• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI NASIONAL DALAM PUSARAN GLOBALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INTEGRASI NASIONAL DALAM PUSARAN GLOBALI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI NASIONAL DALAM PUSARAN GLOBALISASI

Sugeng Harianto1

Abstrak

embentakan Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) belum selesai. Pembentukannya masih dalam lintasan sejarah. Globalisasi telah menghadirkan tantangan semakin berat dalam pembentukannya. Serbuan globalisasi mengakibatkan terjadinya pergulatan dalam sistem nilai masyarakat, yang mengakibatkan krisis orientasi nilai masyarakat. Bangsa ini juga menghadapi tantangan kemajemukan masyarakat. Kemajemukan masyarakat berpotensi melahirkan konflik horizontal dan vertikal. Menghadapi serbuan globalisasi dan kemajemukan masyarakat perlu dilakukan revitalisasi nilai-nilai yang bersifat fundamental. Kesepakatan terhadap nilai-nilai fundamental sangat krusial dan penting karena mampu meredam kemungkinan berkembangnya konflik horizontal dan vertical antarkomponen bangsa. Nilai-nilai fundamental itulah yang mampu menciptakan integtasi nasional yang kokoh. Integrasi nasional dengan cara-cara hegemoni dan dominasi yang pernah dipraktikkan pada masa lampu sudah seharusnya ditinggalkan. Integrasi nasional dan nasionalisme yang kuat akan dapat dibangun di atas landasan kesejahteraan masyarakat yang memadai. Kemiskinan dan keterbelakangan sudah saatnya kita tempatkan menjadi musuh bersama bangsa ini.

Kata kunci: integrasi, nasional, globalisasi

1 Penulis adalah staf pengajar pada Program Studi Sosiologi Jurusan Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya.

(2)

elama ini berkembang anggapan yang salah bahwa kita sebagai negara bangsa (nation state) sudah jadi sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia hasil KMB (Konferensi Meja Bundar) akhir 1949. Sebagai negara bangsa tidak perlu lagi dibicarakan dan tidak perlu lagi dipersoalkan. Menurut saya, anggapan seperti tidak tepat. Sebenarnya, meskipun kita sudah menjadi bangsa sudah 88 tahun -- sejak ikrar Sumpah Pemuda 1928 -- dan sudah 71 tahun kita menjadi negara (state), pembentukan ke-Indonesia-an kita masih berproses dan selalu berproses. Berproses dalam lintasan waktu dan ruang.Artinya, ke-Indonesia-an kita berproses dalam lintaske-Indonesia-an sejarah.

Globalisasi telah menghadirkan tantangan yang semakin berat dalam pembentukan ke-Indonesia-an kita sekarang ini. Bila pada masa sebelum tahun 1945 kita menghadapi tantangan eksternal berupa kolonialisme dan imperialisme, pada pasca kemerdekaan kita sebagai disibukkan dengan tantangan internal berupa pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah mulai dari pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 hingga pemberontakan PKI tahun 1965. Memasuki periode pemerintahan Orde Baru “seakan-akan tenang.” Selama 32 tahun kita memasuki periode pembangunan di semua sektor dengan pola pembangunan lima tahun (Pelita). Namun,bisa dikatakan keberhasilan pembangunan pada masa itu adalah semu. Integrasi nasional yang seolah-olah kokoh, sebenarnya rapuh.Pemerintah Orde Baru berhasl menciptakan integrasi nasional melalui penundukan atas masyarakat sipil melalui asas tunggal, korporatisasi kelompok kepentingan, P4, simplifikasi partai politik, dan bahkan melalui kekuatan represif.

Lepasnya Propinsi ke-27 Timor Timur dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sempat mengoyak integrasi nasional kita. Meskipun nuansa intervensi asing sangat kuat, melalui jajak pendapat sebagian besar rakyat Timor Timur menentukan pilihan untuk menjadikan Timor Timur sebagai negara berdaulat. Daerah yang selama itu menjadi “anak emas” Indonesia lepas begitu saja.Bukan hanya

itu, kemerdekaan Timor Timur juga menjadi inspirasi kelompok-kelompok di beberapa daerah seperti Aceh dan Papua untuk melakukan hal yang sama. Beruntung konflik vertikal berkepanjangan antara Indonesia dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dicapai perjanjian damai yang ditandatangani Septembertahun 2005. Namun, konflikvertikal dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka) masih layaknya bara api dalam sekam.

Bagaimana dengan masa depan integrasi nasional Indonesia? Menurut saya, sekarang ini integrasi nasional kita sedang menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu: pertama, tantangan eksternal berupa globalisasi, yang menebarkan pengaruhnya ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, dan kedua, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk (pluralistic), baik secara vertikal maupun horizontal.

Bangsa dalam Terkaman Globalisasi

Globalisasi artinya apa? Saya memahami globalisasi dengan pengertian sangat sederhana. Globalisasi berarti saya dapat menyaksikan di televisi merk Samsung buatan Korea Selatan di atas mobil Honda produksi Jepang tentang peristiwa agresi militer Israel di Palestina melalui tayangan CNN dalam waktu yang bersamaan dan materi siar yang sama dengan yang disaksikan penduduk dunia lainnya. Dalam perjalanan sambil makan hamburger dan minum Coca Cola yang saya beli dengan menggunakan credit card di rumah makan McDonald di Jl. Basuki Rachmat Surabaya.Lepas dari Jl. Basuki Rachmat saya menuju gedung bioskop Mitra untuk menyaksikan film London Has Fallen. Film ini ternyata secara serentak juga ditayangkan di gedung-gedung bioskop di seluruh dunia.Pulang dari gedung bioskop saya mampir belanja di Surabaya Plaza untuk membeli baju merk Hugo-Boss produksi Amerika Serikat dan sepatu merk Clark buatan Inggris.Pulang dari Surabaya Plaza saya mampir ke dunia buah untuk membeli apel produksi Australia dan New Zealand dan membeli durian yang diimpor dari Thailand (Harianto, 2006).

