ANALISIS HUKUM BISNIS ISLAM
TERHADAP
PENGAMBILAN KEUNTUNGAN PADA PENJUALAN ONDERDIL
DI BENGKEL PAKIS SURABAYA
SKRIPSI
Oleh
Audah Syah Fitri
NIM. C72212121
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah)
Surabaya
ANALISIS HUKUM BISNIS ISLAM TERHADAP
PENGAMBILAN KEUNTUNGAN PADA PENJUALAN ONDERDIL DI BENGKEL PAKIS SURABAYA
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh: Audah Syah Fitri NIM. C72212121
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya
ABSTRAK
Skripsi dengen judul Analisis Hukum Bisnis Islam terhadap Pengambilan Keuntungan pada Penjualan Onderdil di Bengkel Pakis Surabaya ini merupakan penelitian yang akan menjawab permasalahan, 1) Bagaimana penerapan pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya? dan 2) Bagaimana analisis hukum bisnis Islam terhadap pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya?
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan analisis teknik kualitatif, yaitu menggambarkan kondisi, situasi, atau fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang penerapan pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya. Kemudian dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yakni dengan menjelaskan terlebih dahulu berbagai hal mengenai konsep jual beli. Setelah menjelaskan konsep-konsep akan dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan.
Penerapan pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil dilakukan oleh Bengkel Pakis dengan cara mechanic datang ke bengkel untuk menyerahkan nota pembelian yang telah tertera daftar harga onderdil dan nota kosong kepada penulis nota. Kemudian penulis nota mulai menulis nota kosong dengan harga pembelian ditambah keuntungan yang diinginkan oleh bengkel. Nota kosong yang digunakan oleh bengkel menggunakan atas nama toko onderdil, tempat mechanic membeli onderdil tersebut. Pada praktek penjualan yang dilakukan oleh Bengkel pada dasarnya sah karena rukun telah terpenuhi. Namun karena adanya penyertaan nota pembelian yang telah ditulis ulang harganya dengan menambahkan harga pembelian onderdil oleh Bengkel Pakis menggunakan atas nama toko onderdil, dengan tujuan mendapatkan keuntungan maka hukum penjulan onderdil tersebut menjadi fa@sid.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR BAGAN ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metodelogi Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II : KONSEP JUAL BELI A.Pengertian Jual Beli ... 20
B.Dasar Hukum Jual Beli ... 23
C.Rukun dan Syarat Jual Beli ... 28
D.Prinsip-prinsip Jual Beli ... 36
E. Bentuk-bentuk Jual Beli ... 37
BAB III : PRAKTEK PENGAMBILAN KEUNTUNGAN PADA PENJUALAN ONDERDIL DI BENGKEL PAKIS SURABAYA
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 46
B. Praktek Pengambilan Keuntungan pada Penjualan
Onderdil di Bengkel Pakis Surabaya ... 53
BAB IV : ANALISIS HUKUM BISNIS ISLAM TERHADAP PENGAMBILAN KEUNTUNGAN PADA PENJUALAN ONDERDIL DI BENGKEL PAKIS SURABAYA
A. Analisis terhadap Praktek Pengambilan Keuntungan
pada Penjualan Onderdil di Bengkel Pakis ... 58
B. Analisis Hukum Bisnis Islam terhadap Praktek Pengambilan Keuntungan pada Penjualan Onderdil di
Bengkel Pakis ... 59
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 64 B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sempurna yang mengatur aspek
kehidupan manusia secara keseluruhan, baik akidah, ibadah, akhlak maupun
muamalah. Dalam Islam hukum merupakan ajaran agama dan norma hukum
yang harus ditaati berdasarkan kepada wahyu Allah yang telah diturunkan
melalui Rasulullah. Oleh karena itu hukum Islam merupakan jalan yang telah
digariskan oleh Allah untuk manusia.
Hukum Islam dapat disebut dengan berbagai istilah yang telah
digunakan. Istilah-istilah tersebut memiliki makna atau penggambaran sisi
tertentu dari hukum Islam. Namun secara keseluruhan istilah tersebut sering
digunakan untuk menyebut hukum Islam. Istilah tersebut antara lain: syariah,
fiqh dan terjemahan lainnya. Syariah adalah kumpulan dari beberapa hukum
yang ditetapkan oleh Allah kepada semua manusia melalui lisan rasul-Nya
Muhammad SAW baik dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya1. Fiqh adalah
ilmu hukum Islam yang merupakan sebuah cabang studi yang mengkaji
norma-norma syariah dalam kaitan dengan tingkah laku konkret manusia
dalam berbagai dimensi hubungannya2.
1Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), 2.
2
Islam mengatur seluruh aspek hidup yang terkait dengan individu,
keluarga, masyarakat, atau yang berhubungan dengan negara. Ulama fiqh
membagi ilmu fiqh beberapa bidang, salah satunya adalah fiqh muamalah.3
Fiqh muamalah merupakan aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan
individu dengan individu lain untuk memperoleh dan mengembangkan harta
bendanya. Namun dapat diartikan juga aturan Islam yang mengatur tentang
kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia.
Ruang lingkup muamalah dalam kegiatan ekonomi ialah ija@b qa@bul,
saling meridhai, tidak adanya keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan
kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala
sesuatu yang bersumber dari indera yang berkaitan dengan peredaran harta
dalam kehidupan bermasyarakat.
Umat muslim dalam mencari keuntungan diberi kebebasan dalam
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Namun, sesuai dengan ajaran
Islam dalam bermuamalah haruslah memperhatikan bagaimana menciptakan
suasana dan kondisi yang mengangkat nilai-nilai ketauhidan. Sehingga dalam
setiap melakukan kegiatan muamalah memiliki keyakinan bahwa Allah selalu
mengawasi setiap apa yang diperbuat oleh hamba-Nya dan selalu bersama
kita. Jika pemahaman tersebut telah ditanamkan dalam diri setiap pelaku
bisnis maka akan terjadi kegiatan muamalah yang jujur, amanah, dan sesuai
dengan tuntunan syariat.
3
Salah satu contoh kegiatan muamalah adalah jual beli (al-bai’). Jual
beli secara bahasa diartikan dengan memindahkan hak milik terhadap benda
dengan akad saling mengganti atau menukarkan4. Jual beli juga dapat
diartikan tukar-menukar uang dengan barang, uang dengan uang, atau barang
dengan barang yang bersifat terus-menerus dengan tujuan mencari
keuntungan5.
Kegiatan jual beli merupakan salah satu cara manusia yang bertujuan
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik
jika adanya interaksi antara satu orang dengan yang lain. Hal tersebut dapat
dibenarkan karena manusia diciptakan harus bersosialisasi, berinteraksi, dan
saling tolong menolong dalam kebaikan serta dalam kegiatan jual beli yang
sesuai dengan firman Allah SWT, Surat Al-Maidah ayat 2 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qala@-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
4 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh..., 23.
