• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUAL BELI SALAM DAN ISTISNA.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JUAL BELI SALAM DAN ISTISNA.docx"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS INDIVIDU

KONSEP DASAR JUAL BELI SALAM DAN ISTISNA’

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Kontemporer Perbankan yang diampu oleh Dosen Imam Mustofa, SHI., MSI.

OLEH: DESI WAHYUNI

NPM.141259810

KELAS C

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

METRO

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perdagangan adalah jalan mendapatkan keuntungan yang legal, dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan “hukum setiap transaksi jual beli adalah mubah (diperbolehkan)”.1 Sedangkan riba atau bunga adalah haram,

sebab uang tidak bisa melahirkan uang. Jual beli merupakan salah satu aktivitas bisnis yang sudah berlangsung cukup lama dalam masyarakat. Namun demikian, tidak ada catatan yang pasti kapan awal mulanya aktivitas bisnis secara formal. Untuk menghindari praktek riba yang dilarang oleh Allah SWT maka lahirlah bank Islam yang di Indonesia disebut bank syariah. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas investasi atau jual beli serta memberikan pelayanan jasa simpanan/perbankan bagi para nasabah.2

Dalam Islam, ada beberapa jenis jual beli yang dibolehkan. Di antaranya adalah jual beli salam (bay’ as-salam). Jual beli ini dilakukan dengan cara memesan barang lebih dahulu dengan memberikan uang muka. Pelunasannya dilakukan oleh pembeli setelah barang pesanan diterima secara penuh sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.3 Bentuk lainnya adalah

bay’ al-muqayyadah, (barter) yaitu jual beli dengan cara menukar satu barang dengan barang lain. Misalnya, menukar beras dengan gandum, atau menukar rotan dengan minyak tanah dan lain-lain. Jual beli yang cukup populer adalah bay’ al-mutlaq, yaitu jual beli barang dengan alat tukar yang telah disepakati seperti membeli tanah dengan mata uang rupiah, ringgit, dolar, yen dan lain-lain. Ada lagi bay’ al-musawah, yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara pihak penjual menyembunyikan atau tidak menjelaskan harga modalnya.

1 Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i, terj. Usman Sya’roni, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2008), hal. 258.

2 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, (Damaskus: Dar āl-fikr, 1428H/2007M), cet ke-10, hal. 30.

(3)

Namun demikian, pihak pembeli rela dan tidak ada unsur pemaksaan di dalamnya. Jual beli dalam bentuk ini cukup berkembang pesat dewasa ini dan dibenarkan menurut ketentuan bisnis syariah. Alasannya karena terdapat unsur suka rela di antara penjual dan pembeli. Kebanyakan jual beli yang berlaku sekarang adalah jual beli dalam bentuk ini.

Jenis lainnya adalah bay’ bisamail ajil, yaitu jual beli dengan sistem cicilan atau kredit.4 Biasanya dalam jual beli bentuk ini ada penambahan

harga dari harga kontan (cash) jika disepakati oleh pihak penjual dan pembeli. Ketentuan ini sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, al-Muayyad Billah dan Jumhur Ahli Fikih dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Syaukani. Aktivitas bisnis ada dalam bentuk bay’samsarah, (broker) yaitu jual beli dengan memakai perantara. Misalnya, pak Ahmad mau menjual sebuah rumah sewanya lalu ia meminta kepada pak Iwan untuk menjualkan rumah tersebut. Menurut Ibn Abbas hal ini dibolehkan seperti perkataan seseorang kepada perantara; juallah baju ini dengan harga sekian, jika lebih maka kelebihannya untukmu. Ibn Sirin berkata; boleh seseorang berkata; juallah barang ini dengan harga sekian, jikalebih maka kelebihannya untukmu atau untuk kita berdua. Hal ini didasarkan kepada Hadis yang menjelaskan bahwa mu’amalah orang muslim itu sesuai dengan syarat yang mereka sepakati.5

Ada juga aktivitas bisnis dalam bentuk bay’ istishna’ yaitu akad jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran.6 Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung

kesepakatan kedua belah pihak. Makalah ini akan membahas jual beli Salam dan Istishna’ yang akan dijelaskan sebagai berikut.

