• Tidak ada hasil yang ditemukan

Religiusitas masyarakat pinggiran: telaah pola keberagamaan masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Religiusitas masyarakat pinggiran: telaah pola keberagamaan masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro."

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

RELIGIUSITAS MASYARAKAT PINGGIRAN

(Telaah Pola Keberagamaan Masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial (S.Sos) dalam Bidang Sosiologi

ROFI’I

NIM B05213019

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Rofi’i, 2017, Religiusitas Masyarakat Pinggiran (Telaah Pola Keberagamaan Masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayanag Kabupaten Bojonegoro), Skripsi Program Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Keyword: Pola Keberagamaan,Religiusitas, Masyarakat Pinggiran, Penelitian ini berwal dari ketertarikan peneliti tentang cara pelaksanaan

ibadah masyarakat pinggiran yang unik, dengan kondisi terisolir (Isolated) jauh

dari kesejahteraan sosial serta transformasi sosial. Masyarakat Dusun Sekidang memiliki definisi-definisi yang unik tentang agamanya. Ada dua rumusan masalah dalam penelitian Skripsi ini: 1) Bagaimana bentuk-bentuk religiusitas di Dusun Sekidang; 2) Bagaimana proses konstruksi sosial pola keberagamaan masyarakat di dusun Sekidang.

Menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode kuliatatif

dengan subjek penelitian menggunakan Snowball sampling, tahap-tahap penelitian

yaitu tahap pra lapangan, tahap lapangan, tahap analisa data dan tahap penulisan laporan. Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi, studi pustaka dan data online. Teori yang digunakan Konstruksi Sosial Peter L. Berger. Dalam teori Konstruksi Sosial ada tiga tahap momen penting yang terjadi, yaitu: eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.

Hasil penelitian dari penelitian ini ada dua: Pertama; Masyarakat

pinggiran dengan segala keterbatasan tentang pengetahuan, dalam beragama telah memunculkan suatu bentuk pencurahan kedirian sebagai bentuk religiusitas yang terlihat dari bentuk bentuk ekspresi keberagamaan (Sholat dhuhur dan asyar yang dinyaringkan bacaannya). Ekspresi religius tersebut menjadi suatu pengetahuan yang dipandang perlu dan benar untuk dilakukan oleh masyarakat hingga menjadi

nilai kebenaran yang absolut. Kedua; Pengetahuan pola keberagamaan menjadi

konstruksi sosial, yang pada akhirnya mendapat legitimasi dari masyarakat

kemudian di transmisikan kepada anak cucunya untuk diteruskan.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... viii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SKEMA ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan masalah... 7

C. Tujuan penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Definisi Konseptual ... 9

F. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II RELIGIUSITAS DAN KONTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMANN ... 15

A. Penelitian Terdahulu ... 15

B. Religiusitas dan Tipe Masyarakat ... 18

C. Konstruksi Sosial Peter L Berger dan Thomas Luckmann ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

(8)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

C. Pemilihan Subjek Penelitian ... 48

D. Tahap-Tahap Penelitian ... 50

E. Teknik Pengumpulan Data ... 53

F. Teknik Analisa Data ... 56

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 58

BAB IV BENTUK DAN PROSES KONSTRUKSI SOSIAL POLA KEBERAGAMAAN MASYARAKAT PINGGIRAN ... 60

A. Deskripsi Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang ... 60

B. Kontruksi Sosial Sebagai Proses Pola Keberagamaan ... 67

C. Peran Individu dan Paham Keberagamaan dalam Kacamata Teori Kontruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann ... 86

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR GAMBAR

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

DAFTAR SKEMA

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Teamayang Kabupaten Bojonegoro secara geografis merupakan Dusun terpencil dan terisolir. Dusun di tengah hutan dengan jalan setapak berdebu jika musim kering, dan becek jika musim hujan melengkapi ciri sebagai Dusun terpencil. Dengan kondisi seperti itu membuat Dusun tersebut jarang dijamah pendatang maupun masyarakat di Desa Soko sendiri. Karena medan yang sulit, menjadi alasan utama tidak adanya interaksi maupun sosisalisasi dari warga Desa lain, maupun pen-dakwah untuk berdakwah di Dusun tersebut.

(13)

2

masyarakat menjadi sealur dan hanya pada tataran kesibukan sehari-hari mengenai pekerjaan dan pertumbuhan tanamannya di ladang.

Di tengah kondisi terisolir jauh dari keramaian kota dan sumber informasi, jauh dari sumber-sumber ilmu pengetahuan baru tentang agama, budaya, dan perkembangan Dunia. Ditambah dengan tidak adanya da’i yang berbagi pengetahuan mengenai keagamaan, menjadi salah satu penyebab berkembangnya berbagai macam pola keagamaan yang tercipta dengan berbagai macam penafsiran dari pengalaman spiritual (mimpi, bisikan ghaib) individu. Keterbatasan-keberbatasan itu nyatanya membawa masyarakat tidak pernah lepas dari pengaruh realitas sekelilingnya. Jauh sebelum Islam masuk ke Dusun Sekidang Desa Soko, masyarakat telah hidup dengan kepercayaan berdasarkan animisme1 dan dinamisme.2 Dimana benda-benda dan tumbuh-tumbuhan menjadi sesuatu hal yang sakral dan dihormati sebagai sebuah hal yang memiliki nilai supranatural.

Berkenaan dengan hal-hal supranatural (adikodrati) Agama sendiri merupakan suatu fenomena yang bersifat universal, hampir semua individu, masyarakat dan juga negara mengenal agama. Setiap agama memiliki konsep, ritual dan juga makna tersendiri yang berbeda dengan agama lain. Walaupun dalam tataran konsep, ritual, dan makna berbeda, namun agama tetap menjadi sebuah nilai yang sangat penting dalam masyarakat.

1 Kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gua) atau memeiliki jiwa yang harus dihormati.

(14)

3

Dalam beragama tentu ada batasan-batasan aturan untuk meyakininya, yang mengatur sendi-sendi kehidupan sebagai bentuk nyata dalam beribadah. Agama - Islam secara khusus - telah memberi petunjuk mengenai bagaimana mengimani sebuah kepercayaan. Mulai dari ibadah maghdah3 dan juga ghoiru

mahdah4, menjauhi perkara yang buruk dan mendekatkan diri dengan hal-hal

yang baik, menjauhi perkara haram, dan menjauhi perbuatan yang menimbulkan dosa.

Setiap agama selalu ada sebuah objek yang diagungkan oleh penganutnya. Objek tersebut berada diluar diri manusia yang kemudian menjadi suatu hal yang diyakini dikalangan umat agama tersebut. Demikian juga dengan agama Islam, konsepsi Islam mengenai sesuatu yang berada diluar diri manusia di kenal dengan konsep ke-ghaib-an. Konsep tentang

ke-ghaib-an di atur dalam prinsip akidah Islamiah yang tercermin dalam rukun

iman.

Dalam agama Islam, diatur bahwa yang paling berhak disembah adalah Allah. Menyembah selain-Nya dikategorikan sebagai bentuk kesyirikan. Kesyirikan merupakan sikap menyekutukan Tuhan dengan selain-Nya. Sehingga sanksinya sangat jelas, bahkan dikatakan bahwa dosa yang tidak bisa diampuni adalah dosa syirik kecuali pelakunya bertaubat sebelum meninggal. Ajaran agama Islam secara tegas melarang umatnya untuk percaya dan meminta pertolongan kepada selain Tuhan (Allah), terlebih kepada dukun,

3Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya, seperti syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji.

(15)

4

peramal maupun paranormal. Karena memintai dan mempercayai dukun dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Perilaku syirik dalam agama Islam berkonsekuensi terhadap pertaruhan akidah keagamaan.