(3)

Itulah globalisasi.Dunia – oleh banyak penulis – digambarkan menyatu menjadi global village, yang menyatu, saling tahu dan terbuka, serta saling tergantung satu sama lain. Ohmae dalam bukunya The End of Nation State (1995) menggambarkan melalui 4 I, yaitu informasi, investasi, industri, dan individu (konsumen), akan menghancurkan negara bangsa. Percuma mempertahankan negara dengan mengandalkan batas-batas nasional, sebab institusi politik tersebut sudah terlalu rapuh untuk mengendalikan gelombang lomunikasi, korporasi, konsumen, modal, dan mata uang.Sebagai gantinya, Ohmae melihat akan muncul negara kawasan. Dunia seolah-olah sudah dilem dengan MEA, AFTA, NAFTA, WTO, dan sebagainya.Bahkan Fukuyama (2003) menyatakan bahwa dengan berakhirnya perang dingin kita telah mencapai “akhir sejarah.”Namun, Hirst dan Thompson (2001) beranggapan bahwa globalisasi bukan fenomena baru, bahkan dikatakan globalisasi adalah mitos.Perubahan-perubahan yang terjadi sekarang ini sudah terjadi pada tahun 1960-an. Globalisasi hanya mitos.

Bagaimana globalisasi di Indonesia?Globalisasi saya kira telah merasuk ke dalam darah kehidupan bangsa ini. Bahkan proses globalisasi yang berlangsung sejak akhir abad ke-20 semakin dalam menusuk jantung kehidupan bangsa dan telah menimbulkan berbagi problematika. Saya akan menyebutkan beberapa saja sebagai ilustrasi.Namun, menurut saya, globalisasi hanya mengubah sisi-sisi kehidupan masyarakat Indonesia secara gradual.Perubahan global di Indonesia hanyalah menyentuh kulit luar.Globalisasi belumlah mampu mengubah aspek-aspek fundamental bangsa dan negara ini.Namun perlu dicurigai bahwa globalisasi dapat saja menyentuh dan mengancam nilai-nilai fundamental kita kelak (Harianto, 2006).

Konon kabarnya krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 dikait-kaitkan dengan George Soros bermain valutas asing.Apa hubungannya dengan ekonomi Indonesia? Melalui mekanisme pasar, sistem ekonomi dan keuangan dunia telah menjadi global. Gejolak nilai tukar suatu negara akan berdampak

terhadap nilai tukar negara lain. Itulah yang kita alami sejak tahun 1997 hingga sekarang, nilai tukar Rupiah sangat rentan terhadap berbagai sentiment baik ekonomi, sosial maupun politik.Pada masa lalu, krisis ini dicoba diatasi dengan mendatangkan “dokter spesialis” IMF dan Bank Dunia. Berbagai resep yang diberikan IMF dan Bank Dunia, ternyata tidak mampu menyembuhkan penyakit kronis yang diderita seorang pasien yang namanya Indonesia (Harianto, 2006).

Globalisasi telah melahirkan ketergantungan antarnegara. Pembangunan ekonomi Indonesia telah melahirkan ketergantungan pada negara lain. Karena itu, kehadiran IMF dan Bank Dunia, pada masa itu, seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Mampukah Indonesia mengatakan go to hell IMF and World Bankseperti yang dilakukan oleh negara jiran Malaysia? Pada masa itu Indonesia tidak mempunyai keberanian seperti negara jiran Malaysia. Apalagi saat itu Indonesia laksana pasien yang taat, patuh, loyal, dan bahkan tunduk pada sang dokter spesialis (baca IMF dan Bank Dunia).

Globalisasi di bidang ekonomi telah melahirkan zero sum game. Dunia ibarat sebuah arena pertandingan. Apakah kita akan menjadi pemain atau penonton? Apakah kita sebagai pemain akanmenjadi pemenang (the winner) atau pecundang (the looser)? Jawabannya sangat tergantung pada kesiapan dan kemampuan kita. Pada krisis ekonomi yang dialami Asia, termasuk Indonesia, pada pertengahan tahun 1990-an menunjukkan bahwa kita menjadi the loosers

(negara pecundang). Kita tidak berdaya menghadapi the winners, yaitu para spekulan yang bermain di pasar valuta dan pasar uang.Hal ini disebabkan pembangunan ekonomi kita tidak dibangun di atas landasan yang kokoh.Ekonomi kita dibangun atas utang. Saat itu Indonenesia sampai pada satu titik yang memprihatinkan yaitu

(4)

Koes Plus, dikenal sebagai bangsa yang gemah ripah loh jinawi.Tanaman apa saja dapat ditanam dengan subur di bumi ini.Kita sebagai bangsa sebenarnya mempunyai kekayaan alam dan sumber daya manusia yang besar.Tentu ada yang salah dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia kita ini.Kita ambil contoh pengelolaan sumberdaya alam kita lebih banyak dikelola oleh asing (Harianto, 2006).

