• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengkajian pemanfaatan limbah biogas Slu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengkajian pemanfaatan limbah biogas Slu"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

I-1

PENGKAJIAN PEMANFAATAN LIMBAH BIOGAS (Slurry Dan Sludge) PADA

BIBIT TANAMAN KOPI

Aryana Citra K, Muryanto, dan Pita Sudrajad Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Ungaran. Kotak Pos 101. Ungaran 50501

085226866260 aryanacitra@yahoo.co.id

Abstract

Assessment of Waste Biogas Utilization (Slurry and Sludge) to Coffee Seedlings. One of

the utilization of biogas waste (slurry and sludge) in the coffee plantation as the village Banaran PTPN IX, Ambarawa district, Semarang regency which can be used as a liquid organic fertilizer to reduce fertilizer costs. Studies made in the year 2011, receipts coffee seedlings were 8 months. Treatments were given the gift of waste biogas 100 ml, and 200 ml at intervals giving 7 days, and the control is commonly used fertilizer Hakasi. The results of the study showed the provision of waste biogas 100 ml and 200 ml / 7 days, were not significantly different effect on the number of shoots, plant height, leaf width and leaf length compared to the application of fertilizer is usually done by PTPN, even for parameter number of leaves and number of real branches more than the controls. This means that the provision of waste biogas can replace fertilizer used by PTPN IX, thereby reducing fertilizer costs.

Keywords : fertilizer, wastewater biogas, slurry, sludge, coffee seedlings

PENDAHULUAN

Salah satu hasil proses fermentasi anaerob pada instalasi biogas adalah terbentuknya limbah cair berbentuk slurry. Slurry mengalami penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan perbandingan BOD/COD slurry sebesar 0,37. Nilai ini lebih kecil dari perbandingan BOD/COD limbah cair sebesar 0,5. Slurry juga mengandung lebih sedikit bakteri pathogen sehingga aman untuk digunakan sebagai pupuk (Widodo dkk, 2007 dalam Prariesta dan Winata, 2009).

Slurry dapat ditingkatkan nilai ekonomisnya dengan diolah menjadi pupuk organik cair. Menurut Suzuki et al (2001) dalam Oman (2003), sludge yang berasal dari biogas (slurry) sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai macam unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti P, Mg, Ca, K, Cu dan Zn. Kandungan unsur hara dalam limbah (slurry) hasil pembuatan biogas terbilang lengkap meskipun jumlahnya sedikit.

Wikipedia (2011) menambahkan bahwa limbah biogas, yaitu kotoran ternak yang telah hilang gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Bahkan, unsur-unsur tertentu seperti protein, selulose, lignin, dan lain-lain tidak bisa digantikan oleh pupuk kimia. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan pupuk organik cair memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman. Misalnya penelitian Rizqiani, dkk (2007) untuk tanaman buncis, Parman (2007) untuk tanaman kentang, Rahmi dan Jumiati (2007) untuk tanaman jagung manis.

(2)

I-2

pembentukan klorofil daun, meningkatkan vigor tanaman sehingga tanaman menjadi kokoh serta meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kekeringan (Rizqiani dkk, 2007).

Menurut Salisbury dan Ross (1995), selain mengandung unsur nitrogen yang berfungsi menyusun semua protein, asam amino dan klorofil, pupuk organik cair juga mengandung unsur hara mikro yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses sintesis protein dan pembentukan klorofil.

Sedangkan urine sapi adalah cairan dari proses pembuangan sisa metabolisme oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh sapi melalui proses urinasi. Proses ini diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menajga homeostatis cairan tubuh.

Pada peternakan sapi, urine cukup menganggu karena baunya yang menyengat. Namun, berdasarkan beberapa penelitian para ahli, urin sapi ternyata memiliki banyak kegunaan sebagai berikut, Anty (1987) dalam Affandi (2008) urin sapi mengandung ZPT yang dapat digunakan sebagai pengatur tumbuh diantaranya IAA. Selain itu, urine sapi yang memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan vegetative tanaman jagung. Phrimantoro (1995) dalam Affandi (2008), urine dengan baunya yang khas dapat mencegah datangnya berbagai hama tanaman. Oleh karena itu, urine sapi dapat juga berfungsi sebagai pengendalian hama.

