A. Latar Belakang Penelitian
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam UU No.20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Proses pembelajaran merupakan salah satu cara di dunia pendidikan
untuk menyampaikan materi dan informasi kepada orang lain. Di jenjang
pendidikan seperti halnya sekolah, proses pembelajaran di kelas terjadi antara
guru dan siswa dimana guru mengajarkan suatu disiplin ilmu, tidak hanya
mengajarkan disiplin ilmu namun guru juga membimbing siswa baik dalam
memahami konsep pelajaran dan pengaplikasiannya dan juga menanamkan
nilai-nilai moral pada siswa. Siswa merupakan individu yang akan menjadi
sumber daya manusia untuk meningkatkan mutu pendidikan dan mutu-mutu
lainnya dalam memajukan negara. Untuk itu guru harus mengembangkan dan
membimbing potensi yang ada pada siswa sehingga dapat tercapai individu
Ciri proses pembelajaran yang berhasil salah satunya adalah dilihat
dari kadar kegiatan belajar siswa. Makin tinggi kegiatan belajar siswa, makin
tinggi peluang berhasilnya proses pembelajaran. Begitu juga pada proses
pembelajaran akuntansi, keberhasilan proses pembelajaran dilihat dari
kegiatan para siswa dalam mengikuti pembelajaran akuntansi. Dalam hal ini
siswa tidak lagi diposisikan sebagai objek belajar, melainkan siswa
diposisikan sebagai subjek yang belajar sesuai bakat, minat dan kemampuan
yang dimilikinya. Peran guru bukan lagi sebagai sumber belajar saja,
melainkan berperan sebagai pembimbing dan fasilitator agar siswa mau dan
mampu untuk belajar.
Menurut Sophocles dalam Warsono dan Hariyanto (2013:3), “
Seseorang harus belajar dengan cara melakukan sesuatu, Anda tidak akan
memiliki kepastian tentang hal tersebut sampai Anda mencoba melakukan
sendiri”. Dengan kata lain, untuk memperoleh pengetahuan, siswa harus aktif
mengalaminya sendiri. Lebih lanjut lagi Zuckerman dalam Warsono dan
Hariyanto (2013:4) ,“ Para pakar meyakini bahwa belajar akan diperoleh
melalui pengalaman ( learning for experience), melalui pembelajaran aktif
(active learning), dan dengan cara melakukan interaksi dengan bahan ajar
maupun dengan orang lain (interacting with learning material and with
people)”.
Pendapat para ahli di atas menunjukkan pentingnya siswa aktif dalam
pembelajaran. Siswa dikatakan belajar jika mereka ikut aktif mengalaminya
mengetahui tingkat keaktifan di suatu sekolah, apakah tingkat keaktifannya
sudah bagus atau masih kurang. Di bawah ini kategori keaktifan siswa yang
dijadikan tolak ukur. Menurut Dimyati & Mudjiono (2006:125) siswa yang
aktif digolongkan berdasarkan persentase keaktifan, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.1.Kategori Keaktifan Siswa
Skala Keaktifan Kategori
80 atau lebih Sangat baik
60-79,99 Baik
40-59,99 Cukup
20-39,99 Kurang
0-19,99 Sangat kurang
Di bawah ini peneliti memiliki data keaktifan siswa pada mata
pelajaran akuntansi di SMA Negeri 6 Bandung. Data ini yang dijadikan dasar
peneliti melakukan penelitian mengenai keaktifan siswa di SMA Negeri 6
Tabel 1.2.Tingkat Keaktifan Siswa pada Mata Pelajaran Akuntansi
Kelas XI IPS di SMA Negeri 6 Bandung
(Sumber: wawancara dan observasi, data diolah)
Dari keseluruhan data tingkat keaktifan siswa yang didapatkan oleh
peneliti dengan cara observasi dan wawancara dengan guru akuntasi pada
tanggal 30 Agustus 2013 dalam mata pelajaran akuntansi masih kurang, data
yang dikumpulkan diperoleh dari 3 kelas XI IPS yang berbeda, dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa tingkat keaktifan siswa dalam belajar
akuntansi masih kurang yaitu dibawah 20%, hal ini disimpulkan berdasarkan
kategori keaktifan pada tabel 1.1. Tingkat keaktifan di kelas XI IPS 1 sebesar
20%, kelas XI IPS 1 tingkat keaktifannya masuk kategori kurang. Tingkat
keaktifan di kelas XI IPS 2 sebesar 10,87%, kelas XI IPS 2 tingkat
keaktifannya masuk kategori sangat kurang. Sedangkan di kelas XI IPS 3
tingkat keaktifannya sebesar 16,67% dan masuk kategori keaktifan sangat
kurang.