Dengan globalisasi investasi asing pun masuk ke Indonesia dengan bebasnya.Demikian juga dengan investasi dalam negeri dapat dilarikan ke luar negeri.Kita bicarakan terlebih dahulu investasi asing.Investasi asing yang masuk ke Indonesia dapat berupa uang dan teknologi.Mereka mendirikan perusahaan yang pada umumnya berskala besar.Orang juga menyebutnya sebagai Multy National Corporation

(MNC). MNC yangtumbuh subur pada negara kapitalis merupakan miniatur dari centrum menjalankan usahanya dengan cara mengeksploitasi negara-negara sedang berkembang sebagai peri-peri untuk keuntungan dan kesejahteraan negara-negara centrum. Mereka dalam menjalankan usahanya menggunakan teknologi canggih, namun bukan berarti ada alih teknologi dari mereka ke bangsa kita.MNC dalam terminologi Ruslan Abdulgani laksana gurita yang setiap saat menggerogoti bangsa ini (Harianto, 2006).

Sebaliknya investor dalam negeri ketika kondisi politik dan keamanan tidak kondusif melarikan dananya ke luar negeri, seperti ke Vietnam, China, Singapura, Malaysia, dan sebagainya.Apakah salah?Dalam kalkulasi bisnis tentu merupakan pilihan yang rasioanal.Tetapi dalam konteks kepentingan bangsa dan negara, tentu mereka dapat dikatakan lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok.Kita renungkan di tengah-tengah bangsa dan negara sedang sekarat, justru mereka lari ke luar negeri.Laksana mereka meninggalkan Ibu Pertiwinya yang kondisnya sedang sekarat (Harianto, 2006).

Indonesia juga telah menjadi pasar terbuka terhadap produk-produk negara lain.Setiap saat kita dibanjiri produk-produk, baik

barang maupun jasa, asing.Dengan jumlah penduduk di atas 250 juta, saya kira, Indonesia menjadi pasar potensial. Setiap detik masyarakat kita seleranya dibentuk dan didekte oleh produsen-produsen asing dengan berbagai macam produk yang ditawarkan melalui iklan, baik melalui media massa maupun media lainnya.Ini dapat disaksikan antara lain dengan semakin kuatnya pngaruh popular culture dan

consumer culture dalam kehidupan masyarakat kita, yang dipertontonkan dalam bentuk gaya hidup baru dengan meniru model kehidupan masyarakat negara maju. Tidak hanya menyentuh masyarakat kota, melinkan sudah merambah masyarakat desa. Mereka juga menguasai media massa, tanpa kita mampu untuk menandinginya. Sebagian dari masyarakat kita laksana konsumen-konsumen yang setia dari produk-produk asing.Implikasinya adalah mengalirnya devisa dari Indonesia ke negara lain. Ketika kita membeli sepatu merk Clark, maka devisa mengalir dari Indonesia ke Inggris. Ketika kita membeli baju merk Hugo-Boss, maka devisa mengalir dari Indonesia ke Amerika Serikat. Tidak hanya devisa yang mengalir ke luar negeri, kecintaan dan kesetiaan kita pada produk asing mengakibatkan produk dalam negeri hidup sempoyongan, bahkan mati suri.

(5)

sebuah perguruan tinggi mewisuda sekitar 1.300 sarjana tanpa melalui proses belajar. Bahkan, perguruan tinggi asing menawarkan gelar Ph.D dengan gurubesar-nya sekali. Selain masyarakat kita mengalami kondisi anomie, juga disebabkan apa yang oleh Koentjaraningrat ( 1994) disebut sebagai mental nrabas.

Ketika Indonesia tahun 1997 sedang parah-parahnya mengalami krisis moneter, para pengusaha kita banyak yang memarkir modalnya di bank-bank di luar negeri. Di tempat lain (di Thailand yang juga mengalami krisis ekonomi) berbagai komponen bangsa menyumbangkan harta miliknya kepada negara agar negara tersebut secepatnya keluar dari krisis. Thailand lebih cepat keluar dari krisis dibandingkan Indonesia. Demikian juga negara Jiran Malaysia. Dengan lebih mengandalkan kemampuan bangsanya dan tidak tergantung pada negara lain, negara tersebut juga dapat mengatasi krisis ekonomi dengan cepat.

Globalisasi tidak selalu menampakkan wajah yang seram dan menakutkan. Tidak selamanya globalisasi mempunyai dampak negatif pada kehidupan bangsa ini. Di balik sisi negatifnya, globalisasi juga menampakkan wajah yang ramah dan menawan. Kebebasan dan keterbukaan, yang pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi barang mewah dan mahal, sekarang ini dapat dinikmati oleh siapa saja.Kita sebagai warga negara mempunyai kebebasan untuk menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul, tanpa ada intimidasi dan rasa takut, bahkan ada kesan tanpa batas.

Dengan globalisasi kita juga diuntungkan secara ekonomi. Globalisasi membuka pintu lebar-lebar terhadap masuknya investasi asing. Investasi asing dapat menggerakkan roda perekonomian negara dan menciptakan lapangan pekerjaan. Dengan demikian juga dapat mengurangi pengangguran. Selain investasi asing, melalui globalisasi investor asing dapat melakukan relokasi industri di Indonesia. Dengan relokasi industri, investor asing diuntungkan karena dapat meminimumkan

cost-nya. Investor asing membayar buruh murah dan bahan baku yang melimpah, serta mendekatkan diri dengan market. Indonesia juga

diuntungkan karena mendapatkan investasi baru dan membuka lapangan pekerjaan. Berbagai produk soft drink, seperti Coca Cola, Fanta, dan sebagainya, yang kita minum setiap hari ternyata diproduksi di Rungkut sebagai hasil dari relokasi industri.

