• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mira Humaira 2012 Pengaruh Pembelajaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mira Humaira 2012 Pengaruh Pembelajaran"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan data hasil penelitian, analisis, dan pembahasan hasil

penelitian berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan

masalah. Dalam penelitian ini digunakan dua kelas eksperimen yaitu, kelas

eksperimen 1 yang menggunakan pembelajaran guided inquiry melalui tahap

discovery learning dan kelas eksperimen 2 yang menggunakan pembelajaran

guided inquiry tanpa melalui tahap discovery learning. Data hasil penelitian

diolah dengan menggunakan software SPSS versi 16.00 dan Microsoft Excel

untuk mengetahui kemampuan scientific inquiry literacy serta lembar observasi

dan angket yang menjaring keterlaksanaan dan tanggapan siswa terhadap

pembelajaran guided inquiry yang diterapkan di kedua kelas eksperimen.

A. Kemampuan Scientific Inquiry Literacy Siswa

Untuk mengetahui kemampuan scientific inquiry literacy siswa pada konsep

pencemaran tanah sebelum dan setelah diterapkan pembelajaran berbasis guided

inquiry yang melalui tahap discovery learning (kelas eksperimen 1) maupun yang

tidak melalui tahap discovery learning (kelas eksperimen 2), siswa pada kedua

kelas eksperimen diberikan dua kali tes kemampuan scientific inquiry literacy

(2)

1. Kemampuan scientific inquiry literacy siswa sebelum diterapkan pembelajaran guided inquiry

Tes kemampuan scientific inquiry literacy diberikan kepada siswa baik pada

kelas eksperimen 1 maupun kelas eksperimen 2 sebelum dimulai pembelajaran

materi pencemaran tanah melalui guided inquiry untuk mengetahui kemampuan

awal seluruh siswa di kedua kelas eksperimen mengenai scientific inquiry

literacy.

Data kemampuan awal scientific inquiry literacy siswa pada pembelajaran

materi pencemaran tanah sebelum diterapkannya pembelajaran berbasis guided

inquiry pada kedua kelas eksperimen diperoleh dari data hasil pretest. Pengolahan

data hasil pretest kedua kelas eksperimen dilakukan melalui uji normalitas, uji

homogenitas, dan uji hipotesis. Berikut ini disajikan rekapitulasi data hasil pretest

dari kedua kelas eksperimen pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Rekapitulasi Uji Statistik Pretest Kemampuan Scientific Inquiry Literacy Siswa Kelas Eksperimen 1 dan Kelas Eksperimen 2

Komponen Pretest

Eksperimen 1 Eksperimen 2

N 28 28

Rata-rata 54,11 48,75

Standar Deviasi (SD) 12,985 12,883

Nilai Maximum 75 70

Nilai Minimum 25 15

Uji Normalitas

Nilai Signifikansi (sig. α= 0,05) 0,421 0,234

Keterangan Berdistribusi Normal Berdistribusi Normal Uji Homogenitas

Nilai Signifikansi (sig. α= 0,05) 0,721

Keterangan Homogen

Uji Hipotesis (uji t)

(3)

Keterangan H0 diterima

Data pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa kemampuan scientific inquiry

literacy awal siswa di kedua kelas eksperimen adalah setara dengan hasil yang

diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata

kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Kondisi tersebut dapat terjadi karena

kedua kelas mengalami pembelajaran serta fasilitas yang relatif sama. Selain itu,

pengetahuan awal siswa pada kedua kelas eksperimen mengenai scientific inquiry

dimungkinkan sama karena dari awal pembelajaran di kelas, pada kedua kelas

eksperimen belum pernah diterapkan pembelajaran inquiry yang fokus pada

proses sains yang melibatkan eksperimen, seperti halnya dalam mengidentifikasi

dan mendefinisikan variabel penelitian sehingga pada hasil pretest kedua kelas

eksperimen, sebagian besar siswa tidak dapat menjawab dengan benar pada

pertanyaan membedakan antara variabel terikat, bebas, dan kontrol. Rata-rata nilai

dari kedua kelas eksperimen yang rendah pun diakibatkan belum didapatkannya

penjelasan mengenai materi pencemaran tanah.

Dilihat dari perolehan hasil penghitungan nilai Standar Deviasi (SD)

masing-masing kelas eksperimen menunjukkan bahwa sebaran data dari kedua

kelas eksperimen relatif sama dengan nilai SD yang tidak jauh berbeda (dapat

dilihat pada lampiran D.6).

Siswa dari kedua kelas eksperimen dikelompokkan menjadi tiga kelompok

tingkatan. Penentuan kedudukan siswa dilakukan dengan pengelompokan atas 3

rangking (Arikunto, 2009: 263) dengan membagi tiga kelompok, yaitu kelompok

(4)

deviasi tertentu. Berikut disajikan diagram pengelompokan kedudukan siswa

kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 pada perolehan nilai pretest.

Keterangan:

Gambar 4.1. Kedudukan Siswa dalam Kelompok Tingkatannya berdasarkan Hasil Pretest

Data hasil penghitungan pretest kedua kelas eksperimen yang menunjukkan

tidak terdapat perbedaan signifikan nilai rata-rata antara kelas eksperimen 1 dan

eksperimen 2 mengarahkan pengolahan data pada pengujian data hasil posttest

kedua kelas eksperimen.

2. Kemampuan scientific inquiry literacy siswa setelah diterapkan pembelajaran guided inquiry

Untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran guided inquiry

melalui tahap discovery learning terhadap kemampuan scientific inquiry literacy

siswa maka seluruh siswa baik di kelas eksperimen dengan pembelajaran guided

inquiry yang melalui tahap discovery learning maupun yang tidak melalui tahap

28,5% 64,3%

7,2%

KELAS EKSPERIMEN 1

14,4%

67,8% 17,8%

KELAS EKSPERIMEN 2

(5)

discovery learning diberikan posttest setelah kedua kelas eksperimen

mendapatkan pembelajaran guided inquiry.