Menurut Lingga (1991) dalam Affandi (2008), kandungan sapi baik padat maupun cair disajikan pada tabel berikut:

Kotoran Kandungan

Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%) Air (%)

Sapi Padat 0,4 0,2 0,1 85

Sapi Cair 1,0 0,5 1,5 92

METODE PENELITIAN

Pada pengkajian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemupukan yang terdiri dari (A) pupuk dari limbah biogas sapi sebanyak 100 ml, (B) pupuk limbah biogas sapi sebanyak 200 ml, dan (C) pupuk Hakasi terhadap beberapa komponen pertumbuhan seperti jumlah tunas, tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah ranting, lebar daun, dan panjang daun pada bibit tanaman kopi. Pupuk A dan B merupakan pupuk yang berasal dari limbah biogas sapi. Pupuk C merupakan pupuk yang biasa digunakan oleh PTPN dan disebut dengan pupuk Hakasi yang komponennya terdiri dari 25 liter air, 20 liter urin, 4 kg NPK, dan 2 kg Urea.

Pupuk Dosis Pemberian Keterangan

A Limbah Biogas Sapi 100 ml/minggu/tanaman Lewat tanah B Limbah Biogas Sapi 200 ml/minggu/tanaman Lewat tanah C Hakasi (pemberian lewat tanah

dan daun dilakukan secara bergantian)

(10 cc/1 liter air)/2 minggu/5 tanaman Lewat tanah

(5 cc/1 liter air)/2 minggu/5 tanaman Lewat daun/disemprot

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Uji F, dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji DMRT/Duncan. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pemupukan terhadap pertumbuhan bibit tanaman kopi disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik tersebut menunjukan bahwa perlakuan pemberian pupuk berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan jumlah tunas, jumlah daun, dan jumlah ranting bibit tanaman kopi.

(3)

I-3

Keterangan : tn = tidak nyata, * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata

Jumlah Tunas

Hasil analisis ragam terhadap jumlah tunas bibit tanaman kopi pengamatan pada umur 7, 14,21, dan 28 HST menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan hanya pada umur 7 HST. Hasil uji lanjut DMRT pada umur 7 HST disajikan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Jumlah Tunas Bibit Tanaman Kopi pada Semua Umur Pengamatan (7, 14,21, dan 28 HST)

Perlakuan Jumlah Tunas

7 HST 14 HST 21 HST 28 HST Limbah biogas sapi 100 ml (A) 0,6667 b 0,8667 a 2,0867 a 6,720 a Limbah biogas sapi 200 ml (B) 2.8333 a 0,9000 a 2,1000 a 6,633 a Pupuk Hakasi (urin sapi+pupuk

anorganik) (C)

1.5333 b 0,5667 a 2,3333 a 6,400 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT

(4)

I-4

Perlakuan limbah biogas sapi 200 ml (B) memberikan jumlah tunas tertinggi pada umur 7 HST, juga pada umur 14 HST. Pada umur pengamatan 21 HST jumlah tunas tertinggi dicapai oleh perlakuan pupuk hakasi (C), sedangkan pada umur 28 HST jumlah tunas tertinggi dicapai oleh perlakuan limbah biogas sapi 100 ml (A).

Tinggi Tanaman

Hasil analisis ragam terhadap tinggi tanaman bibit tanaman kopi pengamatan pada umur 7, 14, 21, dan 28 HST menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Meskipun tidak berbeda nyata namun tinggi tanaman pada semua umur pengamatan menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pemupukan dengan menggunakan limbah biogas sapi 200 ml (B) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pemupukan A dan C (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Tinggi Tanaman Bibit Tanaman Kopi pada Semua Umur Pengamatan

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)

7 HST 14 HST 21 HST 28 HST Limbah biogas sapi 100 ml (A) 51,200 a 52,700 a 53,100 a 53,133 a Limbah biogas sapi 200 ml (B) 49,667 a 55,467 a 55,667 a 55,700 a Pupuk Hakasi (urin sapi+pupuk anorganik) (C) 48,367 a 48,500 a 48,500 a 48,767 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT

Jumlah Daun

Hasil analisis ragam terhadap jumlah daun bibit tanaman kopi pengamatan pada umur 7, 14, 21, dan 28 HST menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pada semua umur pengamatan. Pengaruh perlakuan pemupukan terhadap jumlah daun pada semua umur pengamatan (7, 14, 21, dan 28 HST) disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Jumlah Daun Bibit Tanaman Kopi pada Semua Umur Pengamatan (7, 14, 21, dan 28 HST)

Perlakuan Jumlah Daun (helai)

7 HST 14 HST 21 HST 28 HST Limbah biogas sapi 100 ml (A) 34,667 a 34,733 a 34,733 a 36,200 a Limbah biogas sapi 200 ml (B) 28,767 ab 30,167 ab 30,333 ab 31,067 ab Pupuk Hakasi (urin sapi+pupuk

anorganik) (C) 22,833 b 22,967 b 22,967 b 25,200 b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT

Tabel 4 menunjukkan bahwa bibit tanaman kopi pada semua umur pengamatan perlakuan limbah biogas 100 ml (A) mencapai jumlah daun tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan limbah biogas 200 ml (B), dan pupuk Hakasi (urin sapi+pupuk anorganik) (C).

Jumlah Ranting

(5)

I-5

Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Jumlah Ranting pada Semua Umur Pengamatan (7, 14,21, dan 28 HST)

Perlakuan Jumlah Ranting

7 HST 14 HST 21 HST 28 HST Limbah biogas sapi 100 ml (A) 4,5333 a 5,1667 a 6,1667 a 6,1167 a Limbah biogas sapi 200 ml (B) 5,7667 a 5,8667 a 5,8667 a 7,4000 a Pupuk Hakasi (urin sapi+pupuk anorganik)

(C)

4,0667 a 4,5000 a 4,6333 b 5,4000 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT

Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pada umur pengamatan 21 HST jumlah ranting tertinggi adalah pada perlakuan limbah biogas sapi 100 ml (A), dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan limbah biogas sapi 200 ml (B), yaitu masing-masing sebesar 6,1667 ranting (A), dan 5,8667 ranting (B), sedangkan perlakuan pupuk hakasi (C) mencapai jumlah ranting terendah yaitu sebesar 4,6333 ranting.

Demikian pula pada tiga dari empat umur pengamatan yang lain (7, 14, dan 28 HST) jumlah ranting tertinggi terdapat pada pemberian perlakuan limbah biogas 200 ml (B), diikuti limbah biogas 100 ml (A), dan terendah adalah pupuk hakasi (C).

Lebar Daun

Hasil analisis ragam terhadap lebar daun bibit tanaman kopi pada semua umur pengamatan 7, 14, 21, dan 28 HST menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Meskipun tidak berbeda nyata namun lebar daun pada semua umur pengamatan menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pemupukan dengan menggunakan limbah biogas sapi 200 ml (B) mencapai lebar daun tertinggi, kemudian diikuti limbah biogas sapi 100 ml (A) dan terendah yaitu pupuk Hakasi (C) (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Lebar Daun Bibit Tanaman Kopi pada Semua Umur Pengamatan

Perlakuan Lebar daun (cm)

7 HST 14 HST 21 HST 28 HST Limbah biogas sapi 100 ml (A) 6,2333 a 6,2333 a 6,3000 a 6,4667 a Limbah biogas sapi 200 ml (B) 6,6667 a 6,7667 a 6,7667 a 6,8667 a Pupuk Hakasi (urin sapi+pupuk anorganik) (C) 6,0333 a 6,1000 a 6,1000 a 6,3000 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT

Panjang Daun

Hasil analisis ragam terhadap panjang daun bibit tanaman kopi pengamatan pada umur 7, 14, 21, dan 28 HST menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Meskipun tidak berbeda nyata namun panjang daun pada semua umur pengamatan menunjukkan bahwa pemberian perlakuan pemupukan dengan menggunakan limbah biogas sapi 200 ml (B) mencapai panjang daun tertinggi, kemudian diikuti limbah biogas sapi 100 ml (A) dan terendah yaitu pupuk hakasi (C) (Tabel 6).