5 Ibnu Mas’ud. et al, Fiqh Madzhab Syafi’i , Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinahat, (Bandung:
4
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. 6”
Allah SWT dalam kegiatan muamalah melarang manusia merugilkan
orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Selain itu, manusia juga dilarang memakan harta yang
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”7
Kegiatan jual beli merupakan salah satu kegiatan yang dapat memicu
persoalan dalam kehidupan seseorang dari segala lapisan masyarakat. Hal
tersebut dipicu dengan adanya krisis ekonomi suatu negara dan beberapa
kebijakan pemerintah mengenai kegiatan ekonomi. Namun dalm Islam
kegiatan jual beli dilarang merugikan orang lain, sehingga akan tercapai
kemaslahatan umat. Sesuai denga firman Allah SWT Surat Al-Baqarah Ayat
275 :
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, Cet. IV, 2013),
106.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.8”
Salah satu sifat yang terpenting bagi pebisnis yang diridhai Allah SWT
adalah kejujuran. Kejujuran merupakan faktor penyebab keberkahan bagi
pedagang dan pembeli. Namun sebaliknya jika jual beli tersebut saling
menyembunyikan kebenaran dan berdusta, maka akan melenyapkan
keberkahan transaksi tersebut9.
Orang yang telah terjun dalam kegiatan usaha, sudah seharusnya
mengetahui hak-hak yang didapatkan sehingga dapat mengakibatkan jual beli
itu sah atau tidak (fasid). Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan agara
kegiatan muamalah dapat berjalan dengan sah dan segala pikiran dan
tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan. Tidak banyak umat
8 Ibid., 275.
6
muslimin yang mempelajari muamalah, mereka telah lalai sehingga tidak
mempedulikan jika mereka memakan barang haram sekalipun semakin hari
usahanya akan meningkat dan mendapatkan keuntungan yang melimpah10.
Kegiatan jual beli dalam rangkah mencari keuntungan seharusnya
diakukan dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat Islam sehingga tidak
hanya mendapatkan keuntungan namun juga mendapatkan keberkahan. Salah
satu contoh kegiatan jual beli yaitu penjualan onderdil oleh bengkel Pakis
Surabaya. Transaksi jual beli tersebut bermula saat seorang pelanggan yang
menyerahkan kendaraannya untuk diperbaiki yang diikuti dengan jual beli
onderdil yang dibutuhkan.
Pelanggan yang menggunakan jasa perbaikan bengkel akan
mengharapkan pelayanan yang baik untuk perbaikan kendaraannya. Pihak
bengkel akan berusaha sebaik mungkin untuk melayani pelanggan sehingga
merasa puas. Namun, karena keterbatasan modal Bengkel Pakis tidak
menyiapkan onderdil yang akan digunakan sebagai bahan untuk perbaikan
kendaraan.
Bengkel Pakis akan melakukan pembelian beberapa onderdil yang akan
digunakannya. Dari pembelian ini, bengkel akan mengambil keuntungan dari
penjualan yang dilakukan bengkel kepada pelanggannya. Bengkel Pakis
mengambil keuntungan dari pembelian onderdil disertai dengan nota
pembelian yang sesuai dengan pembelian dan nota pembelian kosong. Nota
pembelian kosong dari toko onderdil akan digunakan oleh Bengkel untuk
7
mencatat ulang harga onderdil dengan diikut sertakannya keuntungan yang
ingin didapatkan. Hal tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan pelanggan dan
pihak toko onderdil. Dari sinilah terdapat pelanggaran atas penjualan onderdil
yang dilakukan bengkel dengan mengatas namakan toko onderdil.11
Permasalahan di atas akan diangkat oleh peneliti dengan pisau analisa
hukum bisnis Islam. Hukum bisnis Islam merupakan salah satu metode
penggalian hukum dalam hukum Islam dengan cara menganalisa hukum bisnis
Islam yang telah dipaparkan oleh beberapa ulama. Traksaksi jual beli yang
dilakukan oleh Bengkel dalam mendapatkan keuntungan pada awalnya
diperbolehkan namun jika diikuti dengan pengisian nota pembelian yang
kosong disertai dengan pengambilan keuntungan tanpa sepengetahuan
Pelanggan maka hukum jual beli onderdil tersebut perlu dikaji kembali.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menganggap permasalahan
tersebut perlu dibahas untuk mengetahui hukum praktik jual beli onderdil.
Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dengan menggangkat
judul “Analisis Hukum Bisnis Islam teradap Pengambilan Keuntungan pada
penjualan Onderdil di Bengkel Pakis Surabaya”.
B.Identifikasi dan Batasan Masalah
Identifikasi masalah dilakukan untuk menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan cakupan masalah yang dapat muncul dalam penelitian.
8
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi
masalah-masalah sebagai berikut:
1. Praktik pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil di Bengkel Pakis
Surabaya.
2. Pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keuntungan pada penjualan
onderdil.
3. Faktor utama penyebab pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil
tanpa sepengetahuan Pelanggan di Bengkel Pakis.
4. Konsep analisis hukum bisnis Islam terhadap pengambilan keuntungan
pada penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya.
Batasan masalah ini bertujuan memberikan batasan yang paling jelas
dari permasalahan yang ada untuk memudahkan pembahasan.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti memberikan batasan
yaitu:
1. Permasalahan pengambilan keuntungan yang dapat dari penjualan onderdil
di Bengkel Pakis Surabaya.
2. Analisis hukum bisnis Islam terhadap pengambilan keuntungan pada
9
C.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
ditarik rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil di
Bengkel Pakis Surabaya?
2. Bagaimana analisis hukum bisnis Islam terhadap pengambilan keuntungan
pada penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya?
D.Kajian Pustaka
Penelitian terdahulu yang membahas jual beli onderdil adalah skripsi
dengan jual “Analisis Maslahah Mursalah terhadap Hukum Praktek Jual Beli
Onderdil Truk Bekas di Pasar Loak Surabaya”. Karya tersebut membahas
sistem borongan terhadap jual beli onderdil bekas di Pasar Loak Kelurahan
Banderejo Kecamatan Krembangan Surabaya. Jual beli Borongan onderdil di
Pasar Loak ditinjau dari maslahah mursalah tersebut mendatangkan
kemanfaatan yang jauh lebih besar bagi penjual atau pembeli untuk
meminimalisir modal dan sama mendapatkan keuntungan12.
Penelitian juga telah membahas onderdil yaitu “Tinjauan Hukum Islam
terhadap Penggantian Onderdil Motor Kredit yang Berstatus Wansprestasi di
Bengkel Sanjaya Motor Tanggulangin Sidoarjo”. Karya ini membahas tentang
jasa penggantian onderdil pada sepeda motor kredit yang berstatus
wansprestasi. Penggantian onderdil motor kredit tersebut merupakan transaksi
12 Samsul Arifin, “Analisis Maslahah Mursalah terhadap Praktek Jual Beli Onderdil Truk Bekas
10
yang berlawanan dan dilarang karena jual beli dengan adanya unsur ghara@r
(penipuan)13.
Penelitian dengan bahasan transaksi jual beli dengan judul “Analisis
Hukum Islam terhadap Transaksi Jual Beli BBM dengan Nota Print Berbeda
(Study Kasus SPBU Pertamina di Surabaya Utara)”. Karya tersebut
membahas tentang faktor dan mekanis mejual beli BBM dengan nota print
berbeda yang terjadi di salah satu SPBU Pertamina di Surabaya Utara. Jual
beli BBM antara SPBU Pertamina di Surabaya Utara dan sopir awalnya boleh
karena telah memenuhi rukun dan syarat, namun karena adanya dampak atau
akibat yang menimbulkan sesorang dirugikan maka kegiatan jual beli tersebut
tidak diperbolehkan14.
Pembahasan di atas telah memaparkan mengenai penelitian
sebelumnya, dari kajian penelitian terdahulu penulis dapat menemukan
perbedaannya dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penulis dalam
penelitian ini akan lebih mengkaji dasar kebolehan dari suatu penerapan
pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil.
