar yuridis penetapan masyarakat hukum adat melalui keputusan kepala daerah.

(11)

merupakan bagian dari pendelegasian kewenangan daripada Perda Provinsi sehingga menghindari dasar penetapan yang lemah melalui Keputusan Kepala Daerah (Lihat pembahasan tentang Permendagri 52/2014 dalam Bab Kerangka Hukum Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat).  Penatapan masyarakat hukum adat melalui

Keputusan Bupati/walikota dan Keputusan Gubernur untuk masyarakat hukum adat yang berada lintas kabupaten/kota dilengkapi dengan peta wilayah adat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukumnya.  Dalam hal identifikasi, verivikasi dan validasi

masyarakat hukum adat melalui Panitia khusus yang bersifat adhoc bisa dilaksanakan melalui pembentukan oleh gubernur atau

bupati/walikota berdasarkan keberadaan masyarakat hukum adatnya.

 Panitia adhoc tersebut bertugas melakukan identifikasi, verivikasi dan validasi tentang keberadaan masyarakat hukum adat dan juga wilayah adatnya.

 Tentang desa adat; Perlu ada norma khusus yang menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat yang akan ditetapkan oleh Kabupaten/kota dapat menjadi desa adat.

 Sebaiknya dipisah antara mekanisme pengakuan dengan perlindungan. Mekanisme pengakuan bisa dimandatkan oleh panitia (bersifat adhoc) dalam batas-batas tertentu, (misalnya soal identifikasi), sedangkan perlindungan adalah implementasi norma oleh Pemda kab/kota dan atau Provinsi yang tidak mungkin dilakukan secara adhoc

(12)

dan pasal 10

 Wilayah masyarakat hukum adat meliputi kampung, gabungan dua atau lebih beberapa kampung atau kampung dengan sebutan lain  Batas teritorial wilayah masyarakat hukum adat

ditentukan oleh masyarakat hukum adat atas dasar pertimbangan adat dan hukum adat, serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat hukum adat secara turun-temurun

 Pemanfaatan wilayah adat untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan melalui persetujuan bersama kesatuan masyarakat hukum adat dengan musyawarah

 Objek wilayah masyarakat hukum adat : meliputi kampung, gabungan kampung atau kampung

wilayah adat

 Jenis-jenis hak terhadap wilayah adat : hak memiliki (hak milik ?), hak menggunakan, hak mengembangkan dan mengendalikan sesuai dengan hukum adat dan peraturan perundangan-undangan

tentang subjek hak dan hubungan hukum dengan objek (wilayah adat). Perlu

menjelaskan jenis-jenis hak masyarakat hukum adat sampai pada susunannya yang paling kecil (individu/kelurga) terhadap tanah dan wilayah adat berdasarkan pengertian beschikkingsrecth dalam literature hukum

agrarian dan UUPA yang dibagi atas dua dimensi : (1) hak wilayah adat yang bersifat publik, dan (2) hak wilayah adat yang bersifat perdata adat (hak milik adat).

 Baik jenis-jenis hak wilayah adat tersebut dipadankan dengan istilah adat (lokal) yang ada di Kalimantan Barat dengan menyebutkan ciri-ciri haknya yang bersifat spesifik dan bahkan bisa menggunakan istilah adat (lokal).  Perbedaan pengaturan jenis hak wilayah adat tersebut terkait dengan perbedaan mekanisme penetapannya. Bagi hak ulayat yang

berdimensi publik penetapannya sepaket dengan penetapan masyarakat hukum adat seperti yang disebut dalam kolom tentang mekanisme penetapan masyarakat hukum adat diatas, sedangkan sedangkan hak milik adat cukup melalui ―penetapan hak komunal‖ Pasal

10, 11, 12 dan 13

Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat :

 Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam  Hak atas pembangunan

 Hak atas spiritualitas dan kebudayaan  Hak atas lingkungan

 Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat

 Kewenangan Pemda Provinsi dalam pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat masuk dalam kategori urusan wajib bukan

Pelayanan Dasar khususnya: pengaturan pertanahan, lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat/desa  Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya

(13)

secara eksplisit dalam bentuk tata laksana pemulihan hak untuk pemerintah kab/kota  Hak atas spiritualitas dalam raperda ini

sebaiknya disebut hak identitas budaya /kearifan lokal untuk menghindari melampaui batas kewenangan karena urusan agama adalah urusan absolut Pemerintah Pusat.  Hak atas menjalankan hukum dan peradilan

adat bisa diletakkan dalam rezim UU Desa. Artinya masyarakat adat dalam bentuk desa adat/desa bernuansa adat

5. Rekomendasi

Secara umum, tinjauan hukum ini memberikan rekomendasi tentang isi muatan materi Raperda Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Barat sebagai berikut :

1. Ruang Lingkup Raperda pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat ini adalah : Pertama, mengatur tentang Pedoman penatapan Masyarakat Hukum Adat sebagai ―subjek hukum‖ dan hak-haknya di Provinsi

Kalimantan Barat yang menjadi rujukan oleh Pemda kabupaten/kota yang ada dalam wilayah administrasi

provinsi Kalimantan Barat, dan Kedua, sekaligus penetapan masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Provinsi untuk masyarakat hukum adat yang berada lintas batas wilayah administrasi kabupaten/kota.

2. Tentang mekanisme teknis penetapan masyarakat hukum adat adalah penetapan masyarakat hukum adat oleh

gubernur melalui keputusan gubernur adalah delegasi kewenangan dari Perda Pengakuan dan Perlindungan

masyarakat hukum adat pada masyarakat hukum adat lintas kabupaten/kota, sedangkan penetapan masyarakat

hukum adat oleh bupati/walikota adalah delegasi kewenangan dari Perda kabupaten/kota yang isi muatan

materinya merujuk pada Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ini. Baik itu penetapan

masyarakat hukum adat oleh gubernur dan bupati/kota dilengkapi dengan wilayah adat yang didentifikasi,

diverifikasi dan divalidasi oleh panitia khusus yang bersifat adhoc.

3. Dalam fungsinya sebagai aturan pedoman, semestinya raperda pengakuan dan perlindungan masyarakat

hukum adat mengatur tentang :

a. Tentang masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum : sebaiknya menyebutkan secara eksplisit

ciri/kriteria Masyarakat Hukum Adat yang lebih spesifik dalam konteks Masyarakat Hukum Adat di

Kalimantan Barat yang berguna sebagai panduan penetapan, dan juga menggunakan istilah lokal (adat)

untuk menyebutkan unit sosial masyarakat hukum adat yang akan ditetapkan, baik yang bersifat

(14)

b. Tentang Beschikkingrecths (hak atas wilayah adat) : sebaiknya menyebutkan ciri/kriteria jenis hak atas wilayah adat dan susunan subjek pemangku haknya, baik hak yang bersifat publik maupun yang bersifat

privat (hak milik adat) dengan bisa menggunakan ciri berdasarkan hukum adat yang berlaku. Hal ini

berhubungan dengan harmonisasi hak adat dengan hak dalam hukum agraria

c. Tentang penetapan hak wilayah adat yang bersifat publik dengan privat (hak milik adat) berbeda dalam

kerangka hukum yang ada. Penetapan wilayah adat yang bersifat publik ada satu paket dengan penetapan

masyarakat hukum adat, sedangkan penetapan hak milik adat melalui mekanisme sertifikasi hak komunal.

4. Perlu ada pemisahaan mekanisme pengakuan dengan perlindungan MHA. Mekanisme pengakuan melalui

panitia (adhoc) bisa dilakukan dan sebaiknya dipisahkan dengan mekanisme perlindungan, karena perlindungan melekat pada implementasi Perda oleh Pemda provinsi mapun Pemda kabupaten/kota.

5. Pengaturan wilayah adat yang merujuk pada satuan kampung dan atau gabungan kampung secara implisit bisa

menjadi panduan untuk menetapkan Masyarakat Hukum Adat dalam konteks unit sosial.

6. Pengaturan tentang hak spiritual masyarakat hukum adat sebaiknya diubah menjadi hak budaya/kearifan lokal

untuk menghindari perdebatan tentang batas kewenangan Pemda Provinsi maupun Pemda Kabupaten/kota.