Ditengah keberagamaannya sebagai muslim, masyarakat Dusun Sekidang masih kental dengan ritual-ritual adat (tempat atau benda yang dianggap memiliki kekuatan magis) yang dilaksanakan di hari tertentu sebagai bentuk ibadah serta bentuk penghormatan, diyakini mempunyai kekuatan magis sebagai penyambung do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu sekaligus, memberikan tafsir mistis terhadap tempat-tempat keramat yang melekat pohon besar, dan juga kuburan. Karena kepercayaan akan ke-keramatan kuburan, kuburan menjadi layaknya tempat ibadah untuk berdo’a, bermunajat, serta seperti tempat sembahyang pada umumnya.

(16)

5

orang yang melanjutkan do’a serta bemunajat dengan cara melekan5di tempat tersebut bagi yang mempunyai hajat ingin cepat menjadi pegawai negeri, lurah, TNI, Polri, guru, dan berbagai macam hajat lainnya yang dimunjatkan ditempat tersebut.

Keyakinan animisme dan dinamisme yang masih melekat, membuat sebagian perilaku masyarakat disana berbeda dari masyarakat muslim umumnya. Beberapa orang dari masyarakat tersebut masih memelihara babi hutan, anjing, dan lainnya. Entah karena kemungkin faktor geografis tempat tinggal masyarakat tersebut ditengah hutan, atau dengan tujuan memelihara hewan tersebut untuk kepentingan berburu, diternak untuk dijual, atau untuk menjaga harta kekayaannya (kambing, sapi dan kerbau) dari serangan binatang buas.

Dari sisi tindakan maupun perilaku, dari dulu hingga sekarang beberapa masyarakat di Dusun tersebut masih suka berburu kijang, monyet, ular, nyambek6, dan hewan lain yang sekiranya mempunyai nilai jual dan bisa dijadikan lauk-pauk. Kadangkala berburu hanya sekedar untuk keperluan makan atau untuk menambah pendapat rumah tangga mereka. Satu lagi yang terlihat sedikit barbarisme jika tidak biasa melihat kebiasaan masyarakat

5

Berjaga (tidak tidur) semalam suntuk, kebiasaan ini dalam masyarakat jawa biasanya

dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaanya, baik pekerjaan yang bersifat duniawi maupun

ukhrawi.

6Nyambek adalah sebangsa reptile yang masuk ke dalam golongan kadal besar, dimana

setiap daerah memiliki penamaan tersendiri kepada binatang tersebut. Kebanyakan masyarakat

(17)

6

tersebut. Ulat yang belum menjadi enthong7 mereka masak untuk keperluan lauk, walaupun tidak dijadikan makanan sehari-hari karena makanan sejenis itu hanya ada pada waktu peralihan dari musim hujan kemusim panas.

Salah satu keunikan yang menonjol dan terlihat aneh di Dusun tersebut ialah; ketika melaksanakan ibadah sholat lima waktu terkhusus sholat fardhu D}uhur dan A’s}ar dimanapun tempatnya terlepas dari konteks sosio-historis

pembaca atau orang yang menjalankan sholat tersebut melirihkan bacaannya (terdengar sendiri oleh pembaca do’a). Namun faktanya di masyarakat Dusun tersebut sholat dhuhur maupun ashar layaknya sholat isya, bacaan do’anya (al-fa>tihah, dan surat-surat pendek) dinyaringkan.

Hal yang berbeda juga terlihat di masyarakat tersebut, terlebih sebagai umat Islam sholat jamaah merupakan ibadah yang sangat tinggi kadar amal ibadahnya, apalagi terkhusus hari Jum’at dimana menurut orang Islam hari tersebut merupakan hari yang baik untuk bermunajat. Beda dari umunya yang pernah terlihat dan tersaji dalam ajaran agama Islam, ditempat tersebut tak ada sholat jum’at walaupun secara d}ohir (dalam kartu tanda penduduknya) maupun batin (tindakan menerima untuik beragama) mencerminkan bahwa mereka beragama Islam.

Berdasarkan beberapa fenomena di desa tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti pola religiusitas masyarakat dalam tinjauan sosiologi agama, sehingga peneliti mengambil judul “Religiusitas

7Merupakan hewan yang biasa disebut kepompong oleh sebagian besar masyarakat

(18)

7

Masayarakat Pinggiran; Telaah Pola Keberagamaan Masyarakat Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Bojonegoro”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian merupakan serangkain pertanyaan yang dijadikan dasar pijakan peneliti untuk menentukan desain dan strategi penelitian.8

Penelitian ini berusaha mencari jawaban:

1. Bagaimana bentuk-bentuk religiusitas masyarakat di Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro?

2. Bagaimana proses konstruksi sosial pola keberagamaan masyarakat di Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk-bentuk religiusitas masyarakat di Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro.

2. Mengetahui pola konstruksi sosial keberagamaan di Dusun Sekidang Desa Soko Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro.

8 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,

(19)

8

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan dapat memberikann manfaat khususnya bagi peneliti dan masyarakat pada umumnya, terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini secara teoritis maupun praktis memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman dan informasi kepada seluruh mahasiswa tentang bentuk-bentuk Religiusitas masyarakat dan pola keberagamaan. Hasil penelitian ini selain dapat dijadikan sebagai koleksi referensi di perpustakaan, sebagai khazanah keilmuan yang dapat dijadikan sumber kajian bagi para mahasiswa yang hendak mengetahui atau bahkan menelaah dan meneliti kembali dalam konteks yang berbeda, sehingga dapat ditindak lanjuti untuk kepentingan-kepentingan keilmuan pada masa yang akan datang. Bagi mahasiswa-mahasiswi program studi Strata 1 (S-1) Sosiologi dapat dijadikan sebagai tambahan pengalaman dalam tradisi keilmuan, dan dapat dijadikan bahan penelitian lanjutan sebagai tugas akhir perkuliahan.

2. Manfaat Praktis

(20)

9

realita masyarakat mengenai bentuk-bentuk religiusitas dan pola keberagamaannya. Sebagai sosiolog atau pekerja sosial untuk membantu masyarakat mengatasi masalah-masalah sosial, serta pengembangannya menuju transformasi sosial.

E. Definisi Konseptual

Agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dan maksud dari penulisan skripsi ini maka perlu peneliti jelaskan definisi konsep dan batasan masalahnya, sebagai berikut:

1. Religiusitas

Ada banyak istilah yang tersaji di dunia mengenai arti dari religiusitas (taat pada agama; kepatuhan pada jaran-ajaran agama),9 meminjam istilah Durkheim mendefinisikan Agama sebagai seperangkat keyakinan dan praktek-praktek, yang berkaitan dengan yang sakral, yang menciptakan ikatan sosial antar individu.10 Agama bukan hanya menyangkut hal-hal teoretik, melainkan hidup sebagaimana yang dihayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan terhadap hidup dan cara hidup.11

Religiusitas mempunyai makna yang berbeda dengan religi atau agama. Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan

9Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, (Cet. Ke-I; Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012). 536

10Bryan S Turner, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer, diterjemahkan oleh

Inyiak ridwan Munzir, (Jogjakarta: Ircisod, 2012). 22

11Zainal Abidin dan Agus Ahmad Safe’i, Sosiophologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003).

(21)

10

aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu dalam hati. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Sedangkan religiusitas seorang muslim dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatatan atas agama islam.

2. Masyarakat Pinggiran

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”.12 Suatu kesatuan manusia

dapat mempunyai prasarana agar warganya dapat saling berinteraksi. Adanya prasarana untuk berinteraksi menyebabkan warga dari suatu kelompok manusia itu saling berinteraksi.