Pengolahan data hasil posttest dilakukan melalui uji normalitas, uji

homogenitas, dan uji hipotesis. Berikut disajikan rekapitulasi data hasil posttest

dari kedua kelas eksperimen pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Rekapitulasi Uji Statistik Posttest Kemampuan Scientific Inquiry Literacy Siswa pada Kelas Eksperimen 1 dan Kelas Eksperimen 2

Komponen Posttest

Eksperimen 1 Eksperimen 2

N 28 28

Rata-rata 72,68 61,07

Standar Deviasi (SD) 7,874 11,169

Nilai Maximum 90 80

Nilai Minimum 55 35

Uji Normalitas

Nilai Signifikansi (sig. α= 0,05) 0,150 0,386

Keterangan Distribusi Normal Distribusi Normal

Uji Homogenitas

Nilai Signifikansi (sig. α= 0,05) 0,001

Keterangan Tidak Homogen

Uji t

Nilai Signifikansi (sig. α= 0,05) 0,000

Keterangan H0 ditolak

Data pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata dari kelas

eksperimen 1 maupun kelas eksperimen 2 mengalami peningkatan nilai rata-rata

dari hasil pretest. Range dari nilai maksimum dan minimum pada kelas

ekasperimen 2 lebih besar dibandingkan pada kelas eksperimen 1. Hal tersebut

dapat diakibatkan adanya beberapa siswa yang tidak menjawab soal tes

(6)

kelas yang sudah mulai tidak kondusif bagi siswa untuk fokus dalam mengerjakan

soal. Kondisi tersebut merupakan sebuah kendala yang sebaiknya tidak terjadi

selama pembelajaran inquiry, termasuk didalamnya evaluasi, sebagaimana

penjelasan Wenning (2011a) bahwa salah satu hal yang harus diperhatikan oleh

guru ketika pembelajaran inquiry berlangsung adalah memantau pembelajaran di

kelas agar tetap kondusif. Keadaan tersebut mengakibatkan nilai standar deviasi

(SD) dari kelas eksperimen 2 lebih besar dibandingkan dengan kelas eksperimen

1, dengan sebaran data di kelas eksperimen 2 lebih bervariasi dibandingkan kelas

eksperimen 1 yang penghitungan standar deviasinya semakin menurun (dapat

dilihat pada lampiran D.6).

Nilai rata-rata posttest kedua kelas eksperimen mengalami peningkatan

setelah diterapkannya pembelajaran guided inquiry yang sama. Penelitian yang

dilakukan oleh Brickman et al (2009) menunjukkan hasil yang serupa dimana

siswa yang tergabung dalam kelas inquiry menunjukkan peningkatan yang baik

dalam kemampuan literasi sains dan proses sains. Berikut disajikan grafik

perbandingan rata-rata pretest dan posttest kedua kelas eksperimen (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Grafik Perbandingan Rata-rata Pretest dan Posttest Kemampuan 54,11

kelas eksperimen 1 kelas eksperimen 2

N

il

ai

pretest

(7)

Kedua kelas eksperimen mengalami peningkatan nilai rata-rata tes karena

tahapan pada pembelajaran guided inquiry yang diterapkan di kedua kelas

eksperimen sangat relevan sekali dengan indikator yang dijadikan framework

pada tes kemampuan scientific inquiry literacy. Selain itu, pembelajaran guided

inquiry ini sudah melibatkan siswa pada hampir seluruh indikator dalam tahapan

scientific inquiry yaitu dalam merumuskan hipotesis dan prediksi, merancang

langkah kerja, menentukan variabel penelitian, mengumpulkan dan

mengorganisasi data, serta membuat kesimpulan dari hasil percobaan yang

dilakukan.

Untuk mengetahui kriteria peningkatan dari perlakuan pembelajaran

berbasis guided inquiry melalui tahap discovery learning dengan pembelajaran

berbasis guided inquiry tanpa melalui tahap discovery learning, dilakukan

penghitungan rata-rata dari indeks gain kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen

2. Berikut disajikan hasil penghitungan rata-rata indeks gain kedua kelas

eksperimen pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Rata-rata Indeks Gain Kedua Kelas Eksperimen

Kelas Eksperimen 1 0,36

Kelas Eksperimen 2 0,23

Berdasarkan penghitungan rata-rata indeks gain dari kelas eksperimen 1 dan

kelas eksperimen 2, dapat dikategorikan berdasarkan interpretasi pada Tabel 3.9

(8)

Penerapan pembelajaran guided inquiry melalui tahap discovery learning

memberikan pengaruh terhadap kemampuan scientific inquiry literacy yang dapat

terlihat dari hasil penghitungan uji hipotesis bahwa terdapat perbedaan nilai

rata-rata kemampuan scientific inquiry literacy dan kriteria peningkatan kemampuan

scientific inquiry literacy. Hal tersebut dapat dijelaskan karena adanya penerapan

tahap discovery learning yang dilakukan di kelas eksperimen 1 ini adalah salah

satu tingkatan inquiry yang idealnya memang harus dilalui sebelum melakukan

tahap pembelajaran guided inquiry (Wenning, 2007). Wenning (2005b)

menjelaskan bahwa penerapan pembelajaran inquiry harus bertahap mengikuti

tahapan pengalaman intelektual siswa (Intellectual Sophistication).

Kondisi tersebut dapat tergambar dari hasil posttest yang diperoleh siswa di

kedua kelas eksperimen, perbedaan dari persentase (%) siswa kelompok atas dan

kelompok bawah dari kedua kelas eksperimen sangat terlihat jelas.