Globalisasi tidak sepenuhnya menghanyutkan masyarakat dan budaya lokal pada arus globalisasi secara terbuka, terdapat pula masyarakat yang terdorong untuk mencari dan menemukan identitas dirinya sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika reidentifikasi dan revitalisasi unsur budaya etnik muncul di perbagai belahan dunia. Di tingkat lokal globalisasi telah menyebabkan semakin menguatnya identitas lokal. Menguatnya identitas lokal sebagai bentuk resistensi terhadap globalisasi.

Apakah nasionalisme itu? Saya memahami nasionalisme juga dalam pengertian yang sangat sederhana. Bagi saya nasionalisme itu adalah kesadaran, sikap, dan perilaku yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dibandingkan kepentingan individu (pribadi), golongan atau kelompok. Dalam nasionalisme tersebut mengandung nilai-nilai, apa yang oleh Durkheim (2005) disebut sebagai bagian dari fakta sosial. Masyarakat menjadikan fakta sosial ini sebagai konsensus bersama. Nasionalisme menjadi kesadaran kolektif, yang menjadi perekat yang mampu mengintegrasikan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman etnis, ras, agama, dan budaya.

(6)

dibayangkan sebagai satu komunitas karena, lepas dari ketidakadilandan penindasan yang mungkin secara nyataada, bangsa selalu dibayangkan sebagai persaudaraan yang horizontal danmendalam(Anderson, 2002).Anderson menawarkan bahwa nasionalisme hanya dapat dipahami denganmenghubungkannya dengan kemerosotan sistem-sistem budaya besar yangmendahuluinya – dan dua sistem budaya besar yang relevan menurutnya adalahkomunitas agama dan kuasa dinasti hirarkis dengan penguasa yang berwahyu sebagaipuncaknya.

Menurut Anderson (2002), perlahan-lahan sejak abadke-17 dan ke-18, keduasistem ini mengalami kemerosotan. Kemerosotan keduanya menjadi penting bagiperkembangan bayangan tentang bangsa, karena mereka menanamkan manusia dalamkeberaturan yang ada, dengan memberikan makna kepada berbagai penderitaanduniawi, dan dalam berbagai cara, menawarkan penyelamatan dari penderitaan itu.Selain itu, dia berpendapat bahwa satu hal yang telah memungkinkan bayangan tentangbangsa itu adalah perubahandalam gagasan tentang „keserentakan‟. Dahulu, di abad pertengahan, „keserentakan‟ dipahami sebagai „keserentakan masa lalu dan masa depandalam keseketikaan masa kini‟, yang bagaimanapun, tampaknya bersumber darisemacam konsepsi tentang keterkaitan antara peristiwa yang tidakbersifat duniawi, melainkan ditentukan secara transendental.

Nilai-nilai dalam nasionalisme, menurut saya, akan berbeda dalam masa ke masa. Pada masa pergerakan nasional tertanam cukup kuat kesadaran akan berbangsa, berbahasa, dan bertanah air, yaitu Indonesia. Nilai-nilai nasionalisme ini dibangun di tengah-tengah kolonialisme dan keinginan kuat bangsa Indonesia ini untuk membangun bangsa yang merdeka. Pada pascakemerdekaan, Bung Karno menjadikan nasionalisme sebagai ideologi bangsa untuk membangun nation character building. Hatta berbeda dengan Bung Karno. Hatta lebih ingin melakukan state building dengan memanfaatkan nation state, yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial dan akan diatur dengan

cara-cara konstitusional. Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak orang bertanya apakah pemerintah Orde Baru mempunyai nasionalisme atau tidak. Pada masa Orde Baru nasionalisme bersifat semu. Nasionalisme dikendalikan oleh negara. Nasionalisme lebih sebagai kendaraan politik daripada sebagai ideologi yang dapat dipersandingkan dengan konsep nasionalisme menurut Soekarno dan Hatta. Nasionalisme Orde Baru dapat dibayangkan semacam kotak politik, yang dibawa-bawa kesana – kemari. Nasionalisme di dalamnya ada Pancasila, ada obeng yang namanya dwi fungsi ABRI, linggisnya yaitu P4, ada kunci Inggris yang namanya negara integralistik. Semuanya adalah peralatan politik saja untuk merawat dan memperbaiki serta memaksimumkan performance mesin politik Orde Baru. Nasionalisme semu inilah yang menjadi salah faktor mengapa kita tidak siap bertanding dalam arena globalisasi (Harianto, 2006).

Pada pascaOrde Baru nilai-nilai obeng, linggis, dan kunci inggris sudah kehilangan fungsinya. Sebagai gantinya masyarakat kita mengadopsi nilai-nilai demokrasi, seperti kemerdekaan, kebebasan, dan keterbukaan. Nilai-nilai tersebut adalah universal. Sudah menjadi ciri negara sedang berkembang, umumnya segera saja mengadopsi nilai-nilai tersebut dengan tangan terbuka, tanpa ada upaya seleksi dan mempertimbangkan apakah nilai-nilai tersebut fungsional atau disfungsional. Bahkan nilai-nilai tersebut dijadikan tujuan, seperti banyak orang menjadikan demokrasi sebagai tujuan. Selain itu, nilai-nilai yang diperoleh melalui globalisasi ini acapkali mengalami reduksi pemaknaan ketika diadopsi oleh masyarakat penerima. Misalnya berubahnya makna kemerdekaan, kebebasan, hak asasi manusia, ideologi gender, dan sebagainya disesuaikan dengan interpretasi masyarakat penerima.