Pinggiran adalah daerah atau bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya yang khusus. Karena kekhususannyan menjadikan masyarakat tersebut beda dari masayarakat umumnya, corak mata pencaharian yang berbeda, kebudayaan, serta pola hidup yang berbeda. Masyarakat pinggiran adalah masyarakat yang tinggalnya di daerah-daerah pinggiran kota yang kehidupannya selalu diwarnai dengan kegelisahan dan kemiskinan.

Namun dalam masyarakat yang hendak peneliti observasi ini ialah masyarakat dari kondisi geografis terisolir dan terpinggirkan. Terisolir dari

(22)

11

sarana-prasarana serta fasilitas yang ada dari Desa setempat. Jalan sebagai penghubung ke Dusun lain masih berupa makadam13 dan penuh kerikil. Kondisi geografis Dusun sekidang tepat di tengah hutan, jauh dari keramaian kota maupun Desa setempat.

3. Pola Keberagamaan

Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola.14

Keberagamaan juga berasal dari bahasa Inggris yaitu religiosity dari akar kata religy yang berarti agama. Religiosity merupakan bentuk kata dari kata religious yang berarti beragama, beriman. Sehingga dapat disimpulkan tingkat keberagamaan yang dimaksud adalah seberapa jauh seseorang taat kepada ajaran agama dengan cara menghayati dan mengamalkan ajaran agama tersebut yang meliputi cara berfikir, bersikap, serta berperilaku baik dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial masyarakat yang dilandasi ajaran agama Islam (Hablum Minallah dan

Hablum Minannas) yang diukur melalui dimensi keberagamaan yaitu

13

Jalan yang diberi dua macam lapisan batu-batuan, kasar dan halus, pada lapisan dasar batu sungai (batu kali) dan belum di aspal.

(23)

12

keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekwensi atau pengamalan beragama.

Sehingga, secara sederhana peneliti memberikan definisi; pola keberagamaan merupakan bentuk atau model yang dipakai masyarakat Dusun Sekidang untuk menghasilkan cara berfikir, sikap, perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan dan sesuai dengan apa yang menjadi konsep (aturan-aturan dan kewajiban) dalam agama.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan serta pemahaman dalam penyusunan proposal penelitian ini, maka penulis membahasnya dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Dalam bab pendahuluan, penelitian memberikan gambaran tentang latar belakang masalah yang akan diteliti, menentukan rumusan masalah, menyertakan tujuan penelitian, manfaat penelitian dan, defenisi konseptual, dan sistematika pembahasan.

BAB II: Religiusitas dan Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas

Luckmann

(24)

13

penelitian terdahulu untuk melihat perbedaan dan persamaan yang diteliti sekarang. kajian pustaka peneliti memeberi gambaran tentang definisi konsep yang berkaitan dengan judul penulisan.

BAB III: Metodologi Penelitian

Bagian ketiga memaparkan langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian, metode yang dituangkan pada sub bab ini adalah kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di lapangan. Pembahasan ini merupakan laporan kegiatan-kegiatan peneliti selama melakukan penelitian dan bukan mengulang definsi-definisi metode penelitian sebagaimana yang tertulis dalam buku-buku metode penelitian. Peneliti juga memberi gambaran mengenai metode yang digunakan, jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, pemilihan subjek penelitian, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan teknik pemeriksaan keabsahan data.

BAB IV: Bentuk dan Proses Konstruksi Sosial Pola Keberagamaan

Masyarakat Pinggiran

(25)

14

BAB V: Penutup

(26)

BAB II

RELIGIUSITAS DAN KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER

DAN THOMAS LUCKMANN

A. Penelitian Terdahulu

Dalam rangka membantu menyajikan penulisan penelitian ini,

maka peneliti juga mencantumkan hasil penelitian terdahulu yang terkait

dengan penelitian ini. Pencantuman penelitian terdahulu sebagai telaah

pustaka tentunya bertujuan mengetahui gambaran umum tema penelitian

dan menunjukkan karakter dan ciri khas yang membedakannya dengan

penelitian sebelumnya.15

1. Penelitian dengan judul Dimensi Religiusitas Dalam Tradisi Islam Aboge

di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas (Studi

Analisis Pendidikan Agama Islam).16 Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif, dengan mengambil lokus di desa Kracak kecamatan Ajibarang

kabupaten Banyumas. Metode penentuan subjek penelitian dilakukan

secara purposive dan pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan

pengamatan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Analisis data

dilakukan dengan memberikan makna terhadap data yang telah

dikumpulkan, dan dari makna itulah ditarik kesimpulan. Pemeriksaan

15Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Sosiologi 2015, (Surabaya: FISIP UINSA,

2015). 16

16Galih Lationo, “Dimensi Religiusitas Dalam Tradisi Islam Aboge di Desa Kracak

(27)

16

keabsahan data dilakukan dengan mengadakan triangulasi dengan dua

modus, yaitu dengan menggunakan sumber ganda dan metode ganda.

Dari beberapa ulasan hingga tahap akhir dalam penelitian yang

dilakukan oleh Galih Latiano hingga menghasilkan sebuah kesimpulan

yaitu; bahwa penelitiannya fokus pada pelaksanaan dimensi religiusitas

pada tradisi masyarakat Islam Aboge melambangkan kearifan masyarakat

setempat dan melambangkan nilai-nilai ajaran Islam sebagai dasar

pelaksanaannya.

Sementara, dalam tema yang akan peneliti lakukan adalah ingin

mencari pola keberagamaan (Islam) masyarakat pinggiran17 pada

pemahaman, pengamalan, serta penghayatan agamanya dalam kehidupan.

Selain itu penulis juga menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi untuk melihat fenomena tersebut secara

mendalam. Kesamaan dalam penulisan ini ialah pemilihan penentuan

subyek dengan teknik snowball (informan diminta menunjuk orang laim

yang dapat memberikan informasi).

2. Pengaruh Religiusitas Orang Tua Terhadap motivasi Belajar Anak (Studi

Kasus Di MTs PGRI Zainul Fauzi Desa Kendit Kecamatan Kendit

Situbondo).18 ada tiga masalah yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu (a.)

Bagaimana religiusitas orang tua siswa di Situbondo (b.) Bagaimana

17Pinggiran yang dimaksud disini dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti ialah

terpinggirkan dari kondisi geografis, ekonomi maupun sosial. Juga jaauh dari sarana prasarana yang bisa dikategorikan Dusun yang maju.

18Tutik Mustafidah, “Pengaruh Religiusitas Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar Anak

(28)

17

motivasi belajar PAI siswa di MTs PGRI Zainul Fauzi Situbondo (c.)

Bagaimana pengaruh religiusitas orang tua terhadap motivasi belajar

siswa di MTs PGRI Zainul Fauzi Situbondo.

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan korelasional.

Untuk menentukan seberapa besar pengaruh variabel X terhadap variable

Y, peneliti menggunakan rumus regresi linear sederhana.

Sementara, kesamaan penelitian yang akan dilakukan yaitu tentang

religiusitas. Namun terdapat perbedaan dari segi metode penelitian,

peneliti terdahulu menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan

korelasional, sementara penelitian yang akan dilakukan peneliti

menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Selain

itu penelitian yang dilakukan oleh Tutik Mustafidah ini berfokus pada

tingkat religiusitas orang tua terhadap motivasi belajar anak. Sedangkan

penelitian yang akan dilakukan peneliti fokus pada pemahaman,

pengamalan, serta penghayatan agamanya dan implikasi terhadap perilaku

individu terhadap agamanya.

3. Religiusitas Komunitas Anak Jalanan “Studi Tentang Perilaku Sosial

Keagamaan Komunitas Anak Jalananan di Terminal Joyoboyo

Surabaya”.19 Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (a.)