Keterangan:

Gambar 4.3. Kedudukan Siswa dalam Kelompok Tingkatannya berdasarkan Hasil Posttest

25%

67,8 %

7,2 %

KELAS EKSPERIMEN 1

3,6%

57,1% 39,3%

KELAS EKSPERIMEN 2

(9)

Penerapan pembelajaran discovery yang dilaksanakan di kelas eksperimen 1

dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan siswa dalam berinkuiri yang

akhirnya berdampak juga pada kemampuan scientific inquiry literacy siswa yang

diukur pada penelitian ini. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Wenning

(komunikasi personal, 13 Juli 2012) bahwa penerapan discovery learning yang

telah dilakukan dimungkinkan dapat mempengaruhi penampilan siswa dalam

kegiatan pembelajaran guided inquiry setelahnya.

Penerapan discovery learning ini adalah proses berinkuiri awal dengan

merangsang kemampuan siswa untuk bertanya dan menemukan sendiri namun

masih tetap dengan keterlibatan guru. Dalam discovery learning peran guru sangat

tinggi dalam mengontrol kelas dibandingkan dengan tingkatan inquiry lainnya

(Wenning, 2005a). Setelah pelaksanaan discovery learning, dilanjutkan dengan

pembelajaran guided inquiry yang mulai melibatkan siswa secara aktif. Hal ini

mengakibatkan kemampuan siswa di eksperimen 1 lebih terbiasa dalam bertanya

dan menemukan konsep sendiri ketika pembelajaran melalui guided inquiry

dengan kegiatan praktikum berlangsung dibandingkan dengan siswa di kelas

eksperimen 2. Kondisi tersebut dapat terlihat ketika pembelajaran materi

pencemaran tanah melalui pembelajaran guided inquiry dilakukan, siswa di kelas

eksperimen 1 lebih aktif bertanya dibandingkan dengan siswa di kelas eksperimen

2. Selain itu, rasa keingintahuan siswa di kelas eksperimen 1 relatif lebih tinggi

dibandingkan kelas eksperimen 2. Hal tersebut ditandai dengan

pertanyaan-pertanyaan siswa (Carin, 1993) yang diajukan kepada guru baik mengenai

(10)

sekitarnya. Kondisi tersebut senada dengan yang dijelaskan oleh Balim (2009)

dalam hasil penelitiannya bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode

discovery learning dapat menunjang siswa dengan bimbingan dari guru untuk

lebih aktif dan meningkatkan keterampilan mereka dalam berinkuiri.

Beberapa pertanyaan yang muncul dari siswa kelas eksperimen 1 adalah

seperti berikut, Bu, bagaimana jika kita menanamkan biji kacang hijau ini lebih

dalam, apakah akan mempengaruhi perkembangannya juga?”, “Bu, bagaimana

cara membuat konsentrasi larutan yang digunakan itu berbeda?”. Pertanyaan lain

yang muncul mengenai lingkungan seperti contoh berikut, “Walaupun diberikan

bahan pencemar, ternyata beberapa tanaman ada yang masih tetap tumbuh

dengan baik. Bahan pencemar yang membahayakan itu berati dapat masuk ke dalam tanaman, lalu bagaimana jika kita tetap memakannya?”. Pertanyaan

tersebut merangsang pertanyaan dan pernyataan lainnya muncul seperti berikut, “Lalu jika memang akan membahayakan tubuh bagaimana kita tahu tanaman

tersebut tidak terkontaminasi dengan bahan pencemar, berarti lebih baik jika

kita menanam dan mempunyai kebun sendiri ya Bu?”. Secara tidak langsung,

siswa sudah mulai mengarah pada kondisi dan kesadaran akan lingkungannya.

Hal tersebut dapat terlihat juga dari tanggapan positif siswa terhadap kesadaran

lingkungan yang dapat dilihat pada hasil angket (dapat dilihat Tabel 4.5). Kondisi

tersebut dijelaskan pula oleh Bruner (Dahar, 1989) bahwa tujuan dari belajar

penemuan (discovery learning) tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan saja

tetapi juga suatu cara yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan

(11)

Siswa pada kelas eksperimen 2 pun dapat mengajukan beberapa pertanyaan

ketika pembelajaran guided inquiry berlangsung, namun frekuensi pertanyaan

yang muncul tidak lebih banyak dibandingkan pada kelas eksperimen 1 dan fokus

pertanyaan lebih banyak ke arah prosedur pelaksanaan kegiatan praktikum saja.

Beberapa pertanyaan yang muncul seperti berikut, “Bu, mengapa biji kacang hijau sebelum ditanam harus direndam terlebih dahulu?”, “Bu, apakah tanah

yang dipakai dalam setiap perlakuan harus sama?”, “Bu, apakah semua tanaman

harus disiram setiap hari?”.

Pembelajaran berbasis guided inquiry merupakan model pembelajaran yang

tepat untuk menuntun siswa dalam mengembangkan keterampilan scientific

inquiry, namun tujuan dari pembelajaran berbasis guided inquiry ini akan lebih

maksimal tercapai jika sebelumnya melewati tahapan pembelajaran inquiry.

Seperti yang dijelaskan oleh Wenning (2005b) bahwa sekalipun seorang guru atau

pendidik sudah mengerti tentang scientific inquiry namun tidak berarti mudah

untuk mengajarkan kepada siswanya sehingga diperlukan sebuah hierarki atau

tingkatan dalam penerapan proses inquiry untuk menuju keterampilan scientific

inquiry siswa.

Kendati kriteria peningkatan pada kelas eksperimen 1 yang sudah

menerapkan discovery learning sebelum pembelajaran guided inquiry lebih baik

dibandingkan dengan kelas eksperimen 2 yang tidak melalui tahap discovery

learning, namun kriteria ini belum mencapai kriteria peningkatan yang tinggi

sehingga belum dapat dikatakan efektif. Hal tersebut dapat diakibatkan karena

(12)

dilakukan dalam satu materi sebelumnya yaitu materi animalia yang terlaksana

dalam empat kali pertemuan. Bahkan pelaksanaan pembelajaran guided

inquiry-nya sendiri pun hainquiry-nya dilakukan pada dua kali pertemuan. Bruner (Dahar, 1989)

menjelaskan bahwa penerapan discovery learning yang murni memerlukan waktu.