Tabel 7. Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Panjang Daun Bibit Tanaman Kopi pada Semua Umur Pengamatan

Perlakuan Panjang Daun (cm)

(6)

I-6

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengkajian pada semua variable pertumbuhan dan semua umur pengamatan bibit tanaman kopi diketahui bahwa:

Hasil sisa pemrosesan biogas berupa limbah biogas (slury dan slut) dimanfaatkan sebagai pupuk cair untuk bibit tanaman kopi, hasilnya menunjukkan bahwa pemberian limbah biogas 100 ml dan 200 ml/7 hari, tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap jumlah tunas, tinggi tanaman, lebar daun dan panjang daun dibandingkan dengan pemberian pupuk yang biasa dilakukan oleh PTPN, bahkan untuk parameter jumlah daun dan jumlah ranting nyata lebih banyak dibandingkan kontrol. Hal ini berarti bahwa pemberian limbah biogas tersebut dapat menggantikan pupuk yang biasa digunakan oleh PTPN IX, sehingga dapat mengurangi biaya pemupukan.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi. 2008. Pemanfaatan Urine Sapi Yang Difermentasi Sebagai Nutrisi Tanaman http://affandi21.xanga.com/644038359/pemanfaatan-urine-sapi-yang-difermentasi-sebagai-nutrisi-tanaman/. Diakses pada 10 Desember 2011.

Oman. 2003. Kandungan Nitrogen (N) Pupuk Organik Cair Dari Hasil Penambahan Urine Pada Limbah (Sludge) Keluaran Instalasi Gas Bio Dengan Masukan Feces Sapi. Skripsi Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan

Parman, S. (2007. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kentang (Solanum tuberosum). Buletin Anatomi dan Fisiologi, Vol XV: 21-31

Prariesta, D dan Winata, R. 2009. Peningkatan Kualitas Pupuk Organik Cair Dari Limbah Cair Produksi Biogas. Tugas Akhir Jurusan Teknik Kimia. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Tidak diterbitkan.

Rahmi, A dan Jumiati. 2007. Pengaruh Konsentrasi dan Waktu Penyemprotan Pupuk Organik Cair Super ACI Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Manis. Agritrop, 26: 105-109.

Rizqiani, N. F. Ambarwati, E. dan Yuwono, N. W. 2007. Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Dataran Rendah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol 7: 43-53.

Gambar

Tabel 2.  Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Jumlah Tunas Bibit Tanaman Kopi pada Semua Umur Pengamatan (7, 14,21, dan 28 HST)
Tabel 4.  Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Jumlah Daun Bibit Tanaman Kopi pada Semua Umur Pengamatan (7, 14, 21, dan 28 HST)
Tabel 5.  Pengaruh Perlakuan Pemupukan terhadap Jumlah Ranting pada Semua Umur Pengamatan (7, 14,21, dan 28 HST)

Referensi

Dokumen terkait

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan.

Dari beberapa proses untuk pasien rawat inap di atas, apabila terdapat masa penantian yang lama untuk mendapatkan pelayanan atau perawatan yang direncanakan,

Tabel 2, Panel A, menyajikan data jumlah paper yang diurutkan berdasarkan topik penelitian, dimana sebagian besar paper mengangkat topik akuntansi keuangan

Melalui penelitian ini penulis dapat mengidentifikasi karakteristik tipologi arsitektur kolonial Belanda pada rumah tinggal yang berada dikawasan Tikala dan bagaimana

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional pada industri rumahan di RW 02 Randuagung Singosari Malang, menggunakan metode triangulasi, yang

Penulisan skripsi dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat akademik untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Program Studi Akuntansi pada Fakultas Ekonomi Universitas

Data diatas menunjukkan bahwa pada etnis Dayak lebih dominan pada gaya belajar kolaboratif, hal ini tentu saja berkaitan dengan latar belakang budaya dan pola hidup suku Dayak

Berdasarkan empat faktor pendekatan perilaku politik tersebut, penelitian ini mencoba menggambarkan dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi Kecenderungan perilaku