Bagaimana pandangan komunitas anak jalanan di Terminal Joyoboyo

tentang Tuhan dan perwujudannya dalam perilaku, (b) Bagaimana pola

perilaku sosial keagamaan anak jalanan di Terminal Joyoboyo yang

19Nur Aisyah, Religiusitas Komunitas Anak Jalanan “Studi Tentang Perilaku Sosial

(29)

18

berbeda Agama, (3) Faktor apa saja yang membentuk pola perilaku sosial

keagamaan komunitas anak jalanan di Terminal Joyoboyo.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dan

tekhnik pengumpulan datanya adalah wawancara, observasi, serta

dokumen yang terkait dengan penelitian. Teori yang digunakan adalah

teori dialektika social tentang kontruksi social yang ada dalam masyarakat

yang meliputi proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivasi.

Penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti

memiliki kesamaan dari sisi metode; yaitu menggunakan metode

kualitataif. Selain dari metode, teori yang digunakan dalam penelitian

yang akan dilakukan sama dengan penelitian terdahulu; menggunakan

teori konstruksi sosial. Perbedaan penulisan terdahulu dengan penelitian

yang akan dilakukan peneliti ialah bertujuan mengetahui bagaimana

masyarakat mengkonsepsikan (memaknai) agama serta implikasi terhadap

keberagamaannya.

B. Religius dan Tipe Masyarakat

1. Makna Religiusitas

Beragam tanda dan makna mengenai arti religiusitas (taat pada

agama; kepatuhan pada jaran-ajaran agama)20 merupakan jiwa keagamaan

yang dialami dalam beragama, antara lain yang terjadi dalam ibadah

agama. Agama bukan hanya menyangkut hal-hal teoretik, melainkan hidup

sebagaimana yang dihayati. Agama menyangkut sikap hidup, pendekatan

20Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, (Cet. Ke-I; Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012).

(30)

19

terhadap hidup dan cara hidup.21 Agama, dalam pengertian Glock & Stark

adalah sistem simbol, sisitem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku

yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada

persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang maknawi (ultimate meaning).22

Religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh

individu dalam hati.23 Dalam aspek penghayatan individu terhadap religi

(keagamaan) tidak bisa lepas dari pengalaman religius; pengalaman dalam

diri individu ketika dia merasakan alam luar, secara spesifik, fakta

mengatakan bahwa pengalaman ini berdampak pada perilaku

mengharmoniskan hidupnya dengan alam lain. Jadi sikap religiusitas

merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan

serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang. Religiusitas dapat dilihat

dari aktivitas beragama dalam kehidupan sehari-hari yang dilaksanakan

secara rutin dan konsisten.

Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa

kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa

dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Sedangkan religiusitas

seseorang dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan,

pelaksanaan dan penghayatatan atas agamanya. Ada sebagian ciri

seseorang dapat dikatakan religiusitas, pertama, dimana seseorang

21Zainal Abidin dan Agus Ahmad Safe’i, Sosiophologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003).

93

22Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, II (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1995).76

23Tanto, “Pengertian Religiusitas", accessed November 27, 2016,

(31)

20

merasakan dalam jiwa tentang kehadiran kekuatan Yang Maha Agung;

kedua, lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan

kekuatan tersebut, dan terakhir, meyakini Yang Maha Agung itu Maha

Adil sehingga memberikan ganjaran atas apa yang telah dilakukannya.

Menurut Glock dan Stark ada lima dimensi keberagamaan, yaitu

dimensi keyakinan (ideologis), dimensi praktek agama (ritualistik),

dimensi penghayatan (eksperensial), dimensi pengamalan (konsekuensial),

dimensi pengetahuan agama (intelektual).24

a. Religious Belief (the Ideological Dimension). Dalam dimensi ini

syarat akan pengharapan-pengharapan di mana orang yang religius

berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui

kebenaran doktrin-doktrin tersebut.25 Sederhananya ialah sejauh

mana orang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran

agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat,

kitab-kitab, Nabi dan Rasul, percaya akan adanya takdir baik dan

buruk, tentang adanya hari akhir (kiamat), surga, neraka dan yang

lain-lain yang bersifat dogmatik.

b. Religious Practice (the Ritualistic Dimension). Tingkatan sejauh

mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya.

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang

menunjukkan dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen

24Op.Cit.

25Roland Robertson, Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosisologis, trans. Fedyani

(32)

21

tehadap agama yang dianutnya. Seperti menunaikan ibadah Puasa,

menjalankan sholat, melaksanakan zakat, dan bentuk ibadah lainnya.

c. Religious Feeling (the Experiental Dimension) Dimensi yang terdiri

dari perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan

yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa

dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang

merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.

d. Religious Effect (the Consequential Dimension) Dimensi ini

mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan,

praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.

Dimensi ini juga sebagai ukuran sejauh mana perilaku seseorang

dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya.

e. Religious Knowledge (the Intellectual Dimension) Seberapa jauh

seseorang mengetahuai tentang ajaran agamanya. Dimensi ini

mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling

tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar

keyakinan, ritus, kitab suci, dan tradisi. Dimensi pengetahuan selalu

berkaitan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran

dalam agamanya.

2. Religius dan Tradisionalis

Religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman

kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari,

(33)

22

berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya

terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga

ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural.

Dapat diidentifikasi secara rasional bahwa seseorang yang religius terlihat

dari persentase kehadirannya di sebuah rumah ibadah dan melaksanakan

upacara-upacara ritual seperti shalat, menyanyikan lagu-lagu pujian dan

ritual-ritual lain, melakukan itu semua karena dorongan kepercayaan yang

diasosiasikan pada agama.26

Modernisme yang selalu identik dengan kehidupan serba ada dan

merupakan salah satu bagian dari negara maju, merupakan referensi

negara berkembang yang hendak mencapai harapan kemajuan. Selalu

menawarkan hal baru pada manusia untuk mencapai kebebasan dari

kungkungan nilai-nilai dogmatis agama. Proses modernisasi telah

menguatkan subjektifitas individu atas alam semesta, tradisi dan agama.

Manusia dalam subjektifitasnya, dengan kesadarannya dan dalam

keunikannya, manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan

mengacu pada dirinya sendiri. Selaras dengan pandangan antroposentrisme

menganggap bahwa manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup

dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa

bagi dirinya sendiri.27

26Husnul Muttaqin, “Relasi Agama dan Modernitas: Menggugat Teori Sekularisasi”,

Sosiologi Islam, Volume 02 No.02 Oktober 2012. 21

27Warsito & Husnul Muttaqin, “Humanisme dan Petaka Modern”, Sosiologi Islam,

(34)

23

Antroposentrisme dengan etos semangat menghargai nilai-nilai

yang dibangun oleh manusia sendiri, memandang manusia tidak lagi

sebagai alat kehendak Tuhan melainkan manusia sebagai individu dengan

segala kemampuan individualnya. Dengan rasionalitasnya (perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi) manusia telah menuju proses

desakralisasi (agama). Pembukaan atas hal-hal magis dari tirainya secara

otomatis yang dahulunya hal-hal magis sebagai legitimasi sekaligus

pengetahuan tergeser dengan ilmu pengetahuan sebagai alat pendefinisian

dunia dan hal-hal yang sakral. Kini agama dipandang tidak mampu

mendefinsikan dunia seperti yang diinginkan masyarakat modern.