13 Mohammad Anas Rosyidi, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Penggantian Onderdil Motor
Kredit yang Berstatus Wansprestasi di Bengkel Sanjaya Motor Tanggulangin Sidoarjo”, (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2007), 74.
14Anisha Trisna Putri Dewanti, “Analisis Hukum Islam terhadap Transaksi Jual Beli BBM dengan
11
E. Tujuan Penelitian
Peneliti dalam meneliti permasalahan ini, dengan tujuan untuk
mengetahui:
1. Penerapan pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil di Bengkel
Pakis Surabaya.
2. Analisis hukum bisnis Islam terhadap pengambilan keuntungan pada
penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini dapat berguna bagi pembacanya, baik yang bersifat
teoritis maupun praktis, kegunaan tersebut antara lain:
1. Kegunaan Secara Teoritis
a. Memberikan masukan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum
Islam, pada masalah analisis hukum Islam terhadap pengambilan
keuntungan pada penjualan onderdil dan menamah bahan kepustakaan.
b. Memberikan informasi penerapan pengambilan keuntungan pada
penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya.
c. Memberikan gambaran tentang pengambilan keuntungan pada penjualan
onderdil di Bengkel Pakis Surabaya.
2. Manfaat Secara Praktisi
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir, dan mengetahui
12
b. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan dengan praktek
yang telah diterapkan di lapangan.
c. Hasil dari penelitian dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkaitan
dengan penelitian ini, yaitu mengenai penerapan pengambilan
keuntungan pada penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya.
G.Definisi Operasional
Definisi operasional yang akan digunakan dala penelitian ini, sebagai
kata kuncinya antara lain sebagai berikut :
1. Hukum bisnis Islam
Hukum bisnis Islam merupakan seperangkat aturan atau ketentuan
yang harus ditaati oleh manusia untuk menjalankan beberapa kegiatan
bisnisnya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Penerapan jual beli pada
masyarakat pun menggunakan dasar hukum bisnis Islam. Pada
permasalahan ini hukum bisnis Islam yang digunakan adalah teori jual beli
dari pendapatulama Hana@fi@yah, ulama Ma@liki@yah, ulama Sha@fi’i@yah dan
ulama Hana@bilah.
2. Pengambilan keuntungan
Pada setiap transaksi jual beli, pihak penjual akan mengambil
beberapa rupiah keuntungan sebagai usahanya dalam memenuhi
kebutuhannya. Pengambilan keutungan dapat ditentukan oleh penjual
13
3. Penjualan onderdil
Penjualan Onderdil merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh penjual dan pembeli dengan objek onderdil. Transaksi
tersebut penjual bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan
pembeli bertujuan untuk melengkapi kebutuhan yang diperlukannya.
4. Bengkel Pakis Surabaya
Bengkel Pakis Surabaya merupakan tempat yang dipercaya oleh
warga Pakis untuk melakukan pelayanan servis kendaraan. Bengkel Pakis
ini merupakan usaha kecil-kecilan dari salah satu warga sebagai sumber
yang dapat menghasilkan keuntungan selain dari jasa servis, keuntungan
juga didapatkan dari penjualan onderdil.
H.Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penelitian dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif. Adapun dalam metode penelitian yang
digunakan yaitu:
1. Data yang dikumpulkan
Data adalah bahan keterangan tentang sesuatu obnek uraian-uraian,
bahkan dapat berupa cerita pendek15. Data yang dapat dikumpulkan oleh
peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah:
a. Mekanisme pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil di
Bengkel Pakis Surabaya.
15 Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif & Kualitatif, (Surabaya:
14
b. Data tentang hukum jual beli onderdil menurut analisis hukum bisnis
Islam dengan teori jual beli.
2. Sumber data
Adapun sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, antara
lain sebagai berikut:
a. Data primer
Data primer yaitu data penelitian yang diperoleh secara langsung
dari sumber asli (tidak melalui perantara) yang secara khusus di
kumpulkan oleh peneliti untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian. Data ini diperoleh peneliti dari hasil wawancara dan terjun ke
lapangan dengan para pihak yang terlibat dalam kegiatan jual beli
onderdil. Para pihak yang terlibat antara lain:
1) Pemilik bengkel
2) Mechanic
3) Penulis nota
4) Empat pelanggan
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung. Data yang digunakan dalam penelitian dikumpulkan peneliti
yang berupa studi kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari melalui
internet dan buku-buku referensi tentang penelitian ini. Buku yang
digunakan, antara lain:
15
2) Hermawan Kartajaya, et al, Syariah Marketing.
3) Ibnu Mas’ud, et al, Fiqh Madzhab Syafi’i, Buku 2: Muamalat,
Munakahat, Jinahat.
4) M. Ali Hasan, Berbagi Transaksi dalam Islam.
5) Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah.
6) Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah.
7) Satria Effendi, Ushul Fiqh.
8) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terjemahan, Jilid 12.
9) Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah.
3. Subjek Penelitian
Subyek penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah
penelitian. Subyek dipilih oleh peneliti dan dianggap memiliki kredibilitas
untuk menjawab dan memberikan informasi dan data kepada peneliti yang
sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun
subyek penelitian ini adalah beberapa orang selaku pihak distributor jual
beli onderdil dari bengkel dan beberapa konsumen yang selaku pembeli
onderdil.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti,
antara lain:
a. Observasi
Metode observasi data pengamatan ini merupakan strategi
16
apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan mereka16.
Dalam teknik ini, peneliti memperoleh data yaitu penyerahan kendaran
kepada bengkel, prosedur yang dilakukan bengkel ketika menservis
kendaraan serta penyerahan kendaraan kepada pemilik diikuti dengan
penyerahan nota pembelian onderdil. Selain itu, peneliti juga
mengetahui kronologi proses jual beli onderdil.
b. Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan agar mendapatkan
informasi dan data lapangan secara langsung dari responden yang
dianggap valid atau tidak dilihat dari dokumentasi. Wawancara
merupakan sebuah percakapan antara dua orang atau lebih, yang
pertanyaannya diajukan oleh kepada subjek penelitian unuk dijawab17.
Wawancara akan dilakukan dengan narasumber segai berikut:
1) Pemilik bengkel
2) Mechanic
3) Penulis nota
4) Empat pelanggan
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan proses melihat kembali data-data dari
dokumentasi berupa segala macam bentuk informasi yang berhubungan
dengan penelitian yang dimaksud dalam bentuk tertulis atau rekaman
suara. Pengumpulan data dokumen merupakan metode yang digunakan
16Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), 58.
17
peneliti untuk menelusuri data historis yang berisi sejumlah fakta yang
berbentuk dokumen, hal ini sebagai pelengkap data penelitian, data
sebagai penunjang dari hasil wawancara dan observasi.
Dalam teknik ini, peneliti mendapatkan data-data yang berupa
dokumentasi seperti foto, video, rekaman hasil wawancara dan
dokumen-dokumen yang ada sebagai kelengkapan penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan Data
Adapun untuk menganalisa data-data dalam penelitian ini, penulis
melakukan hal-hal berikut:
a. Editing, merupakan salah satu upaya untuk memeriksa kelengkapan data
yang dikumpulkan. Teknik ini digunakan untuk meneliti kembali
data-data yang diperoleh18. Hal tersebut dilakukan untuk memeriksa kembali
data-data tentang penerapan pengambilan keuntungan pada penjualan
onderdil di bengkel Pakis Surabaya.
b. Organizing, yaitu menyusun sistematika data dari proses awal hingga
akhir tentang proses pembelian onderdil sampai dengan pengambilan
keuntungan pada penjualan onderdil di Bengkel Pakis Surabaya.
c. Analizing, yaitu tahapan analisis jual beli onderdil. Analisis dimulai dari
penyerahan kendaraan kepada bengkel hingga jual beli onderdil yang
dilakukan oleh bengkel Pakis Surabaya dan disesuaikan dengan hokum
18 Soeratno, Metode Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: UUP AMP YKPM,
18
Islam terhadap praktik pengambilan keuntungan pada penjualan onderdil
di Bengkel Pakis Surabaya.