Pembelajaran inquiry cukup menghabiskan waktu dan energi (Wenning, 2005b).

Salah satu kekurangan dalam pembelajaran guided inquiry adalah karena

membutuhkan perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima informasi

dari guru apa adanya ke arah membiasakan belajar mandiri dan berkelompok

dengan mencari dan mengolah informasi sendiri (Amien, 1979).

Penerapan model pembelajaran inquiry dengan durasi waktu yang sebentar

menjadi salah satu kekurangan juga dalam penelitian yang telah dilakukan oleh

Carlson (2008) dimana penelitiannya dilakukan dalam tiga minggu dengan hasil

yang didapatkan menunjukkan bahwa kemampuan scientific inquiry siswa dalam

kelas inquiry tidak berbeda signifikan dengan kelas non-Inquiry. Ia menjelaskan

bahwa akan lebih baik jika penerapan pembelajaran dilakukan dari awal semester

ajaran baru dan dilakukan minimal dua puluh minggu. Kondisi tersebut akan lebih

memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih mempraktekkan dan mengasah

kemampuan inquiry-nya. Hal serupa dijelaskan Nelson (2012) dalam hasil

penelitiannya tentang pengaruh pembelajaran inquiry lab terhadap konten

pengetahuan dan kemampuan berinkuiri yang menunjukkan bahwa skor

kemampuan inquiry siswa di kelas inquiry lab tidak menunjukkan perkembangan

yang signifikan dibandingkan kelas tradisional (cook-book). Ia menjelaskan

(13)

penerapan pembelajaran inquiry sangat terbatas sehingga hanya sedikit sekali efek

yang didapatkannya. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh Wenning

(komunikasi personal, 13 Juli 2012) bahwa alokasi waktu yang disediakan untuk

setiap tingkat pembelajaran akan memberikan pengaruh pada hasil kemampuan

scientific inquiry literacy siswa.

Selain itu, masih terdapat tahap-tahap inquiry lainnya yang idealnya harus

dilakukan sebelum masuk pada pembelajaran guided inquiry selain discovery

learning yang tidak dapat dilakukan pada pelaksanaan penelitian, yaitu tahap

interactive demonstration dan inquiry lesson (Wenning, 2007).

Ketidakterlaksanaan tahap-tahap tersebut diakibatkan oleh penyesuaian

materi yang sedang dipelajari oleh siswa dan pelaksanaan kegiatan belajar

mengajar (KBM) yang terbatas. Hal tersebut senada dengan yang dijelaskan oleh

Stewart dan Rivera (2008) bahwa salah satu kekurangan dari pembelajaran

berbasis inquiry adalah tidak dapat diterapkan pada semua topik sains.

B. Capaian Tiap Indikator Kemampuan Scientific Inquiry Literacy Siswa Untuk mengetahui capaian tiap indikator kemampuan scientific inquiry

literacy siswa setelah diterapkan pembelajaran berbasis guided inquiry melalui

tahap discovery learning dan siswa dengan pembelajaran berbasis guided inquiry

tanpa melalui tahap discovery learning digunakan data posttest.

Capaian siswa pada tiap indikator kemampuan scientific inquiry literacy di

kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 menunjukkan hasil yang bervariasi.

(14)

benar dari semua indikator adalah 74,53%. Sedangkan rata-rata capaian siswa

pada kelas eksperimen 2 berdasarkan persentase jawaban benar dari semua

indikator adalah 63,38%. Berikut disajikan grafik data capaian tiap indikator

kemampuan scientific inquiry literacy siswa pada kedua kelas eksperimen.

(Gambar 4.4).

Keterangan:

Indk 1: Indikator 1 ( mengidentifikasi masalah yang akan diteliti) Indk 2: Indikator 2 (merumuskan hipotesis)

Indk 3: Indikator 3 (membuat prediksi dari hipotesis yang telah dibuat) Indk 4: Indikator 4 (membuat prosedur eksperimen )

Indk 5: Indikator 5 (melakukan eksperimen)

Indk 6: Indikator 6 (mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menganalisis data secara akurat) Indk 7: Indikator 7 (menggunakan metode statistik untuk membuat prediksi atau untuk mengetes

keakuratan)

Gambar 4.4. Grafik Data Capaian Tiap Indikator Kemampuan Scientific Inquiry

Literacy Siswa

Data pada gambar 4.4 menunjukkan bahwa hampir semua indikator

kemampuan scientific inquiry literacy siswa pada kelas eksperimen 1 memiliki

nilai persentase siswa yang menjawab benar lebih tinggi dibandingkan dengan

(15)

persentase siswa yang menjawab benar pada kelas eksperimen 2 yang tanpa

melaui tahap discovery learning. Namun, hanya pada indikator 2, merumuskan

hipotesis, kelas eksperimen 2 memiliki nilai persentase lebih tinggi dibandingkan

pada kelas eksperimen 1. Keadaan tersebut dapat terjadi dimungkinkan faktor

penyampaian guru ketika pembelajaran berlangsung. Ketika pembelajaran guided

inquiry berlangsung di kelas eksperimen 2, guru lebih membimbing siswa dalam

pembuatan hipotesis dengan memberikan sebuah contoh dalam sebuah penelitian

sehingga dimungkinkan siswa lebih mampu mengingat dan memahami sehingga

menjawab dengan benar ketika mengisi jawaban pada soal No.10 untuk indikator

merumuskan hipotesis. Sedangkan pada kelas eksperimen 1, guru tidak tuntas

membimbing dalam tahap siswa untuk membuat hipotesis sehingga siswa masih

belum bisa membedakan antara prediksi dan hipotesis. Kesalahpahaman dalam

membuat prediksi dan hipotesis masih sering terjadi. Hipotesis masih sering

dijadikan sinonim dari prediksi bagi siswa yang masih awal dalam

mempelajarinya (Johnston, 2010).