Rendahnya tingkat keaktifan siswa dalam mata pelajaran akuntansi di
yang sudah dijelaskan sebelumnya, keberhasilan suatu proses pembelajaran
ditentukan oleh kadar kegiatan siswa. Rendahnya tingkat keaktifan siswa,
jelas mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam proses
pembelajaran Akuntansi yang harus segera dicarikan solusinya. Karena
menurut Sudjana (2010:5) “Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan
adanya perubahan pada diri seseorang”. Kadar keaktifan belajar sisw yang
optimal menyebabkan siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal juga.
Proses pembelajaran menuntut keaktifan dan partisipasi siswa seoptimal
mungkin sehingga mampu mengubah tingkah laku siswa secara lebih efektif
dan efisien. Jika siswa memiliki tingkat keaktifan rendah maka proses
pembelajaran siswa di kelas diduga akan berjalan kurang optimal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan siswa menurut Syah
(2012: 146), yaitu “Faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik
dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu faktor internal (faktor dari
dalam peserta didik), faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), dan
faktor pendekatan belajar (approach to learning)”.
Secara sederhana faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar
peserta didik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor internal peserta didik, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri
peserta didik itu sendiri, yang meliputi:
a. aspek fisiologis, yaitu kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot)
sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas peserta didik
dalam mengikuti pelajaran.
b. aspek psikologis, belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh
karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja
mempengaruhi belajar seseorang. Adapun faktor psikologis peserta
didik yang mempengaruhi keaktifan belajarnya adalah sbegai berikut:
(1) inteligensi, tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) peserta didik
tidak dapat diragukan lagi dalam menentukan keaktifan dan
keberhasilan belajar peserta didik. Ini bermakna bahwa semakin tinggi
tingkat inteligensinya maka semakin besar peluangnya untuk meraih
sukses, begitu juga sebaliknya; (2) sikap, adalah gejala internal yang
berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau
merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang,
dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif; (3) bakat, adalah
potensi atau kecakapan dasar yang dibawa sejak lahir yang berguna
untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan
kapasitas masing-masing; (4) minat, adalah kecenderungan atau
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu; dan
(5) motivasi, adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi belajar adalah kondisi
psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar.
2. Faktor eksternal peserta didik, merupakan faktor dari luar siswa yakni
ekstrenal di anataranya adalah: (a) lingkungan sosial, yang meliputi: para
guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas; serta (b) lingkungan
non sosial, yang meliputi: gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat
tinggal keluarga peserta didik dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan
cuaca dan waktu belajar yang digunakan peserta didik.
3. Faktor pendekatan belajar, merupakan segala cara atau strategi yang
digunakan peserta didik dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses
pembelajaran materi tertentu.
Di dalam proses pembelajaran, guru harus memiliki strategi, agar
siswa dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan yang
diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu adalah guru harus
menguasai teknik-teknik penyajian materi pembelajaran. Cooperative
learning atau pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran
yang diduga berdasarkan faham konstruktivisme. Cooperative learning
merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok
kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas
kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan
saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam cooperative
learning, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam
kelompok belum menguasai materi pelajaran. Model kooperatif dapat
diterapkan untuk memotivasi siswa berani mengemukakan pendapatnya,
menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat. Menurut
proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas
interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk
meningkatkan prestasi belajarnya”.
Beberapa model pembelajaran kooperatif yang telah banyak
dikembangkan, tiga diantaranya adalah model yang dapat diadaptasikan pada
sebagian besar mata pelajaran yaitu Student Team-Achivement Division
(STAD), Team Games Tournament (TGT), dan Jigsaw. Dua lainnya adalah
dirancang untuk mata pelajaran khusus pada tingkat tertentu yaitu,
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) dan Team
Accelerated Instruction (TAI). Kelimanya melibatkan penghargaan tim,
tanggung jawab individual, dan kesempatan sukses yang sama, tetapi dengan
cara yang berbeda.
Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tingkat keaktifan yang
rendah di kelas XI IPS di SMA Negeri 6 Bandung adalah dengan menerapkan
salah satu model pembelajaran kooperatif, yaitu model pembelajaran STAD
yang diduga dapat meningkatkan kadar kegiatan siswa atau dapat
mengaktifan siswa. Model ini dipilih karena STAD merupakan salah satu
model cooperative learning yang paling sederhana, dan merupakan model
yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru mencoba
menerapkan cooperative learning dalam proses pembelajaran di kelas.
Menurut Slavin (dalam Narjo, 2011:23) “Model ini sangat cocok untuk
menyajikan materi pembelajaran terstruktur, yang terdiri dari beberapa bagian
mata pelajaran akuntansi yang materinya saling berhubungan, khususnya
materi kertas kerja yang akan menjadi pokok bahasan yang diterapkan model
pembelajaran STAD.