(7)

dijadikan arah dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masihkan nilai-nilai sosial tersebut menjadi rujukan dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Indonesia yang dahulu kaya dengan modal sosial, sekarang ini menjadi bangsa yang miskin modal sosial tersebut. Ambil contoh PKL (pedagang kaki lima) digusur bentrok dengan petugas tramtib (ketenteraman dan ketertiban) dan polisi, mahasiswa merusak kampusnya sendiri, mahasiswa bentrok dengan preman, antara pemimpin dengan yang dipimpin, antar-lembaga negara, antar-warga masyarakat, saling mencurigai, saling tidak percaya, saling hujat, saling menyalahkan, bahkan merusak dan saling membunuh. Sebagian dari anggota masyarakt kita sudah kehilangan trust terhadap pemimpin negeri ini. Asas musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan atau menyelesaikan masalah sudah banyak ditinggalkan. Sebagian dari bangsa ini lebih memilih menggunakan voting atau pengambilan suara terbanyak. Bahkan di antara anggota masyarakat banyak yang menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah. Saya kira masih banyak contoh lain yang menggambarkan memudarnya atau semakin menghilangnya social capital yang selama ini kita miliki.

Mengapa seolah-olah bangsa kita tidak mampu bersaing dengan bangsa lain? Karena tanpa sadar banyak di antara kita yang mengembangkan sikap xenosentris. Seolah-olah bangsa kita adalah bangsa yang inferior dan menganggap bangsa lain sebagai bangsa yang superior. Yang berbau asing dianggapnya sebagai sesuatu yang sempurna, sedangkan yang lokal dianggapnya tidaklebih baik. Memakai baju, sepatu, jam tangan made in luar negeri dengan merk-merk terkenal dianggapnya menawarkan kemawahan, prestis, dan gengsi. Sedangkan baju, sepatu, jam tangan lokal dianggapnya biasa saja, tidak mempunyai prestis dan gengsi. Banyak di antara kita bangga jika bisa berfoto bersama dengan bule.Sesuatu yang berasal dari luar negeri dianggapnya sebagai simbol medernitas.Xenosentris yang dikembangkan oleh sebagian masyarakat kita mempunyai implikasi yang sangat luas. Sebagai

bangsa kita kurang mempunyai kepercayaan diri bahwa kita dengan bangsa lain sebenarnya sederajat

Mentalistas seperti itu umumnya erat kaitannya dengan mentalistas bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa lain. Masyarakat dengan mentalitas seperti ini selalu memandang bekas kaum penjajah dengan apresiasi yang tinggi.Oleh karena itu tidak heran bila sesuatu yang datang dan berasal dari masyarakat maju dipandang sebagai model yang pantas dan cocok untuk ditiru.Ironisnya, peniruan itu acapkali menjadikan terkikisnya gagasan-gagasan asli masyarakat.

Tantangan Masyarakat Majemuk

Adalah Huntington (Siswarini dan Kasijanto, 2003) yang meramalkan bahwa konflik antarperbedaan di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah-masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi sebelumnya (era 1980-an), yaitu terjadi perang etnik di kawasan Balkan, di Yogoslavia pasca pemerintahan Josip Bros Tito: keragaman yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika

leadership yang mengikatnya lengser.

(8)

liberal, melainkan sebaliknya merupakan kelahiran kembali fraksionalisme dan konflik berdasarkan persaingan etnis, agama, dan budaya yang sudah berabad-abad lamanya.

Castles (1994) juga memberikan indikasi bahwa menjamurnya gerakan-gerakan etnis di dunia selama paruh akhir abad ke-20 telah memberikan kesan bahwa ikatan primordial lebih kuat daripada loyalitas-loyalitas nasional.Tidak hanya di negara sedang berkembang tetapi di negara-negara yang menjadi perintis dari negara bangsa seperti Perancis, Inggris, dan Kanada, gerakan-gerakan etnis telah muncul yang menjurus ke separatisme.

Perpecahan yang bersumber sentimen primordial tersebut dapat meledak di mana saja, di negara adidaya sekalipun.Contohnya yang jelas adalah Uni Soviet yang dahulu perkasa itu pecah berantakan keragamannya yang kompleks etnis, agama, dan kesejahteraan saling silang bersamaan dengan rontoknya ideologi komunis yang jadi perekat kehilangan daya tariknya.

Huntington (Siswarani dan Kasijanto, 2003) mengemukakan enam alasan mengapa di masa mendatang akan terjadi benturan antara perbedaan yaitu: (1) perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar; (2) dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antarorang yang berbeda peradaban semakin meningkat; (3) proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam, di samping memperlemah negara-negara sebagai sumber identitas mereka; (4) tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi Barat berada di puncak kekuatan, di lain sisi, dan ini mungkin akibat posisi Barat tersebut, kembalinya ke fenomena asal, sedang berlangsung di antara peradaban-peradaban non-Barat; (5) karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi; dan (6) regionalisme ekonomi semakin meningkat.

Asumsi tersebut menimbulkan kontraversi di kalangan pengamat dan pakar politik, ekonomi,maupun budaya. Seorang ahli lain, misalnya, menolak spekulasi Huntington

tersebut dan menyatakan bahwa dengan berakhirnya perang dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi yaitu pengelompokan peradaban, tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama.