Hal tersebut didukung juga pada hasil angket tanggapan siswa (dapat dilihat

Gambar 4.5) mengenai pembelajaran guided inquiry dimana siswa pada kelas

eksperimen 2, lebih sedikit siswa yang menjawab merasa kesulitan dalam

merumuskan hipotesis dibandingkan siswa pada kelas eksperimen 1.

Indikator yang menunujukkan capaian tertinggi baik di kelas eksperimen 1

maupun kelas eksperimen 2 terdapat pada indikator 3, membuat prediksi dari

hipotesis yang telah dibuat, bahkan pada kelas eksperimen 1 seluruh siswa

(16)

bahwa pada indikator ini hanya diwakili oleh satu butir soal, dimana pada soal

yang memuat tentang kemampuan membuat prediksi ini disajikan dengan bantuan

grafik pada pertanyaan sebelumnya. Oleh karena itu, siswa secara keseluruhan

dapat menjawab dengan mudah.

Capaian yang rendah didapatkan kelas eksperimen 1 pada indikator kedua,

merumuskan hipotesis. Dijelaskan sebelumnya bahwa faktor penyampaian guru

dimungkinkan menjadi penyebab dari capaian rendah tersebut. Hal ini harus

menjadi perhatian bagi guru dalam mempersiapkan sebuah pembelajaran inquiry

selanjutnya karena tahap merumuskan hipotesis merupakan tahap penting dalam

pengembangan kemampuan scientific inquiry siswa. Kemampuan membuat

prediksi dan hipotesis adalah bagian penting dalam proses sains, dimana dapat

mendukung siswa dalam mengembangkan scientific thinking sebagai salah satu

tujuan utama dalam pendidikan sains (Li & Khlar, 2006). Hipotesis akan

digunakan untuk mengarahkan penelitian (Carin, 1993).

Pada kelas eksperimen 2, indikator 7, menggunakan metode statistik untuk

membuat prediksi atau untuk mengetes keakuratan, merupakan indikator yang

capaiannya paling rendah. Untuk kelas eksperimen 1 pun capaiannya masih

rendah. Indikator 7 terdiri dari 3 butir soal, dimana satu soal, yakni butir soal

No.19, yang mewakili pertanyaan dengan melibatkan penggunaan metode statistik

adalah butir soal yang sedikit saja dapat dijawab siswa dengan benar. Pada kelas

eksperimen 1 hanya 5 orang yang menjawab benar sedangkan pada kelas

eksperimen 2 hanya 2 orang saja yang menjawab benar. Kesulitan yang dialami

(17)

penggunaan statistik dalam sebuah penelitian, seperti halnya metode sampling.

Walaupun telah melalui tahapan discovery learning sebelumnya, siswa pada kelas

eksperimen 1 mengalami kesulitan karena pada tahap discovery learning pun

siswa belum mengenal penggunaan metode sampling dalam sebuah penelitian

atau eksperimen.

C. Keterlaksanaan Tahapan Pembelajaran Guided Inquiry

Pelaksanaan pembelajaran guided inquiry memiliki sintak atau tahapan yang

harus dilalui. Perlakuan pembelajaran guided inquiry ini diterapkan di kedua kelas

eksperimen dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja

Siswa (LKS) yang sama (dapat dilihat pada ampiran A.1 dan A.3). Oleh karena

itu, keterlaksanaan setiap tahapan dari sintak pembelajaran ini harus diobservasi

untuk mengetahui apakah ada perbedaan keterlaksanaan pembelajaran guided

inquiry pada kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 sehingga kemungkinan

ada pengaruhnya pada hasil akhir kemampuan scientific inquiry literacy siswa di

kedua kelas tersebut.

Pelaksanaan pembelajaran materi pencemaran tanah melaui guided inquiry

dengan kegiatan praktikum di kedua kelas eksperimen dilakukan oleh guru biologi

yang sama dan masing-masing dilakukan dalam dua kali pertemuan. Sebelum

pelaksanaan pembelajaran konsep pencemaran tanah melalui guided inquiry di

kedua kelas eksperimen, guru berdiskusi terlebih dahulu dengan penulis dalam hal

pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan Rencana Pelaksanaan

(18)

penulis. Hal tersebut merupakan persiapan yang dilakukan oleh guru karena

pembelajaran guided inquiry sangat menuntut bimbingan dan persiapan guru yang

baik (Stewart & Rivera, 2008). Dijelaskan oleh Lawson (Wenning, 2005b) bahwa

dalam setiap pembahasan scientific literacy, guru selalu dituntut untuk

menggunakan inquiry dalam praktik mengajarnya, namun hal tersebut tidak akan

selalu terjadi dengan baik jika guru masih kurang dalam persiapannya. Berikut

disajikan data hasil observasi dari keterlaksanaan pembelajaran guided inquiry di

kedua kelas eksperimen pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Keterlaksanaan Tahapan Pembelajaran Guided Inquiry pada Kelas Eksperimen 1 dan Kelas Eksperimen 2

No

a) Guru mengemukakan alat dan bahan percobaan

3 Procedure

√* √*

a) Siswa merencanakan langkah kerja percobaan

b) Siswa menentukan variabel penelitian c) Siswa melakukan percobaan dengan

bimbingan guru

d) Siswa mengumpulkan data sesuai panduan

yang terdapat dalam LKS

hasil presentasi kelompok yang tampil c) Siswa dalam kelompok berdiskusi dan

mengisi pertanyaan yang terdapat dalam LKS

(19)

e) Guru memberikan koreksi dan penguatan

terhadap pembahasan siswa

Jumlah kemunculan indikator 11 (91%) 11(91%)

Data pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa keterlaksanaan tahapan dari sintak

pembelajaran guided inquiry di kelas eksperimen 1 maupun kelas eksperimen 2

memiliki bobot yang sama yaitu 91%, dimana satu poin yang tidak tercapai

sehingga hanya sebelas dari dua belas poin yang tercapai. Satu poin yang tidak

tercapai baik di kelas eksperimen 1 maupun kelas eksperimen 2 adalah poin 4.c,

yaitu pada tahap siswa dalam kelompok berdiskusi dan mengisi pertanyaan yang

terdapat dalam LKS. Kemunculan indikator yang sama di kedua kelas dapat

diakibatkan oleh guru yang mengajar adalah guru yang sama dan durasi waktu

yang digunakan di kedua kelas adalah sama.