6. Teknik Analisis Data
Penulis dalam menganalisis data yang telah diperoleh menggunakan
metode deduktif. Metode yang mengungkapkan teori-teori diawal dan
selanjutnya mengungkapkan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil
pengamatan serta penelitian. Penulis akan menjelaskan terlebih dahulu
berbagai hal mengenai konsep jual beli. Setelah menjelaskan
konsep-konsep akan dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di
lapangan.
I. Sistematika Pembahasan
Karya tulis ilmiah ini terdiri dari lima bab, sistematika masing-masing
bab sesuai dengan urutan sebagai berikut:
Bab pertama, penulis membahas latar belakang, identifikasi dan
batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, definisi operasional, serta metode penelitian yang
digunakan dalam memperoleh data yang diperlukan dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua berisi pengertian-pengertian teoritis, antara lain: pengertian
jual beli. Selain pengertian-pengertian teoritis bab ini juga membahas konsep
dasar hukum Islam tentang jual beli, serta penerapan jual beli secara teoritis.
19
Bab ketiga, akan menjelaskan mengenai deskripsi secara umum dari
objek penelitian. Dalam deskripsi data penelitian penulis memaparkan data
diantaranya, yang berisi sejarah dari Bengkel Pakis Surabaya serta layanan
yang diberikan dalam servis kendaraan khususnya dalam hal jual beli onderdil
sebagai bahan servis kendaraan.
Bab keempat, penulis akan membahas mengenai prosedur pembelian
onderdil, pengambilan keuntungan, penjualan onderdil, dan pengakuan yang
berkaitan dengan jual beli onderdil yang dilakukan oleh Bengkel Pakis
Surabaya.
Bab kelima merupakan akhir dari penelitian yang berisikan tentang
kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang beberapa hal yang berkatan
dengan hasil penelitian sedangkan saran adalah beberapa masukan yang
BAB II
TEORI JUAL BELI
A.Pengertian Jual Beli
Jual beli secara etimologi dari bahasa Arab al-ba’i, at-tija@rah,
al-muba@dalah artinya mengambil, memberikan sesuatu atau barter.
19 Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ba’i adalah jual beli
antara benda dan benda atau pertukaran antara benda dengan uang.20
Jual beli (al-ba’i) secara terminologi berarti menjual, mengganti dan
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.21 Namun, terdapat beberapa
definisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqh, antara lain:
1. Menurut ulama Hana@fiyyah
ٍصْﻮُﺼَْﳐ ٍﻪْﺟَو ﻰَﻠَﻋ ٍلﺎَِﲟ ٍلﺎَﻣ ُﺔَﻟَدﺎَﺒُﻣ
22
Artinya:
Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu.23
Selain itu, ulama Hana@fi@yah juga mendefisinikan jual beli adalah:
ٍبْﻮُﻏْﺮَﺳ ٍﺊْﻴَﺷ ُﺔَﻟَدﺎَﺒُﻣ
ِﻞْﺜِِﲟ ِﻪْﻴِﻓ
ٍصْﻮُﺼَْﳐ ٍﺪﱠﻴَﻘُﻣ ِﻪْﺟَو ﻰَﻠَﻋ
24
19 Ismail Nawawi Uha, Fiqh Mu’amalah Hukum Ekonomi, Bisnis, dan Sosial, (Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2010), 128.
20Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 15.
21 Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), 168.
22 M. Ali Hasan,, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 113.
21
Artinya:
Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara
tertentu yang bermanfaat. 25
Kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ulama Hana@fi@yah
mengartikan jual beli yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang
diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat.26
2. Menurut ulama Ma@liki@yah
ٍةﱠﺬَﻟ ِﺔَﻌْـﺘُﻣ َﻻَو َﻊِﻓﺎَﻨَﻣ ِْﲑَﻏ ﻰَﻠَﻋ ٍﺔَﺿَوﺎَﻌُﻣ ُﺪْﻘَﻋ َﻮُﻬَـﻓ
27
Artinya:
Jual beli adalah akad mu’a@wad}ah (timbal balik) atas selain manfaat dan
bukan pula untuk menikmati kesenangan.28
Selain itu, ulama Ma@liki@yah juga mengartikan jual beli secara khusus,
yaitu:
Jual beli adalah akad mu’a@wad}ah (timbal balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan, bersifat mengalahkan salah satu imbalannya bukan emas dan bukan perak, objeknya jelas dan bukan
utang.30
25 Ibid.
26 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), 101.
27Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), 175. 28Ibid.
29 Ibid.
memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu
selamanya.32
Makna jual beli dalam syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta, atau tukar menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah
untuk waktu selamanya, bukan riba atau bukan utang.34
Beberapa pendapat tentang pengertian jual beli di atas dapat
disimpulkan bahwa jual beli adalah kegiatan tukar-menukar barang dengan
barang atau tukar-menukar sejumlah barang dengan sejumlah nilai mata
uang tertentu. Jual beli juga dapat diartikan sebagai kegiatan menukar
barang dengan barang lain dengan cara tertentu (akad).35
Pada masyaakat primitif jual beli dilangsungkan dengan cara saling
menukakan harta dengan harta, tidak dengan uang sebagaimana yang
31Ibid.
32 Ibid, 175-176.
33Ibid, 176.
34 Ibid, 177.
23
berlaku pada zaman ini. Hal tesebut berlaku karena pada zaman itu
masyarakat belum mengenal adanya uang sebagai alat tukar.36 Setelah
mengenl uang, jual beli barang yang ditukar dengan uang adalah bentuk
jual beli yang berlaku di masyarakat hingga sekarang.37
Hikmah disyariatkannya jual beli adalah setiap kebutuhan manusia
bergantung pada apa yang ada di tangan orang lain, sedangkan orang itu
terkadang tidak rela untuk memberinya.38 Oleh karenanya, agama memberi
peraturan yang sebaik baiknya dalam kegiatan muamalah, dengan adanya
aturan maka kehidupan manusia akan terjamin dengan sebaik-baiknya
sehingga perbantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.39
B.Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli telah diatur di dalam Qur’an, hadist, dan ijma’.
Al-Baqarah ayat 198 adalah salah satu dasar hukum diperbolehkannya mencari
karunia Allah dengan berdagang, yang berbunyi:
36Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 112. 37 Ibid.
38 Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram,
jilid 2, terj. Muhammad Isnan. et al, (Jakarta: Darus Sunnah, 2010), 306.
24
Artinya:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah
kepada Allah di Masy'arilharam, dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu
sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.40
Ayat di atas menerangkan bahwa tidak ada dosa bagi orang-orag
yang mencari karunia Allah dengan cara berdagang. Namun, janganlah
meninggalkan amal ibadah kepada Allah saat telah dilaksanakannya
kegiatan perdangan tersebut.