Emerson (Siswarani dan Kasijanto, 2003) memandang bahwa kategorisasi dan polarisasi versi Huntington tidak mewakili ketegangan antarperbedaan di dunia, yang hanya menyoroti kemungkinan semakin parahnya ketegangan perbedaan Barat dan Islam.Padahal menurut Emerson (Siswarani dan Kasijanto, 2003), di antara semua orang Barat di Eropa dan Amerika Utara nampaknya banyak ketegangan yang diabaikan Huntington.Seperti konflik yang berlarut-larut antara kaum Protestan dan Katolik di Irlandia Utara. Bahkan di Amerika Serikat sudah jelas terlihat fenomena gerakan multikulturalisme yang mengakui atau bahkan merangkul semua peradaban versi Huntington dalam tubuh masyarakat Amerika sendiri.

Dalam skala lokal, Indonesia yang merupakan bagian dari dunia global menghadapi gejala pluralitas etnis, agama, dan budaya.Indonesia sebagai negara bangsa mempunyai karakteristik yang unik, yaitu merupakan negara yang pluralistik dilihat baik secara vertikal maupun horizontal (Usman, 1992).Secara vertikal struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya polarisasi sosial berdasarkan kekuatan ekonomi dan politik. Kontras demikian akan menempatkan dua kelompok masyarakat seolah-olah dalam posisi saling berhadap-hadapan secara antagonistik. Struktur masyarakat terpolarisasi menjadi sebagian besar orang yang secara ekonomi dan politik lemah yang menempati lapisan bawah dan sebagian kecil orang yang secara ekonomi dan politik kuat yang menempati lapisan atas.

(9)

canggih (sophisticated), banyak bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional, dan

profit oriented, dan sector ekonomi tradisional yang bersifat konservatif, berorientasi untuk motif-motif memelihara keamanan dan kelanggengan sistem yang sudah ada, tidak profit oriented, serta kurang mampu mengusahakan pertumbuhan. Polarisasi ekonomi demikian, yang oleh Boeke (Burger, 1983) disebut dengan dual economy

tersebut, secara historis telah berakar pada masa kolonia Belanda.

Perbedaan antara kedua sektor ekonomi tersebut secara integral berakar di dalam keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang mengandung perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat kota yang bersifat modern, dengan struktur masyarakat desa yang tradisional. Jika sektor ekonomi modern terutama dijumpai di dalam masyarakat kota, maka sektor ekonomi tradisional terutama dijumpai di dalam masyarakat pedesaan. Struktur masyarakat demikian ditandai oleh adanya gap di dalam hampir semua aspek kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan adanya jurang pemisah antara sejumlah besar orang yang miskin dengan sejumlah kecil orang yang kaya raya, antara sejumlah besar orang yang kurang berpendidikan dengan sejumlah kecil orang yang berpendidikan, antara sejumlah besar orang yang hidup di desa dengan sejumlah kecil orang yang hidup di kota, antara sejumlah besar orang yang masih tradisional dengan sejumlah kecil orang yang modern.

Di dalam kehidupan politik kita juga dapat menyaksikan adanya polarisasi yang seolah-olah membelah masyarakat Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu antara kelompok elit dan kelompok massa. Struktur masyarakat demikian juga ditandai oleh adanya gap yaitu antara sejumlah kecil orang yang memegang kekuasaan dengan sejumlah besar orang yang tidak memiliki kekuasaan.

Secara horizontal, pluralitas masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan.Perbedaan-perbedaan di bidang kehidupan masyarakat tersebut yang menandai masyarakat Indonesia sebagai masyarakat

majemuk, seperti dikonsepkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Dikatakan oleh Furnivall, masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda adalah merupakan masyarakat majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Masyarakat dalam pengertian demikian merupakan suatu ciri masyarakat daerah tropis di mana mereka yang berkuasa dengan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.Misalnya, struktur masyarakat Indonesia pada masa Kolonial terdiri dari orang-orang Eropa, Timur Asing, dan pribumi, yang masing-masing berasal dari ras yang berbeda.

Pada pascakemerdekaan pengertian masyarakat majemuk menurut Furnivall haruslah direvisi, karena terdapat perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat Indonesia.Dengan “terlemparnya” orang-orang Eropa dari struktur masyarakat, kemajemukan masyarakat Indonesia tidak terjadi antara orang-orang Eropa, Timur Asing, dan Pribumi, melainkan terjadi antarpribumi. Kemajemukan masyarakat Indonesia akan memperoleh arti penting dilihat dari sukubangsa, agama, dan budaya (Usman, 1992).

Kebhinnekaan demikian bagi bangsa Indonesia dapat menjadi kekayaan dan kebanggan bila dapat dikelola dengan baik, dan sebaliknya dapat menjadi potensi konflik bila tidak dikelola dengan baik. Menjelang peralihan abad ke-20 ke abad ke-21 bangsa Indonesia dihadapkan pada serangkaian peristiwa konflik, yang terjadi di berbagai daerah, seperti Jawa, Maluku, Poso, Mataram, Kupang, Papua, D.I. Aceh, dan daerah lainnya. Konflik dan kerusuhan yang telah memakan korban ribuan jiwa, ribuan tempat tinggal, dan ratusan tempat ibadah tersebut telah meninggalkan luka phisik dan psikis yang amat dalam di kalangan mereka yang langsung maupun tidak langsung, terlibat dalam berbagai konflik tersebut.

(10)

Dalam tulisan ini hanya akan dipaparkan secara ringkas tiga peristiwa konflik SARA yang terjadi di Kupang Nusa Tenggara Timur, di Mataram Nusa Tenggara Barat, dan Sambas di Kalimantan Barat. Tiga peristiwa konflik ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi berkerjasama dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tahun 2001 (Sihbudi dan Nurhasim, 2001).