Pada tahap pertama, introduction (pendahuluan); 1.a) Guru memberi

permasalahan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan

kondisi lingkungan yang behubungan dengan keberadaan tumbuhan dan

pencemaran yang terjadi di lingkungan sekitar. Pemberian pertanyaan-pertanyaan

dari guru merupakan hal penting dalam mengawali kegiatan pembelajaran seperti

dijelaskan Carin (1993) bahwa questioning merupakan jantungnya scientific

inquiry dan dasar pengajaran yang berbasis guided discovery. Dalam

pelaksanaannya, tahap ini terlaksana dengan baik di kedua kelas eksperimen.

Namun, berdasarkan observasi dan diskusi dengan guru bersangkutan, keaktifan

siswa di kelas eksperimen 1 relatif baik dibandingkan dengan siswa di kelas

eksperimen 2.

(20)

Untuk tahap 1.b) siswa membuat hipotesis dengan dibimbing oleh guru,

terlaksana di kedua kelas eksperimen, namun pada tahap ini guru cenderung lebih

membimbing siswa di kelas eksperimen 2 dengan mengarahkan langsung pada

pembuatan hipotesis. Kondisi perbedaan teknis penyampaian guru di kedua kelas

eksperimen dimungkinkan karena adanya sharing yang dilakukan oleh guru dan

peneliti setelah pembelajaran di kelas eksperimen 1 sehingga terdapat perbaikan

yang dilakukan oleh guru ketika pelaksanaan pembelajaran di kelas eksperimen 2.

Hal ini merupakan salah satu kekurangan dalam penelitian yang dilakukan,

dimana pada keterlaksanaan pembelajaran guided inquiry ini menjadi terdapat

suatu tahap pembelajaran yang dikondisikan berbeda sehingga mempengaruhi

hasil kemampuan scientific inquiry (dapat dilihat pada Gambar 4.4) dengan

persentase capaian siswa di kelas eksperimen 2 pada indikator membuat hipotesis

lebih tinggi dibandingkan siswa di kelas eksperimen 1

Keterlaksanaan tahap kedua, materials, 2.a) Guru mengemukakan alat dan

bahan percobaan, dapat terlaksana dengan baik di kedua kelas eksperimen. Untuk

tahap ketiga, procedures, keempat poin didalamnya tercapai di kedua kelas

eksperimen, namun dalam pelaksanaannya, tahap 3.a) siswa merencanakan

langkah kerja percobaan, tidak terlaksana dengan baik dan sempurna di kedua

kelas eksperimen sedangkan tahap perencanaan percobaan merupakan bagian

penting dalam sintak pembelajaran guided inquiry untuk menuju kemampuan

scientific inquiry. Hal tersebut diakibatkan bimbingan guru yang tidak maksimal,

dalam pelaksanaannya, guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

(21)

kesempatan waktu lebih banyak kepada siswa untuk mengemukakan pendapat dan

idenya. Walsh dan Sattes mengemukakan bahwa memberikan waktu tunggu yang

cukup banyak kepada siswa dapat memberikan kesempatan siswa untuk

memformulasikan, memproses dan menjawab berbagai pertanyaan (Intel Teach

Program, 2007). Akibat dari tidak adanya kesempatan kepada siswa, maka ketika

perencanaan langkah percobaan guru cenderung memberi arahan penelitian secara

langsung. Sedangkan dijelaskan oleh Wenning (2005b) bahwa peran guru dalam

pembelajaran guided inquiry adalah pemberian masalah yang akan diinvestigasi

dengan dibimbing oleh pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada prosedur

penelitian atau eksperimen. Perlu diperhatikan juga bahwa pemberian pertanyaan

yang banyak dan terus menerus oleh guru kepada siswa bukan salah satu karakter

dari pembelajaran inquiry. Scientific inquiry bukanlah kegiatan dimana seorang

guru memberikan banyak pertanyaan (Wenning, 2011a).

Berdasarkan hasil diskusi dengan guru bersangkutan setelah selesai

pelaksanaan pembelajaran guided inquiry di kedua kelas eksperimen, guru

menjelaskan bahwa pertimbangan waktu yang tidak memadai menyebabkan tidak

adanya waktu lebih banyak bagi siswa untuk melakukan diskusi dalam merancang

langkah kerja percobaan. Oleh karena itu, guru cenderung langsung mengarahkan

langkah kerja praktikum sesuai dengan arah penelitian dalam LKS yang sudah

dimiliki oleh tiap siswa. Hal ini merupakan suatu kelemahan yang terdeteksi.

Dalam tahap merencanakan langkah percobaan, jika guru sudah bergeser

perannya dengan memberikan arahan langsung dalam merencanakan langkah

(22)

lesson. Keadaan tersebut terbukti dengan penjelasan Wenning (2005a) bahwa

salah satu kendala yang menyebabkan gagalnya suatu rancana pembelajaran

inquiry adalah bekal pengetahuan yang dimiliki guru tentang pembelajaran

inquiry itu sendiri.