Surat Al-Baqarah ayat 275 juga menerangkan diperbolehkannya jual
beli, yang berbunyi:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.41
25
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah mengharamkan riba. Menurut
Dr. Yusuf Al-Qardhawi hikmah diharamkanya riba dalam Islam adalah
mewujudkan persamaan yang adil di antara pemilik modal dan pekeja, serta
memikul risiko dan akibatnya secara berani dan penuh tanggungjawab.42
Selain dalam surat Al-Baqarah, jual beli juga diataur dalam firman
Allah surat An-Nisa’ ayat 29, yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.43
Firman Allah di atas menerangkan bahwa dilarangnya memakan harta
dari jalan yang batil. Carilah harta dari jalan perniagaan yang berprinsip
saling suka sama suka. Jadi, dalam jual beli tidak sah jika ada salah satu
pihak melakukan akad karena paksaan dari mana pun.
Rasulullah juga telah menganjurkan kepada umatnya untuk
melakukan jual beli sebagai pekerjaannya, sesuai dengan sabda beliau yang
26
Artinya:
"Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?" beliau bersabda: "Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap
jual beli yang mabrur." (HR. Ahmad)44
Jual beli mabru@r dalam hadist di atas adalah jual beli yang jujur, dapat
dikatakan juga jual beli yang terhindar dari unsur penipuan atau
pengkhianatan dan merugikan orang lain. Sesuai dengan sabda Rasulullah:
ٍضاَﺮَـﺗ ْﻦَﻋ ُﻊْﻴَـﺒْﻟا ﺎَﱠﳕِإ
}
ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑا ﻩاور
{
Artinya:
Jual beli berlaku dengan saling ridha. (HR. Ibnu Majjah)45
Para ulama juga telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Namun, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkan harus diganti dengan barang lain yang sesuai.46
C.Rukun dan Syarat Jual Beli
Penetapan rukun jual beli, diantara para ulama terdapat perbedaan
pendapat ulama Hana@fi@yah dengan jumhur ulama. Menurut ulama
Hana@fi@yah, rukun jual beli hanya satu yaitu ija@b (ungkapan membeli dari
pembeli) dan qa@bul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka yang
menjadi rukun dalam jual beli hanyalah kerelaan (rid}a/tara@d}i) kedua belah
44 Ahmad, Kitab Ahmad, Hadist No. 16628, Lidwah Pustaka i-Software-Kitab Sembilan
Imam).
45 Ibnu Majjah, Kitab Ibnu Majjah, Hadist No. 2176, Lidwah Pustaka i-Software-Kitab
Sembilan Imam).
27
pihak untuk melakukan jual beli.47 Ija@b dan qa@bul merupakan tindakan yang
menunjukan pertukaran barang secara rid}a, baik dengan ucapan maupun
tindakan.48
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama (mayoritas ulama) ada
empat, yaitu:49
1. ba’i (penjual),
2. mushtari (pembeli),
3. s}i@ghat (ijab dan qabul) dan
4. ma’qu@d ‘alayh (benda atau barang).
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur
(rukun) jual beli ada tiga, yaitu:50
1. pihak-pihak,
2. objek dan
3. kesepakatan.
Ulama fiqh dalam menetapkan persyaratan jual beli, terdapat
perbedaaan antara lain sebagai berikut:
1. Menurut ulama Hana@fi@yah
Ulama Hana@fi@yah berkaitan denga syarat jual beli, menetapkan
syarat sebagai berikut:51
47 Nasrun Haroen, Fiqh…, 121. 48 Rachmat Syafe’i, Fiqh…, 75-76. 49 Ibid.
50 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum…,
30.
28
a. Syarat terjadinya akad (In’iqad)
Syarat terjadinya akad merupakan syarat yang terpenuhi agar
akad jual beli dikatakan sah dan telah ditetapkan oleh syara’. Jika
persyaratan tidak terpenuhi, jual beli batal. Ulama Hana@fi@yah
menetapkan empat syarat, yaitu:
1) Syarat a@qid (orang yang akad)
A@qid dalam melakukan jual beli harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a) Berakal & mumayyiz, maka akad yang dilakukan oleh orang
gila dan anak yang belum berakal tidak sah. ulama Hana@fi@yah
tidak mensyaratkan a@qid harus baligh. Hanya saja akad
dilakukan oleh anak yang mumayyiz.
b) A@qid harus terbilang, sehingga tidaklah sah akad dilakukan
seorang diri. Hal ini dikarenakan dalam jual beli terdapat dua
hak yang berlawanan, yaitu menerima dan menyerahkan.
2) Syarat dalam akad
Syarat dalam akad hanya satu, yaitu harus sesuai dengan
ija@b dan qa@bul. Namun demikian, dalam ijab dan qabul terdapat
tiga syarat, di antaranya adalah:
a) Ahli akad, seorang anak yang berakal dan mumayyiz.
b) Qa@bul harus sesuai dengan ija@b.
c) Ija@b dan qa@bul harus bersatu, dalam artian harus berhubungan
29
3) Syarat tempat akad
Tempat akad harus bersatu atau berhubungan antara ija@b
dan qa@bul. Hal tersebut berarti meskipun tidak satu tempat tidak
menjadi halangan untuk mengetahui kondisi barang yang
diakadkan.52 Apabila ija@b dan qa@bul berbeda majelis, maka akad
jual beli tidak sah.
4) Syarat Ma’qu@d ‘alayh (benda atau barang)
Ma’qu@d ‘alayh (benda atau barang) harus memenuhi empat
syarat, yaitu:
a) Ma’qu@d ‘alayh harus ada, akad tidak boleh dilakukan atas
barang yang tidak ada. Akan tetapi untuk beberapa akad
dikecualikan dari syarat ini, seperti jual beli salam dan
istis}na’.
b) Barang yang dijual harus ma@l mutaqawwim. Ma@l
mutaqawwim adalah setiap benda bisa dikuasai secara
langsung dan boleh diambil manfaatnya.
c) Benda tersebut milik sendiri. Tidak sah menjual barang yang
belum dimiliki oleh seseorang.
d) Benda dapat bisa diserahkan. Tidak sah menjual barang yang
tidak bisa diserahkan, ealaupun bang tersebut milik penjual.
30
b. Syarat pelaksanaan akad (nafadh)
Saat pelaksanaan akad, syarat yang harus dipenuhi antara lain
sebagai berikut:
1) Kepemilikan atau kekuasaan
Kepemilikan adalah menguasai sesuatu dan mampu
melakukannya sendiri karena tidak ada penghalang yang
ditetapkan oleh syara’. Sedangkan kekuasaan yaitu orang yang
bersangkutan menguasai dan melaksanakan sendiri urusan
pribadinya.
2) Benda tidak terdapat milik orang lain
Apabila dalam barang yang dijadikan objek jual beli
terdapat hak orang lain maka akadnya tidak dapat dilangsungkan.
Oleh kerena itu, tidak dilangsungkan jual beli yang dilakukan
oleh orang yang menggadaikan terhadap barang yang sedang
digadaikan begitu juga untuk orang yang menyewakan terhadap
rumah yang disewakan.
c. Syarat sah akad
Syarat sah akad terbagi atas dua bagian, yaitu syarat umum dan
khusus antara lain:
1) Syarat umum
Syarat umum sah akad jual beli adalah syarat yang
31
ditetapkan syara’. Syarat-syarat tersebut telah dijelaskan, selain
itu harus terhindar dari kecacatan jual beli, seperti:
a) Ketidakjelasan, yang dimaksud adalah ketidakjelasan yang
serius sehingga menyebabkan datangnya perselisihan yang
sulit diselesaikan.
b) Penipuan, yang dimaksudkan adalah penipuan dalam sifat
bendanya atau mengurangi takaran.
c) Keterpaksaan, mendorong orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan yang tidak disukai. Baik pada paksaan dengan
ancaman yang berat maupun ringan.
d) Kemadaratan, hal ini terjadi apabila penyerahan barang yang
dijual tidak mungkin dilakukan kecuali dengan memasukkan
kemadaratan kepada penjual.
e) Pembatasan waktu, yaitu jual beli dengan dibatasi waktunya.