BAB II

4 Ibid.., h.27

5 Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN ISTISNA’”, JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, Vol.13, No.2/September 2013, h.5-6.

(4)

PEMBAHASAN A. Jual Beli Salam

1. Definisi Jual Beli Salam

Jual beli salam (pesan) adalah menjual barang yang tidak hadir dan belum bisa dilihat ketika akad sehingga masih disebutkan ciri-cirinya saja dan menjadi tanggungan penjual untuk mendatangkannnya.7

Al-Bujairami menjelaskan makna salam, sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, mengatakan bahwa salam secara etimologi sebagai berikut: “lafaz salam dan salaf adalah isim masdar lafaz aslama dan lafaz aslafa. Adapun mazdar lafad aslama dan aslafa adalah lafaz islam dan lafaz islaf. Berbeda dengan lafaz aslafa yang digunakan dalam bab salam dan bab qard, lafaz salam ini khusus untuk bab salam saja”.

Arti salam adalah memberikan atau al-Taslif. Jual beli salam dan salaf adalah jual beli dengan sistem pesanan, pembayaran dimuka, sementara barang diserahkan diwaktu kemudian. Dalam hal ini pembeli hanya memberikan rincian spesifikasi barang yang dipesan.8 Prinsip yang

harus dianut adalah harus diketahui terlebih dahulu jenis, kualitas, dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang. 9

Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ayat 34 mendefinisikan “salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.” Sebagai contoh, Pak ali memesan sejumlah pakaian kepada toko Arto. Pak ali menjelaskan spesifikasi pakaian yang dipesannya dan membayar harga pakaian tersebut. Setelah pakaian ada, toko Arto mengirim pakaian kepada Pak Ali.

7 Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, (Jawa Timur : Yayasan PP. Darusslam Blokagung Banyuwangi, 2014), h.35.

8 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2016), h.85-86.

(5)

Salam diperbolehkan oleh Rasululluah SAW dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai waktu panen tiba. Setelah pelarangan riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya di muka.10 Jual beli salam ini,

biasanya berlaku untuk jual beli yang objeknya adalah agrobisnis. Misalnya, gandum, padi, tebu dan sebagainya.

Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal Bank bertindak sebagai pembeli. Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang merugikan Bank. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggung jawab atas kelalaiannya.11

2. Dasar Hukum Jual Beli Salam

Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Al-quran dan As-Sunnah serta ijma’, juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyas ash-shahih).12 Pertama: Dalil dari Al-quran

adalah firman Allah Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 28213:

10 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 91.

11 Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN ISTISNA’”, JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, Vol.13, No.2/September 2013, h.5-6.

12 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer., 86.

(6)

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” 14

Sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya jual beli salam. Beliau berkata, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.’” (Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil, no. 340, dan beliau katakan, “Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi’i, no. 1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)

Kedua: Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma yang berbunyi:

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, ‘Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua pihak)pula.”

Ibnu Abbas r.a mengungkapkan, “Aku bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya,” seraya membaca ayat tersebut diatas.15

Ketiga: Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu

14 QS. Al-Baqarah (2) : 282

(7)

Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudamah rahimahullah menyetujui penukilan ijma’ ini, dengan menyatakan,

“Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan bahwa as-salam itu boleh.” (Al-Mughni, 6:385)

Selain landasan diatas, dalam salam diindonesia mempunyai legalitas yang jelas, yaitu dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 100-10316 yang berbunyi:

Pasal 100

(1) Akad bai’ salam terikat dengan adanya ijab dan kabul seperti dalam penjualan biasa.

(2) Akad bai’ salam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan.

Pasal 101

(1) Jual beli salam dapat dilakukan dengan syarat kuantitas dan kualitas barang sudah jelas.

(2) Kuantitas barang dapat diukur dengan takaran atau timbangan dan atau meteran.

(3) Spesifikasi barang yang dipesan harus diketahui secara sempurna oleh para pihak.

Pasal 102

Bai’ salam harus memenuhi syarat bahwa barang yang dijual, waktu, dan tempat penyerahan dinyatakan dengan jelas.