Dalam konteks keyakinan teologis, menguatnya subjektifitas

manusia modern menunjukkan dimulainya kebebasan individu dalam

menolak kepercayaan yang tidak sesuai dengan suara hatinya. Gereja

sebagai pemegang otoritas agama tidak lagi dipahami sebagai satu-satunya

sumber kebenaran. Tafsiran arti kitab suci bukan lagi hak para pemimpin

gereja, melainkan setiap orang berhak membaca dan merenungkan kitab

suci sendiri.

Proses pengimanan atas kepercayaan pada masyarakat modern

menjadi lebih privat hanya menjadi persoalan preferensi individual.

Nilai-nilai yang berkaitan dengan religiusitas secara tipikal tidak relevan dengan

kelembagaan selain lingkungan pribadi. Agama menjadi realitas besar

karena tetap relevan dalam hal motif-motif dan penafsiran-penfsiran diri

(35)

24

ini agama menemukan tempat dalam lingkungan keluarga dan hubungan

sosial.

Beda dengan religiusitas sebelum zaman modern, pada zaman

dahulu (klasik) bentuk pengimanan kepercayaaan bersifat institusionalisasi

dengan ritualnya berupa ibadah, puasa , berdo’a dan berbagai bentuk ritual

lainnya. Ritual semacam ini dipandang sebagai bentuk nyata yang bisa

terlihat dan terukur oleh orang lain, bahwa individu atau masyarakat yan

menjalankan ritual tersbut dikategorikan sebagai orang yang taat kepada

Tuhan (beragama).

Namun bagaimanapun bentuk religiusitas, Setidaknya dalam

relasinya (agama) dan proses modernisasi seorang tokoh ilmuwan sosial

Peter L Berger mengajukan dua pilihan tipe ideal yang dapat diambil:

pertama, lembaga-lembaga agama dapat menyesuaikan diri dengan situasi,

memainkan peran pluralistik persaingan bebas dalam agama dan

mengatasi sedapat-dapatnya masalah penalaran dengan memmodifikasi

produk mereka sesuasi dengan kebutuhan konsumen. Atau kedua, mereka

menolak menyesuaikan diri, bertahan dibelakang struktur-struktur

sosio-religius apapun yang bisa dipelihara dan dibangun terus menganut

obyektif-obyektif lama sejauh mungkin seakan-akan tidak ada yang

terjadi.28

28 Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial, trans. oleh Hartono

(36)

25

3. Orientasi Religiusitas Masyarakat Desa

Allport & Ross memberi arti secara definitif orientasi religius

“Religious orietation has been defineed as the extent to which a person

lives his/her religius belief”. Orientasi religius di definisikan sebagai

tingkat dimana seseorang hidup dengan keyakinan agamanya.

Orientasi religius diartikan sebagai sistem cara pandang individu

mengenai kedudukan agama dalam hidupnya, yang menentukan pola

bentuk relasi individu dengan agamanya. Sistem cara pandang ini akan

mempengaruhi tingkah laku individu dalam hal menafsirkan ajaran agama

dan menjalankan apa yang dianggapnya sebagai perintah agama. Perlu

dijelaskan bahwa dalam definisi ini, konsep orientasi religius tidak

menjawab seberapa penting atau relevan, namun menjelaskan sebagai apa

agama berperan dalam kehidupan seseorang.29

Allport membagi dua orientasi religius berdasarkan aspek

motivasional yang mendasari, secara sederhana orientasi intrinsik dan

ekstrinsik. Pertama orientasi religius instrinsik merupakan motivasi

keyakinan yang dinyatakan, diperlihatkan oleh seseorang dan dilihat oleh

orang lain, atau makna yang ringkas tipe keagamaan yang taat yang

teramati. Analogi konsep psikologi atas intrinsik adalah hal biologis atau

29 Kamaruzzaman, “Hubungan Orientasi Religius Dan Koping Religius Pada Mahasiswa”

(37)

26

berdasarkan jasmaniah (somatic), dalam orientasi ini orang (individu)

menemukan hidup utamanya dalam agama.30

Orientasi religius ini menunjuk dimana subjek mengidentifikasi

agama sebagai tujuan akhir dalam dirinya sendiri (as an end in itself), atau

keyakinan agama untuk keyakinan itu sendiri (religius faith for the take of

faith). Dilain pihak ide orientasi religius intrinsik merupakan konsep

dimana alasan keyakinan beragama seseorang muncul dalam diri sendiri.31

Individu dalam orientasi instrinsik menginternalisasikan dirinya

terhadap ajaran-ajaran agama serta mengikutinya secara penuh, karena

agama sebagai kerangaka atau pedoman hidup. Secara jelas individu yang

mengorientasikan ke-religiuannya pada type ini dengan penuh kesadaran

berusaha mengikuti dan mengamalkan ajaran agama dengan

sunguh-sungguh.

Seseorang yang beragama dan berorientasi religius instrinsik

melaksanakan ibadah, berperilaku serta memproyeksikan dirinya sesuai

dengan tuntunan agama. Di luar tuntunan agama; seperti status sosial,

ataupun pengakuan kereligiusannya atas orang lain, bukanlah dorongan

yang menjadi sebab-musabab individu berperilaku sebagaimana tuntunan

agama yang dianut. Kebutuhan lain akan dikesampingkan pemenuhannya,

karena dalam orientasi instrinsik individu menemukan kebutuhan

utamanya.

30 Nilam Widyarini, PsikologiPopuler: Kunci Pengembangan Diri (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2009). 40

31 Baidi Bukhori, “Meta-Analisa Hubungan orientasi Religius dengan Prasangka Sosial”,

(38)

27

Sementara tipe kedua, orientasi religius ekstrinsik adalah cara

pandang seseorang dalam beragama yang menggunakan agama sebagai

alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang berpusat pada dirinya

sendiri selain agama itu sendiri (non-religius end), agama dipandang

sebagai sesuatu yang memberikan manfaat seperti rasa aman dan

penghiburan, keramah-tamahan, sebagai selingan, status, dan pembenaran

diri.32

Orientasi religius ekstrinsik ini mendasarkan pandangan bahwa

motivasi dalam menjalankan agama adalah untuk tujuan sosial atau

keyakinan dan nilai diluar agama. Orientasi religius ekstrinsik adalah

kebalikan dari orientasi instrinsik. Orientasi ekstrinsik tidak melalui proses

internalisasi nilai-nilai religius, namun lebih kepada memanfaatkan agama

untuk tujuan-tujuan pribadi. Bagi orientasi religius ekstrinsik, agama

berfungsi sebagai alat untuk mencapai kebutuhan personal hidupnya,

sehingga amat berguna untuk memberikan rasa aman, kedudukan sosial,

hiburan, dan dukungan jalan hidupnya.33 Pada orientasi ekstrinsik agama

bukanlah sebagai motif pengarah atau motif pemandu, tetapi lebih ke motif

pelayan dan motif-motif lainnya.

Sepanjang agama memberi manfaat untuk memenuhi kebutuhan

primernya; memperbaiki status sosial, meningkatkan prestise ataupun

percaya diri, mengatasi kebingungan, dan memperoleh perlindungan.

Maka religius di rasa penting dan mempermudah keyakinan yang

(39)

28

dipeluknya serta tujuan yang hendak dicapai. Individu atau masyarakat

yang berorientasi ini adalah mereka yang menghadap Tuhan tanpa lepas

dari kepentiingan dirinya sendiri. Karena itu, orientasi beragama yang

bersifat ekstrinsik tidak memberikan pengaruh terhadap kematangan

kepribadian seseorang.34

Individu atau masyarakat yang dengan dimensi orientasi religius

ekstrinsik memandang pelaksanaan ajaran agama sebagai alat untuk

mencapai tujuan pribadinya. Sementara, individu atau masyarakat yang

berorientasi religus instrinsik menganggap pelaksanaan agama sebagai

motif hidupnya, menjalani agama sebagai tujuan sehingga aturan-aturan

yang ada terinternalisasikan dalam cara hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan

pribadi yang lain menjadi tidak terlalu penting dan justru diselaraskan

dengan agama.