Jual beli semacam ini hukumnya fasid karena kepemilikan
atas suatu batang tidak dapat dibatasi waktunya.
f) Persyaratan yang merusak lainnya, yaitu setiap syarat yang ada
manfaatnya bagi salah satu pihak yang bertransaksi.
2) Syarat khusus
Syarat khusus adalah syarat yang hanya ada pada
barang-barang tertentu. Syarat tersebut adalah:
a) Barang yang dijualbelikan harus dapat dipegang dan diterima.
32
c) Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah.
d) Telah terpenuhi syarat penerimaan.
e) Harus seimbang dalam ukuran timbangan.
f) Barang yang dijualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya.
d. Syarat lujum (kemestian)
Syarat ini hanya ada satu syarat, yaitu akad jual beli harus
terlepas atau terbebas khiyar yang berkaitan dengan kedua pihak
yang akad dan menyebabkan batalnya akad.53 Apabila di dalam akad
jual beli terdapat salah satu jenis khiyar maka akad tersebut tidak
mengikat kepada orang yang memiliki hak khiyar.
2. Menurut ulama Ma@liki@yah
Adapun syarat-syarat yang dikemukakan oleh Menurut ulama
Ma@liki@yah yang berkenaan dengan a@qid, s}i@ghat dan ma’qu@d ‘alayh
berjumlah sebelas syarat, antara lain:54
a. Syarat a@qid
Aqid adalah penjual dan pembeli. Ada tiga syarat dan satu
syarat tambahan untuk penjual, yaitu:
1) Aqid harus mumayyiz.
2) Keduanya merupakan pemilik barang yang dijadikan wakil.
3) Keduanya dalam keadaan sukarela.
4) Penjual harus sadar dan dewasa.
33
Ulama Ma@liki@yah tidak mensyaratkan harus Islam dalam membeli
hamba muslim atau mushaf. Jual beli yang dilakukan orang buta juga
dipandang shahih.
b. Syarat dalam s}i@ghat
Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam s}i@ghat ada dua,
antara lain:
1) Tempat akad harus satu.
2) Pengucapan ija@b dan qa@bul.
c. Syarat ma’qu@d ‘alayh
Adapun syarat-syarat ma’qu@d ‘alayh, adalah:
1) bukan barang yang dilarang oleh syara’,
2) harus suci,
3) bermanfaat menurut pandangan syara’,
4) dapat diketahui oleh kedua orang yang akad,
5) dapat diserahkan.
3. Menurut ulama Sha@fi’i@yah
Ulama Sha@fi’i@yah mensyaratkan dua puluh dua syarat yang
berkaitan dengan a@qid, s}i@ghat dan ma’qu@d ‘alayh. Persyaratan tersebut
adalah:55
a. Syarat a@qid
Syarat yang harus dipenuhi oleh a@qid dalam kegiatan jual beli,
adalah:
34
1) dewasa atau sadar,
2) tidak dipaksa atau tanpa hak,
3) Islam, dan
4) pembeli bukan musuh.
b. Syarat dalam s}i@ghat
Adapun syarat-syarat s}i@ghat saat jual beli, antara lain:
1) Berhadap-hadapan, prmbeli dan penjual harus menunjukan s}i@ghat
akadnya kepada orang lain yang sedang bertansaksi dengannya.
2) Ditunjukan pada seluruh badan akad.
3) Qa@bul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ija@b.
4) Harus menyebutkan barang dan harga.
5) Ketika mengucapkan s}i@ghat harus disertai dengan niat.
6) Pengucapan ijab dan qa@bul harus sempurna.
7) Ija@b qa@bul tidak terpisah.
8) Antara ija@b dan qa@bul tidak terpisah dengan pernyataan lain.
9) Tidak berubah lafaz}.
10) Bersesuaian antara ija@b dan qa@bul secara sempurna.
11) Tidak dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan dengan
akad.
12) Tidak dikaitkan dengan waktu.
c. Syarat ma’qu@d ‘alayh
Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam ma’qu@d ‘alayh ada
35
1) suci,
2) bermanfaat,
3) dapat diserahkan,
4) barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain,
5) jelas dan diketahui oleh kedua orang yang berakad.
4. Menurut ulama Hana@bilah
Menurut ulama Hana@bilah, persyaratan jual beli terdiri atas sebelas
syarat, baik dalam a@qid, s}i@ghat dan ma’qu@d ‘alayh. Syarat-syarat
tersebut, yaitu:56
a. Syarat a@qid
A@qid dalam melakukan kegiatan jual beli harus memenuhi dua
syarat, yaitu:
1) Dewasa, kecuali pada jual beli barang yang bernilai kecil.
2) Adanya keridaan, masing masing a@qid harus saling meridai, tidak
ada unsur paksaan.
b. Syarat dalam s}i@ghat
Syarat yang harus dipenuhi dalam s}i@ghat kegiatan jual beli,
adalah:
1) Berada di tempat yang sama.
2) Tidak terpisah antara ija@b dan qa@bul.
3) Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
36
c. Syarat ma’qu@d ‘alayh
Beberapa syarat yang harus dipenuhi ma’qu@d ‘alayh ada enam,
antara lain:
1) Ma’qu@d ‘alayh harus berupa harta.
2) Milik penjual secara sempurna.
3) Barang dapat diserahkan ketika akad.
4) Barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
5) Harga diketahui oleh kedua pihak yang berakad.
6) Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah.
D.Prinsip-Prinsip Jual Beli
Beberapa prinsip yang diterapkan dalam melaksanakan jual beli
antara lain, sebagai berikut:57
1. Prinsip tauhid
Prinsip tauhid adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan
yang ada dalam syariat Islam. Hal tersebut berarti bahwa setiap gerak
langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai
ketuhanan. Sehingga dalam jual beli harus memperhatikan nilai-nilai
ketuhanan. Setidaknya dalam setiap jual beli ada keyakinan dalam hati
bahwa Allah selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu
berada bersama kita.
37
2. Prinsip halal
Umat Islam diharapkan dalam mencari rezeki menjauhkan diri dari
hal-hal yang haram. Melaksankan hal-hal yang halal, baik dalam cara
memperoleh, mengkonsumsi dan memanfaatkannya. Selain caranya
harus halal, barang yang diperjualbelikan juga harus halal.
3. Prinsip mas}lah}ah
Mas}lah}ah adalah sesuatu yang ditunjukan pleh dalil hukum
tertentu yang membenarkan atau membatalkannya atas segala tindakan
manusia dalam rangka mncapai tujuan syara’, yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, harta benda, dan keturunan. Prinsip mas}lah}ah merupakan hal
yang paling esensial dalam muamalah. Oleh karena itu, praktik jual beli
yang tidak mendatangkan mas}lah}ah kepada masyarakat harus
ditinggalkan kerena tidak sesuai dengan syariat Islam.
4. Prinsip iba@h}ah
Berbagai jenis muamalah khususnya jual beli, hukum dasarnya
adalah boleh sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Namun,
kaidah-kaidah umum yang berkaitan dengan muamalah tersebut harus
diperhatikan dan dilasanakan.