Pasal 103

Pembayaran barang dalam bai’ salam dapat dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati.

3. Rukun dan Syarat Jual Beli Salam Adapun rukun salam adalah;17

16 Bagus Ahmadi, “AKAD BAY’, IJARAH DAN WADI’AH PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH (KHES)”, Epistemé, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, h.12

(8)

a. Muslam (pembeli)18 adalah pihak yang membutuhkan dan memesan

barang.

b. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.

c. Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).

d. Muslam fiih adalah barang yang dijual belikan.19

e. Shigat adalah ijab dan qabul.20

Ulama telah bersepakat bahwa salam diperbolehkan dengan syarat sebagai berikut:21

1) Jenis objek jual beli salam harus jelas 2) Sifat jual beli salam harus jelas

3) Kadar atau ukuran objek jual beli salam harus jelas 4) Jangka waktu pemesanan objek jual beli salam harus jelas

5) Asumsi modal yang dikeluarkan harus diketahui masing-masing pihak.

Persyaratan salam, khususnya syarat modal dan barang secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Syarat Modal

Modal dalam salam harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Harus jelas jenisnya, misalnya satuan rupiah, dollar, atau mata

uang lainnya;

2) Harus jelas macamnya, bila dalam suatu negara terdiri dari beberapa mata uang. Bila modal berupa barang, misalnya beras harus jelas barang jenis apa;

3) Harus jelas sifatnnya dan kualitasnya, baik sedang atau buruk; 4) Harus jelas kadar modal jika modal memang sesuatu yang

berkadar;

18 Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, Islamic Financial Management : Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasaabah, Praktisi, dan Mahasiswa., h.173

19 Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah., h.35.

20 Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta, LPFE, 2011), h.226

(9)

5) Modal harus segera diserahkan dilokasi akad atau transaksi sebelum kedua belah pihak berpisah;

b) Syarat barang yang dipesan (muslam fiih)

Barang yang menjadi objek jual beli salam harus memenuhi syarat sebgai berikut:

1) Harus jelas jenisnya; seperti beras, jagung, dan sejenisnya;22

2) Harus jelas macamnya; seperti beras rojo lele, pandan wangi dan sejeninya;

3) Harus jelas sifat dan kualitasnya; seperti beras IR yang bagus, sedang, dan yang berkualitas rendah;

4) Harus jelas kadarnya; seperti dalam satuan Kg, takaran, cm, bilangan dan ukuran lainnya.

5) Barang tidak dibarter dengan barang sejenis yang akan menyebabkan riba fadl;

6) Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya23;

7) Penyerahan barang harus diwaktu kemudian, tidak bersamaan dengan penyerahan harga pada waktu terjadi akad;24

8) Kadar objek akad dalam salam harus jelas dan pasti, karena dalam jual beli salam tidak berlaku khiyar syarat kedua belah pihak atau salah satunya;

9) Tempat penyerahan barang harus jelas dan harus ditetapkan sesuai dengan kesepakatan25 ini adalah persyaratan menurut Hanafiyah;

Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.

Salam paralel ini dapat dilakukan dengan syarat26:

22 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer., 90.

23 Wiroso, Produk Perbankan Syariah.., h.226

24 Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah., h.36.

25 Sofyan Safri Harahap, et.al , Akuntansi Perbankan Syariah, (Jakarta: LPFE, 2010), h.168

(10)

a. Akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir

b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah

B. Jual Beli Istisna’

1. Definisi Jual Beli Istishna’

Berasal dari kata عنص (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi عنصتسإ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu. Al-Istishna’ adalah kontrak order yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan suatu jenis barang tertentu atau suatu perjanjian jual beli dimana barang yang akan diperjualbelikan belum ada.27

Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual. Secara istilah ialah akad jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.28 Meneurut jumhur ulama, istishna’ sama dengan

salam yaitu dari segi objek pesanannya yaitu harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri khusus. Perbedaannya hanya pada sistem pembayarannya, salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima dan istishna’ bisa diawal, ditengah, dan diakhir pesanan.29