Pada tahap 3.b) Siswa menentukan variabel penelitian, adalah tahap yang

cukup menyita waktu pembelajaran karena siswa baik di kelas eksperimen 1

maupun kelas eksperimen 2 cukup kesulitan dalam memahami definisi dari

variabel penelitian yang terdiri dari variabel terikat, bebas, dan kontrol. Selain

waktu yang tidak memadai, kesiapan dan cara guru dalam menyampaikan

penjelasan mengenai variabel penelitian kurang baik sehingga membuat siswa

sulit untuk memahaminya. Hal ini senada dengan yang ditemukan dalam

penelitian sebelumnya (Wenning, 2005a) bahwa salah satu kegagalan guru dalam

melaksanakan pembelajaran berbasis inquiry adalah ketidaksiapan dan

pengetahuan guru mengenai scientific inquiry masih kurang sehingga apa yang

ditransfer oleh guru tidak akan sampai pada siswa. Hal tersebut perlu mendapat

perhatian juga karena pemahaman dalam penentuan variabel adalah salah satu

komponen penting dalam sebuah investigasi (Carin, 1993).

Untuk tahap akhir, discussion, yang terdiri dari lima kegiatan, dilakukan

pada pertemuan kedua dan hanya terlaksana empat kegiatan saja. Untuk poin 4.a)

beberapa kelompok mempresentasikan hasil pengamatan di depan kelas, dapat

terlaksana dengan baik di kedua kelas eksperimen, dimana pada kedua kelas

eksperimen terdiri dari 6 kelompok. Tiga kelompok yang melakukan presentasi di

(23)

percobaan dengan variabel penelitian yang sama. Oleh karena itu, tahap pada poin

4.b) Beberapa kelompok lainnya menanggapi hasil presentasi kelompok yang

tampil, dapat terlaksana dengan baik di kedua kelas eksperimen. Walaupun hasil

eksperimen kelompok-kelompok yang menggunakan variabel yang sama

menunjukkan hasil yang bervariasi namun guru dapat bersikap bijak dalam

menanggapinya dimana guru tidak menyalahkan ketika ada penjelasan yang

berbeda diantara beberapa kelompok. Akan menjadi suatu kesalahan besar jika

guru menyatakan bahwa ide atau pendapat yang disampaikan adalah salah karena

keadaan demikian dapat menyebabkan siswa tersebut enggan untuk kembali

melakukan kegiatan berinkuiri (Carin, 1993).

Ketidaktercapaian poin 4.c, siswa dalam kelompok berdiskusi dan mengisi

pertanyaan yang terdapat alam LKS, disebabkan adanya permasalahan waktu

yang tidak memadai sehingga pembahasan pertanyaan yang terdapat dalam LKS

dilakukan saat presentasi hasil penelitian.

Kendala yang dialami adalah kembali mengenai keterbatasan waktu. Hal ini

sesuai dengan yang diutarakan Amien (1979) bahwa salah satu dari kekurangan

pembelajaran guided inquiry ini bahwa dibutuhkan waktu yang cukup panjang

untuk dapat membimbing siswa dalam setiap tahapan pembelajaran guided

inquiry. Waktu yang digunakan dalam pembelajaran inquiry melibatkan beberapa

waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikannya (Opara & Oguzor, 2011).

(24)

Tanggapan siswa mengenai pembelajaran guided inquiry dengan kegiatan

praktikum dijaring dengan menggunakan angket. Angket diberikan kepada siswa

dari kelas eksperimen 1 maupun kelas eksperimen 2. Jumlah pertanyaan sejumlah

14 buah dengan 8 kategori pertanyaan. Angket ini diberikan kepada siswa secara

online dan dapat diakses dengan mudah. Data yang terekam kesuluruhan

berjumlah 50 responden, yaitu 22 responden dari kelas eksperimen 1 dan 28

responden dari kelas eksperimen 2. Rekapitulasi hasil angket siswa dari kedua

kelas eksperimen disajikan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Rekapitulasi Hasil Angket Siswa

No Pertanyaan

1 Pernah melaksanakan praktikum pada pembelajaran biologi

Membutuhkan guru ketika praktikum Ya 100% Ya 100% Tidak 0% Tidak 0% 4 Merasa senang ketika pelaksanaan

praktikum 6 Menambah kesadaran akan

lingkungan

Berdasarkan tabel 4.5, dapat diketahui bahwa keseluruhan siswa pernah

(25)

sepenuhnya menyatakan bahwa pembelajaran dengan metode eksperimen dengan

praktikum dapat menambah penguasaan materi yang berkaitan, dalam penelitian

ini, dengan praktikum pengaruh pencemaran tanah terhadap perkecambahan biji,

siswa merasa lebih mengerti tentang interaksi dalam ekosistem dalam materi

sebelumnya dimana adanya saling interaksi antara komponen biotik, yaitu

tumbuhan, dengan komponen abiotiknya seperti air, tanah, dan cahaya matahari.

Selain itu, menambah pengertian dalam materi pencemaran lingkungan dimana

adanya saling keterkaitan antara pencemaran pada air dan tanah, yang

mempengaruhi pada perkecambahan, serta sudah mulai mengenalnya siswa

mengenai pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan yang baru akan dipelajari

pada tingkatan selanjutnya. Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan Millar (2004)

bahwa dengan praktikum siswa dapat membuat hubungan antara dua domain

pengetahuan, yaitu domain mengenai objek yang sedang diobservasinya dengan

domain ide atau konsepnya.

Seluruh siswa dari kedua kelas eksperimen memberikan tanggapan positif

bahwa mereka merasa senang dalam melaksanakan pembelajaran konsep

pencemaran lingkungan melalui eksperimen dengan guided inquiry dan merasa

masih perlu dengan bimbingan guru selama pelaksanaan pembelajaran. Selain itu,

siswa merasa antusias untuk melakukan pembelajaran dengan metode eksperimen

untuk materi-materi selanjutnya. Seluruh siswa menunjukkan tanggapan baik

bahwa dengan eksperimen yang telah dilakukan mengenai pencemaran tanah dan

perkecambahan tanaman dapat meningkatkan kesadaran mereka akan lingkungan

(26)

diskusi berlangsung, sebagian besar siswa mengajukan pertanyaan ataupun

pernyataan mengenai pencemaran lingkungan yang berhubungan dengan

keberadaan tumbuhan di lingkungan sekitarnya serta hubungannya dengan

ekosistem dan siklus energi yang telah dipelajari sebelumnya.