5. Prinsip kebebasan bertransaksi
Prinsip kebebasan bertansaksi harus tetap didasari prinsip suka
sama suka dan tidak ada pihak yang didzalimi dengan didasari oleh akad
yang sah. Di samping itu, transaksi tidak boleh dilakukan pada
38
E. Bentuk-bentuk Jual Beli
Bentuk jual-beli dari segi hukum menurut ulama Hana@fi@yah dibentuk
menjadi tiga, antara lain:58
1. Jual beli yang s}ah}i@h}
Jual beli yang dapat dikatakan s}ah}i@h} adalah jual beli yang telah
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan, barang bukan milik
orang lain, dan tidak terikat dengan khiya@r lagi maka jual beli tersebut
s}ah}i@h} dan memikat kedua belah pihak. Contohnya seperti, seseorang
membeli suatu barang, seluruh rukun dan syarat jual belinya telah
terpenuhi. Barangnya juga telah diperiksa oleh pembeli, barang tidak
ada cacat atau rusak. Kemudian pembeli telah menyerahkan uang dan
barangpun sudah diterima dan tidak ada lagi khiya@r.
2. Jual beli yang batil
Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang batil apabila salah satu
atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang pada dasarnya
tidak disyariatkan. Maka jual beli tersebut batil. Jual beli batil dibagi
atas beberapa macam:
a. Jual beli sesuatu yang tidak ada, ulama fiqh telah sepakat bahwa jual
beli barang yang tidak ada maka jual beli tersebut tidak sah.
Contohnya, menjual buah-buahan yang masih berkembang (mungkin
masih bisa jadi buah atau bahkan tidak), atau menjual anak sapi yang
masih dalam perut ibunya.
39
b. Menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka
jual beli itu tidak sah (batil). Contohnya, menjual barang yang hilang
atau menjual burung peliharaan yang lepas dari sangkarnya.
c. Jual beli yang mengandung unsur tipuan, menjual barang yang ada
mengandung unsur tipuan maka tidak sah (batil). Contonya barang
yang terlihat baik namun baliknya terlihat tidak baik.
d. Jual beli benda najis, hal tersebut hukumnya tidak sah. Seperti,
menjual babi, bangkai, darah dan khamar (semua benda yang
memabukan). Disebabkan karena benda-benda tersebut tidak
mengandung makna dalam arti hakiki menurut syara’.
e. Jual beli al-‘urbun, merupakan jual beli yang bentuknya dilakukan
melalui perjanjian. Apabila barang yang sudah dibeli, dapat
dikembalikan kepada penjual maka uang muka yang diberikan oleh
pembeli menjadi milik penjual. Jumhur ulama mengatakan bahwa jual
beli itu terlarang atau tidak sah.
f. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak
boleh dimiliki seseorang, air yang disebutkan ini adalah air milik
bersama umat manusia dan tidak boleh diperjualbelikan. Menurut
Jumhur ulama air sumur pribadi, boleh diperjualbelikan karena air
sumur itu merupakan milik pribadi dari hasilusaha sendiri.
3. Jual beli yang fa@sid
Jumhur ulama tidak membedakan jual beli fa@sid dan jual beli batil,
40
dan jual beli batil. Sedangkan, ulama Hana@fi@yah membedakan antara jual
beli fa@sid dan jual beli batil. Menurut Imam Hana@fi, muamalah yang
fa@sid pada hakikatnya atau esensinya tetep dianggap sah namun yang
rusak atau tidak sah adalah sifatnya.59
Menurut ulama Hana@fi@yah, jual beli yang fa@sid, antara lain sebagai
berikut:
a. Jual beli al-majhu@l yaitu benda atau barangnya secara kesluruhan
belum diketahui, dengan syarat ketidakjelasannya itu bersifat
menyeluruh. Namun apabia sifat ketidakjelasannya sedikit,
jualbelinya sah karena hal tersebut tidak membawa perselisihan.
b. Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual
kepada pembeli: “Saya jual mobil saya ini kepada Anda bulan depan
setelah mendapat gaji”, menurut Jumhur ulama jual seperti ini batal.
Menurut ulama hanafiyah jual beli ini dipandang sah setelah sampai
waktunya yang disyaratkan dan ditentukan telah berakhir.
c. Menjual barang yang ghaib yang tidak diketahui pada saat jual beli
berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli, ulama
Hana@fi@yah memeperbolehkan jual beli seperti ini apabila
sifat-sifatnya disebutkan dengan syarat sifat-sifat-sifatnya terssebu tidak
berubah sampai barang itu diserahkan.
d. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta, jual beli tersebut hukumnya
sah, apabila orang buta tersebut memiliki hak khiya@r.
41
e. Barter barang dengan barang yang diharamkan, seperti menjadikan
barang-barang yang diharamkan sebagai harta.
f. Jual beli al-ajl, contoh jual beli seperti ini adalah seseorang menjual
barangnya senilai Rp 100.000,- dengan pembayaran ditunda selama
satu bulan. Setelah penyerahan barang kepada pembeli, pemilik
barang membeli kembali barang tersebut dengan harga yang rendah
mosalnya Rp 75.000,- sehingga penjuak teteap berhutang kepada
pemilik barang sebesar Rp 25.000,-.
g. Jual beli anggur untuk tujuan membuat khamr, apabila penjual anggur
tersebut mengetahui hal tersebut, maka hukumnya para ulama
berbeda pendapat. Menurut ulama Sha@fi’i menganggap jual beli itu
sah, tetapi hukumnya makruh. Mazhab Ma@liki dan Hanbali
menganggap jual beli tersebut batil.
h. Jual beli yang bergantung pada syarat, seperti ucapan pedagang: “Jika
kontan harganya Rp 1.200.000,- dan jika berhutang harganya
Rp 1.250.000,-, jual beli ini dinyatakan fa@sid.
i. Jual beli sebagian barang yang tidak dapat dipisahkan dari satuannya,
contohnya menjual tanduk kerbau yang diambil dari kerbau yang
masih hidup. Menurut Jumhur ulama hukumnya tidak sah. Menurut
Ulama Hana@fi@yah hukumnya fa@sid.
j. Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matang
panennya, menurut ulama Hana@fi@yah jika buah-buahan itu telah ada
42
disyaratkan untuk memanen buah-buahnya maka jual beli itu sah.
Apabila disyaratkan buah-buhan itu dibiarkan sampai matang maka
jual belinya fa@sid karena tidak sesuai dengan tuntutan akad.