Namun Heddy (2001) berpendapat berbeda. Dikatakan pluralitas etnik, agama, dan budaya tidak selalu menimbulkan konflik, malah sebaliknya seringkali justru dapat memperkuat integrasi, karena perbedaan-perbedaan yang ada walaupun saling berlawanan, namun juga saling mengisi. Karena itu, Heddy berpandangan bahwa pandangan yang menyatakan SARA merupakan faktor penyebab konflik harus ditinjau kembali.

Heddy (2001) mengajukan teori alternatif untuk menjelaskan berbagai konflik dan kerusuhan massal, yaitu teori Kondisi Sosial atau teori Rumput Kering.Teori ini dibangun atas sejumlah asumsi atau anggapan dasar.Asumsi-asumsi dasar itu adalah:

Pertama, bahwa berbagai macam peristiwa atau gejala sosial-budaya termasuk di dalamnya konflik dan kekerasan massal – pada dasarnya tidak lahir dari sebuah kekosongan sosial-budaya, tetapi dari kondisi-kondisi tertentu yang ada dalam masyarakat. Kondisi-kondisi ini bervariasi, namun tidak tanpa batas, sehingga jumlahnya juga tidak akan sangat banyak, dank arena itu generalisasinya akan cukup tepat atau bermakna.

Kedua, kondisi-kondisi dalam suatu masyarakat merupakan hasil dari sebuah proses sejarah yang bersifat khusus, yang tidak dialami secara persis oleh masyarakat yang lain. Walaupun demikian, dalam masyarakat-masyarakat yang berada di bawah sebuah system politik tertentu (rezim Orde Baru, misalnya), proses sejarah ini dapat mempunyai banyak persamaan satu dengan yang lain, sehingga generalisasi dari prose situ sendiri lantas dapat dilakukan. Untuk dapat memahami dengan baik kondisi-kondisi sosial-budaya yang ada proses sejarah ini perlu diketahui.

Ketiga, tidak semua kondisi sosial-budaya yang ada memberikan sumbangan yang sama besarnya untuk memunculkan suatu gejala atau persitiwa sosial-budaya

tertentu.Ada kondisi yang sangat besar sumbangannya, ada pula kondisi yang relative kecil sumbangan atau pengaruhnya, sehingga kondisi-kondisi ini dapat dibedakan paling tidak menjadi dua kategori, yaitu: Kondisi-kondisi primer dan kondisi-kondisi sekunder. Kondisi primer atau langsung adalah kondisi-kondisi yang dianggap secara langsung memberikan sumbangan atau pengaruh terhadap terjadinya suatu gejala – dalam hal ini kekerasan missal – dalam masyarakat, sedangkan kondisi sekunder adalah kondisi-kondisi yang dianggap tidak secara langsung memberikan sumbangan atau pengaruh terhadap terjadinya suatu gejala.

Keempat, kondisi-kondisi sosial-budaya ini lebih lebih memungkinkan kita memberikan penjelasan yang didasarkan atas fakta empiris, serta melakukan penelitian empiris untuk membuktikan kebenaran penjelasan tersebut, dibandingkan dengan apabila kita menggunakan teori-teori yang lain.

Yang dimaksudkan dengan kondisi-kondisi sosial adalah ciri, sifat atau karakter dari relasi-relasi antarindividu, komunitas, kelompok dan golongan, dan relasi-relasi mereka berkenaan dengan sumber daya tertentu dalam suatu masyarakat, dalam suatu kurun waktu tertentu. Sedangkan kondisi-kondisi budaya adalah ciri, sifat atau karakter dari perangkat simbolis yang dimiliki oleh kelompok, komunitas dan golongan dalam suatu masyarakat mengenai kelompok, komunitas, dan golongan serta mengenai sumber daya yang ada dalam lingkungan mereka dan penguasaannya.

Beberapa kondisi sosial-budaya primer dalam masyarakat, yang membuat suatu masyarakat rawan terhadap perluasan skala dan akibat dari konflik dan kerusuhan missal yang mungkin terjadi adalah: (1) terdesaknya akses kelompok tertentu ke kekuasaan dan sumber daya; (2) keterdesakan terjadi melalui proses yang dianggap tidak adil atau curang; (3) penguasa baru atas akses dan sumber daya adalah para pendatang; (4) para pendatang berbeda suku, agama, atau rasnya; (5) etnosentrisme dan eksklusivisme.

(11)

lalu tidak tampak kaitannya dengan konflik dan kerusuhan yang terjadi, tetapi sebenarnya memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap terciptanya kondisi-kondisi primer yang ada. Kondisi-kondisi sekunder tersebut antara lain: (1) rasa keadilan masyarakat setempat yang tidak terpenuhi; (2) aparat pemerintahan yang tidak peka terhadap kondisi genting masyarakat; (3) aparat pemerintahan yang memihak/mengutamakan salah satu kelompok; (4) kesadaran kesatuan bangsa masih lemah; (5) pengetahuan budaya local yang sangat kurang.

Menggagas Indonesia Baru

Bagaimana menumbuhkan kembali rasa kebangsaan kita sehingga terbangun kembali integrasi nasional kita yang kokoh? Saya mengajukan beberapa pemikiran:

Globalisasi merupakan kenyataan yang harus kita terima.Kita tidak mungkin mengisolasi diri dari pengaruh global tersebut.Yang dapat kita lakukan adalah menyikapi perubahan global tersebut.Kita hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu kita menjadi pelaku atau kita menjadi penonton, kita menjadi pemenang (the winner) atau kita menjadi pecuncang (the looser).Agar kita tidak menjadi penonton dan the looser maka kita harus meningkatkan daya saing bangsa.