Hampir separuh dari siswa kedua kelas eksperimen masih merasa kesulitan

dalam tahapan pelaksanaan pembelajaran guided inquiry secara keseluruhan.

Tanggapan siswa mengenai kesulitan pada setiap tahapan pelaksanaan

pembelajaran guided inquiry menunjukkan tanggapan yang bervariasi. Untuk

melihat kesulitan siswa kedua kelas eksperimen pada pelaksanaan setiap tahap

pembelajaran guided inquiry, disajikan dalam bentuk grafik (Gambar 4.5).

Keterangan:

1. Merumuskan masalah 5. Membuat langkah percobaan 2. Membuat hipotesis 6. Mengumpulkan dan mengolah data 3. Membuat prediksi 7. Mengomunikasikan hasil percobaan 4. Menentukan variabel penelitian

(27)

Dalam tahap merumuskan masalah, berdasarkan kriteria interpretasi yang

digunakan hanya sebagian kecil siswa, baik di kelas eksperimen 1 maupun kelas

eksperimen 2 yang merasa kesulitan, namun secara hasil persentase yang

diperoleh, kelas eksperimen 1 memiliki persentase siswa dengan jawaban masih

merasa kesulitan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelas eksperimen 2.

Kondisi itu pun terjadi pada tahap merumuskan hipotesis dan membuat prediksi.

Hasil angket yang merupakan tanggapan dan persepsi siswa dari kedua kelas

eksperimen pada tahap merumuskan masalah dan membuat prediksi tidak sesuai

dengan hasil posttest yang diperoleh dimana capaian pada indikator pada dua

tahap tersebut, kelas eksperimen 1 memiliki persentase jawaban benar lebih tinggi

dibandingkan kelas eksperimen 2 (dapat dilihat pada Gambar 4.4). Kondisi

tersebut dapat menjelaskan bahwa persepsi dan tanggapan siswa mengenai

kesulitan dalam pelaksanaan tahap pembelajaran guided inquiry tidak selalu

berbanding lurus dengan hasil pada capaian indikator kemampuan scientific

inquiry literacy-nya.

Dalam tahap menentukan variabel penelitian, hampir sepenuhnya siswa dari

kedua kelas eksprimen merasa kesulitan. Seperti yang dijelaskan pada

pembahasan sebelumnya bahwa dalam pelaksanannya, guru pun memerlukan

waktu yang cukup lama dalam tahap ini. Untuk tahap membuat langkah kerja

(28)

eksperimen 1 seluruh siswa merasa tidak kesulitan karena siswa mendapatkan

langkah kerja langsung dari arahan guru (pembahasan sebelumnya).

Dalam mengolah, mengumpulkan, dan mengorganisasikan data, siswa di

kelas eksperimen 1 separuhnya merasa kesulitan sedangkan di kelas eksperimen 2

sebagian besar siswanya merasa kesulitan. Kesulitan yang dirasakan oleh siswa

pada kedua kelas eksperimen adalah ketika pengamatan dalam pengukuran

pertumbuhan tanaman dan pembuatan grafik. Sedangkan dalam tahap

mengomunikasikan hasil pengamatan, siswa di kelas eksperimen 2 lebih banyak

yang merasa kesulitan dibandingkan dengan siswa di kelas eksperimen 1. Hal

tersebut dimungkinkan karena siswa di kelas eksperimen 1 lebih terbiasa dalam

mengemukakan pendapat dibandingkan kelas eksperimen 2 karena pada

pembelajaran materi animalia yang dilakukan melalui discovery learning, siswa

dituntut untuk dapat mengemukakan ide dan menyampaikan hasil pengamatannya

Gambar

Tabel 4.1. Rekapitulasi Uji Statistik Pretest Kemampuan Scientific Inquiry Literacy  Siswa Kelas Eksperimen 1 dan Kelas Eksperimen 2
Gambar 4.1. Kedudukan Siswa dalam Kelompok Tingkatannya berdasarkan Hasil Pretest
Tabel 4.2. Rekapitulasi Uji Statistik Posttest Kemampuan Scientific Inquiry Literacy  Siswa pada Kelas Eksperimen 1 dan Kelas Eksperimen 2
Gambar 4.2. Grafik Perbandingan Rata-rata Pretest dan Posttest Kemampuan Scientific Inquiry Literacy Siswa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Jasmani dan Olahraga di L embaga Pendidikan harus ditekankan pada olahraga kesehatan dan latihan jasmani untuk meningkatkan derajat sehat dinamis dan

Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan aturan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah

Analisa vegetasi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui potensi ekologis tengkawang dalam tegakan yang sudah ditetapkan menjadi areal konservasi sumber daya genetik,

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum. Selanjutnya, Pasal 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Persamaan Unsur-unsur garis pada ke 3 Rumah Adat ini adalah pada susunan lantainya yang memanjang mempunyai arti luas dan lebar, di karenakan pada Rumah Adat

Dari hasil observasi awal, maka ditentukan bahan tindakan yang akan dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar dalam mata pelajaran IPS di kelas II adalah dengan

ADD Direkomendasikan untuk tahan jika sudah beli sebelumnya atau boleh menambah posisi kepemilikan saham, namun boleh beli jika belum. Indikator teknikal menunjukkan signal

1) Sosialisasi, pelatihan maupun kegiatan-kgiatan Professional Development tentang implementasi Kurikulum 2013 sudah banyak dilakukan di kabupaten Buleleng