F. Pengambilan Keuntungan pada Jual Beli dalam Islam
Islam mengajarkan agar dalam berusaha dapat menghasilkan segala
sesuatu yang halal dan baik, karena Allah telah memerintahkan kepada
seluruh manusia untuk mendapatkan segala sesuatu yang halal dan baik
dalam usahanyanya. Sehingga manusia tidak mengikuti langkah-langkah
syaitan untuk mengambil segala sesuatu yang tidak halal dan tidak baik.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 168, yang
berbunyi: terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”60
Rasulullah juga telah mencontohkan kepada umatnya untuk
mengambil keuntungan dalam jual beli, sesuai dengan sabda beliau yang
berbunyi:
43
ا
ْﻟا ِﺪْﺒَﻋ ِﻞِﻣاَرَأ َْﲔَـﺑ ﺎَﻬَﻤَﺴَﻘَـﻓ ﱠﻲِﻗاَوَأ َﺢِﺑَﺮَـﻓ ْﺖَﻠَـﺒْـﻗَأ ٍﲑِﻋ ْﻦِﻣ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ﱡِﱯﱠﻨﻟ
ﱠُﰒ ِﺐِﻠﱠﻄُﻤ
ُﻪُﻨََﲦ يِﺪْﻨِﻋ َﺲْﻴَﻟ ﺎًﻌْـﻴَـﺑ ُعﺎَﺘْـﺑَأ َﻻ َلﺎَﻗ
Artinya:
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berniaga dari kafilah yang datang, lalu beliau memperoleh keuntungan beberapa uqiyah, kemudian beliau membagi-bagikannya kepada janda-janda Abdul Muthalib, lalu beliau bersabda: "Aku tidak akan membeli suatu perniagaan yang aku tidak
mendapatkan harganya (keuntungannya).”61
Tujuan jual beli (berniaga) yaitu untuk memenuhi kebutuhan, dengan
mendapatkan hasil dari usaha tersebut. Mendapatkan keuntungan dalam
jual beli adalah prioritas utama dalam berdagang. Pada dasarnya, tujuan
jual beli bukan hanya semata-mata murni mencari keuntungan dan laba
namun untuk membantu orang lain yang membutuhkan bantuan.
Keinginan mendapatkan keuntungan yang besar akan berdampak
pada kecendrungan pedagang untuk berbuat negatif serta melakukan
hal-hal yang telah dilarang oleh syariat Islam contohnya seperti: berbohong,
menipu, memanupulasi, serta mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Kecendrungan dalam mengambil keuntungan yang besar dilakukan pada
saat-saat tertentu, contohnya pada hari lebaran, tahun baru, dan hari besar
lainnya.
Keuntungan adalah hasil yang diusahakan melebihi dari nilai harga
barang. Menurut Wahbah al Zuhaili, pada dasarnya Islam tidak memiliki
batasan yang jelas tentang keuntungan dalam berdagang. Hanya saja,
61 Ahmad, Kitab Ahmad, Hadist No. 2817, (Lidwah Pustaka i-Software-Kitab Sembilan
44
menurut beliau, keuntungan yang baik (berkah) adalah keuntungan yang
tidak melebihi sepertiga modal.62
Ibnu Arabi juga memberi pendapat tentang batasan pengambilan laba
dalam berdangang. Menurut beliau, penetapan laba harus memperhatikan
kondisi pelaku usaha den pembeli. Oleh karena itu, pelaku usaha boleh
menambah harga jual, sedangkan pembeli juga diperkenankan untuk
membayar dengan nilai lebih dari harga barang yang dibeli. Beliau juga
berpendapat ketidakbolehan dalam mengambil keuntungan yang terlalu
besar. Beliau mengategorikan bahwa pelaku usaha yang mengambil
keuntungan terlalu besar adalah orang yang memakan harta orang lain
dengan jalan yang tidak baik. Menurut beliau hal tersebut bukanlah
tabarru’, melainkan mu’a@wad}ah. Biasanya mu’a@wad}ah tidak mengambil
keuntungan yang terlalu besar.63
Pendapat Ibnu Arabi sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Imam Malik bin Anas. Menurut Imam Malik bin Abas, pelaku usaha atau
pedagang pasar tidak boleh menjual barangnya di atas harga pasaran,
karena mereka juga harus memperhatikan kemaslahatan para pembeli.
Sedangkan menjual barang dengan harga di atas harga pasaran akan
mengabaikan kemaslahatan pembeli. Bahkan beliau berpendapat bahwa
pedagang yang melakukan hal tersebut dapat diberi peringatan dengan
tegas. 64
62 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Mu’ashirah, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t), 139.
45
Sebagian ulama Ma@liki@yah membatasi maksimal pengambilan laba
tidak boleh melebihi sepertiga dari modal. Mereka menyamakan hal ini
dengan harta wasiat. Syari’ membatasi hanya sepertiga dalam hal wasiat.
Sebab wasiat yang melebihi batas akan merugikan ahli waris yang lain.
Begitu pula dengan laba yang berlebihan akan merugikan para konsumen.
Oleh karena itu, laba tidak boleh melebihi dari sepertiga.65
Pengambilan keuntungan pada jual beli menurut para ulama telah
dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa diperbolehkan memberikan
tambahan harga untuk suatu barang dagangan selama hal tersebut tidak
melanggar syariat Islam. Sebagian besar ulama menetapkan batasan dalam
mengambil keuntungan adalah sepertiga dari modal.
BAB III
PRAKTEK PENGAMBILAN KEUNTUNGAN PADA PENJUALAN ONDERDIL DI BENGKEL PAKIS SURABAYA
A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambaran umum lokasi penelitian akan membahas beberapa hal
mengenai keberadaan Bengkel Pakis, yaitu:
1. Sejarah berdirinya Bengkel Pakis
Pada tahun 2005, pemilik bengkel adalah Bapak Kusrin, seorang
imigran yang berasal dari Tuban yang berprofesi sebagai tukang becak.
Awalnya, beliau tinggal di Surabaya hanya bersama istri dan anak
sulungnya. Namun, seiring berjalannya waktu beliau mengajak anak beliau
yang bernama Kuslan untuk tinggal bersamanya di Surabaya.65
Kuslan merupakan anak bungsu dari dua orang bersaudara.
Pendidikan terakhirnya hanya tamat hingga Sekolah Menengah Atas
(SMA) sederajat. Hal tersebut terjadi karena faktor ekonomi keluarga.
Salah satu tujuan Pak Kusrin mengajak Kuslan tinggal di Surabaya adalah
untuk membantu mencari nafkah. 66
Setelah beberapa bulan berlalu, Kuslan tak kunjung mendapatkan
pekerjaan. Akhirnya, dia memutuskan untuk bekerja sebagai mechanic di
65 Kuslan (Pemilik Bengkel), Wawancara, Surabaya, 21 Desember 2015.
47
bengkel panggilan yang telah dibuka oleh tetangganya. Kemudian, dari
situlah Pak Kusrin berfikiran ingin membuka bengkel.67
Pada tahun 2006, karena keterbatasan modal yang dimilikinya Pak
Kusrin hanya mampu membuka bengkel tambal ban untuk Kuslan di Jalan
Raya Pakis. Saat itu bengkel hanya melayani tambal ban saja. Namun jika
ada yang ingin menyervis sepeda angin atau motornya, dengan alat yang
seadanya dapat dilakukan ia melayani servis tersebut.
Seiring berjalannya waktu usaha tersebut dapat berkembang dengan
peralatan yang dimiliki sudah mulai berangsur bertambah. Sehingga banyak
warga sekitar Pakis yang mempercayakan sepeda angin atau motornya
untuk diservis di Bengkel Pakis tersebut. Mulailah, Kuslan mengajak
beberapa temannya untuk membantu usaha bengkelnya.
Pada tahun 2013, usaha bengkel tersebut terhambat beroperasi karena
adanya penggusuran atau pembersihan pedagang kaki lima di tepi Jalan
Raya Pakis oleh Satpol PP. Setelah beberapa bulan bertahan dengan
beroperasi secara sembunyi-sembunyi, akhirnya Kuslan merasa capek
karena harus sembunyi-sembunyi jika Satpol PP telah hadir. Kuslan
memutuskan untuk bekerja sama dengan temannya yang memiliki halaman
rumah yang luas untuk dijadikan bengkel sementara.
Saat ini, bengkel tersebut beroperasi dengan baik dan terus
berkembang hingga dapat melayani servis panggilan untuk mobil dan alat
transportasi darat lainnya. Inovasi tersebut dilakukan bertujuan untuk