Sebagai masyarakat majemuk – di tengah-tengah globalisasi -- perlu dilakukan revitalisasi nilai-nilai yang bersifat fundamental. Kesepakatan terhadap nilai-nilai fundamental sangat krusial dan penting karena mampu meredam kemungkinan berkembangnya konflik antarkomponen bangsa.Nilai-nilai fundamental itulah yang mampu menciptakan integtasi nasional yang kokoh.Integrasi nasional dengan cara-cara hegemoni dan dominasi yang pernah dipraktikkan pada masa lampu sudah seharusnya ditinggalkan.

Sebagai masyarakat yang majemuk, kita juga perlu melakukan revitalisasi modal sosial (social capital).Penciptaan dan pengembangan modal sosial menjadi sangat krusial dan penting.Modal sosial dalam masyarakat majemuk dapat menjadi tali perekat dari berbagai macam etnik, ras, agama, dan budaya menjadi sebuah

entitas yang utuh.Dengan modal sosial yang kuat bangsa ini tidak mudah retak.

Kemajemukan masyarakat kita sudah saatnya dikelola dengan mengedepankan pendekatan multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan.Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan-perbedaan individual atau orang perorang dan perbedaan budaya.Perbedaan budaya mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling memahami dan menghormati kebudayaan-kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritas. Sebuah masyarakat bangsa dilihat sebagai memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (mainstream) di dalam kehidupan masyarakat bangsa tersebut. Dalam model multikulturalisme penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbeda-beda, pada pengkayaan budaya melalui pengapdosian unsur-unsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas sukubangsa yang primordial.Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, setiap orang adalah multikulturalis.

The right or wrong is my country

mungkin ungkapan ini dinilai terlalu berlebihan, namun sebagai bangsa kita harus bangga dengan bangsa kita sendiri. Masyarakat kita sudah saatnya mengembangkan sikap etnosentrisme ketika merespon globalisasi. Kapan produk dalam negeri menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

(12)

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. “Pluralitas Budaya dan Kekerasan Massal: Adalah Hubungannya,” makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kontribusi Kajian Humaniora dalam Memperkokoh Integrasi Nasional, oleh UGM, tanggal 24 Maret 2001.

Anderson. Benedict. 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ashley, David and David Michael Orenstein. 2005. Sociological Theory Classical Statement. Sixth Edition. Boston: Pearson.

Burger, D.H. 1983. Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan. Jakarta: Bratara Karya Aksara.

Castle, Lance. 1994. “Etnisitas dan Keutuhan Wilayah Negera-negara: Pandangan Global,” makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sumbangan Ilmu-ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional, oleh Program Studi Ketahanan Nasional UGM, pada tanggal 30 Nopember – 1 Desember 1994.

Fukuyama, Francis. 2003. The End of History and the Last Man. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Cetakan Kedua. Terjemahan. Yogyakarta: Qalam.

Harianto, Sugeng. 2006. “Globalisasi, Nasionalisme, dan Integrasi Nasional.” Makalah ini disampaikan pada Dialog Interaktif Wawasan Kebangsaandengan tema Membangun Jati Diri Bangsa Bagi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Surabaya, yang diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya pada tanggal 29 September 2006 di Surabaya.

Hisrt, Paul dan Grahame Thompson. 2001. Globalisasi Adalah Mitos. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 1, Terjemahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1994.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Korten, David C. 1993. Menuju Abad Ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Terjemahan. Jakarta: Sinar Harapan.

Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali.

Ohmae, Kenichi. 1995. The End of the Nation-State: the Rise of Regional Economies. New York: Simon and Schuster Inc.

Roeslan, Abdulgani. 1993. “Pemantapan Jiwa Nasionalisme Menghadapi Era Globalisasi dan Abad ke-21.” Makalah disampaikan pada Seminar di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, tanggal 27 September 1993.

Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Siswarini, Indra dan Kasijanto. 2003. “Manusia, Keragaman, dan Kesetaraan,” makalah disampaikan pada Pelatihan Dosen-dosen Matakuliah ISBD di Yogyakarta tahun 2003.

Referensi

Dokumen terkait

DPKP07.05/POKJA~KONSULTAN/XI/2012 tanggal 09 Nopember 2012 untuk pekerjaan Jasa Konsultansi Perencanaan Pembangunan Jaringan Irigasi Kecamatan Pelabai,. Lebong Atas

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Swt,atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga

Oleh yang demikian, projek ini bertujuan untuk menghasilkan satu perisian multimedia bagi tajuk konsep nombor bagi kanak-kanak prasekolah berasaskan pendekatan permainan..

Dalam membentuk ikatan yang lebih kuat dengan pelanggan, pemasaran relasional dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu:.. Financial benefit, manfaat keuangan

Dalam mencapai tujuan minimasi makespan , maka diusulkan penjadwalan dengan algoritma Campbell, Dudek, dan Smith (CDS) dengan ukuran lot transfer batch komponen

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan representasi multipel matematis siswa yang memperoleh model

SELAIN GENDHONG PITU MASIH BANYAK LAGI IRAMA YANG BIASANYA TERDENGAR / SAAT. WARGA DESA USAI MELAKUKAN PANEN RAYA // IRAMA MERDU YANG DIHASILKAN DARI GEJOG LESUNG / KINI

Menurut saya setidaknya ada lima peran yang dapat diambil oleh museum: (1) peran sosial; (2) peran akademik; (3) peran eduksi; (4) peran pemberdayaan masyarakat; (5) peran