Jenis jual beli ini dipergunakan dalam bidang manufaktur, konsep ini diterapkan Bank Syariah untuk membiayai nasabahnya yang ingin membangun konstruksi rumah atau pabrik.30 Pengertian bay’ istishna’

adalah akad jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan

27 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta; UII Press, 2008), h.32

28 Gita Danupranata, Manjaemen Perbankan Syariah, ( Jakarta : Salemba Empat, 2013). h.112

29 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah., h.120

(11)

spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Jual beli istishna’ dapat dilakukan dengan cara membuat kontrak baru dengan pihak lain. Kontrak baru tersebut dengan konsep istishna’ paralel.31 Akad

istishna’ terdiri dari 2 jenis, diantaranya adalah : 1. Akad istishna’

Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesanan ( pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat/shani’).32

2. Istishna’ Paralel

Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad istishna’ antara penjual dan pemesan, dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna’ dengan pihak lain (sub kontraktor) yang dapat memenuhi aset yang dipesan pembeli. Syaratnya akad istishna’ pertama tidak bergantung pada istishna’ kedua.33

2. Dasar Hukum Istishna’

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak membolehkan istishna’. Karena istishna’ merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah SAW, karena barang yang menjadi objek jual beli belum ada pada akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan dengan ijarah, karena bahan yang akan digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau sani’. Hanya saja jika berlandaskan pada istihsan ulama hanafiah membolehkan. Karena, akad semacam ini sudah menjadi budaya yang

31 Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN ISTISNA’”, JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS,),Vol.13, No.2/September 2013, h.11.

32 __,Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), h.50

(12)

dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat.34 Bahkan telah disepakati

(ijma’) tanpa ada yang mengingkarinya. Imam malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa istishna’ diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada. Rasulullah juga pernah pesan cincin di mimbar.

Selain landasan diatas, dalam istishna’ diindonesia mempunyai legalitas yang jelas, yaitu dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 104-10835 yang berbunyi;

Pasal 104

Bai’ istisna mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan.

Pasal 105

Bai’ istisna dapat dilakukan pada barang yang dapat dipesan. Pasal 106

Dalam bai’ istisna, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesan.

Pasal 107

Pembayaran dalam bai’ istisna dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati.

Pasal 108

(1) Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satu pihak pun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.

(2) Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasinya, maka pemesan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pesanan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akad istishna’, yaitu pertama, kepemilikan barang objek akad adalah pemesanan, hanya saja barang tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau

34 Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah., h.34

35Siroj Munir, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, dalam

(13)

pembuat barang. Sementara penerima pesanan atau penjual mendapat kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan, bisa uang atau barang. Kedua, sebelum barang yang dipesan jadi, maka akad istishna’ bukanlah akad yang mengikat. Setelah barang tersebut selesai dikerjakan, maka kedua belah pihak mempunyai hak pilih (khiyar) untuk melanjutkannya atau mengurungkannya. Dalam hal ini si penerima pesanan menjual barang yang dipesan kepada pihak lain, diperbolehkan, karena akad tersebut bukan akad yang mengikat. Ketiga, apabila pihak yang menerima pesanan datang dengan membawa sebuah barang kepada pemesan, maka penerima pesanan tersebut tidak mempunyai hak khiyar, karena secara otomatis ia memang merelakan barang terebut bagi pemesan. 36

3. Rukun dan Syarat Istisna’

Rukun jual beli istishna’ adalah pemesan (mustasni’), penjual atau pembuat barang (sani’), barang atau objek akad (masnu’), dan sighat (ijab dan qabul). Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkan transaksi jual beli istishna’ adalah:

1) Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.37 Untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen. Sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen. Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur.38

36 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer., 86

37 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah., h. 97

(14)

2) Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dalam hubungan antar manusia yang biasa digunakan untuk keperluan dan sudah umum digunakan.

3) Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu untuk menyerahkan barang pesanan, jika jangka waktu penyerahan barang ditetapkan, maka kontak ini akan berubah menjadi akad salam.

C. Perbedaan Jual Beli Salam dan Istisna’

Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu:

1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.