Menurut Mulyanti et al (2009:206) “Kertas kerja atau neraca lajur
(worksheet) merupakan suatu daftar berlajur atau berkolom yang dirancang
sedemikian rupa untuk mempermudah dan memperlancar penyusunan laporan
keuangan yang benar”. Kolom–kolom tersebut terdiri dari neraca saldo, jurnal
penyesuaian neraca saldo setelah penyesuaian, laporan laba-rugi dan laporan
neraca yang semuanya saling berhubungan. Model pembelajaran ini
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep akuntansi terutama
materi kertas kerja, karena materi kertas kerja yang saling berhubungan sesuai
dengan karakteristik model STAD yang cocok untuk materi yang saling
berhubungan.
Menurut Benner (2010:125),”The basic structure of the model is a
fourphase approach, heterogeneous groups of students study previously
taught material together, take tests individually, and earn team points based
on individual improvement.”
Dari pendapat Banner di atas mengenai komponen dan struktur dasar
dari model pembelajaran STAD ini dapat dilihat bahwa karakteristik dari
model ini adalah proses pembelajaran secara berkelompok. Meskipun
berkelompok, masing-masing anggota memiliki tanggung jawab terhadap
kemajuan individu maupun untuk kemajuan kelompoknya. Pemilihan anggota
memiliki anggota yang memiliki kemampuan yang beragam agar antar
anggota saling bekerja sama.
Model pembelajaran STAD telah digunakan dalam berbagai mata
pelajaran yang ada, model ini paling sesuai untuk mengajarkan bidang studi
yang sudah terdefinisikan dengan jelas. Gagasan utama dari model
pembelajaran STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya saling
mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan
yang disampaikan oleh guru karena model pembelajaran STAD merupakan
pembelajaran kelompok. Dalam model ini setiap anggota kelompok memiliki
kesempatan untuk menjadi yang terbaik tiap pertemuannya, sehingga siswa
bisa lebih aktif untuk berusaha menjadi yang terbaik.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian
lebih lanjut dengan judul penelitian “Penerapan Model Pembelajaran
Student Team Achievement Division (STAD) untuk Meningkatkan
Keaktifan Siswa dalam Mata Pelajaran Akuntansi di SMA Negeri 6
Bandung.”
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah
diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana gambaran tingkat keaktifan siswa sesuai dengan fenomena
2. Bagaimana tingkat keaktifan siswa sebelum dan sesudah menggunakan
model pembelajaran STAD (Student Team-Achievement Divisions) di
kelas XI IPS SMA Negeri 6 Bandung
3. Apakah ada perbedaan keaktifan siswa sebelum dan sesudah menggunakan
model pembelajaran STAD (Student Team-Achievement Divisions) di
kelas XI IPS SMA Negeri 6 Bandung
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis penggunaan model
pembelajaran STAD (Student Team-Achievement Divisions) dalam mata
pelajaran akuntansi.
Adapun tujuan dari penelitian ini untuk :
1. Memperoleh gambaran tingkat keaktifan siswa sesuai dengan fenomena
yang ada di SMA Negeri 6 Bandung.
2. Mengetahui tingkat keaktifan siswa sebelum dan sesudah menggunakan
model pembelajaran STAD (Student Team-Achievement Divisions).
3. Mengetahui apakah ada perbedaan tingkat keaktifan siswa sebelum
menggunakan model pembelajaran STAD (Student Team-Achievement
Divisions) dan tingkat keaktifan siswa setelah menggunakan model
pembelajaran STAD (Student Team-Achievement Divisions) di kelas XI IPS
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini adalah akan diperoleh
pandangan bahwa penggunaan model pembelajaran STAD dalam proses
pembelajaran akuntansi dapat membantu guru dalam menyampaikan
materi akuntansi karena model pembelajaran akan mempengaruhi bentuk
strategi belajar mengajar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
Penelitian ini dapat membantu siswa untuk meningkatkan
keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar akuntansi sehingga akan
berdampak positif terhadap proses pembelajaran.
b. Bagi Guru
Penelitian ini dapat memberikan masukan kepada guru dalam
penggunaan model pembelajaran agar lebih kreatif dan suasana belajar
tidak membosankan agar siswa lebih antusias dalam mengikuti proses
pembelajaran dan diharapkan keaktifan siswa pun meningkat.
c. Bagi Sekolah
Penelitian ini dapat memberikan masukan kepada sekolah untuk
menyediakan fasilitas yang dapat menunjang penerapan berbagai model
pembelajaran untuk menciptakan suasana belajar yang lebih kreatif dan
d. Bagi Peneliti
Penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh gambaran dari
penerapan model pembelajaran terhadap tingkat keaktifan siswa yang
nantinya akan bermanfaat untuk perbaikan proses pembelajaran di masa