Sebelum individu memiliki oerientasi-orientasi dalam beragama.

Ada Faktor-faktor terkait dengan orientasi religius yang mempengaruhi

individu atau masyarakat dalam orientasi religius, faktor-faktor yang

terkait dengan orientasi religius adalah usia jenis kelamin, tingkat

pendidikan, kesehatan mental, kesejahteraan psikologis, kesehatan fisik,

prasangka (prajudice), dan perilaku mengatasi masalah.

a. Usia, orang yang lebih tua cenderung memiliki orientasi religius

internal lebih kuat dari pada yang lebih muda, hal ini di pengaruhi.

(40)

29

b. Jenis kelamin, wanita pada umumnya juga lebih cenderung memiliki

orientasi religus imternal lebih baik dan kuat dari pada seorang pria.

c. Tingkat pendidikan, seorang yang pendidikan formalnya lebih tinggi

biasanya memiliki orientasi religius internal yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pendidikannya yang lebih rendah.

d. Kesehatan mental, orientasi religius seseorang berhubungan secara

positif dengan kesehatan mental yang baik dan keebasan dari perasaan

bersalah dan khawatir.

e. Kesejahteraan psikologis (Psychological well-being), orientasi religius

instrinsik berhubungan negatif dengan depresi, sedangkan orientasi

religius ekstrinsik berhubungan psoitif dengan depresi. Secara umum,

orientasi religius berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan

psikologis.

f. Kesehatan fisik, penelitian lain juga mengatakan bahwa orang yang

sering datang ke gereja jarang meninggal cepat karena gagal jantung

atau penyakit serius lainnya.

g. Prasangka (Prajudice), seseorang dengan orintasi religius instrinsik

umumnya tidak memeliki prasangka (Prajudice) sebesar orang dengan

orientasi ekstrinsik.

h. Perilaku mengatasi masalah, seseorang dengan orientasi religius

instrinsik umumnya lebih “spiritual” dari pada seseorang yang dengan

(41)

30

negatif dalam hidupnya.35 Seseorang dengan orientasi religius

instrinsik yang tinggi memiliki kepercayaan diri yang tinggi pula

dalam kemampuannya untuk menghadapi persoalan hidup.

4. Tipe Masyarakat Berdasarkan Religiusitas

Lebih spesifik lagi dalam masyarakat, keberagamaan (religusitas)

masyarakat terbagi kedalam tiga tipe masyarakat; Tipe pertama

masyarakat-masyarakat yang terbelakang dan nilai nilai sacral. Tipe kedua

masyarakat-masyarakat Pra-Industri yang sedang berkembang. Tipe ketiga

masyarakat-masyarakat industri sekuler.36

Tipe pertama, masyarakat-masyarakat yang terbelakang dan nilai

nilai sacral, masyarakat yang mewakili tipe pertama adalah masyarakat

kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan tehnik mereka

rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas mereka relatif

kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan

spesialisasi pengorganisasian kehidupan pemerintah dan ekonomi masih

amat sederhana, dan laju perubahan sosial masih lambat.

Tipe masyarakat ini cukup kecil jumlah anggotanya karenanya

sebagian besar adat istiadatnya dikenal, masyarakat ini berpendapat bahwa

pertama, agama memasukkan pengaruhnya yang sacral kedalam nilai

masyarakat secara mutlak, kedua, dalam keadaan lembaga lain selain

35 Kamaruzzaman, “Hubungan Orientasi Religius Dan Koping Religius Pada Mahasiswa”

(Skripsi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2015). 25

36Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, trans. Oleh Abdul Muis Naharong,

(42)

31

keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi

pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.

Nilai-nilai keagamaan sering meningkatkan konservatisme dan

menghalang-halangi perubahan, inilah sebab penting mengapa kekuasaan tradisi sangat

kuat dalam masyarakat semacam ini.

Bagi individu, agama memberi bentuk pada keseluruhan proses

sosialisasi, sosialisai ditandai oleh upacara-upacara keagamaan pada

peristiwa kelahiran, masa remaja, perkawinan dan pada saat-saat penting

lainnya dalam kehidupan. Pengaturan pribadi berkaitan erat dengan

nilai-nilai keagamaan, yang beranjak dewasa oleh keluarga dan masyarakat.

Agama berdiri tegak tanpa tandingan sebagai fokus pemersatu bagi

permulaan kepribadian individu-individu dalam masyarakat tipe ini.

Tipe Kedua, masyarakat-masyarakat Pra-Industri yang sedang

berkembang. Masyarakat-masyarakat tipe kedua ini tidak begitu terisolasi,

berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah

penduduknya, serta ditandai dengan tingkat perkembangan teknologi yang

lebih tinggi dari masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri umumnya

adalah pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam,

serta adanya kemampuan baca tulis sampai tingkat tertentu. Pertanian dan

industri tangan adalah sarana-sarana utama untuk menopang ekonomi

pedesaan, dengan beberapa pusat perdagangan kota. Lembaga-lembaga

pemerintahan dan kehidupan ekonomi berkembang menuju spesialisasi

(43)

32

Suatu organisasi keagamaan yang biasanya menghimpun semua

anggota memberi ciri khas kepada tipe masyarakat ini, walaupun ia

merupakan organisasi formal yang terpisah dan berbeda, serta mempunyai

tenaga kerja professional sendiri. Agama tentu saja memberikan arti ikatan

kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan tetapi pada saat yang

sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit banyaknya

masih dapat dibedakan. Dilain pihak agama tidak memberikan dukungan

yang sempurna seperti itu dalam aktivitas-aktivitas sehari-hari

sebagaimana dalam masyaraket tipe pertama, lagi pula kepercayaan

keagamaan itu sendiri pantas dikembangkan dengan agak baik sebagai

suatu sistem yang serba lengkap.

Disinilah terdapat kemungkinan bagi timbulnya ketegangan antara

sistem nilai keagamaan dan masyarakat keseluruhan, meskipun

kecenderungan bagi agama untuk tenggelam kedalam tradisi. Akan tetapi

dalam masyarakat tipe kedua agama bisa menjadi fokus potensial bagi

munculnya pembaharuan yang kreatif dan juga kekacauan masyarakat.

Jelaslah bahwa agama mempunyai fungsi lain selai fungsi pemersatu

didalam tipe masyarakat ini, pertama-tama karena masyarakat semacam itu

merupakan masyarakat yang sedang berkembang berkembang. Kedua,

dalam fase-fase perkembangan berikutnya dari masyarakat tipe ini,

pembenturan-pembenturan kepentingan diantara organisasi keagamaan

dan organisasi politik biasa timbul. Ketiga, karena masyarakat-masyarakat

(44)

33

yang berkuasa dari periode terdahulu mulai menghentikan perlawanan

terhadap tantangan kelompok-kelompok yang tumbuh belakangan yang

membawa tatanan politik dan ekonomi baru, maka agama bisa menjadi

fungsi sebagai salah satu sumber pembaharuan-pembaharuan yang kreatif.

Tipe Ketiga : Masyarakat-masyarakat industri sekuler. Terdapat

sejumlah sub-sub tipe dalam masyarakat tipe ini yang tidak dapat

diutarakan secara memadai, deskripsi dibawah ini condong kepada

masyarakat perkotaan modern di Amerika Serikat. Masyarakat-masyarakat

tipe ini sangat dinamik, teknologi sangat dan semakin berpengaruh

terhadap semua aspek kehidupan sebagian penyesuaian-penyesuaian

terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian–penyesuaian

dalam hubungan-hubungan kemanusiaan mereka sendiri.