2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.39

SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN DAN KETERANGAN

Pokok Kontrak

Muslam Fiihi Mashnu’ Barang di tangguhkan dengan spesifikasi. Harga Di bayar saat Bisa saat Cara penyelesaian

(15)

kontrak kontrak, bisa

Objek akab salam lebis luas dibanding dengan istishna’ yang hanya terbatas barang yang dapat dibuat dengan keterampilan atau mesin. 41

40 Wiroso, Produk Perbankan Syariah.., h.248

(16)

BAB III PENUTUP KESIMPULAN

(17)

2. Jual beli istishna’ adalah akad jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Jual beli istishna’ dapat dilakukan dengan cara membuat kontrak baru dengan pihak lain. Kontrak baru tersebut dengan konsep istishna’ paralel.

3. Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Al-quran dan As-Sunnah serta ijma’, juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyas ash-shahih). Selain itu juga dijelaskan legalitasnya dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 100-103

4. Imam malik, Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa istishna’ juga diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada. Rasulullah juga pernah pesan cincin di mimbar. Selain landasan diatas, dalam istishna’ diindonesia mempunyai legalitas yang jelas, yaitu dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pasal 104-108

(18)

DAFTAR PUSTAKA

_______,Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016

Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2010

Abdi Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010

Adiwarman Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, Damaskus: Dar āl-fikr, 1428H/2007M, cet ke-10

(19)

Andi Ali Akbar, Prinsip-Prinsip Dasar Transaksi Syariah, Jawa Timur : Yayasan PP. Darusslam Blokagung Banyuwangi, 2014

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011 Bagus Ahmadi, “AKAD BAY’, IJARAH DAN WADI’AH PERSPEKTIF

KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH (KHES)”, Epistemé, Vol.

7, No. 2, Desember 2012,

Gita Danupranata, Manjaemen Perbankan Syariah, Jakarta : Salemba Empat, 2013

Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2016

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014

M.syafi’i Antonio, Bank syari'ah: analisis kekuatan, peluang, kelemahan, dan ancaman, Jakarta:Ekonisia, 2002

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001

Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, Yogyakarta; UII Press, 2008

QS. Al-Baqarah (2) : 282

Siroj Munir, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah”, dalam http://www.fikihkontemporer.com/2016/04/kompilasi-hukum-ekonomi-syariah.html, diunduh pada 02 Maret 2017.

Siti Mujiatun, “JUAL BELI DALAM PERSPEKTIF ISLAM : SALAM DAN ISTISNA’”, JURNAL RISET AKUNTANSI DAN BISNIS, Vol.13, No.2/September 2013

Sofyan Safri Harahap, et.al , Akuntansi Perbankan Syariah, Jakarta: LPFE, 2010 Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, Islamic Financial Management :

(20)

Referensi

Dokumen terkait

berpikir memunculkan pertanyaan-pertanyaan pada LKS berdasarkan hasil pengamatan pada objek secara langsung dan bahan bacaan dari materi. Tahap bertanya atau

Kesimpulan dari penelitian ini adalah gambaran variabel pengetahuan respon- den dengan pengetahuan baik sebesar 71,9 % dan responden dengan penge- tahuan tidal baik

Hal ini sejalan dengan penelitian Pradana (2012) yang menyatakan bahwa semakin banyak daging ikan patin yang ditambahkan dalam pembuatan bakso maka semakin tinggi pula

Berdasarkan Uji Chi-Square semua atribut, baik mutu produk maupun kualitas pelayanan PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor, mempengaruhi kepuasan pelanggan secara signifikan dengan nilai

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya tetntang perbedaan kemampuan problem solving siswa yang ditinjau dari tempat tinggal, baik

Kriteria minimum dalam membangun kapal Tol Laut dibagi menjadi lima faktor utama yaitu pertama adalah fasilitas sarana penggalang, kedua adalah fasilitas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh besarnya modal sendiri, besarnya pinjaman dan biaya operasional usaha terhadap keuntungan usaha anggota KSP CU

Reading this book with the title Gallimaufry: A Hodgepodge Of Our Vanishing Vocabulary By Michael Quinion will allow you recognize