(15)

Referensi

Andiko dan Nurul Firmansyah (2014) Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk Pengakuan Masyarakat Adat :

Kiat-kiat praktis bagi Pendamping Hukum Rakyat (PHR), Masyarakat Sipil dan Pemimpin Masyarakat Adat,

HuMa, Jakarta.

Budi harsono (2003), Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta

Choirul Anam, Nurul Firmansyah dkk (2016) Mengakui Minoritas : Kajian Tentang Kelompok Minoritas dan

Kewajiban Negara untuk Memenuhi Hak-Haknya, Pelapor Khusus Hak-Hak Minoritas KOMNAS HAM,

Jakarta.

Edi Subowo dkk (2016) Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Calon Pejabat Fungsional Perancang Peraturan

Perundang-Undangan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM, Kementerian

Hukum dan HAM, Jakarta.

HuMa and Epistema Institute (2013) Prosiding Simposium Masyarakat Adat: Masyarakat Adat Sebagai Subjek

Hukum, HuMa and Epistema Institute, Jakarta

Ida Ayu Ari Janiawati (2014) Sistem Subak dan Subak Abian Pada Tatanan Landskap di Bali : Makalah dalam

Landscape Ecology Subject, IPB, Bogor.

Jacqueline A.C. Vel dan Adrian W. Bedner (2016) Desentralisasi Dan Pemerintah Desa Di Indonesia, Kasus Baliak

Ka Nagari dan Kaitannya dengan UU Desa dalam Jurnal Transformasi Sosial, Insist, Jogjakarta.

Mahadi (1991) Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.

Muhammad Bakri, (2007), Hak Menguasai Tanah Oleh Negara: Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria, Citra

Media, Yogyakarta

Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah (2014) Adat di tangan Pemerintah Daerah : Panduan Penyusunan Produk Hukum

Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Epistema Institute, Jakarta.

Nurul Firmansyah (2016), Arus Balik ―Baliak Ka Nagari‖ antara Fakta Hybridasi Nagari dan Desa Adat : Makalah

Dalam Simposium Masyarakat Adat Kedua, Jakarta.

Nurul Firmansyah (2016) Customary Village Model or Administrative Village Model : Political Contestation in the

Process of Revision of west Sumatera Provincial Regulation regarding Nagari, Paper on New Law, New

(16)

Rikardo Simarmata, Seri Pengembangan Wacana : Pluralisme Hukum dan Isu-Isu yang Menyertainya, HuMa,

Jakarta

R. Yando Zakaria (2014), Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat Dan Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber

Daya Hutan Pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 : Studi Kasus Kabupaten Kutai Kalimantan Timur

dalam Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Insist, Jogjakarta.

R.Yando Zakaria (2016) Strategi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat : Sebuah Pendekatan

Sosiologi-Antropologi : Makalah dalam Rapat Koordinasi Lintas Kementerian tentang Penanganan Masalah

Masyarakat Adat, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Tody Sasmita (2016), Masyarakat Hukum Adat : Persekutuan Hukum (Recthsgemeenscappen) atau Subjek Hukum

(17)

LAMPIRAN :

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum

(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32

Proses pengolahan air limbah dengan sistem trickling filter   pada dasarnya hampir sama dengan sistem lumpur aktif, di mana mikroorganisme berkembang biak dan menempel pada

Arumanis-143 merupakan salah satu kultivar yang cukup potensial untuk dikembangakan sebagai mangga unggulan karena kultivar ini memiliki rasa yang disukai konsumen. Namun

Saat ini beredar berbagai merek handphone dipasaran. Namun demikian, market sharenya terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan minat konsumen terhadap handphone

Kewenangan DPR untuk menyetujui APBN secara terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja seperti diatur pada Pasal 15 ayat (5)

Pembuatan film action ini menggunakan penggabungan teknik live shoot dan special effect untuk menvisualkan adegan yang tidak dapat dicapai dengan alat yang biasa dan

Gambar 11 Matrik Penjumlahan Setiap Penilaian Pada 12 terdapat table rasio konsistensi dimana nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing kolom atau baris merupakan hasil