Di dalam masyarakat moderen yang kompleks, organisasi

keagamaan terpecah-pecah dan bersifat majemuk, keanggotaannya

didasarkan paling tidak kepada prinsipnya. Ciri-ciri khusus mempunyai

implikasi-implikasi yang dalam bagi fungsi-fungsi agama baik sebagai

suatu kekuatan yang mempersatukan atau menghancurkan didalam

masyarakat. Perbedaan-perbedaan dibidang agama dan pertumbuhan

sekularisme sangat melemahkan fungsi agama sebagai pemersatu, dan

kekuatannya pun sebagai pemecah-belah agak berkurang. Akan tetapi

keyakinan-keyakinan dan pengamalan-pengamalan keagamaan

melaksanakan fungsi pemersatu dikalangan berbagai organisasi

(45)

34

kelompok-kelompok semacam itu sebagian besar berasal dari kelas atau

suku minoritas dalam masyarakat yang lebih luas.

5. Religiusitas Masyarakat Jawa

Agama bagi Geertz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya,

dimana ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna.

Dengan kumpulan makna tersebut masing-masing individu menafsirkan

pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya37. Dengan nilai-nilai

tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan

digunakannya.

Geertz membagi kebudayaan (masyarakat) jawa dalam tiga tipe

varian berbeda, ia melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang

berimbang antara tradisi yang berunsurkan animisme dengan hindu dan

agama islam yang datang kemudian lalu berkembang menjadi sinkretisme.

Kemudian menginterpretasikan orang jawa dalam varian abangan, santri,

dan priyayi.

Abangan merupakan varian masyarakat jawa yang mewakili tipe

masyarakat pertanian dengan tradisi keagamaan, yang terutama memiliki

corak ritual yang khas disebut selamatan, kepercayaan yang kompleks dan

rumit mengenai makhluk halus, dan seprangkat teori dan praktek

37 Nasruddin, “Kebudayaan dan Agama Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz ”, Jurnal

(46)

35

pengobatan, sihir dan ilmu ghaib.38 Sistem ini diasosiasikan secara luas

dan umum dengan struktur desa orang jawa.

Bagi sistem keagamaan jawa slametan, merupakan hasil tradisi

yang menjadi simbol integrasi mistis dan sosial dimana dalam satu meja

menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk memenuhi hajat

orang atas suatu kejadian yang ingin dipringati, ditebus atau dikuduskan.

Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan; yang

berkisar pada siklus kehidupan, yang berhubungan denga pola hari besar

islam namun mengikuti penanggalan jawa, yang terkait dengan integrasi

desa, slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin di slameti.

Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan

keseimbangan individu karena telah di slameti.39

Varian santri menekankan kepercayaannya kepada unsur-unsur

islam murni (menguramgi dirasukinya sistem kepercayaan oleh animisme

atau mistisisme). Pada strukur sosial masyarakat varian santri merupak tipe

masyarakat pedagang yang memiliki pengalaman pasar dan pola

migrasinya dari pesisir. Dalam mempertahankan varian santri, santri

mengembangkan pola pendidikan khusus dan terus menerus, di antaranya

pondok pesantren salaf, langgar dan masjid, kelompok tarekat (mistik

islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan

modernis.

38 Roland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 1993). 203

39

(47)

36

Varian priyayi dalam istilah kebudayaan jawa, priyayi mengacu

pada satu kelas sosial yaitu golongan bangsawan. Pada kebudayaan jawa,

priyayi merupakan golongan tertinggi karena memiliki garis keturunan

keluarga kerajaan. Kelompok ini menunjuk pada elemen hinduisme

lanjutan dari tradisi keraton hindu-jawa yaitu konsep halus dan kasar, lebih

menekankan pada norma sopan santun yang halus, seni tinggi dan

mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial

belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya .

C. Konstruksi Sosial Peter L Berger dan Thomas Luckmann

1. Teori Konstruksi Sosial

Konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer

yang dicetuskan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckmann. Dalam

menjelaskan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi

sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang

melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu

menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan

kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media

produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia

sosialnya.

Dengan melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektis,

Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap

individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai

(48)

37

Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur

sosial. Namun manusia pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh

institusi sosialnya.40 Hubungan manusia dengan masyarakat merupakan

suatu proses dialektis yang terdiri dari tiga momen; eksternalisasi,

objektivasi, dan internalisasi.

Eksternalisasi adalah suatu bentuk pencurahan diri manusia secara

terus menerus ke dalam dunia baik aktivitas fisik maupun mentalnya

kedirian manusia bagaimanapun tidak bisa tetap tinggal diam di dalam

dirinya sendiri, dalam suatu lingkup tertentu dan kemudian dia bergerak

keluar untuk mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Melalui

eksternalisasi manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun

dunianya. Melalui eksternalisasi ini masyarakat menjadi kenyataan buatan

manusia. Kenyataan ini menjadi realitas objektif, yaitu suatu kenyataan

yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia.

Masyarakat sebagai realitas objektif. Pada dasarnya masyarakat

tercipta (sebagai realitas objektif) karena adanya berbagai individu yang

mengeksternalisasikan dirinya (atau, mengungkapkan subjektivitas)

masing-masing lewat aktivitasnya.41 Eksternalisasi dilaksanakan manusia

secara terus menerus, tidak berarti bahwa aktivitas manusia terus

mengalami perubahan.

40 M. Sastrapratedja, pengantar dalam Peter L. Berger, Kabar Angin Dari Langit: Makna

Teologi dalam Masyarakat Modern (A Rumor of Angels: Modern Society and The Rediscovery of

The Supranatural), alih bahasa J. B. Sudarmanto, (Jakarta: LP3ES, 1991). XV

41 Hannamen Sammuel, Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, (Depok: Kepik,

(49)

38

Manusia cenderung mengulangi aktivitas yang pernah

dilakukannya, terbiasa dengan tindakan-tindakannya. Atau dalam

terminologi yang dipakai Berger, “habitualisasi”; pengulangan tindakan

atau aktivitas oleh manusia, melakukan suatu aktivitas di masa depan

dengan cara yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan pada masa

sekarang dan masa lampau, yang menimbulkan kesan pada kesadaran

manusia bahwa itulah hukum yang tetap. Pada tahapan ini,

tindakan-tindakan yang dijalankan manusia tersebut mengalami obyektifasi dalam

kesadaran mereka yang mempersepsikannya.42 Pada momentum inilah,

sebuah institusi berdiri sebagai realitas yang obyektif di dalam kesadaran

manusia dan juga di luarnya.

Keuntungan yang diperoleh manusia dengan habitualisasi ialah;

manusia tidak selalu harus mendefinisikan dari awal situasi yang

dihadapinya. Ada kemungkinan (dan kemungkinan ini besar), cara

seseorang memaknai suatu situasi akan dijadikannya sebagai dasar

bertindak dalam berbagai situasi yang kurang lebih serupa.

Tetapi dalam aktivitas habitualisasi muncul tipifikasi atas aktivitas

tersebut. Tetapi sasaran tipifikasi bukan itu saja, aktornya sendiri juga

menjadi sasaran tipifikasi. Tentunya mudah dimengerti bila dikatakan

bahwa habitualisasi dan tipifikasi tidak hanya berlangsung pada satu atau

dua orang saja, tetapi melibatkan semua manusia. Malah, tipifikasi yang

42

(50)

39

satu sering kali bertalian dengan tipikasi lainnya-tipifikasi mutual-yang

memungkinkan munculnya pranata (institusi) sosial.

Namun ada kriteria khusus tipifikasi timbal balik yang bisa

memunculkan pranata (Institusi) sosial; Pertama, bila ia di transmisikan

dari generasi satu kegenerasi lainnya hingga usianya melampaui usia

aktor-aktor yang memunculkan tipifikasi mutual di masa awal. Kedua, bila

ia mampu menjadi patokan berperilaku bagi anggota-anggota suatu

kolektivitas pada umumnya.

Tipifikasi timbal balik dapat berubah menjadi institusi sosial bila ia

sudah umum (berlaku luas), eksternal (objektif), dan koersif (memaksa)

terhadap kesadaran masing-masing individu pembentuknya. Pada

momentum inilah sebuah institusi berdiri sebagai realitas yang obyektif di

dalam kesadaran manusia dan juga diluarnya.43 Beginilah institusionalisasi

atau pembentukan tatanan institusioanl masyarakat berlangsung.

Obyektivasi menandai munculnya struktur sebagai sesuatu yang

obyektif - sebagai standar untuk bertindak - sekaligus sesuatu yang

subyektif pada waktu yang sama.44 Obyektivasi adalah disandangnya

produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang

berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu

kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap, dan lain dari, para produser

43 Ibid. 110

(51)

40

itu sendiri,45 artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk

kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun

bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Obyektivasi

merupakan isyarat-isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama dari

proses-proses produsennya, sehingga memungkinkan obyektivasi itu dapat

dipakai sampai melampaui situasi tatap muka di mana mereka dapat

dipahami secara langsung.46

Proses objektivasi merupakan momen interaksi antar dua realitas

terpisah satu sama lain. Kedua entitas yang seolah terpisah ini kemudian

membentuk jaringan interaksi intersubjektif. Ini merupakan hasil dari

kenyataan eksternalisasi yang kemudian mengejawantah sebagai suatu

kenyataan objektif yang sui generis, unik.

Untuk mempertahankannya, sebuah institusi harus dilandasi

legitimasi, legitimasi meletakkan justifikasi kognitif atau penjelasan

berdasarkan pembuktian logis mengenai relevansi dari sebuah institusi

untuk menjawab pertanyan-pertanyaan yang menyoal institusi tersebut,

saat institusi itu mulai dirasa kurang atau tidak relevan dalam menjawab

persoalan-persoalan yang timbul. Sebuah istitusi dipertahankan dengan

memberikan pembuktian logis bahwa institusi tersebut tetap relevan untuk

mencegah manusia jatuh kedalam kondisi yang mengenaskan, yaitu

kekacauan.

45

Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial. 5

46

Peter L. Berger & Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang

Sosiologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh

(52)

41

Relasi-relasi logis yang konsisten yang diserap dari pergerakan

obyek-obyek materiil diluar manusia, menimbulkan pemahaman akan

adanya hukum universal yag bekerja di balik yang terlihat. Ada hukum

yang obyektif dibalik fenomena. Legitimasi merupakan upaya manusia

dalam merumuskannya, upaya yang mengobyektivasi institusi dengan

memberikannya status ontologis dan epistemologis. Legitimasi adalah

proses obyektivasi kedua seteah obyektivasi pertama terjadi pada

institusionalisasi. Legitimasi menjadikan sebuah institusi tidak lagi sebuah

order, tetapi juga meaningful order atau sebuah nomos.

Terdapat empat tingkatan legitimasi. Semakin tinggi tingkatannya

menunjukkan bahwa legitimasi tersebut semaki koheren dan teoretis

sifatnya. Tingkatan pertama dari legitimasi adalah bahasa. Bahasa

merupakan representasi dari pada realitas yang paling mendasar. Ketika

teks-teks di ucpakan atau ditulis, teks langsung menimbulkan bayangan

akan obyek yang dirujuknya pada orang yang membacanya-tanpa perlu

ditanyakan lagi mengapa obyek tersebut dinamakan demikian. Bahasa

merupakan sugesti langsung yang bisa mempertahankan institusi.

Tingkatan kedua dari legitimasi adalah prosisi kasar, contohnya

adalah pepatah. Pepatah seperti “takut akan Tuhan adalah permulaan

hikmat” memberikan penjelasan tentang akibat yang dimungkinkan dari

tindakan konkret menyembah Tuhan atau menafikan Tuhan.

Legitimasi ketiga adalah teori yang dirumuskan oleh anggota

(53)

42

legitimasi yang paling teoretis adalah symbolic universes atau tatanan

simbolik yang koheren. Tatanan simbolik atau symbolic order dapat

dicontohkan dengan agama atau paradigma dalam ilmu pengetahuan.

Agama atau paradigma mampu memberikan penjelasan atau interpretasi

yang menyeluruh dan mendasar terhadap kenyataan, mulai dari asumsi

ontologis, pembuktian-pembuktian logisnya, teori-teori mengeni penyebab

absolutnya, dan mungkin juga etika bagaimana untuk hidup di dalamnya.

Internalisasi: pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu

peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna; artinya sebagai suatu

manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang demikian

bermakna subyektif bagi saya sendiri.47 Internalisasi dapat diartikan

sebagai proses manusia mencerap dunia yang sudah dihuni oleh

sesamanya. Namun, internalisasi tidak berarti menghilangkan kedudukan

objektif dunia tersebut (maksudnya, institusionalisasi secara keseluruhan)

dan menjadi persepsi individu berkuasa atas realitas sosial.

Internalisasi hanya menyangkut penerjemah realitas objektif

menjadi pengetahuan yang hadir dan bertahan dalam kesadaran individu,

atau menerjemahkan realitas objektif menjadi realitas subjektif.

Internalisasi berlangsung seumur hidup manusia baik ketika ia mengalami

sosialisasi primer maupun ketika ia mengalami sosialisasi sekunder.48

47 Peter L. Berger & Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang

Sosiologi Pengetahuan, diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh

Hasan Basri, (Jakarta: LP3ES, 1990).177

48 Hannamen Sammuel, Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, (Depok: Kepik,

Gambar

Gambar 4.1: Peta Desa Soko   ...................................................................................
Tabel 4.1: Batas Dusun Sekidang   ...........................................................................
Tabel 3.1  Data Informan
gambar yang berkaitan dengan masyarakat dusun sekidang dalam
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga konformitas terjadi dimana individu mengubah perilaku dirinya dengan menganut pada norma sosial yang ada, menerima ide-ide atau aturan yang menunjukkan bagaimana individu

a) Produk tarbiah berbeda dengan produk simpanan pada umumnya karena merupakan kombinasi dari produk tabungan dan arisan. Belum banyak lembaga keuangan lain yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis tentang Hubungan Lingkungan Kerja Dengan Motivasi Kerja Pegawai Bagian Sekretariat Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi

Ada 2 metode digunakan dalam penelitian ini, yang pertama pengukuran tingkat kekerasan campuran dimana beberapa bulir gabah yang memiliki posisi yang sama dari beberapa malai

244 SASKIA AMBAREKSA SMA NEGERI 2 INDRAMAYU Umum Lulus Pendidikan Agama Islam 245 SEKAR AYU UTAMI SMK FARMASI INDRAMAYU Umum Lulus Kesehatan Masyarakat. 246 SELI APRIANTI SMA N

Diketahui bahwa sekolah sudah memiliki media boneka tangan, namun media yang digunakan guru untuk membelajarkan menyimak dongeng pada anak baru sebatas guru membawakan

Kurangnya pengetahuan ibu-ibu yang masih PUS (Pasangan Usia Subur) tentang pemilihan alat kontrasepsi banyak dipengaruhi oleh pendapat dimasyarakat yang beranggapan

Terima kasih atas segala doa, harapan, dukungan dan dorongan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini.. Terima kasih buat pengertian, kesabaran, bantuan